PERKEMBANGAN MASJID BESAR KANJENG SEPUH DI TENGAH DINAMIKA PERBEDAAN ALIRAN KEISLAMAN DI SIDAYU TAHUN
1980-2016 M.
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
ANWARI KHOIRUR RIJAL
NIM : A8.22.12.141
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh Ditengah Dinamika Perbedaan Aliran Keislaman Di Sidayu Tahun 1980-2016 M. Mencoba untuk mengungkapkan beberapa permasalahan diantaranya tentang Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Sidayu, Sejarah dan Perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh, dan Hubungan Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan Ormas Yang Mewadahi Aliran Islam Di Sidayu.
Dalam menjawab permasalahan diatas peneliti menggunakan pendekatan historis dengan menerapkan metode penelitian sejarah antara lain Heuristik, Kriktik Sumber, Interpretasi dan Historiografi. Untuk teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori konflik milik Lewis A. Coser dan teori Continuity And Change, yang mana kedua teori ini akan menganalisa segala bentuk konflik yang terjadi dan menguraikan masalah-masalah kesinambungan tentang perubahan-perubahan yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
ABSTRACT
Thesis entitled Development of the Great Mosque Kanjeng Sepuh Amid Differences Flow Dynamics Islamic In Sidayu Year 1980-2016 M. Trying to reveal several issues including on Social Condition Sidayu Religious Society, History and Development of the Great Mosque Kanjeng Sepuh, and the Great Mosque Kanjeng Sepuh Relations with CSOs Rallying stream that Islam In Sidayu.
In answering the above problems researchers used a historical approach by applying methods of historical research, among others Heuristics, Kriktik Sources, Interpretation and Historiography. For the theory used in this thesis is the theory of conflict belongs to Lewis A. Coser and theory Continuity And Change, which both of these theories will analyze all forms of conflict and outlined issues about the sustainability of the changes that occurred in the Great Mosque Kanjeng Sepuh ,
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL………. i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN……….ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………...iii
HALAMAN PENGESAHAN……….iv
HALAMAN TRANSLITERASI………...v
HALAMAN MOTTO……….vi
HALAMAN PERSEMBAHAN……….vii
HALAMAN ABSTRAK………...viii
KATA PENGANTAR………...x
DAFTAR ISI………..xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah………..1
B. Rumusan Masalah……….3
C. Tujuan Penelitian………...3
D. Kegunaan Penelitian………..4
E. Penelitian Terdahulu………..4
F. Pendekatan dan kerangka Teori………...5
G. Metode penelitian………..7
H. Sistematika Bahasan………..…..12
BAB II :HUBUNGAN SIDAYU DENGAN MATARAM ISLAM A. Sidayu sebagai Daerah Kekuasaan Mataram Islam ...14
B. Para Bupati Sidayu………..21
C. Peninggalan di Sidayu……….24
1. Masjid Jami’………...24
2. Komplek makam Bupati……….28
BAB III :PERUBAHAN PEMERINTAHAN SIDAYU DARI
KADIPATEN, KAWEDANAN, HINGGA MENJADI
KECAMATAN
A. Sidayu Sebagai Wilayah Kadipaten………33
B. Sidayu Sebagai Wilayah Kawedanan....………..41
C. Akhir Pemerintahan Sidayu……….50
BAB IV : SIDAYU PADA MASA KINI
A. Profil Kecamatan Sidayu………...53
B. Gambaran Umum Kecamatan Sidayu………..55
C. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Sidayu………...63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………..69
B. Saran………70
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sidayu adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur,
yang letaknya berada di daerah pesisir utara Pulau Jawa. Sebelum menjadi sebuah
Kecamatan seperti sekarang, Kecamatan Sidayu adalah sebuah Kadipaten.
Sebagai bukti bahwa Sidayu adalah bekas yakni masih adanya sisa-sisa bangunan
yang berada di wilayah tersebut dan diperkirakan sudah ada sejak zaman kolonial.
Bukti-bukti tersebut diantaranya adalah pintu gerbang dan pendapa keraton,
selain itu ada telaga dan sumur sebagai sumber air, Masjid dan Alun-alun yang
sampai saat ini masih berfungsi di Sidayu. Dalam sejarahnya, ada sekitar sepuluh
orang Bupati yang pernah memerintah di Kadipaten Sidayu.1
Jauh sebelum itu, Sidayu juga telah mempunyai sejarahnya sendiri, seperti
yang dijelaskan oleh Meilink Roelofsz dalam bukunya tentang perdagangan di
Asia dan pengaruh Eropa di kepulauan Nusantara antara tahun 1500-1630, yang
memberitakan sebagai berikut:
Sidayu situated between Tuban and Grise, was also an agrarian state and feudal in structure. Its coats was a a bad one for landing on and being therefore little suited to trade is possessed no junks or cargo pangajavas. Although the rular had already beeb converted Islam, the population of the surrounding countryside was still largely Hindu. There were no commercial towns in the small agrarian Hindu kingdoms on the eastern tip Java for although these place were abundantly provided with
1Oemar, “Gubernur Belanda Pakai Jalan Kadipaten Sedayu”, Jawa Pos
2
foodstuffs, these seem to have been of kind which no trade worth mentioning was carried on.2
Terjemah : Sidayu terletak antara Tuban dan Grise, juga negara agraris dan feodal dalam struktur. mantel nya adalah yang buruk untuk mendarat di dan menjadi karena itu sedikit cocok untuk perdagangan yang dimiliki tidak ada kapal atau pangajavas kargo. Meskipun rular yang sudah Beeb dikonversi Islam, penduduk pedesaan sekitarnya adalah sebagian besar masih Hindu. Tidak ada kota-kota komersial di kerajaan Hindu agraria kecil di timur Jawa tip untuk meskipun tempat tersebut berlimpah disediakan dengan bahan makanan, ini tampaknya telah semacam yang ada perdagangan layak disebut dilakukan pada. (By:Google translate)
Berdasarkan keterangan tersebut, diduga Sidayu telah ada sejak masa peralihan
dari masa klasik ke masa Islam yang terjadi pada abad-16 M. Wilayah Sidayu
berada diantara Tuban dan Gresik, daerahnya merupakan daerah agraris.
Dijelaskan juga meskipun para penguasa di Sidayu beragama Islam, tetapi
sebagian besar penduduk sekitarnya adalah umat Hindu.
Pada pergantian abad ke -16 atau sekitar tahun 1589, Sidayu pernah menjadi
daerah jajahan Kerajaan Surabaya. Pada saat itu Surabaya telah menjadi negara
kuat dan dianggap sebagai lawan utama Mataram yang waktu itu masih muda.3
Menurut Artus Gijels (Gubernur Ambon) yang mengunjungi Surabaya pada tahun
1620, raja Surabaya selain mempunyai sekutu, juga mempunyai sejumlah daerah
jajahan.4 Daerah-daerah tersebut antara lain Gresik, Jortan, dan Sidayu.
Selanjutnya, pada kisaran tahun 1625 wilayah Sidayu beralih status menjadi
kekuasaan kerajaan Mataram Islam yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan
2
Meilink Roelofsz, M. A. P. dalamTim Penelitian, Laporan penelitian Kota Masa Pengaruh Eropa: Studi Terhadap Kota Sidayu, Gresik, Jawa Timur (BPKP Pusat Penelitian Arkeologi. 2002), 5.
3
HJ. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung (Yogyakarta:Pustaka Utama Grafiti, 2002), 14.
4
3
Agung. Hal ini dikarenakan Kerajaan Surabaya telah ditaklukan oleh pasukan
Mataram Islam pada tahun 1625 Masehi.5
Saat ini Sidayu berstatus Kecamatan, yang merupakan bagian dari
Kabupaten Gresik. Status Sidayu sebagai Kecamatan sesuai dengan UU No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, tanggal 7 Mei 1999.6
Perkembangan
Kecamatan Sidayu akhir-akhir ini sudah mulai meningkat. Dimulai dari
perkembangan masyarakatnya yang melangkah menuju masyarakat yang maju,
perkembangan perekonomian masyarakat, kebudayaan dan berbagai fasilitas
umum yang dimiliki seperti sarana pendidikan, sarana peribadatan, dan
sebagainya.
