SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
MUFARROHAH B77213086
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
ABSTRACT
This study aims to understand the form of resilience to students who are threatened to drop out from UIN Sunan Ampel Surabaya. This research is a qualitative research, using triangulation as data validation. The subject is 12th semester students who have academic problems in dependent of SKS with reducing semester quota. The subjects in this study are 3 students from UIN Surabaya. The resulted In this study is first subject has not be able to finish college because they feel lack of confident with the ability they owned. The second subject is too comfortable to organize. And the third subject has academic problems experienced. The results of this study indicate that the resilience of three subjects is not much different. All three subjects are able to control their emotions and stay calm when faced with problems. Support from friends, lecturers and family is very helpful for the subject to rise up and solve the problem and can socialize well. The optimism and confidence that the three subjects have made the three subjects rise. All three subjects have a way of improving different aspects of life. The first subject chooses to return to college diligently, finding relationships, reading books and discussing with friends. The second subject chooses to isolate himself closer to Allah SWT and reproduce reading books. The third subject chooses to be more disciplined in dividing the time, diligently working on the task and finally planning his future. All three subjects consider that the problems experienced as a test given by Allah SWT to make the individual better and more useful, so that the subject of research is always grateful and look at the future better and positive.
DAFTAR ISI
2. Aspek-aspek Resiliensi ... 20
B. Mahasiswa Drop Out 1. Pengertian Mahasiswa ... 28
2. Pengertian Drop Out ... 31
3. Mahasiswa Drop Out ... 32
C.Resiliensi Pada Mahasiswa yang Terancam Drop Out ... 33
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35
B. Lokasi Penelitian ... 36
C. Sumber Data ... 36
D. Cara Pengumpulan Data ... 38
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 41
F. Keabsahan Data ... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Partisipan ... 45
B. Temuan Penelitian ... 48
1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 48
2. Analisis Temuan Penelitian... 79
C. Pembahasan ... 100
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 110
LAMPIRAN ... 113
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman di dunia pendidikan terus berubah dengan signifikan
banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola yang awam dan kaku menjadi
lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di
Indonesia. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya-upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti yaitu kekuatan batin, karakter, pikiran
atau intelek dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan
keselarasan dengan dunianya. Pendidikan itu membentuk manusia yang
berbudi pekerti, berpikiran pintar, cerdas dan bertubuh sehat (Bartolomeus
Samho & Oscar, 2010).
Pengertian pendidikan di atas sejalan dengan Undang - Undang No 20
tahun 2003 yang berbunyi " Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara” (UU No. 20, 2003).
Untuk menjadi manusia yang memiliki potensi dan kemampuan yang baik
seseorang harus menempuh pendidikan formal ataupun nonformal. Di
Indonesia pemerintah mengeluarkan peraturan yaitu pendidikan minimal 12
Belajar (JPPI, 2015). Setelah menempuh pendidikan 12 tahun, hendaknya
seseorang melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Masuk
ke perguruan tinggi merupakan salah satu pilihan yang bisa ditempuh oleh
lulusan SMA, SMK, MA dan juga paket C. Dengan melanjutkan pendidikan
di perguruan tinggi, maka seseorang akan memiliki pengetahuan dan pola
pikir yang luas serta memiliki kemampuan yang sesuai dengan bidang yang
diminati (PP No. 47, 2008).
Ketika di perguruan tinggi individu tidak lagi disebut sebagai siswa, akan
tetapi mahasiswa. Mahasiswa berasal dari kata "Maha" yang berarti besar
atau tinggi dan "siswa" yang berarti pelajar atau dengan kata lain mahasiswa
adalah pelajar yang berada pada strata tertinggi. Berdasarkan peraturan
pemerintah RI No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang
terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu (PP No.30, 1990).
Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi adalah impian bagi semua
individu disemua lapisan masyarakat, baik di kota maupun di daerah, yang
miskin maupun yang kaya. Individu akan merasa senang dan bangga jika bisa
melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, apalagi bagi mereka yang
berasal dari daerah dan dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah.
Orang tua merasa bangga melihat anaknya melanjutkan pendidikan. Dengan
senang hati orang tua mengantarkan dan membiayai anaknya untuk belajar di
perguruan tinggi dengan harapan bisa menjadi orang sukses.
Namun bagaimana jika setelah menjadi mahasiswa, ia terancam
Bagaimana kondisinya baik fisik dan psikisnya, ketika mahasiswa yang
berniat untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, lebih-lebih bagi mereka
yang berasal dari ekonomi menengah kebawah saat ini terancam
diberhentikan dari status mahasiswanya. Kasus pemberhentian status
mahasiswa atau yang sering dikenal drop out dari kampus-kampus,
akhir-akhir ini sering terjadi.
Pemberhentian status kemahasiswaan atau drop out adalah proses
pencabutan status kemahasiswaan atas diri mahasiswa, disebabkan oleh
hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi bersangkutan
(hukumonline.com).
Beberapa penyebab mahasiswa drop out dari perguruan tinggi yang sering
dijumpai yaitu karena minat belajar yang rendah, kegagalan mereka dalam
beradaptasi secara akademik dan sosial pada awal-awal semester. Beberapa
mata kuliah pada semester pertama mungkin dirasa sangat sulit bagi sebagian
mereka yang selama di SMA tidak pernah mengenalnya atau kegagalan pada
mata kuliah dasar di semester pertama dikarenakan mereka belum mampu
belajar secara mandiri karena semasa SMA mereka sudah terbiasa
memperoleh bimbingan belajar dari para tutor pada lembaga-lembaga
bimbingan belajar yang tersebar di berbagai kota (kabarkampus.com).
Penyebab lain yang sering didengar di masyarakat yaitu karena mahasiswa
sibuk berorganisasi sehingga mengenyampingkan kuliah atau karena belum
bisa menyelesaikan tugas akhirnya yaitu skripsi hingga semester 14 atau 7
skripsi dalam waktu satu semester atau enam bulan masa kuliah. Hanya saja
kenyataannya banyak mahasiswa yang membutuhkan waktu lebih dari enam
bulan untuk penyelesaian skripsi, sehingga yang terjadi kemudian adalah
keterlambatan dalam penyelesaian studi dan tidak jarang berujung pada
pengeluaran mahasiswa (drop out). Ironisnya hal tersebut kini menjadi hal
yang lumrah terjadi hampir di setiap perguruan tinggi (kabarkampus.com).
