TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM
PARON
SAWAH BERSYARAT DI DESA BANYUATES KECAMATAN
BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA
SKIRPSI
Oleh: Misnawati NIM. C02212025
Universitas Islam Negeri SunanAmpel Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yaitu, Bagaimana Praktik Sistem Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura Dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian disusun dan dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif dengan teknik analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa akad paron yang terjadi di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura ini melibatkan tiga pihak, yaitu: Pemilik sawah, Pengelola Dan pemilik toko sebagai penyetok keperluan bahan pertanian. Pemilik sawah memberikan sawahnya kepada petani untuk dikelola dengan syarat pencapaian target dari hasil pertanian 20 karung perpetak sawah. Jika hasilnya melebihi target maka hasilnya dibagi dua antara pemilik sawah dengan pengelola, sedangkan pengelola harus membagi kembali seperempat dari hasil yang diperolehnya dengan pemilik toko. Kedua: Ada dua akad dalam praktik Paron sawah bersyarat yang ada di Desa banyuates, yang pertama, antara pihak pemilik sawah dengan pengelola, yaitu akad Mukhabārah karena biaya operasional selama masa penanaman sampai masa panen ditanggung oleh pengelola. Kedua antara pengelola dengan pemilik toko, yakni akad Syirkāh, karena pemilik toko memberikan modal kepada pengelola berbentuk bahan pertanian, dan kedua akad ini sudah dianggap sah menurut hukum Islam karena sudah memenuhi syarat dan rukun akad Mukhabārah dan Syirkāh
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C.Rumusan Masalah ... 8
D.Kajian Pustaka ... 8
E.Tujuan Penelitian ... 12
F.Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G.Definisi Operasional ... 13
H.Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG BAGI HASIL DALAM ISLAM A.Pengertian Kerja Sama ... 22
B.Macam-Macam Kerja Sama ... 22
BAB III PELAKSANAAN AKAD PARON SAWAH BERSYARAT DI
DESA BANYUATES KECAMATAN BANYUATES
A.Gambaran Umum Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura ... 55 B.Mekanisme Akad Paron Dalam Kerja Sama Pertanian Di Desa
Banyuates ... 59
BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PARON SAWAH BERSYARAT DI DESA BANYUATES KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA
A.Analisis Terhadap Pelaksanaan Peraktek Terjadinya Akad Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura ... 66 B.Analisis Hukum Islam Terhadap Akad Sistem Paron Bersyarat
Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang .. 69 BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 73 B.Saran ... 74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk
berinteraksi antara satu dengan yang lain. Dari interaksi sosial ini timbul
hubungan timbal balik yang akan tercapai sebuah tatanan hidup yang
kompleks dan memerlukan aturan hukum yang mengikat. Dalam Islam
hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia dikenal dengan istilah
hukum mu’āmalah.1
Pada dasarnya, sejak lahir manusia sudah memerlukan materi (harta)
sebagai bekal hidup karena manusia juga memerlukan pangan, sandang dan
juga papan untuk keberlangsungan hidup mereka yang merupakan kebutuhan
primer. Selain kebutuhan primer tersebut juga masih banyak kebutuhan
sekunder yang juga harus dipenuhi. Demi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka manusia harus bekerja. Namun, tanpa disadari
bahwa manusia juga mempunyai keterbatasan dalam usaha untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia harus berusaha dengan jerih
payahnya dalam mendayagunakan dan memanfaatkan alam yang di
anugerahkan tuhan kepada hambanya dengan sebaik-baiknya. Salah satu
bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang ada yaitu salah satunya dengan
cara menggali kekayaan alam seperti exploitasi bumi untuk mendapatkan
1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII
2
minyak dan gas bumi, mengelolah tanah persawahan untuk pertanian, laut
untuk perikanan dan lain sebagainya.
Dalam dunia ini, manusia tidak bisa hidup menyendiri karena pada
hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan
satu sama lain untuk memenuhi kekurangannya, karena manusia diciptakan
Allah tidak ada yang sempurna. Ada yang kaya dan ada yang miskin, ada
yang kuat dan ada yang lemah, ada yang tinggi dan ada yang rendah, dan lain
sebagainya. Hal tersebut diciptakan Allah SWT. Tentunya untuk
memudahkan manusia untuk saling membantu dan bekerjasama dalam
memenuhi kekurangan masing- masing.2
Firman Allah dalam Al- Quran surah Al- Maidah ayat 2, sebagai
berikut:
ايَ
ا يأ
َ
ي َلا
َ
ا آ
َ
ا
َ
ا ِحت
َ
ِئاعش
َ
ِهَلا
َ
َ
ا
َ
شلا
َ
ا حْلا
َ
َ
ا
َْلا
َ
َ
ا
َ
ِئاقْلا
َ
َ
ا
َ
نِآ
َ
تيبْلا
َ
ا حْلا
َ
غتبي
َ
ًاضف
َِ
َ
ِ ِبر
َ
َ
ًا ا ضِر
َ
َ
ا ِإ
َ
تْ ح
َ
ا اطصاف
َ
َ
ا
َ
ُ ِجي
َ
ُ ش
َق
َ
ْ أ
َ
ُك ص
َ
ِ ع
َ
ِ ِجس ْلا
َ
ِا حْلا
َ
ْ أ
َ
ا تعت
َ
َ
ا اعت
َ
ى ع
َ
ِِبْلا
َ
َ
ْقتلا
ََ
َ
ا
َ
ا اعت
َ
ى ع
َ
ِ ْثِإْلا
َ
َ
ِ ا عْلا
َ
َ
ا ُقتا
َ
هَلا
َ
َ ِإ
َ
هَلا
َ
ي ش
َ
اقِعْلا
ِArtinya: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar- syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan- bulan haram, jangan (mengganggu) binatang- binatang had-ya, dan binatang- binatang qala-id, dan jangan (pula) mengganggu orang- orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah Haji. Maka bolehlah berburu, dan jangan sekali- kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum. Karena mereka menghalang- halangi kamu dari masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
3
pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya”.3
Setiap manusia tidak bisa menyediakan dan mengadakan
keperluannya tanpa melibatkan orang lain. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan cara melakukan kerjasama, misalkan ada seseorang
mempunyai suatu barang tetapi orang yang lain tidak memiliki barang
tersebut, maka manusia harus saling berhubungan, saling melengkapi, saling
bertukar keperluan, jasa dan juga keahlian (ketrampilan).4
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau,
sapi, kuda dan juga yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani
untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah.
Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan
lainnya, yang untuk ditanami (bertani), tetapi ia juga tidak memiliki binatang
untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak mengolah
sawah dan mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak
dapat menghasilkan suatu apapun.5
Dari sekian banyaknya aspek kegiatan kerjasama yang ada dilingkup
masyarakat, maka timbullah berbagai macam akad yang berguna untuk
memudahkan manusia dalam menjalani kerjasama tersebut termasuk aturan
dalam masalah pengelolaan tanah, baik pengelolaan tanah secara bagi hasil
3 Departemen Agama RI, Mushaf Al- Quran dan Terjemah, (Jakarta: Al- Huda Kelompok Gema
Insani 2005), 62
4 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2003), 15.
5 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial, (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya,
4
ataupun pengelolaan tanah secara sewa-menyewa. Kerjasama ini mempunyai
peranan penting dalam upaya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat karena mata pencaharian yang paling banyak dilakukan oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bertani.
Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan
mu’āmalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya
dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun sewa menyewa
ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang bergerak ataupun barang
tidak bergerak seperti tanah.6
Dalam fiqh bahasan ini masuk pada bab mu’āmalah. Kerjasama dalam
pertanian dalam fiqh mu’āmalah dikenal dengan istilah Musāqah, Muzāra’ah
dan Mukhabārah sebagai wujud hubungan timbal balik saling tolong-
menolong antar sesama. Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhābarah merupakan
suatu kerja sama dalam pertanian dengan bentuk perjanjian yang adil untuk
sama- sama menguntungkan.7
Dalam hadis Nabi Saw dijelaskan pada suatu riwayat:
ِ ع
َِبا
َ
ىِضر ع
َ
ُها
َ
ا ع
َ
َ أ
َ
ُل سر
َ
ِها
َ
ىَص
َ
هُلا
َ
ِهي ع
َ
َ
ّس
َ
ل اع
َ
ل أ
َ
بيخ
َ
طشب
َ
ج خيا
َ
ا ِ
َِ
َث
َأ
َ
عر
.Artinya: “Diriwayatkan oleh Umar R.A Rasulullah Saw pernah
memperkerjakan penduduk khaibar dengan (upah) sebagian dari pada hasil buah- buahan atau tanaman yang mereka tanam”. (HR. Muslim)8
Dan Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:
6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Jakarta: PT.Pena Pundi Aksana, 2009), 207. 7 Ibid., 426.
5
ِتلاق
َ
راص َأْاَ
َ
ِّ ِبّ ِل
َ:
ىّص
َ
ُها
َ
ِهي ع
َ
ّس
َ
ِسْقا
َ
ا يب
َ
يب
َ
ا ِا خِإ
َ
ليِخّلا
َ
لاق
َ
ا
َ
ا ُلاقف
َ
ا ُفْ ت
َ
ِ ّلا
َ
ا ُلاق
َ:
ا عِ س
َ
ا عطأ
َ
ُ ْلا
َ
ُ ْك ش
ْArtinya :“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat
kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka
menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.9
Kedua hadis di atas menjelaskan bahwa bekerjasama bagi hasil antara
pemilik harta dan pengelola di perbolehkan. Karena dengan demikian kedua
belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan dengan terjadinya
kerjasama tersebut.
Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting manakala orang- orang
mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara yang lain
memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja. Berdasarkan
keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka hanya sistem
bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan lebih banyak
tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua belah pihak.10
Banyuates adalah sebuah Desa yang merupakan bagian dari
Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang, di Desa tersebut memiliki
banyak kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti
nelayan, kuli bangunan dan petani. Namun pekerjaan yang paling dominan di
Desa Banyuates kecamatan Banyuates kabupaten sampang adalah bertani.
9 Zaini, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Paron Tanah Cato Bengkok” (Skripsi--,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, (Yogyakarta, 2014, 9.
10 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995),
6
Akan tetapi tidak semua masyarakat memiliki sawah, sehingga banyak
masyarakat yang melakukan kerjasama dalam mengelolah sawah milik
masyarakat yang lain dengan sistem paron.
Berdasarkan observasi penelitian pendahuluan (preliminary research),
kerjasama paron yang ada di Desa Banyuates ini melibatkan 3 pihak, yaitu
pihak pemilik sawah, pihak pengelolah sawah dan pihak pemilik toko
pertanian di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang.
Sistem paron yang ada di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang berbeda dengan yang sudah dijelaskan didalam hukum
Islam karena sistem paron yang ada di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang yakni sistem paron yang bersyarat, yaitu segala
kebutuhan pertanian dan biaya operasionalnya ditanggung oleh pengelola,
selain itu hasil pertanian tersebut harus mencapai 20 karung perpetak sawah,
jika hasil panen tersebut mencapai target atau lebih, pengelola akan
mendapatkan bagian setengah dari hasil panen yang diperoleh.11
Namun jika hasil panen tersebut tidak mencapai target yang
ditentukan, maka hasil panen tersebut akan diambil sendiri oleh pemilik
sawah. Hasil yang sudah dibagi dengan pemilik sawah nantinya juga akan
dibagi lagi dengan pemilik toko pertanian, hal ini karena pengelola sawah
memperoleh pupuknya bekerjasama dengan pemilik toko pertanian. Jadi
11
7
apabila hasil panen tersebut tidak mencapai target maka pengelola sawah
tidak bisa memberi bagian kepada pemilik toko.12
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu
meneliti praktik terjadinya kegiatan paron bersyarat yang ada di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat
muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi
kemungkinan yang dapat diduga sebagai masalah.13Yaitu:
1. Praktik akad Mukhabārah di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang Madura.
2. Pandangan hukum Islam terhadap kerjasama dalam bidang pertanian di
Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
3. Praktek terjadinya kerjasama sistem paron sawah yang ada di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
4. Pentingnya kerjasama dalam upaya peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang Madura.
12
Hotimah, Wawancara, 17 Juni 2016.
13 Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
8
5. Pandangan Hukum Islam terhadap sistem paron bersyarat dalam praktik
kerjasama pertanian di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten
Sampang Madura.
Agar masalah ini tidak terlalu luas dan tepat pada sasaran yang
diharapkan, maka perlu adanya batasan-batasan masalah, yaitu:
1. Praktek terjadinya sistem paron sawah bersyarat di Desa Banyuates
Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
2. Pandangan Hukum Islam terhadap sistem paron sawah bersyarat di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di
atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik sistem paron sawah bersyarat di Desa Banyuates
Kecamatan Banyuates Kabupaten SampangMadura?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik sistem paron sawah
bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang
Madura?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga tidak
terjadi pengulangan atau bahkan duplikasi kajian/penelitian yang telah ada.14
9
Pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan gambaran topik yang akan
diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, dengan harapan tidak ada pengulangan materi secara mutlak.