Kecamatan Sidayu memiliki berbagai macam fasilitas umum (sesuai yang
tersebut diatas) yang diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat. Salah
satunya adalah fasilitas peribadatan umat Islam (masjid) yang bernama Masjid
Besar Kanjeng Sepuh. Masjid Besar Kanjeng Sepuh dibangun oleh Bupati
pertama Sidayu yaitu Raden Kromowidjojo pada kisaran tahun 1758 M. dengan
nama Masjid Jami’ Sidayu.7 Masjid Jami’ Sidayu mempunyai keterikatan kuat
dengan sejarah Kadipaten Sidayu. Beberapa bukti fisik maupun non fisik menjadi
penanda bahwa Masjid Jami’ Sidayu adalah saksi perjalanan kota tua Sidayu.
Salah satu benda fisik peninggalan pemerintahan pada masa Sidayu masih
menjadi Kadipaten adalah komplek pemakaman Bupati Sidayu, tombak pusaka
5
Ibid., 118. 6
Yandono, Wawancara, Sidayu, 12 Januari 2017 7
4
Bupati kedelapan Kanjeng Sepuh, keris peninggalan Kanjeng Sepuh yang terdapat
pada mimbar Masjid dan lain-lain.
Dilihat dari sejarah dan perkembangan awal Islam di Sidayu, Masjid Jami’
Sidayu tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga sebagai pusat
kegiatan umat Islam mulai dari sosial, pendidikan dan lain-lain. Hal itu selaras
dengan yang dikemukakan oleh Siti Badriyah bahwa masjid adalah sebutan bagi
tempat peribadatan orang Islam. Sebagai tempat peribadatan, peran masjid begitu
penting bagi aktivitas keagamaan kaum muslim, baik dalam pengembangan
pendidikan maupun syiar keagamaan.8
Terlepas dari konteks tersebut diatas, ada beberapa hal yang belum
diketahui banyak khalayak dalam perkembangan Masjid Jami’ Sidayu yang
sekarang dikenal dengan sebutan Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Sesuai yang
terpapar diatas bahwa Masjid Besar Kanjeng Sepuh adalah masjid tua bekas
peninggalan kota tua Sidayu. Sampai saat ini Masjid Besar Kanjeng Sepuh
menjadi ikon agama Islam di Sidayu, statusnya yang masih aktif sebagai masjid
pusat kecamatan Sidayu menjadikan Masjid Besar Kanjeng Sepuh menjadi tujuan
kaum muslimin Sidayu untuk melaksanakan ritual keagamaan baik itu jamaah
maupun i’tikaf. Menurut informasi yang penulis dapat dari sumber lisan dan
beberapa sumber tertulis serta cerita tutur yang berkembang ditengah masyarakat
Sidayu bahwa dahulu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Sidayu. Bahkan
sampai detik ini masih banyak masyarakat Sidayu menyebut masjid tersebut
dengan nama Masjid Jami’ Sidayu.
8
5
Menurut cerita tutur yang berkembang ditengah masyarakat Sidayu, Sejak
awal didirikan masjid yang sekarang bernama Masjid Besar Kanjeng Sepuh
tersebut adalah tempat pusat kegiatan umat Islam di Sidayu. Akan tetapi pada
perkiraan kurang lebih tahun 1986 terjadi perubahan nama masjid yang awalnya
bernama Masjid Jami’ Sidayu menjadi Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Menurut
sedikit cerita tutur dari salah satu pemuda asli Sidayu bahwa ada beberapa hal
yang belum diketahui sebagian besar masyarakat Sidayu khususnya tentang
faktor-faktor yang melatarbelakangi pergantian nama masjid tersebut, baik dari
faktor internal maupun eksternal. Apabila diamati lebih mendalam ada beberapa
konflik kecil yang terjadi di internal masjid sebelum akhirnya konflik tersebut
menjadi cikal bakal awal perubahan nama Masjid Jami’ Sidayu.
Konflik kecil yang terjadi di tengah-tengah perdamaian masyarakat Sidayu
tersebut melibatkan dua kelompok Islam yaitu Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Lahirnya konflik antara Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah
tersebut menyebabkan teruarinya kerukunan umat Islam di Sidayu. Menurut
sebagian masyarakat Sidayu hal tersebutlah yang menjadi salah satu dari sekian
faktor pemicu digantinya nama Masjid Jami’ Sidayu menjadi Masjid Besar
Kanjeng Sepuh.
Selanjutnya pada tahun 1989 berdiri Pondok Pesantren Al-Furqon di Desa
Srowo Kecamatan Sidayu. Pondok Pesantren Al-Furqon tersebut menganut
paham Islam Salafi. Sesuai dengan realitas yang terjadi pada zaman ini, aliran
Salafi adalah golongan yang ingin mengembalikan kemurnian ajaran agama
6
Salafi seringkali bertentangan dengan tradisi-tradisi yang ada di Indonesia.
Demikian halnya dengan aktifitas Pondok Pesantren Al-Furqon. Pada kisaran
tahun 1990an salah satu dari santri penganut aliran Wahabi yang menempuh
pendidikan di Pondok Pesantren Al-Furqon Sidayu melakukan sebuah penetrasi.
Bentuk dari penetrasi tersebut adalah gerakan pemberontakan dengan merusak
komplek pemakaman Bupati Sidayu yang berada di sisi belakang Masjid Besar
Kanjeng Sepuh. Hal tersebut sempat memancing seluruh lapisan masyarakat
Sidayu khususnya warga Nahdliyin dikarenakan masjid dan kompleks
pemakaman Bupati tersebut adalah cagar budaya Sidayu. Selama bertahun-tahun
masyarakat Sidayu senantiasa merawat dan menjaga situs tersebut guna
menghormati jasa pendahulu Sidayu.
Dari sedikit pemaparan di atas itulah, penulis termotivasi untuk melakukan
penelitian lapangan dengan mengangkat judul “Perkembangan Masjid Besar
Kanjeng Sepuh Di tengah Dinamika Perbedaan Aliran Keislaman Di Sidayu”
guna memperoleh pengetahuan baru tentang sejarah Masjid Besar Kanjeng Sepuh
dan siklus perubahan yang dialami masyarakat Islam di wilayah Sidayu.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan Latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan
masalah ini hanya difokuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial keagamaan masyarakat di Sidayu?
7
3. Bagaimana hubungan antara Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan
kelompok-kelompok keagamaan Islam Di Sidayu?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kondisi masyarakat Islam di Sidayu hingga dewasa ini.
2. Mengetahui sejarah dan perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
3. Mengetahui hubungani antara Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan
kelompok-kelompok keagamaan Islam yang ada di Sidayu.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu aspek
teoritis dan aspek praktis, adapun penjelasan tentang kedua aspek tersebut
sebagaimana berikut:
1. Manfaat Teoristis
Untuk menganalisis perubahan-perubahan sosial, tata kelakuan yang berbeda
masa dan pemikiran dengan kebudayaan yang sama dari waktu kewaktu.
selain itu juga diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya perubahan kepribadian sejarah
di Jawa, sekaligus sumbangan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah dan
8
2. Manfaat praktis
Skripsi ini juga dikerjakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana
strata satu progam studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
E. Penelitian Terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan mencari
karya-karya terdahulu guna menghindari kesamaan penulisan. Penelitian tentang
Masjid Besar Kanjeng Sepuh sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, akan
tetapi hanya menitikberatkan penelitiannya pada konteks arsitekturnya. Penelitian
terdahulu yang berhubungan dengan Masjid Besar Kanjeng Sepuh sebagai
berikut:
1. Skripsi : Vivi khusniyah (2009), Prasasti Pada Situs Makam dan Masjid
Kanjeng Sepuh Sidayu Gresik (Studi Analisis Kronologi) membahas
mengenai sejarah dan situs- situs yang terdapat pada Makam dan Masjid
Besar Kanjeng Sepuh dalam studi kronologinya.9
2. Skripsi :Wahyu Dwi Susilo (2005), Peranan Kanjeng Sepuh Adipati Soeryo
Diningrat Dalam Menegakkan Agama Islam Di Sidayu. Dalam kripsi ini
membahas tentang peran salah satu tokoh agama pada masa sidayu masih
menjadi Kadipaten, yang mencakup bidang agama, politik dan sosial
kemasyarakatan.10
9
Vivi Khusniyah, Prasasti Pada Situs Makam dan Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu Gresik (Studi Analisis Kronologi) (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009).
