124
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji konsep yuridis kebebasan beragama sebagai HAM serta aspek-aspek hukum nasional dan internasional mengenai kebebasan beragama sebagai a coherent body of law, penulis menarik kesimpulan bahwa telah terjadi inkoherensi terkait pengaturan mengenai kebebasan beragama. Pengaturan hukum nasional Indonesia tidak koheren dengan pengaturan hukum internasional. Penyebab utama inkoherensi ialah ketidaktegasan Indonesia dalam mengadopsi konsep hubungan antara negara dan agama, yakni Indonesia bukan negara sekuler namun juga bukan negara agama mayoritas.
Terdapat 2 dimensi kebebasan beragama sebagai HAM, yakni dimensi internal yang mencakup kebebasan dalam meyakini suatu agama/kepercayaan serta dimensi eksternal yang mencakup kebebasan dalam menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Dimensi internal dari hak atas kebebasan beragama tidak boleh diintervensi ataupun dibatasi karena merupakan persoalan individu yang absolut, sedangkan dimensi eksternalnya dapat dibatasi dengan syarat tertentu.
Namun yang terjadi dalam hukum nasional Indonesia justru terdapat intervensi oleh negara terkait hak untuk meyakini agama/kepercayaan sebagai dimensi internal. Hal ini tidak terlepas dari pengelompokan “agama resmi” dan
“agama yang belum diakui” oleh hukum nasional Indonesia. Intervensi negara
125 Pertama, perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama di Indonesia
nampak diintervensi oleh negara berkenaan dengan persoalan administrasi kependudukan tentang keharusan pencantuman agama dalam dokumen kependudukan. Kedua, hukum nasional Indonesia tidak mengakomodasi hak untuk melangsungkan perkawinan pemeluk “agama yang belum diakui” serta perkawinan antar agama karena terdapat klausul “agama resmi” dan “agama yang belum diakui” serta terjadi kekosongan hukum terkait pelaksanaan perkawinan
antar agama. Ketiga, hukum nasional Indonesia tidak memberikan pengaturan secara eksplisit mengenai hak untuk berpindah agama/kepercayaan dengan bebas termasuk hak untuk tidak memeluk agama. Ketiadaan pernyataan secara eksplisit tersebut dapat menghambat kebebasan itu sendiri, bahkan muncul kesan bahwa berganti dan/atau tidak memeluk agama menjadi tidak dibenarkan secara yuridis. Keempat, intervensi terkait hak anak untuk menentukan agama yang berimplikasi
pada persoalan adopsi. Pengaturan hukum nasional Indonesia mensyaratkan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional yang menyatakan pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.
126 umat beragama dengan jalan memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap ekspresi keagamaan yang bertentangan atau merugikan kepentingan pihak lain. Akan tetapi negara gagal melakukan itu, yang terjadi adalah peraturan perundang-undangan negara justru menjadi dorongan timbulnya intoleransi.
Pertama, pembatasan atas hak untuk bebas menjalankan agama sesuai
127 B. Saran
1. Negara harus mengindahkan prinsip discrimination dan prinsip non-intervention serta prinsip toleransi sehubungan dengan hak atas kebebasan
beragama sebagai HAM. Ketiga prinsip tersebut merupakan tolok ukur serta pedoman bagi negara untuk menetapkan peraturan perundang-undangan sehubungan dengan kewajiban negara untuk melindungi HAM warga negaranya.