• Tidak ada hasil yang ditemukan

150513 Policy Brief Perhutanan Sosial ID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "150513 Policy Brief Perhutanan Sosial ID"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Policy Brief

STRATEGI PERCEPATAN PERLUASAN

AKSES KELOLA MASYARAKAT

ATAS KAWASAN HUTAN NEGARA

RINGKASAN

Untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencapai target alokasi 12,7 juta hektar

kawasan hutan untuk skema Perhutanan Sosial, maka diperlukan perubahan cara pikir dari

pembuat kebijakan kehutanan agar tidak menjadikan masyarakat sebagai objek tetapi

subjek. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengevaluasi berbagai

kebijakan terkait perhutanan sosial selama ini baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pemerintah perlu memberikan kepastian wilayah kelola kepada rakyat yang hidup di dalam

dan di sekitar kawasan hutan negara untuk menjamin penghidupan mereka. Ini memerlukan

pengarusutamaan desa serta struktur desa sebagai subyek dari kebijakan perhutanan sosial.

Pemerintah direkomendasikan agar menggunakan skema Kesatuan Pengelola Hutan (KPH)

untuk mengimplementasikan upaya pencapaian kepastian alokasi wilayah kelola rakyat

dalam kawasan hutan negara. KPH dapat berperan penting untuk mendukung upaya ini

karena status kelembagaannya yang berlokasi di tingkat tapak, dan sekaligus terintegrasi

dalam struktur kebijakan dan perencanaan dari tingkat daerah ke tingkat nasional serta

memiliki mandat pengelolaan hutan negara berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Untuk itu diperlukan sejumlah upaya untuk mereformasi dan memperkuat kapasitas KPH

agar dapat berperan efektif dalam memastikan akses masyarakat terhadap kawasan hutan

negara melalui kegiatan pemetaan sosial ekonomi, mengintegrasikan kegiatan

pemberdayaan dan kepastian wilayah kelola rakyat dan KPH yang dikembangkan bersama

masyarakat, memfasilitasi kelembagaan masyarakat serta perizinan untuk menjamin akses

rakyat terhadap sumberdaya hutan.

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

(2)

(Sumber : Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2013, Direktorat Jenderal Planologi) 2009-2013: 892.636 HA

2015-2019: 12.700.000 HA

Pengantar

Salah satu program prioritas Pemerintahan Republik Indonesia saat ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik menjadi salah satu agenda prioritas. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk pengembangan berbagai skema Perhutanan Sosial seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Rakyat (HR) serta Hutan Adat dan lainnya.

Dengan adanya target pemerintah di atas, berarti luas kawasan hutan yang dikelola rakyat akan meningkat drastis sekitar 14 kali lipat dibandingkan angka luasan pada periode pemerintah sebelumnya. (Data Tahun 2009-2013 : 892.636 Ha, Data Tahun 2015-2019 : 12.700.000 Ha)

Ambisi ini tidak mungkin dapat tercapai tanpa adanya suatu strategi kerja yang baru. Strategi ini mensyaratkan perlu adanya perubahan mendasar dalam landasan berpikir dan cara kerja pemerintah dalam konteks memberikan kepastian akses kelola masyarakat atas hutan. Strategi ini perlu dipikirkan secara matang agar: i) manfaat program dinikmati secara nyata oleh rakyat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan; ii) pemberian akses kepada masyarakat perlu dipastikan agar tidak berkontribusi pada bertambah rusaknya fungsi ekologis dari hutan dan lingkungan sekitarnya; iii) ada jaminan bahwa distribusi akses dan kontrol atas lahan mengedepankan prinsip keadilan distribusi dari manfaat lahan dan hutan secara lebih merata dan adil diantara warga masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan termasuk perempuan dan kelompok miskin serta rentan yang kehidupannya tergantung dari lahan dan sumber-sumber hutan, dan iv) berkontribusi secara nyata pada perbaikan dari tata kelola hutan yang menjamin berlangsungnya prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam konteks sosial, ekonomi, dan ekologis tidak hanya untuk hari ini tetapi juga untuk generasi dimasa depan.

Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan tantangan yang tidak mudah ini agar apa yang diamanatkan RPJMN tersebut dapat terwujud? Apa strategi kerja yang sebaiknya dipilih? Apa saja perubahan yang dibutuhkan sebagai konsekuensi untuk melaksanakannya?

