DILAKUKAN ANAK
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn)
SKRIPSI
Oleh :
Ria Nuris Samawati
NIM. C53212074
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Siyasah Jinayah
Surabaya
DILAKUKAN ANAK
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn)
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Fakultas Syariah dan Hukum
Oleh :
Ria Nuris Samawati
NIM. C53212074
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam
Program Studi Siyasah Jinayah
Surabaya
vii
Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn) adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang, 1) Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak. 2) Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dan dengan pola fikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus dan dianalisis menurut hukum pidana Islam.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn tentang tindak pidana Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Anak telah ditetapkan sesuai pertimbangan hakim ada yang memberatkan dan yang meringankan. Pertimbangan yang memberatkan seperti terdakwa tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM) dan terdakwa belum cukup umur untuk mengendarai kendaraan bermotor. Sedangkan hal-hal yang meringankan adalah terdakwa dan keluarga korban telah melakukan perdamaian, terdakwa bersikap sopan dan berterus terang dipersidangan, terdakwa masih anak-anak dan masih sekolah serta terdakwa belum pernah dihukum. Dalam pertimbangan tersebut maka hakim telah menerapkan Undang-undang Perlindungan Anak di Pengadilan Negeri Bojonegoro. Sedangkan dalam hukum pidana Islam terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran lalu lintas adalah hukuman ta’zi>r. Hukuman ta’zi>r
diberikan dalam rangka memberikan pendidikan dan pengarahan kepada kemaslahatan pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
x
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Kegunaan Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR . 22 A. Pelanggaran dalam Hukum Pidana Islam ... 22
B. Jari>mah Ta’zi>r> ... 24
C. Kedudukan Anak dalam Hukum Pidana Islam ... 29
D. Pertanggung jawaban Pidana dalam Islam ... 31
xi
YANG DILAKUKAN ANAK ... 49
A. Deskripsi Pengadilan Negeri Bojonegoro ... 49
B. Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Anak ... 50
C. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Anak ... 57
D. Penjatuhan Sanksi dalam Pidana Anak ... 62
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM TENTANG PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK ... 64
A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn tentang Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Anak ... 64
B. Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn tentang Pelanggaran Lalu Lintas yang Dilakukan Anak dalam Prespektif Hukum Pidana Islam ... 69
BAB V PENUTUP... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran... 74
1
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman modern, masyarakat tidak terlepas dari yang namanya lalu
lintas atau alat transportasi dan menempatkan transportasi sebagai kebutuhan
yang penting baik di tingkat nasional, regional dan lokal. Oleh karena itu,
kecelakaan dalam dunia transportasi memiliki dampak signifikan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat bukan hanya orang dewasa tetapi
anak.
Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul
tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental
maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan
serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-hak serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.1
Sebagaimana diterangkan dalam Firman Allah:
Artinya : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS: Al-Kahfi ayat 46).2
Bertalian dengan konteks di atas, dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara, Bab IV Huruf F bagian Sosial dan Budaya, angka 4 huruf (c), Khusus
Pemuda dan Olahraga ditegaskan:
Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan untuk mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan segenap potensi, bakat, dan minat dengan memberikan kesempatan dan kebebasan mengorganisasikan dirinya secara bebas dan merdeka sebagai wahana pendewasaan untuk menjadi pemimpin bangsa yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, patriotis, demokratis, mandiri, dan tanggap terhadap aspirasi rakyat.3
Di Indonesia anak begitu berharga, namun Indonesia tetaplah negara
hukum yang menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan kedaulatan
hukum dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum. Banyak dijumpai
permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran tata tertib masyarakat dari
yang ringan hingga berat, setiap pelanggaran pasti ada akibatnya berupa
penjatuhan sanksi. Pelanggaran yang dimaksud disini adalah perbuatan yang
dilarang oleh Undang-undang seperti pengendara yang tidak memiliki Surat
Izin Mengemudi (SIM), pengendara dalam hal ini adalah anak-anak.
Permasalahan ini sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat bahkan sudah
membudaya, sehingga setiap dilakukan operasi tertib lalu lintas di jalan raya
yang dilakukan oleh polisi lalu lintas (Polantas), pasti banyak terjaring kasus
pelanggaran lalu lintas, apalagi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh
anak.
2 Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahan, (Surabaya: Mega Jaya
Abadi), 238.
3 UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen & GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara),
Pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak tersebut bisa
dikatakan menjadi penyebab tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan
raya dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh
Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) dinilai menjadi
pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan
tuberculosis/TBC. Data WHO tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67 persen
korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif, yakni 22-50 tahun.
Terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di
jalan raya, dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja
setiap harinya. Bahkan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama
kematian anak-anak di dunia, dengan rentang usia 10-24 tahun.4 Namun yang
mencengangkan, Indonesia justru menempati urutan pertama peningkatan
kecelakaan menurut data Global Status Report on Road Safety yang
dikeluarkan WHO. Indonesia dilaporkan mengalami kenaikan jumlah
kecelakaan lalu lintas hingga lebih dari 80 persen. Di Indonesia, jumlah
korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 120 jiwa per harinya.5
Misalnya yang terjadi pada bulan September 2013, kasus kecelakaan maut di
jalan tol Jagorawi yang melibat-kan anak musisi Ahmad Dhani, Abdul Qadir
Jaelani (Dul) menyisakan cerita yang berimbas pada banyak hal terutama
masalah kasus pidana anak, seperti yang diketahui dalam kecelakan tersebut
4Badan Intelejen Negara, “Kecelakaan Lalu Lintas Menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga”,dalam
http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga, Diakses pada 17 April 2015.