Dari beberapa literature yang telah penulis baca belum ada di antara
literature tersebut yang membahas secara rinci mengenai pengelolahan lahan
pertanian. Akan tetapi, ada beberapa karya tulis berupa skripsi yang telah
membahas paron maupun penyewaan lahan secara lebih mendalam dan di
analisis praktik yang ada di lapangan, skripsi tersebut antara lain:
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Fairuz Abadi, dalam skripsi
berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama
Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten
Bangkalan”. Skripsi ini membahas tentang kerjasama paron penggemukan
sapi dalam tinjauan hukum Islam. kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa
sistem sistem paron yang ada Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar
Kabupaten Bangkalan selama ini dilaksanakan sudah sesuai dengan ketentuan
hukum Islam. Sebab, pelaksanaan kerjasama yang mereka laksanakan
berdasarkan kesepakatan bersama dan tidak ada unsur paksaan.15
Kedua, skripsi yang di tulis oleh Epi Yuliana, dalam skripsi yang
berjudul “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Penggarapan Kebun
Karet Di Desa Bukit Selabu Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan”
skripsi ini membahas tentang bagi hasil penggarapan perkebunan dalam
15 Fairuz Abadi A, “Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama
10
tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem bagi
hasil penggarapan perkebunan yang telah dilakukan oleh masyarakat Di Desa
Bukit Selabu Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan tersebut
diperbolehkan karena telah sesuai dengan Hukum Islam karena kedua belah
pihak yang melakukan akad telah memenuhi syarat yang ada dan sesuai
dengan Hukum Islam.16
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Abu Yasid, dalam skripsi berjudul
“Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa
Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan.” Skripsi ini
membahas tentang Pemanfaatan Hewan Paron dalam tinjauan hukum Islam.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan
oleh masyarakat Di Desa Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten
Bangkalan tersebut diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum
Islam karena kedua belah pihak yang melakukan akad telah sesuai dengan
akad yang disepakati dan sesuai dengan hukum Islam.17
Keempat, skripsi yang ditulis oleh M. Sya’roni, dalam skripsi berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembatalan Sewa Menyewa Lahan Tebu
di Desa Klampok Dusun Prodo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang”.
Skripsi ini membahas tentang pembatalan sewa menyewa lahan tebu dalam
tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa pembatalan
16Epi Yuliana,“ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Penggarapan Kebun Karet Di Desa
Bukit Selabu Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan”,(Skripsi UIN Kalijaga Yogyakarta 2008), 62.
17 Abu Yasid, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung
11
sewa menyewa lahan tebu di Desa Klampok yang di lakukan oleh pihak
penyewa kepada pemilik tanah meminta pengembalian sisa uang sewa dan
ganti rugi tanaman yang sudah ditanam tidak sesuai dengan hukum Islam.18 Kelima, skripsi yang ditulis oleh Syahkrul Amil Mukminin, dalam
skripsi berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap paron Sapi Di Desa Ragang
Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”. Skripsi ini membahas tentang
praktik Paron sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari skripsi ini
adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan oleh masyarakat Di Desa
Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan tersebut diperbolehkan
karena tidak bertentangan dengan hukum Islam karena kedua belah pihak
yang melakukan akad telah memenuhi kewajiban dan persyaratan yang ada
dan sesuai dengan hukum Islam.19
Adapun penelitian yang akan peneliti lakukan berbeda dengan
beberapa penenelitian terdahulu yang juga membahas tentang kerjasama bagi
hasil atau Paron. Dalam penelitian terdahulu di atas menjelaskan pokok
masalah yang memfokuskan tentang beberapa praktek sistem paron hewan
dan sewa lahan pertanian yang berbeda dengan penelitian yang akan di bahas.
Dalam penelitian ini nanti akan membahas tentang masalah sistem paron
bersyarat dalam bidang pertanian yang ada di Desa Banyuates Kecamatan
Banyuates Kabupaten Sampang.
18M. Sya’roni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembatalan Sewa Menyewa Lahan Tebu di
Desa Kelampok Dusun Prodo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang”, (Skripsi IAIN Sunan Ampel, 2013), 63.
19 Syahrul Amil Mukminin, “Analisis Hukum Islam Terhadap Sapi Di Desa Ragang Kecamatan
12
E. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan sistem paron sawah bersyarat di
Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
2. Untuk mengetahui pandangn Hukum Islam terhadap praktek pelaksanaan
sistem paron sawah bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang Madura.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran bagi semua orang secara umum, juga berharap mampu
mempunyai nilai-nilai dan makna sebagai berikut :
1. Aspek teoritis
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat
mengembangkan dan memberikan sumbangsih pengetahuan terhadap
pengembangan khazanah hukum Islam khususnya perihal praktek
kerjasama paron pertanian yang di dalam istilah Islam dikenal dengan
Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhabārah.
2. Aspek praktis
Penulis berharap semoga dapat dijadikan bahan pedoman bagi
13
yang dibahas kali ini dan semoga bisa berguna bagi penerapan suatu ilmu
di lapangan atau di masyarakat.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah penelitian dan memperjelas tentang “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem Paron Sawah Bersyarat Di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura” perlu adanya
penulis mendefinisikan permasalahan yang ada pada skripsi ini agar tidak
terjadi kesalahpahaman pada pembahasan, sebagai berikut:
Hukum Islam : Seperangkat aturan dan larangan tentang tingkah
laku manusia dalam bidang muāmalah yang sesuai
dengan aturan Al- qur’an, dan hadist, yang
berkaitan dengan Mukhabārah.
Paron Sawah Bersyarat: Kesepakatan antara pemilik modal (sawah) dengan
pengelola (petani) untuk merawat atau mengelola
lahan pertanian yang kemudian keuntungan yang
terdapat di dalamnya dibagi menjadi dua secara
merata dengan syarat hasil dari pengelolahan
pertanian tersebut mencapai target yang ditentukan
14
H. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, yakni penelitian yang tidak menggunakan angka dalam
mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya.20 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang Madura.
2. Data
Data merupakan rekaman, gambaran atau keterangan suatu hal
atau fakta. Apabila data tersebut diolah, maka ia akan menjadi suatu
informasi. Didalam penelitian, fungsi data sangat penting karena dengan
data inilah suatu masalah atau topik dalam penelitian dapat dipecahkan
atau dijawab.21 Data di dalam penelitian merupakan faktor yang sangat penting, karena sumber data akan menyangkut kualitas dari hasil
penelitian.22
Dalam proses pengumpulan data penelitian kualitatif, manusia
berfungsi sebagai instrument utama penelitian. Meskipun demikian, pada
saat pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman pengumpulan data
seperti wawancara, observasi dan sebagainya. Pedoman ini membantu
penulis melakukan pengumpulan data secara efisien. Pedoman penelitian
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), 12.