10
9
3. Skripsi : Muhammad Ulumudin (2003), Sejarah Perkembangan Bangunan
Masjid Jamik Gresik Abad XV-XXI. Dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana
perkembangan Masjid Jamik serta kondisi kekiniannya, yang tergolong
sebagai Masjid kunci dari perkembangan religius kota Gresik sebagai kota
santri.11
4. Skripsi :Maulana Yusuf (1996), Yayasan Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh
(Studi Tentang Sejarah dan Aktivitasnya). Skripsi ini membahas tentang
sejarah Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh (TPKS) sebagai lembaga
pendidikan formal di Sidayu yang memakai nama Kanjeng Sepuh sebagai
nama lembaganya. Kemudian upaya TPKS dalam mengembangkan
pendidikan dan aktifitas-aktifas lembaga pendidikan TPKS.12
Berdasarkan penelitian yang sudah ada kiranya ada perbedaan yang jelas
antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang saya tulis. Penelitian terdahulu
mempunyai fokus yang berbeda-beda dalam aspek kajiannya. Sedangkan saya
akan melakukan penelitian tentang Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan
menyajikan kronologi yang berbeda dari penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan beberapa sejarawan sebelumnya, yaitu proses perkembangan Masjid
Besar Kanjeng Sepuh dan hubungannya dengan beberapa aliran keislaman di
Sidayu.
11
Muhammad Ulumudin, Sejarah Perkembangan Bangunan Masjid Jamik Gresik Abad XV-XXI (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).
12
10
F. Pendekatan dan Kerangka Teori
1. Pendekatan Sosiologis
Secara etimologi kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata
Socius yang berarti teman dan Logos yang berarti berkata atau teman bicara.
Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau
bermasyarakat13 . Sedangkan secara terminologi maka sosiologi mengandung
pengertian-pengertian sebagai berikut:
a. Sosiologi adalah suatu disiplin ilmu yang luas dan mencakup berbagai
hal,dan ada banyak jenis sosiologi yang mempelejari sesuatu yang
berbeda dengan tujuan yang berbeda-beda.14
b. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan,yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia
dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun non
formal, baik statis maupun dinamis.15
Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang paling tepat untuk dapat
memahami fenomena, pola dan gerak-gerik yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat Sidayu. Berawal dari penyelidikan dan pemahaman yang
mendalam dari struktur-struktur yang terdapat pada masyarakat dan
lingkungan Masjid Besar Kanjeng Sepuh Sidayu, diharapkan pendekatan
sosiologis mempunyai kontribusi yang besar dalam menjawab
fenomena-fenomena yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
13
Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat (Lampung:Pustaka Jaya, 1995), 2 14
Stepen K Sanderson, Terj, Hotman M.Siahaan, Sosiologi Makro (Jakarta:Raja Grapindo Persada 1995), 2.
15
11
2. Pendekatan Historis
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan pendekatan historis
yang bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan mengenai sejarah
perubahan-perubahan yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Melalui
pendekatan historis ini diharapkan bisa mengungkap dan menjelaskan apa
saja yang melatarbelakangi peristiwa perubahan tersebut, baik dalam aspek
sosial, budaya maupun politik.
3. Teori Continuity and Change dan Teori Konflik
Para peneliti selalu menggunakan kerangka teori sebagai dasar karya
ilmiahnya, tanpa teori karya tersebut tidak bisa menjadi bahan kajian yang
layak. Teori menurut Kerlinger adalah seperangkat konsep, definisi dan
proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, sehingga
dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang terjadi.16
Teori adalah suatu prinsip umum yang mengaitkan aspek-aspek suatu
realitas.17 Sedangkan fungsi teori adalah menerangkan, meramalkan dan
menemukan fakta-fakta secara sistematis.
Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Continuity and
Change. Teori tersebut digunakan oleh Zamakhsyari Dlofier dalam bukunya
yang berjudul Tradisi Pesantren. Teori tersebut menguraikan secara rinci
masalah-masalah kesinambungan ditengah-tengah perubahan. Perubahan
dapat terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan
16
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 41. 17
12
dorongan kuat yang telah ada dan baik sebelumnya. Jika tradisi baru yang
datang tidak mempunyai kekuatan dan daya dorong yang kuat, maka yang
tidak akan ada perubahan. Akan tetapi perubahan yang terjadi tidak akan
serta merta terputus begitu saja dari keilmuan yang lama yang telah ada
sebelumnya. Masih ada kesinambungan yang berkelanjutan dengan tradisi
keilmuan yang lama, meskipun telah muncul paradigma baru. Dengan
demikian proses kesinambungan dan perubahan masih tetap terlihat dalam
ilmu-ilmu agama, pola-pola perbedaan yang ada satu priode ke priode
brikutnya.18 Dari sedikit penjelasan diatas, teori tersebut bisa dan layak
digunakan untuk menguraikan secara rinci masalah-masalah kesinambungan
ditengah-tengah perubahan yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh
Sidayu.
Penelitian ini juga menggunakan teori konflik yang dicetuskan oleh
Lewis A. Coser. Coser menitik beratkan konsekuensi-konsekuensi terjadinya
pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Menurut pandangan Coser,
konflik dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi
dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang
dapat dimengerti. Oleh sebab itu konflik merupakan bagian dari kehidupan
sosial yang tidak dapat ditawar. Teorinya memandang konflik dapat memberi
keuntungan pada masyarakat luas tempat konflik tersebut terjadi. Konflik
justru membuka peluang integrasi antar kelompok.19
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Yogyakarta:LP3ES, 1996), 177. 19
13
Konflik adalah suatu realitas kehidupan sosial masyarakat dimana
setiap perkembangan suatu wilayah atau kelompok diperlukan adanya konflik
untuk menuju perubahan, karena tidak ada perubahan tanpa adanya konflik.
Teori konflik adalah salah satu prespektif di dalam ilmu sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau
komponen yang mempunyai kepentingan berbeda-beda dimana komponen
yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna untuk
memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya.20
Teori konflik tersebut akan digunakan penulis sebagai tambahan
landasan guna menganalisa beberapa fenomena yang mungkin bisa dikatan
sebagai konflik. Munculnya sebuah konflik diakibatkan adanya perbedaan
dan keberagamaan kepentingan. Maka dapat diambil sebuah analisa bahwa
yang terdapat di negara Indonesia juga tak luput dari konflik sosial. dalam
sebuah ajaran atau keberagaman agama, memunculkan sebuah
kelompok-kelompok yang satu sama lain saling bersinggungan. Konflik dari setiap
tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara horisontal
dan vertikal. Konflik horisontal adalah konflik yang berkembang antara
anggota kelompok, seperti konflik yang terjadi antara Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi
antara masyarakat dan juga negara atau pemerintahan. Pada umumnya
konflik-konflik ini muncul akibat ketidakpuasan masyarakat dengan kinerja
20
14
pemerintahan. Terdapat banyak konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat,
dari hal-hal yang bersifat sederhana yang mengakibatkan kerusuhan, dendam
sosial, dan ketidakrukunan antar umat beragama.
Pengetahuan yang diperoleh dengan pendekatan ilmiah diperoleh melalui
penelitian ilmiah dan dibangun atas teori tertentu.Teori itu berkembang atas teori
tertentu.Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang
sistematik dan terkontrol berdasarkan data Empiris.Teori itu dapat diuji dalam hal
keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika penelitian ulang dilakukan
merurut langkah-langkah yang sama menurut kondisi yang sama akan diperoleh
hasil yang konsisten, yaitu hasil yang sama atau hampir sama dengan hasil
terdahulu langkah-langkah penelitian yang teratur dan terkontrol itu telah
terpolahkan dan sampai batas tertentu, diakui umum. Pendekatan ilmiah akan
menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hamper setiap orang, karena
pendekatan tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias dan perasan. Cara
penyimpulan bukan subyektif tapi obyektif.21
1. Metode Penelitian
Metode merupakan cara atau prosedur untuk mendapatkan objek.22 Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yaitu proses menguji
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan pada masa lampau.23 Agar
mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam. Untuk
memperoleh informasi sejarah yang berkaitan dengan judul di atas maka
21
Sumadi Suryabrata, MetodePenelitian ( Jakarta: PT Grafindo Persada,1998), 5-6. 22
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 11. 23
15
dibutuhkan sebuah data kualitatif yang berdasarkan data dan fakta di lapangan.