Tulisan ini menawarkan strategi yang harus ditempuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam lingkup untuk mempercepat perluasan akses kelola masyarakat atas hutan, khususnya di kawasan yang diklaim sebagai Hutan Negara, di luar lingkup Hutan Adat.i Strategi ini mensyaratkan semua pihak untuk terbuka dengan gagasan baru. Adapun langkah strategis yang diusulkan akan diuraikan sebagai berikut:

Mengubah Cara Berpikir tentang Subyek dari Program dan Kebijakan

Target pemerintah untuk mencapai minimal 12,7 juta hektar kawasan hutan negara untuk

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

kebijakan ini.

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

(3)

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

Selama ini bidang kebijakan kehutanan didominasi oleh tiga doktrin utama : pertama, doktrin yang mengutamakan kayu sebagai unsur utama (timber primacy)", kedua, doktrin "jangka panjang (the long term)" yang dipengaruhi konteks masa tumbuh pohon, dan ketiga "standar mutlak (absolute standard)."ii Doktrin ini awalnya bersumber dari sarjana kehutanan Eropa (dalam hal ini Jerman) yang kemudian diadopsi di Amerika Utara sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Ketiga doktrin tersebut membentuk kerangka dasar kurikulum bagi pendidikan kehutanan dan menjadi dasar landasan hukum kebijakan kehutanan yang diterapkan di banyak negara termasuk di Indonesia.

Doktrin timber primacy menekankan hanya kayulah sebagai hasil utama hutan sehingga hanya barang dan jasa lainnya dari hutan yang merupakan turunan dari kayu sebagai hasil utama yang lebih diprioritaskan dalam pengelolaan hutan. Doktrin ini tidak memberikan opsi adanya beragam manfaat hutan selain kayu maupun beragam paradigma dalam praktek pengelolaan

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda untuk mengelola dan memanfaatkan hutan.

Doktrin kehutanan yang terpusat pada kayu memaksa perlunya waktu jangka panjang dalam praktek pengelolaannya (the long term). Konsekuensinya pendekatan kehutanan dilakukan secara kaku (dan cenderung tidak dinamis) dan enggan untuk mengakomodasi kepentingan sosial lain yang juga terkait dengan hutan. Sarjana kehutanan menginginkan adanya kondisi sosial stabil yang dijamin oleh otoritas sosial serta negara yang kuat serta cenderung mengkriminalisasi siapapun yang tidak sejalan dengan tujuan ini.iii Salah satu sikap konservatif rimbawan yang lain adalah pandangan kritis mereka terhadap demokrasi dan kebebasan (libertarianisme) dan cenderung tidak percaya sifat pluralisme kepentingan. Rimbawan juga cenderung mempertahankan pendekatan kapitalistik dalam pengelolaan hutan.iv

Doktrin absolute standard memberikan gagasan bahwa ilmu kehutanan adalah satu-satunya sumber yang harus diterapkan dalam manajemen pengelolaan hutan. Rimbawan --yang menganggap dirinya memiliki otoritas ilmu mengenai hutan-- menempatkan dirinya sebagai mediator antara hutan dan masyarakat. Landasan manajemen pengelolaan hutan lebih

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 jo. Tanaman, penyelenggaraan HKm, HD dan HTR bertumpu pada inisiatif masyarakat lokal. Peran pemerintah, khususnya pemerintah pusat, cenderung pasif. karena baru akan bergerak jika ada usulan masyarakat yang masuk. Mengharapkan inisiatif dari kelompok masyarakatseperti ini telah terbukti tidak akan dapat mencapai target yang telah dicanangkan sebelumnya.

dengan tidak mempertimbangkan bahwa masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap hutan.v Akibatnya, kebijakan kehutanan cenderung direduksi menjadi silvikultur (menanam dan mengatur tegakan hutan) dan negara diharapkan menggunakan dasar pengetahuan itu sebagai kerangka pembuatan undang-undang. Salah satu rimbawan misalnya berkata: "Silvikultur harus dijadikan dasar hukum."vi

