• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016

PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

DAN

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946

TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR

(III)

J A K A R T A

SENIN, 11 APRIL 2016

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERKARA NOMOR 21/PUU-XIV/2016 PERIHAL

 Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b] dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 26A] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

 Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana [Pasal 88] dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 15] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Setya Novanto (Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan 21/PUU-XIV/2016) ACARA

Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III) Senin, 11 April 2016, Pukul 15.15 – 16.35 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Anwar Usman (Anggota)

3) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

4) Maria Farida Indrati (Anggota)

5) Patrialis Akbar (Anggota)

6) Wahiduddin Adams (Anggota)

7) Suhartoyo (Anggota)

8) Manahan MP Sitompul (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Teuku Mahdar Ardian 2. Muhammad Ainul Syamsu 3. Syaefullah Hamid

4. Hafisullah Amin Nasution B. Pemerintah: 1. Mulyanto 2. Yunan Hilmy 3. Muhammad Dofir 4. Mariam F. Barata 5. Ari 6. Sudiarto

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sidang dalam Perkara Nomor 20 dan 21/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Pemohon yang hadir siapa? Silakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU

Terima kasih, Yang Mulia. Saya sendiri Muhammad Ainul Syamsu. Sebelah kanan saya, Syaefullah Hamid. Sebelah kanan ujung, Hafisullah Amin Nasution. Dan sebelah kiri saya, Teuku Mahdar Ardian.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ini Kuasa Hukum Perkara Nomor 20, 21/PUU-XIV/2016, ya?

4. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU

Ya.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari DPR? Tidak hadir.

Ya, sekarang dari Pemerintah yang mewakili Presiden. Silakan.

6. PEMERINTAH: MULYANTO

Terima kasih, Yang Mulia.

Assalamualaikum wr. wb. Yang hadir dari Pemerintah, sebelah kiri saya, Bapak Yunan Hilmy, Direktur Litigasi Kemenkum HAM. Terusnya, sebelah lagi Muhammad Dofir, Koordinator pada Jamdatun Kejagung. Terusnya sebelahnya, Bapak Ari dari Kejaksaan dan Pak Sudiarto dari Kemenkum HAM. Saya sendiri Pak Mulyanto dari Kemenkum HAM. Terima kasih, Yang Mulia.

SIDANG DIBUKA PUKUL 15.15 WIB

(5)

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Agenda pada hari ini adalah Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR. Karena DPR tidak hadir, maka keterangan Presiden yang kita dengarkan.

Saya persilakan, siapa yang akan membacakan keterangan Presiden?

8. PEMERINTAH: YUNAN HILMY

Mohon izin, Yang Mulia. Yang dibacakan Nomor 21 terlebih dahulu, apa bisa?

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Yang Nomor 20?

10. PEMERINTAH: YUNAN HILMY

Nomor 20 menunggu hadir dari Kominfo yang akan membacakan. 11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, baik.

12. PEMERINTAH: YUNAN HILMY Ya.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya sudah, silakan.

14. PEMERINTAH: YUNAN HILMY Terima kasih.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Perkara Nomor 21 dulu, ya. Baik, silakan, Pak. 16. PEMERINTAH: MUHAMMAD DOFIR

(6)

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb.

18. PEMERINTAH: MUHAMMAD DOFIR

Selamat sore, salam sejahtera untuk kita semua. Izinkan, Yang Mulia, saya akan membacakan keterangan Presiden.

Keterangan Presiden atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Kepada yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Dengan hormat,

1. Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. 2. H. M. Prasetyo, Jaksa Agung Republik Indonesia.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden Republik Indonesia atas Permohonan Pengujian Pasal 15 Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PTPK terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disingkat dengan UUD 1945 yang diajukan oleh Drs. Setya Novanto, bertempat tinggal di Jalan Wijaya XIII, Nomor 19, RT 003, RW 03, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam permohonan ini memberikan kuasa kepada Muhammad Ainul Syamsu, S.H., M.H., Syaefullah Hamid, S.H., Hafisullah Amin Nasution, S.H., dan Teuku Mahdar Ardian, S.H. Advokat pada Kantor Hukum Syamsu Hamid & Partners.

Selanjutnya, perkenankan Pemerintah menyampaikan keterangan atas permohonan pengujian sebagaimana perkara tersebut sebagai berikut.

I. Pokok-Pokok Permohonan Pemohon.

Mohon izin, Yang Mulia, mohon izin untuk tidak membacakan pokok permohonan karena sudah dianggap mengerti dan dipahami, baik oleh Pemerintah maupun Pemohon itu sendiri. Terima kasih. Kami lanjut ke II.

II. Tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk Memeriksa,

Mengadili, dan Memutus Permohonan Perkara Tersebut.

Bahwa dalil Pemohon terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut sebagai berikut.

(7)

1. Dalam permohonan Pemohon halaman 10, angka 13 huruf d, menyatakan:

Bahwa permohonan ini tidak meminta pembatalan undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang-undang-undang tidak berlaku yang berarti menggugat tindakan legislatif yang dilakukan oleh DPR, tetapi meminta penafsiran konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat memberikan makna yang jelas dan tegas atas kedua pasal yang dimohonkan pengujiannya.

2. Dalam permohonan Pemohon halaman 30, angka 27, menyatakan:

Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka perlu kiranya Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sehingga bermakna, “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14 diancam pidana yang sama dengan pasal-pasal tersebut.”

3. Dalam permohonan Pemohon halaman 34 angka 7 menyatakan: Mohon kiranya Majelis Hakim Konstitusional agar dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan menyatakan konstitusional bersyarat.

Terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa, mengadili, memutus permohonan perkara tersebut Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut.

1. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka permohonan Pemohon untuk meminta tafsir konstitusional terhadap Pasal 15 Undang-Undang PTPK tidak sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 bukan untuk memberi tafsir konstitusional. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa, memutus perkara a quo.

