• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PARON SAWAH BERSYARAT DI DESA BANYUATES KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PARON SAWAH BERSYARAT DI DESA BANYUATES KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM

PARON

SAWAH BERSYARAT DI DESA BANYUATES KECAMATAN

BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA

SKIRPSI

Oleh: Misnawati NIM. C02212025

Universitas Islam Negeri SunanAmpel Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yaitu, Bagaimana Praktik Sistem Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura Dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian disusun dan dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif dengan teknik analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa akad paron yang terjadi di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura ini melibatkan tiga pihak, yaitu: Pemilik sawah, Pengelola Dan pemilik toko sebagai penyetok keperluan bahan pertanian. Pemilik sawah memberikan sawahnya kepada petani untuk dikelola dengan syarat pencapaian target dari hasil pertanian 20 karung perpetak sawah. Jika hasilnya melebihi target maka hasilnya dibagi dua antara pemilik sawah dengan pengelola, sedangkan pengelola harus membagi kembali seperempat dari hasil yang diperolehnya dengan pemilik toko. Kedua: Ada dua akad dalam praktik Paron sawah bersyarat yang ada di Desa banyuates, yang pertama, antara pihak pemilik sawah dengan pengelola, yaitu akad Mukhabārah karena biaya operasional selama masa penanaman sampai masa panen ditanggung oleh pengelola. Kedua antara pengelola dengan pemilik toko, yakni akad Syirkāh, karena pemilik toko memberikan modal kepada pengelola berbentuk bahan pertanian, dan kedua akad ini sudah dianggap sah menurut hukum Islam karena sudah memenuhi syarat dan rukun akad Mukhabārah dan Syirkāh

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C.Rumusan Masalah ... 8

D.Kajian Pustaka ... 8

E.Tujuan Penelitian ... 12

F.Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G.Definisi Operasional ... 13

H.Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG BAGI HASIL DALAM ISLAM A.Pengertian Kerja Sama ... 22

B.Macam-Macam Kerja Sama ... 22

BAB III PELAKSANAAN AKAD PARON SAWAH BERSYARAT DI

DESA BANYUATES KECAMATAN BANYUATES

(8)

A.Gambaran Umum Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura ... 55 B.Mekanisme Akad Paron Dalam Kerja Sama Pertanian Di Desa

Banyuates ... 59

BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PARON SAWAH BERSYARAT DI DESA BANYUATES KECAMATAN BANYUATES KABUPATEN SAMPANG MADURA

A.Analisis Terhadap Pelaksanaan Peraktek Terjadinya Akad Paron Bersyarat Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura ... 66 B.Analisis Hukum Islam Terhadap Akad Sistem Paron Bersyarat

Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang .. 69 BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 73 B.Saran ... 74

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk

berinteraksi antara satu dengan yang lain. Dari interaksi sosial ini timbul

hubungan timbal balik yang akan tercapai sebuah tatanan hidup yang

kompleks dan memerlukan aturan hukum yang mengikat. Dalam Islam

hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia dikenal dengan istilah

hukum mu’āmalah.1

Pada dasarnya, sejak lahir manusia sudah memerlukan materi (harta)

sebagai bekal hidup karena manusia juga memerlukan pangan, sandang dan

juga papan untuk keberlangsungan hidup mereka yang merupakan kebutuhan

primer. Selain kebutuhan primer tersebut juga masih banyak kebutuhan

sekunder yang juga harus dipenuhi. Demi untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka manusia harus bekerja. Namun, tanpa disadari

bahwa manusia juga mempunyai keterbatasan dalam usaha untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia harus berusaha dengan jerih

payahnya dalam mendayagunakan dan memanfaatkan alam yang di

anugerahkan tuhan kepada hambanya dengan sebaik-baiknya. Salah satu

bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang ada yaitu salah satunya dengan

cara menggali kekayaan alam seperti exploitasi bumi untuk mendapatkan

1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII

(10)

2

minyak dan gas bumi, mengelolah tanah persawahan untuk pertanian, laut

untuk perikanan dan lain sebagainya.

Dalam dunia ini, manusia tidak bisa hidup menyendiri karena pada

hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan

satu sama lain untuk memenuhi kekurangannya, karena manusia diciptakan

Allah tidak ada yang sempurna. Ada yang kaya dan ada yang miskin, ada

yang kuat dan ada yang lemah, ada yang tinggi dan ada yang rendah, dan lain

sebagainya. Hal tersebut diciptakan Allah SWT. Tentunya untuk

memudahkan manusia untuk saling membantu dan bekerjasama dalam

memenuhi kekurangan masing- masing.2

Firman Allah dalam Al- Quran surah Al- Maidah ayat 2, sebagai

berikut:

ايَ

ا يأ

َ

ي َلا

َ

ا آ

َ

ا

َ

ا ِحت

َ

ِئاعش

َ

ِهَلا

َ

َ

ا

َ

شلا

َ

ا حْلا

َ

َ

ا

َْلا

َ

َ

ا

َ

ِئاقْلا

َ

َ

ا

َ

نِآ

َ

تيبْلا

َ

ا حْلا

َ

غتبي

َ

ًاضف

َِ

َ

ِ ِبر

َ

َ

ًا ا ضِر

َ

َ

ا ِإ

َ

تْ ح

َ

ا اطصاف

َ

َ

ا

َ

ُ ِجي

َ

ُ ش

َق

َ

ْ أ

َ

ُك ص

َ

ِ ع

َ

ِ ِجس ْلا

َ

ِا حْلا

َ

ْ أ

َ

ا تعت

َ

َ

ا اعت

َ

ى ع

َ

ِِبْلا

َ

َ

ْقتلا

ََ

َ

ا

َ

ا اعت

َ

ى ع

َ

ِ ْثِإْلا

َ

َ

ِ ا عْلا

َ

َ

ا ُقتا

َ

هَلا

َ

َ ِإ

َ

هَلا

َ

ي ش

َ

اقِعْلا

ِ

Artinya: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu melanggar

syi’ar- syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan- bulan haram, jangan (mengganggu) binatang- binatang had-ya, dan binatang- binatang qala-id, dan jangan (pula) mengganggu orang- orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah Haji. Maka bolehlah berburu, dan jangan sekali- kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum. Karena mereka menghalang- halangi kamu dari masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan

(11)

3

pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya”.3

Setiap manusia tidak bisa menyediakan dan mengadakan

keperluannya tanpa melibatkan orang lain. Salah satu upaya yang dapat

dilakukan adalah dengan cara melakukan kerjasama, misalkan ada seseorang

mempunyai suatu barang tetapi orang yang lain tidak memiliki barang

tersebut, maka manusia harus saling berhubungan, saling melengkapi, saling

bertukar keperluan, jasa dan juga keahlian (ketrampilan).4

Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau,

sapi, kuda dan juga yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani

untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah.