Untuk itu Diperlukan tahapan-tahapan penelitian seperti mencari referensi buku
yang berhubungan dengan sejarah Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
Dalam melakukan penelitian sesorang dapat menggunakan berbagai metode,
dan sejalan dengan rancangan penelitian yang digunakan dapat bermacam-macam.
Keputusan mengenai rancangan apa yang akan dipakai akan tergantung pada
tujuan penelitian, sifat masalah yang akan digarap dan berbagai alternatif yang
akan digunakan. Berdasarkan atas sifat-sifat masalahnya itu penelitian ini dapat
digolongkan menjadi penelitian historis. Tujuan penelitian historis adalah untuk
membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta memperoleh kesimpulan
yang kuat.24 Maka dari itu langkah-langkah yang saya lakukan adalah:
1. Heuristik
Heuristik Berasal dari bahasa Yunani Heuriskan yang artinya
mengumpulkan atau mengumpulkan sumber. Sumber yang dimaksud dalam
kajian sejarah ini adalah sejumlah materi sejarah yang tersebar dan
teridentifikasi, seperti: catatan, tradisi lisan, runtuhan atau bekas-bekas
bangunan prehistori dan inskripsi kuno.25
Heuristik adalah suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk
mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa
sumber maka tidak bisa bicara. Maka sumber dalam penelitian sejarah
24
Ibid., 29 25
16
merupakan hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas
masa lalu manusia bisa dipahami oleh orang lain.26
Peneliti sejarah dan sejarawan dalam mengumpulkan sumber atau jejak
sejarah itu seperti menambang emas yaitu dari biji emas yang bercampur lumpur
dan pasir sehingga biji emas tidak kelihatan. Seperti itulah pekerjaan peneliti dan
sejarawan seperti menambang emas yang membutuhkan ketelitian dan
ketelatenan.
Sumber merupakan bahan terpenting dalam proses penelitian atau penulisan
sejarah. Karena tanpa sumber seorang peneliti atau sejarawan tidak akan mampu
mengungkap fakta sejarah, dengan kata lain sejarawan harus terlebih dahulu
memiliki data sebagai alat bantu.27
Maka dari itu dari penjelasan diatas penulis menggunakan sumber yang
akan dijelaskan sebagai brikut:
a. Sumber tertulis, yakni data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan
berbagai macam buku, majalah dan cetakan-cetakan yang mempunyai
kesinambungan dengan judul skripsi ini. Kemudian arsip-arsip takmir masjid,
Kecamatan, atau arsip pribadi yang ada hubunganya dengan skripsi ini. Yang
terakhir adalah surat-surat pernyataan kesaksian peristiwa oleh pelaku atau
saksi sejarah.
b. Sumber lisan, dalam judul skripsi ini, sumberlisan dapat didapat melalui
beberapa tokoh masyarakat, pengurus takmir masjid, pelaku sejarah yang
26
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah I (Surabaya: Sunan Ampel Surabaya, 2011), 16. 27
17
masih hidup dari tiga penganut aliran (NU, Muhammadiyah dan Salafi), dan
sesepuh masyarakat Sidayu.
c. Sumber Artefak, yakni dengan mengamati peninggalan-peninggalan, seperti
bangunan-bangunan, ukiran, atau sebagainya yang bisa digunakan menjadi
bukti sebagai pendukung penelitian seperti prasasti yang tertulis di komplek
makam Bupati Sidayu.
Dari ketiga sumber diatas, pada tahapan pengumpulan sumber ini peneliti
memprioritaskan sumber kepustakaan dan arsip-arsip dan lisan. Pengumpulan
data ini bisa dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah kesaksian
seseorang yang melihat dan merasakan langsung kejadian tersebut. Sedangkan
sumber sekunder adalah kesaksian seseorang yang tidak melihat kejadian tersebut
namun masih bisa merasakan akibat dari kejadian tersebut. Sumber primer dan
sekunder ini bisa saja berupa buku-buku, dokumen maupun rekaman dimana buku
dan dokumen tersebut hasil karya saksi mata yang dituangkan dalam tulisan.
2. Kritik Sumber
Sebuah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber
dengan cara melakukan kritik atau kerja intelektual dan rasional yang
mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu kejadian.
Bekal utama seorang peneliti sejarah adalah sifat tidak percaya terhadap
semua sumber sejarah.28 Peneliti harus lebih dulu mempunyai prasangka yang
jelek atau ketidak percayaan terhadap sumber sejarah yag tinggi. Bukan
maksud tidak mempercayai sumber tapi kebenaran sumber harus diuji terlebih
28
18
dahulu dan setelah hasilnya terbukti benar maka sejarawan baru percaya
kebenaran sumber.29
a. Kritik Intern
Kritik intern adalah kritik sumber yang hanya dapat diterapakan apabila
kita sedang menghadapi penulisan didalam dokumen-dokumen,
inskripsi-inskripsi pada monumen-monumen, mata uang, medali-medali atau
stempel-stempel yang berguna untuk meneliti keaslian isi dokumen, rekaman atau
tulisan tersebut. Kritik intern ini lebih menekankan pada isi dari sebuah
dokumen sejarah.Caranya adalah dengan membadingkan dokumen satu dengan
dokumen yang lainnya.30
Kemudian penulis akan membandingkan isi dari rekaman dari saksi mata
satu dengan yang lain. Hal ini dilakukan untuk menyingkronkan urutan
kejadian sehingga tidak ada pembahasan yang terputus. Dan jika ada satu
kejadian yang berbeda antara penjelasan saksi mata maka akan dilakukan
wawancara dengan saksi mata yang lain. Sehingga penulis akan mengambil
pendapat yang paling banyak.
b. Kritik ekstern
Kritik ekstern adalah penentuan asli atau tidaknya suatu sumber atau
dokumen31. Idealnya seseorang menemukan sumber yang asli bukan
rangkapnya apa lagi foto kopinya. Apa lagi jaman sekarang kadang-kadang
sulit membedakan asli atau bukan. Oleh karena itu peneliti juga akan mengkaji
29
Ibid., 11. 30
Ibid., 115. 31
19
betul dokumen-dokumen yang didapat. hal ini dilakukan supaya mendapatkan
sumber yang autentik.
Dalam hal ini penulis telah melakukan pembandingan sumber yang
berupa arsip dan catatan-catatan pribadi dengan sumber-sumber lain salah
satunya buku-buku yang menjadi hasil penelitian orang lain sebelumnya seperti
Gresse Tempoe Doloe dan sebagainya. Kemudian penulis berusaha menggali
informasi melaluli wawancara guna menguatkan sumber-sumber tetulis
tersebut.
3. Interpretasi
Interpretasi adalah upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang
sumber-sumber yang didapatkan, apakah sumber-sumber yang didapatkan dan
yang telah diuji otentisitasnya terdapat saling hubungan atau satu dengan yang
lain. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber
yang telah didapatkan.32 Penulis akan menginterpretasikan atau menafsirkan
sumber-sumber yang telah didapat dengan membandingkan sumber satu
dengan sumber yang lain. Baik sumber itu berupa artefak, wawancara maupun
berupa dokumen-dokumen dan beberapa buku.
4. Historiografi
Historiografi adalah rekonstruksi imajinatif dari masa lampau
berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses pengumpulan data.
32
20
Layaknya penelitian ilmiah dan akan dilihat apakah penelitian itu berlangsung
sesuai dengan prosedur yang digunakan atau tidak.33
2. Sistematika Bahasan
Untuk mempermudah penulisan skripsi, maka susunan skripsi dibagi
menjadi beberapa bab sekaligus ruang lingkupnya.
Bab pertama berisi pendahuluan. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab yang
menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitianan terdahulu,
metode penelitian, sistematika pmbahasan, dan daftar pustaka.
