• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum pidana Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya no.33/pid.sus/2012/pn.sby tentang kasus pungutan liar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum pidana Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya no.33/pid.sus/2012/pn.sby tentang kasus pungutan liar."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURABAYA

NO.33/PID.SUS/2012/PN.SBY TENTANG KASUS PUNGUTAN LIAR

SKRIPSI

Oleh Shoffatul Anam

C33212069

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian pustaka tentang “Analisis Hukum

Pidana Islam terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid.Sus/2012/PN.Sby tentang Kasus Pungutan Liar”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya Nomor. 33/Pid.Sus/2012/PN.Sby tentang kasus pungutan liar ?; kedua, bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap putusan hakim pengadilan negeri surabaya Nomor. 33/Pid.Sus/2012/PN.Sby tentang kasus pungutan liar ?.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, dengan metode pengumpulan data berupa dokumentasi dan studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan pola fikir deduktif, yaitu menjelaskan konsep hukum pidana Islam untuk menganalisis putusan hakim pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid.Sus/2012/PN.Sby tentang kasus pungutan liar.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pertimbangan dasar hukum majelis hakim pengadilan Negeri Surabaya dalam memutus perkara No.33/Pid.Sus/2012/PN.Sby adalah berdasarkan undang-undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, dengan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan subsidair penjara selama 2 (dua) bulan. Menurut hukum pidana Islam tindak pidana pungutan liar yang dilakukan oleh terdakwa selaku kepala Kelurahan Kebraon termasuk jari<mah ta’zi<r, jari<mah yang diancam dengan hukuman ta’zi<r yaitu hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ melainkan diserahkan kepada ulil ‘amri atau hakim, baik penentuan maupun hukumannya.

(7)

viii DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM i

PERNYATAAN KEASLIAN ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

PENGESAHAN iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TRANSLITASI x

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah 10

C. Rumusan Masalah 11

D. Kajian Pustaka 11

E. Tujuan Penelitian 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian 13

G. Definisi Operasional 14

H. Metode Penelitian 15

I. Sistematika Pembahasan 20

BAB II TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM 21

A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam 21

1. Pengertian Jari<mah 21

2. Hukuman Ta’zi<r 22

3. Dasar Hukum Ta’zi<r 25

(8)

1. Pengertian Pungutan Liar 39

2. Kualifikasi Pungutan Liar dalam Hukum Pidana Islam

41

3. Sanksi (Uqubah) dalam Hukum Pidana Islam 43

BAB III PERTIMBANAGAN HUKUM HAKIM DALAM

PUTUSAN PN.SBY NO.33/PID.SUS/2012/PN.SBY

TENTANG KASUS PUNGUTAN LIAR 46

A. Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum 46

B. Keterangan Saksi-saksi, Terdakwa, Barang bukti 50 C. Pembuktian Dakwaan Berdasarkan Fakta-fakta

dipersidangan 58

D. Faktor-faktor yang Memberatkan dan Meringankan

Hukuman 63

E. Putusan Hakim PN Surabaya No.33/Pid.Sus/2012/

PN.SBY 64

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

PUTUSAN HAKIM NO.33/PID.SUS/2012/PN.SBY

TENTANG KASUS PUNGUTAN LIAR 66

A. Pertimbangan Hukum terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam Perkara No.33 /Pid.Sus/2012/ PN.SBY tentang Kasus Pungutan Liar

66

B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid.Sus

/2012/PN.SBY tentang Kasus Pungutan Liar 77

BAB V PENUTUP 86

A. Kesimpulan 86

B. Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 88

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas

maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia

tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi sudah

merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).1

Menurut Fockema Andrea istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu

coruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Disamping

itu istilah korupsi di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukan

keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga banyak dikaitkan dengan

ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan.2

Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat

kompleks, bersifat sistemik dan meluas. Centre for Crime Prevention (CICP)

sebagai salah satu organisasi PBB secara luas mendefinisikan korupsi

sebagai “missus of (public) power for private gain”. Menurut CICP korupsi

mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap

(bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang

berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk

1 Rolas Jakson, “Korupsi merupakan Extra Ordinary Crime”, dalam http://www.kompasiana.com/ www.rolastampubolon.wordpress.com/korupsi-merupakan-extra-ordinary-crime_552c09f76ea834 1e2f8b4581, diakses pada 26 November 2016.

(10)

2

kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest,

insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik

(illegal commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik.

Sebagai masalah dunia, korupsi sudah bersifat kejahatan lintas negara (trans

national border crime), dan mengingat kompleksitas serta efek negatifnya,

maka korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra

ordinary crime) memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang

luar biasa (extra ordinary measure).3

Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat,

menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya

buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia

adalah perilaku korupsi.4 Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab

dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum

semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas hak-hak

ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan

kesenjangan sosial yang besar, masyarakat tidak dapat menikmati

pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya

diperoleh. Secara keseluruhan korupsi telah memperlemah ketahanan sosial

dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang lagi marak dan sering

dilakukan pada kehidupan sehari-hari adalah pungutan liar atau pungli,

3 Martha Meijer, The Partnership for Governance Reforms in Indonesia”, Makalah Seminar Peningkatan Integritas Sektor Publik dan Swasta Dalam Semangat Konvensi PBB Menentang Korupsi, Jakarta, 14 -15 September 2004, 32.

(11)

3

Istilah pungli terdapat dalam kamus bahasa China. Li artinya keuntungan

dan Pung artinya persembahan, jadi Pungli diucapkan Pung Li, artinya

adalah mempersembahkan keuntungan.5

Pungutan liar juga termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, di mana

dalam konsep kejahatan jabatan di jabarkan bahwa pejabat demi

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan

kekuasaannya untuk memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk

membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Proses memberi dan menerima dan kemudian mencapai bentuknya

yang mapan, dari sudut hukum disebut sebagai “pungutan liar”, hal ini sudah

lama mewabah di masyarakat Indonesia. Melalui Instruksi Presiden R.I. No.

9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib, di masa Orde Baru berkuasa telah

dilancarkan operasi tertib yang bermaksud menanggulangi pungutan liar

sebagai usaha mewujudkan pemerintahan yang diharapkan dapat

mencerminkan pelayanan masyarakat yang baik.

Dalam menanggulangi pungutan liar tentu didasarkan pada asas hukum

acara pidana yang mengandung tujuan represif untuk preventif, yaitu perlu

adanya pemberantasan secara terpadu, antara lain masing-masing pribadi

menghindari diri dari tindakan yang akan menjebak kewilayah pungutan liar,

sebagai tindakan preventif. Kemudian harus ditindak melalui penjatuhan

hukuman pidana bagi setiap pelanggarannya, sebagai tindakan represif.

(12)

4

Bertujuan agar terwujudnya internasionalisasi hukum yang stabil termasuk

pematuhan undang-undang yang menjatuhi pungutan liar.