Oleh karenanya, senantiasa terjadi gap antara apa yang dihasilkan dalam pelaksanaan program/kegiatan pemerintah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Situasi demikian itu telah berlangsung dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari pelaksanaan kebijakan dan

peraturan-perundangan yang lebih bertumpu pada logika benar-salah dari sudut pandang ketiga doktrin di atas, tanpa menghiraukan perspektif dan kepentingan masyarakat. Contoh paling aktual adalah tercapainya penetapan kawasan hutan negara sekitar 60% di tahun 2014 dari sebelumnya hanya sekitar 18% di tahun 2001. Akan tapi pencapaian ini tidak

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

(4)

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat

sebagai subjek, yang terjadi adalah standar penetapan kebijakan dan prosedur pelaksanaan bagi pelayanan untuk masyarakat disamakan begitu saja dengan standar untuk usaha/industri besar. Pemerintah tidak juga merasa perlu melakukan tindakan proaktif, hanya sekedar menunggu datangnya permohonan izin. Hal inilah yang menyumbang pada terjadinya ketimpangan yang serius dalam alokasi pemanfaatan hutan yang 97 persennya dinikmati usaha besar sementara rakyat hanya menguasai 3% (lihat Tabel di bawah). Rendahnya respon masyarakat untuk memenuhi prosedur yang ditetapkan pemerintah justru dianggap sebagai hambatan. Hal ini seharusnya perlu dilihat sebagai persoalan yang mesti dijawab dengan mencari dan mengembangkan cara baru yang lebih pas dengan karakteristik masyarakat. Inilah tanggungjawab yang harusnya dijalankan Pemerintah guna memenuhi kewajibannya dalam memberikan pelayanan publik.

Jenis Pemanfaatan

1. Usaha Besar & Kepentingan Umum a. IUPHHK-HA

b. IUPHHK-HTI c. IUPHHK-RE

Total presentase Usaha Besar dan Kepentingan Umum

2. Usaha Kecil dan Masyarakat Lokal/Adat a. Pencadangan HTR

b. Hutan Desa

c. Hutan Kemasyarakatan

Total presentase Usaha Kecil dan Masyarakat Lokal/Adat

Total Keseluruhan Pemanfaatan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Tahun 2013

Sumber : Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2013, Direktorat Jenderal Planologi

Oleh karena itu target pemerintah untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan negara untuk rakyat akan sulit tercapai tanpa adanya perubahan secara mendasar dari

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

perlu berubah menjadi masyarakat sebagai subyek dari program dan kebijakan KLHK. Dengan begitu maka struktur kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, aturan main, pedoman kerja pemerintah saat ini menghadapi tantangan berat untuk sampai pada titik dimana masyarakat diposisikan sebagai subyek.

Menempatkan Desa Sebagai Subyek

Sebagai salah satu konsekuensi logis dari perubahan paradigma yang telah disebutkan pada langkah pertama, program kerja dari Kementerian LHK adalah memberikan kepastian wilayah kelola kepada rakyat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan negara untuk menjamin ketersediaan pangan dan penghidupan keluarga mereka. Wilayah Indonesia yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara bukanlah sebuah ruang kosong dari pemukiman manusia. Data resmi pemerintah sendiri menunjukkan setidaknya ada 18.718 desa di dalam, tepi, dan sekitar kawasan hutan negaravii. Tidak bisa dinegasikan bahwa untuk percepatan perhutanan sosial ini perlu menempatkan desa ini sebagai subjek sentral dari strategi kerja Kementerian LHK ke depan.

Dari sisi aturan negara, hal ini juga berarti strategi kerja dari KLHK ke depan perlu juga mengacu pada berbagai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Desa yang telah diresmikan tahun 2014 yang lalu. Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan desa adalah:

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

(5)

“kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1).

Dalam konteks ini hutan termasuk salah satu aset desa yang juga diatur dalam undang-undang ini (pasal 76 ayat 1). Sehingga skema pengelolaan hutan dalam rangka pemberian kepastian kelola rakyat ke depan seharusnya tidak lagi hanya terbatas pada HD, HKm dan HTR saja. Namun, terbuka skema lain sesuai potensi lokal di desa tersebut.

Langkah ini penting dilakukan dalam upaya untuk menjamin adanya kepastian wilayah kelola masyarakat serta memastikan bahwa masyarakat sebagai warga negara Indonesia yang sah juga memperoleh manfaat yang adil dari pengelolaan hutan yang berada di dalam wilayah mereka.