Setiap tahun lembaga pendidikan atau universitas melakukan evaluasi
terhadap mahasiswanya. Seperti halnya di UIN Sunan Ampel Surabaya, ada
mahasiswa yang terancam drop out karena beberapa alasan diantaranya yaitu
tidak memenuhi sistem kredit semester (SKS) sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Selain itu ada beberapa mahasiswa yang terancam drop out karena
mengalami keterlambatan dalam mengerjakan skripsi. Sehingga setiap tahun
ada mahasiswa yang terpaksa di drop out karena jatah semesternya sudah
berakhir, yaitu sudah melebihi semester 14.
Berdasarkan buku panduan strata satu Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel (UINSA) Surabaya, strata satu ditempuh dengan 8 semester dan
maksimal 14 semester. Jika mahasiswa telah mencapai semester 14 dan masih
belum menuntaskan studiya, maka mahasiswa tersebut akan dikeluarkan oleh
pihak universitas dan tidak diperkenankan melanjutkan pendidikannya.
Berikut data mahasiswa yang di drop out dari UIN Sunan Ampel Surabaya
diperoleh dari bagian akademik UIN Sunan Ampel 5 tahun terakhir yaitu dari
Tabel 1
Jumlah Mahasiswa Drop Out di UIN Sunan Ampel Surabaya
No Tahun Jumlah
1. 2012 1.659
2. 2013 937
3. 2014 552
4. 2015 572
5. 2016 426
Dari data tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa tidak sedikit mahasiswa
yang drop out dari UIN Sunan Ampel. Namun dari tahun 2012 hingga 2016
terdapat menurunan jumlah mahasiswa yang di drop out. Hal ini
menunjukkan bahwa mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya memiliki
kesadaran, motivasi dan tanggung jawab akan pendidikannya. Sehingga
mahasiswa akhir bisa menyelesaikan pendidikannya hingga lulus.
Mahasiswa akhir yang sudah semester 12 atau 14 tentunya memiliki
alasan-alasan yang membuat mereka belum bisa menuntaskan pendidikannya.
Jika dilihat dari sisi negatif, mahasiswa akhir belum bisa menyelesaikan
pendidikannya karena merasa malas melanjutkan atau sudah putus asa
mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Namun, jika dilihat dari sisi positif,
mahasiswa akhir belum bisa menyelesaikan pendidikannya karena berbagai
kesibukan atau kegiatan yang dilakukan. Misalnya membantu orang tua di
rumah, bekerja atau aktif di salah satu organisasi yang diikutinya.
Alasan-alasan tersebut diperoleh oleh peneliti saat mewawacarai salah satu
mahasiswa akhir UIN Sunan Ampel semeseter 12 yang berinisial JN pada
Saat diwawancarai JN menjelaskan bahwa mahasiwa akhir yang sudah
semester 12 hingga 14 belum bisa menyelesaikan pendidikannya karena
beberapa faktor. Aktif di organisasi misalnya, atau sibuk bekerja atau
membantu orang tua di rumah. Namun beberapa dari mahasiswa semester 12
atau 14 masih bisa berjuang menuntaskan pendidikannya, sebelum ia
dinyatakan drop out dari kampus (WCRCSJN30).
Mahasiswa akhir yang belum menyelesaikan pendidikannya karena masih
ada kurang lebih 9 SKS yang belum diselesaikan atau skripsi yang belum
dituntaskan. Dengan kondisi mahasiswa yang terlalu sibuk dan aktif
berorganisasi, membuat mahasiswa tersebut mengalami kesulitan untuk
membagi waktu. Hal itu tentu menjadi situasi yang sulit dan tekanan batin
yang dialaminya. Sisa SKS yang belum diselesaikan, dan jatah semester yang
sudah mendekati batas akhir yaitu semester 14, sedangkan banyak kegiatan
lain yang dilakukan. Hal ini membuat mahasiswa akhir merasa terancam drop
out dari kampus.
Kejadian ini membuat mereka mengalami kesedihan karena merasa
terancam tidak bisa menyelesaikan kuliah hingga lulus. Tentunya menjadi
suatu kondisi yang tidak menyenangkan untuk mereka. Maka dari itu
mahasiswa akhir harus menyelesaikan masalahnya dan memperjuangkan
pendidikannya.
Seperti yang dialami oleh subjek penelitian dalam penelitian ini, subjek
pertama UN yaitu mahasiswa semester 12 Fakultas Ushuluddin. UN memiliki
teman-temannya sudah lulus. UN merasa tidak yakin dengan kemampuan yang
dimilikinya. Namun UN mampu menghadapi permasalahan yang dialaminya
dengan cara kembali memprioritaskan kuliah dan tetap menjalin hubungan
baik dengan adik-adik kelasnya agar UN tidak merasa diasingkan. UN
berusaha mengasah kemampuannya dengan cara membaca buku, berdiskusi,
dan meminta evaluasi dari teman-temannya. Dengan adanya permasalahan ini
dijadikan sebagai pengalaman berharga oleh UN.
Subjek kedua yaitu DE mahasiswa semester 12 Fakultas Adab dan
Humaniora. DE memiliki permasalahan akademis yang dialaminya seperti
memiliki 4 mata kuliah yang belum terselesaikan kurang lebih 12 SKS dan
DE juga pernah terancam drop out karena suatu masalah. Dengan adanya
masalah ini DE menyadari ini terjadi karena kenakalan dan kesalahannya dan
DE berusaha menyelesaikan masalahnya. DE mampu bagkit menghadapi
masalahnya setelah DE memperbanyak membaca buku. DE menjadi lebih
sabar dan bijak menghadapi hidup. DE menganggap masalah yang dihadapi
sebagai tempaan dari Allah SWT karena Allah SWT menyiapkan suatu hal
yang lebih indah.