Pada masa Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977

tentang Operasi Penertiban (1977-1981), dengan tugas membersihkan

pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemerintah daerah

dan departemen. Untuk memperlancar dan mengefektifkan pelaksanaan

penertiban ini ditugaskan kepada Menteri Negara Penertiban Aparatur

Negara sebagai koordinator pelaksana dan Pangkopkamtib sebagai pembantu

Departemen/Lembaga pelaksana secara operasional.6 Keberadaan

Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak

sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Undang-undang baru

yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ternyata undang-undang ini

menimbulkan permasalahan karena tidak ada pasal yang mengatur tentang

peraturan peralihan sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai

keberadaan undang-undang tersebut. Karena kelemahan itu, maka

Undang-undang No. 31 tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(13)

5

Sebagai salah satu contoh kasus yang pernah di persidangkan di

Pengadilan Negeri Surabaya pada tahun 2012 tentang tindak pidana

pungutan liar yang dilakukan oleh Drs. Hamzah Fajri selaku Pegawai Negeri

Sipil yang menjabat sebagai Kepala Kelurahan Kebraon Kecamatan

Karangpilang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Kasus ini

dikategorikan sebagai tindak pidana khusus karena pungutan liar dilakukan

dengan sengaja. Tugas yang dilakukan Kepala Kelurahan semestinya

melayani dan mengatur masyarakat, diselewengkan tidak untuk kepentingan

masyarakat melainkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Dalam perkara

tersebut terdakwa dinyatakan bersalah karena telah menyalahgunakan

kekuasaannya untuk melakukan pemungutan liar didalam pelaksanaan

kegiatan PRONA pada tahun 2011, yang di tetapkan oleh terdakwa agar

setiap peserta pemohon PRONA di pungut biaya sebesar Rp. 4.500.000.-

(empat juta lima ratus ribu rupiah) dengan pembayaran dapat dicicil atau

diangsur dengan pembayaran minimal sebesar Rp. 1.500.000.- (satu juta lima

ratus ribu rupiah), dari rencana total keseluruhan yang akan dipungut Rp.

4.500.000.- X 24 orang pemohon = Rp. 108.000.000.- (seratus delapan juta

rupiah), padahal terdakwa mengetahui untuk pelaksanaan kegiatan PRONA

oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya tidak memungut

biaya sama sekali atau gratis. Selain melakukan pemungutan liar pada

kegiatan PRONA, terdakwa juga melakukan pemungutan liar terhadap

warga yang hendak mengurus surat menyurat yang berhubungan dengan

(14)

6

domisili , surat kematian, surat keterangan tidak mampu dan lain lain. Pada

tanggal 9 Agustus 2011 juga melakukan pemungutan liar terhadap heru

wahyuono selaku wakil sub kontraktor CV, dengan alasan untuk biaya

sosialisasi kepada warga, yang di lalui kendaraan perusahaan sehubungan

pelaksanaan proyek pembangunan SMPN 24 sebesar Rp. 10.000.000.-

(sepuluh juta rupiah).7

Oleh karena itu atas perbuatan terdakwa sebagaimana ketentuan

hukum pidana dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi jo. Pasal 64 KUHP dapat dijadikan dasar hukum oleh hakim

dalam memutus perkara tindak pidana pungutan liar. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 11 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah

dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 KUHP, yang

unsur-unsurnya adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima

hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya.8 Dan dalam Pasal 12 huruf e UU No.31 Tahun 1999 yang telah

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 KUHP dengan unsur

Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan

7 Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid.Sus/2012/PN.SBY

(15)

7

sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.9

Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya

prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari

semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan

pelayanan publik yang melakukan pungutan liar. Hal ini merupakan salah

satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran

terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik.10

Pemidanaan menurut hukum Islam adalah adanya suatu pembalasan

ataupun pembelajaran yang dikenakan terhadap seseorang apabila melanggar

suatu ketentuan yang telah tertulis dalam nash ataupun yang telah di

sepakati oleh ulil amri. Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga delik

(jari<mah) yaitu, jari<mah h{udu<d, jari<mah qis{a<s{ dan diyat, dan jari<mah ta’zi<r.

Adapun yang dimaksud dengan jari<mah ta’zi<r adalah semua perbuatan yang

berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat

kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, penimbunan

bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain. Hukuman ta’zi<r adalah

hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil

al-Amri untuk menetapkannya.11

9 Pasal 12 huruf e UU No.31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 10 BPKP, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan

Masyarakat, (Jakarta: Tim Pengkajian SPKN RI. 2002), 6.

(16)

8

Hukuman ta’zi<r ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat

dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut :12

1. Hukuman yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid.

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti

hukuman penjara dan pengasingan.

3. Hukuman yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/

peramapasan harta, dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi

kemaslahatan umum.

Dalam hukum Islam pungutan liar yang dilakukan oleh kepala

kelurahan ini sanksi pidananya adalah hukuman ta’zi<r. Namun hukumannya

tidak hanya dirasakan di dunia saja tapi di akhirat nanti akan memikul apa

yang telah dipungut di dunia ini. Seperti yang disebutkan dalam Surat

Al-Imran ayat 161, Allah SWT berfirman :

لغي أ ٍيب ل اك ا و

غي و

ل

أي

وي لغ ا ب

ٱ

ل

يق

ى فو ث

ف ُلك

س

بسك ا

هو

ظي َ

و

Artinya: “Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang meraka tidak di

aniaya” (QS:Al-Imran/3-161).13

(17)

9

Meski pada realitanya mayoritas warga Indonesia adalah beragama

Islam, akan tetapi perbuatan pungutan liar sangat marak dan tidak

memperhatikan dampak yang ditimbulkan hanya demi kepentingan pribadi,

masih banyak terdapat masyarakat yang belum mengetahui bagaimana

ancaman pidana bagi pelaku pungutan liar yang telah diatur. Masyarakat

Indonesia belum sadar bahwa pungutan liar mengakibatkan dampak yang

besar dalam lingkup sosial dan kemiskinan masyarakat.14 Oleh karena itu

perspektif hukum pidana Islam mengenai pemberian sanksi pidana kepada

pelaku pungutan liar juga perlu dimasukkan dalam pembahasan ini.

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka penulis

merasa perlu melakukan studi putusan kasus pungutan liar yang terjadi di

Pengadilan Negeri Surabaya dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi

yang berjudul: “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Hakim

Pengadilan Negeri Surabaya No.33/Pid.Sus/2012/ PN.SBY Tentang Kasus

Pungutan Liar.”

(18)

10

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa

masalah pada penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat

diidentifikasi sebagaimana berikut :

1. Tindak pidana pungutan liar.

2. Sanksi tindak pidana terhadap pelaku pungutan liar.

3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam putusan Nomor

33/Pid.Sus/2012/PN.SBY terhadap tindak pidana pungutan liar.

4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan Nomor

33/Pid.Sus/2012/PN.SBY terhadap tindak pidana pungutan liar.

5. Analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pungutan liar.

Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan juga bertujuan agar

permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan

karya ilmiah dengan batasan :

1. Putusan hakim terhadap tindak pidana pungutan liar dalam putusan

Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY.