5Mahaka Group, “Survei Kecelakaan Lalu Lintas di Seluruh Dunia: Orang-orang yang Mati
dalam Diam”, dalam
menewaskan 7 orang.6
Untuk menentukan perbuatan anak tersebut memenuhi unsur tindak
pidana atau tidak, dapat dilihat minimal melalui tiga visi:7
1. Subjek, artinya apakah anak tersebut memiliki kemampuan bertanggung
jawab terhadap apa yang telah dilakukan? Kemampuan disini juga bisa
diartikan kemampuan untuk membedakan dan menentukan mana baik
dan buruk dalam melakukan perbuatan melanggar hukum adalah
tindakan yang menyangkut aspek moral dan kejiwaan. Tanpa memiliki
kekuatan moral dan kejiwaan ini, seseorang tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum atas tindakan yang dilakukan.
2. Adanya unsur kesalahan, artinya apakah benar anak itu telah melakukan
perbuatan yang dapat dipidana atau dilarang oleh Undang-undang. Hal
ini diperlukan untuk menghindari asa Geen Straf Zonder Schuld (tidak
ada pidana, jika tidak ada kesalahan).
3. Keakurasian alat bukti yang diajukan penuntut umum dan terdakwa
untuk membuktikan kebenaran surat dakwaan. Alat bukti ini minimal
harus ada dua jika tidak terpenuhi terdakma tidak dapat dipidana (pasal
184 KUHAP).
Pelanggaran disini berkenaan dengan kelalaian. Kelalaian biasanya
disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan. Kelalaian/
kealpaan disini bisa disebut dengan culpa. Kealpaan adalah suatu struktur
6 Liputan 6, “Kronologi Kecelakaan Lancer Maut Versi Dul”, dalam
http://news.liputan6.com/read/726995/kronologi-kecelakaan-lancer-maut-versi-dul, Diakses pada 17 september 2015.
yang sangat berbeda, dia mengandung suatu pihak kekeliruan dalam
perbuatan lahir dan menunjuk adanya keadaan batin tertentu.8 Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 359 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Barang siapa
karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun”.
Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP itu dapat
diketahui, bahwa bagi meninggalnya seseorang itu Undang-undang telah
mensyaratkan adanya unsur schuld atau culpa pada diri pelaku. Dengan
demikian, maka schuld dapat meliputi beberapa hal di dalam rumusan suatu
delik, masing-masing yakni perilaku-perilaku orang (baik itu merupakan
perilaku untuk melakukan sesuatu maupun perilaku untuk tidak melakukan
sesuatu), akibat-akibat yang tidak dikehendaki timbulnya oleh
Undang-undang dan unsur-unsur selebihnya dari delik.9
Sementara pelanggaran lalu lintas termasuk dalam ruang lingkup hukum
pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 sebagai
pengganti Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Secara aturan hukum, setiap orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM)
sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.10
Ketika dalam kasus diatas yang melakukan pelanggaran lalu lintas
8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), 200.
9 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 221.
pelakunya adalah anak yang mengendarai sepeda motor ke sekolah tanpa
memiliki SIM, maka ia dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 281
Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi: “Setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin
Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.
1.000.000., (satu juta rupiah).”11 Pidana kurungan dan denda dalam Pasal 281
Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut berlaku untuk
orang dewasa.
Apabila ada anak yang melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai
Anak Nakal menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang mana terdapat ancaman pidana denda di dalamnya, maka pidana
denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak adalah 1/2
(satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Pengadilan Anak.
Maka pidana denda yang dijatuhkan kepada anak yang berkendara tanpa
memiliki SIM adalah paling banyak ½ dari Rp. 1.000.000., yakni sebesar Rp.
500.000.12
Sedangkan dalam hukum Islam kasus kecelakaan tersebut masuk dalam
kategori jarimah pembunuhan karena kesalahan disebut juga pembunuhan
tidak sengaja atau kelalaian. Pembunuhan karena kesalahan adalah
pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum, baik dalam
perbuatannya maupun objeknya.13 Hukuman bagi pembunuhan karena
kesalahan sama dengan hukuman pembunuhan menyerupai sengaja, yaitu
hukuman diat yaitu pembunuh memberikan kompensasi kepada pihak
keluarga korban senilai dengan 100 unta atau 200 ekor sapi atau 1000 ekor
kambing jika hukuman diat oleh pelaku pembunuh merasa tidak mampu,
maka dikenakan hukuman kafarat yaitu dapat memerdekakan hamba yang
mukmin, jika tidak mampu maka diganti dengan berpuasa dua bulan
berturut-turut, atau hakim bisa menjatuhkan hukuman takzir berdasarkan
kemaslahatan, tetapi unsur pemaaf dari keluarga korban juga dapat
menentukan apakah dihukum atau dibebaskan.
Adapun unsur pembunuhan kesalahan ada 3 yaitu adanya perbuatan
yang menyebabkan kematian, terjadinya perbuatan itu karena kesalahan dan
adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian
korban.14
Ada beberapa kemungkinan suatu pembunuhan dapat dikategorikan
sebagai pembunuhan kesalahan yaitu:15
1. Pelaku melakukan suatu aktivitas tertentu yang sama sekali tidak ada
maksud untuk membunuh orang lain, akan tetapi perbuatannya
menyebabkan kematian orang lain.
2. Pelaku bermaksud membunuh seseorang yang disangkanya orang yang
13 Wahbah al-Zuhali, al-Fiqh al-Isla>mi wa> Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989),
223.
14 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997), 134.
15 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),
disangkanya orang yang tidak terpelihara darahnya.
3. Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu,
akan tetapi di luar kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.
4. Pelaku bermaksud membunuh orang yang terpelihara darahnya, akan
tetapi mengenai orang lain yang terpelihara darahnya pula.
5. Pelaku membuat suatu sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan
untuk mencelakakan orang lain, tetapi karena pelanggarannya pada
akhirnya menyebabkan kematian orang lain.
