• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out dari UIN Sunan Ampel Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out dari UIN Sunan Ampel Surabaya."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

MUFARROHAH B77213086

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

(7)

ABSTRACT

This study aims to understand the form of resilience to students who are threatened to drop out from UIN Sunan Ampel Surabaya. This research is a qualitative research, using triangulation as data validation. The subject is 12th semester students who have academic problems in dependent of SKS with reducing semester quota. The subjects in this study are 3 students from UIN Surabaya. The resulted In this study is first subject has not be able to finish college because they feel lack of confident with the ability they owned. The second subject is too comfortable to organize. And the third subject has academic problems experienced. The results of this study indicate that the resilience of three subjects is not much different. All three subjects are able to control their emotions and stay calm when faced with problems. Support from friends, lecturers and family is very helpful for the subject to rise up and solve the problem and can socialize well. The optimism and confidence that the three subjects have made the three subjects rise. All three subjects have a way of improving different aspects of life. The first subject chooses to return to college diligently, finding relationships, reading books and discussing with friends. The second subject chooses to isolate himself closer to Allah SWT and reproduce reading books. The third subject chooses to be more disciplined in dividing the time, diligently working on the task and finally planning his future. All three subjects consider that the problems experienced as a test given by Allah SWT to make the individual better and more useful, so that the subject of research is always grateful and look at the future better and positive.

(8)

DAFTAR ISI

2. Aspek-aspek Resiliensi ... 20

B. Mahasiswa Drop Out 1. Pengertian Mahasiswa ... 28

2. Pengertian Drop Out ... 31

3. Mahasiswa Drop Out ... 32

C.Resiliensi Pada Mahasiswa yang Terancam Drop Out ... 33

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35

B. Lokasi Penelitian ... 36

C. Sumber Data ... 36

D. Cara Pengumpulan Data ... 38

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 41

F. Keabsahan Data ... 42

(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Partisipan ... 45

B. Temuan Penelitian ... 48

1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 48

2. Analisis Temuan Penelitian... 79

C. Pembahasan ... 100

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

LAMPIRAN ... 113

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman di dunia pendidikan terus berubah dengan signifikan

banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola yang awam dan kaku menjadi

lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di

Indonesia. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya-upaya untuk

memajukan bertumbuhnya budi pekerti yaitu kekuatan batin, karakter, pikiran

atau intelek dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan

keselarasan dengan dunianya. Pendidikan itu membentuk manusia yang

berbudi pekerti, berpikiran pintar, cerdas dan bertubuh sehat (Bartolomeus

Samho & Oscar, 2010).

Pengertian pendidikan di atas sejalan dengan Undang - Undang No 20

tahun 2003 yang berbunyi " Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara” (UU No. 20, 2003).

Untuk menjadi manusia yang memiliki potensi dan kemampuan yang baik

seseorang harus menempuh pendidikan formal ataupun nonformal. Di

Indonesia pemerintah mengeluarkan peraturan yaitu pendidikan minimal 12

(11)

Belajar (JPPI, 2015). Setelah menempuh pendidikan 12 tahun, hendaknya

seseorang melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Masuk

ke perguruan tinggi merupakan salah satu pilihan yang bisa ditempuh oleh

lulusan SMA, SMK, MA dan juga paket C. Dengan melanjutkan pendidikan

di perguruan tinggi, maka seseorang akan memiliki pengetahuan dan pola

pikir yang luas serta memiliki kemampuan yang sesuai dengan bidang yang

diminati (PP No. 47, 2008).

Ketika di perguruan tinggi individu tidak lagi disebut sebagai siswa, akan

tetapi mahasiswa. Mahasiswa berasal dari kata "Maha" yang berarti besar

atau tinggi dan "siswa" yang berarti pelajar atau dengan kata lain mahasiswa

adalah pelajar yang berada pada strata tertinggi. Berdasarkan peraturan

pemerintah RI No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang

terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu (PP No.30, 1990).

Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi adalah impian bagi semua

individu disemua lapisan masyarakat, baik di kota maupun di daerah, yang

miskin maupun yang kaya. Individu akan merasa senang dan bangga jika bisa

melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, apalagi bagi mereka yang

berasal dari daerah dan dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah.

Orang tua merasa bangga melihat anaknya melanjutkan pendidikan. Dengan

senang hati orang tua mengantarkan dan membiayai anaknya untuk belajar di

perguruan tinggi dengan harapan bisa menjadi orang sukses.

Namun bagaimana jika setelah menjadi mahasiswa, ia terancam

(12)

Bagaimana kondisinya baik fisik dan psikisnya, ketika mahasiswa yang

berniat untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, lebih-lebih bagi mereka

yang berasal dari ekonomi menengah kebawah saat ini terancam

diberhentikan dari status mahasiswanya. Kasus pemberhentian status

mahasiswa atau yang sering dikenal drop out dari kampus-kampus,

akhir-akhir ini sering terjadi.

Pemberhentian status kemahasiswaan atau drop out adalah proses

pencabutan status kemahasiswaan atas diri mahasiswa, disebabkan oleh

hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi bersangkutan

(hukumonline.com).

Beberapa penyebab mahasiswa drop out dari perguruan tinggi yang sering

dijumpai yaitu karena minat belajar yang rendah, kegagalan mereka dalam

beradaptasi secara akademik dan sosial pada awal-awal semester. Beberapa

mata kuliah pada semester pertama mungkin dirasa sangat sulit bagi sebagian

mereka yang selama di SMA tidak pernah mengenalnya atau kegagalan pada

mata kuliah dasar di semester pertama dikarenakan mereka belum mampu

belajar secara mandiri karena semasa SMA mereka sudah terbiasa

memperoleh bimbingan belajar dari para tutor pada lembaga-lembaga

bimbingan belajar yang tersebar di berbagai kota (kabarkampus.com).

Penyebab lain yang sering didengar di masyarakat yaitu karena mahasiswa

sibuk berorganisasi sehingga mengenyampingkan kuliah atau karena belum

bisa menyelesaikan tugas akhirnya yaitu skripsi hingga semester 14 atau 7

(13)

skripsi dalam waktu satu semester atau enam bulan masa kuliah. Hanya saja

kenyataannya banyak mahasiswa yang membutuhkan waktu lebih dari enam

bulan untuk penyelesaian skripsi, sehingga yang terjadi kemudian adalah

keterlambatan dalam penyelesaian studi dan tidak jarang berujung pada

pengeluaran mahasiswa (drop out). Ironisnya hal tersebut kini menjadi hal

yang lumrah terjadi hampir di setiap perguruan tinggi (kabarkampus.com).