Sebaliknya, banyak diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan

lainnya, yang untuk ditanami (bertani), tetapi ia juga tidak memiliki binatang

untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak mengolah

sawah dan mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak

dapat menghasilkan suatu apapun.5

Dari sekian banyaknya aspek kegiatan kerjasama yang ada dilingkup

masyarakat, maka timbullah berbagai macam akad yang berguna untuk

memudahkan manusia dalam menjalani kerjasama tersebut termasuk aturan

dalam masalah pengelolaan tanah, baik pengelolaan tanah secara bagi hasil

3 Departemen Agama RI, Mushaf Al- Quran dan Terjemah, (Jakarta: Al- Huda Kelompok Gema

Insani 2005), 62

4 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,

2003), 15.

5 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial, (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya,

(12)

4

ataupun pengelolaan tanah secara sewa-menyewa. Kerjasama ini mempunyai

peranan penting dalam upaya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat karena mata pencaharian yang paling banyak dilakukan oleh

masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bertani.

Kerjasama dengan cara bagi hasil merupakan salah satu kegiatan

mu’āmalah yang sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya

dalam bidang pertanian. Kerjasama secara bagi hasil ataupun sewa menyewa

ini diperbolehkan dalam Islam baik terhadap barang bergerak ataupun barang

tidak bergerak seperti tanah.6

Dalam fiqh bahasan ini masuk pada bab mu’āmalah. Kerjasama dalam

pertanian dalam fiqh mu’āmalah dikenal dengan istilah Musāqah, Muzāra’ah

dan Mukhabārah sebagai wujud hubungan timbal balik saling tolong-

menolong antar sesama. Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhābarah merupakan

suatu kerja sama dalam pertanian dengan bentuk perjanjian yang adil untuk

sama- sama menguntungkan.7

Dalam hadis Nabi Saw dijelaskan pada suatu riwayat:

ِ ع

َِبا

َ

ىِضر ع

َ

ُها

َ

ا ع

َ

َ أ

َ

ُل سر

َ

ِها

َ

ىَص

َ

هُلا

َ

ِهي ع

َ

َ

ّس

َ

ل اع

َ

ل أ

َ

بيخ

َ

طشب

َ

ج خيا

َ

ا ِ

َِ

َث

َأ

َ

عر

.

Artinya: “Diriwayatkan oleh Umar R.A Rasulullah Saw pernah

memperkerjakan penduduk khaibar dengan (upah) sebagian dari pada hasil buah- buahan atau tanaman yang mereka tanam”. (HR. Muslim)8

Dan Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:

6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Jakarta: PT.Pena Pundi Aksana, 2009), 207. 7 Ibid., 426.

(13)

5

ِتلاق

َ

راص َأْاَ

َ

ِّ ِبّ ِل

َ:

ىّص

َ

ُها

َ

ِهي ع

َ

ّس

َ

ِسْقا

َ

ا يب

َ

يب

َ

ا ِا خِإ

َ

ليِخّلا

َ

لاق

َ

ا

َ

ا ُلاقف

َ

ا ُفْ ت

َ

ِ ّلا

َ

ا ُلاق

َ:

ا عِ س

َ

ا عطأ

َ

ُ ْلا

َ

ُ ْك ش

ْ

Artinya :“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat

kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka

menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.9

Kedua hadis di atas menjelaskan bahwa bekerjasama bagi hasil antara

pemilik harta dan pengelola di perbolehkan. Karena dengan demikian kedua

belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan dengan terjadinya

kerjasama tersebut.

Sistem bagi hasil menjadi suatu yang penting manakala orang- orang

mempunyai tenaga kerja tetapi tidak mempunyai lahan, sementara yang lain

memiliki lahan tetapi tidak mempunyai modal dan tenaga kerja. Berdasarkan

keadaan seperti ini saling membantu dan bekerjasama, maka hanya sistem

bagi hasil yang merupakan cara efektif untuk menghasilkan lebih banyak

tanah yang dapat diolah sehingga menguntungkan kedua belah pihak.10

Banyuates adalah sebuah Desa yang merupakan bagian dari

Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang, di Desa tersebut memiliki

banyak kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti

nelayan, kuli bangunan dan petani. Namun pekerjaan yang paling dominan di

Desa Banyuates kecamatan Banyuates kabupaten sampang adalah bertani.

9 Zaini, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Paron Tanah Cato Bengkok” (Skripsi--,

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, (Yogyakarta, 2014, 9.

10 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995),

(14)

6

Akan tetapi tidak semua masyarakat memiliki sawah, sehingga banyak

masyarakat yang melakukan kerjasama dalam mengelolah sawah milik

masyarakat yang lain dengan sistem paron.

Berdasarkan observasi penelitian pendahuluan (preliminary research),

kerjasama paron yang ada di Desa Banyuates ini melibatkan 3 pihak, yaitu

pihak pemilik sawah, pihak pengelolah sawah dan pihak pemilik toko

pertanian di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang.

Sistem paron yang ada di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang berbeda dengan yang sudah dijelaskan didalam hukum

Islam karena sistem paron yang ada di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang yakni sistem paron yang bersyarat, yaitu segala

kebutuhan pertanian dan biaya operasionalnya ditanggung oleh pengelola,

selain itu hasil pertanian tersebut harus mencapai 20 karung perpetak sawah,

jika hasil panen tersebut mencapai target atau lebih, pengelola akan

mendapatkan bagian setengah dari hasil panen yang diperoleh.11

Namun jika hasil panen tersebut tidak mencapai target yang

ditentukan, maka hasil panen tersebut akan diambil sendiri oleh pemilik

sawah. Hasil yang sudah dibagi dengan pemilik sawah nantinya juga akan

dibagi lagi dengan pemilik toko pertanian, hal ini karena pengelola sawah

memperoleh pupuknya bekerjasama dengan pemilik toko pertanian. Jadi

11

(15)

7

apabila hasil panen tersebut tidak mencapai target maka pengelola sawah

tidak bisa memberi bagian kepada pemilik toko.12

Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu

meneliti praktik terjadinya kegiatan paron bersyarat yang ada di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang tersebut.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat

muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi

kemungkinan yang dapat diduga sebagai masalah.13Yaitu:

1. Praktik akad Mukhabārah di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang Madura.

2. Pandangan hukum Islam terhadap kerjasama dalam bidang pertanian di

Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

3. Praktek terjadinya kerjasama sistem paron sawah yang ada di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

4. Pentingnya kerjasama dalam upaya peningkatan taraf hidup dan

kesejahteraan masyarakat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang Madura.

12

Hotimah, Wawancara, 17 Juni 2016.

13 Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan

(16)

8

5. Pandangan Hukum Islam terhadap sistem paron bersyarat dalam praktik

kerjasama pertanian di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten

Sampang Madura.

Agar masalah ini tidak terlalu luas dan tepat pada sasaran yang

diharapkan, maka perlu adanya batasan-batasan masalah, yaitu:

1. Praktek terjadinya sistem paron sawah bersyarat di Desa Banyuates

Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

2. Pandangan Hukum Islam terhadap sistem paron sawah bersyarat di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang dan identifikasi masalah di

atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik sistem paron sawah bersyarat di Desa Banyuates

Kecamatan Banyuates Kabupaten SampangMadura?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik sistem paron sawah

bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang

Madura?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga tidak

terjadi pengulangan atau bahkan duplikasi kajian/penelitian yang telah ada.14

(17)

9

Pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan gambaran topik yang akan

diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, dengan harapan tidak ada pengulangan materi secara mutlak.