2. Analisis hukum pidana Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri

Surabaya tentang tindak pidana pungutan liar di Pengadilan Negeri

(19)

11

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka

secara lebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini akan

memfokuskan pada beberapa pembahasan untuk diteliti lebih lanjut adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

33/Pid.Sus/2012/PN.SBY tentang kasus pungutan liar ?

2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap putusan hakim

Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY tentang

kasus pungutan liar ?

D. Kajian Pustaka

Sejauh pengamatan dan penelitian penyusun mengenai topik yang

membahas mengenai masalah pungutan liar baik mengenai konsep, unsur,

ketentuan-ketentuan, status, maupun masalah lain yang berkaitan dengan

pungutan liar yang dilakukan oleh Kepala Kelurahan Kebraon, penulis pun

melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul

skripsi dan menemukan pembahasan tentang Pungutan Liar, diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. Skripsi Hafidah Virani, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “ Analisis Yuridis Putusan

(20)

12

Korupsi”.15 Dalam skripsinya memaparkan pertimbangan hakim dalam

memutus perkara tindak pidana korupsi yang memberatkan hukuman,

dengan fokus pembahasan pada hukum pidana positif saja. Berbeda

dengan fokus pembahasan yang di paparkan oleh penulis yang

menggunakan hukum pidana positif lalu dikaitkan dengan hukum pidana

islam.

2. Skripsi Dedi Permono, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Sunan Ampel Surabaya, yang berjudul “Studi Komparatif mengenai

penerapan pembuktian terbalik menurut Undang-Undang No.31 Tahun

1999 dan Hukum Islam”.16 Fokus pembahasanya adalah bagaimana

perbandingan antara hukum Islam dan Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang penerapan pembuktian terbalik pada kasus tindak pidana

korupsi. Yang berbeda dengan fokus pembahasan penulis, yang

melakukan perbandiangan antara hukum pidan positif dan hukum

pidana islam dalam pertimbangan sanksi terhadap hukuman terpidana.

3. Skripsi Abidatuz Zahro Angelin, yang berjudul “Penyidikan Kepala

Daerah yang Diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi menurut

Putusan MK No.73/PUU-IX/2011 dalam prespektif hukum acara pidana

Islam”.17 Yang berbeda dengan pembahasan pada kasus yang dilakukan

oleh penulis lebih terfokus yaitu pada pidana korupsi jenis pungutan liar,

15 Hafidah Virani, Analisis Yuridis Putusan Alkostar Terhadap Pemberatan Hukuman Bagi Pelaku Tidak Pidana Korupsi”, (Skripsi UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016)

16Dedi permono, “Studi Komparatif mengenai penerapan pembuktian terbalik menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Hukum Islam”, (Skripsi IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2007) 17Adibatuz zahro angelin, “Penyidikan Kepala Daerah yang Diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi menurut Putusan MK No.73/PUU-IX/2011 dalam prespektif hukum acara pidana Islam”,

(21)

13

karena dalam korupsi itu masih banyak jenisnya mulai dari pungutan

liar, suap, penggelapan, pencurian, perampokan dan masih banyak yang

lainya.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis di atas, maka skripsi ini

bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui putusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

33/Pid.Sus/2012/PN.SBY tentang tindak pidana pungutan liar.

2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap putusan hakim

Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY tentang

kasus pungutan liar.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak,

baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma

berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum

khususnya pemahaman tentang sejauh mana penegakan hukum dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi pungutan liar di Indonesia. Selain

itu, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi

peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan.

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak

(22)

14

liar, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranan aparat

penegak hukum sebagai institusi yang diharapkan berada pada garda

terdepan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi.

G. Definisi Operasional

Untuk memahami skripsi ini, sehingga tidak menjadi kesalah pahaman

dalam memahami maksud yang terkandung, maka penulis menguraikan

tentang definisi operasional sebagaimana berikut ini :

1. Analisis Hukum Pidana Islam : Analisis dari sudut pandang ketentuan

hukum Islam mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum

sebagai hasil dari suatu pemahaman dalil-dalil hukum yang terperinci dari

Al-Qur’an dan Hadist dan pendapat ulama fiqih. Yang menjelaskan

terhadap kronologis jari<mah ta‘zi>r.

2. Putusan Hakim : Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum yang telah diatur dalam Undang-undang.

3. Pungutan Liar : Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai

Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah

uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan

dengan pembayaran tersebut.

Jadi maksud dari judul ini adalah untuk meneliti putusan Pengadilan

(23)

15

yang digunakan untuk memutuskan sanksi bagi pelaku tindak pidana

pungutan liar kemudian dianalisis dengan hukum pidana Islam.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum

tujuan penelitian ada tiga macam yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian

dan pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu

adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.

Pembuktian berarti data yang diperoleh itu digunakan untuk membuktikan

adanya keragu-raguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu, dan

pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan yang

telah ada.18

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data yang terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya

\Nomor: 33/PID.SUS/2012/PN.SBY.

1) Kronologis kasus pungutan liar

2) Identitas terdakwa kasus pungutan liar

3) Surat dakwaan No.Reg.Perk: PDS-03/0.5.10/Ft.1/04/2012

4) Keterangan saksi-saksi, terdakwa, barang bukti kasus pungutan liar

18Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Penerbit Alfabeta,

(24)

16

5) Unsur-unsur tindak pidana

6) Hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman

7) Putusan Pengadilan Negeri Surabaya NO: 33/PID.SUS/2012/PN.SBY

8) Undang-undang No.20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi

b. Data yang terdapat dalam hukum pidana Islam

1) Pengertian tentang Jari<mah

2) Pengertian tentang Jari<mah ta’zi<r

3) Dasar hukum Jari<mah ta’zi<r

4) Unsur-unsur dari Jari<mah secara umum dan khusus

5) Pembagian Jari<mah ta’zi<r

6) Hukuman terhadap Jari<mah ta’zi<r

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini

digunakan dua sumber data, yaitu :

a. Sumber primer

Sumber primer adalah Sumber yang mengikat atau yang membuat

orang taat pada hukum,19 yang terdiri dari kaedah dasar, peraturan

dasar ,peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

dikodifikasikan dan yurisprudensi (putusan hakim). Sumber primer dari

penelitian ini yaitu: Fiqh Jina<yah, KUHP (kitab undang-undang hukum

pidana), Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana

korupsi, dan Putusan PN Surabaya NO: 33/PID.SUS/2012/PN.SBY.

19

(25)

17

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang tidak mengikat, berfungsi untuk

melengkapi sumber primer. sumber sekunder merupakan yang didapat

dari sumber tidak langsung berfungsi sebagai pendukung terhadap

kelengkapan penelitian.20

Sumber yang dimaksud antara lain:

1) Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.

2) Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

3) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,

Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

4) Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah,

2011.

5) Robert Klitgard, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 1998.

6) Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di

Indonesia.Cet 2, Jakarta: Bayu Media, 2005.

7) D soedjono, Pungli: Analisa Hukum & Kriminologi, Cet 2,

Bandung: Sinar Baru, 1983.

8) Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, Cet 3,

Bandung: Refika Aditama, 2003.

9) Djoko Prakoso. Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak

Pidana Korupsi, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1990.