2. Quad non Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo, namun harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma undang-undang dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari penerapan suatu norma undang-undang yang di sejumlah negara dimasukkan ke dalam ruang lingkup persoalan gugatan, atau pengaduan konstitusional. Dalam konstitusional review yang dipersoalkan adalah apakah suatu

(8)

norma undang-undang bertentangan dengan konstitusi? Sedangkan dalam konstitusional komplain yang dipersoalkan adalah suatu perbuatan pejabat publik telah melanggar suatu hak dasar seseorang.

3. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap suatu norma undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Sementara terhadap konstitusional komplain Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengaturnya.

4. Setelah membaca dengan cermat permohonan Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa yang dipermasalahkan Pemohon adalah penerapan norma suatu undang-undang sesuai dengan diamanatkan di dalam Undang-Undang PTPK atau pengaduan konstitusi. Namun oleh Pemohon, permasalahan tersebut diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan dalil bahwa Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK yang dimohonkan pengujiannya itu bertentangan dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.

III. Tentang Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon.

Bahwa dalil Pemohon terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai berikut.

1. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

2. Bahwa sebagai Pemohon harus memenuhi syarat, sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007.

3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 dalam pertimbangan halaman 96 menyatakan: Halaman 96.

 Bahwa yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 adalah DPR sebagai institusi atau lembaga, sehingga sungguh janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentuknya masih dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri, in casu oleh anggota DPR yang telah ikut membahas dan menyetujuinya bersama Presiden.

Halaman 98.

 Bahwa dengan uraian tersebut di atas, telah nyata bahwa substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah

(9)

persoalan legislatif review bukan judicial review. Sebab jika DPR menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Migas, sementara kewenangan untuk membentuk dan mengubah undang-undang ada di tangannya sendiri, maka tentu sangatlah ganjil jika DPR mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah. Sebab jika demikian,

berarti DPR mempersoalkan konstitusionalitas hasil

tindakannya sendiri di hadapan Mahkamah. Jika seandainya DPR alpa, sehingga membentuk undang-undang yang merugikan hak konstitusionalnya sendiri, sesuatu yang sulit dibayangkan dapat terjadi, maka tidak terdapat halangan konstitusional apa pun baginya untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut.

 Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Para Pemohon sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang bertindak selaku anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana Ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak mengalami kerugian hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana

didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) selaku Para Pemohon dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang a quo.

4. Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut. a. Dalil-dalil yang diajukan Pemohon dalam permohonan a quo

didasarkan pada proses hukum yang menimpa Pemohon yang sedang diperiksa pada tahap tingkat penyelidikan oleh Kejaksaan Agung RI. Dalam dugaan tindak pidana korupsi, pemufakatan jahat, atau persekutuan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

b. Menurut Pemerintah, dalil-dalil yang diajukan Pemohon bukanlah permasalahan konstitusionalitas, melainkan lebih kepada permasalahan penerapan norma. Seharusnya, Pemohon dapat mengajukan keberatan terhadap hal-hal yang diuji materi ini pada saat sudah masuk pemeriksaan sudah ditingkatkan pada tahap penyidikan.

5. Bahwa Pemohon mendalilkan mengalami kerugian yang bersifat potensial maupun bersifat aktual, di mana terdapat potensi kerugian yang dialami Pemohon apabila proses penyelidikan ditingkatkan ke tahap pemeriksaan, selanjutnya dengan

(10)

konstitusional tersebut sudah dapat dipastikan dan sudah sewajarnya terjadi karena selama ini Kejaksaan Agung mendasarkan pemeriksaan tersebut pada peristiwa pembicaraan antara Pemohon Muhammad Riza Chalid dan Ma’roef Sjamsuddin. Sedangkan kerugian aktual yang dialami oleh Pemohon adalah kewajiban Pemohon untuk menghadiri panggilan pemeriksaan dalam penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Agung sebanyak 3 kali yang secara tidak langsung membatasi kebebasan Pemohon.

6. Bahwa menurut Pemerintah, perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon. Apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK, dan juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan actual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Dalam hal ini Pemerintah berpendapat bahwa:

a. Pemohon dalam perkara a quo tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK juncto Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain: Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei Tahun 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Pemohon dalam permohonannya mengajukan dalam kapasitasnya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia, maka tidak tepat jika Pemohon berdalil bahwa kerugian konstitusional secara nyata dirasakan dalam kedudukannya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia karena kerugian secara nyata dirasakan oleh Pemohon dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR RI dengan diberlakukannya Pasal 15 Undang-Undang PTPK.

b. Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 43 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Cara Tertib pada pokoknya DPR mempunyai fungsi legislasi.

c. Pemohon dalam kapasitasnya sebagai Anggota DPR RI tunduk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, di mana salah satu fungsi DPR RI adalah legislasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70

(11)

ayat (1), Pasal 72 huruf b, Pasal 80 huruf a, Pasal 162 ayat (1), Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 164 ayat (1), dan Pasal 217 ayat (1) dan ayat (2).

d. Bahwa berdasarkan uraian di atas, DPR mempunyai fungsi legislasi. Dengan kata lain, Anggota DPR berhak mengajukan rancangan undang-undang. Pemohon sebagai Anggota DPR seharusnya melakukan perubahan undang-undang, bukan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Bahwa substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah persoalan legislatif review, bukan judicial review.

e. Undang-Undang PTPK yang merupakan produk bersama DPR RI dengan Presiden dihubungkan dengan status Pemohon sebagai Anggota DPR RI, sebagaimana diketahui dari permohonan Pemohon halaman 9, huruf a dikatakan bahwa maka meskipun Pemohon merupakan Anggota DPR RI aktif, dengan demikian, Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. f. Quad non Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat,

perkara a quo adalah judicial review dan bukan legislatif review, maka Pemohon tetap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Pemerintah berpendapat:

1) Bahwa permohonan di dalam permohonannya halaman 3 angka 3 menyatakan bahwa Pemohon menganggap bahwa hak-hak konstitusional Pemohon yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana tersebut di atas, telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 15 Undang-Undang PTPK.