21 Jusuf Soewadji, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), 145. 22 Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bisnis (Yogyakarta: Graha Ilmu,
15
kualitatif disusun secara sistematis melalui prosedur tertentu dan
bertujuan untuk meningkatkan mutu data yang diperoleh.23 Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
a. Informasi tentang Praktik sistem paron sawah bersyarat di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang.
b. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem Paron Sawah
Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten
Sampang Madura tersebut.
3. Sumber Data
Sumber data terbagi menjadi dua yaitu sumber data sekunder dan
sumber data primer. Sumber data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian. Sedangkan sumber data sekunder adalah
data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek
penelitian yang bersifat publik.24
23 Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
(Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), 58.
16
a. Sumber data primer:
1) Pemilik lahan atau pemilik sawah di Desa Banyuates Kecamatan
Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
2) Pengelola sawah di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang Madura.
3) Masyarakat yang ada di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates
Kabupaten Sampang Madura.
b. Sumber data sekunder :
1) Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum
Perdata Islam)
2) Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam
3) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (sebuah teori, konsep dan
aplikasi).
4) M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
5) Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial.
6) Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III.
7) Paron adalah bahasa Madura yang memiliki arti membagi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan terhadap fenomena yang terjadi
17
melakukan observasi di Desa Banyuates Kecamatan Banyutas
Kabupaten Sampang guna mengetahui secara langsung kegiatan yang
dilakukan oleh pelaku kerjasama paron tersebut.
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu proses Tanya jawab atau dialog
secara lisan antara pewawancara (interviewer) dengan responden atau
orang yang di wawancara (interview) dengan tujuan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.25 Maka dari itu penulis akan melakukan wawancara kepada pemillik sawah,
pengelola, pemilik toko dan masyarakat di Desa Banyuates
Kecamatan Banyutas Kabupaten Sampang untuk mendapatkan data
yang diinginkan oleh penulis.
c. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
memperoleh data dari karya ilmiah, media massa, teks book, dan
masih banyak lagi untuk menambah atau mendukung sumber
informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian ini untuk
memperkuat aspek validitas data yang dihasilkan.26 d. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder
yang diperlukan dalam sebuah penelitian. Dokumentasi adalah setiap
25 Eko Putro Widoyoko, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2014), 40.
26 Anis Fuad dan Kandung Sapto Nugroho, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
18
bahan tertulis ataupun film, gambar dan foto-foto yang dipersiapkan
karena adanya permintaan seorang peneliti.27 5. Teknik Pengolahan Data
Setelah data berhasil diperoleh dari lapangan maupun penulisan,
maka penulis akan melakukan pengolahan data dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Editing adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah penulis selesai
menghimpun data di lapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum
memenuhi harapan peneliti, diantaranya kurang atau terlewatkan,
tumpang tindih, berlebihan bahkan terlupakan. Oleh karena itu,
keadaan tersebut harus diperbaiki melalui tahap editing ini.28
b. Organizing adalah kegiatan menyusun data yang telah didapatkan
ketika penulis melakukan pencarian data yang diperlukan dalam
penelitian ini dalam kerangka paparan yang sudah dibuat atau
direncanakan secara sistematis dengan rumusan masalah masalah
yang ada.29
c. Penemuan Hasil adalah kegiatan melakukan analisis data yang sudah
diperoleh peneliti dari kegiatan penelitian di lapangan guna
memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta yang ada di
27 Ibid., 62.
28 Burhan bungin, Metodologi Penelitian Sosial format-format kuantitatif dan kualitatif
(Surabaya: Airlangga University Pers, 2001), 182.
29 Usman Rianse dan Abdi, Metodologi Penelitian: Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi
19
lapangan dan akhirnya merupakan suatu jawaban dari rumusan
masalah yang peneliti tulis.30 6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber
dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam
lalu di analisis. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh
diri sendiri maupun orang lain.31
Setelah berhasil mengumpulkan data, yaitu Informasi tentang
Praktik sistem paron sawah bersyarat dan pandangan hukum Islam
terhadap Praktik Sistem Paron Sawah Bersyarat Yang ada di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
Kemudian akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif yaitu analisis
yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan orang
yang diinterview serta mengamati keadaan yang ada dengan metode yang
sudah ditentukan sebelumnya. Tujuan dari metode ini adalah untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan subjek atau objek
penelitian secara sistematis pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta
yang terlihat. Kemudian data tersebut akan diolah dan dianalisis dengan
30 Ibid., 246.
20
pola pikir deduktif yakni menggunakan pola pikir yang berpijak pada
teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan
berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.32 Pola pikir ini berpijak pada teori-teori akad Mukhabārah dan hukum Islam kemudian dikaitkan
dengan fakta di lapangan tentang sistem paron sawah bersyarat di Desa
Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mempermudah pemahaman dan pembahasan terhadap
permasalah yang diangkat, maka pembahasannya disusun secara sistematis,
sesuai tata urutan dari permasalahan yang ada:
Bab pertama, merupakan pendahuluan dijelaskan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua, penulis menjelaskan secara teoritis mengenai tinjauan
umum kerja sama dalam ruang lingkup lahan pertanian dalam hukum Islam
dalam bab ini meliputi definisi dan dasar hukum kerjasama lahan pertanian
rukun dan syarat kerjasama lahan pertanian, obyek kerjasama lahan pertanian
macam-macam kerjasama lahan pertanian.
Bab ketiga, membahas hasil penelitian mengenai praktik tejadinya
sistem paron bersyarat dan Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem
Paron Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten
21
Sampang Madura. Dalam bab ini meliputi: pemilik sawah, pengelola, pemilik
toko pertanian dan tokoh masyarakat Desa Banyuates. Kemudian dijelaskan
bagaimana praktek sistem paron sawah bersyarat yang menjadi inti
permasalahan ini.