(26)

18

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka

dipergunakan teknik sebagai berikut :

a. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung

ditunjukkan pada subjek penelitian melalui dokumen, atau melalui

berkas yang ada.21 Dokumen yang diteliti adalah putusan Pengadilan

Negeri Surabaya tentang tindak pidana pungutan liar dalam putusan

Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY.

b. Studi Kepustakaan, yakni teknik pengumpulan data yang bersumber

dari buku, undang-undang, artikel dan internet, teknik mengumpulkan

dilakukan dengan cara membaca, merangkum, menelaah, dan mencatat

hal yang berhubungan dengan penelitian.22

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang didapat dari dokumen dan terkumpulkan kemudian diolah,

berikut tahapan-tahapannya:

a. Editing, adalah kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan

data tersebut.23 Dengan memeriksa kembali data-data secara cermat

tentang kelengkapan, relevansi serta hal yang perlu di koreksi dari data

yang telah dihimpun yang berkaitan dengan sanksi hukuman bagi

pelaku pungutan liar berdasarkan Fiqh Jinayah dan Undang-Undang

Hukum Pidana.

21 Margono, Metode Penelitian Pendidikan, Cet 1,(Jakarta: Renika Ilmu, 2004), 39. 22 Ibid., 39.

(27)

19

b. Organizing, adalah suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,

pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.24 Dengan

menyusun dan mensistematika data-data tersebut sedemikian rupa

sehingga menghasilkan bahan untuk dijadikan struktur deskripsi.

c. Analizing, adalah kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data yang

relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.25 Dengan

melakukan analisis deskriptif pertimbangan hakim terhadap sanksi

hukuman bagi pelaku pungutan liar berdasarkan Fiqh Jinayah dan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data

kedalam pola atau kategori dan uraian satuam dasar sehingga lebih muda

untuk dibaca dan diinterpretasikan.26

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif,27 yaitu

mendeskripsikan data-data yang bersifat umum tentang tindak pidana

pungutan liar ditarik kepada permasalahan yang lebih bersifat khusus dalam

putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY dan

relevansinya dengan hukum pidana Islam.

24 Ibid., 89. 25 Ibid., 99.

(28)

20

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas pada skripsi ini, penulis

akan menguraikan isi uraian pembahasan. Adapun Sistematika pembahasan

skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan secara sistematis sebagai

berikut:

Bab I, bab ini memuat tentang pendahuluan, yang terdiri dari Latar

Belakang, Identifikasi, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka,

Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode

Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab II, bab ini membahas landasan teori tentang tinjauan umum tindak

pidana pungutan liar dalam hukum pidana Islam diantaranya: Tindak Pidana

dalam Hukum Pidana Islam, Pungutan Liar dalam Hukum Pidana Islam.

Bab III, bab ini merupakan penyajian data, akan dipaparkan mengenai

data hasil penelitian yang terdiri atas status dan kewenangan Pengadilan

Negeri meliputi: Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum, isi putusan

Pengadilan Negeri Surabaya dan pertimbangan hukum hakim dalam putusan

Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY.

Bab IV, bab ini merupakan analisis hukum pidana Islam atas putusan

Nomor 33/Pid.Sus/2012/PN.SBY terhadap perkara kejahatan pungutan liar.

(29)

21 BAB II

TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam

1. Pengertian jari<mah

Jari<mah menurut arti bahasa, berasal dari bahasa Arab ْهَمْي ِرَج yang

berarti perbuatan dosa dan atau tindak pidana. Sedangkan menurut istilah,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi, jari<mah adalah

perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah SWT dengan

hukuman h{ad atau ta’zi<r.1

Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan yang dianggap sebagai

tindak pidana yaitu jika bertentangan dengan undang-undang maka dijatuhi

dengan hukuman, tapi jika perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum

maka tidak dianggap sebagai tindak pidana.2

Ditinjau dari segi berat hukumannya, jari<mah dapat dibagi menjadi

tiga bagian antara lain:

a. Jari<mah h{udu<d, adalah jari<mah yang diancam dengan hukuman h{ad.

Hukuman h{ad adalah hukuman yang telah di tentukan oleh syara’ dan

menjadi hak Allah (hak masyarakat). Jari<mah h{udu<d ini ada tujuh

macam antara lain sebagia berikut: zina, qadhaf, meminum minuman

keras, mencuri, murtad, pemberontak.

(30)

22

b. Jari<mah qis{a<s{, adalah jari<mah yang diancam dengan hukuman qis{a<s{ atau

diyat. Jari<mah qis{a<s{ dan diyat ini ada dua macam, yaitu pembunuhan

dan penganiayaan.

c. Jari<mah ta’zi>r, jari<mah yang diancam dengan hukuman ta’zi>r. Hukuman

ta’zi>r adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum

ditentukan oleh syara’.

Pengertian jari<mah menurut syara’ yang telah dikemukakan di atas,

pada lahirnya agak berbeda dengan pengertian jari<mah atau tindak pidana

menurut hukum positif dalam kaitan dengan masalah hukuman ta’zi>r.

Menurut hukum Islam hukuman ta’zi>r adalah hukuman yang tidak tercantum

ketentuannya dalam nash dan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan

ketentuan yang pasti dan terperinci.

2. Hukuman Ta’zi<r

Ta’zi<r menurut arti bahasa, ta’zi<r berasal dari kata ‘azzara yang

sinonimnya mana‘a waradda (mencegah atau menolak), addaba (mendidik),

wawaqqa az}ama (mengagungkan atau menghormati). Dari ketiga pengertian

tersebut, yang paling relevan adalah pengertian pertama, mencegah atau

menolak, dan pengertian kedua, mendidik. Karena dapat mencegah pelaku

agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. ta’zi<r diartikan mendidik, karena

ta’zi<r dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia

menyadari perbuatan jari<mah nya, kemudian meninggalkan dan

menghentikannya.3

(31)

23

Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Mawardi mendefinisikan

sebagaimana yang telah dikutip oleh M. Nurul Irfan sebagai berikut, ta’zi<r

adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang

hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.4 Wahbah Zuhaili juga

memberikan definisi yang mirip dengan definisi Imam Al-Mawardi, ta’zi<r

adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang

tidak dikenakan hukuman h{ad dan tidak pula kifa<rat.5

Jadi dengan demikian jari<mah ta’zi<r adalah suatu jari<mah yang

hukumannya diserahkan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk

serta hukuman kepada pelaku jari<mah, karena hakim diberi kewenangan

untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jari<mah ta’zi<r.6

Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa jari<mah ta’zi<r terdiri atas

perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan h{ad dan tidak pula

dikenakan kifa<rat, dengan demikian inti dari jari<mah ta’zi<r adalah perbuatan

maksiat. Pungutan liar juga termasuk dalam jari<mah ta’zi<r karena melakukan

perbuatan yang dilarang.7

Disamping itu juga hukuman ta’zi<r dapat dijatuhkan apabila hal itu

dikehendaki oleh kemaslahatan umum meskipun perbuatannya tidak maksiat

melainkan pada awalnya muba<h{. Perbuatan seperti ini tidak bisa ditentukan

hukumannya, sebab perbuatan tersebut tidak diharamkan oleh zatnya

4 M Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 136.

5 Marsum, Jarimah Ta’zir : Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam , (Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, 1988), 1.

