• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PANDUAN METODE MULTISENSORI DALAM PEMBELAJARAN PEMAHAMAN MAKNA KATA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN PANDUAN METODE MULTISENSORI DALAM PEMBELAJARAN PEMAHAMAN MAKNA KATA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

i

A. Latar Belakang Masalah ………. B. Fokus Penelitian …………..……….. C. Pertanyaan Penelitian .……… D. Tujuan dan Manfaat .………..

A. Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita Ringan ………… B. Pemahaman Makna Kata Pada Anak Tunagrahita Ringan ……… C. Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan ……….……… 16 32

(2)

ii BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ………. B. Subyek dan Lokasi Penelitian ……… C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen …… D. Teknik Analisis Data ………... E. Prosedur Penelitian ………. F. Teknik Analisis Data ………..

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ………... B. Pembahasan Penelitian ………

62 112 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

(3)

iii

DAFTAR TABEL Tabel

3.1 Gambaran Informan dari Unsur Guru ………..……… 3.2 Gambaran Informan Dari Unsur Siwa/Anak ……..……….. 3.3 Kisi-Kisi dan Teknik Pengambilan Data ………... 4.1 Hasil Observasi Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata

Kelas 1 SDLB C …..………. 4.2 Hasil Observasi Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata

Kelas VII SMPLB C ……… 4.3 Hasil Observasi Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………... 4.4 Hasil Wawancara Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………...……….…….. 4.5. Hasil Wawancara Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C ……….. 4.6 Hasil Wawancara Persiapan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Kelas X SMALB C ………. 4.7 Rangkuman Data Persiapan yang Dilakukan Guru Dalam

Pembelajaran Pemahaman Makna kata Saat Ini ………. 4.8 Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini Kelas I SDLB C ……….……….. 4.9 Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Saat Ini Kelas VII SMPLB C ……….……….. 4.10 Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna

(4)

iv

4.13 Hasil Wawancara Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini Kelas X SMALB C ….……….. 4.14. Rangkuman Data Pelaksanaan Pembelajaran Pemahaman Makna

Kata Saat Ini ……… 4.15. Hasil Observasi Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam

Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ……….. 4.16 Hasil Observasi Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam

Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C …..

4.17. Hasil Observasi Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C …….. 4.18 Hasil Wawancara Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………….. 4.19 Hasil Wawancara Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C …….. 4.20 Hasil Wawancara Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………. 4.21 Rangkuman Data Guru Menerapakan Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata ……….. 4.22 Hasil Observasi Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan

Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………..……….. 4.23 Hasil Observasi Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan

Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C ………..………... 4.24 Hasil Observasi Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………..……….. 4.25 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas I SDLB C ………..…………... 4.26 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas VII SMPLB C ………..……...

(5)

v

4.27 Hasil Wawancara Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Kelas X SMALB C ………..……….. 4.28 Rangkuman Data Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata .………..……….. 4.29 Rangkuman Data Hasil Penelitian Kondisi Obyektif Pembelajaran

Pemahaman Makna Kata Saat Ini ... 4.30 Rangkuman Proses Penyusunan Panduan Metode Multisensori

Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan ………...

103

104

105

(6)

vi

DAFTAR BAGAN Bagan

3.1 PROSEDUR PENELITIAN ………..……… 4.1 Draf Panduan ………...……….. 4.2 Panduan Hasil FGD ...………... 4.3 Panduan Akhir ……..….……….

(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Pedoman Observasi ………... Pedoman Wawancara ... Hasil Observasi ……….. Hasil Wawancara ………... Daftar Hadir Peserta FGD ……… Keputusan Direktur SPs UPI tentang Pengangkatan Pembimbing Penulisan Tesis (S2) …….………... Hasil Ujian Komprehensif Program Magister (S2) ………

128 129 133 136 144

(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Guru dibeberapa sekolah luar biasa (SLB) sering mengeluhkan tentang kesulitaannya dalam pembelajaran memahami makna kata benda pada anak didiknya yang tunagrahita. Diantara keluhan itu misalnya, ketika guru meminta anak menunjukkan benda kongkrit “buku” anak hanya mengangguk atau ada anak yang menjawab “tulis”, ada pula yang “membeo” mengulang lagi ucapan guru “buku”, anak tidak menunjuk benda kongkrit buku. Kondisi lain yang teramati diantaranya ada anak tungrahita kelas 1 yang menginginkan sesuatu benda tapi tidak bisa menyebutkan benda itu, ia hanya bisa menunjuknya. Perilaku seperti ini sering membingungkan karena orang yang diharapkan dapat membantunya tidak tahu benda atau keinginan yang dimaksud oleh anak.

Dari kondisi tersebut menurut guru sudah mencoba dengan berbagai cara. Hasilnya siswa hanya bisa meniru ucapan guru terhadap kata yang diajarkan tanpa memahami maknanya.

(9)

2 arah dengan baik, karena dengan kata-kata seseorang dapat mengungkapkan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dilakukan ke dalam simbol-simbol bahasa serta menangkap berbagai informasi baik lisan maupun tulisan. Tentunya ini menjadi lebih rumit bagi anak tunagrahita karena adanya hambatan dalam kognitifnya, tapi tetap penting untuk dikuasai.

Untuk menguasai makna kata pada anak tunagrahita tentunya akan berbeda dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Proses untuk memahami makna kata bagi anak tunagrahita membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi yang menitik beratkan pada kemampuan pemahaman akan kata yang mereka dengar (reseptif) atau mereka ucapkan (ekspresif). Pendekatan yang diterapkan hendaknya tidak hanya menstimulus salah satu modalitas/indera saja, akan tetapi harus mencakup keseluruhan modalitas yang dimiliki oleh anak. Hal ini didukung oleh pendapat Supartina (Edja, 1995:15) yang mengemukakan:

semakin banyak benda yang dilihat, didengar, diraba, atau dimanipulis, dirasa, dan dicium, maka akan semakin pesat berlangsungnya perkembangan persepsi dan makin banyak tanggapan yang diperoleh maka akan makin pesat pulalah perkembangan bahasanya.

(10)

3 metode multisensori, yang diharapkan menjadi suatu alternatif solusi dalam memgembangkan kemampuan pemahaman makna kata. Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap berbagai indera-indera secara terpadu melalui modalitas sensori yang dimiliki seseorang.

Penelitian yang relevan telah dilakukan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Suharyati (2005) membuktikan bahwa penerapan metodemultisensori/VAKT dalam pembelajaran bahasa dapat meningkatkan kemampuan kosa kata siswa tunarungu. Maka metode multisensori ini juga sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita yang mudah memahami sesuatu yang bersifat kongkrit (dapat dilihat, di rasa, dan di raba) daripada hal-hal yang bersifat abstrak.

Kondisi di lapangan, terlihat bahwa metode ini jarang digunakan untuk dijadikan solusi dalam meningkatkan pemahaman akan kata yang dikuasai siswa, di dalam penerapan metode ini dirasakan sulit dilakukan oleh guru terhadap siswa, hal ini berkaitan dengan terbatasnya sarana penunjang serta petunjuk praktis dari teknik multisensori itu sendiri. Pada umumnya guru-guru di sekolah biasa (SLB) telah mengetahui istilah metode multisensory. Tapi belum memahami penggunaannya secara luas. Guru-guru SLB lebih mengenal metode multi sensori sebagai salah satu metode dalam pembelajaran membaca.

