• Tidak ada hasil yang ditemukan

c5521c2a 31a4 4785 b48f 596d2c1a91cb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "c5521c2a 31a4 4785 b48f 596d2c1a91cb"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 / 13

POLICY PAPER

Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal

Bidang Kesehatan Tahun

5

-

9

Pembelajaran dari Program USA)D

-

K)NERJA

Latar Belakang

Tulisan ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan secara ringkas pembelajaran penting dari pengalaman pendampingan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan Tahun 2010-2015 pada Program USAID KINERJA untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan SPM selanjutnya dan ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan bagi penerapan SPM Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019.Tulisan ini memuat sepuluh butir rekomendasi bagi perbaikan penerapan SPM Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (dan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya berlaku) menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan dasar pada urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar berpedoman pada standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 51 mengamanatkan bahwa upaya kesehatan didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. SPM bidang Kesehatan yang berlaku adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Dari perspektif penyelenggaraan pelayanan dasar bidang kesehatan, SPM menjadi acuan pengukuran kinerja pemerintahan daerah dalam bidang kesehatan dan acuan pengalokasian anggaran yang lebih strategis dan efektif.

(2)

2 / 13 dalam penerapan SPM bidang kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan dalam menerapkan SPM untuk manajemen pelayanan publik khususnya pada perencanaan, penganggaran, implementasi, serta monitoring dan evaluasi di tingkat dinas, daerah, dan unit layanan (Puskesmas) secara lebih partisipatif, transparan, akuntabel, dan responsif. Oleh karena itu, penguatan kapasitas dimaksud tidak terbatas pada penguatan aspek teknis, tetapi juga dalam pelibatan partisipasi masyarakat dan media dalam mempromosikan dan mengawasi isu perbaikan tata kelola pelayanan kesehatan.

Pendekatan USAID-KINERJA pada Pendampingan Penerapan SPM Kesehatan

Pendekatan Program Kinerja dalam meningkatkan tata kelola pelayanan publik berbasis standar layanan dilakukan melalui tiga pilar penting, yaitu:

1. Insentif – Memperkuat sisi permintaan (meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik yang lebih baik.

2. Inovasi – Memanfaatkan praktik-praktik inovatif yang ada dan mendukung pemerintah daerah untuk menguji dan menerapkan pendekatan-pendekatan pelayanan publik yang menjanjikan; dan

3. Replikasi –Memperkuat keberhasilan inovasi secara nasional dan mendukung

lembaga-lembaga perantara untuk menyelenggarakan dan menyebarluaskan pelayanan yang lebih baik kepada pemerintah daerah.

(3)

3 / 13 lain, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan media; (2) Evaluasi diri terhadap penerapan SPM dan kebijakan; (3) Penguatan multi pihak yang relevan, peduli, dan berkepentingan dalam pengelolaan SPM pada Pemerintah Daerah dan pengawasan pelaksanaanya; (4) Pengembangan instrument pendampingan bagi penyedia layanan (pemerintah daerah/dinas/unit layanan) serta referensi dan instrument advokasi dan pengawasan bagi masyarakat sipil dan media; (5) Pengintegrasian SPM bidang Kesehatan ke dalam proses perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi; dan (6) Konsolidasi proses dan hasil menuju kesiapan replikasi dalam rangka keberlanjutan pendekatan Program Kinerja.

Pendampingan tersebut dilakukan melalui delapan tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Lokakarya Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran atas SPM Kesehatan; bertujuan untuk mensosialisasikan konsep dan pentingnya SPM Kesehatan kepada seluruh stakeholder terkait baik dari pembuat kebijakan, lintas sektor, dan masyarakat.

2. Studi banding praktek baik dalam penerapan SPM bidang kesehatan—khususnya yang relevan dengan Paket Program USAID KINERJA pada daerah mitra dan non mitra—serta penyusunan rencana aksi adopsi penerapannya di daerah; bertujuan untuk promosi dan advokasi melalui bukti nyata dan testimony dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan yang telah melaksanakan praktik baik.