Bab keempat, membahas analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktik Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan
Banyuates Kabupaten Sampang Madura. Dalam bab ini meliputi:
pelaksanaan kerjasama atau paron, analisis terhadap akad dan penerapan
syarat dalam kegiatan tersebut.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang memuat tentang
kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG KERJASAMA (MU’ƖMALAH) DALAM
ISLAM
A. Pengertian Kerjasama (Mu’Ɨmalah)
kerjasama merupakan istilah yang sering digunakan oleh orang- orang
dalam melakukan usaha bersama untuk mencari keuntungan yang akan
diperoleh berdasarkan kesepakatan antara dua belah pihak yang mengikatkan
dirinya dalam suatu perjanjian.33
B. Macam- Macam Kerjasama (Mu’Ɨmalah)
1. Mushārakah (Syirkāh)
a. Definisi Syirkāh
Syirkāh adalah suatu akad tentang perjanjian atau lebih untuk
bekerjasama dalam suatu kegiatan usaha, dimana modal dan
keuntungan dimiliki oleh dan dibagi besrsama kepada pihak yang
berserikat.34
b. Dasar hukum Syirkāh
Syirkāh merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al-qur’an,
Hadis dan Ijma’35. Dasar dari alqur’an antara lain:
ايا ُِ ع يا ي ِ اي ِإي عبي عي عبي ِغ ي ط ْاي ِيًارِكي ِإ
ي. ي ي ِق يِ حِ
٤ض
33
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerja_sama, 1- 08- 2016.
34
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah 2010), 341. 35
23
Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. (QS. ShāQd: 24)36
c. Macam- Macam Syirkāh
1) Syirkāh Al-amlāk adalah kepemilikan oleh dua orang atau
lebih terhadap suatu barang tanpa melakukan akad Syirkāh.37
Al-amlāk atauSyirkah milik ini terbagi menjadi dua bagian:
a) Syirkāh ikhtiyāriyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan
bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang
yang berserikat.
b) Syirkāh jabāriyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan
bersama yang timbul bukan karena perbuatan
orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa
diterima oleh mereka.
2) Syirkāh ‘Uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang
terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam
modal dan keuntungannya. Berdasarkan penelitian para ulama
fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam
Islam Syirkāh ‘Uqud terbagi menjadi lima macam:38
a) syirkah al-‘inân. Yaitu penggabungan harta atau modal
dua orang atau lebih dalam modal, termasuk kerugian.
36
Departemen Agama RI, Mushaf Al- Quran dan Terjemah, (Jakarta: Al- Huda Kelompok Gema Insani 2005), 223.
37
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh..., 341. 38
24
Dengan demikian dalam Syirkāh‘inân seorang persero
tidak tidak dibenarkan hanya bersekutu dalam
keuntungan saja, sedangkan dalam kerugian ia
dibebaskan.
Dalam Syirkāh ‘inân tidak disyaratkan adanya
persamaan dalam modal, tasarruf (tindakan hukum),
dan keuntungan serta kerugian. Dengan demikian
modal yang diberikan kedua belah pihak boleh sama
dan boleh berbeda39
b) Syirkāh Mufawwadah
Syirkāh yang kedua ini dinamakan Syirkāh
Mufawwadah karena karena didalamnya terdapat unsur
persamaan modal, keuntungan, melakukan tasarruf dan
lain-lainnya.
c) Syirkāh Wujuh adalah suatu kerjasama antara dua orang
atau lebih untuk membeli suatu barang, tanpa
menggunakan modal. Mereka berpegang pada
penampilan dan kepercayaan para pedagang terhadap
mereka. Dengan demikian transaksi yang dilakukan
39
25
adalah dengan cara berutang dengan erjanjian tanpa
pekerjaan dan tanpa harta (modal).40
d) Syirkāh abdān adalah suatu bentuk kerjasama antara
dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu
pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya dibagi
antara mereka sesuai kesepakatan bersama.
d. Syarat- syarat Syirkāh
Syarat- syarat Syirkāh‘Uqud
a) Yang menjadi objek Syirkāhharus bisa diwakilkan.
b) Pembagian keuntungan harus jelas.
c) Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama
secara keseluruhan.
e. Syarat- syarat Syirkāh amwāl
a) Modal harus berupa moodal yang ada.
b) Modal harus berharga secara mutlak.41
2. Al- Muḍārabah
Muḍārabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara
pemilik modal dengan seseorang yang pakar dalam berdagang, didalam
fiqh Islam disebut dengan Mudḍārabah.42 3. Al- Ijārah
40
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh..., 350. 41
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh..., 354.
26
Ijārah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak,
atau menjual jasa perhotelan dan lain- lain.43
27
4. Al-Musāqah.
a. Pengertian Al-Musāqah.
Musāqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah
dimana pengelolah hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan sebagai imbalan, pengelolah berhak atas nisbah tertentu
dari hasil panen.44
Secara bahasa adalah bentuk mashdar al-mufā’ala dari asal
kata “as- Saqyu “. Ulama’ madinah menyebutnya dengan nama al-
mu’āmalah, bentuk mashdar mufā’ala lebih diutamakan untuk
digunakan, karena unsur yang dominan di dalam aqad Al-Musāqah
adalah as- Saqyu, (penyiraman/pengairan).45
Menurut etimologi Al-Musāqah adalah salah satu bentuk
penyiraman. Orang madinah menyebutnya dengan istilah mu’āmalah.
Akan tetapi istilah yang lebih dikenal adalah Musāqah. Sedangkan
menurut para jumhur ulama’ Musāqah adalah menyerahkan pohon
yang telah atau belum ditanam dengan sebidang tanah kepada
seseorang yang menanam dan merawat tanah tersebut (seperti
menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan
bagian yang disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya
adalah untuk pemiliknya.46
28
1) Dasar Hukum Musāqah
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin
Abu Thalib R.a. bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk
Khaibar sebagai pengelolah dan dan pemelihara atas dasar bagi hasil.
Hal ini lanjutkan oleh Abu Bakar Umar, Ali serta keluarga- keluarga
mereka sampai hari ini dengan rasio sepertiga dan seperempat. Semua
telah di lakukan oleh Khulafa’ al Rasyidin pada zaman
pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan
tetapi tidak seorangpun yang meyanggahnya. Berarti ini adalah ijma’
sukuti (konsensus dari umat).
Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan tanah dan tanaman kurma di khaibar kepada yahudi
khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana
mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu
dari hasil panen.47
29
2) Rukun Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun
dalam akad Musāqah adalah ija>b dari pemilik tanah perkebunan,
qabul dari pengelolah, dan pekerjaan dari penggarap.48 Adapun
jumhur ulama’ fiqh yang terdiri dari ulama’ Malikiyah, Syafi’
iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun Musāqah ada lima,
yaitu:
a) Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.
b) Tanah yang dijadikan objek Musāqah.
c) Jenis usaha yang akan dilakukan pengelolah.
d) Ketentuan mengenai pembagian hasil Musāqah.
e) Sighat} (ungkapan) ija>b dan qabu>l.49
3) Syarat Musāqah
Adapun syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh masing-
masing rukun sebagai berikut:
a) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus
orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh)
dan berakal.
b) Objek Musāqah yaitu harus terdiri dari pepohonan yang
mempunyai buah. Dalam menentukan objek Musāqah ini
terdapat perbedaan pendapat ulama’ fiqh. Menurut Ulama’
30
Hanafiyah, yang boleh menjadi objek Musāqah adalah
pepohonan yang berbua seperti kurma, anggur, dan terong.