Setiap tahun lembaga pendidikan atau universitas melakukan evaluasi

terhadap mahasiswanya. Seperti halnya di UIN Sunan Ampel Surabaya, ada

mahasiswa yang terancam drop out karena beberapa alasan diantaranya yaitu

tidak memenuhi sistem kredit semester (SKS) sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Selain itu ada beberapa mahasiswa yang terancam drop out karena

mengalami keterlambatan dalam mengerjakan skripsi. Sehingga setiap tahun

ada mahasiswa yang terpaksa di drop out karena jatah semesternya sudah

berakhir, yaitu sudah melebihi semester 14.

Berdasarkan buku panduan strata satu Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel (UINSA) Surabaya, strata satu ditempuh dengan 8 semester dan

maksimal 14 semester. Jika mahasiswa telah mencapai semester 14 dan masih

belum menuntaskan studiya, maka mahasiswa tersebut akan dikeluarkan oleh

pihak universitas dan tidak diperkenankan melanjutkan pendidikannya.

Berikut data mahasiswa yang di drop out dari UIN Sunan Ampel Surabaya

diperoleh dari bagian akademik UIN Sunan Ampel 5 tahun terakhir yaitu dari

(14)

Tabel 1

Jumlah Mahasiswa Drop Out di UIN Sunan Ampel Surabaya

No Tahun Jumlah

1. 2012 1.659

2. 2013 937

3. 2014 552

4. 2015 572

5. 2016 426

Dari data tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa tidak sedikit mahasiswa

yang drop out dari UIN Sunan Ampel. Namun dari tahun 2012 hingga 2016

terdapat menurunan jumlah mahasiswa yang di drop out. Hal ini

menunjukkan bahwa mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya memiliki

kesadaran, motivasi dan tanggung jawab akan pendidikannya. Sehingga

mahasiswa akhir bisa menyelesaikan pendidikannya hingga lulus.

Mahasiswa akhir yang sudah semester 12 atau 14 tentunya memiliki

alasan-alasan yang membuat mereka belum bisa menuntaskan pendidikannya.

Jika dilihat dari sisi negatif, mahasiswa akhir belum bisa menyelesaikan

pendidikannya karena merasa malas melanjutkan atau sudah putus asa

mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Namun, jika dilihat dari sisi positif,

mahasiswa akhir belum bisa menyelesaikan pendidikannya karena berbagai

kesibukan atau kegiatan yang dilakukan. Misalnya membantu orang tua di

rumah, bekerja atau aktif di salah satu organisasi yang diikutinya.

Alasan-alasan tersebut diperoleh oleh peneliti saat mewawacarai salah satu

mahasiswa akhir UIN Sunan Ampel semeseter 12 yang berinisial JN pada

(15)

Saat diwawancarai JN menjelaskan bahwa mahasiwa akhir yang sudah

semester 12 hingga 14 belum bisa menyelesaikan pendidikannya karena

beberapa faktor. Aktif di organisasi misalnya, atau sibuk bekerja atau

membantu orang tua di rumah. Namun beberapa dari mahasiswa semester 12

atau 14 masih bisa berjuang menuntaskan pendidikannya, sebelum ia

dinyatakan drop out dari kampus (WCRCSJN30).

Mahasiswa akhir yang belum menyelesaikan pendidikannya karena masih

ada kurang lebih 9 SKS yang belum diselesaikan atau skripsi yang belum

dituntaskan. Dengan kondisi mahasiswa yang terlalu sibuk dan aktif

berorganisasi, membuat mahasiswa tersebut mengalami kesulitan untuk

membagi waktu. Hal itu tentu menjadi situasi yang sulit dan tekanan batin

yang dialaminya. Sisa SKS yang belum diselesaikan, dan jatah semester yang

sudah mendekati batas akhir yaitu semester 14, sedangkan banyak kegiatan

lain yang dilakukan. Hal ini membuat mahasiswa akhir merasa terancam drop

out dari kampus.

Kejadian ini membuat mereka mengalami kesedihan karena merasa

terancam tidak bisa menyelesaikan kuliah hingga lulus. Tentunya menjadi

suatu kondisi yang tidak menyenangkan untuk mereka. Maka dari itu

mahasiswa akhir harus menyelesaikan masalahnya dan memperjuangkan

pendidikannya.

Seperti yang dialami oleh subjek penelitian dalam penelitian ini, subjek

pertama UN yaitu mahasiswa semester 12 Fakultas Ushuluddin. UN memiliki

(16)

teman-temannya sudah lulus. UN merasa tidak yakin dengan kemampuan yang

dimilikinya. Namun UN mampu menghadapi permasalahan yang dialaminya

dengan cara kembali memprioritaskan kuliah dan tetap menjalin hubungan

baik dengan adik-adik kelasnya agar UN tidak merasa diasingkan. UN

berusaha mengasah kemampuannya dengan cara membaca buku, berdiskusi,

dan meminta evaluasi dari teman-temannya. Dengan adanya permasalahan ini

dijadikan sebagai pengalaman berharga oleh UN.

Subjek kedua yaitu DE mahasiswa semester 12 Fakultas Adab dan

Humaniora. DE memiliki permasalahan akademis yang dialaminya seperti

memiliki 4 mata kuliah yang belum terselesaikan kurang lebih 12 SKS dan

DE juga pernah terancam drop out karena suatu masalah. Dengan adanya

masalah ini DE menyadari ini terjadi karena kenakalan dan kesalahannya dan

DE berusaha menyelesaikan masalahnya. DE mampu bagkit menghadapi

masalahnya setelah DE memperbanyak membaca buku. DE menjadi lebih

sabar dan bijak menghadapi hidup. DE menganggap masalah yang dihadapi

sebagai tempaan dari Allah SWT karena Allah SWT menyiapkan suatu hal

yang lebih indah.

Subjek ketiga yaitu JN mahasiswa semester 12 Fakultas Psikologi dan

Kesehatan. JN memiliki 9 SKS yang belum terselesaikan. JN mengikuti

banyak organisasi sehingga JN tidak bisa membagi waktu. Sedangkan

teman-teman JN mayoritas telah lulus kuliah. Saat memasuki semester 12 JN

menyadari bahwa masa kuliahnya hanya sisa 2 semester. Akhirnya JN mulai

(17)

Dengan adanya masalah ini membuat JN lebih bertanggung jawab dan

disiplin.

