• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1. Klasifikasi Tanaman Cabai

Berdasarkan sistematika (taksonomi) menurut Cronquist (1981) tanaman cabai merah diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Solanales Familia : Solanaceae Genus : Capsicum

Species : Capsicum annuum L. 2.1.2. Anatomi Tanaman Cabai

Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman herba berkayu dengan tinggi tanaman ± 1 meter. Tanaman cabai memiliki banyak percabangan yang dilengkapi dengan daun tunggal. Memiliki helaian daun bentuk bulat telur sampai elips dengan pangkal daun meruncing dan ujung daun runcing serta tepi pada helaian daun gundul (Steenis, 1987). Pada ketiak daun muncul bunga tunggal bentuk bintang berwarna putih. Buah cabai tergolong buah buni bentuk lanset dan menggantung. Buah cabai mempunyai permukaan mengkilat berwarna hijau dan berwarna merah ketika tua dengan biji putih kekuningan, pipih dan saat tua biji berwarna cokelat.

(2)

Tanaman cabai tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara. Tanaman dapat tumbuh di daerah rendah sampai daerah pegunungan dengan ketinggian berkisar ± 10 – 700 mdpl (Setiadi, 1993). Umumnya tanaman cabai dapat dibudidayakan di sekitar pekarangan rumah ataupun di perkebunan skala besar.

Gambar 2.1 Tanaman cabai merah Sumber : Puslitbanghorti (2016) 2.1.3. Manfaat dan Kandungan Gizi Cabai

Buah cabai mengandung zat- zat gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia seperti, protein, lemak, karbohidrat, fosfor (P), vitamin-vitamin (Tabel 2.1), dan juga mengandung senyawa-senyawa alkaloid seperti

(3)

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Per 100 Gram Bahan Kandungan gizi Cabai merah segar Cabai merah kering Kadar air (%) Kalori (kal) Proterin (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Vitamin A (SI) Vitamin C (mg) 90,9 31,0 1,0 0,3 7,3 29,0 24,0 470 18,0 10,0 311 15,9 6,2 61,8 160 370 576 50 Sumber: Setiadi (1993)

Capsaicin merupakan zat yang menimbulkan rasa pedas pada cabai yang

terdapat pada biji cabai dan plasenta pada buah cabai. Rasa pedas tersebut bermanfaat untuk mengatur peredaran darah, memperkuat jantung, nadi, dan saraf (Prajnanta, 1999). Capsaicin juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan obat gosok antireumatik dalam bentuk krim maupun dalam bentuk koyo cabai. Selain capsicin cabai juga mengandung zat mucokinetik, yaitu zat yang mampu mengatur, mengurangi, atau mengeluarkan lendir dari paru-paru. Oleh karena itu, cabai sangat membantu bagi penderita bronkitis, mencegah influenza, sinuitis, demam, dan asma dalam proses pengeluaran lendir.

2.2. Senyawa Bioaktif

Semua kelompok jamur umumnya melakukan metabolisme primer maupun metabolisme sekunder. Metabolisme primer terdiri dari dua proses yaitu proses anabolisme dan katabolisme, menggunakan nutrisi yang terdapat pada lingkungan hidupnya dalam rangka menghasilkan metabolit primer yang diperlukan bagi pertumbuhan jamur (Listiandiani, 2011).

(4)

Menurut Kavanagh (2005), metabolit sekunder merupakan senyawa dari hasil metabolisme sekunder yang tidak diperlukan untuk pertumbuhan jamur tersebut. Secara umum metabolit sekunder pada fungi terjadi pada fase akhir pertumbuhan dan mulai memasuki fase stationer. Metabolisme sekunder pada fungi diartikan sebagai suatu proses diferensiasi dan sporulasi.

Metabolit sekunder yang dihasilkan dari metabolisme sekunder fungi adalah beragam, tergantung golongan senyawa yang dibentuk. Pembentukan senyawa-senyawa metabolit sekunder melalui tiga jalur prekursor utama. Tiga prekursor tersebut adalah asam shikimat, asam amino, dan asetil-CoA. Senyawa-senyawa aromatik seperti Senyawa-senyawa amino aromatik, asam sinamat, dan berbagai polifenol terbentuk melalui prekursor asam shikimat. Senyawa-senyawa alkaloid dan antibiotik misalnya penisilin dan sefalosporin terbentuk melalui prekursor asam amino. Sedangkan prekursor Asetil-CoA terlibat dalam pembentukan poloasetilen, prostaglandin, antibiotik makrosiklik, polifenol, serta isoprenoid (Listiandiani, 2011).