Subjek ketiga yaitu JN mahasiswa semester 12 Fakultas Psikologi dan
Kesehatan. JN memiliki 9 SKS yang belum terselesaikan. JN mengikuti
banyak organisasi sehingga JN tidak bisa membagi waktu. Sedangkan
teman-teman JN mayoritas telah lulus kuliah. Saat memasuki semester 12 JN
menyadari bahwa masa kuliahnya hanya sisa 2 semester. Akhirnya JN mulai
Dengan adanya masalah ini membuat JN lebih bertanggung jawab dan
disiplin.
Ketiga subjek diatas adalah mahasiswa semester 12 yang memiliki
tanggungan SKS lebih dari 9. Selain itu ketiga subjek memiliki kesibukan
berorgansisasi. Namun ketiga subjek masih memperjuangkan kuliah dan
berusaha menyelesaikannya. Ketiga subjek tidak merasa sungkan bertemu
adik-adik kelas dan teman-teman yang telah lulus mendahului ketiga subjek.
Ketiga subjek tetap tenang dan tidak menghiraukan orang yang
menghujatnya. Ketiga subjek kembali rajin kuliah dan tetap semangat
meskipun ketiga subjek harus satu kelas dengan adik-adik angkatan.
Dari hal itu dapat diketahui bahwa mahasiswa dapat menyelesaikan
permasalahannya. Mahasiswa pada tahap perkembangannya digolongkan ke
dalam fase dewasa awal atau berada pada rentang usia 18 – 24 tahun
(Hurlock, 1980). Individu yang berada pada masa dewasa awal mengalami
perubahan dari mencari pengetahuan menjadi menerapkan pengetahuan untuk
mengejar karir. Perubahan tersebut kemudian disebut oleh Schaie dalam
(Santrock, 2002) sebagai fase pencapaian prestasi (achieving stage) atau
suatu fase di masa dewasa awal yang melibatkan penerapan intelektualitas
pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka
panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan.
Saat memasuki usia dewasa awal, individu diharapkan memainkan peran
baru, seperti suami atau istri, orang tua, dan pencari nafkah. Mengembangkan
diharapkan mengadakan penyesuaian diri secara mandiri. Apabila mereka
menemui kesulitan-kesulitan yang sukar di atasi, mereka ragu-ragu untuk
meminta pertolongan dan nasehat orang lain, karena takut dikatakan masih
belum dewasa (Hurlock, 1980).
Terancamnya dikeluarkan mahasiswa tersebut membuat mereka memiliki
kecemasan akan studinya. Kecemasan tersebut menjadi stres ketika keadaan
yang mereka hadapi tidak sesuai dengan keinginannya. Mereka memikirkan
beban tanggung jawab terhadap pendidikannya serta orang tuanya. Kondisi
seperti ini tidak membuat para mahasiswa tersebut hanya merenungi nasib.
Karena usia mereka yang sudah masuk dalam tahap dewasa awal, mereka
mencari solusi dari keterpurukan yang di alaminya.
Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resiliensi.
Dalam psikologi istilah resiliensi yaitu suatu keadaan dimana individu dapat
bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan kebanyakan
lainnya gagal. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih sedangkan
individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang
menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa
kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah
keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan
tertentu pada individu.
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama ego
resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan
tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati, dalam Cindy Carissa, 2011).
Oleh Redl pada tahun 1969 resiliensi digunakan untuk menggambarkan bagian
positif dari perbedaan individual dalam respon seseorang terhadap stres dan
keadaan yang merugikan lain atau kondisi yang tidak menyenangkan atau
adversity (Desmita, 2012).
Resiliensi akan mempengaruhi penampilan seseorang di sekolah, di tempat
kerja, kesehatan fisik maupun mental,dan kualitas hubungannya dengan orang
lain. Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka
mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat
kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich&
Shatte, 2002).
Bobey (dalam Ahmad Junaidi, 2012) mengatakan bahwa orang-orang yang
disebut sebagai individu yang resilien, adalah mereka yang dapat bangkit,
berdiri diatas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaaan yang di hadapinya.
Sedangkan dalam bukunya Desmita mengatakan bahwa resilien akan membuat
sesorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi stress
hebat yang inheren dalam kehidupan dunia dewasa ini (Desmita,2015).
Dari berbagai uraian di atas dapat dikatakan bahwa resiliensi adalah
kemampuan individu untuk dapat bertahan menghadapi kemalangan atau
keterpurukan yang menimpanya. Dan dapat mengembangkan potensi yang
dimilikinya meskipun ia berada pada kondisi yang tidak menyenangkan.
Penelitian dari Ahmad Junaedi Salim Pulungan (2012) dengan judul
masyarakat pesisir. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut adalah siswa
SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir secara umum
tergolong sedang sampai tinggi. Dalam penelitian ini yang memiliki
kemampuan tingkat resiliensi tinggi pada aspek: Emotion Regulation,
Optimisme dan aspek Reach Out. Lalu memiliki kemampuan tingkat resiliensi
sedang pada aspek: Impulse Control, Causal Analysis, Empathy dan aspek
Self-efficacy.
Penelitian yang dilakukan oleh Latifah Nur Ahyani dan Trubus Raharjo
(2010) dengan judul resiliensi pada siswa kelas unggulan ditinjau dari
intelegensi dan kemandirian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara varibel kemandirian dengan
resiliensi, dengan demikian hipotesis minor kedua yang diajukan dalam
penelitian ini diterima. Besarnya pengaruh inteligensi dan kemandirian
terhadap resiliensi tampak pada sumbangan efektif sebesar 26,4 %. Meskipun
sumbangan efektif yang diberikan tidak terlalu besar, namun hal ini cukup
penting untuk diperhatikan.
Dari penelitian di atas dapat diketahui individu yang mengalami
keterpurukan atau ketidak beruntungan masih memiliki resiliensi. Individu
yang mengalami keterpurukan dan memiliki resiliensi yang baik bisa
melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. Dari beberapa penelitian di atas
peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana gambaran resiliensi pada
mahasiswa yang terancam drop out?. Bagaimana resiliensi yang ada pada diri
masih belum tuntas dan skripsi yang belum terselesaikan, bagaimana cara
mereka menjalani studinya di kampus?.