Sebab-sebab yang dapat menghapuskan hukuman berkaitan dengan
keadaan diri pembuat adalah paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.16
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, yaitu mengenai tindak
pidana karena pelanggaran mengemudi kendaraan bermotor mengakibatkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan orang lain meninggal
dunia dengan pelaku anak, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
di Pengadilan Negeri Bojonegoro.
Perbedaan usia dalam pemidanaan atau pemberian hukuman tindak
pidana yang dilakukan anak menurut Undang-undang yang berlaku serta
hukum Islam menjadi alasan dalam penulisan ini, sekaligus pertimbangan
hukum hakim yang digunakan dalam memutuskan perkara tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak. Itulah yang menarik perhatian
peneliti serta menjadi alasan bagi peneliti untuk menulis judul “Analisis
Hukum Pidana Islam terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas yang
Dilakukan Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn)
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pelanggaran
lalu lintas yang dilakukan anak.
2. Deskripsi kasus tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan
anak umur menurut hukum pidana Islam.
3. Tanggung jawab orang tua terhadap terjadinya tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
4. Sanksi pidana terhadap anak yang terlibat kecelakaan sehingga
mengakibatkan korban meninggal dunia dalam perspektif hukum
positif.
5. Pertimbangan hakim dalam putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn
terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
6. Analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam
putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
Melihat luasnya pembahasan analisis hukum pidana Islam terhadap
pelanggaran lalu lintas dengan pelaku anak di lembaga pemasyarakatan
dibatasi dengan:
1. Pertimbangan hakim dalam putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn
terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
2. Analisis hukum pidana Islam terhadap Pertimbangan hakim dalam
putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
C. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis , maka permasalahan yang hendak dikaji dirumuskan
dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan anak?
2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
dalam putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak
pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penelitian yang
sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian penelitian yang telah ada.17
Sanksi Pidana Bagi Pengemudi yang Terlibat Kecelakaan Lalu Lintas
Sehingga Korban Meninggal Dunia Menurut KUHP pasal 359 jo. pasal 310
Undang-undang No. 22 Tahun 2009 dalam Perspektif Fikih Jinayah. Yang
ditulis M. Bustanul Arifin jurusan SJ (Siyasah Jinayah) UIN Sunan Ampel
Surabaya, Tahun 2013. Karyanya memuat tentang sanksi pidana bagi
pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas sehingga menyebabkan korban
meninggal dunia menurut KUHP pasal 359 jo pasal 310 Undang-undang No. 22
Tahun 2009 dan fikih jinayah.18
Tinjauan Fikih Jinayah terhadap Penerapan Undang-undang No. 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 310 di PN
Lamongan (Studi putusan No. 299/pid.B/2012/PN.Lmg Perihal
Mengemudikan Kendaraan Bermotor yang Karena Pelanggarannya
Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia). Yang ditulis Bidayatul
Masruroh Jurusan SJ (Siyasah Jinayah) UIN Sunan Ampel Surabaya, Tahun
2014. Karyanya memuat tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap
Penerapan Pasal 310 KUHP dalam perkara kecelakaan lalu lintas di PN
Lamongan, dari studi kasus yang diambil karena pelanggarannya
mengendarai mobil dalam keadaan mengantuk sehingga menyebabkan 1
orang meninggal dunia dan 5 orang mengalami luka-luka dan dalam
putusannya majlis hakim memutuskan 6 bulan dari tuntutan JPU 6 tahun
penjara dan denda maksimal 12.000.000.00 (dua belas juta rupiah).19
18 M. Bustanul Arifin, “Sanksi Pidana Bagi Pengemudi yang Terlibat Kecelakaan Lalu Lintas
Sehingga Korban Meninggal Dunia Menurut KUHP pasal 359 jo. pasal 310 UU No. 22 Tahun
2009 dalam Perspektif Fikih Jinayah”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013).
19 Bidayatul Masruroh, “Tinjauan Fikih Jinayah terhadap Penerapan UU No. 22 Tahun 2009
Hukuman Pengemudi di bawah Umur dalam Undang-undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Perspektif Hukum
Islam. Yang ditulis Moch. Nizar Arif Yuwana jurusan Hukum Publik Islam
UIN Sunan Ampel Surabaya, Tahun 2015. Karyanya memuat tentang
hukuman bagi pengemudi di bawah umur dalam Undang-undang No. 22 tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan analisis hukum pidana Islam
terhadap pengemudi di bawah umur dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.20
Dari beberapa karya tulis tersebut telah banyak memberikan inspirasi
dan kontribusi besar terhadap penulis skripsi ini, Namun berbeda dengan
yang akan penulis teliti. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji
Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan {Pengadilan Negeri
Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn tentang pelanggaran lalulintas
yang dilakukan oleh anak dan bagaimana pandangan hukum pidana Islam
terhadap putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn tentang pelanggaran lalulintas yang dilakukan oleh anak
objek dalam kasus tersebut adalah anak-anak, sedangkan subjeknya juga
anak-anak.
E. Tujuan
Tujuan penelitian yang hendak dicapai sejalan dengan
Pelanggarannya Mengakibatkan Orang Lain Meninggal Dunia)”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel
Surabaya, 2014).
20 Moch. Nizar Arif Yuwana, “Hukuman Pengemudi di bawah Umur dalam Undang-undang
pertanyaan di atas tadi adalah:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No.24/Pid.Sus-Anak/
2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang
dilakukan anak.
2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
dalam putusan No.24/PID.Sus-Anak/2014/PN.BJN terhadap tindak
pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sekurang-kurangnya untuk:
1. Aspek Keilmuan (Teoritis)
Hasil studi ini menambah dan memperkaya khazanah keilmuan,
khususnya tentang putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro terhadap
tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan bagi peneliti berikutnya, dapat
digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian yang berkaitan
dengan tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
2. Aspek Terapan (Praktis)
Hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi bagi
masyarakat tentang betapa pentingnya perlindungan terhadap anak dari
segala kekerasan terutama pelanggaran lalu lintas, dan dapat
dimanfaat-kan sebagai bahan pertimbangan, penyuluhan khususnya bagi penegak
umumnya.