Bab kedua berisi tentang kondisi sosial keagamaan masyarakat Sidayu. Pada
bab ini diuaraikan mengenai sejarah Sidayu, kondisi keagamaan masyarakat
Sidayu dan organisasi atau kelompok-kelompok keislaman di Sidayu.
Bab ketiga berisi tentang perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh,
mulai dari sejarahnya, perkembangannya dan peralihan nama masjid.
Bab keempat berisikan tentang hubungan Masjid Besar Kanjeng Sepuh
dengan kelompok-kelompok keagamaan Islam di Sidayu, peran Masjid Besar
Kanjeng Sepuh dalam upaya menjadi jembatan penghubung antar tersebut serta
menguraikan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi antara masjid Besar Kanjeng
Sepuh dengan aliran Islam tersebut.
33
21
Bab kelima berisi tentang penutup. Bab ini menguraikan tentang kesimpulan
dari jawaban rumusan masalah beserta analisa dari permasalahan yang diteliti
BAB II
KONDISI SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT SIDAYU
A. Sejarah Singkat Sidayu
Sidayu sekarang adalah sebuah kecamatan kecil bagian dari Kabupaten
Gresik yang menyandang sebutan kota santri, Kecamatan Sidayu dulunya adalah
sebuah Kadipaten pada zaman Belanda. Nama Sidayu ada sejak masa peralihan
dari masa klasik kemasa Islam abad 16 Masehi sebagai sebuah daerah feodal yang
terletak antara Tuban dan Gresik. Sidayu adalah kota kecil yang memiliki
perjalanan sejarah cukup panjang dan memiliki kedudukan serta berbagai fungsi,
yakni berkedudukan sebagai ibu kota (kadipaten) atau tempat pusat pemerintahan.
Kedudukan Sidayu sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan politik secara
administratif merupakan daerah setingkat kawedanan di bawah karesidenan
Gresik yang berlangsung pada masa kekuasaan VOC di Indonesia. Pada masa itu
bersamaan pula dengan masa kekuasaan Kerajaan Mataram II (Islam) sekitar
tahun 1700-an.
Sidayu sebagai wilayah yang berada di pantai utara Jawa menjadi menjadi
bagian dari wilayah kekuasaan Mataram. Namun sebelum menjadi wilayah
kekuasaan Mataram, menurut Artus Gijeels tahun 1622, Sidayu ada dibawah
kekuasaan kerajaan Surabaya.33
Pada abad ke-17 hegemoni di Jawa Tengah dan Jawa Timur jatuh
ketangan Raja-raja Mataram termasuk kerajaan Bandar dan kerajaan-kerajaan di
sepanjang wilayah pantai utara Jawa direbut Mataram atau terpaksa mengakui
33
23
raja-raja Mataram.34 Pada tahun 1613 M. mataram mengadakan ekspansi militer
ke daerah sekitar Surabaya sampai tahun 1616 M. Raja Surabaya masih belum
menyerah dan pada akhirnya tahun 1625 setelah tentara Mataram II bergerak
melalui Japanan (Mojokerto) Surabaya yang dibawah pimpinan Tumenggung
Mangun Oneng menyerah kalah pada panglima tentara Mataram. Setelah Raja
Mataram mengambil alih Surabaya secara ototmatis Sidayu beralih dibawah
kekuasaan Sultan Agung (Raja Mataram II).35
Pada masa itu Sidayu sebagai tempat Kadipaten atau ibukota dipimpin
oleh seorang Bupati. Periodesasi kepemimpinan Bupati Sidayu sebanyak sepuluh
periode, yakni dimulai tahun 1737 dan berakhir tahun 1910. Berikut ini adalah
nama-nama Bupati yang pernah memerintah di Sidayu sebagai berikut :
1. Bupati Raden Kromowidjojo atau Tumenggung Suradiningrat I (1737-1745)
2. Bupati Abdul Jamil atau Tumenggung Suradiningrat II (1745-1770)
3. Bupati Tawang Alun atau Raden Kanjeng Suwargo (1770-1780)
4. Bupati Panji Dewa Kusuma atau Tumenggung Suradiningrat IV (1780-1798)
5. Bupati Banteng atau Raden Aryo Suryadiningrat I (1798-1810)
6. Bupati Kanjeng Kudus (1810-1815)
7. Bupati Kanjeng Djoko atau Raden Aryo Suryadiningrat II (1815-1816)
8. Bupati Kanjeng Sepuh atau Raden Adipati Aryo Suryadiningrat III
(1817-1855)
9. Bupati Kanjeng Pangeran atau Raden Adipati Aryo Suryadiningrat IV
(1855-1884)
34
HJ. De Graff, Puncak Kekuasaan Mataram (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002), 22. 35
24
10.Bupati Raden Badrun (1884-1910).36
Peninggalan-peninggalan sebagai bukti adanya Kadipaten Sidayu adalah:
1. Masjid Jami’
Masjid Jami’ berada di jalan lama Daendels (Anyer Panarukan
berhadapan dengan alun-alun kota.
2. Komplek Makam Bupati
Kompleks makam para Bupati Sidayu terletak di belakang Masjid Jami’
makamnya diberi cungkup dan inskripsi berhuruf Arab, Jawa dan Latin yang
berbahasa Melayu, Jawa dan Belanda. Seperti inskripsi pada makam Bupati
[image:33.595.115.511.219.687.2]Kanjeng Sepuh tertulis:
Gambar artefak pada dinding komplek makam Bupati Sidayu.
36
25
- Bahwa ini Kanjeng Raden Adipati Suryadiingrat Negeri Sidayu.
- yang mendhohirkan Am tuan kalian nag ada di Kudus ketika tahun
Aulanda 1784 injawa 1715.
- Adapun yang diberhentikan dengan sehat alatiat alakal hamdu wasyukru
di dalamnya tahun Wulanda 1808 injawa 1739.
- Kanjeng Raden Adipati Arya Surya Diningraat ing panggeri Sidajeng.
- Rikala jumeneng Bupati Sidajeng ing tahun Wulandi 1817 ing tahun jawi
1744 lumayahipun panjenengan.
- Bupati dateng kang kalian kersanipun pribadi ingsasi januari tahun 1855
utawi Rabiul Akhir tahun 1783.
- Dinten paeginipun ing malam ahad wancine jam 11 saking tanggal kaping
9 sasi Maret tahun 1856.
- Utawitinggal sasi Rejeb tahun ba’ werso jawi 1784 dan 1262 H.
- Rikala yosa nalika penghulu Muhammad Qasim Sinangkalan agniya’
panika.
- 1833 gunane aponggo wedhae rupo 1893
Terjemah inskripsi:
- Bahwa Kanjeng sepuh Adipati Surya Diningrat adalah seorang Bupati
daerah Sidayu.
- Dilahirkan oleh tuanmu ”Ratu Anom“ di daerah Kudus tahun Belanda
1784 jawa 1710.
- Adapun dipindahkan ke Sidayu dalam keadaan sehat walafiat puji syukur
pada tuhan ketika tahun Belanda 1808 Jawa 1734.
- Kanjeng Raden Adipati Arya Suryadiningrat di Negeri Sidayu.
- Diangkat sebagai Bupati Sidayu di tahun Belanda 1817 tahun Jawa 1744.
- Bupati yang akan datang yang merupakan putranya sendiri yang
26
- Hari Wafatnya di malam minggu tepatnya jam 11 dari tanggal 9 bulan
Maret tahun 1856.
- Atau tanggal 2 bulan Rejeb tahun ba’ “tahun Jawa” 1784 dan 1272 H.