Terancamya mahasiswa tersebut, tidak lain adalah sebagai evaluasi studi
yang selama ini telah mereka jalani. Sehingga peneliti bermaksud untuk
mengetahui gambaran resiliensi dan membantu mahasiswa tersebut dalam
menyelesaikan masalah yang dialaminya sebelum mereka menerima keputusan
di drop out dari kampus UIN Suan Ampel Surabaya. Sehingga mahasiswa
akhir bisa kembali memiliki motivasi untuk menyelesaikan studinya. Maka hal
ini menarik untuk diteliti, oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai gambaran resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out di UIN
Sunan Ampel Surabaya.
B. Fokus Penelitian
Permasalahan utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
bagaimana gambaran resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out dari
UIN Sunan Ampel Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
resiliensi pada mahasiswa yang terancam drop out dari UIN Sunan Ampel
Surabaya.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan awal untuk
minat untuk penelitian teoritis terkait konsep resiliensi. Bagi psikologi
pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi mengenai salah satu aspek kehidupan individu yang pernah
mengalami masalah atau kegagalan dalam bidang akademisnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian secara praktis bermanfaat untuk individu yang
mengalami masalah dalam pendidikannya. Dengan memahami resiliensi,
individu yang mengalami keterpurukan bisa melanjutkan pendidikan serta
menjalani hidupnya dengan lebih baik dan optimis supaya dapat mencapai
kesuksesannya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang resiliensi akhir-akhir ini cukup banyak dilakukan oleh
para peneliti. Hal ini menunjukkah bahwa resiliensi menjadi hal yang
menarik untuk diteliti. Berikut adalah penelitian tentang resiliensi yang
pernah dilakukan .
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat Taufiq (2014) tentang gambaran
resiliensi anak pasca bencana banjir di Desa Dayeuhkolot, Kabupaten
Bandung Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kemampuan
resiliensi yang dimiliki oleh anak-anak pasca bencana banjir di desa
dayeuhkolot, kabupaten bandung jawa barat menunjukkan kemampuan yang
baik atau tinggi dalam mengendalikan emosi. Dan memiliki optimis dan
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sri Rahmawati (2013) tentang
resiliensi taruna STP dari keluarga pelaku utama perikanan. Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa terlihat variasi tingkat resiliensi subjek
dalam menghadapi persoalan. Variasi terjadi pada faktor-faktor resilensi.
Namun pada aspek optimisme dan efikasi diri, keseluruhan subjek
menunjukkan hasil yang positif. Selain itu, faktor protektif juga memiliki
pengaruh yang berarti. Faktor protektif tersebut yaitu dukungan sumber daya
dan karakteristik positif dari individu, komunitas sosial serta dukungan
keluarga. Keseluruhannya memperkuat cara penyelesaian masalah yang
adaptif terhadap persoalan yang terjadi.
Penelitian oleh Sisca & Moningka (2008) mengenai Resiliensi Perempuan
Dewasa Muda yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual di Masa
Kanak-Kanak menunjukkan adanya kemampuan resiliensi yang diperoleh dari
lingkungan serta dari segi spritual, yaitu melakukan pendekatan pada Tuhan.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rinaldi (2010) yang berjudul
resiliensi pada masyarakat kota Padang ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian
ini mengungkap gambaran resiliensi pada masyarakat kota Padang yang
berpotensi banyak terjadi bencana alam. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa ada perbedaan resiliensi antara pria dan wanita. Pria memiliki skor
resiliensi lebih tinggi dibandingkan wanita.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Nida Issabela (2010) dengan
judul Resiliensi pada Keluarga yang Tinggal di Lingkungan Lokalisasi
keluarga yang tinggal di lokalisasi, termasuk reseliensi anak dalam
menghadapi situasi yang kurang kondusif untuk perkembangan.
Penelitian oleh Agustina (2013) dengan judul pengaruh peer group
support dan self esteem terhadap resilience pada siswa SMAN Tambun Utara
Bekasi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh peer group
support terhadap resilience, terdapat pengaruh self-esteem terhadap
resilience, serta terdapat pengaruh peer group support dan self-esteem
terhadap resilience.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Mumun Muniroh (2010) yang berjudul
dinamika resiliensi orang tua anak autis. Resiliensi dalam penelitian ini lebih
di tekankan pada dinamika kepribadian orang tua yang mempunyai anak
autis, lebih di fokuskan bagaimana seorang orang tua menghadapi anak yang
mempunyai kelainan seperti anak autis.
Penelitian yang dilakukan oleh Wia Bethania (2016) berjudul resiliensi
mahasiswa bidikmisi. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor I Have
ketiga subjek bersumber dari dukungan dan dorongan untuk mandiri dari
orang di sekitarnya. I Am ketiga subjek berasal dari perasaan bangga terhadap
dirinya, merasa sebagai individu yang optimis dan bertanggung jawab. I Can
ketiga subjek berasal dari orang-orang di sekitar yang membantunya dalam
menyelesaikan masalah.
Penelitian dari Dian (2014) dengan judul penelitian studi mengenai
resiliensi remaja di Kabupaten Gunung Kidul. Penelitian ini menunjukkan
rendah sedangkan sisanya termasuk dalam resilliensi yang tinggi. Kedua,
faktor yang paling tinggi membentuk resiliensi adalah optimism, impuls
control, dan self efficacy. Sedangkan faktor yang paling rendah adalah
empati. Berdasarkan nilai korelasi antar ketujuh faktor, ketujuh faktor ini
saling terkait satu sama lain untuk membentuk resiliensi. Pada remaja
Gunung Kidul yang memiliki resiliensi rendah, relatif memiliki 7 faktor
pembentuk resiliensi yang rendah pula, dan faktor yang mendominasi paling
rendah adalah regulasi emosi.
Melihat beberapa hasil penelitian diatas, persamaan yang muncul adalah
tentang topik resiliensi. Meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain yang pertama, penulis
mengangkat resiliensi mahasiswa yang terancam drop out. Kedua, mahasiswa
yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa yang mengalami kasus
terancam drop out di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dan yang ketiga adalah
17 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama
egoresilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan
kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada
tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,
2011).
Resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan
untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individu dalam
respon seseorang terhadap stres dan keadaaan yang merugikan (adversity)
lainnya (Smet dalam Desmita, 2012).