G. Definisi Operasional
Adapun untuk mempermudah gambaran yang jelas dan konkrit tentang
permasalahan yang terkandung dalam konsep penelitian ini, maka perlu
dijelaskan makna yang terdapat dalam penelitian ini, sehingga secara
operasional tidak ada kendala terjadinya perbedaan pemahaman yang
menyangut hal-hal yang dibahas. “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap
Pelanggaran Lalu Lintas Menyebabkan Kematian yang Dilakukan Anak
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn)” definisi operasional dari judul tersebut adalah:
Analisis hukum pidana Islam: Analisis dari ketentuan-ketentuan hukum
pidana Islam (hukum yang mengatur
perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan dapat
menimbulkan hukuman ta’zi>r)21, serta
nilai-nilai keadilan yang menyangkut tentang
putusan hakim. Lingkup hukum Islam yang
dipakai untuk meninjau atau menilai, yaitu
aspek keadilan yang ditimbulkan dari
putusan, sebagai konsekuensi pemberian
hukuman pada pelaku pelanggaran lalu lintas.
Tindak pidana pelanggaran lalu lintas: perbuatan yang kurang berhati-hati
dan kurang perhatian terhadap akibat yang
mungkin timbul, yaitu kecelakaan lalu lintas
yang terdapat dalam putusan
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn
Anak menurut undang No. 35 Tahun 2014 perubahan atas
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak: Seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.22 Dalam
penulisan ini yang dimaksud anak adalah anak
berusia 12 tahun yang telah melanggar yang
terdapat dalam putusan
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian sendiri berarti sarana yang
dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta
mengembangkan ilmu pengetahuan.23
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat adalah studi putusan, maka
jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan (Library
Research). Penelitian kepustakaan adalah salah satu bentuk metodologi
penelitian yang menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi.
1. Data yang dikumpulkan
Data tentang kasus terjadinya tindak pidana pelanggaran lalu
lintas yang dilakukan anak serta isi putusan dengan
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn dan juga ketentuan pidana Islam terhadap sanksi
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
2. Sumber Data
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data24, yaitu: Salinan
putusan pengadilan negeri Bojonegoro
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak.
b. Sumber sekunder
Semua publikasi tentang hukum yang merupakan
dokumentasi yang tidak resmi. Publikasi tersebut merupakan
petunjuk atau penjelasan mengenai sumber hukum primer atau
sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, jurnal, surat
kabar, dan sebagainya.25 Diantaranya:
24 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010),
225.
1) M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan
Pembahasan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
2) Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak, (Bandung: P.T. Alumni,
2014).
3) A. Djazuli, Fiqh jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
dalam Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997).
4) Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah
(Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Jakarta: Pustaka Bani
Quraisy, 2004).
5) Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2003).
6)
Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani, Hukum PidanaIslam Fiqh Jinayah Dilengkapi dengan Kajian Hukum Pidana
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013).
7)
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum PidanaIslam, Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah record dan
dokumentasi. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun
atau menyajikan akunting.26 Penulis menggunakan teknik record yaitu
dalam hal menghimpun data melalui dokumen putusan pengadilan
negeri Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn serta data-data
tentang contoh kasus dalam penulisan ini. Dan dokumentasi adalah
menghimpun data-data yang menjadi kebutuhan penelitian dari
berbagai dokumen yang ada baik berupa buku, artikel, koran dan
lainnya sebagai data penelitian.27
Dalam hal ini, teknik dokumentasi penulis gunakan untuk
melengkapi data-data dari buku, artikel, jurnal dan sebagainya yang
berkaitan dengan analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana
penggantian narapidana di lembaga pemasyarakatan. Karena kategori
penelitian ini adalah literatur, maka teknik pengumpulan datanya
diselaraskan dengan sifat penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul kemudian dianalisis dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang
telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kevalidan,
kejelasan makna, keselarasan dan kesesuaian antara data primer
maupun data sekunder.28 Yaitu analisis antara hukum pidana Islam
terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas dilakukan anak di-
26 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),
216.
27 Ibid., 217.
bawah umur (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro No.
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn).
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang
telah diperoleh.29 Yaitu analisis hukum pidana Islam terhadap
tindak pidana pelanggaran lalu lintas dilakukan anak (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn).
c. Analyzing, yaitu menganalisis antara hukum pidana Islam
terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas dilakukan anak
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro
No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn).
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
deskriptif analisis, yaitu suatu teknik dipergunakan dengan jalan
memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan
menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk
konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan mudah.30 Langkah
yang ditempuh penulis ialah mendeskripsikan secara sistematis semua
fakta aktual yang diketahui, kemudian dianalisis dan ditarik sebuah
kesimpulan, sehingga dapat memberikan sebuah pemahaman yang
konkrit. Dalam hal ini dengan mengemukakan kasus yang terjadi dalam
putusan Pengadilan Negeri Bojonegoro
29 Ibid., 51.
Anak/2014/PN.Bjn kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil
yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga mendapatkan
kesimpulan yang bersifat khusus.
Deduktif yaitu diawali dengan mengemukakan teori-teori,
dalil-dalil dan pendapat yang bersifat umum selanjutnya dikemukakan
kenyataan yang bersifat khusus.31 Yaitu mengenai tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak kemudian ditarik
kesimpulan dari hasil riset terhadap putusan Pengadilan Negeri
Bojonegoro No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn tentang tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak, dan kemudian ditarik
sebuah kesimpulan yang khusus.
I. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah pembahasan masalah-masalah dalam studi ini,
dan dapat dipahami permasalahannya secara sistematis dan lebih terarah,
maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing bab
mengandung sub-bab, sehingga tergambar keterkaitan yang sistematis.