- (diskripsi) ini dibuat oleh pada masa pengulu Muhammad Qasim yang
kaya itu
- 1833 Kegunaan aponggo wedane Rupa 1893.37
Di sebelah barat makam kanjeng sepuh terdapat juga makam Kanjeng
Pangeran beseta istri. Dapat dilihat bahwa Candrasengkala yang terdapat di
makam Bupati Kanjeng Sepuh yang berbunyi “1833 Gunane Aponggo
Wedahe Rupo 1893” yang bermakna Gunane =3 Aponggo=3 Wedahe=8 dan
Rupo=1 ini berarti bahwa pembuatan tulisan tersebut dimulai tahun
1833-1893, Jadi pembuatanya seabad dengan Kanjeng Sepuh. Di belakang mihrab
masjid terdapat rubuk kuno atau jam batu untuk menunjukan waktu sholat
dari bantuan cahaya matahari dan sekarang sudah dirobohkan. Di sebelah
paling barat terdapat sumur tua yang disertai dengan saluran air pengisi kolam
wudlu.38
3. Alun-Alun Sidayu, Pasar dan Bekas Kantor Pemerintahan
Alun-alun merupakan tempat yang datar dan luas, Alun-alun Sidayu
merupakan bekas peninggalan kota Kadipaten. Dalam buku yang ditulis
Dukut Imam Widodo dikatakan bahwa pada masa Pemerintahan Belanda
alun-alun dipakai oleh para prajurit untuk latihan, selain itu Alun-alun
37
Libra Hari Inagurasi,Laporan Penelitian: Kota Masa Pengaruh Eropa : Studi Terhadap Kota Sidayu, Gresik, Jawa Timur (Jakarta: Badan Pengembembangan Kebudayaan Dan Pariwisata Pusat Arkeologi, 2002),14
38
27
digunakan tempat para Bupati Sidayu untuk menerima penghargaan dan
penghormatan. Di alun- alun itu pula banyak saudagar Kompeni Belanda
berjalan-jalan di sekitarnya. Di sekitar alun-alun terdapat rumah-rumah
Belanda, yang dikelilingi pohon-pohon dan didepanya terdapat kantor
Kabupaten serta pasar masyarakat Sidayu. Pada masa itu pula belum ada
mobil, terdapat kereta-kereta beroda empat yang ditarik oleh empat ekor kuda
dan para bangsawan Sidayu atau para serdadu kompeni bergaya naik kuda.
Kemudian di sudut alun-alun ditempatkan gardu-gardu penjagaan, maka para
prajurit Sidayu dengan bersenjatakan tombak atau pedang terhunus akan
mengamati setiap pejalan kaki yang lewat. Itulah gambaran Sidayu semasa
abad 19 adalah sebuah ibu kota kabupaten dan setelah bupati memerintah
selama 4 abad maka Sidayu diubah kedudukannya menjadi sebuah
Kawedanan.39
Kantor Kawedanan didirikan setelah Sidayu menjadi Kadipaten yang
dibangun di sebelah timur alun-alun dan bangunan menghadap ke barat atau
ke arah alun-alun, bangunan tersebut antara alun-alun Sidayu. Bangunan
tersebut dirancang untuk perkantoran dan tetap dipergunakan meskipun
istilah kawedanan berubah menjadi pembantu Bupati. Setelah tidak ada lagi
jabatan pembantu Bupati, bangunan kantor untuk beberapa tahun kosong
tidak dipergunakan lagi.40
39
Dukut Imam Widodo, Grisse Tempo Doloe (Gresik:Pemerintah Kabupaten Gresik, 2004). 349. 40
28
Dari sekilas sejarah Sidayu diatas dapat diketahui salah satu bukti
peninggalan pemerintahan Sidayu adalah tempat peribadatan umat Islam berupa
Masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
Setelah masa pemerintahan Raden Badrun berakhirlah kota Sidayu sebagai
ibukota Kadipaten dan pemerintahan Belanda menjadikan Sidayu hanya sebagai
“Countelir” (pemerintahan perwakilan) dengan alasan untuk mengatasi
kekacauan masa Raden Badrun yang dipindah ke Jombang. Sementara itu dalam
perkembangan waktu dari status countelir wilayah Sidayu dirubah namanya
menjadi kota Kawedanan atau istilah sebagai pembantu bupati. Kemudian status
ini berakhir ketika kebijaksanaan otonomi daerah diberlakukan tahun 2001 dan
kini sidayu hanya sebagai kota Kecamatan.41
Sidayu berada di wilayah pantai Utara Pulau Jawa yang masih termasuk
kedalam wilayah Kabupaten Gresik, seperti yang diketahui banyak terdapat
peninggalan-peninggalan bernuansa Agama Islam yang berada di wilayah
Kabupaten Gresik, seperti Makam Sunan Giri, Makam Syekh Maulana Malik
Ibrahim, dan juga Makam Siti Fatimah Binti Maimun, yang merupakan makam
Islam pertama yang ditemukan. Dengan banyaknya peninggalan-peninggalan
bernuansa Islam di Kabupaten Gresik, menyebabkan wilayah Kabupaten Gresik
merupakan wilayah yang banyak mendapatkan pengaruh Agama Islam.
Adanya pengaruh Agama Islam di Kabupaten Gresik, juga sampai ke wilayah
Sidayu. Hal tersebut dapat diketahui dengan adanya Makam dari Kanjeng Sepuh,
seorang Ulama’ yang juga merupakan Bupati ke-8 Kadipaten Sidayu. Kanjeng
41
29
Sepuh merupakan bupati dan juga Ulama’ yang disegani pada masanya, bahkan
sampai sekarang makam dari Kanjeng Sepuh masih ramai dikunjungi oleh para
peziarah.
Sebagai daerah yang mendapat pengaruh Agama Islam, masyarakat Sidayu
mayoritas suku Jawa.42 Tentunya di wilayah Sidayu terdapat banyak
budaya-budaya yang bernuansa Islam yang telah berakulturasi dengan budaya-budaya Jawa,
seperti Ziarah Kubur, Tahlilan, Yasinan, Slametan, Sedekah Bumi, dan lain-lain.
Dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, tentunya aktivitas budaya
keagamaan tersebut terus berjalan bahkan sampai sekarang. Banyaknya masjid
dan musholla yang tersebar di berbagai desa, dan juga adanya beberapa pondok
pesantren yang tersebar di berbagai tempat adalah beberapa faktor pendukungnya
antara lain Pondok Pesantren Al-Munawwar, Pondok Pesantren Qiyamul Manar,
dan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan. Berikut ini adalah data yang
menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Sidayu beragama Islam dan banyaknya
[image:38.595.111.513.257.686.2]masjid dan musholla di Sidayu.
Tabel Jumlah pemeluk agama dan tempat ibadah tahun 2015 Sumber: Kecamatan Sidayu dalam angka
42
30
Sebagai daerah dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam,
tentunya para penduduknya juga dikategorikan menurut organisasi keagamaan
Islam yang mereka ikuti, seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, ataupun
Wahabi. Nahdhotul Ulama’ dan Muhammadiyah merupakan organisasi
keagamaan yang banyak diikuti oleh sebagian besar penduduk di Sidayu,
penyebaran keduanya juga berimbang, sedangkan untuk penganut faham Salafi,
merupakan kelompok keagamaan minoritas yang ada di Sidayu, yang
penyebarannya hanya terkonsentrasi di wilayah Desa Sedagaran, Serowo dan
sekitarnya di daerah utara Kecamatan Sidayu.
B. Kehidupan Masyarakat Sidayu
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan
kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan
simbol.43 Agama adalah simbol yang melambangkan nilai-nilai ketaatan kepada
Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa
hidup di dalamnya. Agama juga sangat memerlukan sistem simbol, dengan kata
lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan.
Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal
perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan
temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama
43
31
pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama hanya sebagai kolektivitas semata tidak
akan mendapat tempat.44
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau
budaya yang ada di Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan
Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga
kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang
simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah
(mawa yanthiqu „anil hawa, in hua illa wahyu yuha), Artinya : “yang diucapkan
itu bukan berasal dari hawa nafsu melainkan wahyu yang diwahyukan”, dengan
cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu.
Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk
mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi saw
hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan
gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru „alaaina dan
seterusnya.45
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara
begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol
Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk
memahami nilai-nilai Islam). Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang
dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu.
Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna atau corak budaya lokal. Tidak
seperti agama yang lain, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau
44
Ibid., 198. 45
32
bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam
tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab),
tempat lahirnya agama Islam.46
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam
kita dahulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih
ingat para wali yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat
dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam
bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya,
masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus dengan budaya Jawa tetapi
berisikan ajaran-ajaran Islam.