3. Review, pembaharuan (renewal) dan penyusunan kebijakan penerapan SPM pada Pemerintah Kabupaten/Kota mitra; bertujuan untuk memperkuat dukungan

kebijakan/regulasi dalam upaya pencapaian target SPM berdasarkan ‘gap’ kebijakan hasil

review/kajian.

4. Penyusunan data untuk perhitungan status pencapaian SPM; bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan keterampilan atas definisi operasional setiap indikator SPM, data-data yang harus tersedia, cara menghitung capaian SPM, dan mengukur status capaian SPM tingkat kabupaten/kota.

(4)

4 / 13 daftar program dan kegiatan prioritas berdasarkan kesenjangan capaian terhadap target SPM yang ditetapkan pemerintah.

6. Penghitungan kebutuhan anggaran untuk mengurangi kesenjangan capaian dan pelaksanaan program/kegiatan; bertujuan untuk memperkirakan kebutuhan anggaran atas daftar program dan kegiatan prioritas pencapaian target SPM kabupaten/ kota dan mengindikasikan sumber anggarannya.

7. Integrasi target SPM dan kebutuhan anggaran pencapaian target SPM ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah; bertujuan untuk memasukkan target capaian, rencana program dan kegiatan prioritas pencapaian SPM menjadi target kinerja, program, dan kegiatan yang dimuat dalam dokumen perencanaan dan dokumen anggaran, untuk membantu memastikan program dan kegiatan pencapaian SPM tersebut dilaksanakan/direalisasikan.

8. Monitoring dan evaluasi penerapan SPM; bertujuan untuk memantau kemajuan penerapan dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan pada tahun berkenaan.

Evaluasi capaian SPM dan umpan balik bagi proses perencanaan berikutnya; bertujuan untuk mengevaluasi kemajuan hasil pencapaian target SPM yang disusun kabupaten/ kota dan kemajuan kinerja kabupaten/kota terhadap pencapaian target SPM yang ditetapkan secara nasional. Hasil evaluasi ini selanjutnya digunakan sebagai proses perencanaan dan penganggaran berikutnya.

Potret Penerapan SPM Kesehatan di Kab/Kota

(5)

5 / 13 Pengalaman USAID-KINERJA di daerah dampingan/binaan memberikan sejumlah catatan penting, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan data, teknis kebijakan SPM, dan tata kelola penerapan SPM (keterlibatan dan pengawasan masyarakat sipil). Selengkapnya dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut :

1.

Pengelolaan Data SPM

(6)

6 / 13 2. Alur (dan jadwal) pengumpulan dan pelaporan data dari Puskesmas, layanankesehatan, ke Dinas Kesehatan belum disusun sehingga pelaporan pencapaianSPM seolah-olah kegiatan baru, belum dipandang sebagai kegiatan rutin;

Dua hal ini sangat berkaitan dengan awareness Dinas Kesehatan dan Puskesmas bahwa efektifitas kegiatan dan alokasi anggaran pertama kali ditentukan oleh validitas data. Pada kab/kota mitra/binaan, KINERJA membantu Puskesmas dan Dinas memperbaiki pendataan dan mendampingi proses pengukuran capaian SPM berdasarkan data yang disepakati sebagai data terkini dan dapat diverifikasi. Data yang disepakati tersebut selanjutnya menjadi basis data perencanaan dan penganggaran SPM bidang Kesehatan selama lima tahun ke depan.

A.