6 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 249.

(32)

24

melainkan karena sifatnya, apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya

diharamkan, tapi jika sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya muba<h{.

Sifat yang menjadi alasan (‘illat) dikenakan hukuman atas perbuatannya

tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum, jika

dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka

perbuatan tersebut dianggap jari<mah maka pelaku dikenakan hukuman, akan

tetapi jika dalam perbuatan tersebut bukan jari<mah maka pelaku tidak

dikenakan hukuman.8

Penjatuhan hukuman ta’zi<r untuk kepentingan dan ketertiban umum

ini, merujuk pada perbuatan Rasulullah SAW, dimana beliau pernah

menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta, setelah diketahui atau

terbukti bahwa dia tidak mencurinya, maka Rasulullah SAW

membebaskannya.

Analisis terhadap tindakan Rasulullah SAW tersebut adalah bahwa

penahanan merupakan hukuman ta’zi<r, sedangkan hukuman hanya dapat

dikenakan terhadap suatu jari<mah yang sudah dapat dibuktikan. Apabila

dalam peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka artinya

Rasulullah Saw mengenakan hukuman penahanan (penjara) hanya karena

tuduhan semata-mata.9

Tindakan yang diambil oleh Rasulullah SAW tersebut dibenarkan oleh

kepentingan umum, sebab membiarkan tersangka hidup bebas sebelum

8 Jaih Mubarak, Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004),177.

(33)

25

dilakukan penyelidikan tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya agar

mengakibatkan dia lari dan menyebabkan dijatuhkannya vonis yang tidak

benar terhadap dirinya, atau menyebabkan tidak dapat dijalankannya

hukuman yang telah diputuskan.10

3. Dasar Hukum Ta’zi<r

Ta’zi<r merupakan suatu hukuman yang bersifat mendidik atas

perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara’, sehingga hukumannya

diserahkan kepada hakim dengan dasar hukum pertimbangan kemaslahatan

yang mengacu pada prinsip keadilan. Dalam menetapkan jari<mah ta’zi<r

prinsip utama yang menjadi acuan hakim adalah menjaga kepentingan umum

dan melindungi masyarakat dari kemadharatan, selain itu penegakan jari<mah

ta’zi<r harus sesuai dengan prinsip syar’i.11

Pada jari<mah ta’zi<r al-Qur’an dan al-Hadits tidak menerapkan secara

terperinci, baik dari segi bentuk jari<mah maupun hukumannya. Dasar hukum

disyariatkannya sanksi bagi pelaku adalah at-ta’zi<r yad}urru< ma’a mas{lah{ah

artinya, hukum ta’zi<r didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dengan

tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam masyarakat.12

Selain itu Allah SWT melarang Pungutan Liar terhadap segala jenis

harta milik orang lain, Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat

Al-Baqarah Ayat 188 yang berbunyi :

10 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia , (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), 177. 11M Nahdi, Jarimah Ta’zir, dalam http://mnahdi-mnahdi.blogspot.com/2008/11/jarimah-tazir. html, diakses pada 12 Januari 2017.

(34)

26

ا

َ

لَو

ا

اِبا ُكَ ۡيَبا ُك

َلَٰوۡ َأاْآ ُ ُكۡأَت

ٱ

اِلِطٰ َب

ۡل

ا

ا

َِإا

َ

ٓاَ ِباْا ُلۡدُتَو

ٱ

اِم اَُ

ۡ

ۡ

ا

ا ۡ ِّ اامقيِر

َفاْا ُ ُكۡأَِِ

اِلَٰوۡ

َ

أ

ٱ

ا ِساان

ااِبٱ

اِ ۡثِ

ۡ

ۡ

ا

اۡ ُت

َ

أَو

ا

اَن ُ َ ۡعَت

٨

ا

13

ا

Artinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Dasar hukum disyariatkannya ta’zi<r terdapat dalam beberapa hadis

Nabi Muhammad SAW dan tindakan Sahabat seperti Hadits Nabi yang

diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

دَح

ُنْب يِلَع اََ ث

يِدِْكْلا ٍدْيِعَس

:

ٍرَمْعَم ْنَع ِكَر اَبُمْلا ُنْبِا اََ ث دَح

,

ْب ِزْهَ ب ْنَع

ٍمْيِكَح ِن

,

ِْيِبَأ ْنَع

,

ْنَع

َج

َسَبَح َملَسَو ِْيَلَع ُللا ىلَص ِِلا نَأ ِِد

ُجَر

ال

َُْع ىلَخ ُُ ٍةَمْهُ ت ِِْ

دوادوبا اورُ

َ

14 Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa'id Al Kindi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubrarak dari Ma'mar dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menahan seseorang karena suatu tuduhan lalu melepasnya. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud).15

Hadis ini menjelaskan tindakan Nabi yang menahan seseorang yang

diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan memudahkan penyelidikan.

Jika tidak dilakukan penahanan, dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri

dan menghilangkan barang bukti yang sudah ada, atau mengulangi perbuatan

melanggar tindak pidananya.

13 Bachtiar Surin, Al-qur’an dan..., 60.

14 Abu Daud, ‘abwa<bu ‘addiyya<ti, ba<bu ma<ja<’a fi< alhabsi,hadist 1417(Al kutubus sittah: Darussalam 2005), 1795.

(35)

27

Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :16

َةَشِئاَع ْنَع

ْتَلاَق اَهْ َع ُللا َيِضَر

:

َص ِللا ُلْوُسَر َلاَق

ملَسَو ِْيَلَع ُللا ىل

يِوَذ اْوُلْ يِقَا :

ِِت اَرَشَع ِتاَئْيَْْا

ْم

اورُ َدْوُدُْْااِا

دوادوبا

) Artinya:

Dari 'Aisyah radliallahu'anha ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maafkanlah kekeliruan (tergelincirnya) orang-orang yang baik, kecuali dalam masalah hukum had." (Riwayat, Abu Daud).17

Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang

ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena

biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu

yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.18 Pada hadis kedua

ini mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zi>r yang bisa berbeda

antara satu pelaku dan pelaku yang lainnya, tergantung kepada status

mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

Secara umum hadist tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zi<r

dalam Islam, mengatur pelaksanaan hukuman ta’zi<r yang bisa berbeda antara

satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan

kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

16

Abu Daud,‘awwalu kita<bil h{udu<d, ba<bu fi< alh>addi yashfa’u fi<hi,hadist 4375, (‘Al kutubus sittah: Darussalam 2005), 1542.

17 Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro 2002), 576-577.