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan
pembahasan sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan, pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yang
menjelaskan gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini,
yaitu meliputi latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II, bab ini membahas landasan teori tentang tinjauan umum tindak
pidana pelanggaran lalu lintas dalam hukum pidana Islam diantaranya:
pengertian pelanggaran dalam hukum pidana Islam, jarimah ta’zi>r, kedu`dukan
anak dalam hukum pidana Islam, pertanggung jawaban pidana dalam Islam
dan pengadila anak dalam hukum pidana Islam.
Bab III, dalam bab ini adalah penyajian data, akan dipaparkan mengenai
data hasil penelitian yang terdiri atas status dan kewenangan Pengadilan
Negeri Bojonegoro meliputi: wilayah hukum, kronologis perkara, isi putusan
Pengadilan Negeri Bojonegoro, pertimbangan hakim terhadap tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak dan penjatuhan saksi dalam
pidana Islam.
Bab IV, bab ini mengemukakan tentang analisis hukum pidana Islam
atas putusan No.24/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Bjn terhadap tindak pidana
pelanggaran lalu lintas yang dilakukan anak.
Bab V, bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang memuat uraian
22
LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK
A. Pelanggaran dalam Hukum Pidana Islam
Di dalam hukum pidana Islam tidak ada perbedaan antara pelanggaran
dan kejahatan, semuanya disebut jina>yah atau jari>mah mengingat sifat
pidananya. Dan suatu perbuatan dianggap jari>mah apabila dapat merugikan
kepada aturan masyarakat, kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan
kehidupan anggota masyarakat, baik benda, nama baik atau
perasaan-perasaannya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati
dan dipelihara.1
Dari segi bahasa kata jarimah berasal dari kata “jarama” kemudian
menjadi bentuk masdar “jaramatan“ yang artinya: perbuatan dosa, perbuatan
salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan “jarim”, dan yang dikenai
perbuatan itu adalah “mujarom ‘alaihi”.2 Dari segi istilah, al-Mawardi
mendefisikan jari<mah adalah larangan-larangan syara>’ (melakukan hal-hal
yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam
oleh Allah dengan hukum had atau ta’zi>r.3
Adapun yang dimaksud larangan adalah mengabaikan perbuatan
terlarang atau mengabaikan perbuatan yang diperintahkan syarak, yaitu suatu
ketentuan yang berasal dari nas. Sedangkan hukuman had adalah hukuman
1 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 1.
suatu sanksi yang ketentuannya berasal dari nas}. Adapun hukuman ta’zi>r
adalah hukuman yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa. Hukum ta’zi>r dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat
ringannya tindak pidana, situasi dan kondisi masyarakat, serta tuntutan
kepentingan umum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zi>r
diterapkan tidak secara definitif, melainkan melihat situasi dan kondisi dan
bagaimana perbuatan jari>mah terjadi, kapan waktunya, siapa korbannya, dan
sanksi apa yang pantas dikenakan demi menjamin ketentraman dan
kemaslahatan umat.4
Berdasarkan pendapat diatas maka jari>mah adalah suatu peristiwa
pidana, tindakan/perbuatan pidana, yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain, baik itu fisik (anggota badan atau terhadap jiwa), harta benda, keamanan
dan lain sebagainya. yang dalam hukum pidana positif dikenal dengan istilah
delik, atau tindak pidana. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jari>mah
atau delik jika perbuatan tersebut menyebabkan kerugian pada pihak lain,
baik berbentuk material (fisik) maupun non materi (non fisik) seperti
ketenangan, ketentraman, harga diri dan sebagainya.5
Adapun perbedaan antara jarimah hudud dan jari>mah ta’zi>r> adalah
sebagai berikut:6
1. Dalam jarimah hudud, tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan
maupun ulil amri (pemerintah). Bila seseorang telah melakukan jarimah
4 Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Mesir : Dar Al- Qalam, 1998), 198. 5 Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana ..., 45.
hudud dan terbukti di depan pengadilan, maka hakim hanya bisa
menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam jari>mah
ta’zi>r>, kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun
oleh ulil amri, bila hal itu lebih maslahat.
2. Dalam jari>mah ta’zi>r> hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat
bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh
hakim hanyalah kejahatan material.
3. Pembuktian jarimah hudud dan qis}as} harus dengan sanksi atau
pengakuan, sedangkan pembuktian jari>mah ta’zi>r> sangat luas
kemungkinannya.
4. Hukuman had maupun qis}as} tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,
karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah baligh, sedangkan
ta’zi>r> itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil itu boleh.
B. Jari>mah Ta’zi>r
1. Pengertian Jari>mah Ta’zi>r
Jari>mah Ta’zi>r> adalah jari>mah yang diancam dengan hukuman ta’zi>r. Pengertian ta’zi>r berasal dari kata
َرَزَع
yang sama denganَدَرَو َعَنَم
(mencegahatau menolak),
َبَدَأ
(mendidik),َمَظَع َرَ قَوَو
(mengagungkan danmenghormati), dan
َرَصَنَو ىَوَ قَو َناَعَأ
(membantunya, mengungatkan danmenghormati).7
7 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia,(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah
pengertian addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan
menolak)8 karena ta’zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi
pelajaran. Disebut dengan ta’zi>r karena hukuman tersebut sebenarnya
untuk mencegah dan menghalangi orang yang berbuat jarimah tersebut
untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi dan memberikan efek jera.9
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al- Mawardi, ta’zi>r
adalah hukuman bagi tindak pidana yang belum ditentukan hukumannya
oleh syarak yang bersifat mendidik.10 Maksud dari “mendidik” disini
adalah untuk mencegah terjadinya maksiat pada masa yang akan datang.11
Jarimah-jarimah yang belum ditetapkan hukumannya oleh syarak
dinamakan dengan jarimah ta’zi>r. Adapun syarat supaya hukuman ta’zi>r
bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja. Oleh karena itu,
hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan kepada setiap orang yang berakal yang
melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman had,
baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun kafir, balig atau anak
kecil yang sudah berakal (mumayyiz). Karena mereka semua selain anak
kecil adalah termasuk orang yang sudah memiliki kelayakan dan
kepatutan untuk dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang sudah
8 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 248. 9 A. Djazuli, Fiqh …, 165.