Menghadirkan Negara di Tingkat Tapak

Dengan menjadikan masyarakat dan desa sebagai subjek yang masuk dalam urusan dari Kementerian LHK, maka perlu ada kejelasan lembaga pengelolaan hutan di tingkat daerah yang dapat memastikan negara hadir untuk melayani masyarakat. Lembaga ini diperlukan agar cara kerja Kementerian LHK di masa lalu yang cenderung pasif untuk melayani rakyat dapat diubah menjadi lebih pro-aktif. Untuk dapat bekerja secara pro-aktif diperlukan kelembagaan tingkat daerah yang berperan untuk memfasilitasi kegiatan pendataaan sosial, ekonomi, serta penyelesaian berbagai persoalan lainnya terkait dengan masyarakat dan pengelolaan hutan. Selain memastikan program kerja Kementerian LHK ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat, lembaga ini juga bertugas untuk memastikan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dapat berlangsung dengan baik termasuk memastikan agar fungsi hutan dapat terjaga serta pola pemanfaatan alam yang lestari dapat berlangsung. Lembaga ini juga harus dapat berperan dalam memastikan bahwa proses pengajuan izin dapat berlangsung secara transparan, tepat sasaran, dan memastikan proses pendampingan yang tepat untuk masyarakat setelah izin telah diperoleh. Lembaga ini sebaiknya bukan lembaga ad hoc yang bersifat semntara, dan tidak memiliki struktur yang jelas baik dengan Kementerian LHK di tingkat pusat maupun dengan struktur pemerintah di daerah. Lembaga ini haruslah masuk dalam bagian dari struktur perencanaan kelembagaan di pusat maupun di daerah yang telah ada agar dapat dipastikan sumber pandanaannya dan kewenangannya dalam aturan pemerintah dan perundang-undangan Agar keberlangsungan perannya terjamin, lembaga ini juga diakui dalam dokumen perencanaan pemerintah seperti RPJMN dan RPJMD.

Atas dasar alasan tersebut di atas, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) layak dipertimbangkan sebagai lembaga di tingkat daerah yang memastikan negara hadir melayani masyarakat di dalam dan sekitar hutan.Dari sisi regulasi, berdasarkan Undang-undang Kehutanan No 41/1999, KPH adalah unit pengelolaan hutan yang berada di tingkat kabupaten dan provinsi (pasal 17). Selain itu, dari sisi anggaran dan program, pengembangan infrastruktur kelembagaan KPH ini telah masuk dalam salah program RPJMN. Hingga tahun 2014 telah terbangun 80 KPH Produksi, 40 KPH Lindung dan 50 KPH Konservasi. Ke depan, berdasarkan RPJMN 2015-2019 akan dibangun total sebanyak 600 KPH di seluruh Indonesia. Semua fungsi pengelolaan hutan akan berada dalam pengelolaan KPH mulai dari perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan hutan dan konservasi termasuk pula didalamnya fungsi pelayanan kepada masyarakat untuk pemanfaatan sumberdaya hutan. Oleh karena itu tidak terlalu berlebihan untuk mendayagunakan KPH sebagai salah satu lembaga yang bertanggungjawab agar masyarakat yang berada dalam wilayah pengelolaannya mendapatkan akses yang cukup dan kepastian yang memadai atas wilayah kelola hutan di sekitar mereka untuk tujuan beragam seperti pangan, agroforestry, usaha jasa lingkungan lainnya. Tidak semua kegiatan masyarakat ini diarahkan harus bermitra dengan pihak lain.

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

(6)

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

Dengan kata lain, sebagai upaya untuk menghadirkan negara di tingkat tapak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sejogjanya berfungsi untuk mengalokasi ruang secara lebih akurat sesuai dengan pontensi dan kondisi sosial dan budaya yang riil di lapangan. KPH sebagai institusi di tingkat tapak juga seharusnya berperan dalam memfasilitasi dan memberikan layanan kepada masyarakat lokal agar memastikan mereka memiliki hak kelola yang pasti dan memadai untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. KPH juga selayaknya berperan sebagai

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

dilapangan dapat segera ditangani oleh pemerintah dan tidak melakukan pembiaran yang berlarut yang mengakibatkan masalah tersebut makin komplek dan meluas yang tidak segera terselesaikan (unsolved problem). KPH sebagai wakil pemerintah selayaknya hadir secara nyata untuk rakyat. Prioritas untuk berinvestasi selayaknya diberikan kepada rakyat yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Dalam konteks tertentu, KPH dapat juga memfasilitasi memasarkan hasil produksi dari rakyat setempat. Untuk itu tentunya KPH harus didukung dengan ketersedian tenaga terampil termasuk penyuluh yang handal. Dalam menjalankan fungsinya ini, mestinya terbuka peluang KPH bermitra dengan Organisasi Masyarakat Sipil/LSM yang memiliki kapasitas maupun dengan perguruan tinggi yang ada.