(36)

28

4. Unsur-unsur Jari<mah Ta’zi<r

Dari uraian-uraian tersebut dapat diketahui unsur-unsur jari<mah

terbagi menjadi dua, yaitu:19

a. Unsur umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap

jari<mah. Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jari<mah yaitu:

1) عْرشلاُُ ْكرلا (unsur formil), yaitu nash yang melarang perbuatan dan

mengancam perbuatan terhadapnya. sebagaimana adanya ketentuan

syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang

dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan

sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang

mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud,

ketentuan tersebut harus ada sebelum perbuatan dilakukan dan

bukan sebaliknya.

2) ُْ ا لاُ ُ ْكرلا (unsur materiil), yaitu adanya tingkah laku yang

membentuk jari<mah, baik perbuatan-perbuatan nyata maupun sikap

tidak berbuat. Contoh pada kasus pencurian, yang mana tindakan

pelaku memindahkan atau mengambil barang milik orang lain,

tindakan pelaku tersebut adalah unsur material yaitu, perilaku yang

membentuk jari<mah.

3) با أاُ ُ ْكرلا (unsur moril), yaitu orang yang dapat dimintai

pertanggung jawaban terhadap jari<mah yang diperbuatnya. Oleh

(37)

29

karena itu, pelaku jari<mah haruslah orang yang dapat memahami

hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut.

b. Unsur khusus, yaitu unsur yang membedakan antara jari<mah yang satu

dengan jari<mah yang lainnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

bahwa tindak pidana yang tidak ditentukan sanksinya oleh Al-Quran

maupun Hadis disebut sebagai jari<mah ta’zi<r. Contohnya tidak

melaksanakan korupsi, menghina orang, menjadi saksi palsu, dan suap.20

Wahbah az-Zuhaili memberikan ketentuan dan kriteria dalam

hukuman ta’zi<r yaitu setiap orang yang melakukan suatu kemungkaran

atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa alasan yang dibenarkan) baik

dengan ucapan, perbuatan, baik korbannya adalah seorang muslim

maupun orang kafir.21

Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zi<r yaitu sebagai berikut:22

1. Jari<mah h{udu<d atau qis{a<s{ yang terdapat shubhat dialihkan ke sanksi

ta’zi<r

2. Jari<mah h{udu<d atau qis{a<s{ yang tidak memenuhi syarat akandijatuhi

sanksi ta’zi<r. Contoh percobaan pencurian, percobaan pembunuhan

dan percobaan zina.

3. Jari<mah yang ditentukan Al-Quran dan Hadis, namun tidak

ditentukan sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan

amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.

20 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 163. 21 Ibid., 532.

(38)

30

4. Jari<mah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti

penipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,

pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang

ada dalam jari<mah ta’zi<r adalah setiap bentuk kejahatan yang tidak ada

ancaman hukuman h}ad dan kewajiban membayar kafarat didalamnya,

perbuatan Jari<mah h{udu<d atau qis{a<s{ yang unsurnya tidak terpenuhi, dan

melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak

(meresahkan masyarakat umum).

Selain itu juga terdapat perbedaan antara jari<mah yang satu dengen

jari<mah yang lainya, menurut makhrus munajat terdapat perbedaan

antara Jari<mah h{udu<d atau qis{a<s{ dan ta’zi<r sebagaimana berikut :

1) Dari segi kekuasaan hakim

Dalam jarim jari<mah ta’zi<r seorang hakim memiliki kekuasaan penuh

dalam menentukan sanksi. Dalam jari<mah h{udu<d seorang hakim tidak

boleh menambah atau mengurangi sanksi, karena hukumannya harus

sesuai dengan syara’. Dalam jari<mah qis{a<s{ seorang hakim boleh

mengubah sanksi asalkan berdasarkan kekuatan bukti atau saksi.

2) Dalam segi ampunan

Dalam jari<mah ta’zi<r unsur ampunan dimiliki oleh hakim. Dalam

jari<mah h{udu<d tidak ada unsur ampunan sama sekali, Waupun pelaku

(39)

31

pemerintahan. Dalam jari<mah qis{a<s{ unsur pemaafan bisa dilakukan

asalkan keluarga atau wali korban memaafkan pelaku.

3) Dari segi pengaruh lingkungan

Dalam jari<mah ta’zi<r sanksi sangat berpengaruh pada lingkungan.

Dalam jari<mah h{udu<d dan qis{a<s{ lingkungan tidak mempengaruhi

dalam memberikan hukuman.

5. Macam-macam Jari<mah Ta’zi<r

Dalam menetapkan jari<mah ta’zi<r, pemerintah mengacu dan berpegang

pada prinsip menjaga kepentingan umum dan melindungi masyarakat dari

kemadharatan, selain itu penegakkan jari<mah ta’zi<r harus sesuai dengan

prinsip syar’i. Para ulama’ membagi jari<mah ta’zi<r menjadi dua bagian,

yaitu:23

1. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu

yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat

kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, pemberontakan,

perzinaan, dan tidak taat pada ulil amri.

2. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu

segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia,

seperti tidak membayar hutang dan penghinaan.

Menurut Abd Qadir Awdah, jari<mah ta’zi<r terbagi menjadi tiga bagian

yaitu:24

(40)

32

1. Jari<mah ta’zi<r yang berasal dari jari<mah h{udu<d atau qis{a>s{, tetapi

syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada shubhat, seperti pencurian yang

tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.

2. Jari<mah ta’zi<r yang jenisnya telah ditentukan oleh nash tapi sanksinya

oleh syar’i diserahkan kepada penguasa, misalnya sumpah palsu, saksi

palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji, mengkhinati

ama<nah, dan menghina agama.

3. Jari<mah ta’zi<r yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh

syara’, jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti

pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap

lingkungan hidup dan lalu lintas.

Abdul Aziz Amir juga membagi jari<mah ta’zi<r secara rinci kepada

beberapa bagian, yaitu:

1. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan pembunuhan

2. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan pelukaan

3. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan

dan kerusakan akhlak

4. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan harta

5. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

6. Jari<mah ta’zi<r yang berkaitan dengan keamanan umum

6. Macam-macam Hukuman Jari<mah Ta’zi<r

Hukuman ta’zi<r ini jumlahnya cukup banyak, mulai dari hukuman

(41)

33

jari<mah ta’zi<r, hakim diberi wewenang untuk memilih di antara kedua

hukuman tersebut, mana yang paling sesuai dengan jari<mah yang dilakukan

oleh pelaku. Jenis-jenis hukuman ta’zi<r ini adalah sebagai berikut.

a. Hukuman Ta’zi<r yang Berkaitan dengan Badan

1) Hukuman Mati

Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qis{a<s{ untuk pembunuhan

sengaja dan sebagai hukuman had{ untuk jari<mah h{ira<bah, zina, muhsan,

riddah, dan jari<mah pemberontakan. Hukuman mati ini diterapkan oleh para

fuqaha<’ secara beragam. Hukuman mati untuk jari<mah ta’zi<r hanya

dilaksanakan dalam jari<mah-jari<mah yang sangat berat dan berbahaya,

dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a) Pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman

hudud selain hukuman mati.

b) Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap

masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka

bumi.25

Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati

sebagai ta’zi<r tidak ada keterangan yang pasti, boleh dengan pedang, dan

boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama

memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan

(42)

34

tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih

cepat.26\

2) Hukuman Jilid (Dera)

Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang

pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibn Taimiyah, dengan alasan

karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.27

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih

diperselisihkan oleh para fuqaha<’. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zi<r

harus dicambukkan lebih keras dari pada jilid dalam had{ agar dengan ta’zi<r

orang yang terhukum akan menjadi jera, disamping karena jumlahnya lebih

sedikit dari pada dalam had{, semakin keras cambukan itu semakin

menjerakan, akan tetapi ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid

dalam ta’zi<r dengan sifat jilid dalam h{udu<d.28

b. Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan

1) Hukuman Penjara

Dalam bahasa Arab istilah untuk hukuman penjara yaitu disebut

dengan Al-H{absu yang artinya mencegah atau menahan. Hukuman penjara

dalam syari’at Islam dibagi kepada dua bagian yaitu:

a) Hukuman penjara terbatas yaitu penjara yang lama waktunya

dibatasi secara tegas, hukuman ini diterapkan untuk jari<mah

26 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 260.