(11)

4 dengan menggunakan metode multisensori. Sejalan dengan Dede, Awwah (2005) yang meneliti penggunaan metode multisensori untuk meningkatkan kosa kata pada anak tunarungu. Yang terpenting dari penelitian tersebut adalah metode multisensory dapat dikembangkan penerapannya pada pemahaman makna kata.

Berdasarkan observasi peneliti, penggunaan metode multisensori untuk kepentingan pemahaman makna kata, khususnya bagi anak tunagrahita, belum ditemukan adanya panduan atau pedoman penggunaannya untuk kepentingan tersebut.

Panduan ini penting adanya karena dapat memberikan arahan prosedur yang sistematis sesuai dengan konsep metode multisensori dan pembelajaran menjadi lebih efektif. Selain itu, sebagai akibat dari pergeseran penggunaan dari yang biasa diterapkan dalam belajar membaca menjadi diterapkan dalam pembelajaran pemahaman makna kata. Dengan pergesern seperti demikian maka akan memunculkan inovasi dalam penerapannya sehingga diperlukan adanya panduan penggunaanya.

Dengan adanya panduan maka pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori menjadi semakin menarik dan dapat dilaksanakan secara efektif. Guru menjadi memiliki arah yang jelas dalam pembelajaran pemahaman makna kata dan dapat melaksanakan sesuai dengan porsesdur metode multisensory.

(12)

5 adanya panduan penggunaan metode multisensory dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

B. Fokus

Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana panduan metode multisensori dalam pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan?

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus tersebut di atas maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran pemahaman makna kata saat ini? a. Bagaimanakah persiapan yang dilakukan guru dalam pembelajaran

pemahaman makna kata saat ini?

b. Bagaimanakah proses pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata saat ini?

c. Bagaimana guru menerapkan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata?

d. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multsensori?

(13)

6 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran mengenai panduan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan.

b. Tujuan Khusus

1) Memperoleh gambaran kondisi objektif pembelajaran pemahaman makna kata yang dilakukan saat ini.

2) Mengembangkan panduan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan.

2. Manfaat penelitian a. Manfaat Praktis

(14)

7 b. Manfaat Teoritis

Memberikan kontribusi pengayaan disiplin ilmu pendidikan kebutuhan khusus (PKKh) serta mendorong peneliti lainnya untuk meneliti lebih lanjut.

E. Penjelasan Konsep

Penjelasan konsep dimaksudkan agar ada pemahaman yang sama mengenai konsep-konsep yang menjadi focus utama dalam penelitian ini: 1. Metode multisensori

Metode multisensori dalam peelitian ini adalah suatu metode dalam pembelajaran yang di dalamnya terdapat proses stimulasi modalitas indera yang dimiliki oleh anak, diantaranya visual, auditori, kinestetik, dan taktual.

2. Pemahaman makna kata

Pemahaman makna kata dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai pengertian suatu kata yang jelas dan tepat yang diujarkan sesuai dengan yang maksud oleh pikiran dan perasaan sehingga dapat menghasilkan reaksi tertentu.

3. Pengembangan panduan penggunaan

(15)

8 dalam menerapkan metode multisensori pada pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitiannya adalah metode deskriptif. Pengertian metode deskriptif diungkapkan oleh Ali (1990) adalah:

metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa sekarang dan dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi data, analisis/laporan dengan tujuan utama membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.

Data yang diperoleh adalah data kualitatif, yaitu berupa kata-kata yang menggambarkan kondisi sesuai dengan pertanyaan penelitian. Data tersebut disajikan dalam bentuk deskripsi sehingga diperoleh gambaran yang utuh apa adanya tentang hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan penelitian.

Di dalam metode penelitian ini juga disajikan pembahasan tentang pendekatan penelitian, subyek dan lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta prosedur penelitian. Berikut penjelasannya di bawah ini.

1. Pendekatan Penelitian

(16)

9 sehingga data tersebut menjadi akurat dan layak digunakan dalam

penelitian. Sejalan yang dinyatakan oleh Moleong (2004: 6) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Data atau informasi yang diungkap berupa kata-kata baik secara lisan maupun secara

tertulis, gambaran secara deskripsi berdasarkan pertanyaan penelitian yang

diperoleh dari subyek tentang pendapatnya dan perbuatannya pada saat

dilakukan penelitian.

2. Sumber Data dan Lokasi Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah guru kelas 1 SDLB C sebanyak satu orang, guru kelas VII SMPLB C satu orang, dan guru kelas X SMALB C satu orang. Jadi subyeknya ada 3 orang. Guru tersebut telah memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 1 tahun dan telah mengikuti sertifikasi guru. Sumber data ini selanjutnya disebut informan utama. Selain unsur guru, sumber data lainnya adalah anak tunagrahita ringan yang ada di kelas 1 SDLB C, kelas VII SMPLB C, dan kelas X SMALB C SLB Roudhotul Jannah.

(17)

10 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik yang digunakan dalam penelti untuk memperoleh data yang dibutuhkan sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian ini. Teknik yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi dokumen.

Adapun teknik pengumpulan datanya sebagai berikut: a. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi non-partisipatori atau dengan pengamatan langsung tanpa melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Teknik observasi non-partisipatif digunakan untuk melihat perilaku dan tindakan yang dilakukan guru dan siswa dalam setting lingkungan kelas ketika pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan sebagai teknik pengumpulan data utama guna memperoleh kejelasan dan kekayaan informasi yang bersifat faktual dan observeble. Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (2005), dalam penelitian kualitatif secara metodologis penggunaan observasi dapat mengoptimalkan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya.

(18)

11 multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata, serta faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori.

b. Wawancara

Menurut Susan Stainback yang dikutip Sugiyono (2005: 72) mengemukakan bahwa wawancara ‘... provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant

interpret a situation or phenomenon than can be gained through

observation alone.’ Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan

mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan (informan) dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Teknik wawancara yang dipergunakan dalam pengumpulan data ini terdiri dari wawancara semi terstruktur dan wawancara tak berstruktur.

(19)

12 yang diperoleh dari hasil wawancara dicatat dan dapat disalin menjadi bentuk tulisan/laporan.

Melalui teknik wawancara diharapkan dapat dikumpulkan data mengenai:

1) Persiapan yang dilakukan guru dalam pembelajaran pemahaman makna kata saat ini.

2) Proses pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata saat ini.

3) Penerapan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

4) Faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multsensori.

c. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan teknik observasi dan wawancara. Sebagaimana diungkapkan oleh Satori dan Komariah (2010 : 149) bahwa studi dokumentasi itu adalah:

mengumpulkan dokumen dan data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan serta pembuktian suatu kejadian.

(20)

13 diantaranya instrument asesmen dan program pembelajaran (silabus, RPP).

4. Teknik Analisis Data

Secara garis besar prosedur pengolahan dan analisis data menurut Hopkins (Moleong, 1994) adalah sebagai berikut :

a. Pengumpulan dan Kategorisasi Data

Kegiatan ini dilakukan pada semua catatan lapangan/observasi, wawancara. Data tersebut diinterpretasi sedemikian rupa sehingga kemudian lebih mudah digolongkan atau dikategorisasi. Hasil interpretasi ini disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menjelaskan suatu kondisi.

b. Interpretasi

(21)

14 tindakan selanjutnya maupun untuk kepentingan peningkatan kinerja dan profesionalitas guru itu sendiri.