KPH dengan visi dan misi serta program yang jelas untuk pelayanan masyarakat seperti di atas saat ini belum sepenuhnya ada. Pengarusutamaan pemikiran tentang pengembangan KPH saat ini juga belum juga mengarah ke sana. Oleh karenanya perlu dilakukan evaluasi dan revisi mendasar terhadap pengembangan kelembagaan KPH agar memiliki program kerja dan paradigma yang jelas untuk melayani rakyat. Apabila KPH hadir dengan misi yang jelas untuk melayani rakyat maka masyarakat akan merasakan kehadiran negara ditengah-tengah mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menempatkan masyarakat sebagai subyek/pelaku utama berbasis administrasi desa dengan bingkai KPH sebagai unit manajemen hutan yang hadir dilapangan adalah salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan secara serius. Dengan strategi ini diharapkan program pemerintah untuk meningkatkan sedikitnya 12,7 hektar kawasan hutan untuk wilayah kelola rakyat dapat tercapai.

Rekomendasi

1. Perlu menggalang terus-menerus perubahan dalam pola pikir dan pola kerja melalui berbagai tingkat kepemimpinan di dalam Kementerian LHK

2. Perlu ditetapkan dan diterapkan ukuran kinerja baru yang menginternalisasikan kebutuhan dan kepuasan masyarakat didalamnya

3. Perlu digali informasi yang akurat terkait kondisi dan karakteristik masyarakat di desa-desa di dalam dan disekitar hutan dan mengiintegrasikan informasi ini ke dalam statistik kehutanan pusat dan daerah sebagai bentuk dari visualisasi masyarakat sebagai subyek agar diperolehpemahaman akan perubahan kondisinya dari waktu ke waktu.

4. Dikarenakan tidak ada peraturan-perundangan yang sempurna dan sesuai dengan kondisi di lapangan, maka perlu dikembangkan strategi kerja baru dimana pejabat di lapangan (street level bureaucracy) diperkenankan pada tingkat tertentu melakukan penyesuaian (diskresi) kegiatan sesuai dengan kondisi di lapangan setempat dengan disukung data dan analisa lapangan yang kuat sebagai tolok ukur yang menjadi dasar kebenarannya.

5. Mengevaluasi praktek dan kebijakan masa lalu terkait dengan relasi Kementerian LHK dengan Pemerintah Daerah setempat serta Kementerian lainnya untuk mendiagnosa akar masalah. Hasil ini diperlukan untuk menyusun langkah strategis dan terobosan yang penting dilakukan untuk membangun strategi kerjasama dan koordinasi yang efektif dan implementatif yang tidak berhenti di atas kertas atau di meja pertemuan belaka.

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

(7)

rakyat tidak mungkin dicapai tanpa dimulai dari perubahan cara berfikir tentang subyek dari

hutan. Doktrin ini juga menafikan kenyataan bahwa ada beragam pelaku/aktor yang memiliki

didasarkan pada membuat klasifikasi fungsi hutan yang mengikuti doktrin-doktrin di atas

menyelesaikan klaim/konflik di dalam kawasan hutan. Dengan tidak menempatkan masyarakat

cara berfikir. Hal ini berarti cara berfikir yang awalnya menempatkan masyarakat sekedar obyek

mediator dalam penyelesaian permasalahan konflik tenurial sehingga berbagai permasalahan

6. Perlu mempertimbangkan beragam potensi lokal dalam strategi meningkatkan akses bagi wilayah kelola masyarakat. Oleh karena itu skema nya tidak hanya dibatasi pada HKM, HD, HTR semata.

7. Perlu merevisi sejumlah kebijakan, antara lain UU 23 Tahun 2014, untuk memastikan cukup dekatnya kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat dilapangan.