Akan tetapi, ulama’ Hanafiyah mutaakhirin menyatakan,
Musāqah juga pada pepohonan yang tidak mempunyai buah,
jika itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah,
menyatakan bahwa yang menjadi objek Musāqah adalah
tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan
anggur dengan syarat bahwa: akad Musāqah itu dilakukan
sebelum buah itu layak dipanen, tenggang waktu yang
ditentukan jelas, akadnya dilakukan setelah tanaman itu
tumbuh, dan pemilik perkebunan tidak mampu untuk
mengolah dan memelihara tanaman itu.50
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada pengelolah setelah
akad berlangsung untuk dikelolah, tanpa campur tangan
pemilik tanah.
d) Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak
mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat,
baik dibagi dua, dibagi tiga dan sebagainya. Menurut pendapat
As- Syafi’i yang terkuat, sah melakukan Musāqah pada kebun
yang telah mulai berbuah, tapi buahnya belum bisa dipastikan
akan baik (belum matang).
31
e) Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir
sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari
ketidakpastian. Akan tetapi menurut Abu Yusuf dan
Muhammad Ibn Al- Hasan As- Syaibani (dua tokoh
Hanafiyah), bahwa penetapan jangka waktu itu bukanlah
merupakan suatu keharusan dalam Musāqah, tapi dipahami
sebagai suatu cara yang terbaik, karena musim buah suatu
tanaman dapat dimaklumi sesuai dengan kebiasaan yang ada.
Kalaupun ada kekeliruan dalam memperkirakan musim
berbuah suatu tanaman, itu hanya sedikit. Lebih jauh Ulama’
Hanafiyah berpendapat bahwa penentuan waktu dianggap
kurang baik. Bahkan tidak ditentukan waktunya dipandang
sebagai suatu kebaikan (istihsan) bagi masyarakat yang
melakukan perjanjian Musāqah, karena boleh jadi masa
berbuah sebuah tanaman berbeda setiap tahunnya.51 4) Perbedaan Musāqah dengan Muzāra’ah
Ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan
mendasar antara Musāqah dengan Muzāra’ah. Perbedaan yang
dimaksud antara lain:52
a) Jika salah satu pihak dalam Al- Musāqah tidak mau
melaksanakan hal- hal yang telah disetujui dalam akad, maka
51 Nasrun Haroen, Fiqh.., 285. 52
32
yang bersangkutan boleh dipaksa untuk melaksanakan
0kesepakatan itu. Berbeda dengan akad Al- Muzāra’ah bahwa
jika pemilik benih tidak mau kerjasama itu dilanjutkan
sebelum benih disemaikan, maka ia tidak boleh dipaksa.
Kebolehan memaksa salah satu pihak yang enggan untuk
melaksanakan persetujuan yang telah disepakati dalam akad
Al- Musāqah, karena menurut jumhur ulama’ selain ulama’
Hanabilah, akad Al- Musāqah bersifat mengikat kedua belah
pihak. Akan tetapi, dalam akad Al- Muzāra’ah, sifatnya baru
mengikat jika benih sudah disemaikan. Jika benih belum
disemaikan maka pemilik benih boleh saja untuk membatalkan
perjanjian itu. Namun demikian ulama’ Hanabilah menyatakan
akad Musāqah dan Muzāra’ah merupakan akad- akad yang
masuk kedalam kategori yang tidak mengikat kedua belah
pihak, karenanya boleh saja salah satu pihak yang melakukan
akad membatalkannya.53
b) Penentuan tenggang waktu pada akad Al- Musāqah, menurut
Ulama’ Hanafiyah bukanlah sebagai salah satu syarat dalam
akad Al- Musāqah. Pendapat ini mereka dasarkan atas kaidah
istihsan. Atas dasar itu penentuan lamanya akad Musāqah itu
berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
Sedangkan dalam Muzāra’ah, dalam penentuan tenggang
53
33
waktu terdapat dua pendapat dalam mazhab Hanafi; pertama
berpendapat disyaratkan tenggang waktu, dan kedua tidak
disyaratkan trnggang waktu, tetapi tetapi serahkan pada
kebiasaan adat setempat. Pendapat kedua inilah yang
merupakan fatwa yang terkuat dalam mazhab Hanafi.
c) Jika tenggang waktu yang disetujui dalam akad Musāqah
berakhir, akad tetap dapat dilanjutkan, tanpa imbalan terhadap
petani penggarap. Petani penggarab berkewajiban melanjutkan
pekerjaannya, sampai pohon yang ditanam itu berbuah, tetapi
untuk pekerjaan ini petani penggarap tidak berhak menerima
upah, karena pekerjaan sampai tanaman berbuah dan dipanen
adalah kewajiban pihak petani penggarap. Sedangkan dalam
akad al- Muzāra’ah, bila tenggang waktu telah habis dan
tanaman juga belum berbuah (dipanen), maka petani
penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak
menerima upah dari hasil bumi yang akan dipetik dalam akad
al- Muzāra’ah itu.54
5) Hukum- hukum Yang Terkait Dengan Al- Musāqah
Akad Musāqah, menurut pada Ulama’ fiqh adakalanya
shahih, jika memenuhi rukun dan syaratnya, dan adakalanya fasid,
apabila salah satu syaratnya dari akad Musāqah tidak terpenuhi.
34
Adapun hukum- hukum yang berkaitan dengan akad
Musāqah yang shahih adalah.55
a) Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan
tanaman, pengairan kebun, dan segala yang dibutuhkan untuk
kebaikan tanaman itu, merupakan kewajiban petani penggarap.
b) Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua
belah pihak (pemilik dan petani).
c) Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen), maka
masing- masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d) Akad Musāqah yang telah disepakati mengikat kedua belah
pihak, sehingga masing- masing pihak tidak dapat
membatalkan akad itu, kecuali ada udzur yang membuat tidak
mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu.
Atas dasar itu, pemilik perkebunan berhak untuk memaksa
petani untuk bekerja, kecuali ada udzur pada petani tersebut.
e) Petani penggarap tidak boleh melakukan akad Musāqah lain
dengan pihak ketiga, kecuali atas keizinan dari pemilik
perkebunan (pihak pertama).