5. Prosedur Penelitian

Prosedur adalah langkah dan cara yang dilakukan oleh peneliti dalam suatu penelitian. Adapun prosedur yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Studi Kondisi Objek Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat Ini

Dalam tahap ini peneliti mengumpulkan data mengenai kondisi pembelajaran pemahaman makna kata. Adapun kondisi yang diungkap diantaranya persiapan, proses pelaksanaan, penerapan/penggunaan metode multisensori oleh guru, faktor pendukung serta penghambat dalam penggunaan metode multisensori.

b. Analisis Hasil Studi Kondisi Objektif dan Merumuskan Draf Panduan

(22)

15 c. Tahap Validasi

Draf panduan yang telah disusun kemudian dibawa ke dalam focus group discussion (FGD). Draf panduan ditelaah noleh unsur

guru kelas dan guru mata pelajaran. Dari tahap ini menghasilkan draf panduan hasil FGD

d. Finalisasi/Tahap Akhir Rancangan Penduan Penggunaan Metode Multisensori

(23)

16 BAB II

PEMBELAJARAN PEMAHAMAN MAKNA KATA PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

Pada intinya, bab ini akan membahas tentang dampak ketunagrahitaan terhadap pemahaman makna kata dan bagaimana pembelajaran pemahaman makna kata dengan menggunakan metode multisensori bagi anak tunagrahita ringan. Pada bagian awal dijelaskan tentang perkembangan bahasa karena pemahaman makna kata merupakan bagian dari perkembangan bahasa. Secara berurut bab ini akan membahas topik-topik sebgai berikut:

A. Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita Ringan

(24)

17 1. Teori Perolehan Bahasa

Sebelum membahas tentang perkembangan bahasa, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang teori perolehan bahasa. Teori ini terdiri dari 3 pandangan, yaitu teori behavioral, teori psikolinguistik, dan teori kognitif. Di bawah ini akan diejelaskan satu per satu teori-teori tersebut.

a. Teori Behavioral

Dari sudut ini perkembangan bahasa dikaji dari sudut pandang teori operant conditioning B.F. Skinner (Lerner, 1988). Pandangan ini berkeyakinan bahwa bahasa dapat dipelajari melalui imitasi dan penguatan (reinforcement). Bayi yang pada awalnya tidak memiliki pengetahuan/pengalaman berbahasa, secara bertahap memperoleh keterampilan berbahasa melalui imitasi yang mendapatkan penguatan dari model (lingkungan) yang ditirunya itu. Contoh, orang tua yang gembira/senang melihat bayinya mengucapkan bunyi bicara suatu kata tertentu. Kemudian orang tua itu mengikuti apa yang bayi ucapkan (penguatan) dengan respon yang menyenangkan. Maka bayi akan mengulang bunyi ucapan itu dan mencoba meniru ucapan orang tuanya. Jadi, melalui perilaku bahasa dapat dipelajari dengan prinsip-prinsip imitasi dan penguatan.

(25)

18 dibentuk melalui manipulasi stimulus dan factor-faktor penguatan yang ada dilingkungannya.

b. Teori Psikolinguistik

Teori psikolinguistik berpandangan bahwa ‘mekanisme perkembangan bahasa dipengaruhi oleh factor biologis dan genetic’ (Lenneberg, 1967 dalam Lerner, 1988). Pandangan ini berkeyakinan bahwa anak-anak belajar bahasa dan menggunakannya karena adanya pengaruh factor biologis. Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan pembawaan sejak lahir. Jadi kapasistas itu sudah dibawa oleh manusia sebagai factor genetic.

Ketika anak belajar berbahasa sesungguhnya ia telah memiliki modal berbahasa yang dibawanya sejak lahir. Oleh karena itu anak-anak belajar berbahasa tidak hanya belajar satu set kalimat tetapi lebih kepada internalisasi system bahasa untuk memperoleh pemahaman dan membuat kalimat baru.

(26)

19 c. Teori Kognitif

Kognisi dapat diartikan sebagai proses memahami sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan (Alimin, 2008). Dimana pemahaman tersebut diperoleh melalui proses yaitu proses sensoris dan persepsi (visual, auditif, kinestetk, dan taktual). Proses itu sendiri terjadi melalui suatu struktur kognitif yang disebut skemata.

Jean Piaget menyebut struktur kognitif sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dan berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.

(27)

20 skema. Sebagai contoh, seorang anak yang baru pertama kali melihat harimau maka ia akan menyebut harimau itu sebagai kucing besar, karena ia baru memiliki konsep kucing yang sering dilihatnya. Ia memiliki konsep kucing dalam skemanya dan ketika ia melihat harimau untuk pertama kalinya, maka konsep kucinglah yang paling dekat dengan stimulus.

Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Contoh seperti di atas, untuk pertama kalinya anak akan menyebut harimau dengan sebutan kucing atau kucing besar. Melalui proses sensori dan persepsi maka skema yang sudah ada terjadi perubahan yaitu adanya penambahan skema tentang harimau. anak menjadi memahami bahwa harimau itu bukan kucing tetapi sebagai konsep baru bahwa ada binatang yang disebut harimau sehingga tersimpan dalam pemahamannya tentang harimau.

(28)

21 keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Sehingga “perkembangan bahasa seorang anak akan semakin berkembang sesuai dengan kematangan mentalnya” (Lerner, 1988:317).

Pembelajaran bahasa dalam perspektif teori kognitif adalah menciptakan interaksi antara anak dengan berbagai pengalaman belajar, pengalaman berbahasa, dan menciptakan lingkungan yang mendorong anak untuk memperoleh pemahaman bahasa. Kuncinya adalah memulai dari apa yang sudah anak ketahui dan secara aktif menciptakan pembelajaran yang membangun pemahaman. Sehingga perkembangan bahasa dan kemampuan pemahamannya akan berkembang secara bertahap sejalan dengan perkembangan pengalaman berbahasanya.

Setelah membahas teori-teori perolehan bahasa di atas, maka ada pertanyaan bagaimanakah anak tunagrahita memperoleh perkembangan bahasanya? Jika dikaji dari tiga teori di atas maka anak tunagrahita memperoleh perkembangan bahasanya dapat melalui tiga sudut padang itu “… yang membedakannya dengan anak-anak pada umumnya adalah anak tunagrahita lebih lambat dan lebih terbatas” (Somad, 2009).

2. Perkembangan Bahasa Pada Anak Tunagrahita

(29)

22 saja yang mereka dengan sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak pada umunya dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 3 – 4 tahun (Gauri, 2007). Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah ia dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.

Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Pada kenyataanya, anak tunagrahita mengalami hambatan dalam perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat. Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama dengan usia mentalnya (mental age).

Anak tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara (Rochyadi, 2005:23). Hasil penelitian Robert Ingall (Rochyadi, 2005) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita

(30)

23 tidak dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, 6) bahasa tunagrahita bersifat kongkrit, 7) anak tunagrahita tidak dapat dapat menggunakan kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.