Dari beberapa literature yang telah penulis baca belum ada di antara

literature tersebut yang membahas secara rinci mengenai pengelolahan lahan

pertanian. Akan tetapi, ada beberapa karya tulis berupa skripsi yang telah

membahas paron maupun penyewaan lahan secara lebih mendalam dan di

analisis praktik yang ada di lapangan, skripsi tersebut antara lain:

Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Fairuz Abadi, dalam skripsi

berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama

Penggemukan Sapi Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar Kabupaten

Bangkalan”. Skripsi ini membahas tentang kerjasama paron penggemukan

sapi dalam tinjauan hukum Islam. kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa

sistem sistem paron yang ada Di Desa Batah Barat Kecamatan Kwanyar

Kabupaten Bangkalan selama ini dilaksanakan sudah sesuai dengan ketentuan

hukum Islam. Sebab, pelaksanaan kerjasama yang mereka laksanakan

berdasarkan kesepakatan bersama dan tidak ada unsur paksaan.15

Kedua, skripsi yang di tulis oleh Epi Yuliana, dalam skripsi yang

berjudul “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Penggarapan Kebun

Karet Di Desa Bukit Selabu Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan”

skripsi ini membahas tentang bagi hasil penggarapan perkebunan dalam

15 Fairuz Abadi A, “Analisis Hukum Islam Terhadap Konsep Paron Dalam Kerjasama

(18)

10

tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem bagi

hasil penggarapan perkebunan yang telah dilakukan oleh masyarakat Di Desa

Bukit Selabu Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan tersebut

diperbolehkan karena telah sesuai dengan Hukum Islam karena kedua belah

pihak yang melakukan akad telah memenuhi syarat yang ada dan sesuai

dengan Hukum Islam.16

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Abu Yasid, dalam skripsi berjudul

“Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa

Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan.” Skripsi ini

membahas tentang Pemanfaatan Hewan Paron dalam tinjauan hukum Islam.

Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan

oleh masyarakat Di Desa Gunung Sereng Kecamatan Kwanyar Kabupaten

Bangkalan tersebut diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan hukum

Islam karena kedua belah pihak yang melakukan akad telah sesuai dengan

akad yang disepakati dan sesuai dengan hukum Islam.17

Keempat, skripsi yang ditulis oleh M. Sya’roni, dalam skripsi berjudul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembatalan Sewa Menyewa Lahan Tebu

di Desa Klampok Dusun Prodo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang”.

Skripsi ini membahas tentang pembatalan sewa menyewa lahan tebu dalam

tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa pembatalan

16Epi Yuliana,“ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Penggarapan Kebun Karet Di Desa

Bukit Selabu Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan”,(Skripsi UIN Kalijaga Yogyakarta 2008), 62.

17 Abu Yasid, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Hewan Paron Di Desa Gunung

(19)

11

sewa menyewa lahan tebu di Desa Klampok yang di lakukan oleh pihak

penyewa kepada pemilik tanah meminta pengembalian sisa uang sewa dan

ganti rugi tanaman yang sudah ditanam tidak sesuai dengan hukum Islam.18 Kelima, skripsi yang ditulis oleh Syahkrul Amil Mukminin, dalam

skripsi berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap paron Sapi Di Desa Ragang

Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”. Skripsi ini membahas tentang

praktik Paron sapi dalam tinjauan hukum Islam. Kesimpulan dari skripsi ini

adalah bahwa sistem Paron yang telah dilakukan oleh masyarakat Di Desa

Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan tersebut diperbolehkan

karena tidak bertentangan dengan hukum Islam karena kedua belah pihak

yang melakukan akad telah memenuhi kewajiban dan persyaratan yang ada

dan sesuai dengan hukum Islam.19

Adapun penelitian yang akan peneliti lakukan berbeda dengan

beberapa penenelitian terdahulu yang juga membahas tentang kerjasama bagi

hasil atau Paron. Dalam penelitian terdahulu di atas menjelaskan pokok

masalah yang memfokuskan tentang beberapa praktek sistem paron hewan

dan sewa lahan pertanian yang berbeda dengan penelitian yang akan di bahas.

Dalam penelitian ini nanti akan membahas tentang masalah sistem paron

bersyarat dalam bidang pertanian yang ada di Desa Banyuates Kecamatan

Banyuates Kabupaten Sampang.

18M. Sya’roni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembatalan Sewa Menyewa Lahan Tebu di

Desa Kelampok Dusun Prodo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang”, (Skripsi IAIN Sunan Ampel, 2013), 63.

19 Syahrul Amil Mukminin, “Analisis Hukum Islam Terhadap Sapi Di Desa Ragang Kecamatan

(20)

12

E. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan sistem paron sawah bersyarat di

Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

2. Untuk mengetahui pandangn Hukum Islam terhadap praktek pelaksanaan

sistem paron sawah bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang Madura.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan diharapkan dapat menjadi

sumbangan pemikiran bagi semua orang secara umum, juga berharap mampu

mempunyai nilai-nilai dan makna sebagai berikut :

1. Aspek teoritis

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat

mengembangkan dan memberikan sumbangsih pengetahuan terhadap

pengembangan khazanah hukum Islam khususnya perihal praktek

kerjasama paron pertanian yang di dalam istilah Islam dikenal dengan

Musāqah, Muzāra’ah dan Mukhabārah.

2. Aspek praktis

Penulis berharap semoga dapat dijadikan bahan pedoman bagi

(21)

13

yang dibahas kali ini dan semoga bisa berguna bagi penerapan suatu ilmu

di lapangan atau di masyarakat.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah penelitian dan memperjelas tentang “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem Paron Sawah Bersyarat Di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura” perlu adanya

penulis mendefinisikan permasalahan yang ada pada skripsi ini agar tidak

terjadi kesalahpahaman pada pembahasan, sebagai berikut:

Hukum Islam : Seperangkat aturan dan larangan tentang tingkah

laku manusia dalam bidang muāmalah yang sesuai

dengan aturan Al- qur’an, dan hadist, yang

berkaitan dengan Mukhabārah.

Paron Sawah Bersyarat: Kesepakatan antara pemilik modal (sawah) dengan

pengelola (petani) untuk merawat atau mengelola

lahan pertanian yang kemudian keuntungan yang

terdapat di dalamnya dibagi menjadi dua secara

merata dengan syarat hasil dari pengelolahan

pertanian tersebut mencapai target yang ditentukan

(22)

14

H. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif, yakni penelitian yang tidak menggunakan angka dalam

mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya.20 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang Madura.

2. Data

Data merupakan rekaman, gambaran atau keterangan suatu hal

atau fakta. Apabila data tersebut diolah, maka ia akan menjadi suatu

informasi. Didalam penelitian, fungsi data sangat penting karena dengan

data inilah suatu masalah atau topik dalam penelitian dapat dipecahkan

atau dijawab.21 Data di dalam penelitian merupakan faktor yang sangat penting, karena sumber data akan menyangkut kualitas dari hasil

penelitian.22

Dalam proses pengumpulan data penelitian kualitatif, manusia

berfungsi sebagai instrument utama penelitian. Meskipun demikian, pada

saat pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman pengumpulan data

seperti wawancara, observasi dan sebagainya. Pedoman ini membantu

penulis melakukan pengumpulan data secara efisien. Pedoman penelitian

20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), 12.