2) Halaman 5. Pemohon dan permohonannya menyatakan bahwa Pemohon diposisikan sebagai pelaku perbuatan jahat bersama dengan Muhammad Riza Chalid untuk melakukan tindak pidana korupsi terkait perpanjangan izin kontrak PT Freeport Indonesia.

3) Kemudian, pada halaman 12, Pemohon dalam

permohonannya menyatakan, “Akibat berlakunya Pasal 15 Undang-Undang PTPK, mengakibatkan permohonan mengalami kerugian konstitusional yang secara aktual timbul adalah munculnya kewajiban Pemohon untuk menghadiri penggilan Kejaksaan Agung, yang secara tidak langsung membatasi kebebasan Pemohon.”

4) Pemerintah berpendapat bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan Pemohon adalah kerugian konstitusional yang tidak beralasan, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya disebut

(12)

dengan KUHAP, yakni di dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 102 ayat (1).

5) Dari uraian di atas, penyelidik mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang, antara lain menerima laporan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai, dan menanyakan, serta memeriksa tanda pengenal diri, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP.

6) Bahwa Pemohon pada saat pengajuan uji materi dalam perkara ini telah dilakukan pemeriksaan di tahap penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi, pemufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Selain daripada itu, ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK tidak semata-mata hanya ditujukan kepada Pemohon saja, tetapi ditujukan juga atau berlaku pada setiap orang yang dimintai keterangan, baik terhadap setiap orang ataupun saksi dalam setiap proses penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Dengan dipanggilnya Pemohon dalam perkara tindak pidana korupsi, bukan berarti menghilangkan hak Pemohon. Karena hak Pemohon masih dilindungi oleh undang-undang dengan membela diri sepenuhnya, sebagaimana penerapan asas praduga tidak bersalah, serta penerapan asas persamaan di hadapan hukum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat, permohonan Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum. Dan adalah tepat jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.

IV. Penjelasan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang

yang Dimohonkan oleh Pemohon.

Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK oleh Pemohon dianggap

(13)

bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Terhadap permohonan perkara tersebut, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut.

1. Bahwa ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK sepanjang frasa pemufakatan jahat dianggap membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi dan merugikan hak-hak Pemohon. Karena adanya penafsiran yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan kesewenang-wenangannya bagi penegak hukum.

2. Bahwa menurut Indriyanto Seno Adji, di dalam bukunya Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Penerbit Diadit Media, halaman 4 menjelaskan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi memang sangat diperlukan dalam hal mengamankan atau menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengaturan yang terdapat dalam KUHP, yaitu harus selalu mengikuti perkembangan moderenisasi. Karena dapatlah dibenarkan untuk menempatkan suatu aturan yang bersifat khusus, di luar KUHP seperti Undang-Undang PTPK.

3. Menurut Jan Rermelink dalam bukunya Hukum Pidana, Komentar

atas Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Sun, Jakarta, 2003, halaman 71 sampai dengan halaman 72, poin 2.2.6 menyatakan:

2.2.6. Delik umum dan delik-delik khusus … delik umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh siapa pun. Sedangkan delicta propria adalah tindak pidana yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memenuhi kualifikasi atau memiliki suatu kualitas tertentu.

4. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 05/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST, atas nama Terpidana Ary Muladi, tanggal 7 Juni tahun 2011, halaman 178 menyatakan, “Menimbang bahwa rumusan ini setiap orang tersebut tidak disyaratkan adanya sifat tertentu harus dimiliki sebagai pendukung hak dan kewajiban yang apabila dilakukan sesuatu perbuatan, maka kepadanya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Menimbang. Bahwa kemampuan bertanggung jawab itu sendiri menurut para ahli hukum pidana dapat didiskripsikan bahwa pelaku tindak pidana mempunyai kemampuan untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yan buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Di samping itu, pelaku tindak pidana mempunyai kemampuan untuk melakukan atau mengerti akan perbuatannya dan dapat menentukan kehendak secara sadar. 5. Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang, sebagaimana

(14)

orang perorangan atau korporasi. Dalam rumusan setiap orang tersebut tidak disyaratkan adanya sifat tertentu yang harus dimiliki dari orang pelaku, sehingga pelaku dapat siapa saja atau subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang apabila melakukan suatu perbuatan kepada orang tersebut, dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

6. Dari uraian unsur setiap orang pada Pasal 15 Undang-Undang PTPK, maka dapat ketahui bahwa ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK termasuk kategori delik umum yang tindak pidananya dapat dilakukan oleh siapa pun. Dengan demikian, Pemohon telah keliru atau salah memaknai delik umum dan delik kualifikasi.

7. Selain Pemohon telah keliru dalam memaknai delik umum dan delik kualifikasi bahwa pengertian pemufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang PTPK tidak mengharuskan apakah orang-orang yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana korupsi mempunyai kualitas tertentu. Yang terpenting, adanya suatu kata sepakat untuk melakukan tindak pidana korupsi.

8. Dalam penjelasan umum Undang-Undang PTPK menyatakan, “Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang diberikan kepada terdakwa.

9. Bahwa pemufakatan jahat sebagaimana suatu delik dalam Pasal

15 Undang-Undang PTPK telah selesai atau sempurna ketika 2 orang atau lebih bermufakat untuk melakukan tindak pidana korupsi tanpa melihat kualitas tertentu, walaupun baru pada tahap niat karena dalam proses penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dengan asas actus nonfacit reum, nisi men sit rea yang

mengajarkan tidaklah seseorang itu dapat dimintai

pertanggungjawaban secara pidana walaupun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik, kecuali dalam perbuatan tersebut ada niat jahat atau sikap batin pelaku yang dapat dicela. Men sit rea atau niat jahat atau sikap batin tercela dari pelaku dengan tindak pidana korupsi adalah apabila perbuatan melawan hukum yang

dilakukan pelaku dimaksudkan atau ditujukan untuk

menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi dan pelaku menyadari perbuatan tersebut dapat merugian keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga rumusan yang terdapat dalam Pasal 15 Undang-Undang