McLean dan Synder (Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan bahwa anak tunagrahita cenderung mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi morfologi, sintaksis, dan semantic. Dalam hal semantic mereka cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara obyek dengan ruang, waktu, kualitas, dan kuantitas.

Senada dengan hal di atas, Sutjihati (Sunardi dan Sunaryo, 2006) menjelaskan bahwa anak tunagrahita disamping dalam komunikasi sehari-hari cenderung menggunakan kalimat tunggal, pada mereka umumnya juga mengalami gangguan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme, serta mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara.

(31)

24 a. Perkembangan Prabahasa

Perkembangan ini dimulai dari bayi baru lahir. Jika dilihat dari masa ini maka antara bayi norma dan bayi Down syndrome hampir memiliki perkembangan yang sama (Gauri, 2007). Hanya saja bayi normal lebih aktif dan menunjukkan perilaku tangisan yang lebih keras/lepas.

Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.

b. Perkembangan Vokal

(32)

25 c. Perkembangan Sosial dan Komunikasi

Bayi Down syndrome (0-18 bulan) memperlihatkan keterlambatan perkembangan kontak mata, begitu pula dalam perkembangan merabannya (Berger & Cunninghan dalam Gauri, 2007). Sejalan dengan itu Jasnow dan kawan-kawan (Gauri, 2007) menyatakan mereka juga kurang memiliki interaksi dengan ibunya. Pada usia satu tahun lebih mereka mulai lebih dominan menggunakan penglihatannya dibandingkan menggunakan anggota tubuh lainnya untuk mengeksplorasi lingkungan. Bayi Down syndrome (18 bulan) juga menunjukkan ketertarikan dengan ibunya atau orang lain dengan kontak mata, namun mereka kesulitan berinteraksi dengan ibunya dan mainannya dalam waktu bersamaan. Komuniksi yang terjalin dengan ibu lebih banyak menggunakan kontak mata disbanding vokalisasi ucapannya.

Perbedaan perkembangan pola interaksi semakin terlihat jelas ketika bayi Down syndrome memasuki usia dua tahun lebih. Perbedaan tersebut direfleksikan dalam bentuk bermain dan komunikasi.

(33)

26 lebih sedikit berkata-kata dan tidak mampu mengungkapkan apa yang dimintanya melalui ucapan dibanding dengan anak pada umumnya.

Anak-anak Down syndrome juga lebih focus kepada orang-orang disekitar dari pada objek bendanya ketika menginginkan sesuatu. Kondisi tersebut merefeksikan keterlabatan perkembangan bahasanya. Mereka lebih suka menarik tangan, menujuk, atau melakukan gesture tertentu kepada orang sekitar ketika menginginkan sesuatu dari pada meminta objek dengan ucapan.

Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.

Anak-anak Down syndrome ini semakin bertambah usia maka ia semakin bertambah ramah (friendly) kepada orang-orang disekitarnya.

d. Perkembangan Semantik

(34)

27 Perkembangan bahasa anak-anak normal mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat ketika mereka mulai berusia satu tahun. Perkembangan bahasanya terlihat pada perbendaharaaan kata yang dimilikinya. Semakin berkembang ketika usia 36 bulan, mereka menguasai lebih dari 500 kata dan mereka memahami kata-kata tersebut (Fenson, 1994 dalam Gauri, 2007).

Perkembangan perbendaharaan kata pada anak Down syndrome ternyata sebanding dengan usia mentalnya, bahkan ada yang benar-benar tertinggal dikarenakan adanya hambatan ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et al., 1994 dalam Gauri, 2007).

Penelitian terakhir tentang penggunaan kata benda (kaitannya dalam masalah semantic) pada anak Down syndrome ternyata mereka ini lebih menggunakan kata dasarnya atau pada tingkat dasar (misalnya mobil, kuda) tidak mencapai tingkat subordinatnya (contoh Mercedes, zebra) atau tingkat superordinat (misalnya, kendaraan, hewan). Semua objek dipilih karena kelompok dasarnya misalnya anak tidak mempertimbangkan mobil sedan, truk, atau bis, semua itu akan dilabel sebagai mobil. Anak kesulitan jika harus melabel hingga subordinat dan superordinat. Begitu pula dengan kuda, maka anak tidak akan mempertimbangkan kuda zebra, kuda stallion dll. Mereka hanya akan melabel pada tingkat dasar, yaitu kuda.

(35)

28 memahami objek secara keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau bagian-bagian dari objek itu.

e. Perkembangan Fonologis (Bunyi Bahasa)

Sejalan dengan peroleh makna kata , mereka juga belajar bagaimana mengartikulasikannya (mengucapkannya) sesuai dengan aturan bahasa yang berlaku. Hampir semua perkembangan fonologis semakin sempurna ketika anak-anak mulai masuk sekolah. Namun, mereka terkadang harus berhadapan dengan kesalahan-kesalahan pengucapan.

Anak-anak tunagrahita cenderung memperlihatkan adanya gangguan artikulasi. Anak-anak Down syndrome menunjukkan kesulitan pada aspek fonologis yang dapat berkaitan dengan keterlabatan perkembangan merabannya dan bisa juga diakibatkan keterlabatan perkembangan bahasanya secara umum.

(36)

29 f. Perkembangan Tata Bahasa Awal

Setelah kemampuan melabel/member nama suatu objek dikuasai, kemudian anak-anak biasanya mencoba mengkombinasikan kata-kata yang sudah dipahami dirangkai menjadi dua-tiga kata sehingga membentuk ucapan/perkataan sederhana yang juga disebut ucapan telegrafik. Secara beratahap kemampuan anak-anak dalam membuat kalimat semakin bertambah panjang, seiirng dengan bertambahnya pemahaman makna kata dan elemen-elemen gramatikal. pertumbuhan seperti itu dapat diukur dengan Mean Length Utterances (MLU) (Brown, 1973 dalam Gauri, 2007).

Perkembangan tata bahasa awal juga ditemukan pada anak-anak tunagrahita. Tapi perkembangannya terlambat dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Berbegai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji masalah tersebut terhadap anak-anak Down syndrome. Hasilnya jika diukur dengan MLU maka pada mereka itu akan ditemukan penyebaran perubahan rata-ratanya sangat bervariasi.

Contoh, hasil penelitian terhadap anak perempuan Down syndrome yang belum menunjukkan kemampuan menyusun ucapan yang terdiri dari dua kata, sedangkan usianya 4 tahun. Namun rata-rata MLU nya sama dengan anak-anak normal ketika ia usia 5 tahun 6 bulan.

(37)

30 yang bermakna terjadi pada usia enam tahun. Tentunya hal itu tertinngal banyak oleh anak-anak normal (Tager, 1990 dalam Gauri, 2007).

g. Perkembangan Pragmatik

Selain, fonologi, kosa kata dan tata bahasa, anak-anak juga harus belajar menggunakan bahasa secara efektif sesuai dengan konteks sosialnya. Dalam percakapan normal partisipan harus saling berbagi giliran, berada ada dalam topic pembicaraan yang sama, pernyataan dari pesan yang disampaikan harus jelas dan sesuai aturan budayanya sehingga mendukung setiap individu dalam percakapan tersebut.