Pada umumnya jalur metabolisme sekunder pada fungi ditemukan dalam jalur pembentukan poliketida yang melibatkan asetil-CoA sebagai prekursornya. Pada jalur tersebut asetil-CoA mengalami karboksilasi dan membentuk malonil-CoA. Tiga atau lebih molekul malonil-CoA terkondensasi dengan asetil-CoA membentuk struktur cincin (rantai) dan termodifikasi menjadi produk metabolit sekunder seperti antibiotik (griseofulvin yang dihasilkan Penicillium griseofulvum), aflaktoksin yang dihasilkan dari kapang Aspergillus flavus dan A. paraticus dan juga mikotoksin (Listiandiani, 2011).

(5)

Berikut merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder di antanya adalah flavonoid, saponin, dan alkaloid.

1. Flavonoid

Flavonoid merupakan kelompok senyawa yang banyak ditemukan pada tumbuhan. Kerangka flavon yang umumnya dimiliki C6-C3-C6 dengan tiga atom karbon yang menjadi penghubung antara gugus fenil yang biasanya terdapat atom oksigen (Gambar 2.2). Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang ditemukan di alam sebagai zat warna merah, ungu, biru, dan kuning yang ditemukan pada tumbuhan (Lenny, 2006).

Menurut Wiryowidagdo (2008), senyawa-senyawa flavonoid memiliki kemampuan sebagai antifungi. Selain itu, flavonoid juga berperan sebagai antivirus, antibakteri, antiradang, dan antialergi. Sebagai antifungi senyawa flavonoid mampu menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel jamur karena gugus hidroksil yang dimiliki flavonoid mampu merubah komponen organik dan transport nutrisi yang menimbulkan efek toksik pada jamur.

Gambar 2.2 Kerangka dasar Isoflavon Sumber : Wikipedia (2015)

(6)

2. Saponin

Menurut Harborne (1987), saponin merupakan senyawa bioaktif yang tersusun dari glikosida triterpenoida maupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan bersifat seperti sabun (Gambar 2.3). Keberadaan saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk busa dan haemolisis sel darah. Saponin berguna dalam pengobatan karena saponin bersifat mempengaruhi absorpsi zat aktif secara farmakologi. Menurut Masroh (2010), beberapa jenis saponin mampu bekerja sebagai antimikroba.

Saponin pada bakteri mampu meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga struktur dan fungsi membran bakteri berubah, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis (Siswandono & Soekarjo, 2000). Menurut Dwidjoseputro (1994), molekul-molekul yang dimiliki saponin dapat bersifat menarik air atau hidrofilik dan dapat melarutkan lemak atau lipofilik sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel kuman yang akhirnya menyebabkan kehancuran kuman .

Gambar 2.3. Kerangka dasar saponin Sumber : Wikipedia (2016b)

(7)

3. Alkaloid

Senyawa alkaloid merupakan senyawa kimia hasil metabolit sekunder dari golongan senyawa basa nitrogen heterosiklik yang banyak terdapat pada tumbuhan (Gambar 2.4). Menurut Harborne (1987), senyawa alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang biasanya dalam cincin heterosiklik. Sebagian besar alkaloid tidak larut di air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti kloform, eter, dan benzena.

Alkaloid bersifat optis aktif, kebanyakan alkaloid berbentuk kristal dan hanya sedikit yang dijumpai dalam bentuk cair. Hampir semua alkaloid bersifat racun tetapi ada pula alkaloid yang berguna dalam pengobatan. Alkaloid tergolong zat aktif yang berfungsi sebagai obat dan aktivator kuat bagi sel imun yang mampu menghancurkan sel bakteri, virus, jamur, dan sel kanker (Olivia et

al., 2007). Mekanisme kerja alkaloid sebagai antifungi dilakukan dengan merusak

membran sel jamur. Alkaloid akan berikatan dengan ergosterol membentuk lubang yang menyebabkan kebocoran membran sel. Hal ini mengakibatkan kerusakan sel dan kematian sel jamur.

Gambar 2.4 Kerangka dasar nikotin Sumber : Wikipedia (2016a)

(8)

2.3. Deskripsi Fusarium Fusarium Oxysporum f.sp. capsici 2.3.1. Klasifikasi Fusarium Oxysporum f.sp. capsici

Klasifikasi kapang fusarium capsici menurut Alexopoulus & Mims (1996): Kingdom : Fungi Divisi : Eumycota Classis : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Familia : Teberculariaceae Genus : Fusarium

Species : Fusarium oxysporum f.sp. capsici

Kapang F. oxysporum f.sp. capsici merupakan patogen tular tanah yang menyebabkan penyakit layu pada tanaman cabai merah. F. oxysporum f.sp.

capsici termasuk kelompok kapang yang mampu menghasilkan mikotoksin yang

dijumpai pada makanan maupun pada bahan makanan. Menurut Saragih & Silalahi (2006), kapang F. oxysporum bersifat saprofit dan parasit serta mempunyai kisaran inang yang luas.