Kebijakan Teknis Penerapan SPM

Meskipun beberapa daerah telah berhasil dalam meningkatkan capaian indicator SPM, jika dilihat dari aspek substansi, terdapat beberapa hal yang membuat kebijakan SPM ini kurang optimal dalam implementasinya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kelengkapan jenis pelayanan dimana indikator SPM belum mencakup upayapromotif dan

preventif yang berdampak besar terhadap status kesehatan masyarakat (misalnya kesehatan lingkungan), juga belum mempertimbangkan fenomena kependudukan. Contoh fenomena kependudukan dimaksud adalah tingginya jumlah penduduk usia lanjut akibat meningkatnya usia harapan hidup. Upaya kesehatan bagi penduduk usia lanjut tentunya menjadi sangat penting mengingat semakin lanjut usia seseorang, semakin rentan kondisi kesehatannya. Jika kesehatan usia lanjut ini tidak tertangani dengan baik justru akan menjadi beban pengeluaran negara yang tidak sedikit. Demikian juga penanganan penyakit tidak menular, dimana sebagai contoh Diabetes Mellitus dan Hypertensi sudah menduduki lima kunjungan terbesar di berbagai Puskesmas dan rumah sakit.

(7)

7 / 13 3. Formula penghitungan pencapaian indikator SPM dalam hal perhitungan . angka

penyebut.

Pengukuran indikator layanan SPM secara umum diformulasikan dalam bentuk angka nominator (pembilang) dibagi denominator (penyebut) x 100%.

Pembilang Indikator SPM = X 100%

Penyebut

Pada angka denominator (penyebut), masalah yang masih banyak ditemukan adalah penentuan besaran angka denominator. Angka denominator ditetapkan berdasarkan estimasi yang seringkali berbeda jauh dengan angka riil. Hal ini menyebabkan pencapaian target pada beberapa indikator sulit untuk diwujudkan.

Selain persoalan estimasi untuk angka denominator, persoalan juga muncul pada dua indikator, yaitu cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin dan cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin. Mengingat denominatornya adalah jumlah seluruh masyarakat miskin di kabupaten/kota dalam kurun waktu tertentu, maka tidak mungkin mencapai target yang ditetapkan, yaitu 100%.

Di Kota Makassar, sebagai salah satu daerah dampingan penerapan SPM bidang Kesehatan, disepakati bahwa perhitungan cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin dan cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin, selain menggunakan formulasi yang ditetapkan nasional, juga menggunakan cara lain untuk memberikan data pembanding, dimana denominator-nya adalah jumlah kunjungan masyarakat miskin di kabupaten/kota dalam kurun waktu tertentu. Artinya, yang dihitung adalah cakupan layanan (hanya) bagi masyarakat miskin yang sakit/berkunjung ke layanan kesehatan, bukan seluruh masyarakat miskin.

4. Indikator positif versus indikator negatif; sebagian besar indikator yang digunakan untuk

(8)

8 / 13 tinggi pencapaiannya menunjukkan bahwa semakin banyak ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan sampai kunjungan yang ke 4, dan hal ini berarti sebuah kondisi yang baik di masyarakat.

Berbeda dengan indikator penemuan dan penanganan penyakit Untuk penyakit pertama, Acute Flacid Paralysis (AFP) targetnya adalah > 2 per 100.000 penduduk di bawah 15 tahun. Ini termasuk indikator negatif. Jika di suatu daerah kejadian AFP pada penduduk di bawah 15 tahunnya tinggi, maka daerah tersebut akan mampu memenuhi target. Tetapi jika sebaliknya, jumlah kasus AFP pada penduduk di bawah 15 tahun rendah (<2), akan daerah tersebut tidak mampu memenuhi target. Hal inilah yang kurang sesuai dengan paradigma sehat, karena yang dijadikan ukuran keberhasilan adalah jumlah kasus.

5. Pilihan kegiatan dan rancangan anggaran untuk mencapai target SPM seringkali

didasarkan pada kegiatan yang ‘sudah biasa’ dilakukan, belum didasarkan atas kajian permasalahan yang dihadapi dan kesenjangan capaian; demikian pula hal dengan rancangan anggaran, belum berdasarkan kinerja yang ditargetkan, melainkan anggaran tahun sebelumnya (yang biasanya dinaikkan 6-10%)

6. Pilihan kegiatan tidak selalu sesuai dengan nomenklatur kegiatan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas PeraturanMenteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Di kabupaten /kota mitra, KINERJA membantu mengatasi persoalan dalam perencanaan

pencapaian SPM ini melalui kegiatan ‘penghitungan pembiyaaan (costing) SPM Kesehatan’.