10 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 136.
11 Alie Yafie, Dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, (Bogor: PT Kharisma Ilmu, t.t),
mumayyiz, maka ia di ta’zi>r, namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan
tetapi sebagai bentuk mendidik dan memberi pelajaran.12
Wahbah az-Zuhaili yang mengutip dari Raddul Muhtaar
memberikan ketentuan dan kriteria dalam hukuman ta’zi>r yaitu setiap
orang yang melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain
tanpa hak (tanpa alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan
atau isyarat, baik korbannya adalah seorang muslim maupun orang kafir.13
Adapun ruang lingkup dalam ta’zi>r yaitu sebagai berikut:14
a. Jarimah hudud atau qis}as} diyat yang terdapat syubhat dialihkan ke
sanksi ta’zi>r. Adapun mengenai syubhat, didasarkan atas hadis
berikut:
اَنَ ثَدَح َةَعيِبَر ُنْب ُدَمَحُم اَنَ ثَدَح يِرْصَبْلا وٍرْمَع وُبَأ ِدَوْسَْْا ُنْب ِنَمْحَرلا ُدْبَع اَنَ ثَدَح
ْنَع ِ يِرْزلا ْنَع يِقْشَمِ دلا ٍداَيِز ُنْب ُديِزَي
ْتَلاَق َةَشِئاَع ْنَع َةَوْرُع
ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق
اولَخَف ٌجَرْخَم ُهَل َناَك ْنِإَف ْمُتْعَطَتْسا اَم َنيِمِلْسُمْلا ْنَع َدوُدُحْلا اوُءَرْدا َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا
َأ ْنِم ٌرْ يَخ ِوْفَعْلا يِف َئِطْخُي ْنَأ َماَمِْْا َنِإَف ُهَليِبَس
ِةَبوُقُعْلا يِف َئِطْخُي ْن
ٌداَنَ اَنَ ثَدَح
يِفَو َلاَق ُهْعَ فْرَ ي ْمَلَو َةَعيِبَر ِنْب ِدَمَحُم ِثيِدَح َوْحَن ٍداَيِز ِنْب َديِزَي ْنَع ٌعيِكَو اَنَ ثَدَح
ِئاَع ُثيِدَح ىَسيِع وُبَأ َلاَق وٍرْمَع ِنْب ِهَللا ِدْبَعَو َةَرْ يَرُ يِبَأ ْنَع باَبْلا
ُهُفِرْعَ ن ََ َةَش
ْنَع ِ يِرْزلا ْنَع ِ يِقْشَمِ دلا ٍداَيِز ِنْب َديِزَي ْنَع َةَعيِبَر ِنْب ِدَمَحُم ِثيِدَح ْنِم ََِإ اًعوُفْرَم
ٍداَيِز ِنْب َديِزَي ْنَع ٌعيِكَو ُاَوَرَو َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص ِ يِبَنلا ْنَع َةَشِئاَع ْنَع َةَوْرُع
َُوْحَن
ِ يِبَنلا ِباَحْصَأ ْنِم ٍدِحاَو ِرْيَغ ْنَع اَذَ ُوْحَن َيِوُر ْدَقَو حَصَأ ٍعيِكَو ُةَياَوِرَو ُهْعَ فْرَ ي ْمَلَو
يِف ٌفيِعَض يِقْشَمِ دلا ٍداَيِز ُنْب ُديِزَيَو َكِلَذ َلْثِم اوُلاَق ْمُهَ نَأ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص
ِثيِدَحْلا
ُمَدْقَأَو اَذَ ْنِم ُتَبْ ثَأ يِفوُكْلا ٍداَيِز يِبَأ ُنْب ُديِزَيَو
12 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,
2007), 531.
13 Ibid., 532.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Al Aswad Abu Amr Al Bashri, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rabi'ah, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Ziyad Ad Dimasyqi dari Az Zuhri dari 'Urwah dari A`isyah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hindarilah hukuman had dari kaum muslimin semampu kalian, jika ia mempunyai jalan keluar maka lepaskanlah ia. Karena sesungguhnya seorang imam salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhi hukuman." Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Yazid bin Ziyad seperti Hadits Muhammad bin Rabi'ah namun tidak memarfu'kannya. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr. Abu Isa berkata; Hadits Aisyah tidak kami ketahui diriwayatkan secara marfu' kecuali dari Hadits Muhammad bin Rabi'ah dari Yazid bin Ziyad Ad Dimasyqi dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Waki' meriwayatkannya dari Yazid bin Ziyad seperti itu namun tidak memarfu'kannya dan riwayat Waki' lebih shahih. Telah diriwayatkan juga hadits seperti ini dari banyak sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa mereka mengatakan seperti itu. Yazid bin Ziyad Ad Dimasyqi adalah seorang yang dha'if dalam periwayatan hadits sedangkan Yazid bin Ziyad Al Kufi adalah lebih tsabat dari orang ini dan lebih dahulu.
b. Jarimah hudud atau qis}as} diyat yang tidak memenuhi syarat akan
dijatuhi sanksi ta’zi>r.
c. Jarimah yang ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak
ditentukan sanksinya.
d. Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat.