Akad Musāqah bisa fasid apabila:56
55 Ibid. 56
35
a) Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu pihak
yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad
itu.
b) Mensyaratkan jumlah tertentu dalam hasil panen bagi salah
satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau
bagian petani, misalnya berbentuk uang, sehingga makna al-
Musāqah sebagai serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.
c) Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja dikebun itu,
bukan petani penggarap saja.
d) Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban
petani penggarap, karena dalam akad Musāqah pekerjaan
sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan
dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman
bukan memulai tanam.
e) Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang merupakan bukan
kewajiban petani atau pemilik.
f) Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara
dalam tenggang waktu yang disepakati tanaman belum boleh
dipanen, menurut kebiasaan adat setempat dan adat kebiasaan
tanaman yang dipilih.
Jika akad al- Musāqah fasid, maka akibat hukumnya
adalah:
36
b) Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun,
sedangkan pengelolah tidak menerima apapun dari hasil kebun
itu, tetapi ia hanya berhak upah yang wajar yang berlaku di
daerah itu (ajru al-mitsil).57
6) Berkhirnya akad al- Musāqah
Menurut para ulama’ fiqh, akad al- Musāqah berakhir
apabila:
a) Tenggang waktu yang disepakati telah habis.
b) Salah satu pihak meninggal dunia.
c) Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak bisa
melanjutkan akad.
7) Hikmah al- Musāqah
Ada orang kaya yang memilik tanah yang ditanami pohon
kurma dan pohon- pohon yang lain, tetapi dia tidak mampu untuk
menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan
yang menghalanginya. Maka Allah yang maha bijaksana
memperbolehkan orang itu untuk mengadakan perjanjian dengan
orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing
mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada
dua hikmah yaitu:58
57 Ibid., 125.. 58
37
a) Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang- orang miskin
sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.
b) Saling tukar manfaat diantara manusia.
Disamping itu ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu
karena pemelihara telah berjasa hingga pohon menjadi besar.
Kalau seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami,
tentu dapat mati dalam waktu singkat.59 a. Mukābah dan Muzāra’ah
Mukhabārah dan Muzāra’ah ialah kerjasama antara pemilik
sawah, tanah atau ladang dengan petani atau pengelola sawah untuk
dikelola dan menghasilkan keuntungan pada kedua belah pihak,
sedangkan benihnya berasal dari pengelolah, dengan imbalan bagian
tertentu (persentase) dari hasil panen sesuai kesepakatan kedua belah
pihak.60
Dalam hadist Rasulullah Saw dinyatakan:
ع
يط
ي
ِ
ي
ها
يع
ي
ي
ِب
يق
يع
ي
ي:
ُقف
ي
ي
ع
ي
ِ م ا
ي
ك
ي
ِِ
ي
ب ُما
يِإف
ي
ع
ي
ي
ّص
ي
ها
ي
ِ ع
ي
س
ي
ي
ِ ع
ي
ِ ب ُما
ي
قف
ي
ي:
خ
ي
ع
ي
كِ ِب
ي
ِع
يبا
يع
ي
ي
ِ ا
ي
ص
ي
ُها
ي
ِ ع
ي
س
ي
ي
يِإ
يق
ي
ي:
عي
ُك ح
ي
خ
ي
رخ
ي
يِ
ي
ي
ع خ
ي
ح خ
ي
ُع
يُ
اي
س
يييَ
Artinya: “Dari Thaus bahwa ia suka ber Mukhabārah. Berkata
Umar kepadanya: Ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan Mukhabārah ini, mereka akan mengatakan bahwa Nabi Saw
telah melarang Mukhabārah, Thaus berkata: telah
menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh
59 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh.., 113.
38
mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw tidak melarang Mukhabārah, hanya saja beliau berkata: bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, itu lebih baik baginya dari pada mengambil manfaat dari saudaranya dengan
yang telah dimaklumi” (H.R. Muslim).61
1) Perbedaan al- muzāra’ah dengan al- mukhābarah
a) Muzāra’ah
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan pengelolah
dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut
kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman berasal dari
pemilik tanah.
b) Mukhabārah
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan pengelolah
dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara keduanya
menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya
dari pengelolah tanah.62
2) Hukum Mukhabārah
Dalam membahas hukum Mukhabārah terjadi perbedaan
pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah dan Zufar Ibnu Huzail,
para pakar fiqih hanafi berpendapat bahwa akad Mukhabārah
61 Abi Al- Husain Muslimbin, al- Hajjaj, al- Qusairy, al- naysaburu, 19991. Shohih Muslim,
(Bairut Daar al- Khutb al- Ilmiyah), 1178.
62 Abdur Rahman Ghazalli Dkk, Fiiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
39
tidak boleh. Menurut mereka, akad Mukhabārah dengan bagi
hasil, seperti seperempat dan seperdua, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzail adalah
sebuah hadist berikut:
يِ بي ِب جي عي ِس ي ا ُي.ِ بي ُمايِ عي ي س يِ عيُهايىصيِهايُ س ي
ِهاي ع
َ Artinya: “Rasulullah Saw: yang melarang melakukan al- Mukhabārah”. (H.R. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah)63Menurut mereka, obyek akad dalam al- Mukhabārah belum
ada dan tidak jelas kadarnya, karna yang dijadikan imbalan untuk
petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan
tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan
dibagi, sejak semula tidak jelas. 64 Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari
hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-jahalah
inilah yang membuat akad ini tidak sah.
Adapun perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk
Khaibar dalam hadist yang diriwayatkan al-jamaah (mayoritas
pakar hadist), menurut mereka, bukan merupakan akad al-
Mukhabārah, yakni berbentuk al-kharaj al-muqasamah yaitu
ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah
setiap kali panen dalam prosentase tertentu. Ulama Syafi’iyah
40
juga berpendapat bahwa akad al- Mukhabārah tidak sah, keculai
apabila al- Mukhabārah mengikut pada akad al-musaqah
(kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola
pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti di bagi
menurut kesepakatan bersama.
Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad Ibn
Al-hasan Asy-syaibani, dan ulama Azh-zhahiriyah berpendapat
bahwa akad al- Mukhabārah hukumnya boleh, karena akadnya
cukup jelas, yaitu menjelaskan petani sebagai serikat dalam
pengelolahan sawah.
Menurut mereka, dalam sebuah riwayat di katakan bahwa:
ِ ع
يِبا
ي
ِ
ع
ي
ُها
يع
ي
ي
ُ س
ي
ِها
ي
ص
ي
ُ ا
يع
ِي
ي
ّس
يع
ي
ي
خ
ي
طشب
ي
يِ
يِ
يث
ي
ي
ع
.