(9)

9 / 13 KINERJA membantu Dinas Kesehatan melalui penyusunan tabel sandingan antara daftar kegiatan dalam KepmenKes No 317/Menkes/SK/V/2009 dengan kegiatan yang sama/sejalan dengan kegiatan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59/2007. Harmonisasi judul kegiatan ini adalah untuk mempermudah proses integrasi hasil costing SPM bidang kesehatan ke dalam dokumen resmi perencanaan dan penganggaran daerah.

B.

Tata Kelola Penerapan

1. Isu pemenuhan hak setiap warga atas Standar Pelayanan Minimal, termasuk bidang kesehatan belum menjadi isu populer di kalangan masyarakat, media, Pemerintah

Daerah, dan DPRD. Belum populernya isu SPM ini juga menjadi tantangan bagi

Dinas dalam ‘memperjuangkan’ anggaran untuk meningkatkan kinerja Pemda dalam bidang kesehatan berdasarkan indikator dan target SPM.

Kondisi ini memang sangat dipengaruhi atas pengetahuan dan kesadaran warga danmedia untuk

‘meminta’/menciptakan ‘demand’ atas perubahan kualitas pelayanan kesehatan. Bantuan teknis USAID-KINERJA mendorong upaya pemenuhan SPM dengan model partisipatoris lintas sektoral, yang menekankan partisipasi semua pihak terkait, yakni pengguna layanan, lembaga pemerintah, dan masyarakat secara luas. Model ini diterapkan melalui survey pengaduan masyarakat yang indikatornya disusun mengacu pada indikator dan target SPM, dan tindak lanjut Puskesmas ataupun Dinas melalui janji perbaikan pelayanan pun juga mengacu pada perubahan capaian SPM yang disepakati antara pengguna layanan dan lembaga penyedia layanan. Media, melalui jurnalisme warga, mempromosikan dan mewadahi pengawasan implementasi janji perbaikan pelayanan tersebut.

Dalam catatan USAID KINERJA, dari seluruh tulisan yang dihasilkan jurnalis warga, sekitar 50% di antaranya adalah terkait dengan sector kesehatan, termasuk upaya pemenuhan SPM.

(10)

10 / 13 dan Dinas Kesehatan, sumber data/informasi/tulisan bagi media, serta berpotensi sebagai mitra DPRD dalam pengawasan pelayanan kesehatan. Indikator SPM terkait Kesehatan Ibu dan Anak di tiga daerah ini juga menunjukkan peningkatan capaian.

2. Upaya pencapaian SPM seakan-akan hanya menjadi ‘wilayah’ Pemerintah Daerah,

masyarakat dan media belum dipandang sebagai ‘asset’ yang dapat digunakan untuk mendorong dan memperbesar kapasitas kabupaten/kota mencapai SPM.

Pada kab/kota mitra/binaan, KINERJA memfasilitasi interrelasi antara Dinas Kesehatan, Puskesmas, dengan MSF peduli kesehatan, dan media. Pelibatan dan partisipasi aktif MSF dan media dalam costing SPM telah mendorong inisiatif masyarakat dan media untuk berbagi peran di tingkat lokal sehingga kegiatan pendukung pencapaian SPM tidak sepenuhnya mengandalkan Pemerintah Daerah, tetapi ada yang dikerjakan secara swadaya oleh kelompok/forum masyarakat. Misalnya promosi isu SPM oleh jurnalis warga atau radio lokal dan promosi kesehatan ibu dan anak melalui kelompok perias manten di Bondowoso.