Pandangan mengenai resiliensi dikembangkan semakin jauh oleh Ann
Masten dan peneliti lainnya. Secara umum resiliensi dikarakteristikkan
sebagai kesadaran akan hasil yang baik dalam menghadapi keadaan sulit,
kemampuan yang menyokong ketika berada di bawah tekanan, atau
penyembuhan dari trauma (Masten dan Coatsworth, 1998 dalam Kalil,
2003).
Menurut Emmy E. Werner, 2003 dalam Desmita, 2012 menjelaskan,
sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk
a. Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam
konteks "beresiko tinggi" (high risk), seperti anak yang hidup dalam
kemiskinan kronis atau pelakuan kasar orang tua.
b. Kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang
berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa perceraian orang tua
mereka.
c. Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang
saudara.
Menurut Grotberg (1995), pengertian resiliesi adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun
mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup,
karena setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah
dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun
kesulitan.
Pengertian reseliensi menurut Reivich & Shatte, yaitu kemampuan
beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan. Individu
dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu
untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat
kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich &
Shatte, 2002).
Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja
individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan
fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut
dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal
tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan
kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002).
Pandangan mengenai resiliensi yang dijelaskan diatas menunjukkan
bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi
atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga membuat seseorang dapat
meningkatkan kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich &
Shatte tersebut mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya
dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga
pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.
Menurut Desmita (2012), resiliensi (daya lentur) adalah kemampuan
atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat
yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan,
bahkan menghilangkan dampak–dampak yang merugikan dari kondisi–
kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi
kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk
diatasi. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi
lebih kuat. Artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil
menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi–kondisi yang tidak
menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, kompetensi vokasional,
Terdapat dua pandangan yang dikemukakan oleh beberapa peneliti,
yaitu resiliensi sebagai kemampuan untuk keluar dari situasi sulit dan
resiliensi sebagai proses yang terjadi ketika individu menghadapi situasi
yang sulit. Berdasarkan Oxford Learner Pocket Dictionary resiliensi
adalah kemampuan untuk memantul atau melenting kembali atau kekuatan
sesuatu untuk kembali ke bentuk awal atau aslinya setelah adanya tekanan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi
yaitu kemampuan seseorang dalam beradaptasi dari masalah yang sedang
dialaminya dan mampu bangkit menyelesaikannya sehingga ia bisa
melanjutkan hidup yang lebih baik dan positif.
2. Aspek-aspek Resiliensi
. Gambaran resiliensi dapat diketahui dengan cara memahami
aspek-aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) yaitu regulasi emosi,
pengendalian implus, optimisme, empati, analisis kasus, self efficacy, dan
reachingout.
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002).
Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh pada
orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang
memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan
dalam membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.
kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik dan memahami
emosi orang lain, akan mampu menjalin hubungan yang lebih baik
dengan orang lain.
Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Hal
ini dikarenakan mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif
merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk
mengekspresikan emosi secara positif dan tepat merupakan bagian
dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan
yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi,
yaitu tenang dan fokus. Dalam keadaan tenang individu dapat
mengontrol dan mengurangi stres yang dialami. Ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat individu merasa
dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernafasan, relaksasi
otot dan membayangkan tempat yang tenang dan menyenangkan.
b. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang
muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang
memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat
mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan
pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah
perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya
merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan
sosial individu dengan orang lain.
Reivich dan Shatte (2002), mengatakan bahwa individu dapat
melakukan pencegahan terhadap impulsivitasnya. Pencegahan ini
dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan
mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Seperti
memberikan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri ‘apakah benar
apa yang saya lakukan?’, ‘apakah manfaat dari semua ini?’.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait
dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Individu yang
memiliki skor resilience question tinggi pada faktor regulasi emosi
cenderung memiliki skor resilience question yang tinggi pula pada
faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002).
c. Optimisme
Optimisme adalah ketika individu melihat bahwa masa depannya
cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh
seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa
dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang
mungkin terjadi di masa depan. Mereka percaya bahwa situasi yang
sulit dapat berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka percaya
bahwa mereka dapat memegang kendali arah hidupnya. Individu yang
yang lebih tinggi dari pada individu yang pesimis. Hal ini
merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu
kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan
yang ada dan mengendalikan hidupnya. Dikarenakan dengan
optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk
menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi
yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).
Optimisme yang dimaksud adalah optimisme realistis, yaitu sebuah
kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan
segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Perpaduan antara
optimisme yang realistis dan self-efficacy merupakan kunci dari
resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Self-efficacy
Self-efficacy adalah kepercayaan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya
atau hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy
merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich Shatte,
2002).
Self -efficacy memiliki pengaruh terhadap prestasi yang diraih,
kesehatan fisik dan mental, perkembangan karir, bahkan perilaku
memilih dari seseorang. Self efficacy memiliki kedekatan dengan
mampu mempengaruhi keberadaan suatu peristiwa yang
mempengaruhi kehidupan individu tersebut.
e. Analisis kasus
Analisis kasus merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang
mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan
terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan
gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan
causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory
dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya),
permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan
keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu
tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak
dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan cenderung
mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua).
Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya
-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang
terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi
tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan
hidupnya (Tidak semua). Gaya berpikir explanatory memegang
peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
Individu yang terfokus pada“ Selalu-Semua” tidak mampu melihat
jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.
Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir
“Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan
yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas
kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang
menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada
salah satu gaya berpikir explanatory.
Mereka tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang
mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan
mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada
faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka
memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan
masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada,
mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich
& Shatte, 2002).
f. Empati
Empati adalah pemahaman pikiran dan perasaan orang lain dengan
cara menempatkan diri ke dalam kerangka psikologis orang tersebut
kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional
dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2002). Beberapa individu
memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan
bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti
ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap
apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu,
seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki
hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002).
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan
dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Hal ini dikarenakan
kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu yang
tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda
nonverbal tersebut, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada
posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
memperkirakan maksud dari orang lain.
Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal
orang lain, dapat sangat merugikan baik dalam konteks hubungan
kerja maupun hubungan personal. Individu dengan empati yang
rendah cenderung menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang
lain (Reivich & Shatte, 2002).
g. Reaching out
Reaching out atau pencapaian menggambarkan kemampuan
kehidupannya, yang mencakup pula keberanian seseorang untuk
mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam
kehidupannya.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih
dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk
mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih
dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek
positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich &
Shatte, 2002).