(38)

31 1) Perkembangan Perilaku Bicara

Sangat kontras sekali anatar kemampuan sintaksis dan kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome, setelah diukur melalui MLU, ternyata sama dengan anak-anak normal, yaitu berada pada rentang 1,7 hingga 2,0. Namun secara fungsional tetap tertinggal dibandingkan dengan anak normal meskipun dengan usia mental yang sama.

Dari aspek functional lainnya ketika meminta, anak-anak Down syndrome lebih banyak menggunakan satu kata. Begitu pula dengan yang lainnya.

2) Kompetensi Percakapan

(39)

32 3) Sensitifitas Terhadap Kebutuhan Pendengar

Lawan bicara terkadang membutuhkan informasi tambahan, meminta pengulangan ucapan/pembicaraan, atau minta penjelasan. Jika itu bisa dipahami maka perbincangan akan semakin menarik. Hanya saja itu sulit bagi anak-anak Down syndrome. Mereka lebih focus pada perbincangannya sendiri. Namun demikian, penelitian pada anak-anak Down syndrome usia 10 tahun ke atas, mereka lebih mampu melakukan itu walau pun sebatas mengulang pembicaraan.

Berdasarkan perkembangan bahasa di atas maka kemampuan bahasa anak tunagrahita cukup rendah. Masalah kemampuan bahasa yang rendah pada anak tunagrahita mengisyaratkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada mereka seyogianya dirancang sebaik mungkin dengan menghindari penggunaan bahasa yang kompleks (rumit). “Bahasa yang digunakan hendaknya berbentuk kalimat tunggal yang pendek, gunakan media atau alat peraga untuk mengkongkritkan konsep-konsep abstrak agar ia memahaminya.” (Rochyadi, 2005:24).

B. Pemahaman Makna Kata Pada Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Makna Kata

(40)

33 Menurut Tarmansyah (1996:67) “makna adalah isi yang terkandung dalam ujaran hingga dapat menghasilkan reaksi tertentu”. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2000:513), “kata” diartikan sebagai:

1) unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang erupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa, 2) ujar; bicara, 3) satuan (unsur bahasa yang terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas.

Makna kata (semantik) merupakan bagian dari unsur bahasa. Sebagaimana penjelasan berikut ini bahwa para ahli bahasa membagi bahasa ke dalam beberapa aspek. Aspek pertama adalah bahasa ditinjau dari bagaimana bahasa itu diterima (reseptif) dan diungkapkan (ekspresif). Aspek kedua adalah bahasa ditinjau sebagai suatu system yang terdiri atas fonologi, sintaks, morfologi, semantic (pemahaman makna kata) dan pragmatic.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka “makna kata” dapat diartikan sebagai pengertian suatu kata yang jelas dan tepat yang diujarkan sesuai dengan yang maksud oleh pikiran dan perasaan sehingga dapat menghasilkan reaksi tertentu.

2. Kemampuan Pemahaman Makna Kata Anak Tunagrahita

(41)

34 kecerdasannya dibawah rata-rata berdampak pada perkembangannya, salah satunya berdampak pada perkembangan bahasa.

Perkembangan bahasa anak tunagrahita mengalami hambatan, hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan/keterampilan berbicaranya terlambat padahal organ bicara dan pendengarannya cukup baik. Sehingga, mereka “… terkesan sedikit berbicara dan sulit untuk memahami kata-kata serta sulit mengungkapkan bahasa ekspresifnya.” (Dalwadi, 2002).

Dapat diamati pula pada anak-anak Down syndrome, kemampuan pemahaman makna kata (semantic) pada anak Down syndrome ternyata sebanding dengan usia mentalnya, bahkan ada yang benar-benar tertinggal dikarenakan adanya hambatan ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et al., 1994 dalam Gauri, 2007).

(42)

35 Penelitian lain yang mendukung Mervisn dan Bertrand (Gauri, 2007) yang memperjelas bahwa anak-anak Down syndrome lebih memahami objek secara keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau bagian-bagian dari objek itu.

Itulah akibat dari adanya hambatan perkembangan kognitif yang menyebabkan adanya keterbatasan untuk memahami makna kata tertentu. Sehingga kondisinya menjadi sangat tertinggal dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya meskipun dengan usia mental yang sama.

Jadi anak tunagrahita mengalami hambatan dalam pemahaman makna kata bukan dikarenakan oleh terganggunya pendengaran atau organ bicaranya yang rusak.

C. Metode Multisensori Dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan

(43)

36 Selanjutnya akan dibahas tentang apa dan bagaimana metode multisensory, serta penggunaanya dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

1. Pengertian Multisensori

Secara harfiah multisensory dimaknai sebagai “berbagai indera”. Makna secara istilah multisensori adalah penggabungan/integrasi berbagai indera dalam satu konteks kegiatan (Shodiq, 1996). Apabila ditinjau sebagai suatu metode pembelajaran maka metode multisensori dimaknai sebagai upaya optimalisasi berbagai indera melalui berbagai aktifitas yang dapat menyebabkan subyek didik menangkap informasi atau pengetahuan dengan indera yang dimilikinya.

Kaitanya dengan pembelajaran makna kata Supartina (Edja, 1995:15) mengemukakan bahwa melalui metode multisensori (multiindera) maka subyek didik akan semakin banyaka memahami kata-kata karena ia dilibatkan dalam aktifitas mengamati, mendengar, meraba, merasa, mencium, atau dianipulasi. Dengan demikian semakin pesat perkembangan persepsi dan makin banyak tanggapan yang diperoleh maka akan makin pesat pulalah perkembangan bahasanya.

2. Teori Belajar Kognitif Melandasi Metode Multisensori

(44)

37 sebagai indikator terhadap apa yang terjadi dalam otak peserta didik. Jean Piaget adalah pelopor terkenal teori ini. Gagasan utama dalam teori kognitif adalah perwakilan mental yang disebut skema. Skema akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima akan dipahami seseorang. Jika informasi sesuai dengan skema yang ada, maka peserta didik akan menyerap informasi tersebut ke dalam skemanya. Seandainya tidak sesuai dengan skema yang ada, informasi akan ditolak atau diubah, atau disesuaikan dengan skema, atau skema yang akan diubah dan disesuaikan (Suparno, 2001 dalam Indriyani, 2011).

Pandangan kognitif juga memiliki pengaruh dalam proses perolehan bahasa pada anak-anak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab terdahulu bahwa teori kognitif merupakan salah satu teori yang membangun proses perolehan bahasa.