3. Masih banyak kabupaten/kota yang belum menjadikan SPM bidang kesehatan sebagai orientasi kinerja penyelenggaraan urusan kesehatan di kabupaten/kota memperhatikan proses perencanaan dan penganggaran jangka menengah dan tahunan belum mengintegrasikan indikator dan target SPM ini, baik pada dokumen daerah, dokumen Dinas, maupun dokumen rencana dan anggaran Puskesmas.

Kepastian dan keberlanjutan komitmen pencapaian target SPM tetap perlu diwujudkan dalam kebijakan perencanaan dan penganggaran yang dituangkan dalam dokumen resmi daerah, Dinas Kesehatan, maupun Puskesmas, bahkan dapat dipayungi oleh regulasi tersendiri, seperti peraturan bupati/walikota tentang penerapan SPM bidang Kesehatan.

(11)

11 / 13 mengatur target capaian tahunan. Hasil costing SPM juga menjadi salah satu lampiran peraturan ini. Peraturan walikota yang disahkan pada akhir 2013 ini selanjutnya menjadi acuan RKPD dan Renja Dinas Kesehatan dalam menyusun target kinerja tahunan bidang kesehatan.

Rekomendasi

Berdasarkan pengalaman USAID-KINERJA dalam pendampingan penerapan SPM bidang kesehatan dan kajian internal tim KINERJA, berikut beberapa rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan 2019, yaitu:

1. Alur penyusunan data dasar; Secara garis besar alur penyusunan data dasar adalah Puskesmas dan sarana kesehatan menghimpun data capaian indikator SPM untuk disampaikan ke Dinas Kesehatan (unit data dan informasi-Seksi Info Litbang) secara reguler. Dinas Kesehatan menghitung nilai sasaran. Harus dibentuk SOP di tingkat Puskesmas dan dinas kesehatan agar memungkinkan adanya kegiatan verifikasi dan pelacakan kembali jika masih ditemukan data yang kurang meyakinkan.

2. Penetapan beberapa angka proyeksi; Dilakukan pendataan sasaran secara langsung untuk menghitung angka sasaran yang sebenarnya, dan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dan biro pusat statistik mengenai temuan hasil pendataan langsung. 3. Pemahaman definisi operasional dan langkah kegiatan pencapaian SPM (Kepmenkes

No. 828/MENKES/SK/IX/2008 dan Permenkes No. 317/MENKES/SK/V/2009); Perlu dilakukan sosialisasi SPM secara berjenjang, diawali dari tingkat Dinas Kesehatan ke seluruh Puskesmas dan kelompok peduli kesehatan tingkat kab/kota, selanjutnya dari Puskesmas ke sarana kesehatan yang dibawahnya, misalnya pustu, puskel, dan posyandu, dan para bidan. Lokakarya penyusunan rencana penerapan SPM secara intens dilakukan dengan melibatkan lintas sektor dan forum multi stakeholder. Dalam lokakarya perlu dilakukan penanaman mindset tentang pentingnya inovasi kegiatan untuk menutup gap capaian SPM kesehatan.

4. Sinergi peran antara Puskesmas, Sarana Kesehatan dan Dinas Kesehatan; Perlu dilakukan penyamaan persepsi antara Puskesmas, sarana kesehatan, dan Dinas Kesehatan

(12)

12 / 13 SPM ke dalam perencanaan dan penganggaran. Masing-masing Puskesmas diberi

penjelasan tentang target SPM yang ‘dibebankan’ Dinas Kesehatan kepada Puskesmas. 5. Sistem informasi terpusat atas data untuk setiap jenis layanan dan indikator SPM

perlu disiapkan serta diterapkan oleh seluruh Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Hal ini untuk mendukung pemantauan dan evaluasi kemajuan pencapaian SPM, baik di tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Sistem informasi terpusat ini juga akan mendukung setiap tingkatan pemerintahan dalam pengambilan keputusan lokus program dan anggaran untuk memperkecil kesenjangan layanan antar wilayah.