1. Kondisi Sosial dan Keagamaan
Kehidupan agama pada masyarakat Sidayu masih dipenuhi agama
Hindu Budha. Hal ini karena pada abad 13 kerajaan Majapahit mencapai
puncak kebesarannya dengan menguasai jaringan perdagangan di Nusantara
sehingga dapat dirasakan pula adanya pengaruh kerajaan terhadap
kepercayaan masyarakat yakni Hindu-Budha. Di mana wilayah Sidayu yang
merupakan sebelah timur Tuban salah satu pelabuhan pantai pada masa
Majapahit masyarakatnya pun banyak menganut agama Hindu-Budha.47
Perlu diketahui bahwa masyarakat dalam agama Hindu dibagi dalam
beberapa kasta, yakni terkenal dengan Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan
46
Prof. Dr. Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Toraja, 2003), 127. 47
33
Sudra. Kasta Brahmana adalah kastanya para pendeta dan para pendidik,
Kasta Ksatria adalah kastanya para raja dan panglima, sedang kasta Waisya
adalah kastanya para sadudagar dan tukang-tukang kemudian Sudra adalah
kastanya kuli-kuli serta para hamba sahaya, di samping itu ada pula golongan
yang terendah yang disebut paria. Paria adalah golongan tukang tandur yakni
golongan paling bawah dalam kasta Hindu.48
Pada taraf permulaan masuknya Islam di pesisir pantai utara Jawa,
terutama di daerah kekuasaan Majapahit merupakan proses islamisasi yang
telah mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya Demak. Dalam
penyiaran agama Islam di Jawa oleh para muballigh atau dikenal dengan
sebutan wali telah menetralisir aktivitasnya dengan menjadikan kota Demak
sebagai pusat kegiatannya, setelah masuknya agama Islam yang dibawa para
muballigh untuk disebarluaskan dengan cara damai, maka rakyat di tanah
Jawa yang tidak kurang 700 tahun lamanya hidup sebagai orang sudra yang
dianggap hina telah beralih atau pindah ke agama Islam.49
Masa peralihan yang dimaksudkan dari zaman Hindu ke Islam secara
resmi adalah bermula dari para penguasa formal (Raja, Pejabat, Kerajaan)
akibatnya sebagian besar rakyat mengikutinya dan Islamnya para penguasa
itu pun dapat pula mempengaruhi penguasa-penguasa lainnya untuk memeluk
Islam, sehingga Islam dapat berkembang dengan cepat.50
48
Solihin Salam, Sekitar Wali Songo (Yogyakarta: Menara Kudus, 1960), 9-10 49
Ibid., 11. 50
34
Berkembangnya agama Islam tersebut sampai ke pelosok daerah di
wilayah Sidayu. Sidayu yang masyarakatnya mayoritas Islam tentunya
aktivitas keagamaan di desa-desa diwarnai oleh ajaran Islam atau dapat
dikatakan bahwa kondisi wilayah Sidayu merupakan wilayah yang
masyarakatnya agamis, hal itu dapat dilihat dari adanya masjid atau musholla
sebagai kegiatan keagamaannya, namun pengaruh dari agama Hindu-Budha
masih juga mengakar pada mereka.51
Bukti nyata bahwa Sidayu beragama Hindu adalah adanya Patung
Dwarapala yang terletak di Desa Mojopuro Wetan yang sekarang sudah
dipindahkan ke Trowulan, dimana masa itu Sidayu merupakan sebuah
kerajaan yang beribu kota kerajaannya di Lasem52 dan adanya prasasti di
Karang Bogem sekitar abad 18-an, sesuai apa yang disampaikan oleh Van
Stein Callefels sebagaimana yang termuat dalam Oudheidkundig Versleg
1982. Berikut terjemahan dari prasasti tersebut:
1) Itu hendaknya diketahui (oleh) para menteri di Tirah Arya Songga (dari)
Pabeeman, Arya Carita (dari) Purut, Patil, Lajer; hendaknya mengetahui
bahwa saya menetap.
2) Kan tanaha pekarangan (milik) Patih Tambak Karang Bogem, yang
berlokasi: sebelah selatan berbatas tanah padang (daratan) kering), batas
timur memanjang hingga mencapai laut.
51
Husnul Karimi, Wawancara, Sidayu, 28 Desember 2016. 52
35
3) Batas sebelah barat tebangan hutan pohon demung (bambu?) terus
berlanjut (kurang lebih 28.860 m2). Dan tegalannya satu kikil (setengah
jung). Itulah luasnya. Hendaknya jangan diganggu-ganggu.
4) Adalah seorang hambakau dari Gresik (seorang) nelayan, berhutang satu
kati dua lekas (12.000) bermaksud mengembalikan (menyaur)
sedapat-dapatnya, dengan meminta bantuan sesama kawan nelayan; hendaknya
(dia ini) dibebaskan (oleh) kesediaan (pemerintahan) Si-
5) Dhayu, hendaknya diusahakan (diberi pengarahan) hal itu dari dalam
daerah Galangan wolu agar menyerahkan terasi seberat seribu (apa?) tiap
sebidang tambak (dan) semua isi (hasil)-
6) Tambak itu diserahkan kepada saya. Adapaun pedagang, hendaknya
dibebaskan (dari) keharusan pajak. Tetapi hendaknya dikenakan pajak.
(sebagai tanda) kesetiaan (tanda bukti/bulu bekti).
Halaman atau belakang: Separuh (nya) menurut rata-rata warga di
wilayah itu, tertanggal ke-17, bulan delapan. Lembu Jantan Katatang.53
Maka dari itu pengaruh tersebut, sebagian besar dari mereka, ada yang
masih memeluk agama Hindu dan Islam, namun Islam dari mereka ada yang
disebut dengan Islam kejawen (abangan) yakni letaknya tepat di Sidayu
wetan.54
Menurut Koentjoroningrat Islam santri adalah penganut agama Islam
di Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari
53
Ibid., 122-123. 54Bapak H. Rif’an,
36
agamanya. Sedangkan Islam kajawen adalah percaya pada ajaran keimanan
agama Islam tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama
Islam misalnya: sholat, puasa, haji, dan sebagainya.55
Perlu diketahui orang yang pertama kali mengislamkan masyarakat
Sidayu adalah Raden Yugo, kemudian sekitar tahun 1600-an dari kesultanan
Solo telah mengirim Raden Kromowijoyo untuk menjadi Bupati di Sidayu,
sekaligus membuat tempat peribadatan (masjid).56
Kehidupan masyarakat Sidayu masih dijumpai pula adanya alam
pikiran monoisme yakni mereka percaya antara manusia yang masih hidup
dan manusia yang telah mati atau roh-roh halus maupun percaya pada
benda-benda yang memiliki kekuatan.57
Menurut Kuntjoroningrat kebanyakan orang Jawa percaya bahwa
hidup manusia di dunia diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit
mereka bersikap nerima yakni menyerahkan diri pada takdir. Bersamaan
dengan pandangan alam pikiran partisipasi tersebut, orang Jawa percaya
kepada suatu yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang dikenal dengan
kesaktian (kekuatan sakti).58
Kesaktian adalah kepercayaan pada benda-benda pusaka, keris dan
alat-alat suara Jawa (gamelan), kendaraan istana dan lain-lain. Kemudian
percaya pada arwah atau ruh leluhur dan makhluk-makhluk halus seperti:
memedi, lelembut, tuyul, dedemit, dan lain-lain. Dalam pandangannya
55
Kuntjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Jambatan, 1979), 337. 56
Moh. Tohir, Sejarah Singkat Kanjeng Sepuh Adipati Surya Diningrat Sidayu 1784-1856, (Gresik:Catatan kepustakaan, arsip Masjid Besar Kanjeng Sepuh Sidayu, 2007), 12 57
Husnul Karimi, Wawancara, Sidayu, 28 Desember 2016. 58
37
masing-masing makhluk-makhluk halus tersebut dapat mendatangkan
kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, tapi sebaliknya
dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan bahkan kematian dan
apabila seorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, mereka harus
mengadakan selametan atau membuat sesajen.