(45)

38 Dalam bagian ini akan diuraikan lebih rinci pembelajaran model Gagne. Model pembelajaran yang ditawarkan lebih operasinal, sehingga mudah dipahami penerapan dalam pembelajaran. Terdapat tiga konsep pokok dalam model pembelajaran Gagne (Yulaelawati, 2004) yaitu tentang kondisi internal dan eksternal pebelajar, kejadian belajar, dan Kejadian pembelajaran.

a. Kondisi internal dan eksternal. Komponen penting di dalam belajar, yaitu kondisi internal-eksternal. Kondisi internal merupakan hukum yang digunakan Gagne di dalam menjelaskan kesiapan sipebelajar atau siswa. Komponen kondisi internal merupakan dasar bagi sipebelajar untuk melakukan interaksi atau kesiapan di dalam menerima stimulasi dari lingkungan. Kondisi eksternal merupakan stimulus yang dapat berinteraksi dengan kondisi internal sipebelajar, yang berupa acara pembelajaran yang cocok dengan tahapan fase-fase belajar. Dengan demikian kejadian-kejadian eksternal perlu diatur sedemikian rupa agar pengaruhnya terhadap proses internal dalam diri pebelajar dapat menghasilkan respon sesuai dengan yang diharapkan dari pembelajaran. b. Kejadian belajar. Proses internal yang terjadi dalam proses belajar pada

(46)

39 yang berpengaruh dalam penyimpanan pengetahuan sebagai ingatan. Berdasarkan ingatan ini maka timbullah respon dari pebelajar apabila diberikan suatu stimulus. Secara sederhana dapat digambarkan proses pembelajaran pada diri individu terjadi melalui alur bahwa: input yang diberikan dalam bentuk perintah dari guru, bahan bacaan, bahan ajar, dan dari pengalaman akan dicatat pada indera, kemudian disimpan dalam ingatan jangka pendek untuk selanjutnya disimpan dalam ingatan jangka panjang. Ketika pebelajar menghadapi permasalahan atau memerlukan informasi, pengetahuan dan ingatan jangka panjang dapat dikeluarkan sebagai suatu output.

c. Kejadian pembelajaran.

(47)

40 Dari pemaparan di atas memunculkan pengembangan teori belajar kognitif untuk digunakan dalam suatu metode. Metode ini di dalamnya mengoptimalkan segala macam fungsi sensori yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Didasari pula oleh pernyataan Piaget bahwa proses pemahaman yang terbentuk dalam kognitif seseorang dikarenakan adanya proses informasi atau pegetahuan yang diterima dan dipersepsi melalui berbagai indera/sensori, sehingga terbentuk pemahaman. Selanjutnya muncul gagasan integrasi berbagai modalitas sensori yang dikembangkan oleh Fernald dan Gillingham.

3. Penggunaan Metode Multisensori

Multisensori ini dikenal juga dengan istilah VAKT (sistem Visual-Auditori-Kinestetik-Taktil). Multisensori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan ide yang dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Shodiq, 1996:93). Menurut Gillingham dan Stillman multisensori pada dasarnya sangat baik digunakan dalam belajar membaca, khususnya membaca permulaan. Akan tetapi dalam penelitan ini digunakan dalam meningkatkan pemahaman akan bahasa baik yang didengar maupun yang diucapkan oleh orang lain sebelumnya.

(48)

41 perabaan, visual, perasaan, kinestetis, dan pendengaran (Tarmansyah, 1995:143). Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki seseorang, guru memberikan rangsangan melalui berbagai modalitas sensori yang dimilikinya. Berkaitan dengan masalah sensori Prayitno (Edja, 1995:23) menyatakan bahwa: “makin banyak indera anak yang terlibat dalam proses belajar maka semakin mudah dan pahamlah anak dengan apa yang dipelajari”. Pendapat itu didukung Amin (1995:222) yang mengangkapkan bahwa: “malatih sensori motor atau penginderaan merupakan suatu pekerjaan yang memiliki arti yang sangat penting dalam pendidikan”.

Dalam konteks pembelajaran membaca permulaan, metode multisensory telah dikembangkan oleh Fernald, Gillingham, dan Glass. Berikut dijelaskan penggunaanya masing-masing:

a. Fernald

Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multi sensori yang sering dikenal pula sebagai metode VAKT (Visual Auditori Kinestetik Taktil), metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan, tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas

(49)

42 Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan, pada tahapan kedua anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan-tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan di papan tulis atau tulisan cetak, dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak dimulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau

bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.

b. Gillingham

Gillingham, merupakan pendekatan terstruktur dari taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktifitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk memperlajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program, fonik diselesaikan.

(50)

43 tersebut dengan segala prosedurnya sudah biasa digunakan oleh sebagian guru di kelas 1. Namun pemanfaatan lebih lanjut belum banyak dijumpai, terutama dalam pengembangan kemampuan pemahaman makna kata pada anak tunagrahita ringan.

Padahal jika dilihat dari prosesdur penggunakan metode multisensori yang dikembangkan oleh Fernald dan Gillingham ada peluang untuk dikembangkan dalam kepentingan pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan. Peluang pengembangan itu didasari pada optimalisasi integrasi berbagai sensori, tahapan pembelajaran mulai dari objek kongkrit, dan adanya penggunaan media pembelajaran. Itu semua cukup memungkinkan bagi anak tunagrahita mampu mengikuti pembelajaran pemahaman makna kata.

Berikut di bawah ini contoh penerapan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata:

1. Persiapan

(51)

44 dipahami oleh anak didiknya. Penting adanya perencanaan dalam pembelajaran agar pembelajaran berjalan sesuai dengan tujuan dan indicator yang diharapkan serta proses pembelajaran dapat berjalan secara sistematis. Di dalam perencanaan guru dapat dimulai dari standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang telah disusunya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Selanjutnya dari SK dan KD yang telah disusun maka disusunlah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dalam hal ini RPP pemahaman makna kata. Dalam penyusunan RPP perlu diperhatikan komponen, identitas kelas dan satuan pendidikan, jam pelajaran, jam pertemuan, indicator, tujuan pembelajaran, pendahuluan, materi pembelajaran (pemahaman makna kata, langkah-langkah pembelajaran, alat/media pembelajaran, sumber/referensi, penutup, dan evaluasi/penilaian.

2. Langkah-langkah

Ada pun langkah-langkah penerapan metode multi sensori dalam pemahaman makna kata dapat dilakukan seperti cntoh di bawah ini. Contoh ini adalah salah satu penerapan dalam pembelajaran pemahaman makna kata benda:

a. anak diminta untuk melihat benda. b. anak diminta untuk memegang benda.

c. anak diminta untuk meraba keseluruhan sisi benda.

(52)

45 e. guru menyebutkan nama benda.

f. anak menirukan ucapan guru menyebutkan benda. g. anak melihat gambar benda pada kartu.

h. guru mengucapkan nama benda tersebut.

i. anak menirukan ucapan guru dengan menyebutkan nama benda. j. anak diperlihatkan pada benda dan gambar benda.

k. guru menjelaskan bahwa benda yang ada pada gambar sama dengan benda aslinya.

(53)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti membutuhkan sistematika yang jelas tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapainya. Melalui metode penelitian akan tergambar prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan kondisi data yang dikumpulkan, serta dengan cara bagaimana data tersebut diperoleh dan diolah.

Data dalam penelitian ini berupa data kualitatif, cara penyajian data yang diperoleh dari lapangan disajikan apa adanya tanpa adanya manipulasi. Sehingga berdasarkan cara penyajian data yang disampaikan, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pengertian metode deskriptif diungkapkan oleh Ali (1990) adalah:

metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa sekarang dan dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi data, analisis/laporan dengan tujuan utama membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.

Gambaran hasil penelitian yang diperoleh yaitu berupa uraian atau penjelasan dalam bentuk deskripsi tentang berbagai macam pendapat para subyek secara objektif mengenai desain panduan penggunaan metode multisensori.