Kapang F. oxysporum tidak hanya menyerang tanaman cabai, tetapi juga menyerang tanaman lain seperti pada tanaman tomat, ketimun, vanili, pisang, dan lain-lain. Kapang F. oxysporum mampu bertahan lama di dalam tanah tanpa adanya inang dalam bentuk klamidiospora atau sebagai hifa pada sisa tanaman dan bahan organik lainnya (Saragih & Silalahi, 2006). Umumnya infeksi terjadi di sekitar perakaran tanaman yang terluka.

(9)

2.3.2. Morfologi F. oxysporum f.sp. capsici

Kapang F. oxysporum f.sp. capsici merupakan kapang dengan miselium berseptat (bersekat). Permukaan koloni kapang berwarna putih keunguan, tepi bergerigi dan permukaannya kasar berserabut juga bergelombang. Pada miselium yang sudah tua terbentuk klamidiospora. Konidiofor bercabang dan makrokonidumnya berbentuk kumparan, bertangkai kecil dan sering kali berpasangan (Lucas et al., 1985). F. oxysporum merupakan kapang aseksual yang menghasilkan 3 spora yaitu :

1. Makrokonidia

Makrokonidia memiliki bentuk yang panjang melengkung seperti kumparan, tidak berwarna, dan pada kedua ujungnya sempit menyerupai bulan sabit (Gambar 2.5.A) yang terdiri dari 3-5 sekat dengan ukuran 25-33 × 3,5-5,5 µm (Semangun,1996).

2. Mikrokonidia

Mikrokonidia merupakan spora bersel satu atau dua yang tidak berwarna, berbentuk lonjong atau bulat telur (Gambar 2.5.B) dengan ukuran 6-15 ×2,5-4 µm (Semangun, 1996).

3. Klamidiospora

Klamidiospora merupakan spora berbentuk bulat yang terdapat di dalam hifa atau di ujung hifa. Klamidiospora dapat terbentuk jika kondisi lingkungan tida mendukung dan klamidiospora yang dihasilkan bersifat dorman (Semangun, 1996).

(10)

Gambar 2.5 (A) Makrokonidia, (B) Mikrokonidia Sumber : Ellis (2015a)

2.3.3. Gejala Serangan

Gejala awal penyakit layu fusarium adalah tulang-tulang daun menjadi pucat, terutama pada daun yang terletak di sebelah atas, yang selanjutnya diikuti dengan merunduknya tangkai, dan akhirnya tanaman yang terinfeksi menjadi layu secara keseluruhan (Gambar 2.6) (Semangun, 1996). Terkadang kelayuan yang terjadi didahului dengan menguningnya daun, terutama daun-daun sebelah bawah. Akibat infeksi F. oxysporum f.sp. capsici menyebabkan tanaman cabai menjadi kerdil dan tumbuhnya merana. Jika pada tanaman yang sakit, batangnya dikelupas atau dipotong maka akan terlihat cincin berwarna cokelat pada berkas pembuluh tanaman.

Serangan F. oxysporum f.sp. capsici pada tanaman yang masih muda menyebabkan matinya tanaman secara mendadak, dikerenakan pangkal batang tanaman tersebut terjadi kerusakan atau kanker yang menggelang, sedangkan infeksi F. oxysporum f.sp. capsici pada tanaman dewasa biasanya mampu bertahan sampai berbuah tetapi hasil yang diperoleh sangat sedikit dan kecil-kecil (Semangun, 1996).

(11)

Gambar 2.6 Tanaman cabai yang terinfeksi

layu fusarium (sumber : Anonim, 2015) 2.3.4. Daur Hidup Kapang F. oxysporum f.sp. capsici

F. oxysporum f.sp. capsici dapat bertahan lama didalam tanah dalam

bentuk klamidiospora. Semangun (1996), mengatakan kapang F. oxysporum mampu bertahan hingga 10 tahun di dalam tanah tanpa adanya inang. Tanah yang sudah terinfeksi sukar dibebaskan kembali dari kapang tersebut. Infeksi dapat terjadi pada akar yang mengalami luka atau melalui luka pada akar yang diakibatkan munculnya akar lateral.