(15)

PTPK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

10. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur penjelasan Pasal 1, “Mengingat sifat dari tindak pidana korupsi, maka pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.” 11. Menurut E.Y. Kanter, S.H. dan S.R. Sianturi, S.H. dalam bukunya

Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta 2002 halaman 334 angka 144 menyatakan, “Pasal 88 menentukan dikatakan ada pemufakatan jahat jika 2 orang atau lebih telah mufakat untuk melakukan kejahatan. Jika dibandingkan ketentuan dalam Pasal 1 dengan ketentuan percobaan, terutama tentang hal-hal yang dibahas dalam syarat kedua dari percobaan, yaitu mengenai persiapan pelaksanaan yang tindak pidana dan tindakan pelaksanaan (yang dipidana), maka mufakat jahat termasuk dalam pengertian persiapan pelaksanaan. Jika dalam percobaan kegiatan sampai persiapan pelaksanaan saja belum diancam pidana, maka pada mufakat jahat yang hampir sama dengan persiapan pelaksanaan untuk kejahatan tertentu, sudah diancam pidana. Ketentuan seperti ini sengaja diadakan justru untuk dapat mencegah kejahatan tertentu tersebut pada tingkat permulaannya sekali.”

12. Bahwa ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PTPK yang mengatur tentang percobaan, pembantuan, atau pemufakatan dilakukan korupsi menurut R. Wiyono dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika edisi kedua, Jakarta, 2009 halaman 135 menyatakan, “… selanjutnya di dalam penjelasan tersebut, juga disebutkan bahwa mengingat sifat dari tindak pidana korupsi, maka pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan, sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri. Dengan mengikuti penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 baru dapat diketahui apa sebab sampai ada ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 15. Karena penjelasan Pasal 15 sendiri hanya menyebutkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 tersebut merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya.”

13. Menurut J. Remmelink dalam bukunya Pengantar Hukum

Indonesia, Material 1, halaman 359 menyatakan, “Di mana letak batasan antara permulaan pelaksanaan dengan pelaksanaan? Kadangkala menarik batas tidaklah sulit. Mengekpresikan rencana

(16)

secara lisan atau tertulis, pengadaan sarana, pencarian bantuan atau dukungan, mempersiapkan segala sesuatunya, semuanya dapat tercakup dalam pengertian permulaan pelaksanaan. Hal ini dapat dengan jelas dibedakan dari perbuatan pelaksanaan, dalam niatan merampas nyawa orang lain, perbuatan pelaksanaan. Dalam perbuatan menarik picu senjata api yang terisi peluru yang dibidikkan ke arah korban dalam niat melakukan penganiayaan. Hal itu terwujud dalam perbuatan melepas tinju untuk memukul.” 14. Selain itu, Yusrisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2547

K/PID. SUS/2011 tanggal 7 Maret 2012 dalam perkara atas nama Terdakwa Mochtar Mohammad, Walikota Bekasi, menyatakan:  Bahwa meskipun undang-undang tindak pidana korupsi tidak

memberikan pengertian akan arti pemufakatan jahat sebagaimana juga percobaan dan pembantuan dalam Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi tidak berarti hakim harus berdiam diri, tidak mencarinya, lalu membebaskan dari dakwaan tersebut.

 Bahwa oleh karena dalam Pasal 88 KUHP ada tertera akan arti pemufakatan jahat yang memang hanya berlaku untuk tindak pidana dalam KUHP, akan tetapi menurut Mahkamah Agung dapat dipedomani karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak mengaturnya secara tersendiri. Menurut Pasal 28 KUHP dikatakan ada perbuatan jahat apabila ada orang … dua orang atau lebih telah sepakat melakukan kejahatan.

15. Dengan adanya pencantuman frasa pemufakatan jahat didasarkan adanya keinginan kuat dari pembuat undang-undang untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis dan memberikan peringatan kepada semua orang bahwa seseorang dapat dipidana apabila mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan, meskipun pada akhirnya tindak pidana tidak atau belum dilakukan. Jadi, baru pada tahapan niat untuk melakukan perbuatan jahat saja dapat dikenakan pidana.

16. Dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barang siapa yang melanggar larangan tersebut, dikenakan sanksi pidana. Selain itu, perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu. Pemufakatan jahat dapat diartikan bahwa pemufakatan jahat dianggap telah terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan, meskipun pada akhirnya tindak pidana tidak atau belum

(17)

dilakukan. Jadi, baru pada tahap niat untuk melakukan perbuatan jahat saja dapat dikenakan delik.

17. Bahwa terhadap unsur penting yang harus diketahui, yakni adanya dua orang atau lebih adanya kesepakatan dan adanya kehendak untuk melakukan kejahatan. Dengan melihat unsur tersebut, dalam pemufakatan jahat secara teoretis, pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebaiknya melihatnya sebagai perbuatan persiapan.

18. Berdasarkan uraian tersebut, tindakan persiapan sebagaimana syarat pemufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi lebih ringan dari syarat percobaan yang membutuhkan tindakan pelaksanaan. Dengan kata lain, perkataan kejahatan dalam rumusan pemufakatan jahat berupa tindak pidana korupsi, maka sesungguhnya tindak pidana korupsi tersebut tidak terjadi atau belum terjadi, termasuk belum terjadi percobaan menurut pengertian pemufakatan jahat yang demikian mengisyaratkan bahwa pemufakatan jahat pada hakikatnya dilarang percobaan dan dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri. 19. Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, maka unsur pemufakatan

jahat sebagaimana Pasal 15 Undang-Undang PTPK sudah

memenuhi lex certa dan memberikan kepastian hukum,

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4).

V. Petitum.

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili Permohonan Pengujian Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan keputusan sebagai berikut.

1. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tersebut tidak dapat diterima.

2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan.

3. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing.

4. Menyatakan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal

(18)

28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jakarta, 11 April tahun 2016. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Yasonna H. Laoly. Jaksa Agung Republik Indonesia H.M. Prasetyo.