Namun banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching
out. Hal ini dikarenakan, sejak kecil individu telah diajarkan untuk
sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan.
Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki
kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun
harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan
masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk
berlebih-lebihan dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang
dapat terjadi di masa mendatang. Mereka ini memiliki rasa ketakutan
B. Mahasiswa Drop Out 1. Pengertian Mahasiswa
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan
sebagai orang yang belajar di Perguruan Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia
Online, kbbi.web.id).
Sedangkan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab
VI bagian ke empat pasal 19 mengemukakan bahwasanya “mahasiswa” itu
sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa atau murid yang telah
sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya.
Mahasiswa dapat didefinisikan juga sebagai individu yang sedang
menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau
lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai
memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan
kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat
dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap
mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Mahasiswa
adalah manusia yang tercipta untuk selalu berpikir yang saling melengkapi
(Dwi Siswoyo, 2007).
Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang
usianya 18 sampai 25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja
akhir sampai masa dewasa awal dan dilihat dari segi perkembangan, tugas
perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup
Dewasa awal dikatakan pula sebagai masa muda. Istilah ini ditulis
oleh sosiolog (Kenniston dalam Santrock, 2002) yang mengemukakan
bahwa masa muda merupakan periode transisi antara masa remaja dan masa
dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi
yang sementara. Kenniston mengemukakan dua kriteria penting untuk
menunjukkan peermulaan dari masa dewasa awal, yaitu kemandirian
ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Keputusan yang
dimaskud adalah keputusan yang terkait dengan penyelesaian studi, pilihan
pekerjaan, tentuya pula tidak terlepas dari keputusan dalam menghadapi
kesiapan diri untuk menikah dan hidup berkeluarga.
Hurlock, 1980 memaparkan terdapat ciri-ciri umum perkembangan
fase usia dewasa awal sebagai berikut :
a. Masa Pengaturan, usia dewasa awal merupakan saat ketika seseorang
mulai menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa.
b. Usia Produktif, usia dewasa awal merupakan masa yang paling
produktif untuk memiliki keturunan, dengan memiliki anak mereka
akan memiliki peran baru sebagai orang tua.
c. Masa Bermasalah, pada usia dewasa awal akan muncul
masalah-masalah baru yang berbeda dengan masalah-masalah sebelumnya, di antaranya
masalah pernikahan.
d. Masa Ketegangan Emosional, usia dewasa awal merupakan masa yang
itu seseorang berada pada wilayah baru dengan harapa-harapan baru,
dan kondisi lingkungan serta permasalahan baru.
e. Masa Keterasingan Sosial, ketika pendidikan berakhir seseorang akan
memasuki dunia kerja dan kehidupan keluarga, seiring dengan itu
hubungan kelompok teman sebaya semakin renggang.
f. Masa Komitmen, pada usia dewasa awal seseorang akan menentukan
pola hidup baru, dengan memikul tanggung jawab baru dan membuat
komitmen-komitmen baru dalam kehidupan.
g. Masa Ketergantungan, meskipun telah mencapai status dewasa dan
kemandirian, ternyata masih banyak orang dewasa awal yang
tergantung pada pihak lain.
h. Masa Perubahan Nilai, orang dewasa awal ingin diterima oleh anggota
kelompok orang dewasa.
i. Masa Penyesuaian Diri dengan cara hidup baru.
j. Masa Kreatif, masa dewa awal merupakan puncak kreativitas.
Berdasarkan penjelasan di atas tentang fase dewasa awal jika
dikaitkan dengan usia mahasiswa yang sedang berada pada fase ini,
menunjukkan bahwa peran, petugas, tanggaung jawab mahasiswa tidak hanya
dihadapkan kepada pencapaian keberhasilan secara akademik, melainkan
mampu menunjukkan perilaku dan pribadi untuk mengeksplorasi berbagai
gaya hidup dan nilai-nilai, mulai tertantang secara intelektual, serta mulai
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah
orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau
akademi, mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi. Sebagai
inidividu yang sudah mulai memasuki usia dewasa, mahasiswa mulai
memenuhi tugas perkembangannya yaitu kemandirian ekonomi dan
kemandirian dalam membuat keputusan baik dalam pendidikan, karir hingga
permasalahan masa depannya.
2. Pengertian Drop Out
Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO)
yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa
disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya
atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau
keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya (duniapelajar.com).
Pendapat lain mengataan bahwa drop Out adalah keluar dari sekolah
sebelum waktunya, atau sebelum lulus. Drop out demikian ini perlu dicegah,
oleh karena hal demikian dipandang sebagai pemborosan bagi biaya yang
sudah terlanjur dikeluarkan untuknya (academia.edu).
Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa drop
out yaitu keluarnya seseorang dari lembaga pendidikan sebelum individu
3. Mahasiswa Drop Out
Pemberhentian status kemahasiswaan atau (drop out) adalah proses
pencabutan status kemahasiswaan atas diri mahasiswa, disebabkan oleh
hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh perguruan tinggi bersangkutan.
Seorang mahasiswa dapat dihentikan studinya atau drop out apabila tidak
memenuhi ketentuan akademik yang ditetapkan oleh masing-masing
perguruan tinggi. Maksimum masa studi untuk program sarjana, diploma
empat atau sarjana terapan adalah 7 (tujuh) tahun menurut Peraturan Menteri
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi (hukumonline.com).
Dalam buku panduan penyelenggaraan pendidikan program strata satu
(S1) tahun 2015 dijelaskan mengenai prosedur drop out. Sanksi drop out
ditetapkan dengan keputusan rektor atas usulan fakultas. Bagi mahasiswa
yang telah menerima surat keterangan pemberhentian studi, berhak meminta
transkip matakuliah berikut nilai kreditnya yang telah diselesaikan dan untuk
selanjutnya yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti studi pada
fakultas-fakultas di lingkungan kampus.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa yang drop
out yaitu mahasiswa yang dicabut status kemahasiswaanya dan tidak
diperkenankan untuk melanjutkan pendidikan di universitas karena
C. Resiliensi Pada Mahasiswa yang Terancam Drop Out
Pengertian reseliensi menurut Reivich & Shatte (2002), yaitu
kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan.
Dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang dalam
beradaptasi dari masalah yang sedang dialaminya dan mampu bangkit
menyelesaikannya sehingga ia bisa melanjutkan hidup yang lebih baik dan
positif. Resiliensi tidak hanya digunakan saat seseorang mengalami suatu
keadaan yang sulit, namun juga bisa digunakan saat seseorang menjalani
permasalahan dalam hidup sehari-hari.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan Reivich & Shatte (2002) yang
menyatakan bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat
mengatasi atau pulih dari kesulitan, tetapi resiliensi juga menyebabkan
seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih
positif.
Sedangkan mahasiswa yaitu peserta didik yang sedang mengikuti
proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Rentang usianya berkisar antara
18-19 tahun sampai 24-25 tahun. Jadi berdasarkan usianya, mahasiswa sudah
masuk pada tahap masa dewasa awal.
Resiliensi pada mahasiswa yaitu kemampuan mahasiswa untuk
merespon kesulitan hidup seperti terancamnya mahasiswa di drop out (DO)
kampus secara baik dan positif. Resiliensi pada mahasiswa yang terancam di
DO dapat dilihat bagaimana sikap dalam menghadapi permasalah yang
Adanya peringatan drop out yang diterimanya membuat mahasiswa
merasa cemas akan studinya. Kondisi ini tentu dapat mengganggu proses
belajar serta aktivitas kesehariannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
mahasiswa tersebut mengalami stress dan mencari solusi dari permasalahan
yang dihadapinya. Resiliensi dalam hal ini bisa digunakan sebagai salah satu
cara untuk membantu meringankan masalah yang sedang dihadapinya.
Dengan menggunakan tujuh kemampuan yang merupakan aspek
resiliensi menurut Reivich & Shatte, mahasiswa yang terancam DO bisa
bangkit dari rasa keterpurukannya. Sehingga bisa melanjutkan studi dengan
rajin dan lebih baik dari sebelumya.
Dengan adanya resiliensi tersebut dapat membuat mahasiswa mampu
melewati masalah yang dialami dengan postif dan bangkit melakukan aktivitas
dalam hidupnya. Sehingga subjek bisa mencapai keinginannya dengan baik dan
35 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
dipilih karena fenomena yang diamati perlu pengamatan terbuka, lebih mudah
berhadapan dengan realitas, kedekatan emosional antar peneliti dan
responden sehingga didapatkan data yang mendalam, dan bukan
pengangkaan.
Moleong (2009) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tetang apa yang di alami subjek
penelitian misalnya perilaku, persesi, motivasi, tindakan dan yang lainnya.
Metode penelitian kualitatif juga dikatakan sebagai prosedur yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Fokus dalam penelitian ini adalah resiliensi pada mahasiswa yang
terancam drop out dari UIN Sunan Ampel di Surabaya. Sedangkan strategi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi fenomenologi.
Fenomenologi yaitu pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada
pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dunia (Moleong,
2009).
Penelitian kualitatif yang menggunakan strategi fenomenologi berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan wawancara
dan observasi.
Tempat yang digunakan untuk penelitian yaitu kampus UIN Sunan Ampel
Surabaya. Khususnya di fakultas subjek yaitu sisi kampus dimana subjek
merasa nyaman. Selain itu penelitian di lakukan di tempat yang sudah
disepakati oleh peneliti dan subjek seperti di warung kopi atau tempat tinggal
subjek, dimana peneliti dapat menggali data mengenai subjek penelitian
dengan mudah.
C. Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984, dalam Moleong, 2008) Sumber data
utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan. Seperti dokumen dan lain sebagainya.
Terdapat dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder. (Bungin, 2001). Sumber data primer adalah data yang diambil dari
sumber pertama yang ada dilapangan. Sedangkan sumber data sekunder
adalah sumber data kedua sesudah data primer.
1. Sumber Data Primer.
Pada penelitian ini yang menjadi sumber data utama adalah
mahasiswa akhir semester 12 yang masih memiliki SKS yang belum
diselesaikan.
Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subjek secara purposif
(berdasarkan kriteria tertentu), maka penelitian ini menemukan subjek
yang sesuai dengan tema penelitian.
Kriteria utama dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mahasiswa yang masih aktif kuliah.
b. Mahasiswa semester 12.
c. Mahasiswa yang masih memiliki lebih dari 9 SKS.
Semester 12 adalah semester yang mendekati batas akhir yaitu
semester 14. Seharusnya di semester 12 dengan jatah lebih dari 9 SKS bisa
diselesaikan. Akan tetapi mahasiswa akhir yang memiliki kegiatan diluar
kuliah mengalami kesulitan untuk membagi waktu. Hal itu membuat
mahasiswa akhir merasa tidak bisa menyelesaikan kuliah di semester 12
dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Ketika membutuhkan waktu
yang lebih lama dengan jatah semester yang sudah mendekati batas akhir
semester yakni semester 14, hal ini yang membuat subjek terancam drop
out.
Untuk mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian
tersebut, penulis mencari informasi dari akademik kampus dan dari
beberapa mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya. Pada penelitian ini
Tabel 2
Data Subjek Penelitian
No Nama Jenis Kelamin Identitas
1. UN Laki-laki Fakultas Ushuluddin dan Akidah Filsafat 2. DE Laki-laki Fakultas Adab dan Humaniora
3. JN Laki-laki Fakultas Psikologi da Kesehatan
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder atau data pendukung untuk significant other subjek
pertama adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya oleh subjek.
significant other juga merupakan orang yang dekat dengan subjek serta
telah mengetahui keseharian subjek penelitian.
Data sekunder yang menjadi significant other dari subjek pertama
adalah MT yaitu teman satu organisasi UN. MT merupakan mahasiswa
semester 12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.
Pada subjek kedua yang menjadi data sekunder yang menjadi
significant other yaitu FA mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora. FA
merupakan adik angkatan DE.
Sedangkan untuk data sekunder yang menjadi significant other dari
subjek ketiga yaitu TA. TA adalah alumni UIN Sunan Ampel Surabaya
yang sudah lulus 2 tahun yang lalu. TA merupakan sahabat dari subjek JN.