Kapang F. oxysporum f.sp. capsici menggunakan luka perantara jalannya infeksi, misalnya luka karena pemindahan bibit, pembumbunan, dan luka karena serangga. Infeksi yang terjadi pada buah memungkinkan spora kapang F.

oxysporum f.sp. capsici terbawa oleh biji. Spora kapang tersebut dapat tersebar

karena spora yang terdapat pada bibit, tanah, air, dan alat-alat pertanian dapat membantu penyebaran spora kapang tersebut (Semangun, 1996).

(12)

2.3.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Fusarium oxysporum f.sp. capsici

Kapang F. oxysporum f.sp. capsici. dapat bertahan hidup pada kisaran suhu tanah antara 210C - 330C, dengan suhu optimumnya 28˚C. Kematian dapat terjadi jika kapang tersebut berada di dalam tanah pada kisaran suhu 57,50C - 600C selama 30 menit (Semangun, 1996). Kapang Fusarium oxysporum f.sp.

capsici mampu bertahan hidup pada kisaran pH tanah yang luas yaitu 3,8-8,4 dan

pH optimum untuk pertumbuhan berada pada pH 7,7. Sumber karbon (C) sangat diperlukan kapang F. oxysporum f.sp. capsici dalam pembentukan spora. Pembentukan spora terjadi pada kisaran suhu antara 20-250C (Soesanto, 2008).

Fusarium oxysporum f.sp. capsici akan berkembang sangat cepat bila tanah

mengandung banyak nitrogen tapi miskin kalium. 2.4. Deskripsi Kapang Gliocladium sp.

2.4.1. Klasifikasi Kapang Gliocladium sp.

Menurut Alexopoulos & Mims (1996), Gliocladium sp. diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Divisio : Amastigomycota Sub Divisio : Deuteromycotina Classis : Deuteromycetes Ordo : Hypocreales Familia : Hypocreaceae Genus : Gliocladium Species : Gliocladium sp.

(13)

Menurut Djatnika et al. (2003), Gliocladium sp. merupakan kapang agen hayati yang diketahui dapat mengendalikan pneyakit tular tanah. Sebagai agens hayati, Gliocladium sp. mampu bertahan hidup meskipun ketika tidak ada tanaman inangya, sehingga keberadaannya di alam relatif lama.

2.4.2. Morfologi Kapang Gliocladium sp.

Pertumbuhan koloni kapang Gliocladium sp. sangat cepat dan dapat mencapai 4-6 cm dalam waktu 3-4 hari inkubasi pada media PDA cawan. Tekstur koloni Gliocladium sp. berbulu halus, koloni mula-mula berwarna putih dan pucat hingga hijau tua dengan sporulasi. Konidium berbentuk bulat telur pendek, berdinding halus, agak besar dan pada umumnya konidium kapang Gliocladium sp. berukuran 4,5-6×3,5-4 µm (Soesanto, 2008).

Kapang Gliocladium sp. menghasilkan hifa, konidiofor, fialid, dan konidia (Gambar 2.7). Hifa yang dimiliki berupa hifa bersepta dan hialin (jelas). Pada cabang terakhir akan muncul fialid yang bentuknya menyerupai botol. Konidia bersel satu berbentuk oval atau silinder. Kapang Gliocladium sp. memiliki konidiofor berbentuk penicilliate, konidia bersel satu, hialin (jelas), dan berdinding halus (Domsch et al., 1980).

Gambar 2.7 Gambar mikroskopis kapang Gliocladium sp. Sumber: Ellis (2015b)

(14)

2.4.3. Manfaat Gliocladium sp.

Kapang Gliocladium sp. menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa senyawa gliotoksin, glioviridin, dan viridin yang bersifat fungistatik. Senyawa gliotoksin mampu menghambat pertumpuhan kapang dan bekteri, sedangkan senyawa viridin mampu menghambat pertumbuhan cendawan (Lee & Landis, 2000).

Hifa Gliocladium sp. yang sudah berinteraksi dengan tanah akan tersebar di sekitar perakaran tanaman, dengan laju pertumbuhan yang cepat dan dalam waktu yang singkat yaitu sekitar 7 hari. Kapang Gliocladium sp. bersifat mikoparasit terhadap kapang patogen dan mampu menekan populasi kapang patogen yang sebelumnya mendominasi sekitar perakaran tanaman. Kapang

Gliocladium sp. akan tumbuh dengan baik pada perakaran tanaman yang sehat,

sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara Gliocladium sp. dengan tanaman yang dilindunginnya.

2.5. Pengujian Aktifitas Anti Jamur

Pengujian aktivitas anti jamur secara invitro dapat dilakuakan melalui dua cara yaitu sebagai berikut.