Ketiga subjek diatas adalah mahasiswa semester 12 yang memiliki

tanggungan SKS lebih dari 9. Selain itu ketiga subjek memiliki kesibukan

berorgansisasi. Namun ketiga subjek masih memperjuangkan kuliah dan

berusaha menyelesaikannya. Ketiga subjek tidak merasa sungkan bertemu

adik-adik kelas dan teman-teman yang telah lulus mendahului ketiga subjek.

Ketiga subjek tetap tenang dan tidak menghiraukan orang yang

menghujatnya. Ketiga subjek kembali rajin kuliah dan tetap semangat

meskipun ketiga subjek harus satu kelas dengan adik-adik angkatan.

Dari hal itu dapat diketahui bahwa mahasiswa dapat menyelesaikan

permasalahannya. Mahasiswa pada tahap perkembangannya digolongkan ke

dalam fase dewasa awal atau berada pada rentang usia 18 – 24 tahun

(Hurlock, 1980). Individu yang berada pada masa dewasa awal mengalami

perubahan dari mencari pengetahuan menjadi menerapkan pengetahuan untuk

mengejar karir. Perubahan tersebut kemudian disebut oleh Schaie dalam

(Santrock, 2002) sebagai fase pencapaian prestasi (achieving stage) atau

suatu fase di masa dewasa awal yang melibatkan penerapan intelektualitas

pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka

panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan.

Saat memasuki usia dewasa awal, individu diharapkan memainkan peran

baru, seperti suami atau istri, orang tua, dan pencari nafkah. Mengembangkan

(18)

diharapkan mengadakan penyesuaian diri secara mandiri. Apabila mereka

menemui kesulitan-kesulitan yang sukar di atasi, mereka ragu-ragu untuk

meminta pertolongan dan nasehat orang lain, karena takut dikatakan masih

belum dewasa (Hurlock, 1980).

Terancamnya dikeluarkan mahasiswa tersebut membuat mereka memiliki

kecemasan akan studinya. Kecemasan tersebut menjadi stres ketika keadaan

yang mereka hadapi tidak sesuai dengan keinginannya. Mereka memikirkan

beban tanggung jawab terhadap pendidikannya serta orang tuanya. Kondisi

seperti ini tidak membuat para mahasiswa tersebut hanya merenungi nasib.

Karena usia mereka yang sudah masuk dalam tahap dewasa awal, mereka

mencari solusi dari keterpurukan yang di alaminya.

Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resiliensi.

Dalam psikologi istilah resiliensi yaitu suatu keadaan dimana individu dapat

bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan kebanyakan

lainnya gagal. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih sedangkan

individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang

menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa

kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah

keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan

tertentu pada individu.

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama ego

resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan

(19)

tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati, dalam Cindy Carissa, 2011).

Oleh Redl pada tahun 1969 resiliensi digunakan untuk menggambarkan bagian

positif dari perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stres dan

keadaan yang merugikan lain atau kondisi yang tidak menyenangkan atau

adversity (Desmita, 2012).

Resiliensi akan mempengaruhi penampilan seseorang di sekolah, di tempat

kerja, kesehatan fisik maupun mental,dan kualitas hubungannya dengan orang

lain. Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka

mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat

kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich&

Shatte, 2002).

Bobey (dalam Ahmad Junaidi, 2012) mengatakan bahwa orang-orang yang

disebut sebagai individu yang resilien, adalah mereka yang dapat bangkit,

berdiri diatas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaaan yang di hadapinya.

Sedangkan dalam bukunya Desmita mengatakan bahwa resilien akan membuat

sesorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi stress

hebat yang inheren dalam kehidupan dunia dewasa ini (Desmita,2015).

Dari berbagai uraian di atas dapat dikatakan bahwa resiliensi adalah

kemampuan individu untuk dapat bertahan menghadapi kemalangan atau

keterpurukan yang menimpanya. Dan dapat mengembangkan potensi yang

dimilikinya meskipun ia berada pada kondisi yang tidak menyenangkan.

Penelitian dari Ahmad Junaedi Salim Pulungan (2012) dengan judul

(20)

masyarakat pesisir. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut adalah siswa

SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir secara umum

tergolong sedang sampai tinggi. Dalam penelitian ini yang memiliki

kemampuan tingkat resiliensi tinggi pada aspek: Emotion Regulation,

Optimisme dan aspek Reach Out. Lalu memiliki kemampuan tingkat resiliensi

sedang pada aspek: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy dan aspek

Self-efficacy.

Penelitian yang dilakukan oleh Latifah Nur Ahyani dan Trubus Raharjo

(2010) dengan judul resiliensi pada siswa kelas unggulan ditinjau dari

intelegensi dan kemandirian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada

hubungan positif yang sangat signifikan antara varibel kemandirian dengan

resiliensi, dengan demikian hipotesis minor kedua yang diajukan dalam

penelitian ini diterima. Besarnya pengaruh inteligensi dan kemandirian

terhadap resiliensi tampak pada sumbangan efektif sebesar 26,4 %. Meskipun

sumbangan efektif yang diberikan tidak terlalu besar, namun hal ini cukup

penting untuk diperhatikan.

Dari penelitian di atas dapat diketahui individu yang mengalami

keterpurukan atau ketidak beruntungan masih memiliki resiliensi. Individu

yang mengalami keterpurukan dan memiliki resiliensi yang baik bisa

melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. Dari beberapa penelitian di atas

peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana gambaran resiliensi pada

mahasiswa yang terancam drop out?. Bagaimana resiliensi yang ada pada diri

(21)

masih belum tuntas dan skripsi yang belum terselesaikan, bagaimana cara

mereka menjalani studinya di kampus?.

Terancamya mahasiswa tersebut, tidak lain adalah sebagai evaluasi studi

yang selama ini telah mereka jalani. Sehingga peneliti bermaksud untuk

mengetahui gambaran resiliensi dan membantu mahasiswa tersebut dalam

menyelesaikan masalah yang dialaminya sebelum mereka menerima keputusan

di drop out dari kampus UIN Suan Ampel Surabaya. Sehingga mahasiswa

akhir bisa kembali memiliki motivasi untuk menyelesaikan studinya. Maka hal

ini menarik untuk diteliti, oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian

mengenai gambaran resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out di UIN

Sunan Ampel Surabaya.