D. Cara Pengumpulan Data
Pekerjaan pengumpulan data bagi penelitian kualitatif harus langsung
diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan,
mereduksi, dan menyajikan. Atau dengan sederhana memilih dan meriksakan
pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan
dokumentasi.
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
ini dilakukan oeh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong, 2009).
Patton, 1980 dalam (Moleong, 2009) menjelaskan bahwa cara terdapat
tiga macam wawancara yaitu :
a. Wawancara pembicaraan informal.
b. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
c. Wawancara baku terbuka.
Teknik wawancara yang digunakan pada penelitian ini adalah
wawancara informal. Teknik ini dipilih agar hubungan antara
pewawancara dan terwawacara dalam suasana biasa dan wajar, sedangkan
pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam
kehidupan sehari-hari namun tetap terarah pada tujuan penelitian.
Wawancara digunakan untuk menggali informasi mengenai
permasalahan subjek terkait bagaimana usaha subjek meyelesaikan
studinya sebelum ia drop out, serta bentuk-bentuk resiliensi yang
2. Observasi
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki
dengan prosedur yang terstandar (Arikunto, 2006).
Observasi pada penelitian ini dilakukan secara langsung, bersamaan
pada saat proses wawancara dilakukan. Hal ini dilakukan karena pada saat
subjek menjawab pertanyaan, akan muncul beberapa ekspresi nonverbal
yang memiliki makna terkait dengan data informasi yang disampaikan
secara verbal.
Penyusunan pencatatan observasi bertujuan untuk memfokuskan
hal-hal yang diobservasi yang sifatnya nonverbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh atau body language bisa teramati atau terdeteksi sehingga
mampu memberikan cek dan recek terhadap informasi-informasi yang
telah di sampaikan oleh subjek dalam wawancara.
Observasi yang dilakukan yaitu berupa observasi pasif, mengingat
subjek penelitian memiliki kegiatan yang lain dan ditakutkan mengganggu
aktifitas subjek.
3. Dokumentasi
Dokumen adalah segala bahan yang terekam, baik dalam bentuk
tertulis, foto maupun arsip yang terkait dengan partisipan penelitian.
Menurut Creswell (2010) dokumentasi dapat digunakan untuk
mengumpulkan dokumen-dokumen kualitatif yang berupa koran, majalah,
Guba dan lincoln (dalam Moleong, 2009) menyatakan bahwa
dokumen dapat menjadi sumber data penelitian karena :
a. Dokumen merupakan sumber yang stabil, kayadan mendorong.
b. Berguna sebagai bukti untuk pengujian.
c. Bersifat alami, sesuai dengan konteks, lahir dan berasa dalam konteks.
d. Relatif murah dan tidak sukar diperoleh, tetapi dokumen harus dicari
dan ditemukan.
Dokumen yang digunakan pada penelitian ini seperti data mahasiswa
akhir dan transkip nilai mahasiswa akhir di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Metode dokumentasi dipilih untuk melengkapi dari penggunaan
metode observasi dan wawancara. Sehingga nantinya peneliti akan
mendapatkan informasi yang memadai mengenai subjek penelitian.
Setelah wawancara dilaksanakan, data wawancara dibuat transkip dan
koding. Kemudian akan diberikan tema sesuai dengan fokus penelitian.
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong, 2009)
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan kerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajar, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Menurut Creswell (2010) terdapat beberapa langkah dalam menganalisis
1. Mengolah dan menginterpretasi data untuk dianalisis. Langkah ini
melibatkan transkipsi wawancara, menscaning materi, mengetik data
lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam
jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.
2. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan
khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.
3. Menganalisis lebih detail dengan menkoding data. Koding merupakan
proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan
sebelum memaknainya.
4. Menerapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang,
kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.
5. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan
kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.
6. Menginterpretasi atau memaknai data
Beberapa langkah dalam analisis data kualitatif di atas, akan diterapkan
dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang didapat ditulis dalam
transkip wawancara, lalu di koding, dipilah tema-tema sebagai hasil temuan,
dan selanjutnya dilakukan interpretasi data.
F. Keabsahan Data
Moleong (2009) dipaparkan bahwa untuk menetapkan keabsahan
(trustworthiness) data diperlukan teknik pemerikasan. Pelaksanaan teknik
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian
(confirmability).
Pada penelitian ini menggunakan 2 kriteria dalam melakukan pemeriksaan
data selama di lapangan sampai pelaporan hasil penelitian.
1. Kredibilitas
Kriteria kredibilitas ini untuk membuktikan apakah yang teramati
oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia
kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan
tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi.
Adapun untuk memperoleh keabsahan data, Moleong (2009)
merumuskan beberapa cara, yaitu:
a. Perpanjangan keikutsertaan
b. Ketekunan pengamatan.
c. Triangulasi data.
d. Pengecekan sejawat.
e. Kecukupan referensial
f. Kajian kasus negatif
g. Pengecekan anggota.
Dari beberapa cara untuk memperoleh keabsahan data tersebut, peneliti
menggunakan teknik ketekunan pengamatan dan triangulasi data.
Pertama, ketekunan (Moleong, 2009) pengamatan bermaksud menemukan
ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan
tersebut secara rinci. Jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,
maka ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. Dengan ketekunan
pengamatan peneliti bisa mengetahui secara mendalam hal-hal yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
Kedua, triangulasi (Moleong, 2009) yaitu teknik pemeriksaan keabsahan
data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang
diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain di luar data itu, untuk
meningkatkan keabsahan data. Pada penelitian ini, triangulasi yang digunakan
adalah: Triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang
dikatakan oleh subjek dengan dikatakan informan dengan maksud agar data
yang di peroleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu
sumber saja yaitu subjek penelitian, tetapi data juga diperoleh dari sumber
lain.
2. Kepastian
Kriteria kepastian digunakan untuk menunjukkan bahwa data-data yang
diperoleh merupakan data objektif. Dalam proses ini temuan-temuan
penelitian dicocokkan kembali dengan data yang diperoleh lewat rekaman
atau wawancara dan hasil dokumentasi. Apabila diketahui data-data tersebut
cukup koheren, maka temuan penelitian ini dipandang cukup tinggi tingkat