A. Pendekatan Penelitian

(54)

47 tunagrahita yang sulit memahami makna kata dan kondisi guru yang kesulitan untuk memanfaatkan metode multisensori dikarenakan belum ada petunjuk praktisnya atau pedomannya yang dapat digunakan dalam pembelajaran pemahaman makna kata tersebut.

Alasan pemilihan pendekatan ini karena penelitian ini berupaya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, mengutamakan proses bagaimana data dapat diperoleh sehingga data tersebut menjadi akurat dan layak digunakan dalam penelitian. Data atau informasi yang diungkap berupa kata-kata baik secara lisan maupun secara tertulis, gambaran secara deskripsi berdasarkan pertanyaan penelitian yang diperoleh dari subyek tentang pendapatnya dan perbuatannya pada saat dilakukan penelitian.

Mengenai penelitian kualitatif Moleong (2004:6) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.

B. Sumber Data dan Lokasi Penelitian 1. Sumber Data Penelitian

(55)

48 Guru-guru tersebut di atas dijadikan sumber data utama selanjutnya disebut sebagai informan utama karena mereka adalah guru kelas untuk anak tunagrahita yang telah disertifikasi dan berada di SLB pusat kegiatan gugus. Mereka juga pernah menjadi guru model dalam kegiatan kelompok kerja guru (KKG) di tingkat gugus. Gambaran informan dari unsur guru sebagai berikut :

Tabel 3.1

Gambaran Informan dari Unsur Guru

NO NAMA USIA L/P JABATAN PENDIDIKAN

1 IR 42 Th P Guru Kelas 1 SDLB C S1/PLB

2 IS 32 Th P Guru Kelas VII

SMPLB C

S1/PLB

3 TRD 45 Th P Guru Kelas X

SMALB C

S1/PLB

(56)

49 Tabel 3.2

Gambaran Informan dari Unsur Anak Tunagrahita Ringan

NO NAMA USIA L/P KELAS

1 AR 8 Th P Kelas 1 SDLB C

2 ZL 7 Th P Kelas 1 SDLB C

3 RZ 8 Th L Kelas 1 SDLB C

4 IN 15 Th P Kelas VII SMPLB C

5 HS 16 Th P Kelas VII SMPLB C

6 RI 17 Th L Kelas X SMALB C

7 VE 17 Th P Kelas X SMALB C

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SLB Roudhotul Zannah Soreang Kabupaten Bandung. Dipilihnya SLB ini karena sebagai pusat kegiatan gugus, sudah diakreditasi dan memiliki guru bagi anak tunagrahita yang telah disertifikasi serta menjadi guru model dalam kegiatan ditingkat gugus.

(57)

50 objektif pembelajaran pemahaman makna kata saat ini. Mengenai pedoman observasi, wawancara dan studi dokumentasi dapat dilihat pada lampiran.

1. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi non-partisipatori atau dengan pengamatan langsung tanpa melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Teknik observasi non-partisipatif digunakan untuk melihat perilaku dan tindakan yang dilakukan guru dan siswa dalam setting lingkungan kelas ketika pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan sebagai teknik pengumpulan data utama guna memperoleh kejelasan dan kekayaan informasi yang bersifat faktual dan observeble. Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (2005), dalam penelitian kualitatif secara metodologis penggunaan observasi dapat mengoptimalkan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya.

(58)

51 2. Wawancara

Menurut Stainback yang dikutip Sugiyono (2005: 72) mengemukakan bahwa wawancara ‘... provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or

phenomenon than can be gained through observation alone.’ Jadi dengan

wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan (informan) dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Teknik wawancara yang dipergunakan dalam pengumpulan data ini terdiri dari wawancara semi terstruktur dan wawancara tak berstruktur.

(59)

52 metode multisensory, d) desain penggunaan multi sensori seperti bagaimana yang dapat digunakan dalam pembelajaran makna kata.

3. Studi Dokumentasi

Satori dan Komariah (2010:149) mendefinisikan studi dokumentasi itu adalah “mengumpulkan dokumen dan data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan serta pembuktian suatu kejadian.”

Studi dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan:

a. Format asesmen b. Silabus

c. Persiapan Mengajar

d. Catatan Pelaksanaan Pembelajaran Harian

(60)

53 Tabel 3.3

Kisi-kisi dan Teknik Pengumpulan Data

DESAIN PANDUAN PENGGUNAAN METODE MULTI SENSORI DALAM PEMBELAJARAN MAKNA KATA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

No Pertanyaan Penelitian

Aspek Indikator Sumber Data Teknik

1 Bagaimana pembelajaran pemahaman

pemahaman makna kata saat ini?

a. Persiapan • Asesmen, silabus, RPP b. Pelaksanaan • Waktu pelaksanaan

• Penggunaan media

d. Faktor pendukung dan penghambat

Perumusan Panduan • Kegiatan pendahuluan

Guru Observasi

(61)

54 multisensory yang

bagaimana yang dapat diterapkan dalam dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan?

• Kegiatan inti

(62)

55 D. Teknik Analisis Data Penelitian

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan teknik analisis data yang dikembangkan dalam penelitian, meliputi : 1) proses pencatatan data, 2) teknik analisis data, dan 3) teknik pemeriksaan dan keabsahan data.

1. Proses Pencatatan Data

Prosedur yang dilakukan agar memudahkan dalam menganalisis data yaitu : pencatatan data, membuat petunjuk tertentu (coding), memilih alat yang digunakan, dan mengadakan analisis data.

a. Pencatatan data

Pencatatan data dilakukan dalam format catatan lapangan yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1) Pencatatan awal dilakukan selama wawancara, observasi, studi dokumentasi dengan menggunakan kata kunci.

2) Perluasan yang merupakan bentuk catatan lapangan yang terdiri dari catatan deskriptif dan reflektif yang merupakan tanggapan peneliti

3) Melakukan perbaikan (revisi)

b. Membuat petunjuk tertentu (coding)

(63)

56 c. Memilih alat yang mudah digunakan

Memilih alat yang mudah digunakan dalam pengumpulan data dilakukan oleh penulis, antara lain menyiapkan notes, pinsil, pulpen/balpoint, alat perekam

d. Mengadakan analisis data

Analisis data dilakukan secara simultan dan intensif setelah selesainya pengumpulan data.

2. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung dari tahap pengumpulan data sampai akhir. Analisis data yang dimaksud adalah kegiatan yang merupakan lanjutan dari langkah pengolahan data. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data ini yaitu melalui reduksi data, penyajian data atau display data dan penarikan kesimpulan (konklusi) dan verifikasi.

Pada tahap reduksi data, peneliti memilih data yang relevan dengan tujuan penelitian. Informasi dari lapangan sebagai bahan mentah disingkat, diringkas, disusun lebih sistematis, serta diangkat pokok-pokok yang penting sehingga mudah dikendalikan.

(64)

57 gambaran keseluruhan. Peneliti berupaya untuk mengklasifikasikan serta menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan.

Penarikan konsklusi dan verifikasi data yaitu untuk mencari makna dari data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan , perbedaan, atau persamaan. Penarikan konklusi dilakukan dengan cara membandingkan kesesuaian pernyataan informan dengan makna yang terkandung dalam pelaksanaan dan dokumen.