6. Untuk memudahkan Dinas Kesehatan dalam mengintegrasikan kegiatan pencapaian SPM ke dalam dokumen APBD agar mengacu dan menggunakan nomenklatur kegiatan sebagaimana tertuang dalam Permendagri No 13/2006 dan perubahannya, diperlukan Surat Edaran Bersama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri

tentang penyelarasan nomenklatur kegiatan pencapaian SPM.

7. Indikator jenis pelayanan yang termasuk upaya promotif perlu dimuat dalam SPM. SPM yang berlaku saat ini mencakup 4 jenis pelayanan: (1) pelayanan kesehatan dasar, (2) pelayanan kesehatan rujukan, (3) penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB, serta (4) promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah indikator terkait penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB pada SPM yang berlaku saat ini turut dipengaruhi ada/ tidaknya upaya preventif, seperti akses sumber air minum layak dan berkelanjutan, akses sanitasi layak dan berkelanjutan, dan penerapan PHBS.

8. Sejumlah kabupaten/kota membuktikan bahwa keterbukaan Dinas Kesehatan untuk melibatkan masyarakat peduli kesehatan dan media telah membantu upaya peningkatan capaian indikator SPM. Diperlukan keterbukaan Dinas Kesehatan untuk melibatkan peran MSF peduli kesehatan dalam proses perencanaan dan penganggaran pencapaian SPM (costing SPM), dan monitoring dan evaluasi bersama kemajuan penerapan dan pencapaian SPM.

(13)

13 / 13 menggunakan indikator meningkatnya status capaian, melainkan juga dari ada/tidaknya kegiatan partisipasi sumber daya lokal dalam mendorong pencapaian SPM kesehatan. 10. Untuk mendorong inovasi dalam percepatan pencapaian target SPM, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan perlu mempertimbangkan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif/sanksi keuangan bagi kabupaten/kota terhadap pencapaian SPM. Insentif dapat disalurkan melalui DAK atau Hibah Insentif SPM, dan disinsentif dapat diterapkan melalui pembatasan DAU, pembatasan DAK Kesehatan, ataupun mekanisme penggunaan dana tugas pembantuan.

Kesimpulan

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu segera melakukan penyesuaian SPM bidang kesehatan. Saat ini merupakan waktu yang tepat mengingat SPM yang saat ini berlaku akan segera memasuki tahun terakhir (2015). Untuk itu, perlu segera ditetapkan SPM yang akan berlaku untuk periode 5 tahun ke depan dengan adanya beberapa penyesuaian sebagaimana diusulkan dalam opsi kebijakan. Regulasi Kementerian Kesehatan atas penerapan SPM Kesehatan juga meliputi tugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam hal penyediaan data dasar, penggunaan definisi

operasional, dan penyepakatan ‘beban’ target pencapaian SPM. Perlu dilakukan penegasan kembali oleh Kementerian Kesehatan tentang integrasi SPM dalam perencanaan Puskesmas dan pengalokasian BOK berbasis prestasi pencapaian SPM.

Referensi

Dokumen terkait

URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN YANG DITUGASKAN KEPADA PEMERINTAH PROVINSI DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN TAHUN ANGGARAN

• Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota: wajib dan pilihan  bidang

PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN KEPADA GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN TAHUN ANGGARAN

Pada tataran perencanaan program hasil perhitungan unit cost yang digunakan untuk perhitungan kebutuhan pendanaan SPM bidang kesehatan kabupaten/kota telah mendorong

URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN YANG DITUGASKAN KEPADA PEMERINTAH PROVINSI DAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN TAHUN ANGGARAN

Walaupun penjaringan kesehatan terhadap peserta didik kelas I SD telah masuk dalam SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota, dan telah didukung oleh UU Kesehatan

TARGET PENCAPAIAN INDIKATOR KINERJA TAHUNAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN YANG WAJIB DILAKSANAKAN KABUPATEN / KOTA Dl JAWA

melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota sesuai ketentuan