B. Fokus Penelitian

Permasalahan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah

bagaimana gambaran resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out dari

UIN Sunan Ampel Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran

resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out dari UIN Sunan Ampel

Surabaya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan awal untuk

(22)

minat untuk penelitian teoritis terkait konsep resiliensi. Bagi psikologi

pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

informasi mengenai salah satu aspek kehidupan individu yang pernah

mengalami masalah atau kegagalan dalam bidang akademisnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian secara praktis bermanfaat untuk individu yang

mengalami masalah dalam pendidikannya. Dengan memahami resiliensi,

individu yang mengalami keterpurukan bisa melanjutkan pendidikan serta

menjalani hidupnya dengan lebih baik dan optimis supaya dapat mencapai

kesuksesannya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang resiliensi akhir-akhir ini cukup banyak dilakukan oleh

para peneliti. Hal ini menunjukkah bahwa resiliensi menjadi hal yang

menarik untuk diteliti. Berikut adalah penelitian tentang resiliensi yang

pernah dilakukan .

Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat Taufiq (2014) tentang gambaran

resiliensi anak pasca bencana banjir di Desa Dayeuhkolot, Kabupaten

Bandung Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kemampuan

resiliensi yang dimiliki oleh anak-anak pasca bencana banjir di desa

dayeuhkolot, kabupaten bandung jawa barat menunjukkan kemampuan yang

baik atau tinggi dalam mengendalikan emosi. Dan memiliki optimis dan

(23)

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sri Rahmawati (2013) tentang

resiliensi taruna STP dari keluarga pelaku utama perikanan. Hasil dari

penelitian ini menyatakan bahwa terlihat variasi tingkat resiliensi subjek

dalam menghadapi persoalan. Variasi terjadi pada faktor-faktor resilensi.

Namun pada aspek optimisme dan efikasi diri, keseluruhan subjek

menunjukkan hasil yang positif. Selain itu, faktor protektif juga memiliki

pengaruh yang berarti. Faktor protektif tersebut yaitu dukungan sumber daya

dan karakteristik positif dari individu, komunitas sosial serta dukungan

keluarga. Keseluruhannya memperkuat cara penyelesaian masalah yang

adaptif terhadap persoalan yang terjadi.

Penelitian oleh Sisca & Moningka (2008) mengenai Resiliensi Perempuan

Dewasa Muda yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual di Masa

Kanak-Kanak menunjukkan adanya kemampuan resiliensi yang diperoleh dari

lingkungan serta dari segi spritual, yaitu melakukan pendekatan pada Tuhan.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rinaldi (2010) yang berjudul

resiliensi pada masyarakat kota Padang ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian

ini mengungkap gambaran resiliensi pada masyarakat kota Padang yang

berpotensi banyak terjadi bencana alam. Hasil penelitian memperlihatkan

bahwa ada perbedaan resiliensi antara pria dan wanita. Pria memiliki skor

resiliensi lebih tinggi dibandingkan wanita.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Nida Issabela (2010) dengan

judul Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi

(24)

keluarga yang tinggal di lokalisasi, termasuk reseliensi anak dalam

menghadapi situasi yang kurang kondusif untuk perkembangan.

Penelitian oleh Agustina (2013) dengan judul pengaruh peer group

support dan self esteem terhadap resilience pada siswa SMAN Tambun Utara

Bekasi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh peer group

support terhadap resilience, terdapat pengaruh self-esteem terhadap

resilience, serta terdapat pengaruh peer group support dan self-esteem

terhadap resilience.

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Mumun Muniroh (2010) yang berjudul

dinamika resiliensi orang tua anak autis. Resiliensi dalam penelitian ini lebih

di tekankan pada dinamika kepribadian orang tua yang mempunyai anak

autis, lebih di fokuskan bagaimana seorang orang tua menghadapi anak yang

mempunyai kelainan seperti anak autis.

Penelitian yang dilakukan oleh Wia Bethania (2016) berjudul resiliensi

mahasiswa bidikmisi. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor I Have

ketiga subjek bersumber dari dukungan dan dorongan untuk mandiri dari

orang di sekitarnya. I Am ketiga subjek berasal dari perasaan bangga terhadap

dirinya, merasa sebagai individu yang optimis dan bertanggung jawab. I Can

ketiga subjek berasal dari orang-orang di sekitar yang membantunya dalam

menyelesaikan masalah.

Penelitian dari Dian (2014) dengan judul penelitian studi mengenai

resiliensi remaja di Kabupaten Gunung Kidul. Penelitian ini menunjukkan

(25)

rendah sedangkan sisanya termasuk dalam resilliensi yang tinggi. Kedua,

faktor yang paling tinggi membentuk resiliensi adalah optimism, impuls

control, dan self efficacy. Sedangkan faktor yang paling rendah adalah

empati. Berdasarkan nilai korelasi antar ketujuh faktor, ketujuh faktor ini

saling terkait satu sama lain untuk membentuk resiliensi. Pada remaja

Gunung Kidul yang memiliki resiliensi rendah, relatif memiliki 7 faktor

pembentuk resiliensi yang rendah pula, dan faktor yang mendominasi paling

rendah adalah regulasi emosi.

Melihat beberapa hasil penelitian diatas, persamaan yang muncul adalah

tentang topik resiliensi. Meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan

penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain yang pertama, penulis

mengangkat resiliensi mahasiswa yang terancam drop out. Kedua, mahasiswa

yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa yang mengalami kasus

terancam drop out di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dan yang ketiga adalah

(26)

17 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama

egoresilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan

kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada

tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

2011).

Resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan

untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individu dalam

respon seseorang terhadap stres dan keadaaan yang merugikan (adversity)

lainnya (Smet dalam Desmita, 2012).

Pandangan mengenai resiliensi dikembangkan semakin jauh oleh Ann

Masten dan peneliti lainnya. Secara umum resiliensi dikarakteristikkan

sebagai kesadaran akan hasil yang baik dalam menghadapi keadaan sulit,

kemampuan yang menyokong ketika berada di bawah tekanan, atau

penyembuhan dari trauma (Masten dan Coatsworth, 1998 dalam Kalil,

2003).

Menurut Emmy E. Werner, 2003 dalam Desmita, 2012 menjelaskan,

sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk

(27)

a. Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam

konteks "beresiko tinggi" (high risk), seperti anak yang hidup dalam

kemiskinan kronis atau pelakuan kasar orang tua.

b. Kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang

berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa perceraian orang tua

mereka.

c. Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang

saudara.

Menurut Grotberg (1995), pengertian resiliesi adalah kemampuan

seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun

mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup,

karena setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah

dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun

kesulitan.

Pengertian reseliensi menurut Reivich & Shatte, yaitu kemampuan

beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan. Individu

dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu

untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat

kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich &

Shatte, 2002).

Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja

individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan

(28)

fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut

dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal

tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan

kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002).

Pandangan mengenai resiliensi yang dijelaskan diatas menunjukkan

bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi

atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga membuat seseorang dapat

meningkatkan kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich &

Shatte tersebut mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya

dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga

pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.

Menurut Desmita (2012), resiliensi (daya lentur) adalah kemampuan

atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat

yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan,

bahkan menghilangkan dampak–dampak yang merugikan dari kondisi–

kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi

kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk

diatasi. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi

lebih kuat. Artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil

menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi–kondisi yang tidak

menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, kompetensi vokasional,

(29)

Terdapat dua pandangan yang dikemukakan oleh beberapa peneliti,

yaitu resiliensi sebagai kemampuan untuk keluar dari situasi sulit dan

resiliensi sebagai proses yang terjadi ketika individu menghadapi situasi

yang sulit. Berdasarkan Oxford Learner Pocket Dictionary resiliensi

adalah kemampuan untuk memantul atau melenting kembali atau kekuatan

sesuatu untuk kembali ke bentuk awal atau aslinya setelah adanya tekanan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi

yaitu kemampuan seseorang dalam beradaptasi dari masalah yang sedang

dialaminya dan mampu bangkit menyelesaikannya sehingga ia bisa

melanjutkan hidup yang lebih baik dan positif.

2. Aspek-aspek Resiliensi

. Gambaran resiliensi dapat diketahui dengan cara memahami

aspek-aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) yaitu regulasi emosi,

pengendalian implus, optimisme, empati, analisis kasus, self efficacy, dan

reachingout.

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah

kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002).

Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh pada

orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang

memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan

dalam membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.

(30)

kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami

emosi orang lain, akan mampu menjalin hubungan yang lebih baik

dengan orang lain.

Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Hal

ini dikarenakan mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif

merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk

mengekspresikan emosi secara positif dan tepat merupakan bagian

dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan

yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi,

yaitu tenang dan fokus. Dalam keadaan tenang individu dapat

mengontrol dan mengurangi stres yang dialami. Ada beberapa cara

yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat individu merasa

dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernafasan, relaksasi

otot dan membayangkan tempat yang tenang dan menyenangkan.

b. Pengendalian Impuls

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk

mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang

muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang

memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat

mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan

pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah

(31)

perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya

merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan

sosial individu dengan orang lain.

Reivich dan Shatte (2002), mengatakan bahwa individu dapat

melakukan pencegahan terhadap impulsivitasnya. Pencegahan ini

dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan

mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Seperti

memberikan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri ‘apakah benar

apa yang saya lakukan?’, ‘apakah manfaat dari semua ini?’.

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait

dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Individu yang

memiliki skor resilience question tinggi pada faktor regulasi emosi

cenderung memiliki skor resilience question yang tinggi pula pada

faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002).

c. Optimisme

Optimisme adalah ketika individu melihat bahwa masa depannya

cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh

seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa

dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang

mungkin terjadi di masa depan. Mereka percaya bahwa situasi yang

sulit dapat berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka percaya

bahwa mereka dapat memegang kendali arah hidupnya. Individu yang

(32)

yang lebih tinggi dari pada individu yang pesimis. Hal ini

merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu

kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan

yang ada dan mengendalikan hidupnya. Dikarenakan dengan

optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk

menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi

yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

Optimisme yang dimaksud adalah optimisme realistis, yaitu sebuah

kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan

segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Perpaduan antara

optimisme yang realistis dan self-efficacy merupakan kunci dari

resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Self-efficacy

Self-efficacy adalah kepercayaan individu bahwa ia mampu

menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya

atau hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy

merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan

masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich Shatte,

2002).

Self -efficacy memiliki pengaruh terhadap prestasi yang diraih,

kesehatan fisik dan mental, perkembangan karir, bahkan perilaku

memilih dari seseorang. Self efficacy memiliki kedekatan dengan

(33)

mampu mempengaruhi keberadaan suatu peristiwa yang

mempengaruhi kehidupan individu tersebut.

e. Analisis kasus

Analisis kasus merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang

mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan

penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan

terus menerus berbuat kesalahan yang sama.

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan

gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan

causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory

dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya),

permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan

keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu

tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak

dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan cenderung

mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua).

Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya

-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang

terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi

tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan

(34)

hidupnya (Tidak semua). Gaya berpikir explanatory memegang

peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Individu yang terfokus pada“ Selalu-Semua” tidak mampu melihat

jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.

Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir

“Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan

yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang

ada. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas

kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang

menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada

salah satu gaya berpikir explanatory.

Mereka tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang

mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan

mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada

faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka

memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan

masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada,

mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich

& Shatte, 2002).

f. Empati

Empati adalah pemahaman pikiran dan perasaan orang lain dengan

cara menempatkan diri ke dalam kerangka psikologis orang tersebut

(35)

kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional

dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2002). Beberapa individu

memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan

bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti

ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap

apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu,

seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki

hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan

dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Hal ini dikarenakan

kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu yang

tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda

nonverbal tersebut, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada

posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan

memperkirakan maksud dari orang lain.

Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal

orang lain, dapat sangat merugikan baik dalam konteks hubungan

kerja maupun hubungan personal. Individu dengan empati yang

rendah cenderung menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang

lain (Reivich & Shatte, 2002).

g. Reaching out

Reaching out atau pencapaian menggambarkan kemampuan

(36)

kehidupannya, yang mencakup pula keberanian seseorang untuk

mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam

kehidupannya.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih

dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk

mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih

dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek

positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich &

Shatte, 2002).

Namun banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching

out. Hal ini dikarenakan, sejak kecil individu telah diajarkan untuk

sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan.

Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki

kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun

harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan

masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk

berlebih-lebihan dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang

dapat terjadi di masa mendatang. Mereka ini memiliki rasa ketakutan

(37)

B. Mahasiswa Drop Out 1. Pengertian Mahasiswa

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan

sebagai orang yang belajar di Perguruan Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia

Online, kbbi.web.id).

Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab

VI bagian ke empat pasal 19 mengemukakan bahwasanya “mahasiswa” itu

sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa atau murid yang telah

sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya.

Mahasiswa dapat didefinisikan juga sebagai individu yang sedang

menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau

lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai

memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan

kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat

dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap

mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Mahasiswa

adalah manusia yang tercipta untuk selalu berpikir yang saling melengkapi

(Dwi Siswoyo, 2007).

Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang

usianya 18 sampai 25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja

akhir sampai masa dewasa awal dan dilihat dari segi perkembangan, tugas

perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup

(38)

Dewasa awal dikatakan pula sebagai masa muda. Istilah ini ditulis

oleh sosiolog (Kenniston dalam Santrock, 2002) yang mengemukakan

bahwa masa muda merupakan periode transisi antara masa remaja dan masa

dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi

yang sementara. Kenniston mengemukakan dua kriteria penting untuk

menunjukkan peermulaan dari masa dewasa awal, yaitu kemandirian

ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Keputusan yang

dimaskud adalah keputusan yang terkait dengan penyelesaian studi, pilihan

pekerjaan, tentuya pula tidak terlepas dari keputusan dalam menghadapi

kesiapan diri untuk menikah dan hidup berkeluarga.

Hurlock, 1980 memaparkan terdapat ciri-ciri umum perkembangan

fase usia dewasa awal sebagai berikut :

a. Masa Pengaturan, usia dewasa awal merupakan saat ketika seseorang

mulai menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa.

b. Usia Produktif, usia dewasa awal merupakan masa yang paling

produktif untuk memiliki keturunan, dengan memiliki anak mereka

akan memiliki peran baru sebagai orang tua.

c. Masa Bermasalah, pada usia dewasa awal akan muncul

masalah-masalah baru yang berbeda dengan masalah-masalah sebelumnya, di antaranya

masalah pernikahan.

d. Masa Ketegangan Emosional, usia dewasa awal merupakan masa yang

(39)

itu seseorang berada pada wilayah baru dengan harapa-harapan baru,

dan kondisi lingkungan serta permasalahan baru.

e. Masa Keterasingan Sosial, ketika pendidikan berakhir seseorang akan

memasuki dunia kerja dan kehidupan keluarga, seiring dengan itu

hubungan kelompok teman sebaya semakin renggang.

f. Masa Komitmen, pada usia dewasa awal seseorang akan menentukan

pola hidup baru, dengan memikul tanggung jawab baru dan membuat

komitmen-komitmen baru dalam kehidupan.

g. Masa Ketergantungan, meskipun telah mencapai status dewasa dan

kemandirian, ternyata masih banyak orang dewasa awal yang

tergantung pada pihak lain.

h. Masa Perubahan Nilai, orang dewasa awal ingin diterima oleh anggota

kelompok orang dewasa.

i. Masa Penyesuaian Diri dengan cara hidup baru.

j. Masa Kreatif, masa dewa awal merupakan puncak kreativitas.

Berdasarkan penjelasan di atas tentang fase dewasa awal jika

dikaitkan dengan usia mahasiswa yang sedang berada pada fase ini,

menunjukkan bahwa peran, petugas, tanggaung jawab mahasiswa tidak hanya

dihadapkan kepada pencapaian keberhasilan secara akademik, melainkan

mampu menunjukkan perilaku dan pribadi untuk mengeksplorasi berbagai

gaya hidup dan nilai-nilai, mulai tertantang secara intelektual, serta mulai

(40)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah

orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau

akademi, mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi. Sebagai

inidividu yang sudah mulai memasuki usia dewasa, mahasiswa mulai

memenuhi tugas perkembangannya yaitu kemandirian ekonomi dan

kemandirian dalam membuat keputusan baik dalam pendidikan, karir hingga

permasalahan masa depannya.

2. Pengertian Drop Out

Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO)

yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa

disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya

atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau

keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya (duniapelajar.com).

Pendapat lain mengataan bahwa drop Out adalah keluar dari sekolah

sebelum waktunya, atau sebelum lulus. Drop out demikian ini perlu dicegah,

oleh karena hal demikian dipandang sebagai pemborosan bagi biaya yang

sudah terlanjur dikeluarkan untuknya (academia.edu).

Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa drop

out yaitu keluarnya seseorang dari lembaga pendidikan sebelum individu

(41)

3. Mahasiswa Drop Out

Pemberhentian status kemahasiswaan atau (drop out) adalah proses

pencabutan status kemahasiswaan atas diri mahasiswa, disebabkan oleh

hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi bersangkutan.

Seorang mahasiswa dapat dihentikan studinya atau drop out apabila tidak

memenuhi ketentuan akademik yang ditetapkan oleh masing-masing

perguruan tinggi. Maksimum masa studi untuk program sarjana, diploma

empat atau sarjana terapan adalah 7 (tujuh) tahun menurut Peraturan Menteri

Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang

Standar Nasional Pendidikan Tinggi (hukumonline.com).

Dalam buku panduan penyelenggaraan pendidikan program strata satu

(S1) tahun 2015 dijelaskan mengenai prosedur drop out. Sanksi drop out

ditetapkan dengan keputusan rektor atas usulan fakultas. Bagi mahasiswa

yang telah menerima surat keterangan pemberhentian studi, berhak meminta

transkip matakuliah berikut nilai kreditnya yang telah diselesaikan dan untuk

selanjutnya yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti studi pada

fakultas-fakultas di lingkungan kampus.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa yang drop

out yaitu mahasiswa yang dicabut status kemahasiswaanya dan tidak

diperkenankan untuk melanjutkan pendidikan di universitas karena

(42)

C. Resiliensi Pada Mahasiswa yang Terancam Drop Out

Pengertian reseliensi menurut Reivich & Shatte (2002), yaitu

kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan.

Dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang dalam

beradaptasi dari masalah yang sedang dialaminya dan mampu bangkit

menyelesaikannya sehingga ia bisa melanjutkan hidup yang lebih baik dan

positif. Resiliensi tidak hanya digunakan saat seseorang mengalami suatu

keadaan yang sulit, namun juga bisa digunakan saat seseorang menjalani

permasalahan dalam hidup sehari-hari.

Hal tersebut sesuai dengan pandangan Reivich & Shatte (2002) yang

menyatakan bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat

mengatasi atau pulih dari kesulitan, tetapi resiliensi juga menyebabkan

seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih

positif.

Sedangkan mahasiswa yaitu peserta didik yang sedang mengikuti

proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Rentang usianya berkisar antara

18-19 tahun sampai 24-25 tahun. Jadi berdasarkan usianya, mahasiswa sudah

masuk pada tahap masa dewasa awal.