(43)

35

penghinaan, penjual khamr (minuman keras), pemakan riba<’.

Batas lamanya hukuman penjara ini tidak ada kesepakatan

dikalangan ulama’ dan fuqaha<’.

b) Hukuman penjara tidak terbatas, adalah hukuman penjara tidak

terbatas tidak dibatasi waktunya melainkan berlangsung terus

sampai orang yang terhukum mati atau sampai ia bertobat, dalam

istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup.

Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya,

misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh

orang ketiga.29

2) Hukuman Pengasingan

Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had{, namun

dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman

ta’zi<r. Di antara jari<mah ta’zi<r yang dikenakan hukuman pengasingan adalah

orang yang berperilaku mu<khannath (waria), yang pernah dilaksanakan Nabi

Muhammad Saw dengan mengasingkan pelaku ke luar Madinah. Demikian

pula tindak pidana pemalsuan terhadap Al-Qur’an. Hukuman pengasingan ini

dijatuhkan kepada pelaku jari<mah ta’zi<r yang dikhawatirkan berpengaruh

kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk

menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.30

29 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 260-261.

(44)

36

c. Hukuman yang Berkaitan dengan Harta.

Para ulama memperbolehkan sanksi ta’zi<r yang berkaitan dengan harta,

yaitu agar menahan harta terdakwa selama waktu tertentu, bukan dengan

merampas atau menghancurkannya karena tidak boleh mengambil harta

seseorang tanpa ada alasan hukum yang membolehkannya.

Ibn Taimiyah membagi sanksi ta’zi<r berupa harta menjadi tiga bagian,

yaitu menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya. Contoh bagian

pertama, Umar bin khattab menumpahkan harta dagangan yakni susu yang

dicampur dengan air untuk menipu pembeli. Bagian kedua, sanksi ta’zi<r yang

berupa mengubah milik penjahat antara lain mengubah patung yang

disembah oleh muslim dengan cara menghilangkan kepalanya. Bagian ketiga

sanksi ta’zi<r berupa pemilikan harta penjahat adalah keputusan Rasulullah

Saw melipat gandakan harta buah-buahan yang dicuri oleh seorang pencuri

sebagai denda.31

d. Hukuman Jari<mah Ta’zi<r lainnya.

1) Peringatan dan Dihadirkan ke Hadapan Sidang

Peringatan itu dapat dilakukan dirumah atau dipanggil ke sidang

pengadilan. Sudah tentu bentuk yang pertama disebut oleh para ulama’

sebagai peringatan keras semata-mata dan dianggap lebih ringan dari pada

bentuk peringatan yang kedua. Sebab pelaksanaan peringatan pertama

pelaku cukup dirumah dan didatangi oleh petugas dari pengadilan, sedangkan

peringatan kedua pelaku harus hadir ke pengadilan untuk mendapatkan

(45)

37

peringatan langsung dari hakim. Dan pemilihan apakah peringatan bentuk

pertama atau bentuk kedua yang akan diberikan kepada pelaku sangat

tergantung kepada kebijakan hakim, karena pemberian peringatan itu harus

didasarkan ada atau tidak adanya maslah{a<h.

2) Dicela

Para ulama mendasarkan pemberian sanksi ta’zi<r ini pada sunnah Nabi

yang menceritakan bahwa Abu Dzar pernah menghina seorang dengan

menghina ibunya.32 Umar bin Khaththab juga pernah menjatuhkan sanksi

celaan ini terhadap orang yang memakai pakaian sutera asli.

Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa diucapkan

didalam maupun diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat

adalah dilakukan didepan pengadilan.

3) Pengucilan

Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan

dengan pelaku jari<mah dan melarang masyarakat berhubungan dengannya,

berdasarkan kepada sunnah Nabi Saw dan sahabatnya yang mengucilkan

tiga orang yang mengundurkan diri dari barisan Perang Tabuk, mereka

adalah Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn Rabi’ah al Amiri dan Hilal ibn Umayah

al Waqifi yang dikucilkan selama lima puluh hari sampai mereka bertaubat.

Dalam kasus ini Rasulullah Saw melarang muslimin berbicara dengan

mereka bertiga dan memerintahkan agar menjauhi mereka.33

32 Zaki Yamani, Al-Syari’ah al-Khalidah wa Musykilah al-Ashr,( Bandung: Alih Bahasa,

(46)

38

Sanksi ta’zi<r yang berupa pengecualian ini diberlakukan bila membawa

kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu.

4) Nasihat

Yang dimaksud nasihat sebagai sanksi ta’zi<r sebagaimana dikatakan

ibn Abidin adalah memperingatkan pelaku bila lupa atau tergelincir kepada

suatu kesalahan yang bukan kebiasaannya. Sudah tentu dalam arti sanksi

yang dijatuhkan oleh Ulil Amri nasihat harus diucapkan oleh hakim.34

5) Pemecatan dari Jabatan

Sanksi ta’zi<r yang berupa pemberhentian dari tugas ini biasa

diberlakukan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah. Pada

prinsipnya hukuman pemecatan ini dapat diterapkan dalam segala kasus

kejahatan, baik sebagai hukuman pokok, pengganti, maupun sebagai

hukuman tambahan sebagai akibat seorang pegawai negeri tidak dapat

dipercayai untuk memegang suatu tugas tertentu.35

Adapun pemilihan apakah pemecatan itu sebagai hukuman pokok atau

pengganti ataukah sebagai hukuman tambahan sangat tergantung kepada

kasus kejahatan yang dilakukannya.

6) Diumumkan Kejahatannya

Dasar hukuman pengumuman kejahatan sebagai hukuman ta’zi<r adalah

tindakan Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman

jilid lalu keliling kota. Dengan demikian, sanksi ta’zi<r yang berupa

pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan

(47)

39

menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Diantara

jari<mah yang dicontohkan oleh para ulama adalah saksi palsu, pencurian,

kerusakan akhlak, kezaliman hakim, dan menjual belikan harta yang haram.36

Dari contoh diatas, jelas bahwa sanksi ta’zi<r yang berupa pengumuman

kejahatan pelaku itu diterapkan terhadap kejahatan yang mempunyai

pengaruh atau bahaya yang besar bagi masyarakat, meski tidak menutup

kemungkinan untuk kejahatan lainnya.