س ي ا ُ
َArtinya: “Rasulullah Saw melakukan kerjasama dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya di bagi antara Rasul
dengan para peakerja”. (HR. Muslim)65
Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling
membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Hal ini
bertujuan untuk saling tolong menolong sesama manusia dan
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
ي
يا
ي
اي
ا
ي
ا ِح
ي
ِئ عش
ي
ِ ا
ي
ي
ا
ي
ش ا
ي
ا حْا
ي
ي
ا
يْا
ي
ي
ا
ي
ِئاقْا
ي
ي
ا
ي
نِ
يْا
ي
ا حْا
ي
غ
ي
ًا ف
يِ
ي
ِ ِب
ي
ي
ً ا ِ
ي
ي
ا ِإ
ي
ْ ح
ي
ا طص ف
ي
ي
ا
ي
ُ ِج
ي
ُ ش
يق
ي
ْي
ُك ص
ي
ِ ع
ي
ِ ِجس ْا
ي
65 Mohammad bin Ismail al- Bukhari, shahih al-Bukhari, Juz 6, aplikasi Gamawi al- Kalim. No
41
ِا حْا
ي
ْي
ا ع
ي
ي
ا ع
يع
ي
ِِْا
ي
ي
ْق ا
يي
ي
ا
ي
ا ع
يع
ي
ِ ْثِإْا
ي
ي
ِ ا عْا
ي
ي
ا ُق ا
يا
يِإ
يا
ي
ش
ي
قِعْا
ِArtinya: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi’ar- syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan- bulan haram, jangan (mengganggu) binatang- binatang had-ya, dan binatang- binatang qala-id, dan jangan (pula) mengganggu orang- orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah Haji. Maka bolehlah berburu, dan jangan sekali- kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum. Karena mereka menghalang- halangi kamu dari masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya”.66
Mereka yang membolehkan akad Mukhabārah berdasarkan
pendapat bahwa Mukhabārah merupakan akad syirkāh antara
modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana akad muḍārabah yang
hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang mendesak
(dibutuhkan). Akad Mukhabārah tersebut di perbolehkan
sebagaimana akad ijarah dari segi kerja sama dalam hal
penggarapan tanah. Adapun upah dari muzāra’ah adalah di
tentukan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.67
Dasar hukum Mukhabārah yang di gunakan para ulama
dalam menetapkan hukumnya adalah sebuah hadist yang di
riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas R.A:
66 Departemen Agama RI, Mushaf Al- Quran dan Terjemah, (Jakarta: Al- Huda Kelompok Gema
Insani 2005), 62
42
ع
ي ِح ي ي س يِ عيُهاي صي ِ اي ِإي:ي قي عيُهاي ِ يِ عيِ بايِ
ع ا ا
ي
ي ع في اي ي كي ي:يِِ قِبي ع ِبي عبيقُف ي ي ي ِ
في ب ي ِإفي خ ي ح ِي ا
يَ س ي
اي ا ُي يكِس
Artinya: “dari Ibn Abbas, ia berkata, sesungguhnya Nabi Saw. Tidaklah mengharamkan bermuzara’ah, bahkan
beliau menyuruh supaya yang sebagian menyayangi
sebagian lainnya, seraya beliau bersabda, “barang siapa
yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, dan jika ia tidak
mau, bolehlah di tahannya saja tanah itu”. (H.R Bukhari
dan Muslim).68
Selain itu dalam kitab Subhul al-salam dijelaskan bahwa
larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah Nabi
dan para sahabatnya hijrah ke madinah, merekapun sangat
membutuhkan pekerjaan tersebut dan sangat bermanfaat untuk
keberlangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, hadist
tentang larangan Mukhabārah tersebut memiliki batasan, yakni
jika dalam perjanjiannya terdapat peraturan yang menekankan
salah satu pihak, sehingga memberatkannya. 69
3) Rukun Mukhabārah dan Muzāra’ah
Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya
rukun maka Mukhabārah tidak akan di bilang sah, hal tersebut
merupakan prinsip mendasar yang harus di penuhi dalam
Mukhabārah seperti ija>b dan qabu>l dalam masalah jual beli, tanpa
68 Abi Al- Husain Muslimbin, al- Hajjaj, al- Qusairy, al- naysaburu, 19991. Shohih Muslim,
(Bairut Daar al- Khutb al- Ilmiyah), 2162.
43
adanya ija>b qabu>l jual beli itu tidaklah sah, karena ija>b qabu>l
merupakan rukun jual beli.
Demikian juga dalam masalah Mukhabārah tentulah ada
unsur-unsur (rukun) yang dapat menyebabkan sahnya suatu
perjanjian Mukhabārah, dalam hal ini ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan rukun-rukun tersebut pendapat itu antara lain:
Menurut ulama Hanafiyah:
Menurut ulama Hanafiyah adalah ijāb dan qābul yaitu
pemilik lahan berkata kepada pihak pengelolah, “aku serahkan
lahan ini kepadamu sebagai al- Mukhabārah dengan bagian
sekian.” Lalu pihak pengelolah berkata, “aku terima” atau
perkataan- perkataan yang menunjukkan bahwa ia menerima dan
menyetujuinya. Apabila ijaāb dan qābul ini sudah terjadi, maka
berlakulah akad al- Mukhabārah di antara keduanya.70 Akan
tetapi, sebagian ulama Hanafi menyatakan bahwa sahnya rukun
Mukhabārah ada 4 macam yaitu:
a) Ada tanah yang di kelola
b) Pekerjaan yang di lakukan pengelola
c) Benih
d) Alat pertanian
Menurut ulama Malikiyah:
44
Adapun pendapat ulama Malikiyah harus menabur benih di
atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam
tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat
yang paling kuat, perkongsian harta termasuk Mukhabārah dan
harus menggunakan sighat.
Menurut ulama Hanabila:
Ulama Hanabila berpendapat bahwa Mukhabārah tidak
memerlukan qābul secara lafadz, tetapi cukup dengan
mengerjakan tanah, itu sudah termasuk qābul.71
Jumhur ulama’, yang membolehkan akad Mukhabārah,
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga
akad dianggap sah. Rukun Mukhabārah menurut mereka adalah:72
a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap
c) Obyek Mukhabārah, yaitu antara manfaat dengan hasil kerja
petani.
d) Ijāb (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik sawah)
e) Qābul (pernyataan menerima tanah untuk dikelolah dari
petani)
4) Syarat-syaratMukhabārah
45
Adapun syarat Mukhabārah menurut jumhur ulama antara
lain, ada orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah
yang akan di kerjakan, hasil yang akan di panen, dan yang
menyangkut jangka waktu berlakunya akad.73
a) Syarat orang yang berakat harus baligh dan berakal. Imam Abu
Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama
Hanafiyah tidak mensyar