Resiliensi pada mahasiswa yaitu kemampuan mahasiswa untuk

merespon kesulitan hidup seperti terancamnya mahasiswa di drop out (DO)

kampus secara baik dan positif. Resiliensi pada mahasiswa yang terancam di

DO dapat dilihat bagaimana sikap dalam menghadapi permasalah yang

(43)

Adanya peringatan drop out yang diterimanya membuat mahasiswa

merasa cemas akan studinya. Kondisi ini tentu dapat mengganggu proses

belajar serta aktivitas kesehariannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa

mahasiswa tersebut mengalami stress dan mencari solusi dari permasalahan

yang dihadapinya. Resiliensi dalam hal ini bisa digunakan sebagai salah satu

cara untuk membantu meringankan masalah yang sedang dihadapinya.

Dengan menggunakan tujuh kemampuan yang merupakan aspek

resiliensi menurut Reivich & Shatte, mahasiswa yang terancam DO bisa

bangkit dari rasa keterpurukannya. Sehingga bisa melanjutkan studi dengan

rajin dan lebih baik dari sebelumya.

Dengan adanya resiliensi tersebut dapat membuat mahasiswa mampu

melewati masalah yang dialami dengan postif dan bangkit melakukan aktivitas

dalam hidupnya. Sehingga subjek bisa mencapai keinginannya dengan baik dan

(44)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif

dipilih karena fenomena yang diamati perlu pengamatan terbuka, lebih mudah

berhadapan dengan realitas, kedekatan emosional antar peneliti dan

responden sehingga didapatkan data yang mendalam, dan bukan

pengangkaan.

Moleong (2009) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bermaksud untuk memahami fenomena tetang apa yang di alami subjek

penelitian misalnya perilaku, persesi, motivasi, tindakan dan yang lainnya.

Metode penelitian kualitatif juga dikatakan sebagai prosedur yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Fokus dalam penelitian ini adalah resiliensi pada mahasiswa yang

terancam drop out dari UIN Sunan Ampel di Surabaya. Sedangkan strategi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi fenomenologi.

Fenomenologi yaitu pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada

pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dunia (Moleong,

2009).

Penelitian kualitatif yang menggunakan strategi fenomenologi berusaha

memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang

(45)

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan wawancara

dan observasi.

Tempat yang digunakan untuk penelitian yaitu kampus UIN Sunan Ampel

Surabaya. Khususnya di fakultas subjek yaitu sisi kampus dimana subjek

merasa nyaman. Selain itu penelitian di lakukan di tempat yang sudah

disepakati oleh peneliti dan subjek seperti di warung kopi atau tempat tinggal

subjek, dimana peneliti dapat menggali data mengenai subjek penelitian

dengan mudah.

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984, dalam Moleong, 2008) Sumber data

utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya

adalah data tambahan. Seperti dokumen dan lain sebagainya.

Terdapat dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data

sekunder. (Bungin, 2001). Sumber data primer adalah data yang diambil dari

sumber pertama yang ada dilapangan. Sedangkan sumber data sekunder

adalah sumber data kedua sesudah data primer.

1. Sumber Data Primer.

Pada penelitian ini yang menjadi sumber data utama adalah

mahasiswa akhir semester 12 yang masih memiliki SKS yang belum

diselesaikan.

Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

(46)

ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subjek secara purposif

(berdasarkan kriteria tertentu), maka penelitian ini menemukan subjek

yang sesuai dengan tema penelitian.

Kriteria utama dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mahasiswa yang masih aktif kuliah.

b. Mahasiswa semester 12.

c. Mahasiswa yang masih memiliki lebih dari 9 SKS.

Semester 12 adalah semester yang mendekati batas akhir yaitu

semester 14. Seharusnya di semester 12 dengan jatah lebih dari 9 SKS bisa

diselesaikan. Akan tetapi mahasiswa akhir yang memiliki kegiatan diluar

kuliah mengalami kesulitan untuk membagi waktu. Hal itu membuat

mahasiswa akhir merasa tidak bisa menyelesaikan kuliah di semester 12

dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Ketika membutuhkan waktu

yang lebih lama dengan jatah semester yang sudah mendekati batas akhir

semester yakni semester 14, hal ini yang membuat subjek terancam drop

out.

Untuk mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian

tersebut, penulis mencari informasi dari akademik kampus dan dari

beberapa mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya. Pada penelitian ini

(47)

Tabel 2

Data Subjek Penelitian

No Nama Jenis Kelamin Identitas

1. UN Laki-laki Fakultas Ushuluddin dan Akidah Filsafat 2. DE Laki-laki Fakultas Adab dan Humaniora

3. JN Laki-laki Fakultas Psikologi da Kesehatan

2. Sumber Data Sekunder

Data sekunder atau data pendukung untuk significant other subjek

pertama adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya oleh subjek.

significant other juga merupakan orang yang dekat dengan subjek serta

telah mengetahui keseharian subjek penelitian.

Data sekunder yang menjadi significant other dari subjek pertama

adalah MT yaitu teman satu organisasi UN. MT merupakan mahasiswa

semester 12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.

Pada subjek kedua yang menjadi data sekunder yang menjadi

significant other yaitu FA mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora. FA

merupakan adik angkatan DE.

Sedangkan untuk data sekunder yang menjadi significant other dari

subjek ketiga yaitu TA. TA adalah alumni UIN Sunan Ampel Surabaya

yang sudah lulus 2 tahun yang lalu. TA merupakan sahabat dari subjek JN.

D. Cara Pengumpulan Data

Pekerjaan pengumpulan data bagi penelitian kualitatif harus langsung

diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan,

mereduksi, dan menyajikan. Atau dengan sederhana memilih dan meriksakan

(48)

pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan

dokumentasi.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

ini dilakukan oeh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong, 2009).

Patton, 1980 dalam (Moleong, 2009) menjelaskan bahwa cara terdapat

tiga macam wawancara yaitu :

a. Wawancara pembicaraan informal.

b. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.

c. Wawancara baku terbuka.

Teknik wawancara yang digunakan pada penelitian ini adalah

wawancara informal. Teknik ini dipilih agar hubungan antara

pewawancara dan terwawacara dalam suasana biasa dan wajar, sedangkan

pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam

kehidupan sehari-hari namun tetap terarah pada tujuan penelitian.

Wawancara digunakan untuk menggali informasi mengenai

permasalahan subjek terkait bagaimana usaha subjek meyelesaikan

studinya sebelum ia drop out, serta bentuk-bentuk resiliensi yang

(49)

2. Observasi

Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki

dengan prosedur yang terstandar (Arikunto, 2006).