3. Teknik pemeriksaan dan keabsahan data penelitian

Pemeriksaan keabsahan data dilakukan agar hasil penelitian benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dari segala segi/sisi. Kepentingan lain yaitu untuk menyaggah balik. Keabsahan data yang diperoleh dari lapangan diperiksa melalui kriteria dan teknik tertentu, yaitu derajat kepercayaan atau kredibilitas, seperti dikemukakan oleh Moloeng (2004:327), sebagai berikut :

a. Perpanjangan keikut sertaan, maksudnya adalah peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai. b. Ketekunan pengamatan, mencari secara konsisten interprestasi dengan

berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentatif.

c. Triangulasi, adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, untuk pengecekan pembanding terhadap data tersebut. Dalam hal ini membandingkan antara hasil observasi dengan hasil wawancara.

d. Pengecekan sejawat. Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat.

(65)

58 f. Pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam proses pengumpulan

data dalam pemeriksaan derajat kepercayaan.

Hasil penelitian kualitatif yang berupa data atau informasi tingkat kebermaknaannya tergantung pada : 1) triangulasi, yaitu dengan pengecekan kebenaran data dengan melakukan perbandingan data yang diperoleh dari sumber lain, 2) penggunaan bahan referensi, dilakukan dengan perekaman data dengan tape recorder, dan 3) member check, yaitu dengan melakukan konfirmasi kepada nara sumber diakhir wawancara.

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah tersusunya desain atau rancangan panduan penggunaan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan. Prosedur dalam penelitian ini secara garis besar ditempuh melalui tiga tahapan yaitu : 1) studi kondisi objektif pembelajaran pemahaman makna kata saat ini, 2) tahap analisis hasil studi kondisi objektif saat ini dan merumuskan draf desain penggunaan pandu 3) tahap validasi melalui focus group discussion, 4) finalisasi desain penggunaan panduan.

1. Tahap Studi Kondisi Objektif Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat ini

(66)

59 kegiatan ini peneliti menghimpun data melalui teknik observasi dan wawancara dan studi dokumen.

Adapun kondisi yang ingin diungkap adalah pembelajaran pemahaman makna kata meliputi aspek (a) pemahaman makna kata saat ini, (b) penerapan metode multisensori yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran pemahaman makna kata, serta (c) factor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan metode multisensori dalam pembelajaran pemahaman makna kata.

2. Tahap Analisis Hasil Studi Kondiri Obyektif dan Merumuskan Draf Panduan

Pada tahap ini peneliti menghimpun data hasil wawancara, observasi, dan studi dokumen yang diperoleh dari tahap kondisi objektif di atas. Kemudian data tersebut dianalisis untuk dijadikan bahan rumusan draft panduan.

(67)

60 3. Tahap Validasi

Validasi dalam penelitian ini menggunakan focus group discussion (FGD). Peserta FGD adalah guru kelas, guru olah raga, dan Pembina pramuka.

Peserta diminta tanggapannya untuk dijadikan perbaikan terhadap draf panduan. Dengan melibatkan tiga unsure guru tersebut diharapkan dapat memperkaya masukan sehingga draf panduan menjadi lebih baik dan dapat digunakan oleh guru dalam pembeajaran pemahaman makna kata bagi anak tunagrahita ringan. Selanjutnya peneliti menyusun draf panduan hasil FGD.

4. Finalisasi/Tahap Akhir Rancangan Panduan Penggunaan Metode Multisensori

(68)
(69)
(70)

124 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan permbahasan dalam bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi Objektif Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Saat ini a. Persiapan yang dilakukan guru dalam pembelajaran pemahaman

makna kata saat ini.

Dalam persiapan, guru belum melakukan asesmen dengan baik. Maksudnya adalah asesmen yang dilakukan guru belum menggunakan format/instrumen tertentu dan belum didokumentasikan sehingga tidak ada bukti dokumen hasil asesmen. Unsur persiapan lainnya, yaitu menyusun silabus dan RPP. IR guru kelas 1 SDLB C telah melaksanakan unsur tersebut melalui persiapan pembelajaran tematik. IS guru kelas VII dan TRD guru kelas X tidak menyusun persiapan atau perencanaan tersebut untuk kepentingan pembelajaran pemahaman makna kata.

b. Pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata saat ini

(71)

125 perencanaan yang telah disusunya, menggunakan media pembelajaran (kartu gambar benda), dan diakhir pembelajaran guru melaksanakan evaluasi hasil pembelajaran dengan tes kinerja

Pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata di kelas VII SMPLB C dan kelas X SMALB C SLB Roudhotul Jannah tidak terprogram dam tidak terencana. Pelaksanaannya dilakukan secara spontan saat pembelajaran berlangsung anak menemukan kata-kata yang sulit dipahaminya maka saat itu pula anak belajar pemahaman makna kata. Dengan kondisi pembelajaran yang tidak terprogram dan terencana tersebut berdampak pula pada minimnya penggunaan media pembelajaran dan pelaksanaan evaluasi yang tidak dapat mengukur dengan tepat kemampuan pemahaman makna kata anak tunagrahita ringan yang ada di kedua kelas tersebut.

c. Guru Menerapkan Metode Multisensori dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata.

(72)

126 Jannah dalam pelaksanaan pembelajaran pemahaman makna kata belum menerapkan metode multisensori.

d. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Melalui Metode Multsensori.

IR, IS, dan TRD memiliki pendapat yang sama mengenai faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran pemahaman makna kata melalui metode multisensori ini. Ketiga guru tersebut berpendapat bahwa faktor pendukungnya adalah media pembelajaran sedangkan faktor penghambatnya adalah kemampuan pemahaman makna kata anak tunagrahita ringan yang ada di kelasnya.

2. Desain Panduan Penggunaan Metode Pembelajaran Pemahaman Makna Kata Bagi Anak Tunagrahita Ringan

Gambar

Tabel  3.1 Gambaran  Informan dari Unsur Guru
Gambaran Informan dari Unsur Anak Tunagrahita Ringan
Tabel 3.3 Kisi-kisi dan Teknik Pengumpulan Data

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan, Abdullah (2013) mengemukakan bahwa mendidik anak berkebutuhan khusus tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab memerlukan pendekatan dan strategi khusus,

Dengan demikian, melihat hasil analisis secara keseluruhan dari validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda butir soal, dan tingkat kesukaran butir soal,

(1) Badan Usaha yang akan menyelenggarakan prasarana Perkeretaapian Umum harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum oleh

Bagi peneliti sendiri maupun peneliti yang lain, perlunya penelitian lanjutan menggunakan model pembelajaran TPS berbantuan Sketchpadini dengan meneliti kemampuan

Maka dari itu, penelitian ini hendak mengkaji adakah pengaruh iklim organisasi terhadap efektivitas kerja pegawai pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD)

Bangun Tarigan telah mengisi berbagai macam acara dalam permusikan di Tanah Karo mulai dari tahun 1986 sampai dengan sekarang, beliau juga banyak memberikan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Olahragadan Kepelatihan. © Cefi Muhamad Taufik

Siswa menyimak penjelasan guru tentang tugas tiap kelompok, yaitu mengerjakan Lembar Kerja (LK) yang memuat permasalahan seperti yang telah ditampilkan secara