Demikian. Terima kasih. 19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Pak Muhammad Dofir.

Berikutnya keterangan Pemerintah dalam Perkara Nomor 20, saya persilakan.

20. PEMERINTAH: YUNAN HILMY

Mohon izin kami memperkenalkan, Yang Mulia. yang membacakan adalah Ibu Mariam F. Barata Sekretaris Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo.

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Silakan.

22. PEMERINTAH: MARIAM F. BARATA

Keterangan Presiden atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta.

Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini.

1. Nama: Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2. Nama: Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika.

3. Nama: H.M. Prasetyo, Jaksa Agung Republik Indonesia.

Dalam hal ini, baik bersama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah.

Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian konstitusional review ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, selanjutnya

(19)

disebut Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut Undang-Undang Tipikor terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimohonkan oleh Drs. Setya Novanto dalam hal ini memberikan kuasa kepada Muhammad Ainul Syamsu, S.H., M.M., M.H., dan kawan-kawan yang kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Syamsu Hamid & Partners beralamat di Gedung Graha Samali Lantai 2 R.2001 Jalan H. Samali Nomor 31B Kalibata, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon. Sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 17 Februari 2016 dengan Perbaikan Permohonan tanggal 10 Maret 2016.

Selanjutnya, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan

keterangan atas permohonan pengujian Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor sebagai berikut.

I. Pokok Permohonan Pemohon.

Yang Mulia, mohon izin untuk tidak membacakan pokok permohonan karena sudah dianggap dimengerti dan dipahami baik oleh pemerintah maupun oleh Pemohon sendiri. Terima kasih.

II. Kedudukan Hukum/Legal Standing Pemohon.

Sehubungan dengan kedudukan hukum/legal standing Pemohon, menurut Pemerintah, terhadap uraian Pemohon dalam permohonannya yang mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dikarenakan keberlakuan ketentuan a quo yang bersifat multitafsir dan mengakibatkan Pemohon dipanggil oleh kejaksaan berdasarkan hasil rekaman yang menjadi alat bukti sah. Pemerintah berpendapat: 1. Bahwa perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah

tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas keberlakuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor. Selain itu, perlu dipertanyakan, apakah kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik, khusus, atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Dan apakah hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

2. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon, yang menyatakan Surat Perintah Direktur Penyelidikan Jaksa

Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Nomor

(20)

134/F.2/Fd.1/12/2015, tanggal 2 Desember 2015, Nomor Print-135/F.2/Fd.1/01/2016, tanggal 4 Januari 2016 terhadap Pemohon dengan dasar bahwa akibat ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor dianggap telah merugikan hak konstitusional Pemohon, dan karenanya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Menurut Pemerintah, motivasi Pemohon mengajukan permohonan ini semata-mata hanya karena adanya kepentingan pribadi Pemohon, yaitu agar alat bukti elektronik yang menjadikan dasar pemanggilan Pemohon tidak dapat menjadi alat bukti yang sah dalam dugaan pemufakatan jahat. Namun, bukan pada kerugian konstitusionalnya yang dialami. Karena sekalipun jika permohonan Pemohon dikabul ... dikabulkan, tidak sedikit pun dapat menghentikan atau menghambat kejaksan untuk tetap memanggil Pemohon dalam proses penegakan hukum.

3. Bahwa hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemohon adalah menilai apakah seluruh proses penyelidikan telah sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mencerminkan proses peradilan yang baik (due process of law), jika demikian halnya, maka permohonan Pemohon hanyalah merupakan permasalahan penerapan norma undang-undang yang bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas.

4. Bahwa kerugian yang disampaikan Pemohon yang merasa terganggu karena dipanggil oleh Kejaksaan untuk dimintai keterangan, menurut Pemerintah, bukan merupakan kerugian konstitusional, tetapi merupakan kewajiban setiap warga negara untuk memenuhi panggilan dari aparat penegak hukum yang menjalankan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sehingga menurut Pemerintah, amatlah tepat, dan sudah sepatutnya jika Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

III. Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Untuk Diuji.

Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimuat ... dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, perkenankanlah Pemerintah menerangkan hal sebagai berikut.

(21)

Bahwa sistem elektronik digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwujudan, penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut, dan sesuai dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi yang lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya mencakup fungsi input, procces, output, storage, dan communication.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud. Misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataannya, kegiatan cyber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara yang mudah diakses kapan pun dan darimana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.

Kegiatan melalui media sistem elektronik yang disebut juga ruang cyber (cyber space) meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang cyber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensial saja. Sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal

(22)

adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.

2. Landasan Undang-Undang Tipikor.

Sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874 diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat, khususnya mengenai penerapan undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 undang-undang tersebut menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai petunjuk selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,

(23)

suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Selanjutnya, terhadap anggapan Pemohon yang

mendalilkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pemerintah menerangkan sebagai berikut.

1. Terhadap dalil Pemohon yang pada intinya menganggap hak konstitusionalnya terlanggar atas keberlakuan ketentuan a quo yang menurut Pemohon memperluas alat bukti tidak saja dalam lapangan hukum acara pidana, tetapi juga lapangan hukum lainnya seperti perdata. Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut.

a. Bahwa berdasarkan landasan undang-undang a quo, dibentuknya Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor dilandasi oleh maksud dan tujuan yang berbeda. Undang-Undang ITE dilandasi oleh adanya perkembangan teknologi yang semakin pesat, antara lain adanya sistem elektronik yang menimbulkan adanya perbuatan hukum secara elektronik, mengingat informasi elektronik belum terakomodis ... saya ulangi, mengingat informasi elektronik belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik, sehingga diperlukan suatu undang-undang tersendiri untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik. Sedangkan salah satu alasan perubahan Undang-Undang Tipikor adalah karena adanya perluasan alat bukti dalam hal tindak pidana korupsi yang dalam komunikasinya menggunakan sistem elektronik, sehingga ketentuan alat bukti elektronik pada Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor dapat saling memperkuat pembuktian dalam sistem hukum nasional.

b. Berdasarkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, keberadaan ketentuan a quo dimaksudkan untuk mengakomodir perbuatan hukum baru yang memanfaatkan teknologi informasi dalam unsur perbuatannya. Oleh karena itu, ketentuan a quo dinormakan dalam rangka memberikan pengesahan terhadap alat bukti baru yang sah dengan cara memanfaatkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dan sekaligus memperluas alat bukti yang ada dalam ketentuan Pasal 184

(24)

ayat (1) KUHAP dengan tujuan mengantisipasi adanya perbuatan hukum baru tersebut. Perluasan alat bukti sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai upaya preventif dan represif bagi perbuatan hukum baru dalam tindak pidana cyber. Selain itu, perluasan alat bukti dalam ketentuan a quo juga dapat dipergunakan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku tindak pidana dan/atau pelaku perbuatan melawan hukum lainnya yang memanfaatkan teknologi informasi dalam sistem elektronik.

c. Bahwa berdasarkan lex posterior derogat legi priori, perumusan ketentuan a quo adalah bagian dari perluasan norma alat bukti dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dipergunakan dalam proses penanganan perkara tindak pidana baru dengan pemanfaatan teknologi dalam media sistem elektronik, sehingga alat bukti tidak hanya berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa, maupun petunjuk saja, namun termasuk juga informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE sehingga pengaturannya sudah sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori. 2. Terhadap dalil Pemohon yang pada intinya menganggap

bahwa perekaman yang dilakukan secara tidak sah atau ilegal atau tanpa persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman, padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam ruangan tertutup. Pemerintah menjelaskan sebagai berikut.

a. Terkait dalil Pemohon yang mendalilkan perekaman dipersamakan dengan intersepsi atau penyadapan. Pemerintah berpendapat sebagai berikut.

1) Intersepsi/penyadapan merupakan kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi, vide penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang ITE.

2) Salah satu kegiatan dalam intersepsi atau penyadapan adalah melalui perekaman terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain yang apabila dilakukan secara tanpa hak atau melawan

(25)

hukum diancam dengan sanksi pidana, vide Pasal 31 ayat (1) jo Pasal 47 Undang-Undang ITE.

3) Pada hakikatnya, kegiatan intersepsi atau penyadapan adalah dilarang, vide Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang ITE. Namun, untuk kepentingan penegakan hukum, APH dapat melakukan intersepsi

atau penyadapan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan, vide Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang ITE.

b. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE merupakan norma yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik ditetapkan menjadi alat bukti hukum yang sah yang dapat dipergunakan dalam pembuktian semua perkara.

c. Bahwa perekaman yang didalilkan oleh Pemohon dalam perkara a quo pada hakikatnya merupakan kegiatan pendokumentasian dengan objek suatu proses, fakta, keadaan dan/atau kegiatan yang hasilnya menjadi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Hal ini berbeda dengan tindakan merekam yang merupakan salah satu kegiatan dalam intersepsi atau penyadapan karena objek yang direkam dalam intersepsi atau penyadapan adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, vide Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang ITE. Selain itu, intersepsi atau penyadapan hanya dapat dilakukan oleh APH, yang tidak terlibat dalam aktivitas pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut. d. Bahwa dalil Pemohon yang mempersamakan antara

perekaman yang dilakukan secara diam-diam atau tanpa izin dengan hasil intersepsi atau penyadapan adalah keliru. Karena pada prinsipnya, keduanya merupakan hal yang berbeda. Kegiatan perekaman dalam konteks umum yang objeknya dengan objek suatu proses, fakta, keadaan, dan/atau kegiatan, bukan merupakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah bukan merupakan kegiatan intersepsi atau penyadapan. Oleh karenanya, setiap orang dapat melakukan perekaman, namun khusus untuk intersepsi atau penyadapan yang objeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum, dilakukan oleh APH.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil rekaman perkara a quo bukan merupakan hasil intersepsi atau penyadapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat(1) Undang-Undang ITE. Namun hasil rekaman tersebut

(26)

merupakan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang dapat menjadi alat bukti, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b jo Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang ITE. Adapun kekuatan pembuktian dari alat bukti pada umumnya, termasuk alat bukti elektronik terletak pada orisinilitas atau autentisitas alat bukti elektronik dengan memperhatikan selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang ITE juga ketentuan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

3. Terhadap dalil Pemohon yang meminta kepada Majelis Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran bersyarat (conditionally constitutional) ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE. Pemerintah menjelaskan sebagai berikut.

a. Bahwa norma hukum yang dimuat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE bersifat netral dan tunduk kepada hukum pembuktian pada umumnya. Oleh karenanya, suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti dapat dipergunakan dalam pembuktian perkara. Baik dengan cara diperoleh dari hasil perekaman yang terjadi sebelum dilakukan penegakan hukum oleh APH maupun diperoleh pada saat proses penegakan hukum dilakukan, yaitu dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan. Hal ini mengingat karena alat bukti elektronik tersebut pada umumnya telah ada sebelum kejahatan atau perbuatan melawan hukum terjadi dan pada saat kejahatan atau perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan. Alat bukti suatu tindak pidana atau perbuatan melawan hukum bukan atau tidak dipersiapkan untuk atau atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya setelah kejahatan dan perbuatan melawan hukum terjadi.

b. Apabila kaidah undang-undangnya memuat norma tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan a quo, dimaknai sebagaimana petitum Pemohon, hal ini justru akan mempersempit keberlakuan norma informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya. Serta dapat sekaligus melemahkan penegakan hukum dalam melindungi

kepentingan umum. Sebagai konsekuensi dari

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) tersebut, maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diperoleh dari perekaman maupun

(27)

transaksi elektronik yang dilakukan oleh setiap orang, seperti hasilnya rekaman CCTV yang ada di pusat perbelanjaan, hotel, bandara, dan bukti transaksi keuangan melalui ATM tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan karena informasi elektronik atau dokumen elektronik tidak diperoleh berdasarkan permintaan APH.

c. Permohonan konstitusional bersyarat (conditionally

constitutional) tersebut tidak sejalan dengan pengaturan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE yang dimaksudkan untuk menjangkau trend perbuatan hukum baru yang menggunakan sistem elektronik, baik dalam posisi online atau offline yang selama ini belum dapat terjangkau secara maksimal dengan menggunakan alat bukti, sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 KUHAP.

4. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat apabila ketentuan a quo dimaknai sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, maka akan berdampak pada pembuktian terhadap perbuatan hukum yang dilakukan dengan cara yang diatur dalam ketentuan a quo secara keseluruhan dalam kehidupan masyarakat yang memanfaatkan sistem elektronik. Selain itu juga, akan berdampak pada implementasi peraturan perundang-undangan lain, seperti undang-Undang Tipikor, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Narkotika, dan Undang-Undang Perbankan yang mendasari alat bukti elektronik, sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo dalam tindak pidananya. Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan a quo, memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat dalam aktivitasnya yang menggunakan media sistem elektronik, antara lain dalam kegiatan perbankan, perdagangan, dan pendidikan.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah

menyimpulkan bahwa:

1. Norma hukum yang dimuat Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Tipikor telah sesuai dengan norma hukum dasar, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jika ditambahkan persyaratan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan dalam rangka penegakan

(28)

hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya, maka akan berdampak:

a. Melemahkan keberlakuan amanat dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Membatasi dan menghambat APH dalam menggali unsur pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia. Jika harus menunggu dan dibatasi hanya permintaan dari APH guna pemanfaatan informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti. Terlebih pembatasan tersebut akan menyulitkan bagi tindakan hukum yang sifatnya harus disegerakan, seperti tindak pidana terorisme.

2. Ketentuan a quo adalah sebagai perluasan alat bukti yang diatur dalam hukum acara di Indonesia sebagai antisipasi terhadap perbuatan hukum baru yang dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi baru dalam sistem elektronik.

V. Petitum

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian constitutional review ketentuan a quo Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Tipikor terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut.

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).

2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima.

3. Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan.

4. Menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan Ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia kami ucapkan terima kasih. Jakarta, 11 April 2016. Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia: Menteri Komunikasi dan

(29)

Informatika Rudiantara, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly, Jaksa Agung RI H.M. Prasetya.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Ibu, silakan duduk kembali.

Berikutnya, apakah ada hal yang akan ditanyakan kepada Pemerintah? Ada. Ya, silakan, Yang Mulia Pak Patrialis.

24. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua.

Pertama dalam Perkara Nomor 20 dulu tentang masalah ITE ini. Kalau kita simak permohonan Pemohon ini, sebetulnya Pemohon ini tidak keberatan dan tidak membantah sama sekali bahwa barang-barang elektronik atau hasil-hasil yang dihasilkan melalui elektronik sebagai alat bukti yang sah, itu sebetulnya enggak dibantah. Justru malah Pemohon memberikan persetujuan secara utuh terhadap hal itu.

Nah, yang dipersoalkan oleh Pemohon ini antara lain adalah berkenaan dengan perolehan … tata cara perolehan barang-barang elektronik, ya, itu haruslah di … berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kalau itu sudah dinyatakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, berarti kan betul itu, kan?

Jadi, kalau tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan berlaku, ya enggak bisa. Jadi, penekanannya itu berdasar … diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, lebih menekankan pada perspektif formilnya itu betul.

Dan yang kedua, di sini justru malah lebih ditegaskan lagi dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi atau institusi penegak hukum lainnya. Dengan dipenuhinya salah satu atau kedua dari ketiga tersebut, maka informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Ini sangat jelas ya kalau kita baca dalam halaman 26.

Yang menjadi pertanyaan adalah tadi Pemerintah mengatakan antara lain … antara lain yang sempat dicatat bahwa setiap orang dapat melakukan rekaman, ya, walaupun tidak disamakan dengan intersepsi yang disampaikan oleh Pemerintah tadi. Justru di sinilah kegelisahan dari Pemohon.

Pertanyaannya adalah bagaimana kalau setiap orang secara privat, pribadi antarorang, ya, melakukan pembicaraan, kemudian satu sama lain saling merekam. Ini bagaimana kalau kondisi ini dibiarkan? Bagaimana pola hubungan kehidupan antarmasyarakat? Kira-kira gaduh apa enggak? Siapa pun di antara kita. Ini sebetulnya yang digelisahkan bahwa ada pembicaraan yang bersifat privat, gitu.

(30)

Kalau bicara masalah CCTV, bicara masalah radio, seminar, termasuk sidang-sidang, itu kan sudah milik publik, ndak ada masalah itu. Ini yang berkaitan dengan pribadi tadi, privat. Makanya di dalam petitumnya kan sebetulnya juga tidak terlalu jauh dan yang diharapkan itu kalau hasil ini kelihatannya kan untuk seluruh rakyat Indonesia. Kelihatannya di situ, ya. Kalau masalah yang disampaikan oleh Pemerintah tadi semuanya memang betul itu. Enggak mungkin dong kita hasil elektronik ini kita hilangkan. Justru itu sangat penting, perlu, dan berguna dalam rangka penegakan hukum. Tapi dalam negara hukum itu kan ada persyaratannya juga, kan. Termasuk due process of law yang disampaikan tadi. Jadi, harus berdasarkan sistem. Itu bagi Perkara Nomor 20, ya, Bu, ya.

Untuk Perkara Nomor 21, ini Pak Muhammad Dofir, ya. Pak Muhammad Dofir. Ini sekitar yang disampaikan tadi. Tadi juga sudah dijelaskan bahwa permohonannya ini ada kaitannya dengan izin memperpanjang izin PT Freeport ya, Pak, ya, tadi disampaikan.