21 Jusuf Soewadji, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), 145. 22 Wahyu Purhantara, Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bisnis (Yogyakarta: Graha Ilmu,

(23)

15

kualitatif disusun secara sistematis melalui prosedur tertentu dan

bertujuan untuk meningkatkan mutu data yang diperoleh.23 Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a. Informasi tentang Praktik sistem paron sawah bersyarat di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang.

b. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem Paron Sawah

Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten

Sampang Madura tersebut.

3. Sumber Data

Sumber data terbagi menjadi dua yaitu sumber data sekunder dan

sumber data primer. Sumber data primer adalah data yang diperoleh

langsung dari subjek penelitian. Sedangkan sumber data sekunder adalah

data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek

penelitian yang bersifat publik.24

23 Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

(Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), 58.

(24)

16

a. Sumber data primer:

1) Pemilik lahan atau pemilik sawah di Desa Banyuates Kecamatan

Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

2) Pengelola sawah di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang Madura.

3) Masyarakat yang ada di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates

Kabupaten Sampang Madura.

b. Sumber data sekunder :

1) Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum

Perdata Islam)

2) Sudarsono, Pokok- pokok Hukum Islam

3) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (sebuah teori, konsep dan

aplikasi).

4) M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.

5) Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Hukum Bisnis dan Sosial.

6) Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III.

7) Paron adalah bahasa Madura yang memiliki arti membagi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan terhadap fenomena yang terjadi

(25)

17

melakukan observasi di Desa Banyuates Kecamatan Banyutas

Kabupaten Sampang guna mengetahui secara langsung kegiatan yang

dilakukan oleh pelaku kerjasama paron tersebut.

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu proses Tanya jawab atau dialog

secara lisan antara pewawancara (interviewer) dengan responden atau

orang yang di wawancara (interview) dengan tujuan untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.25 Maka dari itu penulis akan melakukan wawancara kepada pemillik sawah,

pengelola, pemilik toko dan masyarakat di Desa Banyuates

Kecamatan Banyutas Kabupaten Sampang untuk mendapatkan data

yang diinginkan oleh penulis.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara

memperoleh data dari karya ilmiah, media massa, teks book, dan

masih banyak lagi untuk menambah atau mendukung sumber

informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian ini untuk

memperkuat aspek validitas data yang dihasilkan.26 d. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder

yang diperlukan dalam sebuah penelitian. Dokumentasi adalah setiap

25 Eko Putro Widoyoko, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2014), 40.

26 Anis Fuad dan Kandung Sapto Nugroho, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:

(26)

18

bahan tertulis ataupun film, gambar dan foto-foto yang dipersiapkan

karena adanya permintaan seorang peneliti.27 5. Teknik Pengolahan Data

Setelah data berhasil diperoleh dari lapangan maupun penulisan,

maka penulis akan melakukan pengolahan data dengan tahapan sebagai

berikut:

a. Editing adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah penulis selesai

menghimpun data di lapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena

kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum

memenuhi harapan peneliti, diantaranya kurang atau terlewatkan,

tumpang tindih, berlebihan bahkan terlupakan. Oleh karena itu,

keadaan tersebut harus diperbaiki melalui tahap editing ini.28

b. Organizing adalah kegiatan menyusun data yang telah didapatkan

ketika penulis melakukan pencarian data yang diperlukan dalam

penelitian ini dalam kerangka paparan yang sudah dibuat atau

direncanakan secara sistematis dengan rumusan masalah masalah

yang ada.29

c. Penemuan Hasil adalah kegiatan melakukan analisis data yang sudah

diperoleh peneliti dari kegiatan penelitian di lapangan guna

memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta yang ada di

27 Ibid., 62.

28 Burhan bungin, Metodologi Penelitian Sosial format-format kuantitatif dan kualitatif

(Surabaya: Airlangga University Pers, 2001), 182.

29 Usman Rianse dan Abdi, Metodologi Penelitian: Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi

(27)

19

lapangan dan akhirnya merupakan suatu jawaban dari rumusan

masalah yang peneliti tulis.30 6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber

dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam

lalu di analisis. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,

dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh

diri sendiri maupun orang lain.31

Setelah berhasil mengumpulkan data, yaitu Informasi tentang

Praktik sistem paron sawah bersyarat dan pandangan hukum Islam

terhadap Praktik Sistem Paron Sawah Bersyarat Yang ada di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

Kemudian akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif yaitu analisis

yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan orang

yang diinterview serta mengamati keadaan yang ada dengan metode yang

sudah ditentukan sebelumnya. Tujuan dari metode ini adalah untuk

menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan subjek atau objek

penelitian secara sistematis pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta

yang terlihat. Kemudian data tersebut akan diolah dan dianalisis dengan

30 Ibid., 246.

(28)

20

pola pikir deduktif yakni menggunakan pola pikir yang berpijak pada

teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian dikemukakan

berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.32 Pola pikir ini berpijak pada teori-teori akad Mukhabārah dan hukum Islam kemudian dikaitkan

dengan fakta di lapangan tentang sistem paron sawah bersyarat di Desa

Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang Madura.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mempermudah pemahaman dan pembahasan terhadap

permasalah yang diangkat, maka pembahasannya disusun secara sistematis,

sesuai tata urutan dari permasalahan yang ada:

Bab pertama, merupakan pendahuluan dijelaskan tentang latar

belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.

Bab kedua, penulis menjelaskan secara teoritis mengenai tinjauan

umum kerja sama dalam ruang lingkup lahan pertanian dalam hukum Islam

dalam bab ini meliputi definisi dan dasar hukum kerjasama lahan pertanian

rukun dan syarat kerjasama lahan pertanian, obyek kerjasama lahan pertanian

macam-macam kerjasama lahan pertanian.

Bab ketiga, membahas hasil penelitian mengenai praktik tejadinya

sistem paron bersyarat dan Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem

Paron Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten

(29)

21

Sampang Madura. Dalam bab ini meliputi: pemilik sawah, pengelola, pemilik

toko pertanian dan tokoh masyarakat Desa Banyuates. Kemudian dijelaskan

bagaimana praktek sistem paron sawah bersyarat yang menjadi inti

permasalahan ini.

Bab keempat, membahas analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Praktik Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan

Banyuates Kabupaten Sampang Madura. Dalam bab ini meliputi:

pelaksanaan kerjasama atau paron, analisis terhadap akad dan penerapan

syarat dalam kegiatan tersebut.

Bab kelima, merupakan bab penutup yang memuat tentang

kesimpulan dan saran.

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG KERJASAMA (MU’ƖMALAH) DALAM

ISLAM

A. Pengertian Kerjasama (Mu’Ɨmalah)

kerjasama merupakan istilah yang sering digunakan oleh orang- orang

dalam melakukan usaha bersama untuk mencari keuntungan yang akan

diperoleh berdasarkan kesepakatan antara dua belah pihak yang mengikatkan

dirinya dalam suatu perjanjian.33

B. Macam- Macam Kerjasama (Mu’Ɨmalah)

1. Mushārakah (Syirkāh)

a. Definisi Syirkāh

Syirkāh adalah suatu akad tentang perjanjian atau lebih untuk

bekerjasama dalam suatu kegiatan usaha, dimana modal dan

keuntungan dimiliki oleh dan dibagi besrsama kepada pihak yang

berserikat.34

b. Dasar hukum Syirkāh

Syirkāh merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al-qur’an,

Hadis dan Ijma’35. Dasar dari alqur’an antara lain:

ايا ُِ ع يا ي ِ اي ِإي عبي عي عبي ِغ ي ط ْاي ِيًارِكي ِإ

ي. ي ي ِق يِ حِ

٤ض

33

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerja_sama, 1- 08- 2016.

34

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah 2010), 341. 35

(31)

23

Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. (QS. ShāQd: 24)36

c. Macam- Macam Syirkāh

1) Syirkāh Al-amlāk adalah kepemilikan oleh dua orang atau

lebih terhadap suatu barang tanpa melakukan akad Syirkāh.37

Al-amlāk atauSyirkah milik ini terbagi menjadi dua bagian:

a) Syirkāh ikhtiyāriyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan

bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang

yang berserikat.

b) Syirkāh jabāriyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan

bersama yang timbul bukan karena perbuatan

orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa

diterima oleh mereka.

2) Syirkāh ‘Uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang

terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam

modal dan keuntungannya. Berdasarkan penelitian para ulama

fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam

Islam Syirkāh ‘Uqud terbagi menjadi lima macam:38

a) syirkah al-‘inân. Yaitu penggabungan harta atau modal

dua orang atau lebih dalam modal, termasuk kerugian.

36

Departemen Agama RI, Mushaf Al- Quran dan Terjemah, (Jakarta: Al- Huda Kelompok Gema Insani 2005), 223.

37

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh..., 341. 38

(32)

24

Dengan demikian dalam Syirkāh‘inân seorang persero

tidak tidak dibenarkan hanya bersekutu dalam

keuntungan saja, sedangkan dalam kerugian ia

dibebaskan.

Dalam Syirkāh ‘inân tidak disyaratkan adanya

persamaan dalam modal, tasarruf (tindakan hukum),

dan keuntungan serta kerugian. Dengan demikian

modal yang diberikan kedua belah pihak boleh sama

dan boleh berbeda39

b) Syirkāh Mufawwadah

Syirkāh yang kedua ini dinamakan Syirkāh

Mufawwadah karena karena didalamnya terdapat unsur

persamaan modal, keuntungan, melakukan tasarruf dan

lain-lainnya.

c) Syirkāh Wujuh adalah suatu kerjasama antara dua orang

atau lebih untuk membeli suatu barang, tanpa

menggunakan modal. Mereka berpegang pada

penampilan dan kepercayaan para pedagang terhadap

mereka. Dengan demikian transaksi yang dilakukan

39

(33)

25

adalah dengan cara berutang dengan erjanjian tanpa

pekerjaan dan tanpa harta (modal).40

d) Syirkāh abdān adalah suatu bentuk kerjasama antara

dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu

pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya dibagi

antara mereka sesuai kesepakatan bersama.

d. Syarat- syarat Syirkāh

Syarat- syarat Syirkāh‘Uqud

a) Yang menjadi objek Syirkāhharus bisa diwakilkan.

b) Pembagian keuntungan harus jelas.

c) Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama

secara keseluruhan.

e. Syarat- syarat Syirkāh amwāl

a) Modal harus berupa moodal yang ada.

b) Modal harus berharga secara mutlak.41

2. Al- Muārabah

Muārabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara

pemilik modal dengan seseorang yang pakar dalam berdagang, didalam

fiqh Islam disebut dengan Mudārabah.42 3. Al- Ijārah

40

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh..., 350. 41

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh..., 354.

(34)

26

Ijārah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam

memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak,

atau menjual jasa perhotelan dan lain- lain.43

(35)

27

4. Al-Musāqah.

a. Pengertian Al-Musāqah.

Musāqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah

dimana pengelolah hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan

pemeliharaan sebagai imbalan, pengelolah berhak atas nisbah tertentu

dari hasil panen.44

Secara bahasa adalah bentuk mashdar al-mufā’ala dari asal

kata “as- Saqyu “. Ulama’ madinah menyebutnya dengan nama al-

mu’āmalah, bentuk mashdar mufā’ala lebih diutamakan untuk

digunakan, karena unsur yang dominan di dalam aqad Al-Musāqah

adalah as- Saqyu, (penyiraman/pengairan).45

Menurut etimologi Al-Musāqah adalah salah satu bentuk

penyiraman. Orang madinah menyebutnya dengan istilah mu’āmalah.

Akan tetapi istilah yang lebih dikenal adalah Musāqah. Sedangkan

menurut para jumhur ulama’ Musāqah adalah menyerahkan pohon

yang telah atau belum ditanam dengan sebidang tanah kepada

seseorang yang menanam dan merawat tanah tersebut (seperti

menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan

bagian yang disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya

adalah untuk pemiliknya.46

(36)

28

1) Dasar Hukum Musāqah

Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin

Abu Thalib R.a. bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk

Khaibar sebagai pengelolah dan dan pemelihara atas dasar bagi hasil.

Hal ini lanjutkan oleh Abu Bakar Umar, Ali serta keluarga- keluarga

mereka sampai hari ini dengan rasio sepertiga dan seperempat. Semua

telah di lakukan oleh Khulafa’ al Rasyidin pada zaman

pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan

tetapi tidak seorangpun yang meyanggahnya. Berarti ini adalah ijma’

sukuti (konsensus dari umat).

Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah

memberikan tanah dan tanaman kurma di khaibar kepada yahudi

khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana

mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu

dari hasil panen.47

(37)

29

2) Rukun Musaqah

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun

dalam akad Musāqah adalah ija>b dari pemilik tanah perkebunan,

qabul dari pengelolah, dan pekerjaan dari penggarap.48 Adapun

jumhur ulama’ fiqh yang terdiri dari ulama’ Malikiyah, Syafi’

iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun Musāqah ada lima,

yaitu:

a) Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.

b) Tanah yang dijadikan objek Musāqah.

c) Jenis usaha yang akan dilakukan pengelolah.

d) Ketentuan mengenai pembagian hasil Musāqah.

e) Sighat} (ungkapan) ija>b dan qabu>l.49

3) Syarat Musāqah

Adapun syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh masing-

masing rukun sebagai berikut:

a) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus

orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh)

dan berakal.

b) Objek Musāqah yaitu harus terdiri dari pepohonan yang

mempunyai buah. Dalam menentukan objek Musāqah ini

terdapat perbedaan pendapat ulama’ fiqh. Menurut Ulama’

(38)

30

Hanafiyah, yang boleh menjadi objek Musāqah adalah

pepohonan yang berbua seperti kurma, anggur, dan terong.

Akan tetapi, ulama’ Hanafiyah mutaakhirin menyatakan,

Musāqah juga pada pepohonan yang tidak mempunyai buah,

jika itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah,

menyatakan bahwa yang menjadi objek Musāqah adalah

tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan

anggur dengan syarat bahwa: akad Musāqah itu dilakukan

sebelum buah itu layak dipanen, tenggang waktu yang

ditentukan jelas, akadnya dilakukan setelah tanaman itu

tumbuh, dan pemilik perkebunan tidak mampu untuk

mengolah dan memelihara tanaman itu.50

c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada pengelolah setelah

akad berlangsung untuk dikelolah, tanpa campur tangan

pemilik tanah.

d) Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak

mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat,

baik dibagi dua, dibagi tiga dan sebagainya. Menurut pendapat

As- Syafi’i yang terkuat, sah melakukan Musāqah pada kebun

yang telah mulai berbuah, tapi buahnya belum bisa dipastikan

akan baik (belum matang).

(39)

31

e) Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir

sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari

ketidakpastian. Akan tetapi menurut Abu Yusuf dan

Muhammad Ibn Al- Hasan As- Syaibani (dua tokoh

Hanafiyah), bahwa penetapan jangka waktu itu bukanlah

merupakan suatu keharusan dalam Musāqah, tapi dipahami

sebagai suatu cara yang terbaik, karena musim buah suatu

tanaman dapat dimaklumi sesuai dengan kebiasaan yang ada.

Kalaupun ada kekeliruan dalam memperkirakan musim

berbuah suatu tanaman, itu hanya sedikit. Lebih jauh Ulama’

Hanafiyah berpendapat bahwa penentuan waktu dianggap

kurang baik. Bahkan tidak ditentukan waktunya dipandang

sebagai suatu kebaikan (istihsan) bagi masyarakat yang

melakukan perjanjian Musāqah, karena boleh jadi masa

berbuah sebuah tanaman berbeda setiap tahunnya.51 4) Perbedaan Musāqah dengan Muzāra’ah

Ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan

mendasar antara Musāqah dengan Muzāra’ah. Perbedaan yang

dimaksud antara lain:52

a) Jika salah satu pihak dalam Al- Musāqah tidak mau

melaksanakan hal- hal yang telah disetujui dalam akad, maka

51 Nasrun Haroen, Fiqh.., 285. 52

(40)

32

yang bersangkutan boleh dipaksa untuk melaksanakan

0kesepakatan itu. Berbeda dengan akad Al- Muzāra’ah bahwa

jika pemilik benih tidak mau kerjasama itu dilanjutkan

sebelum benih disemaikan, maka ia tidak boleh dipaksa.

Kebolehan memaksa salah satu pihak yang enggan untuk

melaksanakan persetujuan yang telah disepakati dalam akad

Al- Musāqah, karena menurut jumhur ulama’ selain ulama’

Hanabilah, akad Al- Musāqah bersifat mengikat kedua belah

pihak. Akan tetapi, dalam akad Al- Muzāra’ah, sifatnya baru

mengikat jika benih sudah disemaikan. Jika benih belum

disemaikan maka pemilik benih boleh saja untuk membatalkan

perjanjian itu. Namun demikian ulama’ Hanabilah menyatakan

akad Musāqah dan Muzāra’ah merupakan akad- akad yang

masuk kedalam kategori yang tidak mengikat kedua belah

pihak, karenanya boleh saja salah satu pihak yang melakukan

akad membatalkannya.53

b) Penentuan tenggang waktu pada akad Al- Musāqah, menurut

Ulama’ Hanafiyah bukanlah sebagai salah satu syarat dalam

akad Al- Musāqah. Pendapat ini mereka dasarkan atas kaidah

istihsan. Atas dasar itu penentuan lamanya akad Musāqah itu

berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.

Sedangkan dalam Muzāra’ah, dalam penentuan tenggang

53

(41)

33

waktu terdapat dua pendapat dalam mazhab Hanafi; pertama

berpendapat disyaratkan tenggang waktu, dan kedua tidak

disyaratkan trnggang waktu, tetapi tetapi serahkan pada

kebiasaan adat setempat. Pendapat kedua inilah yang

merupakan fatwa yang terkuat dalam mazhab Hanafi.

c) Jika tenggang waktu yang disetujui dalam akad Musāqah

berakhir, akad tetap dapat dilanjutkan, tanpa imbalan terhadap

petani penggarap. Petani penggarab berkewajiban melanjutkan

pekerjaannya, sampai pohon yang ditanam itu berbuah, tetapi

untuk pekerjaan ini petani penggarap tidak berhak menerima

upah, karena pekerjaan sampai tanaman berbuah dan dipanen

adalah kewajiban pihak petani penggarap. Sedangkan dalam

akad al- Muzāra’ah, bila tenggang waktu telah habis dan

tanaman juga belum berbuah (dipanen), maka petani

penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak

menerima upah dari hasil bumi yang akan dipetik dalam akad

al- Muzāra’ah itu.54

5) Hukum- hukum Yang Terkait Dengan Al- Musāqah

Akad Musāqah, menurut pada Ulama’ fiqh adakalanya

shahih, jika memenuhi rukun dan syaratnya, dan adakalanya fasid,

apabila salah satu syaratnya dari akad Musāqah tidak terpenuhi.

(42)

34

Adapun hukum- hukum yang berkaitan dengan akad

Musāqah yang shahih adalah.55

a) Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan

tanaman, pengairan kebun, dan segala yang dibutuhkan untuk

kebaikan tanaman itu, merupakan kewajiban petani penggarap.

b) Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua

belah pihak (pemilik dan petani).

c) Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen), maka

masing- masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.

d) Akad Musāqah yang telah disepakati mengikat kedua belah

pihak, sehingga masing- masing pihak tidak dapat

membatalkan akad itu, kecuali ada udzur yang membuat tidak

mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu.

Atas dasar itu, pemilik perkebunan berhak untuk memaksa

petani untuk bekerja, kecuali ada udzur pada petani tersebut.

e) Petani penggarap tidak boleh melakukan akad Musāqah lain

dengan pihak ketiga, kecuali atas keizinan dari pemilik

perkebunan (pihak pertama).

Akad Musāqah bisa fasid apabila:56

55 Ibid. 56

(43)

35

a) Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu pihak

yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad

itu.

b) Mensyaratkan jumlah tertentu dalam hasil panen bagi salah

satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau

bagian petani, misalnya berbentuk uang, sehingga makna al-

Musāqah sebagai serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.

c) Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja dikebun itu,

bukan petani penggarap saja.

d) Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban

petani penggarap, karena dalam akad Musāqah pekerjaan

sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan

dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman

bukan memulai tanam.

e) Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang merupakan bukan

kewajiban petani atau pemilik.

f) Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara

dalam tenggang waktu yang disepakati tanaman belum boleh

dipanen, menurut kebiasaan adat setempat dan adat kebiasaan

tanaman yang dipilih.

Jika akad al- Musāqah fasid, maka akibat hukumnya

adalah:

(44)

36

b) Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun,

sedangkan pengelolah tidak menerima apapun dari hasil kebun

itu, tetapi ia hanya berhak upah yang wajar yang berlaku di

daerah itu (ajru al-mitsil).57

6) Berkhirnya akad al- Musāqah

Menurut para ulama’ fiqh, akad al- Musāqah berakhir

apabila:

a) Tenggang waktu yang disepakati telah habis.

b) Salah satu pihak meninggal dunia.

c) Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak bisa

melanjutkan akad.

7) Hikmah al- Musāqah

Ada orang kaya yang memilik tanah yang ditanami pohon

kurma dan pohon- pohon yang lain, tetapi dia tidak mampu untuk

menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan

yang menghalanginya. Maka Allah yang maha bijaksana

memperbolehkan orang itu untuk mengadakan perjanjian dengan

orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing

mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada

dua hikmah yaitu:58

57 Ibid., 125.. 58

(45)

37

a) Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang- orang miskin

sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.

b) Saling tukar manfaat diantara manusia.

Disamping itu ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu

karena pemelihara telah berjasa hingga pohon menjadi besar.

Kalau seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami,

tentu dapat mati dalam waktu singkat.59 a. Mukābah dan Muzāra’ah

Mukhabārah dan Muzāra’ah ialah kerjasama antara pemilik

sawah, tanah atau ladang dengan petani atau pengelola sawah untuk

dikelola dan menghasilkan keuntungan pada kedua belah pihak,

sedangkan benihnya berasal dari pengelolah, dengan imbalan bagian

tertentu (persentase) dari hasil panen sesuai kesepakatan kedua belah

pihak.60

Dalam hadist Rasulullah Saw dinyatakan:

ع

يط

ي

ِ

ي

ها

يع

ي

ي

ِب

يق

يع

ي

ي:

ُقف

ي

ي

ع

ي

ِ م ا

ي

ك

ي

ِِ

ي

ب ُما

يِإف

ي

ع

ي

ي

ّص

ي

ها

ي

ِ ع

ي

س

ي

ي

ِ ع

ي

ِ ب ُما

ي

قف

ي

ي:

خ

ي

ع

ي

كِ ِب

ي

ِع

يبا

يع

ي

ي

ِ ا

ي

ص

ي

ُها

ي

ِ ع

ي

س

ي

ي

يِإ

يق

ي

ي:

عي

ُك ح

ي

خ

ي

رخ

ي

يِ

ي

ي

ع خ

ي

ح خ

ي

ُع

يُ

اي

س

يييَ

Artinya: “Dari Thaus bahwa ia suka ber Mukhabārah. Berkata

Umar kepadanya: Ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan Mukhabārah ini, mereka akan mengatakan bahwa Nabi Saw

telah melarang Mukhabārah, Thaus berkata: telah

menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh

59 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh.., 113.

(46)

38

mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw tidak melarang Mukhabārah, hanya saja beliau berkata: bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, itu lebih baik baginya dari pada mengambil manfaat dari saudaranya dengan

yang telah dimaklumi” (H.R. Muslim).61

1) Perbedaan al- muzāra’ah dengan al- mukhābarah

a) Muzāra’ah

Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan pengelolah

dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut

kesepakatan bersama, sedangkan benih tanaman berasal dari

pemilik tanah.

b) Mukhabārah

Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan pengelolah

dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara keduanya

menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya

dari pengelolah tanah.62

2) Hukum Mukhabārah

Dalam membahas hukum Mukhabārah terjadi perbedaan

pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah dan Zufar Ibnu Huzail,

para pakar fiqih hanafi berpendapat bahwa akad Mukhabārah

61 Abi Al- Husain Muslimbin, al- Hajjaj, al- Qusairy, al- naysaburu, 19991. Shohih Muslim,

(Bairut Daar al- Khutb al- Ilmiyah), 1178.

62 Abdur Rahman Ghazalli Dkk, Fiiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

(47)

39

tidak boleh. Menurut mereka, akad Mukhabārah dengan bagi

hasil, seperti seperempat dan seperdua, hukumnya batal.

Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzail adalah

sebuah hadist berikut:

يِ بي ِب جي عي ِس ي ا ُي.ِ بي ُمايِ عي ي س يِ عيُهايىصيِهايُ س ي

ِهاي ع

َ Artinya: “Rasulullah Saw: yang melarang melakukan al- Mukhabārah”. (H.R. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah)63

Menurut mereka, obyek akad dalam al- Mukhabārah belum

ada dan tidak jelas kadarnya, karna yang dijadikan imbalan untuk

petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dum) dan

tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan

dibagi, sejak semula tidak jelas. 64 Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari

hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-jahalah

inilah yang membuat akad ini tidak sah.

Adapun perbuatan Rasulullah Saw dengan penduduk

Khaibar dalam hadist yang diriwayatkan al-jamaah (mayoritas

pakar hadist), menurut mereka, bukan merupakan akad al-

Mukhabārah, yakni berbentuk al-kharaj al-muqasamah yaitu

ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah

setiap kali panen dalam prosentase tertentu. Ulama Syafi’iyah

(48)

40

juga berpendapat bahwa akad al- Mukhabārah tidak sah, keculai

apabila al- Mukhabārah mengikut pada akad al-musaqah

(kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola

pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti di bagi

menurut kesepakatan bersama.

Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad Ibn

Al-hasan Asy-syaibani, dan ulama Azh-zhahiriyah berpendapat

bahwa akad al- Mukhabārah hukumnya boleh, karena akadnya

cukup jelas, yaitu menjelaskan petani sebagai serikat dalam

pengelolahan sawah.

Menurut mereka, dalam sebuah riwayat di katakan bahwa:

ِ ع

يِبا

ي

ِ

ع

ي

ُها

يع

ي

ي

ُ س

ي

ِها

ي

ص

ي

ُ ا

يع

ِي

ي

ّس

يع

ي

ي

خ

ي

طشب

ي

يِ

يِ

يث

ي

ي

ع

.

س ي ا ُ

َ

Artinya: “Rasulullah Saw melakukan kerjasama dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya di bagi antara Rasul

dengan para peakerja”. (HR. Muslim)65

Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling

membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Hal ini

bertujuan untuk saling tolong menolong sesama manusia dan

sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:

ي

يا

ي

اي

ا

ي

ا ِح

ي

ِئ عش

ي

ِ ا

ي

ي

ا

ي

ش ا

ي

ا حْا

ي

ي

ا

يْا

ي

ي

ا

ي

ِئاقْا

ي

ي

ا

ي

نِ

يْا

ي

ا حْا

ي

غ

ي

ًا ف

يِ

ي

ِ ِب

ي

ي

ً ا ِ

ي

ي

ا ِإ

ي

ْ ح

ي

ا طص ف

ي

ي

ا

ي

ُ ِج

ي

ُ ش

يق

ي

ْي

ُك ص

ي

ِ ع

ي

ِ ِجس ْا

ي

65 Mohammad bin Ismail al- Bukhari, shahih al-Bukhari, Juz 6, aplikasi Gamawi al- Kalim. No

(49)

41

ِا حْا

ي

ْي

ا ع

ي

ي

ا ع

يع

ي

ِِْا

ي

ي

ْق ا

يي

ي

ا

ي

ا ع

يع

ي

ِ ْثِإْا

ي

ي

ِ ا عْا

ي

ي

ا ُق ا

يا

يِإ

يا

ي

ش

ي

قِعْا

ِ

Artinya: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu

melanggar syi’ar- syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan- bulan haram, jangan (mengganggu) binatang- binatang had-ya, dan binatang- binatang qala-id, dan jangan (pula) mengganggu orang- orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah Haji. Maka bolehlah berburu, dan jangan sekali- kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum. Karena mereka menghalang- halangi kamu dari masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya”.66

Mereka yang membolehkan akad Mukhabārah berdasarkan

pendapat bahwa Mukhabārah merupakan akad syirkāh antara

modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana akad muārabah yang

hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang mendesak

(dibutuhkan). Akad Mukhabārah tersebut di perbolehkan

sebagaimana akad ijarah dari segi kerja sama dalam hal

penggarapan tanah. Adapun upah dari muzāra’ah adalah di

tentukan dari hasil pengelolaan tanah tersebut.67

Dasar hukum Mukhabārah yang di gunakan para ulama

dalam menetapkan hukumnya adalah sebuah hadist yang di

riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas R.A:

66 Departemen Agama RI, Mushaf Al- Quran dan Terjemah, (Jakarta: Al- Huda Kelompok Gema

Insani 2005), 62

(50)

42

ع

ي ِح ي ي س يِ عيُهاي صي ِ اي ِإي:ي قي عيُهاي ِ يِ عيِ بايِ

ع ا ا

ي

ي ع في اي ي كي ي:يِِ قِبي ع ِبي عبيقُف ي ي ي ِ

في ب ي ِإفي خ ي ح ِي ا

يَ س ي

اي ا ُي يكِس

Artinya: “dari Ibn Abbas, ia berkata, sesungguhnya Nabi Saw. Tidaklah mengharamkan bermuzara’ah, bahkan

beliau menyuruh supaya yang sebagian menyayangi

sebagian lainnya, seraya beliau bersabda, “barang siapa

yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, dan jika ia tidak

mau, bolehlah di tahannya saja tanah itu”. (H.R Bukhari

dan Muslim).68

Selain itu dalam kitab Subhul al-salam dijelaskan bahwa

larangan tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah Nabi

dan para sahabatnya hijrah ke madinah, merekapun sangat

membutuhkan pekerjaan tersebut dan sangat bermanfaat untuk

keberlangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, hadist

tentang larangan Mukhabārah tersebut memiliki batasan, yakni

jika dalam perjanjiannya terdapat peraturan yang menekankan

salah satu pihak, sehingga memberatkannya. 69

3) Rukun Mukhabārah dan Muzāra’ah

Rukun merupakan suatu yang harus ada, tanpa adanya

rukun maka Mukhabārah tidak akan di bilang sah, hal tersebut

merupakan prinsip mendasar yang harus di penuhi dalam

Mukhabārah seperti ija>b dan qabu>l dalam masalah jual beli, tanpa

68 Abi Al- Husain Muslimbin, al- Hajjaj, al- Qusairy, al- naysaburu, 19991. Shohih Muslim,

(Bairut Daar al- Khutb al- Ilmiyah), 2162.

(51)

43

adanya ija>b qabu>l jual beli itu tidaklah sah, karena ija>b qabu>l

merupakan rukun jual beli.

Demikian juga dalam masalah Mukhabārah tentulah ada

unsur-unsur (rukun) yang dapat menyebabkan sahnya suatu

perjanjian Mukhabārah, dalam hal ini ulama berbeda pendapat

dalam menetapkan rukun-rukun tersebut pendapat itu antara lain:

Menurut ulama Hanafiyah:

Menurut ulama Hanafiyah adalah ijāb dan qābul yaitu

pemilik lahan berkata kepada pihak pengelolah, “aku serahkan

lahan ini kepadamu sebagai al- Mukhabārah dengan bagian

sekian.” Lalu pihak pengelolah berkata, “aku terima” atau

perkataan- perkataan yang menunjukkan bahwa ia menerima dan

menyetujuinya. Apabila ijaāb dan qābul ini sudah terjadi, maka

berlakulah akad al- Mukhabārah di antara keduanya.70 Akan

tetapi, sebagian ulama Hanafi menyatakan bahwa sahnya rukun

Mukhabārah ada 4 macam yaitu:

a) Ada tanah yang di kelola

b) Pekerjaan yang di lakukan pengelola

c) Benih

d) Alat pertanian

Menurut ulama Malikiyah:

(52)

44

Adapun pendapat ulama Malikiyah harus menabur benih di

atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam

tumbuhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat

yang paling kuat, perkongsian harta termasuk Mukhabārah dan

harus menggunakan sighat.

Menurut ulama Hanabila:

Ulama Hanabila berpendapat bahwa Mukhabārah tidak

memerlukan qābul secara lafadz, tetapi cukup dengan

mengerjakan tanah, itu sudah termasuk qābul.71

Jumhur ulama’, yang membolehkan akad Mukhabārah,

mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga

akad dianggap sah. Rukun Mukhabārah menurut mereka adalah:72

a) Pemilik tanah

b) Petani penggarap

c) Obyek Mukhabārah, yaitu antara manfaat dengan hasil kerja

petani.

d) Ijāb (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik sawah)

e) Qābul (pernyataan menerima tanah untuk dikelolah dari

petani)

4) Syarat-syaratMukhabārah

(53)

45

Adapun syarat Mukhabārah menurut jumhur ulama antara

lain, ada orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah

yang akan di kerjakan, hasil yang akan di panen, dan yang

menyangkut jangka waktu berlakunya akad.73

a) Syarat orang yang berakat harus baligh dan berakal. Imam Abu

Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama

Hanafiyah tidak mensyar

Gambar

  Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Desa Banyates
Tabel 1.3 Mata Pencaharian Dan Jumlahnya
  Tabel 1.4 Mekanisme Akad Paron di Desa Banyuates
Tabel 1.5  Biaya Pengelolaan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diperoleh pH hidrolisis terbaik adalah 5,5 sebesar 12.850 g/mol, yang merupakan variasi pH yang menghasilkan berat molekul minimum karena

4 (a) The working capital cycle illustrates the changing make-up of working capital in the course of the trading operations of a business:.. 1 Purchases are made on credit and the

Limbah kulit umbi ubi kayu dapat diolah menjadi produk makanan dodol yang dapat disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang relatif lama, sehingga penelitian ini

Aktivitas belajar siswa terhadap penggunaan model Berbasis Lingkungan dengan pemanfaatan media Video Compact Disk (VCD) pada materi hewan langka dan tidak langka

1) Pangetrapane piwulangan apresiasi cerkak, mligine pemahaman ngenani unsur-unsur intrinsik cerkak kanthi modhel piwulangan kooperatif tipe jigsaw wis selaras karo

Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus

Pada kegiatan inti pelajaran, guru memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran Fisika dengan Kompetensi Dasar Menerapkan gerak parabola dengan menggunakan

Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.. Hum selaku pembimbing