2. Unsur-unsur Jarimah Ta’zi>r
Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan
unsur khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak
berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang
satu dengan yang lain.15
Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah:16
a. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas}), artinya setiap
perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak
dapat dipidana kecuali ada undang-undang atau nas} yang
mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan
istilah asas legalitas, yaitu sesuatu perbuatan tidak dapat dianggap
melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dianggap melawan
hukum dan pelakunya tidak dapat dianggap melawan hukum dan
pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan
yang mengundangkannya. Dalam syari’at Islam lebih dikenal
dengan istilah ar-rukn asy syar’i. Kaidah yang mendukung unsur ini
adalah “tidak ada perbuatan yang dianggap melarang hukum dan
tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nas}”.
Kaidah lain menyebutkan “tiada hukuman bagi perbuatan mukalaf
sebelum adanya ketentuan nas}”.
b. Unsur materiil (sifat melawan hukum), artinya adanya tingkah laku
seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat
maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana Islam
disebut ar-rukn al-madi.
15 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 27.
c. Unsur moril (pelakunya mukalaf), artinya pelaku jarimah adalah
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap
jarimah yang dilakukannya. Dalam syari’at Islam unsur moril
disebut ar-rukn al-adabi, yaitu orang yang melakukan tindak pidana
dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila,
bukan anak-anak dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan
diri.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
ada dalam jarimah ta’zi>r adalah setiap bentuk larangan (maksiat) yang
tidak ada ancaman hukuman had dan kewajiban membayar kafarat di
dalamnya, perbuatan jarimah hudud atau qis}as} yang unsurnya tidak
terpenuhi, dan melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain
tanpa hak (meresahkan masyarakat umum).
C. Kedudukan Anak dalam Hukum Pidana Islam
Anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari
hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai
macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan
yang positif di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya
sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai
untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.17
17 Fuad M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991),
Hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak
adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum
balligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh
apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun.18\
Kata baligh berasal dari fi’il ma>d}i balagha, yablughu, bulughan yang
berarti sampai, menyampaikan, mendapat, baligh, masak.19
Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda
menurut masa yang dilaluinya, yaitu20:
1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir. Masa ini dimulai sejak lahir
sampai usia 7 tahun, perbuatan pidana yang dilakukannya tidak
dikenai hukuman.
2. Masa kemampuan berpikir lemah. Masa ini dimulai sejak anak berusia
7 tahun sampai usia 15 tahun. Pada masa tersebut mereka dijatuhi
pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun
tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana.
Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak
mencapai usia kecerdasan yang pada umumnya telah mencapai usia 15
tahun atau 18 tahun. Pada masa ini telah dikenakan pertanggungjawaban
pidana atas tindak pidana yang dilakukan.21
Imam Syafi’i mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun
baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah
18 Ahmad Hanafi, Asas-asas…,369. 19 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa …, 71. 20 Ahmad Hanafi, Asas-Asas..., 370.
ikhtilam atau perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun
maka sudah dianggap dewasa.22
D. Pertanggungjawaban Pidana dalam Islam
1. Pengertian pertanggungjawaban Pidana dalam Islam
Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan
seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana orang tersebut
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam syariat
Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga hal yaitu
adanya perbuatan yang terlarang, perbuatan itu dikerjakan dengan
kemauan sendiri, dan pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.23
Apabila terhadap tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula
pertanggungjawaban. Dengan demikian orang gila, anak, orang yang
dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar
pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada. Pembebasan
pertanggungjawaban terhadap mereka ini didasarkan kepada dan
al-Quran. Dalam QS. An-Nahl ayat 106 disebutkan tentang orang yang
dipaksa, yaitu:
22 Chairumandan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1996), 10.
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.24
Maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban adalah jika perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
tersebut terlarang (tidak berdasarkan syarak), perbuatan yang dilakukan
atas kemauan sendiri (tidak ada paksaan), dan pelaku mengetahui akibat
perbuatannya itu (tidak dalam keadaan tidur, gila atau anak-anak).
2. Siapa yang dibebani pertanggungjawaban Pidana Islam
Orang yang harus bertanggungjawab atas suatu pelanggaran adalah
orang yang melakukan pelanggaran itu sendiri dan bukan orang lain. Hal
ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Quran dalam QS. Faatir ayat
18:
Artinya: dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain25. dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatnya26 dan mereka mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).27
Dari keterangan diatas dijelaskan bahwa seorang yang harus
bertanggungjawab atas pelanggaran yang di perbuat adalah orang
yang melakukan pelanggaran.
3. Sebab dan Tingkat Pertanggungjawaban Pidana Islam
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban
pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang
dilarang oleh syara’ atau meninggalkan (tidak mengerjakan) perbuatan
yang diperintahkan oleh syara’. Jadi sebab pertanggungjawaban pidana
adalah melakukan pelanggaran. Apabila tidak melakukan pelanggaran
maka tidak adanya pertanggungjawaban pidana. Meskipun demikian,
untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat yaitu
kekuatan berpikir (idrak) dan kekuatan memilih (ikhtiar).
Suatu pelanggaran adakalanya disengaja dan adakalanya karena
kekeliruan. Sengaja terbagi menjadi dua bagian yaitu sengaja
semata-mata dan menyerupai sengaja. Sedangkan kekeliruan juga ada dua bagian
25 Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.
26 Sebagian ahli tafsir menafsirkan bil ghaib dalam ayat ini ialah ketika orang-orang itu sendirian
tanpa melihat orang lain.
yaitu keliru semata-mata dan perbuatan yang disamakan dengan
kekeliruan. Dengan demikian maka pertanggung-jawaban itu juga ada
empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum
yaitu28:
a. Sengaja (al-‘Amdu)
Arti sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan
perbuatan yang dilarang. Dalam tindak pidana pelanggaran lalu
lintas yang menyebabkan orang lain meninggal, sengaja berarti
pelaku sengaja melakukan perbuatan berupa menabrak dan ia
menghendaki akibatnya berupa kematian korban. Tentu saja
pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih berat
dibandingkan dengan tingkat di bawahnya.
b. Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)
Arti menyerupai sengaja adalah dilakukannya perbuatan itu
dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak
dikehendaki. Dalam tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang
menyebabkan orang lain meninggal, ukuran menyerupai sengaja ini
dikaitkan dengan alat yang digunakan. Jika alat yang digunakan itu
bukan alat yang biasa digunakan untuk menabrak maka perbuatan
tersebut termasuk kepada menyerupai sengaja.
c. Keliru (al-Khata’)
Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan diluar
kehendak pelaku dan tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal
ini perbuatan tersebut terjadi karena kelalaian atau kurang hati-hati.