Pertanyaan kami adalah siapa sih sebetulnya yang berwenang melakukan perpanjangan izin PT Freeport itu? Siapa yang berwenang? Ya, Pak, ya. Apakah bisa orang yang tidak berwenang memperpanjang izin PT Freeport, kemudian mereka bicara tentang masalah itu. Katakanlah, “betul” itu bagaimana? Apa itu juga bagian dari pemufakatan? Ini terkait yang Bapak jelaskan tadi berkaitan dengan delik umum dan delik kualifikasi. Ya, kan? Kan tadi dijelaskan seperti itu, saya catat, ya. Itu pertanyaan yang pertama.

Pertanyaan kedua adalah tadi dijelaskan dua orang atau lebih sepakat, bahkan niat, ya, perbuatan awal pun juga sudah bisa dikualifikasi. Pertanyaannya adalah kalau berkaitan dengan masalah … apa namanya … keamanan negara, ya, itu memang agak sulit kita untuk memberikan kualifikasi kepada seseorang. Tapi kalau berkaitan dengan hal yang berkaitan dengan kerugian yang dialami oleh Pemohon ini, bagaimana kalau di dalam pembicaraan itu ternyata tidak ada kesepakatan? Enggak ada kesepakatan sama sekali untuk melakukan sesuatu. Apakah ini juga masuk penafsiran kategori pemufakatan jahat yang disampaikan tadi? Namanya kan ada pemufakatan, ini enggak ada yang sepakat, gitu.

Itu saja, Pak Ketua, terima kasih. 25. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih, Yang Mulia. Ada lagi? Cukup? Baik.

Saya persilakan kalua memang bisa dijawab sekarang, dijawab sekarang. Tapi kalau tidak bisa memerlukan … apa ... jawaban yang komprehensif, saya persilakan untuk tadi direkam dulu. Dan kalau belum terekam lengkap, nanti Kepaniteraan merekam ini secara lengkap,

(31)

sehingga risalah sidang atau apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Patrialis bisa didengar kembali untuk dijawab secara lengkap.

Saya persilakan dari Pemerintah. 26. PEMERINTAH: YUNAN HILMY

Terima kasih, Yang Mulia. Kami sudah sepakat agar jawaban lebih komprehensif akan kami tambahkan berikutnya. Terima kasih.

27. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih.

Jadi apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Patrialis bisa ditambahkan sebagai keterangan tambahan dari Pemerintah, baik dalam Perkara Nomor 20 maupun 21, ya, supaya bisa pada persidangan yang akan datang sudah dilengkapi.

Sebelum saya akhiri persidangan pada sore hari ini, saya tanya ke Pemohon, apakah Pemohon akan mengajukan ahli atau saksi? Saya persilakan.

28. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU

Ya, terima kasih, Yang Mulia. Kami memang berencana untuk mengajukan ahli.

29. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Berapa ahli yang diajukan?

30. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU 5 atau 6 untuk masing-masing perkara, Yang Mulia. 31. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, baik.

Kalau begitu, begini, kita selesaikan dulu untuk Perkara Nomor 20, ya, 20 besok dua orang, kemudian yang 21 juga 2 orang, ya. Jadi 4 orang pada persidangan yang berikutnya dari ahli dari Pemohon akan kita dengarkan, ya.

32. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU Baik.

(32)

33. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Nanti 2 orang untuk Perkara 20, 2 orang untuk Perkara 21, curriculum vitae-nya supaya disampaikan ke Kepaniteraan, ya.

34. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU Baik, Yang Mulia.

35. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Dari Pemerintah, ada yang akan disampaikan atau cukup? 36. PEMERINTAH: YUNAN HILMY

Dari Pemerintah juga akan mengajukan ahli untuk 20 dan 21. 37. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, nanti pada berikutnya setelah semua ahli dari Pemohon selesai, nanti pemerintah juga diberi kesempatan untuk mengajukan ahli atau saksi, ya. Baik, dari Pemohon cukup, ya?

38. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD AINUL SYAMSU Cukup, Yang Mulia.

39. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sore ini cukup, Pemerintah? 40. PEMERINTAH: YUNAN HILMY

Cukup, Yang Mulia. 41. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Jadi, saya sampaikan bahwa persidangan yang akan datang akan diselenggarakan hari Rabu, 27 April Tahun 2016 pada Pukul 14.00 WIB. Rabu, 27 April 2016 pada Pukul 14.00 WIB dengan agenda untuk mendengarkan keterangan DPR kalau hadir, kemudian dua orang ahli untuk perkara 20 dan dua orang ahli untuk Perkara 21 dari Pemohon.

(33)

Baik, sidang selesai dan ditutup.

Jakarta, 12 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d

Rudy Heryanto

NIP. 19730601 200604 1 004

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

KETUK PALU 3X

Referensi

Dokumen terkait

kursi pakai tangan, sandaran tinggi, sandaran dan dudukan beralas karet atau busa dibungkus imitalisir atau kain bludru warna coklat atau wam a lain yang

Berdasarkan lembar angket yang diberikan kepada MIS. MIS memberikan skor jarang pada permasalahan tentang belajar dia di luar sekolah. dan jika dilihat dari

Pada siklus I pertemuan ke 2 guru mulai mencoba menerapkan metode Tanya jawab pada siswa, dengan penggunaan metode Tanya jawab ini siswa terlihat sudah mulai

Publikasi tersebut diberikan kepada BPS RI, BPS Se Provinsi Kalimantan Selatan dan instansi/dinas/badan Pemerintahan yang ada di Kabupaten Tanah Laut berupa soft

Judul ini diambil dan diteliti karena dilatar belakanggi maraknya remaja sekarang yang kesulitan dan bahkan belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Jika dilihat dari

Tentunya identifikasi dan analisis risiko-risiko bahaya yang mungkin terjadi perlu dilakukan agar risiko-risiko bahaya terhadap aspek keselamatan yang mungkin

Dalam hal pelaksanaan audit atau tugas Iain yang memerlukan keahlian khusus, Internal Audit dapat menggunakan tenaga ahli dari luar Internal Audit baik dari

Sehingga dengan nilai ini maka dapat disimpulkan bahwa E-LKPD sudah efektif serta dapat digunakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran materi bangun ruang sisi lengkung