Selametan adalah suatu upacara makan bersama, makanan itu telah
diberi do’a sebelum dibagi-bagikan dan upacara ini biasanya dipimpin oleh
moden, yakni salah seorang pegawai masjid. Sedangkan sesajen adalah
penyerahan sajian pada saat tertentu di dalam rangka kepercayaan terhadap
makhluk halus di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah tiang rumah, di
persimpangan jalan, di pohon-pohon besar dan lain-lain.59
Menyangkut upacara selamatan bagi masyarakat Sidayu yang sering
kali dilakukan adalah:
a. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seorang seperti hamil tujuh bulan
kelahiran, upacara potong rambut pertama, sunatan dan selamatan setelah
kematian.
b. Selamatan berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam,
seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
c. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian
dan setelah panen padi atau masyarakat Sidayu menyebutnya dengan
59
38
sedekah bumi (Nyadran). Sedekah bumi ini dilakukan setiap habis panen
sebagai perwujudan rasa syukur atas rezeki yang telah mereka dapatkan.60
2. Kondisi Sosial Perekonomian
Mata pencaharian penduduk Sidayu cukup komplek seperti
perdagangan, penguasa, petani, pegawai negri, pegawai swasta , namun mata
pencaharian yang paling menonjol adalah petani, perikanan (tambak)dan
peternak burung wallet.
Usaha pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat Sidayu adalah
padi, jagung, ketela, kacang Cina, kacang tunggak, tembakau, kapuk dan
jarak.61 Kondisi ekonomi masyarakat Sidayu yang bersumber dari lahan
pertanian sudah dapat dikatakan mencapai tingkatan yang cukup baik hal ini
karena lahan atau tanah di kawasan wilayah Sidayu umumnya sesuai untuk
pertanian. Berdasarkan fakta bahwa frekuensi panen yang mereka capai
rata-rata dua sampai tiga kali panen dalam setahun.
Sedangkan usaha pertanian dalam hal ini adalah burung wallet, sarang
burung wallet merupakan komoditi eksport yang di dalam perdagangan
internasional di kenal dengan nama “Bird’s nest”. Komoditi ini terdaftar
dengan nomor SITC (Standart Internasional Trade Classification). Di
Indonesia sarang burung wallet di kenal sejak tahun 1720 dan pertama kali
ditemukan oleh seorang lurah bernama Sadrana yang secara tidak sengaja
menemukan sarang burung wallet di Gua Karang Bolong Kebuman Jawa
Tengah. Melihat banyaknya minat untuk membuat sarang burung wallet,
60
Husnul Karimi, Wawancara, Sidayu, 28 Desember 2016. 61
39
maka usaha ini menjadi trend sebab mengingat banyaknya harga jual
produknya yang mencapai belasan juta per-kilogram, selain itu banyak
memiliki manfaat.
Selain peternakan burung walet, masyarakat Sidayu juga usaha
peternakan lembu yang tidak digunakan untuk mencari keuntungan
melainkan dipakai untuk kepentingan petani yakni sebagai hewan tarik,
sedangkan peternakan kambing dikarenakan sukar mencari rumput di musim
kemarau dan untuk angkutan (dokar) kuda biasanya didatangkan dari luar,
misalnya kuda-kuda Nusa Tenggara yang dibeli dari Surabaya.62
Usaha perikanan yang dilakukan masyarakat Sidayu adalah tambak.
Usaha ini masyarakatnya banyak menghasilkan ikan bandeng yang segar dan
dikirim ke Surabaya, pada masa pemerintahan Belanda usaha pertambakan
telah berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Di Jawa usaha tambak
berada di sepanjang pantai utara Jawa juga di pantai Madura.
Berita dari Bupati Sidayu bahwa tambak ikan Gresik mengalami
perkembangan pada tahun 1860-an. Terutama berada di dekat Ujung
Pangkah. Pesatnya tambak ikan dimungkinkan karena untuk mengeksploitasi
ekonomi perkebunan di sekitar pantai utara Gresik yang tak cukup
memberikan harapan bagi Belanda. Usaha tambak dirasakan sangat
menjanjikan kenikmatan, sehingga wilayah Gresik cukup potensial
62
40
mengembangkan sektor ini.63 Perikanan laut ini yang besar juga terdapat di
Sidayu Lawas, setelah menghasilkan pindang yang dikirim ke Surakarta.
C. Organisasi Masyarakat Islam Di Sidayu
Di Sidayu terdapat tiga organisasi masyarakat terbesar yang dianut oleh
masyarakat Sidayu, yaitu Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah dan Salafi. Dalam
aktifitas sehari-hari terdapat korelasi yang cukup signifikan antara ketiga aliran
keagamaan tersebut, di mana aliran yang berhaluan Ahlusunnah Waljamaah (NU)
merasa cemas karena dari tahun ke tahun jamaahnya semakin berkurang dan
memilih untuk menikah dengan aliran Salafiyah, selain itu perbedaan aliran antar
ketiganya yang berbeda membuat intraksi antar ketiga aliran di rasa kurang
harmonis, di mana Ajaran NU dalam berdakwah masih mempertahankan
ajaran-ajaran lama dan masih memegang teguh dakwa penyebaran Islam seperti manhaj
suci wali sanga dalam berdakwah di tanah Jawa. Mereka lebih mengedepankan
nilai-nilai santun dan penuh etika menghadapi berbagai macam karakter dan
budaya yang ada bagi bangsa Indonesia.
Kearifan dan kecerdikan Wali Songo yang dalam dakwahnya bisa
memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah. Sedangkan untuk
Muhammadiyah berusaha lebih maju satu langkah dari Nahdlatul Ulama dan
Salafi secara tidak langsung menerapkan Fundamentalisme (kembali kepada
ide-ide dan praktik-praktik dasar yang menjadi ciri Islam pada masa permulaan
sejarahnya), yang berpedoman kepada teks-teks keagamaan serta ulama-ulama
terdahulu.
63
41
Dalam gerakan Wahabiyah atau Salafiyah sering dijumpai adanya keinginan
yang kuat untuk kembali kepada yang benar-benar di anggap murni dari zaman
Rasulallah dan sahabat. Keinginan kepada kesederhanaan ini mendorong mereka
untuk betul-betul mencontoh yang otentik (asli). Mereka berusaha memanjangkan
jenggot dan mencungkur kumis, memakai cadar untuk wanita dan berkatok
cingkrang untuk pria dan menolak cara bertamu modern.64
1. Nahdlatul Ulama’
Nahdlatul Ulama’ adalah organisasi masyarakat Islam yang paling
banyak diikuti di Wilayah Sidayu. Dari data kongkrit Majelis Wakil Cabang
Nahdlatul Ulama’ Sidayu 28 Juli tahun 2000, jumlah angka warga Nahdliin
Sidayu mencapai 7.795 orang terbagi 26 desa atau ranting se-Kecamatan
Sidayu. Adapun desa atau ranting tersebut sebagai berikut: Asemanis,
Asempapak, Brak Wadeng, Bunderan, Gedangan, Golokan, Kauman,
Kertosono, Kuncen, Lasem, Mojoasem, Mriyunan, Ngawen,
Pengulu-Purwodadi, Petiyin, Racikulon, Raci Tengah, Randuboto, Sambi Pondok,
Sedagaran-serowo, Sidomulyo, Sukorejo, Tajungsari, Telogorambit, Ujung
Timur, Wadeng.
Sejak awal didirikan aliran Nahdlatul Ulama ini lebih mudah diterima
masyarakat Sidayu, hal itu dikarenakan masyarakat Sidayu pada saat itu
pemikiran dan konsep teologisnya masih terpengaruh budaya Hindu-Budha.
Nahdlatul Ulama masuk ketengah-tengah masyarakat melalui pendekatan
secara persuasif melalui budaya-budaya lokal Sidayu.
64
42
Hingga dewasa ini Nahdlatul Ulama menjadi aliran teologis mayoritas di
Sidayu. Dalam perkembangannya NU di Sidayu semakin hari semakin kuat,
hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga-lembaga yang dinaungi NU
seperti lembaga pendidikan formal maupun nonformal, masjid-masjid yang
berhaluan NU, dll. Selain itu banyaknya organisasi-organisasi yang secara
sistem memang berindukan NU masih aktif di berbagai ranting desa maupun
tingkat kecamatan seperti IPNU, IPPNU, FATAYAT, Muslimat, GP
ANSOR, BANSER dan sebagainya.65 Disamping lembaga dan organisasi
aktif bi