Observasi pada penelitian ini dilakukan secara langsung, bersamaan

pada saat proses wawancara dilakukan. Hal ini dilakukan karena pada saat

subjek menjawab pertanyaan, akan muncul beberapa ekspresi nonverbal

yang memiliki makna terkait dengan data informasi yang disampaikan

secara verbal.

Penyusunan pencatatan observasi bertujuan untuk memfokuskan

hal-hal yang diobservasi yang sifatnya nonverbal, seperti ekspresi wajah,

gerakan tubuh atau body language bisa teramati atau terdeteksi sehingga

mampu memberikan cek dan recek terhadap informasi-informasi yang

telah di sampaikan oleh subjek dalam wawancara.

Observasi yang dilakukan yaitu berupa observasi pasif, mengingat

subjek penelitian memiliki kegiatan yang lain dan ditakutkan mengganggu

aktifitas subjek.

3. Dokumentasi

Dokumen adalah segala bahan yang terekam, baik dalam bentuk

tertulis, foto maupun arsip yang terkait dengan partisipan penelitian.

Menurut Creswell (2010) dokumentasi dapat digunakan untuk

mengumpulkan dokumen-dokumen kualitatif yang berupa koran, majalah,

(50)

Guba dan lincoln (dalam Moleong, 2009) menyatakan bahwa

dokumen dapat menjadi sumber data penelitian karena :

a. Dokumen merupakan sumber yang stabil, kayadan mendorong.

b. Berguna sebagai bukti untuk pengujian.

c. Bersifat alami, sesuai dengan konteks, lahir dan berasa dalam konteks.

d. Relatif murah dan tidak sukar diperoleh, tetapi dokumen harus dicari

dan ditemukan.

Dokumen yang digunakan pada penelitian ini seperti data mahasiswa

akhir dan transkip nilai mahasiswa akhir di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Metode dokumentasi dipilih untuk melengkapi dari penggunaan

metode observasi dan wawancara. Sehingga nantinya peneliti akan

mendapatkan informasi yang memadai mengenai subjek penelitian.

Setelah wawancara dilaksanakan, data wawancara dibuat transkip dan

koding. Kemudian akan diberikan tema sesuai dengan fokus penelitian.

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong, 2009)

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan kerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajar, dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain.

Menurut Creswell (2010) terdapat beberapa langkah dalam menganalisis

(51)

1. Mengolah dan menginterpretasi data untuk dianalisis. Langkah ini

melibatkan transkipsi wawancara, menscaning materi, mengetik data

lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam

jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.

2. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan

khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.

3. Menganalisis lebih detail dengan menkoding data. Koding merupakan

proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan

sebelum memaknainya.

4. Menerapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang,

kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.

5. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan

kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.

6. Menginterpretasi atau memaknai data

Beberapa langkah dalam analisis data kualitatif di atas, akan diterapkan

dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang didapat ditulis dalam

transkip wawancara, lalu di koding, dipilah tema-tema sebagai hasil temuan,

dan selanjutnya dilakukan interpretasi data.

F. Keabsahan Data

Moleong (2009) dipaparkan bahwa untuk menetapkan keabsahan

(trustworthiness) data diperlukan teknik pemerikasan. Pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria

(52)

(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian

(confirmability).

Pada penelitian ini menggunakan 2 kriteria dalam melakukan pemeriksaan

data selama di lapangan sampai pelaporan hasil penelitian.

1. Kredibilitas

Kriteria kredibilitas ini untuk membuktikan apakah yang teramati

oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia

kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan

tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi.

Adapun untuk memperoleh keabsahan data, Moleong (2009)

merumuskan beberapa cara, yaitu:

a. Perpanjangan keikutsertaan

b. Ketekunan pengamatan.

c. Triangulasi data.

d. Pengecekan sejawat.

e. Kecukupan referensial

f. Kajian kasus negatif

g. Pengecekan anggota.

Dari beberapa cara untuk memperoleh keabsahan data tersebut, peneliti

menggunakan teknik ketekunan pengamatan dan triangulasi data.

Pertama, ketekunan (Moleong, 2009) pengamatan bermaksud menemukan

ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan

(53)

tersebut secara rinci. Jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,

maka ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. Dengan ketekunan

pengamatan peneliti bisa mengetahui secara mendalam hal-hal yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian.

Kedua, triangulasi (Moleong, 2009) yaitu teknik pemeriksaan keabsahan

data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang

diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain di luar data itu, untuk

meningkatkan keabsahan data. Pada penelitian ini, triangulasi yang digunakan

adalah: Triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang

dikatakan oleh subjek dengan dikatakan informan dengan maksud agar data

yang di peroleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu

sumber saja yaitu subjek penelitian, tetapi data juga diperoleh dari sumber

lain.

2. Kepastian

Kriteria kepastian digunakan untuk menunjukkan bahwa data-data yang

diperoleh merupakan data objektif. Dalam proses ini temuan-temuan

penelitian dicocokkan kembali dengan data yang diperoleh lewat rekaman

atau wawancara dan hasil dokumentasi. Apabila diketahui data-data tersebut

cukup koheren, maka temuan penelitian ini dipandang cukup tinggi tingkat

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Data Subjek Penelitian
Tabel 3  Jadwal Kegiatan Wawancara

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti berasumsi bahwa semua manusia yang berada dalam populasi tersebut pasti mengalami kedua mekanisme adaptasi tersebut, sehingga penelitian kuantitatif merupakan

Hal tersebut harus tercermin di semua tempat yang berhubungan dunia kerja khususnya dalam dunia akademis, di dalam dunia akademis kegiatan berkantor seperti,

Perekaman Suara Secara Langsung Penderita Polip Pita Suara Berdasarkan analisa pemilihan operator terbaik yaitu XL, maka dilakukan analisa pada setiap kelainan pita

2  Ema Setyawati, S.Si, Apt., ME  Kepala Bagian Renstra dan  Organisasi  Sekretaris  3  Drs. Siam Subagyo, Apt, M.Si 

Berdasarkan wawancara dengan AKP I Made Karsa, Kanit II Unit Ekonomi Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Denpasar dijelaskan bahwa, dalam upaya

Tabel 2 menyajikan nilai rata-rata pengukuran pohon pada Blok I yang menunjukkan bahwa pada plot 1 jenis pohon didominasi oleh Jati Putih (Gmelina arborea) sebanyak 14 pohon

Preferensi Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus): Studi Kasus di Kawasan Seblat.. Hutwan

Sekolah Menengah Atas (SMA) YPKB IPA'IYE Nabire tersebut adalah berstatus swasta seperti yang termuat dalam surat Keputusan Direktur Jenderal Pendi - dikan Dasar dan