1. Metode Dilusi

Metode dilusi yaitu suatu metode untuk menekan kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum dari suatu bahan antimikroba. Prinsip dari cara kerja metode dilusi yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair dan sejumlah sel mikroba tertentu yang diuji. Selanjutnya masing-masing dari tabung diisi suatu antimikrobial yang telah dilakukan pengenceran pada serial

(15)

tertentu, kemudian seri tabung tersebut diinkkubasi pada suhu 370C selama 16-20 jam. Mengamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada tabung dengan adanya hasil biakan yang mulai tanpak jernih (tidak ada pertumbuhan jamur merupakan zona hambat). Biakan dari semua tabung yang jernih selanjutnya ditumbuhkan pada medium PDA miring dan diinkubasi selama 16-20 jam. Mengamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan pada medium padat yaitu dengan tidak adanya pertumbuhan jamur adalah merupakan konsentrasi bunuh minimum bahan antimikroba terhadap jamur uji (Tortora et al., 2001)

2. Metode Difusi Cakram (Uji Kirby-Bauer)

Perinsip dalam metode difusi cakram (uji Kirby Baurer) yaitu dengan menempatkan kertas cakram yang mengandung antimikroba tertentu pada media PDA cawan yang telah ditambahkan dengan jamur yang akan diuji. Medium tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 16-20 jam. Mengamati zona hambat jernih yang terdapat disekitar kertas cakram. Zona jernih tersebut menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba. Jamur yang sensitif terhadap suatu bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar kertas cakram, sedangkan jamur yang resisten terhadap antimikroba ditandai dengan adanya pertumbuhan jamur di tepi kertas cakram (Tortora et al., 2001)

2.6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi merupakan teknik pemisahan dengan menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan sering digunakan dalam bidang kimia

(16)

analisis dan dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif, kualitatif atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya. Kromatografi dilakukan untuk memisahkan dan mengkuantitatifkan komponen-komponen dari suatu senyawanya (Gandjar & Rohman, 2007)

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk proses pemisahan senyawa adalah kromatografi lapis tipis (KLT) atau thin layer chromatography (TCL). Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk memisahkan suatu senyawa yang larut dalam lipid. Plat silika digunakan sebegai fase diam, sedangkan fase gerak dalam kromatografi lapis tipis berupa pelarut maupun campuran pelarut yang disebut larutan pengembang. Pelarut atau eluen sebagai fase gerak sangat berperan dalam keberhasilan kromatografi lapis tipis. Kelarutan antara senyawa dengan eluen tergantung sifat kepolaran dari masing-masing komponen dalam uji kromatografi lapis tipis (Harborne, 1987).

Gambar

Gambar 2.1 Tanaman cabai merah          Sumber : Puslitbanghorti (2016)   2.1.3. Manfaat dan Kandungan Gizi Cabai
Tabel 2.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Per 100 Gram Bahan   Kandungan gizi  Cabai merah segar  Cabai merah kering  Kadar air (%)  Kalori (kal)  Proterin (g)  Lemak (g)  Karbohidrat (g)  Kalsium (mg)  Fosfor (mg)  Vitamin A (SI)  Vitamin C (mg)  90,9 31,0 1,
Gambar 2.3. Kerangka dasar saponin      Sumber : Wikipedia (2016b)
Gambar 2.4 Kerangka dasar nikotin                  Sumber : Wikipedia (2016a)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada sumur di Jawa Barat ini penanganan liquid loading yang dipilih adalah dengan metode injeksi surfaktan dengan capillary string, dikarenakan sumur tersebut sudah

Pelaksanaan strategi pemasaran suatu usaha untuk mencapai tujuan diperlukan strategi pemasaran yang mencakup aspek 7P ( Product, Price, Place, Promotion , Process ,

Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol atau kata-kata baik lisan maupun tulisan. Komunikasi ini hanya dapat

Dengan demikian tidak berlebihan apabila dikatakan pasal a quo UU Kesehatan tersebut sangat bersifat tendensius, karena dapat membentuk opini publik seolah-olah

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat rendemen, jumlah tenaga kerja, penggunaan bahan baku, dan lama giling berpengaruh terhadap produksi gula PG. Fungsi produksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Guru telah menggunakan model, metode dan media pembelajaran serta sumber belajar yang sesuai dengan karakteristik anak

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa aksi mitigasi kegiatan REH pada berbagai skenario dapat memberikan kontibusi penurunan net emisi komulatif Provinsi Papua pada tahun

mempermudah dalam hal mengecek maupun memeriksa kapanpun. Untuk barang yang sering digunakan dan sering keluar masuk agar peletakan barang di dekat pintu. Begitu juga dengan