B. Pungutan Liar dalam Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Pungutan Liar\

Dari segi bahasa, Pungutan liar dapat dibagi menjadi dua kata, yakni

‘pungutan’ dan ‘liar’. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,

pungutan berarti barang yang dipungut,37 dan liar berarti sembarangan, tidak

sesuai dengan aturan, tidak diakui oleh yang berwenang.38 Dengan demikian,

dapat dipahami bahwa pungutan liar berarti sesuatu (barang) yang dipungut

atau diambil dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam

kamus al-Munawwir, pungutan liar dikenal dengan kata al-Maksu yang

umumnya diartikan dengan memungut cukai.39

Menurut Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil bahwa al-Maksu

adalah suatu aturan yang dibuat oleh para penguasa dengan unsur

36 Ibid., 17.

37 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Modern English Press. 1991). 1206.

38 Ibid.,869.

39 Al-Imam al-Allamah Jamaluddin Abi al-Fadhli Muhammad bin Makrum bin Manzhur, Lisan

(48)

40

kezaliman, berkaitan dengan harta manusia, dan menganggap diatur dengan

undang-undang yang sengaja ataupun dibuat-buat. Kasus pungutan liar ini

sebenarnya sudah dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Hal ini

dapat diketahui dalam kasus-kasus pemerasan yang dilakukan oleh

kelompok-kelompok tertentu kepada para pedagang di pasar-pasar. Bahkan

tidak jarang perbuatan liar tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan

aturan untuk melakukan pungutan liar berasal dari pejabat setempat, padahal

hal tersebut dilakukan dengan unsur kezaliman terhadap para pedagang.40

Berdasarkan definisi di atas menunjukkan bahwa tindakan pungutan

liar didasarkan atas pelanggaran terhadap aturan resmi yang telah

ditentukan, hal ini sebagaimana yang juga terjadi pada tindakan korupsi.

Orang yang melakukan tindakan pungutan liar senantiasa mengabaikan

kewajibannya, hal ini karena ia hanya mementingkan untuk mendapatkan

keinginannya, yakni melakukan pungutan. Hal ini dikarenakan pelaku

perbuatan pungutan liar tidak peka perasaannya, sehingga menimbulkan

kejahatan kepada rakyat (pihak lain).41 Sama halnya dengan tindakan

pungutan liar, pada tindakan korupsi juga membuat pelakunya mengabaikan

aturan yang ada, dan juga tidak memperdulikan perasaan orang yang

dimintainya.

Perbuatan pungutan liar pada dasarnya bersifat memaksa sehingga

tidak menutup kemungkinan hal tersebut dilakukan dengan kekerasan. Sifat

(49)

41

ini juga yang terjadi pada perbuatan korupsi yang menyebabkan tertekannya

pihak yang dikenakan korupsi tersebut.

2. Kualifikasi Pungutan Liar dalam Hukum Pidana Islam

Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan

pungutan liar, namun pungutan liar dapat dikategorikan sebagai tindak

kriminal (ma’shiyat) dalam konteks ghulu<l (penggelapan), risywah (suap),

dan khiya<nah (pengkhianatan).

a. Ghulu<l (penggelapan)

Seara etimologis, dalam al-Mu’jam al-Wasi<t{ bahwa kata ghulu<l berasal

dari kata kerja (للغيُ للغ), yang dapat diartikan dengan berkhianat dalam

pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain. Definisi

ghulu<l secara terminologis dikemukakan oleh Rawas Qala’arji dan Hamid

Sadiq Qunaibi yang diartikan mengambil sesuatu dan menyembunyikannya

dalam hartanya. Akan tetapi, dalam pemikiran berikutnya berkembang

menjadi tindakan curang dan khiana<t terhadap harta-harta lain, seperti

tindakan penggelapan terhadap harta bait al-mal, harta milik bersama kaum

muslim, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta negara, dan lain-lain.

Berkaitan dengan ghulu<l.42

b. Risywah (penyuapan)

Risywah yaitu upah, hadiah, komisi, atau suap. Secara terminologi,

risywah adalah suatu pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim,

(50)

42

petugas atau pejabat tertentu dengan tujuan yang diinginkan kedua belah

pihak, baik pemberi maupun penerima.

Namun menurut al-Syaukani, ada beberapa bentuk risywah yang

dibenarkan dengan alasan untuk memperjuangkan hak atau menolak

kezaliman yang mengancam keselamatan diri seseorang. Ibnu Taimiyyah

menjelaskan tentang alasan suap yang dibenarkan, dalam Majmu’ Fata<wa<

mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal

bahwa Rasulullah saw pernah memberikan sejumlah uang kepada orang yang

selalu meminta-minta kepada beliau. Namun mayoritas ulama sepakat bahwa

hukum perbuatan risywah adalah haram, khususnya risywah yang terdapat

unsur membenarkan yang salah dan atau menyalahkan yang benar.43

c. Khiya<nah

Kata khiya<nah berasal dari bahasa Arab ( و يُ اخ) yang artinya sikap

ingkarnya seseorang saat diberikan kepercayaan. Bentuk isim, dari kata kerja

(ن وخ-ناخ) adalah (نئاخ), yang definisinya dikemukakan oleh al-Syaukani yaitu

seseorang yang diberi keperayaan untuk merawat/mengurus sesuatu barang

dengan akad sewa menyewa dan titipan, tetapi sesuatu itu diambil dan

kha’in mengaku jika barang itu hilang atau dia mengingkari barang sewaan

tersebut ada padanya. Sedangkan Wahbah Zuhaili mendefinisikan khiya<nah

dengan segala sesuatu bersifat melanggar ja

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana yang telah kami tulis pada awal pembahasan, berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam, sistem ekonomi kapitalisme memisahkan aktivitas ekonomi dari

Dinas Pendapat Daerah Kabuapaten Malang dapat memberikan Kepastian Hukum Pengenaan NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) atas BPHTB (Bea Perolehan

sehingga tidak bisa menyatakan semangat kepada diri sendiri. 4) Konseli menganggap tugas- tugas yang ada adalah beban sehingga sering mengeluh dan mengerjakan

Penelitian ini menggunakan peneltian hukum empiris dan hasil penelitian menyatakan bahwa di masyarakat Dusun Waung Desa Sonoageng Kecamatan Prambon Kabupaten

The results of students’ basic science process skills based on gender shows that male students did outperform female students in some indicators and categories but it is

Tujuan dari permainan Find the pair adalah melatih kosentrasi dan daya ingat bagi yang memainkannya, tampilan permainan ini dibuat semenarik mungkin dengan adanya

Adapun kalimat kontekstual yang sering diperdengarkan guru hanya terbatas di saat mengawali pembelajaran seperti ucapan selamat pagi atau siang dan pertanyaan

D engan memahami cara-cara dan aturan yang harus dikuasai saat mendisiplinkan anak, maka ibu-bapak akan lebih mudah untuk mengajarkanl tingkah laku yang baik