8. Perlu mereformasi KPH secara fundamental, agar dapat dipastikan KPH menjalankan berbagai program dan kegiatan sebagai berikut:

a. Mengalokasikan akses masyarakat terhadap kawasan hutan yang dimasukkan ke dalam proses tata hutan dan rencana pengelolaan hutan di KPH sesuai dengan PP 6/2007 Jo PP 3/2008.

b. Memastikan pelaksanaan alokasi akses masyarakat oleh KPH di Rencana Pengelolaan KPH sesuai PP 6/2007 Jo PP 3/2008 pasal 83

c. Melaksanakan inventarisasi sosial ekonomi dan budaya bersama masyarakat

dalam rangka mengidentifikasi wilayah untuk akses masyarakat melalui

mekanisme zonasi/blok pemberdayaan di KPH melalui skema izin HD, HKM, HTR dan Kemitraan dengan KPH maupun skema lainnya sesuai dengan potensi setempat.

d. Merevisi peraturan tentang NSPK pengelolaan hutan di KPHP dan KPHL agar disebutkan secara eksplisit tentang pasal alokasi akses masyarakat di dalam pengelolaan hutan oleh KPH.

e. Memetakan wilayah kelola mayarakat bersama para pihak terkait dalam penyusunan penataan hutan dan rencana pengelolaan hutan sehingga kepastian akses masyarakat terjamin dalam pengelolaan KPH

f. Menyusun rencana dan pelaksanaan pengelolaan hutan dengan melibatkan para pihak di wilayah KPH terutama masyarakat lokal dan masyarakat adat. g. Memfasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat, yang dituangkan dalam

rencana pengelolaan KPH

h. Membuka akses pasar terhadap produk yang dihasilkan oleh pemanfaatan masyarakat di kawasan hutan.

i. Mendampingi proses perizinan terkait kepastian akses kelola masyarakat di kawasan hutan.

Daftar Pustaka

Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan – Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan – Kementerian Kehutanan. 2014. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Glück, P. 1987. Social Values in Forestry.

Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. 2013. Identifikasi Desa di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan dalam rangka Survei Kehutanan (SKH) 2014. Jakarta: Kementerian Kehutanan dan BPS.

RPJMN 2015-2019 Task Force. 2015.

i Penegasan ini sejak awal perlu dilakukan, mengingat Hutan Adat tidak dapat terlepas dari putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang

memberi pengertian bahwa status hutan adat tidak lagi berada di dalam kawasan hutan negara. Sementara, sampai dengan saat ini, posisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menggunakan Peraturan Daerah (Perda) sebagai instrumen pengakuan hutan adat. Hal ini menjadi perdebatan yang belum selesai, mengingat kepentingan politik di daerah juga serupa dengan di pusat, lebih mementingkan pelayanan perizinan perusahaan besar daripada memastikan ruang hidup masyarakat. Sehingga dibutuhkan satu tulisan tersendiri yang menawarkan strategi terkait perluasan akses rakyat untuk kelola hutan dalam konteks Hutan Adat.

ii Glück, P. 1987. Social values in forestry. Ambio, 16(2/3):pp. 158-160. iii Kalaora, B. 1981 dan Pleschberger, W. 1981 dalam Gluck 1987. iv Pleschberger, W. 1981 dalam Gluck 1987.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Media pembelajaran adalah “Sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif

Gambar 5.8 Hubungan antara expected profit dengan mark up menggunakan multi distribusi normal untuk model Ackoff & Sasieni .... 87 Gambar 5.9 Hubungan antara

C++ adalah bahasa pemrograman komputer yang di buat oleh (Bjarne Stroustrup) merupakan perkembangan dari bahasa C dikembangkan di Bell Labs (Dennis Ritchie) pada

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019, Agenda prioritas pembangunan nasional sebagai penjabaran operasional dari Nawa Cita yang

[(c) Suatu cip TLD dengan ketebalan 0.5 mm digunakan untuk menentukan dos terserap dalam air akibat suatu sumber gamma Co-60.. (i) Bolehkan teorem rongga Bragg-Gray cavity

Habermas untuk meningkatkan kesadaran sejarah siswa kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang dalam pelaksanaannya ditemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh guru

Hal ini sangat berkaitan bagaimana dengan cara anggota HmC membentuk kesamaan persepsi di dalam kelompoknya, image yang ingin dibentuk oleh kelompok ini adalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam menyelesaikan persamaan diferensial biasa pada masalah nilai batas terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu; metode