Keliruan ini ada dua macam yaitu:
1) Keliru dalam perbuatan, seperti seorang anak naik sepeda
motor dengan terburu-buru dan cepat hingga menabrak
seseorang yang menyebabkan meninggal dunia.
2) Keliru dalam dugaan, seperti seorang anak naik sepeda motor
dengan terburu-buru dan cepat ketika mau menabrak menekan
rem sepeda motor tapi tetap saja menyebabkan seseorang
meninggal dunia.
d. Keadaan yang Disamakan dengan Keliru
Ada dua bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan,
yaitu:
1) Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan
yang dilarang tetapi hal itu terjadi di luar pengetahuannya dan
sebagai akibat kelalaiannya, seperti seorang anak naik sepeda
motor tanpa sepengetahuannya jika naik motor itu dilarang
bagi anak-anak, pada suatu saat di jalan anak tersebut
menabrak seseorang hingga menyebabkan seseorang kematian.
2) Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang dilarang
seseorang anak naik sepeda motor dengan buru-buru di jalan
raya untuk pergi ke sekolah, di tengah perjalan ia mau
menabrak seseorang tetapi ia tidak memberi tanda bahaya
sehingga akibatnya ia tetap menabrak hingga mengakibatkan
orang tersebut meninggal dunia.
Dalam hal pertanggung jawabannya keadaan ini lebih ringan
daripada keliru karena pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak
mempunyai maksud untuk melakukan perbuatan melainkan perbuatan itu
terjadi semata-mata akibat keteledoran dan kelalaiannya. Sedangkan
dalam hal keliru pelaku sengaja melakukan perbuatan walaupun akibatnya
terjadi karena kurang hati-hati.
Adanya perbuatan melawan hukum yang bertingkat-tingkat maka
pertanggungjawaban itu juga bertingkat-tingkat. Hal ini disebabkan oleh
karena pelanggaran seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya. Sesuai
dengan hadis nabi Muhammad saw dalam Kitab Abu Daud yang
berbunyi:
َميِاَرْ بِإ ِنْب ِدَمَحُم ْنَع ٍديِعَس ُنْب ىَيْحَي يِنَثَدَح ُناَيْفُس اَنَرَ بْخَأ ٍريِثَك ُنْب ُدَمَحُم اَنَ ثَدَح
َقَو ِنْب َةَمَقْلَع ْنَع ِ يِمْيَ تلا
ُلوُقَ ي ِباَطَخْلا َنْب َرَمُع ُتْعِمَس َلاَق ِ يِثْيَللا ٍصا
ِهَللا ُلوُسَر َلاَق
ْجِ ْتَناَك ْنَمَف ىَوَ ن اَم ٍئِرْما ِ لُكِل اَمَنِإَو ِتاَيِ نلاِب ُلاَمْعَْْا اَمَنِإ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص
ُهَُُر
َُُرْجِهَف ِهِلوُسَرَو ِهَللا ىَلِإ
اَهُجَوَزَ تَ ي ٍةَأَرْما ْوَأ اَهُ بيِصُي اَيْ نُدِل ُهَُُرْجِ ْتَناَك ْنَمَو ِهِلوُسَرَو ِهَللا ىَلِإ ُه
ِهْيَلِإ َرَجاَ اَم ىَلِإ ُهَُُرْجِهَف
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niatnya, dan bagi setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang telah ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulullahNya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang hendak ia dapatkan atau karena seorang wanita yang akan ia nikahi, maka hijrahnya akan mendapatkan sesuai apa yang ia maksudkan29".
4. Beberapa Hal yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana
Adapun hal-hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana
adalah30:
a. Pengaruh Tidak Tahu
Dalam syariat Islam, pelaku tidak dihukum karena suatu
perbuatan yang dilarang kecuali ia mengetahui dengan sempurna
tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Dengan demikian apabila
seseorang tidak tahu tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka
ia tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.
Akan tetapi pengertian mengetahui di sini bukan pengetahuan
secara hakiki melainkan cukup dengan adanya kemungkinan untuk
mengetahui. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui maka
setiap orang mukalaf dianggap mengetahui semua hukum atau
undang-undang walaupun dalam kenyataannya mungkin kebanyakan
dari mereka tidak mengetahuinya.
Alasan tidak tahu baru dapat diterima dari orang-orang yang
hidup di pedalaman dan tidak pernah bergaul dengan kaum
29 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Hadis No.1882, (Lidwah Pustaka i-Software-Kitab Sembilan
Imam).
muslimin atau dari orang yang baru masuk Islam dan tidak
bertempat tinggal di lingkungan kaum muslimin.
Tidak tahu tentang arti suatu undang-undang di persamakan
dengan tidak tahu bunyi undang-undang itu sendiri dan
kedudukannya, dalam artian tidak bisa diterima sebagai alasan
pembebasan hukuman. Dalam hukum positif kesalahan pengertian
ini disebut salah tafsir.
Salah satu contoh yang terkenal dalam syariat Islam tentang
salah tafsir ini adalah sekelompok kaum muslimin di negeri Syam
minum-minuman keras karena menganggap minum tersebut
dihalalkan dengan beralasan pada firman Allah swt dalam QS
al-Ma’idah ayat 93 yang berbunyi:
