LANDASAN TEORI
A. PAJAK DAN ADMINISTRASI PUBLIK
1. Pajak dan Fungsi Pemerintahan
Pajak dan administrasi publik, khususnya administrasi
pembangunan, adalah dua hal yang saling terkait. Keterkaitan ini
merujuk pada tiga fungsi atau tujuan utama pemerintahan, yaitu : fungsi
alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilisasi ekonomi.20 Pentingnya pajak dalam hubungannya dengan administasi pembangunan
menggerakkan banyak kajian, utamanya pada studi tentang hubungan
antara kualitas sistem pemajakan dan pertumbuhan ekonomi,21 serta studi yang diarahkan untuk mengestimasi beban kepatuhan pajak (tax
compliance burden/cost) yang ditanggung oleh berbagai sektor kegiatan
ekonomi.22
20
Stephen R. Lewis, Jr, Taxation for Development: Principles and Applications, (New York, Oxford University Press: 1984).
21
R. Easterly and S. Rebelo, “Fiscal Policy and Economic Growth: Empirical Investigation,” Journal of Monetary Economics, 3 (1996), hal. 417-58; dan K. Farr, et al., “The Investment Economic Growth Nexus Reconsidered,” Proceedings of the Western Economic Association, (June 1996)
22
Kaitan pajak dengan tiga fungsi atau tujuan utama pemerintahan
(yang meliputi alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilisasi
ekonomi) tercermin dari peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun sebagai
instrumen pembangunan nasional. Meskipun pajak mengurangi
pendapatan riil, implikasi pemajakan dalam mempengaruhi perilaku
ekonomi adalah lebih penting, misalnya untuk mendorong keputusan
pelaku swasta maupun pemerintah untuk menabung, mengkonsumsi, atau
mengalokasikan sumberdaya yang digunakan.
Dari sudut pandang distribusi pendapatan, secara umum semua
negara cenderung memberlakukan pajak progresif yakni bahwa individu
atau wajib pajak yang mempunyai pendapatan lebih tinggi membayar
pajak pendapatan yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan individu
atau wajib pajak lain yang mempunyai pendapatan lebih rendah. Dengan
demikian, sistem pemajakan progresif dianggap mampu untuk digunakan
sebagai instrumen distribusi dalam pembangunan. Adapun, peran sistem
pemajakan dalam fungsi stabilisasi ekonomi adalah untuk menstabilkan
tingkat pendapatan dan menghindarkan fluktuasi yang tak terkendali dari
aggregat demand sebagai respon terhadap perubahan-perubahan
ekonomi oleh kejutan eksternal maupun internal.
Sistem pemajakan adalah suatu metode atau cara mengelola utang
Sistem pemajakan suatu negara secara garis besar terdiri dari tiga unsur
sub-sistem, yang terdiri dari tax policy, tax law, dan tax
administration.23 Meskipun ketiga sub-sistem ini secara konseptual mempunyai makna tersendiri, namun dalam prakteknya implikasi dari
kinerja ketiganya saling terkait.
Dalam teori pemajakan optimal tradisional atau normatif
senantiasa terdapat upaya untuk mendapatkan suatu kondisi sistem
pemajakan yang mampu meminimalisasi excess burden (welfare cost)
dengan berlandaskan pada visi “Apa yang terbaik bagi masyarakat”
(what is the best for the community).24 Hal tersebut sangat berbeda dengan latar belakang teori pemajakan positif yang berlandaskan pada
visi bahwa: “They are not interested in what is best for the community in
contrast, they are regarded with what is the best for actors in the
political process and how a tax system can constrain the self seeking
behaviour of those who get to design it”.25 Artinya, pemajakan positif lebih mengedepankan kepentingan para pelaku dalam proses politik dan
23
Bo Norrman Bo and Hakan Malmer, “A National Report of Administrative and Tax Compliance Costs of Taxation in Sweden”, dalam Administrative and Tax Compliance Costs of Taxation (Rotterdam, Netherland: Kluwer Law and Taxation Publishers: 1989). Dalam kaitan dengan tax administration, Mansury merincinya menjadi institution (lembaga), persons who work there (para pegawai), dan procedure (prosedur perpajakan). Lihat, Mansury, The Indonesia Income Tax: A Case Study in Tax Reform (Rotterdam: Erasmus Universiteit, 1992), hal. 167.
24
Asuman Altay, Op. cit., hal. 2. 25
bagaimana sistem pajak dapat membatasi perilaku mencari kepentingan
sendiri dari para pembuat sistem pajak tersebut.
Menurut Altay, teori pemajakan optimal bertitik tolak dari konsep
Optimalitas Pareto yang mengatakan bahwa: “Pareto Optimal is meaning
that is impossible to reallocate resources such that one consumer can be
made better off without making at least one other consumer worse-off”.26 Melalui pernyataan tersebut, Altay menggambarkan suatu konsep
mendasar dari pemajakan optimal, yaitu adalah sesuatu yang mustahil
untuk mengalokasikan sumber daya sedemikian rupa sehingga seseorang
dapat menjadi lebih makmur tanpa menyebabkan orang lain lebih
menderita. Dengan kata lain, untuk menjadikan seseorang menjadi lebih
makmur, maka harus ada orang lain yang berkorban atau menjadi
berkurang kemakmurannya.
Berbagai literatur pemajakan optimal normatif menyebutkan
bahwa statement tersebut di atas (yakni, menjadikan seseorang lebih
makmur dengan cara menjadikan orang lain berkurang kemakmurannya)
merupakan suatu kondisi “first best Pareto Optimal” yang diartikan
bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk mengalokasikan sumber
daya dari masyarakat berkecukupan kepada masyarakat berkekurangan
demi pencapaian kondisi kesejahteraan bersama atau social welfare
26
maximum.27 Dengan kata lain, dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur, pemerintah diperkenankan untuk memberdayakan
fungsi alokasi, diantaranya melalui pungutan pajak. Sejalan dengan teori
the first best Pareto Optimal tersebut, Altay mendefinisikan pengertian
pajak sebagai suatu biaya dalam suatu statement bahwa: “…the sacrifice
of income from the payment of the tax itself”.28
Terkait dengan pendapat tersebut di atas bahwa walaupun
pungutan pajak dibenarkan pengenaannya, pemerintah harus
mengupayakan sistem pemajakan yang efisien dan tidak menimbulkan
distorsi atau lebih dikenal dengan the second best Pareto Optimal
sebagaimana dikemukakan oleh Altay bahwa: “The second best analysis
is concerned with the efficiency costs of distorting taxation”.29 Teori the second best Pareto Optimal inilah yang menjadi titik tolak dari
dilakukannya serangkaian analisis dan pembelajaran oleh para pakar
dalam rangka aplikasi teori pemajakan optimal normatif dalam
administrasi pajak yang efisien.30 Pendapat perlunya sistem pemajakan yang mampu meminimalisasi excess burden ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Sandmo terhadap kriteria efisiensi dan
keadilan pemungutan pajak, yaitu bahwa pemajakan optimal bertitik
27
R. W. Tresch, Public Finance: A Normative Theory (Business Publications, Inc., 1981), hal. 46.
28
Asuman Altay, Op. cit., hal. 20. 29
Ibid., hal. 4. 30
tolak dari kriteria efisiensi dalam rangka meminimalisasi aggregate dead
weight loss sebagaimana diungkapkan dalam pendapatnya bahwa: “The
optimal taxation (or an optimal tax system) is the one which minimises
the aggregate dead-weight loss for any given tax revenue or level of
public expenditure”.31
Dengan demikian, pemerintah perlu mengupayakan sistem
pemajakan yang efisien. Biaya-biaya yang dikeluarkan wajib pajak dalam
memenuhi kewajibannya perlu ditekan serendah mungkin oleh otoritas
penyelenggara negara, karena berpotensi menjadikan wajib pajak tidak
patuh.32
2. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat (Self-assessment)
Conyers dan Hills berpendapat pemberdayaan merupakan salah
satu karakteristik utama pembangunan sosial, yakni pembangunan sosial
sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri.33 Pembangunan sosial yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan sosial adalah upaya
terencana dan terarah yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan
31
Alfred Sandmo, “Optimal Taxation: An Introduction to the Literature” dalam Journal of Public Economics, vol. 6, 1976, hal. 37.
32
Richard A. Musgrave and Peggy B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice (Tokyo: McGraw-Hill, Kosaido Printing Co. Ltd., 1980), hal. 302.
33
pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan
mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial.
Ciri utama pembangunan sosial adalah holistik-komprehensif
yang berarti bahwa setiap bentuk layanan sosial yang diberikan
senantiasa menempatkan penerima layanan (beneficiaries) sebagai
manusia, secara individu maupun kolektivitas, yang tidak terlepas dari
sistem lingkungan sosiokulturalnya. Pandangan Conyers dan Hills di atas
mencerminkan kondisi bahwa pembangunan sosial berorientasi dan
berwawasan ke depan searah dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat. Pembangunan sosial menekankan pada fungsi sosial (social
functioning) manusia dalam kehidupan sosial masyarakatnya dengan
mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift), di antaranya, dari
masalah ke kebutuhan, dari stigmatisasi ke hak asasi manusia, dari
penerima positif ke pelaku aktif, dan dari bantuan sosial ke
pemberdayaan.34
Konsep pemberdayaan muncul sebagai strategi pembangunan
sosial yang menempatkan penerima layanan bukan semata-mata “klien”,
melainkan “partisipan” dan “pelaku aktif” pemenuhan kebutuhan
masyarakat sendiri. Dengan menguatnya hembusan demokrasi dan
semangat civil society, konsep pemberdayaan masyarakat (community
Pembangunan sosial yang semula didominasi negara kini
dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi
sosial. Kegagalan pendekatan pembangunan yang berporos pada
pertumbuhan ekonomi, berwajah sentralistis, dan bersifat top-down telah
menumbuhkan kesadaran sekaligus tekad untuk memasukkan dimensi
pemberdayaan ke dalam strategi pembangunan nasional. Masyarakat
yang menjadi sasaran pembangunan, yang tadinya tidak dilibatkan
bahkan diasingkan dari proses pembangunan, kini dipandang sebagai
aktor sentral yang memiliki potensi dan kemampuan dalam
mengembangkan kualitas hidupnya.
Meskipun, secara ekonomi jangka pendek pembangunan sosial
adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial politik makro
jangka panjang pembangunan sosial dapat menjadi investasi sosial yang
menguntungkan. Pembangunan sosial dapat meredam kesenjangan dan
kecemburuan sosial yang merupakan prasyarat tercapainya pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan yang berkesinambungan.
Dalam rangka memberikan layanan sosial kepada warganegara
sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap rakyat yang memilihnya,
salah satu wewenang yang diberikan publik kepada pemerintah adalah
memungut pajak dari rakyat. Di Eropa Barat, dasar filosofi tanggung
jawab sosial dapat diwujudkan dalam sistem perpajakan yang progresif.
34
36-Rasio pajak (tax ratio) di negara-negara tersebut dapat mencapai rentang
angka 40-50% dari produk domestik bruto, suatu jumlah kontribusi yang
relatif besar dari golongan yang produktif untuk anggaran negara.
Anggaran yang relatif besar dari pajak ini selanjutnya disalurkan untuk
berbagai kegiatan dan program pemerintah yang dapat memberikan
manfaat lebih besar kepada golongan miskin.
Dengan demikian, perekonomian dapat berkembang secara
bersama dan bergerak naik secara kolektif seperti sebuah spiral yang
bergerak ke atas. Selanjutnya, masalah sosial politik yang berakar dari
persoalan-persoalan ekonomi dapat diredam dengan implementasi
berbagai ragam kebijakan dan program untuk mewujudkan prinsip
tanggung jawab sosial untuk mencapai keadilan masyarakat (social
justice) yang lebih substansial dan lebih langgeng.35
Adapun terhadap perubahan paradigma partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, Osborne dan Gaebler mengajukan pemikiran yang
sama melalui konsep Reinventing Government.36 Konsep ini berupaya mengubah organisasi publik menjadi suatu entrepreneurial government
yang memberi penekanan pada produktivitas dan efisiensi penggunaan
sumber daya, diantaranya, yang terkait dengan perubahan paradigma
40.
35
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan (Jakarta: CIDES, 2002), hal. 64.
36
pemberdayaan masyarakat yang dinyatakan dengan kalimat
“Community-owned government, empowering than serving”.
Dalam rangka implementasi kebijakan perpajakan yang berdasar
pada prinsip pemberdayaan masyarakat, sistem self-assessment dipilih
oleh pemerintah sebagai sistem pemungutan pajak yang mulai
diberlakukan di Indonesia pada tahun 1984 yang menandai dimulainya
reformasi perpajakan di Indonesia. Secara konseptual, sistem
self-assessment yang diterapkan ini berpotensi menimbulkan masalah, yaitu
terjadinya perbedaan antara pengakuan pendapatan serta beban menurut
standar akuntansi yang berlaku umum dan pengakuan pendapatan serta
beban menurut peraturan perpajakan atau uniformity dan perbedaan
persepsi antara fiskus dan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan.
B. BIAYA DAN KEPATUHAN PAJAK
1. Biaya dan Kepatuhan dalam Self-assessment
Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment
menjadi self-assessment telah menggeser sebagian biaya yang berkaitan
dengan pajak dari pemerintah ke sektor swasta, atau dengan kata lain
biaya wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya meningkat
secara signifikan. Kalau sebelumnya wajib pajak tidak perlu repot
kesalahan penghitungan pajak, kini semua itu menjadi beban wajib pajak,
antara lain berupa biaya uang langsung yang dikeluarkan dalam
penghitungan pajak, pembayaran pajak, dan pelaporan pajak serta biaya
waktu untuk mengisi SPT (tax return).
Secara konseptual sistem self-assessment tidak berjalan mandiri,
karena harus didukung perangkat administrasi perpajakan yang telah
mengikuti prinsip-prinsip administrasi modern. Dalam tataran praktis,
upaya dari regulator untuk mengkonstruksi peraturan-peraturan yang
dibuat seadil dan sewajar mungkin tidak serta merta memberikan hasil
berupa meningkatnya voluntary tax compliance.
Tingkat kompleksitas peraturan dan implementasi dari peraturan
juga sangat berpengaruh. Secara kebetulan (atau mungkin memang ada
kaitannya) kedua hal tersebut, yakni kompleksitas peraturan dan
implementasi peraturan, berpengaruh terhadap Biaya Kepatuhan Pajak.
Misalnya, peraturan pajak yang kompleks dan memungkinkan multitafsir
memaksa wajib pajak untuk mengeluarkan biaya dan menghabiskan
waktu yang lebih banyak dalam memastikan kebenaran materiil dari
jumlah pajak terutang yang dihitung oleh wajib pajak. Di samping itu,
semakin besar tuntutan akan keakuratan perhitungan, semakin lengkap
(detail) pula administrasi yang harus dijalankan. Apabila hal itu
menggunakan tenaga ahli eksternal dalam menghitung pajak, maka biaya
untuk patuh pun semakin bertambah lagi.37
Selain itu, kerelaan untuk memenuhi peraturan perpajakan tidak
akan dapat dicapai apabila wajib pajak ternyata menghadapi kesulitan
untuk menguasai peraturan perpajakan karena kerumitan dan multitafsir
yang melekat pada peraturan tersebut. Dengan demikian, pemenuhan
peraturan perpajakan juga mensyaratkan suatu tingkat kompleksitas yang
rendah. 38 Slemrod menyatakan bahwa peraturan yang kompleks berpotensi membuat wajib pajak mendapat kesulitan untuk memenuhi
kewajiban pajaknya, sehingga membuat mereka harus mengorbankan
waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk urusan pajak. Sedangkan
peraturan yang sederhana mungkin tidak dapat memenuhi tujuan dari
pengenaan pajak sebagaimana yang diharapkan oleh negara
(pemerintah).39
Adapun, implementasi peraturan berkaitan dengan profesionalitas
dan kejujuran aparat pajak dalam melayani dan membantu para wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Paradigma sebagai
fasilitator dan pelayan masyarakat (wajib pajak) yang sudah dibebani
dengan sistem self-assessment, harus benar-benar dipahami, dihayati dan
37
Louis Kaplow, “How Tax Complexity and Enforcement Affect the Equity and Efficiency of the Income Tax”, National Tax Journal, 1996.
38
dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Jika yang terjadi
adalah sebaliknya, yaitu aparat mempersulit wajib pajak, berpikir dan
bertindak mencari keuntungan pribadi dengan memanfaatkan
(kompleksitas) aturan perpajakan dan mencari-cari kesalahan wajib pajak
dengan maksud memberikan sanksi, maka hal tersebut dapat
mengakibatkan peningkatan biaya kepatuhan pada wajib pajak.
Dari berbagai uraian di atas, terdapat suatu benang merah bahwa
kepatuhan pajak dipengaruhi oleh persepsi dan ekspektasi wajib pajak
terhadap peraturan perpajakan, tingkat kompleksitas peraturan serta cara
peraturan pajak tersebut diimplementasikan, dan seluruh faktor tersebut
berkaitan erat dengan Biaya Kepatuhan Pajak. Pola jalur hubungan
sistem pemajakan yang mencerminkan kompleksitas peraturan dan
implementasi peraturan serta pengaruhnya tehadap Biaya Kepatuhan
Pajak dan Kepatuhan Pajak tersaji pada Gambar II.1 berikut ini:
39
Gambar II.1.
Jalur Pengaruh Sistem Pemajakan terhadap Kepatuhan Pajak
Tax System
Tax Regulation Law Enforcement
Condition 1 Condition 1
Complex Simple, Fair, and Clear
High Cost Compliance Low Cost Compliance
Tax Compliance
Sumber: Wetzler (1993) diadaptasi oleh Peneliti.
Pertanyaan berikutnya yang timbul adalah mengenai tindakan
wajib pajak dan fiskus, khususnya tentang potensi biaya yang timbul dari
sistem self assessment tersebut. Mengacu pada gagasan Homans dalam
Teori Pertukaran Sosial, biaya dan kepatuhan merupakan nilai tukar
antara wajib pajak dan fiskus dalam trade off pemenuhan kewajiban
pajak.
Teori pertukaran sosial, yang merupakan teori psikologi sosial,
merupakan hasil dari suatu pertukaran. Premis ini merujuk pada asumsi
dasar psikologi perilaku dan ekonomi dasar bahwa reward memperkuat
perilaku dan biaya mengurangi kemungkinan suatu perilaku. Pada awal
perkembangannya, teori pertukaran dikembangkan oleh para ahli
antropologi Inggris seperti Bronislaw Malinowski yang diperhalus oleh
ahli antropologi Perancis seperti Marcel Mauss dan Claude
Levi-Strauss40 bahwa sebagai makhluk pencari imbalan (reward seeking animal), manusia memiliki kecenderungan untuk mencari keuntungan
(benefit) dan menghindari biaya (cost).
Dalam perkembangan selanjutnya teori ini mulai meninggalkan
beberapa asumsi utama dari aliran utilitarianisme. Misalnya kaum
utilitarian yang mempermasalahkan komoditas material teori pertukaran,
di pihak lain, melihat bahwa manusia tidak hanya mencari dan
mempertukarkan komoditas material seperti makanan, minuman, dan
kebutuhan material lainya, namun dapat pula mengejar dan
mempertukarkan komoditas non material seperti jasa, perasaan dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, George C. Homans memberikan
pembaruan pada teori pertukaran modern. Pemikiran Homans antara lain
dipengaruhi oleh karya seorang ahli psikologi, yakni Skinner. Homans
berpendapat bahwa pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan
40
sosial yang berkesinambungan antara aktor-aktor tertentu. Pandangan
Homans ini dituangkan dalam sejumlah hipotesis, salah satunya adalah:
“For all actions taken by persons, the more often a particular action is
rewarded, the more likely the person is to perform that action”.41
Menurut hipotesis ini aktor makin cenderung melakukan suatu tindakan
manakala tindakan tersebut makin sering disertai imbalan. Dan
sebaliknya, jika dinegasikan, aktor akan mengurangi atau meninggalkan
kemungkinan perilaku apabila tindakan tersebut mengandung biaya atau
unsur-unsur yang cenderung menyakitkan atau memberatkan atau
mempersulit. Dari proses pertukaran semacam inilah, menurut pendapat
Homans, muncul organisasi-organisasi sosial, yang dapat berupa
kelompok, institusi, maupun masyarakat.42
Sebagaimana halnya Homans, Peter Blau pun memulai
analisisnya pada proses interaksi yang melanjutkan analisisnya dengan
membahas tentang struktur yang lebih besar seperti komunitas dan cara
atau pola organisasi dan masyarakat terbentuk, bertahan, berubah,
ataupun bubar.43 Meskipun demikian, berbeda dengan Homans yang membatasi analisisnya pada jenjang mikrososiologi (walaupun
(Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1991), hal. 286.
41
G.C. Homans, Social Behavior: It's Elementary Forms (rev.) (New York, Harcourt: Brace and World, 1974), hal. 16.
42
Turner, hal. 216-245. 43
menurutnya proses perilaku sosial pada jenjang mikro tersebut
mempunyai dampak pada makrososiologi), teori Blau berusaha
menjembatani kedua jenjang analisis sosiologi. Perbedaan lain adalah
bahwa Blau membatasi diri pada interaksi yang melibatkan asas
pertukaran dengan mengakui bahwa tidak semua interaksi melibatkan
pertukaran, sedangkan Homans cenderung berpendapat bahwa semua
interaksi melibatkan pertukaran.
Homans membangun teori pertukaran sosial dari dua landasan
ilmu, yaitu psikologi perilaku dan ekonomi dasar. Dari psikologi
perilaku, diperoleh gambaran mengenai perilaku manusia yang dibentuk
oleh hal-hal yang memperkuat atau memberikan dukungan dalam
pengambilan keputusan secara berbeda-beda. Manusia memberikan
dukungan yang positif atau negatif satu sama lain dalam proses interaksi
dan saling membentuk perilakunya.44 Dari ekonomi dasar, Homans mengambil konsep-konsep seperti biaya (cost), dan keuntungan (profit).
Gambaran dasar mengenai perilaku manusia yang diberikan oleh ilmu
ekonomi adalah bahwa manusia secara terus-menerus terlibat dalam
proses menentukan pilihan di antara perilaku-perilaku alternatif dengan
pilihan yang mencerminkan cost and reward (atau profit) yang
diharapkan. Dengan kata lain, inti dari teori pertukaran sosial, yang
44
digagas oleh Homans atau Blau, adalah pada resiprositas dan penilaian
mental atas biaya (cost) dan imbalan (rewards).45
Pertukaran sosial dapat terjadi dalam beragam bentuk
sebagaimana yang dilakukan oleh Norlin dan Chess yang dalam
menginterpretasikan gagasan Homans mencatat beberapa hal pokok
dalam teori pertukaran sosial sebagai berikut :
1. Human social behavior can be understood as an exchange among people of things possessing value. These “things” can be material or symbolic, for example, goods, services, or sentiments.
2. The provision of something of value from one person to another, when accepted by the other (the initiation of a relationship), creates an obligation to reciprocate. The provision of something of value in return completes the first cycle of the exchange transaction.
3. The exchange process, once initiated, tends towards a balance – the things exchanged possess similar value as perceived by those involve in the exchange. In short, the balance in terms of relative value becomes the central force in maintaining the equilibrium of the social interaction. Social organization is formed and maintained through such a process.
4. An exchange always involves both a cost and a reward to each person. Derived from this the related assumption that the relationship will be continued as long as the perceived cost of the exchange over time do not exceed its rewards, or that a more advantageous alternative is not available.
5. Dynamically, each person in the exchange seeks to maximize his or her return (reward less costs will equal the return).46
45
G.C. Homans, The Human Group (New York: Harcourt, Brace & Co., 1950); G.C. Homans, Social Behavior: Its Elementary Form (New York: Harcourt, 1961); dan G.C. Homans, “A Life of Synthesis”, The American Behavioral Scientist (Sept/Oct 1968).
46
Garis besar premis Homans di atas menjelaskan beberapa poin
penting, yaitu bahwa: 1) perilaku pertukaran didasarkan pada nilai-nilai
material maupun imaterial yang dianggap penting oleh kedua belah pihak
yang melakukan pertukaran; 2) transaksi pertukaran menuntut imbangan
yang sesuai dari nilai yang dipertukarkan; dan 3) transaksi pertukaran
yang telah terjadi cenderung dilanggengkan oleh kedua belah pihak
sepanjang pertukaran tersebut memberi keuntungan, terutama
keuntungan besar dengan risiko atau biaya minimal..
Konsep yang diturunkan dari gagasan Homans tersebut di atas,
yakni tentang potensi meningkatnya Biaya Kepatuhan Pajak, diperkuat
oleh teori transaction cost (sebagai bagian dari Transaction Cost
Economics atau TCE). Teori transaction cost mengasumsikan bahwa
aktor cenderung untuk mencari biaya transaksi yang paling murah, antara
lain dengan membandingkan biaya transaksi melalui pasar (market
transaction) dan biaya transaksi dalam organisasi atau perusahaan itu
sendiri (hierarchical transaction) atau dikenal dengan istilah make or
buy. Biaya transaksi secara garis besar adalah biaya yang timbul dari
pertukaran barang/jasa karena terdapatnya kondisi informasi yang
a-simetris, perilaku oportunis dan rasional yang terbatas.47 Timbulnya teori
transaction cost, menurut Williamson, disebabkan oleh kegagalan pasar
47
(market failure) sebagai konsekuensi dari perilaku oportunis dan rasional
yang terbatas dari pihak-pihak yang berinteraksi.
Williamson memperkenalkan konsep transaction cost of
economics (atau ekonomi biaya transaksi dan sering disebut dengan biaya
transaksi saja) yang merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu
yang terdiri dari ilmu hukum, ilmu ekonomi, dan ilmu organisasi.48 Mengingat bahwa manusia cenderung berperilaku oportunis dan
mendahulukan kepentingan diri, maka semua pertukaran ekonomi
(economic exchange) akan lebih efisien apabila diorganisir dalam suatu
kontrak. Namun, mengingat keterbatasan rasional manusia (bounded
rationality), sangat tidak mungkin untuk memasukkan semua hal-hal
kompleks yang berkaitan dengan kontrak dan menyebabkan kontrak yang
dihasilkan menjadi tidak sempurna. Analisis pilihan alternatif kegiatan
yang dapat meminimalisasi biaya transaksi yang disebut TCE terdapat
dalam ikhtisar sebagaimana Tabel II.1 yang diuraikan Evan berikut ini:49
48
Ibid., hal 172-256. 49
Tabel II.1
Asumsi Teori Biaya Transaksi
Keypoint Description
Key Consepts Transaction, market transaction, hierarchical transaction, transaction cost, governance menchanism,
bounded rationality, opportunism, asset specificity, uncertainty, frequency
Major Assumption Firm seek to economize on transaction cost
Unit of Analysis Transaction
Key Prepositions Hierarchical transaction costs tend to be lower than market transaction costs under conditions of high asset
specificity, high uncertainty, and high frequency
Problem Areas Make or Buy
Sumber: Williamson (1993) diolah oleh Peneliti
Menurut teori biaya transaksi, manusia mempunyai kecenderungan
untuk mempertukarkan barang atau jasa yang dimilikinya melalui
mekanisme harga. Cara penentuan mekanisme harga dipengaruhi oleh
kondisi pertukaran spesifik, meliputi informasi yang cenderung
a-simetris, perilaku oportunistik dan bounded rationality. Dalam kaitannya
dengan Biaya Kepatuhan Pajak, Biaya Kepatuhan Pajak tersebut
berpotensi timbul, diantaranya, sebagai akibat dari adanya informasi
a-simetris (seperti, peraturan perpajakan yang memberi celah multi tafsir),
perilaku oportunis (seperti, kecenderungan tax evasion atau tax
avoidance wajib pajak), dan rasional terbatas (seperti, keterbatasan
rasionalitas karena kompleksitas masalah terkait peristiwa-peristiwa yang
sudah terjadi di masa lalu dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di
kecukupan waktu untuk menentukan keputusan, dan adanya konflik
kepentingan antar pengambil keputusan).
Gambaran lengkap tentang jalur hubungan antara sistem
pemajakan yang mencerminkan kompleksitas peraturan dan pengaruhnya
tehadap Biaya Kepatuhan Pajak serta Kepatuhan Pajak sesuai gagasan
[image:22.595.105.515.248.606.2]Homans dan TCE terlihat pada Gambar II.2 berikut ini :
Gambar II.2.
Kerangka Konsep Pertukaran Biaya dan Kepatuhan
Tax System
Tax Regulation Law Enforcement
Sumber: Homans (1961) dan Wetzler (1993) diadaptasi oleh Peneliti.
Bertitik tolak dari gagasan Homans dan TCE, teori Pertukaran
Sosial menjelaskan bahwa manusia seara terus-menerus terlibat dalam
Condition 1 Condition 1
Complex Simple, Fair, and Clear
High Cost Compliance Low Cost Compliance
Tax Compliance
informasi a-simetris, perilaku oportunistik, dan
bounded rationality
proses untuk memilih di antara perilaku-perilaku alternatif, dengan
pilihan yang mencerminkan cost and reward (atau profit) yang
diharapkan. Kerelaan akan timbul apabila beban untuk patuh (sebagai
suatu perilaku) tidak besar atau rendah. Sebaliknya, apabila beban untuk
patuh itu tinggi (atau upaya untuk patuh menghadapi kendala), maka
yang timbul adalah ketidakerelaan.
Tingginya biaya untuk patuh terhadap peraturan perpajakan
terutama didorong oleh dua hal, yaitu kompleksitas peraturan dan
implementasi peraturan yang buruk. Kompleksitas mempunyai
mempunyai beberapa dimensi, terutama menyangkut jumlah waktu dan
biaya yang harus dikorbankan oleh wajib pajak dalam pemenuhan
kewajiban pajak.50 Sedangkan, implementasi peraturan berkaitan dengan profesionalitas dan kejujuran aparat pajak, misalnya aparat mempersulit
wajib pajak, berpikir dan bertindak mencari keuntungan pribadi dengan
memanfaatkan (kompleksitas) aturan perpajakan serta mencari-cari
kesalahan wajib pajak yang berpotensi untuk meningkatkan beban
kepatuhan pajak. Sebagai contoh, implementasi peraturan yang buruk
dari aparat menimbulkan biaya tidak resmi yang dikeluarkan wajib pajak
dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak yang tidak
didukung oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti: biaya
50
entertainment dan biaya ucapan terima kasih yang diberikan wajib pajak
kepada aparat pajak (fiskus).51
Timbulnya kerelaan dan ketidakrelaan tentunya tidak hanya
menyangkut faktor-faktor tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor pendukung lain seperti persepsi atas keadilan, efisiensi atau
inefisiensi yang dihasilkan akibat memenuhi ketentuan perpajakan,
pelayanan yang baik, serta kepuasan pembayar pajak terhadap pelayanan
publik yang dibiayai dari perpajakan, sebagaimana digambarkan oleh
Wetzler di atas.
Mengacu pada definisinya, pajak merupakan iuran atau kontribusi
rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal balik secara langsung dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Pihak-pihak yang menurut undang undang terkena kewajiban pajak harus mematuhi dan
memenuhinya dengan kerelaan (volunteer) maupun tidak (involunteer).
Selanjutnya, Biaya Kepatuhan Pajak semakin mengemuka ketika berada
dalam kondisi terdapatnya informasi a-simetris, perilaku oportunistik,
dan bounded rationality. Kondisi tersebut relevan untuk dilihat
mengingat sistem self-assessment yang dianut menempatkan fiskus
sebagai pemangku kebenaran legalitas fiskal dan wajib pajak sebagai
pemangku kebenaran praktek komersial.
2. Biaya Kepatuhan Pajak dalam Teori Biaya Transaksi
Rumusan biaya transaksi pertama kali dikemukakan oleh Ronald
H. Coase pada tahun 1937 sebagai kerangka pemikiran baru untuk
menganalisis transaksi dalam perusahaan,52 yang kemudian dikembangkan oleh Williamson.53 Komponen Biaya Kepatuhan Pajak
dalam penelitian ini dijelaskan dari perspektif teori biaya transaksi.
Perspektif ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang berbagai
biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh wajib pajak dalam
pemenuhan kwajiban pajak.
Organisasi merupakan kumpulan kegiatan, yang setiap
kegiatannya membutuhkan sumberdaya dan realisasi kegiatan ini pada
akhirnya membutuhkan biaya. Sebagai contoh, upaya perusahaan dalam
rangka pencapaian tujuan (misalnya, pencapaian perolehan profit dan
going concern) membutuhkan sejumlah biaya (seperti, biaya penyertaan
modal dalam perusahaan lain dalam rangka pengendalian, biaya
pemberian hadiah dalam program "bagi-bagi hadiah" untuk
mengendalikan loyalitas konsumen, biaya pelatihan pajak bagi karyawan
agar tanggap terhadap perkembangan peraturan perundang-undangan
52
Ronald H. Coase, "The Nature of the Firm" (1937), dalam Adinur Prasetyo, "Strategi Efisiensi Biaya Transaksi" dalam Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XI, No. 2 (Jakarta, 2003), hal. 10.
53
pajak yang dapat mempengaruhi bentuk transaksi bisnis, serta
biaya-biaya yang terkait langsung dengan pemenuhan kewajiban pajak).
Pilihan kegiatan yang diterapkan oleh organisasi pada dasarnya
mempertimbangkan faktor biaya transaksi yang paling murah. Dengan
kata lain, organisasi harus melakukan pilihan atau kombinasi antara
kegiatan dan biaya transaksi yang memberikan hasil optimal, yakni
kegiatan yang menghasilkan outcome tinggi (yang oleh Williamson
disebut strategizing) dan biaya transaksi murah (yang oleh Williamson
disebut economizing). Menurut Willliamson, seorang pakar ilmu
organisasi, strategizing dan economizing merupakan dua strategi atau
kendali utama yang saling melengkapi dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi.54 Dalam kaitan ini Transaction Cost Economics (atau ekonomi biaya transaksi) merupakan suatu alat analisis dalam paham
economizing yang digunakan dalam pemilihan alternatif kegiatan atau
strategi dengan biaya transaksi paling murah bagi organisasi atau
perusahaan (business firm).
Biaya transaksi adalah biaya yang harus ditanggung oleh
pihak-pihak yang melakukan pertukaran dalam bisnis yang informasinya tidak
sempurna, banyak aktor yang berperilaku opportunistic, dan rasionalitas
para pelakunya terbatas. Potensi munculnya biaya transaksi terjadi ketika
(atau institutional arrangement) yang dapat menimbulkan beda persepsi.
Sebagai contoh, loopholes atau celah dalam salah satu pasal atau ayat
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (sebagai akibat dari
rasional terbatas penyusun peraturan perundang-undangan perpajakan
tersebut) dapat menimbulkan beda persepsi (asymmetric information)
antara wajib pajak dan petugas pajak (fiskus).
Beda persepsi antara wajib pajak dan fiskus, misalnya terjadi
pada saat pemeriksaan pajak, dapat memancing perilaku opportunistic
fiskus untuk melakukan tekanan (pressure) terhadap wajib pajak untuk
memberikan sejumlah imbalan (semacam dana ucapan terimakasih)
sebagai biaya transaksi atas tidak diungkapkannya temuan hasil
pemeriksaan berdasarkan celah dalam pasal atau ayat Undang Undang
ataupun peraturan pajak yang diterapkan (adapun, dalam rangka
meminimalisasi biaya transaksi tersebut, wajib pajak dapat melakukan
upaya, antara lain, dengan mengajukan surat permohonan penjelasan atas
permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan persepsi tersebut
kepada Direktorat Jenderal Pajak).
Dalam rangka memberikan gambaran adanya beda persepsi antara
wajib pajak dan fiskus dalam penafsiran peraturan pajak, Sri Rahayu
menguraikan beberapa masalah yang dihadapi dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan bidang usaha perkebunan, seperti masalah
54
penyusutan atau amortisasi atas hak guna usaha, masalah biaya
perusahaan induk (atau biaya kantor pusat), masalah fasilitas perpajakan,
masalah biaya penyusutan kendaraan, masalah hubungan istimewa, dan
masalah biaya bunga pinjaman afiliasi.55 Persoalan-persoalan di atas timbul akibat adanya beda persepsi antara wajib pajak dan fiskus yang
disebabkan oleh lemahnya institutional arrangement yang ada.
Adanya informasi tidak sempurna (imperfect information) pada
peraturan perundang-undangan pajak (sebagai suatu institutional
arrangement) juga dapat memicu perilaku opportunistic fiskus untuk
melakukan koreksi pajak dan memicu perilaku opportunistic wajib pajak
untuk melakukan kompromi dengan fiskus. Jika dalam hal ini dicarikan
kesepakatan bersama antara fiskus dan wajib pajak, maka fiskus dapat
menawarkan bantuannya dengan suatu pengharapan tertentu yang
berpotensi mengurangi kewibawaan fiskus yang bersangkutan dan
menimbulkan keraguan terhadap sistem perpajakan.56
Peneliti lain, Setiawan Noviarto, membagi biaya transaksi dalam
penghitungan pajak menjadi actual cash outlay dan opportunity cost of
time. Actual cash outlay adalah semua pengeluaran tunai yang
dibayarkan selama menghitung, menyetorkan, melaporkan, serta
307.
55
Sri Rahayu, Op. Cit., hal. 10-13. 56
mempertanggung-jawabkan jumlah pajak terhutang.57 Semua biaya transaksi resmi dan tidak resmi dalam penghitungan pajak yang
dibayarkan secara tunai merupakan actual cash outlay, sedangkan
opportunity cost of time adalah kerugian yang diderita wajib pajak akibat
penghasilan harian atau output-nya berkurang selama melakukan
kewajiban perpajakan; biaya ini merupakan ekuivalen rupiah dari waktu
yang dihabiskan wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban
pajak.58
Selain dapat dibagi menjadi biaya resmi dan tidak resmi, actual
cash outlay dan opportunity cost of time, biaya transaksi dalam
penghitungan pajak dapat dibagi menjadi biaya transaksi internal dan
biaya transaksi eksternal.59 Biaya transaksi internal dalam penghitungan pajak adalah biaya pemenuhan kewajiban pajak yang terjadi akibat
adanya pertukaran kontraktual antara pihak-pihak terkait dengan
informasi yang tidak lengkap serta memiliki perilaku opportunistic dan
rasionalitas terbatas dalam organisasi hirarkis. Jensen dan Meckeling,
pakar ilmu organisasi, menyebut biaya transaksi internal ini sebagai
biaya keagenan yang timbul akibat adanya agency relationship.60
57
Setiawan Noviarto, Op. Cit., hal. 54. 58
Ibid. 59
Ibid., hal. 55. 60
Biaya transaksi internal dalam penghitungan pajak, di antaranya
adalah biaya fotokopi dokumen yang terkait dengan pemenuhan
kewajiban pajak, biaya transportasi untuk kunjungan wajib pajak ke
tempat penyetoran pajak, kantor pajak, kantor konsultan, dan kantor
pengadilan pajak, biaya pendidikan dan latihan karyawan dalam bidang
perpajakan (seperti biaya kursus, seminar, dan lokakarya pajak), serta
biaya penyimpanan dokumen perpajakan (yang harus disimpan selama
sepuluh tahun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan pajak).61 Biaya transaksi eksternal dalam penghitungan pajak adalah biaya
pemenuhan kewajiban pajak yang terjadi akibat adanya pertukaran
kontraktual antara pihak-pihak dengan informasi tidak lengkap serta
memiliki perilaku opportunistic dan rasionalitas terbatas diluar organisasi
hirarkis. Biaya transaksi eksternal dalam penghitungan pajak, di
antaranya biaya konsultasi pajak dengan akuntan atau konsultan pajak
serta biaya entertainment dan biaya ucapan terima kasih yang diberikan
wajib pajak kepada fiskus.62
Sementara itu, Das Gupta, mendefinisikan Biaya Kepatuhan
Pajak sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak sehubungan
dengan pemenuhan kewajiban pajak sesuai dengan hukum pajak yang
berlaku dan dalam rangka perencanaan pajak (selain distorsi pajak,
61
Ibid. 62
seperti tax evasion dan bribe cost)63. Biaya Kepatuhan Pajak, menurut Das Gupta, terbagi menjadi beberapa versi, diantaranya, legal
compliance cost (yakni internal cost atau biaya administrasi & umum
diluar bribe cost yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka
penyelenggaraan sistem administrasi atau pembukuan perusahaan), gross
compliance cost (yakni internal cost ditambah dengan bribe cost),
adjusted legal compliance cost (yakni legal compliance cost ditambah
dengan opportunity cost of delayed refunds), dan true gross compliance
cost (yakni adjusted legal compliance cost ditambah dengan bribe
cost).64 Seluruh unsur biaya administrasi dan umum atau internal cost, sebagai unsur dari legal compliance cost di sini adalah sejalan dengan
pemikiran Aoki yang menyatakan bahwa biaya kepatuhan pajak
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akuntansi bisnis.65
3. Klasifikasi Cost of Taxation
Terkait dengan distorsi yang timbul sebagai dampak dari
pengenaan pajak, sejumlah sarjana dan pemikir mengemukakan
pendapatnya mengenai klasifikasi biaya perpajakan atau cost of taxation.
63
Arindam Das Gupta, Op. cit., hal. 9-10. 64
Ibid., hal. 15. 65
Musgrave dan Musgrave berpendapat bahwa terdapat dua klasifikasi
biaya yang timbul sebagai konsekuensi pengenaan pajak.66 Dua jenis biaya tersebut adalah tax operating cost (meliputi administrative dan
compliance cost/biaya kepatuhan pajak) serta distortion cost in
household choices (yakni, distorsi pajak yang menyebabkan keengganan
produsen untuk memproduksi barang/jasa akibat keengganan konsumen
atau pihak rumah tangga untuk mengkonsumsi barang/jasa karena
overpricing akibat tingginya pajak yang selanjutnya berakibat kepada
menurunnya agregat penerimaan pajak).
Selanjutnya, berdasarkan rangkuman dari berbagai literatur, Altay
berpendapat bahwa terdapat lima jenis cost of taxation yang terdiri dari:
1. Excess burden (dead-weight cost) of taxation (yakni, distorsi pajak
yang berakibat pada menurunnya agregat penerimaan pajak
sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Musgrave dan
Musgrave).
2. Administrative cost (yakni, biaya publik atau public expenditure yang
dikeluarkan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan
administrasi pajak),
3. Compliance cost/Biaya Kepatuhan Pajak (yakni, biaya-biaya yang
dikeluarkan atau dibayarkan oleh wajib pajak sehubungan dengan
pemenuhan kewajiban pajak),
66
4. Rent seeking (lobbying) cost (yakni biaya pajak yang hilang akibat
kegiatan rent seeking yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu), dan
5. Uncertainty cost (yakni, biaya yang timbul akibat adanya pergantian
kebijakan pajak sehubungan dengan perubahan pemerintahan atau
pihak eksekutif dan perubahan pihak legislatif).67
Slemrod dan Blumenthal membagi cost of taxation menjadi lima
unsur, yakni:
1. Dead weight efficiency loss from taxation atau distortion cost (yakni,
distorsi konsumsi dan/atau produksi yang disebabkan oleh pajak),
2. The excess burden of tax evasion atau bribe cost (yakni, selisih antara
jumlah penerimaan pajak yang seharusnya diterima negara dan
jumlah pengeluaran terkait pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak
sehubungan dengan adanya praktek tax evasion),
3. Avoidance cost (yakni, selisih antara jumlah penerimaan pajak yang
seharusnya diterima negara dan jumlah pengeluaran terkait pajak
yang dibayarkan oleh wajib pajak sehubungan dengan praktek tax
avoidance yang dilakukan),
4. Administrative cost (yakni, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah selaku penyelenggara negara dalam rangka memberikan
pelayanan kepada wajib pajak), dan
67
5. Compliance cost/Biaya Kepatuhan Pajak (yakni, biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak).68 Sandford menyebutkan tiga macam biaya pajak (cost of taxation)
yang terdiri dari sacrifice of income, distortion cost, dan running cost.69 Menurut Sandford, sacrifice of income adalah pengorbanan wajib pajak
yang menggunakan sebagian penghasilan atau uang dan hartanya untuk
membayar pajak; Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat
perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena
adanya pajak tersebut yang dapat menyebabkan perubahan pola perilaku
ekonomi (sebagai contoh adalah pajak yang dapat menyebabkan
disinsentif bagi individu dan badan usaha dalam berkonsumsi dan
berproduksi); dan, running cost yang diartikan oleh Sandford sebagai
biaya-biaya yang tidak ada jika sistem perpajakan tidak ada yang terdiri
dari administrative cost (yakni, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah sehubungan dengan penyelenggaraan sistem perpajakan
nasional) dan compliance cost (yaitu, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak).
68
Marsha Blumenthal and Joel Slemrod, “The Compliance Cost of the US: Individual Income Tax System: A Second Look after Tax Reform”, National Tax Journal , Jun 1992, hal. 411-438.
69
Tabel II.2
Klasifikasi Cost of Taxation dari Beberapa Pakar
Klasifikasi Cost of Taxation Nama Pakar
Tax Operating Cost Tax Distortion Cost Musgrave & Musgrave Administrative Cost,
Compliance Cost
Tax distortions in household choices
Cedric Sandford Running Cost (administrative cost, compliance cost)
Distortion cost, sacrifice of income
Slemrod & Blumenthal Administrative Cost, Compliance Cost,
Dead weight efficiency loss from taxation, The excess burden of tax evasion atau bribe cost, dan avoidance cost
Asuman Altay Administrative Cost, Compliance Cost
Excess Burden of Taxation, Rent Seeking (lobbying) cost,
Uncertainty Cost Sumber: Definisi Cost of Taxation dari berbagai pakar
yang diolah kembali oleh peneliti.
Berdasarkan beberapa definisi cost of taxation yang dikemukakan
oleh beberapa pemikir sebagaimana terangkum dalam Tabel II.2 di atas,
cost of taxation terdiri dari dua jenis biaya, yakni tax operating cost dan
tax distortion cost. Tax operating cost merupakan biaya-biaya yang tidak
ada jika sistem perpajakan tidak ada70.
Sedangkan, biaya distorsi pajak adalah biaya yang timbul sebagai
akibat perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi
karena adanya pajak tersebut yang dapat menyebabkan perubahan pola
perilaku ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Sandford bahwa:
“…which arise from changes taxes cause in the prices of products and of
70
factors of production, which in turn alter the pattern of economic
behavior.71
Terkait dengan tema dalam penelitian yang Peneliti lakukan,
yakni tentang Kepatuhan Pajak, pembahasan lebih terfokus pada tax
operating cost yang merupakan biaya-biaya yang tidak timbul jika
sistem perpajakan tidak ada, dengan salah satu komponennya berupa
Biaya Kepatuhan Pajak atau biaya-biaya terkait pemenuhan kewajiban
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana telah didefinisikan
oleh Sandford di atas.
Selanjutnya, Sandford membagi Biaya Kepatuhan Pajak dalam
tiga jenis biaya, yakni direct money cost, time cost, dan psychological
cost.72 Berikut ini adalah penjelasan mengenai direct money cost, time cost, dan psychological cost menurut Sandford, dan pemikir lain yang
mempunyai kaitan atau kesamaan terhadap ketiga jenis biaya tersebut.
a. Direct Money Cost
Menurut Sandford, direct money cost adalah biaya-biaya cash
money (uang tunai) yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka
pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran kepada konsultan pajak
dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak.
71
Ibid. 72
biaya berupa actual cash outlay yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam
pemenuhan kewajiban pajak ini, yang oleh Sandford dikelompokkan
dalam direct money cost, timbul sebagai implikasi dari adanya sistem
pemungutan pajak self assessment. Dengan kata lain, biaya kepatuhan
pajak merupakan implikasi inheren dari sistem pemungutan pajak self
assessment.73
Menurut Guyton, O’Hare, Stavrianos, dan Toder, sistem
pemungutan pajak self assessment mengakibatkan biaya tambahan diluar
pajak bagi wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak yang
dilakukan. Unsur pertama dari biaya tersebut adalah beban kepatuhan
pembayar pajak (tax compliance burden) yang meliputi uang dan waktu
yang harus dikorbankan dalam rangka memenuhi ketetentuan peraturan
perpajakan.74 Dalam hal ini, Guyton dan kawan-kawan menekankan pula adanya unsur biaya non-tunai, seperti waktu yang dikeluarkan untuk
mengurus pajak. Menurut Guyton dan kawan-kawan, biaya-biaya yang
mungkin timbul dari sistem pemungutan pajak self assessment dapat
meliputi antara lain pencatatan transaksi keuangan, penggunaan faktur
pajak dan dokumen pajak lainnya, tax planning, waktu yang dihabiskan
untuk mengurus pajak, serta biaya konsultan pajak atau tax advisor.75
73
John L. Guyton, et al., “Estimating the Compliance Cost of the U.S. Individual Income Tax”, dalam National Tax Journal, September 2003.
74 Ibid. 75
Seluruh biaya dalam bentuk uang tunai yang dikeluarkan oleh wajib
pajak dalam pemenuhan kewajiban pajak, dapat disamakan dengan atau
dikelompokkan dalam direct money cost sebagaimana dimaksudkan oleh
Sandford tersebut di atas.
Slemrod memberikan indikasi adanya biaya berupa uang yang
harus dikeluarkan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan ini
yang senada dengan Guyton di atas :
“Complexity has several dimensions. The aspect that first come to mind for most taxpayers is the time and expense involved in completing the tax return, including not only complying with the filling requirement, but also identifying and documenting the deductions, credits, and reductions in taxable income to which he is entitled.”76
Studi yang dilakukan Slemrod pada tahun 1982 terhadap 2.000
keluarga di Minnesota, Amerika Serikat, menunjukkan suatu estimasi
bahwa para wajib pajak mengorbankan sekitar 1,4 – 2,1 milyar jam untuk
memenuhi Kepatuhan Pajak dalam rangka self-assessment. Penelitian
juga menunjukkan hasil bahwa tingkat Biaya Kepatuhan Pajak mencapai
angka sekitar $17 hingga $27 milyar.77 Studi yang dilakukan Chan tentang perpajakan di Hongkong menunjukkan bahwa rata-rata Biaya
Kepatuhan Pajak di Hongkong tergolong tinggi dengan nilai rata-rata
$1.26 per $1,000 penjualan (sedangkan rata-rata Biaya Kepatuhan Pajak
di Singapura hanya $0.42 per $1,000 penjualan).
76
Joel Slemrod, Op. Cit. 77
b. Time Cost
Menurut Sandford, time cost adalah waktu yang terpakai oleh
wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, antara lain
waktu yang digunakan untuk membaca formulir surat pemberitahuan
pajak (SPT) dan buku petunjuknya, waktu yang digunakan untuk
berkonsultasi dengan akuntan atau konsultan pajak dalam mengisi SPT,
dan waktu yang digunakan untuk pergi dan pulang ke kantor pajak.
Turner, Smith, dan Gurd dalam penelitiannya pada tahun 1997 di
Australia memberikan spesifikasi time cost sebagai waktu wajib pajak
yang tersita dan waktu kerja tanpa bayaran (opportunity cost) yang harus
wajib pajak korbankan untuk urusan pajak. Studi yang dilakukan Turner
dan kawan-kawan tersebut menunjukkan hasil bahwa Biaya Kepatuhan
Pajak tahunan untuk setiap wajib pajak menunjukkan kisaran antara 120
hingga 8.000 pounds (kisaran ini dengan asumsi 4 jam per 30 pounds dan
40 jam per 200 pounds).78
Sementara itu peneliti lain, Burkhard Strumpel, yang melakukan
studi di Jerman pada tahun 1966, menunjukkan hasil bahwa tingginya
cost of tax compliance yang disebutnya sebagai disguised tax burden,
tidak hanya disebabkan oleh upaya untuk memenuhi aspek legal dari
peraturan perpajakan secara formal maupun material, melainkan juga
78
disebabkan oleh keinginan wajib pajak untuk mengurangi jumlah tagihan
pajak. Menurut hasil penelitian Strumpel, para wajib pajak rata-rata
menghabiskan waktu 22 jam per bulan untuk menangani
masalah-masalah perpajakan.79
Studi Arthur D. Little tahun 1983 terhadap 750 wajib pajak badan
dan retrospective questionnare terhadap 6.200 wajib pajak orang pribadi
mengestimasi total beban waktu wajib pajak sekitar 1.594 juta jam yang
terbagi atas : pencatatan (714 juta jam), pembelajaran (255 juta jam),
persiapan pelaporan (478 juta jam), dan pelaporan (147 juta jam).80 Time cost ini juga telah disebutkan dalam unsur yang disebutkan oleh Guyton
di atas, yaitu waktu yang harus dikorbankan dalam rangka memenuhi
ketentuan peraturan perpajakan.81
c. Psychological Cost
Guyton dkk. menjelaskan bahwa biaya psikologis meliputi
ketidakpuasan, rasa frustasi, serta keresahan wajib pajak dalam
berinteraksi dengan sistem dan otoritas pajak.82 Pendapat senada disampaikan oleh Sandford yang mengatakan bahwa psychological cost
79
Burkhard Strumpel, “The Disguised Tax Burden Compliance Cost of German Bussinesmen and Proffessionals”, National Tax Journal, 1986, hal. 70-77.
80
Joel Slemrod, Op. Cit., hal 6. 81
John L. Guyton, et al., Op. cit. 82
adalah rasa stress dan berbagai rasa takut atau cemas karena melakukan
tax evasion. Terkait dengan pendapat Guyton dkk. dan Sandford tersebut,
Peneliti menggunakan batasan psychological cost sebagai biaya
psikologis yang meliputi rasa frustasi, cemas atau stress ketika wajib
pajak berinteraksi dengan otoritas pajak atau menghadapi masalah yang
ditimbulkan oleh sistem perpajakan atau peraturan perpajakan.
Dalam studinya di Jerman, Burkhard Strumpel mendapatkan
kenyataan bahwa sebagian besar wajib pajak – yang diwakili oleh lebih
dari separuh responden – beranggapan bahwa biaya yang wajib pajak
keluarkan untuk membayar fee konsultan dan keperluan lain semestinya
dikompensasikan dengan pengurangan tagihan pajak. Kondisi ini
membuka peluang bagi pihak-pihak yang dapat berperan dalam menekan
tingkat tagihan pajak untuk “bermain” dan mengambil keuntungan dari
ekspektasi wajib pajak ini. Implementasi peraturan perpajakan yang
buruk oleh aparat dapat saja terjadi karena dorongan ini, karena fiskus
mendominasi loopholes dalam peraturan perpajakan. Secara psikologis
hal ini dimotivasi oleh kemungkinan mengurangi beban pajak melalui
berbagai kemungkinan yang membutuhkan waktu, energi, dan biaya
yang banyak.83 Di sisi lain, dorongan fiskus untuk “turut bermain” dalam motivasi ini pada gilirannya menekan para wajib pajak, sekalipun wajib
pajak telah berupaya untuk jujur. Tekanan, rasa stres, dan frustasi yang
83
wajib pajak alami dalam menghadapi fiskus adalah wujud dari
psychological cost sebagaimana disebutkan oleh Sandford.
Biaya Kepatuhan Pajak merupakan biaya-biaya yang ditanggung
oleh wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak. Karena
wajib pajak sudah berusaha patuh untuk membayar pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka
wajib pajak berharap agar biaya transaksi atau biaya-biaya yang terkait
dengan pemenuhan kewajiban pajak adalah minimal, meliputi biaya riil
(yakni, direct money cost) maupun biaya semu (antara lain, time cost dan
psychological cost). Namun, apabila jumlah Biaya Kepatuhan Pajak lebih
besar daripada ekspektasi wajib pajak, maka timbul potensi dalam diri
wajib pajak untuk menjadi tidak patuh dalam melakukan pemenuhan
kewajiban pajaknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi Biaya Kepatuhan Pajak, semakin rendah Kepatuhan
Pajak.
Simpulan tersebut kembali merujuk pada gagasan yang diajukan
oleh Homans di atas. Kekuatan penjelasan Homans ini terkait dengan
perspektif pertukaran sosial yang mendasarkan pada perkembangan teori
psikologi perilaku dan ekonomi dasar. Dua teori ini menurut peneliti
dapat menjadi argumentasi hubungan antara Biaya Kepatuhan Pajak dan
Kepatuhan Pajak di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang terdaftar
psikologi secara personal, namun secara sosial juga membawa perilaku
ekonomi dasar dalam usahanya atau bisnisnya yaitu keuntungan usaha.
Dalam kaitan dengan pertanyaan keempat dalam penelitian ini,
yaitu minimalisasi variabel keputusan pada Biaya Kepatuhan Pajak,
penelitian ini mendasarkan asumsi pada kerangka pemikiran dari teori
Homans di atas dan penjabarannya lebih lanjut dengan teori rational
choice. Penjelasan ini dimungkinkan mengingat Teori Pilihan Rasional
dalam perkembangannya dipengaruhi oleh teori pertukaran.84 Teori ini mengkaji bagaimana sebuah keputusan dan tindakan dibuat. Keputusan
dan tindakan yang menyertainya erat kaitannya dengan rasionalitas.
Rasionalitas dapat diartikan sebagai: “sebuah konsistensi antara maksud
yang digunakan dengan hasil akhir yang telah dicapai”.85
Menurut Roger Myerson, seorang pembuat keputusan disebut
rasional jika pengambil keputusan membuat keputusan secara konsisten
untuk memenuhi tujuan dirinya.86 Myerson mengasumsikan bahwa tiap pembuat kebijakan bertujuan untuk memaksimalkan nilai yang
diharapkan dari hasil pay off yang diukur pada skala utilitas tertentu.
84
George Ritzer, et al., Teori Sosiologi Modern, terjemahan (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 391; dan Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta, Erlangga: 2006), hal. 134.
85
Montgomery Van Wart, Changing Public Sector Values (NY & London: Garland Publishing, Inc., 1998), hal 199-200.
86
Fungsi pay off menggambarkan nilai nyata pilihan seseorang terhadap
outcome yang didapatkan.87
Artinya, jika berdasarkan skala utilitas, maka seseorang i
melakukan pay off Ui (x) sebagai fungsi dari outcome x. Namun, pada
situasi tertentu, pilihan seseorang juga dapat tergantung pada pilihan
yang disediakan (S). Dengan demikian, fungsi untuk memaksimalkan
hasil dapat didefiniskan sebagai pasangan fungsi outcome dan pilihan
yang tersedia (x, S), sehinga tidak hanya tergantung pada pilihan x saja.88 Pertanyaan yang timbul kemudian adalah tentang cara aktor untuk
menetapkan interpretasi dari pilihan-pilihan yang ada. Terdapat dua
kemungkinan cara pilihan, yaitu : pertama, pilihan tergantung atas
pilihan paling menonjol yang tersedia (choice salience interpretation);
dan kedua, pilihan bedasarkan konsep ekonomi yaitu menjatuhkan
pilihan yang dapat memaksimalkan hasil (well-being interpretation).89 Menurut Amartya Sen, pilihan tersebut mudah terjadi jika semata-mata
tergantung pada konsep ekonomi. Pertimbangan lain, seperti faktor
altruisme atau memperhatikan kepentingan orang lain juga harus
diperhatikan, dan hal ini terjadi sebagai akibat adanya kecenderungan
untuk meniru dengan gejala umum yang berlaku di masyarakat
87
Amartya Sen, “The Formulation of Rational Choice,” The American Economic Review (May 1994), 84, 2: hal. 385.
88 Ibid. 89
sekitarnya, sebagaimana tampak dari praktek bisnis dan kewenangan
yang korup.
Berdasarkan formulasi teori permainan (game theory), aktor telah
menyusun strategi individual secara jelas agar dapat meraih hasil
maksimal. Strategi tersebut semakin rumit jika permainan tersebut
kembali berulang karena setiap individu harus merumuskan strategi
baru.90 Dalam kerangka berpikir seperti ini masalah etika tidak dipertimbangkan untuk memilih aksi maupun strategi. Isu utama yang
dapat mempengaruhi pilihan aktor adalah efektivitas secara langsung dan
tidak langsung yang dapat menghasilkan sesuatu dalam rangka meraih
tujuan yang ditetapkan. Untuk membangun formulasi parametrik pilihan
rasional ini, Amartya Sen menyarankan adanya karakteristik yang
memiliki hubungan berbeda dalam rentang, yaitu: pertama, antara
tujuan-tujuan pilihan yang paling mencolok (menguntungkan) dan dapat
memaksimalkan keuntungan personal; dan kedua, antara instrumen
individu dan sosial.91
Secara garis besar terdapat tiga perspektif yang berkembang
dalam melihat dimensi rasionalitas pengambilan keputusan.92 Perspektif pertama adalah kognitif yakni analisis untuk memahami
90
Lihat, David Krep, Game Theory and Economic Modelling (oxford: Claredon, 1990); dan Drew Fudenberg and Jean Tirole, Game Theory (cambridge: MA: MIT Press, 1992).
91
Ibid, hal. 389. 92
hubugan sebagai dasar untuk membuat keputusan. Proses pembuatan
keputusan yang termasuk dalam aliran ini terdiri dari pendekatan pilihan
rasional (pilihan pasar) – rationality (market) choice, reasoned choice
(pilihan beralasan), dan sistem linear. Perspektif kedua adalah
non-kognitif yang menggunakan pendekatan di luar logika sabagai basis dasar
pengambilan keputusan. Di dalam kelompok ini tercakup pendekatan
pengambilan keputusan berdasarkan kebutuhan manusia (human need),
akibat paksaan (coercive), pendekatan tradisional, religius (agama), dan
altruisme (sikap mementingkan kepentingan orang lain). Sedangkan,
perspektif ketiga adalah politik yang dasar pengambilan keputusannya
adalah strategi mendukung atau menolak pemerintahan. Termasuk dalam
kelompok aliran ketiga ini antara lain pendekatan elitis, demokratis,
legal, dan anarki.
Dilihat dari ketiga perspektif teori rational choice di atas,
penelitian ini mendasarkan asumsinya pada perspektif kognitif.
Meskipun demikian, dimensi yang dikemukakan oleh Amartya Sen
berkenaan dengan altruisme dapat juga memperkuat dimensi kognitif
tersebut. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa wajib pajak dapat
memilih keputusan dan bertindak untuk patuh dengan asumsi bahwa
Biaya Kepatuhan Pajak dapat diketahui sepenuhnya (informasi
sempurna). Dalam pengertian dikotomis, dari penjelasan terakhir
dan melakukan kecurangan dalam membayar pajak.93 Terkait hal tersebut, dalam rangka meningkatkan Kepatuhan Pajak, upaya
minimalisasi biaya kepatuhan pajak perlu dilakukan.94
4. Kepatuhan Pajak
a. Perspektif Mengenai Kepatuhan Pajak
Kepatuhan Pajak adalah faktor terpenting dalam sistem
perpajakan modern terkait penerapan sistem pemungutan pajak self
assessment. Jika kepatuhan pajak tersebut dapat diwujudkan, maka
penerimaan pajak berpotensi meningkat. Berbagai disiplin ilmu, seperti
hukum, ekonomi, psikologi, dan sosiologi, dapat memberikan kontribusi
terhadap pengembangan strategi Kepatuhan Pajak yang diinginkan oleh
pemerintah. Ilmu-ilmu tersebut telah memberikan sumbangan tertentu
yang bermanfaat untuk mengembangkan suatu model Kepatuhan Pajak
secara komprehensif. Otoritas pajak harus mampu membangun suatu tax
compliance strategy yang reasonable dan didasarkan pada asumsi bahwa
pembayar pajak cenderung menghindar untuk membayar pajak jika
93
Neil Brooks, “Key Issues in Income Tax: Challenges of Tax Administration and Compliance”, Asian Development Bank 2001 Tax Conference Saturday, 8 September 2001 dalam www.adb.org/Documents/Events/2001/Tax_Conference/tax2001
94
memiliki peluang.95 Tujuan dari tax compliance strategy tidak lain adalah minimalisasi peluang terjadinya upaya-upaya penghindaran pajak.
i. Perspektif Hukum
Pendekatan pajak dari segi hukum lazim disebut hukum pajak.
Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada segi hukumnya, yaitu
hubungan antara hak dan kewajiban. Dalam perspektif ini, kepatuhan
orang untuk membayar pajak semata-mata dilihat bahwa hal itu adalah
kewajiban yang memang harus dipenuhi karena adanya ketentuan hukum
dan berat hukum yang diberikan96. Kepatuhan dari para wajib pajak bisa timbul karena kesadarannya terhadap peraturan yang dirasa telah
mengikat dan harus dipatuhinya atau dapat pula disebabkan oleh adanya
aturan sanksi yang terdapat pada peraturan itu sebagai pendorong sikap
patuh tersebut. Jadi, kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan
penghasilan didasarkan pada probabilitas konstan bahwa penghindaran
pajak yang dilakukannya diketahui dan mendapat sanksi hukum.97
Terkait perspektif hukum, kepatuhan terhadap hukum timbul dari
beberapa motivasi berikut ini, yaitu: (i) indoctrination, yaitu bahwa orang
95
John McLaren, “Corruption and the Organization of Tax Administration: Non-Smithian Benefits from Specialization,” Conference on Institutional Elements of Tax Design and Reform, (Columbia University, February: 2000); dan Medalla, “Improving Tax Administration: A New View from the Theory of Tax Evasion in a Corrupt Regime”, Legislative Executive, (Makati City: 2000).
96
Medalla, ibid. 97
patuh pada hukum karena diindoktrinasi untuk berbuat sebagaimana yang
dikehendaki oleh kaidah hukum tersebut. Keadaan ini pada umumnya
terjadi melalui proses sosialisasi sehingga orang tersebut mengetahui dan
mematuhi kaidah-kaidah hukum tersebut; (ii) habituation, yaitu sebagai
sikap lanjut dari proses sosialisasi di atas yakni suatu sikap dan perilaku
yang terus-menerus dilakukan secara berulang-ulang sehingga lama
kelamaan menjadi suatu kebiasaan. Jadi, orang tersebut mematuhi hukum
karena merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan dengan bentuk dan
cara yang sama; (iii) utility, yaitu sikap orang yang cenderung untuk
berbuat sesuatu karena memperoleh manfaat dari sikap yang
dilakukannya. Kepatuhan hukum terjadi karena orang tersebut merasakan
kegunaan hukum untuk menciptakan keadaan yang diharapkan; dan (iv)
group identification, yaitu kepatuhan hukum yang didasarkan pada
kebutuhan untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok sosialnya
dan kepatuhan terhadap hukum dianggap sebagai sarana yang paling
tepat untuk mengadakan identifikasi tersebut.98
ii. Perspektif Ekonomi
Pada dasarnya perspektif ekonomi dapat dilihat dari dua segi,
yaitu mikro dan makro. Hanya, melihat ekonomi dari segi mikro saja
memberikan perspektif yang tidak lengkap, karena pajak hanya
98
dipandang sebagai sesuatu yang mengurangi income individu tanpa
mendapatkan imbalan, sehingga dianggap sebagai beba