xiv
UNGKAPAN TERIMA KASIH ...
DAFTAR ISI ...
B. Rumusan Masalah ...
C. Tujuan Penelitian ...
D. Asumsi Penelitian ...
E. Hioptesis ...
F. Manfaat Penelitian ...
BAB II
KONSELING KELUARGA BAGI CALON TENAGA KERJA WANITA (TKW) DAN KELUARGANYA
A. Kajian Konseptual Tentang Keluarga ...
1. Pengertian Keluarga ...
2. Peran dan Fungsi Keluarga ...
3. Pondasi Keluarga ...
4. Penyebab Masalah Keluarga ...
B. Keluarga Calon TKW ...
1. Karakteristik Keluarga Calon TKW ...
2. Faktor-faktor yang Mendorong Isteri Menjadi TKW ...
xv
4. Kebutuhan ...
5. Dampak Isteri Menjadi TKW terhadap Keutuhan Rumah Tangga ...
6. Interaksi Dalam Keluarga ...
C. Konsep Dasar Konseling Keluarga ...
1. Pengertian Konseling Keluarga ...
2. Prinsip-prinsip Dasar Konseling ...
3. Tujuan Konseling Keluarga ...
4. Konselor Keluarga ...
5. Konseling Keluarga Calon TKW ...
D. Mengembangkan Kesiapan Mental ...
1. Emosi ...
2. Kecemasan ...
3. Stres ...
4. Percaya Diri ...
5. Sikap Sosial ...
E. Pendekatan-pendekatan Konseling Keluarga ...
1. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Sistem ...
2. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Perilaku ...
3. Konseling Keluarga Berdasar Pendekatan Komunikasi ...
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian ...
B. Definisi Operasional Variabel ...
C. Pengembangan Instrumen ...
D. Subyek Penelitian ...
E. Prosedur Penelitian ...
F. Analisis Data ...
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...
1. Kesiapan Mental Calon TKW Sebelum Konseling ...
2. Kesiapan Mental Suami Calon TKW sebelum Konseling...
xvi
3. Kesiapan Mental Anak Calon TKW sebelum Konseling ...
4. Kesiapan Mental Calon TKW Setelah Konseling ………...
5. Kesiapan Mental Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
6. Kesiapan Mental Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
B. Model Hipotetik Konseling Keluarga Bagi
Calon TKW dan Keluarganya ...
C. Validasi Model Konseling Keluarga Bagi Calon TKW
dan Keluarganya ...
1. Uji Kelayakan MKK Bagi Calon TKW dan Keluarganya ...
2. Uji Coba Terbatas ...
3. Uji Coba Lapangan Konseling Keluarga ...
D. Hasil Uji Coba MKK Bagi Calon TKW dan Keluarganya ...
1. Pengujian Normalitas Data ...
2. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Calon TKW ...
3. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Suami Calon TKW ...
4. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Anak Calon TKW ...
E. Pembahasan ...
1. Pembahasan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...
2. Pembahasan Efektivitas Model Konseling Keluarga Untuk
Membangun Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1
Kisi-kisi inventori Kesiapan Mental Calon TKW (sebelum uji coba) ...
Tabel 3.2
Koefisien Validitas Antar Penimbang untuk Instrumen Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...
Tabel 3.3
Penghitungan Bobot Nilai Skala ...
Tabel 3.4
Contoh Penghitungan Daya Pembeda ...
Tabel 3.5
Pengujian Reliabilitas ...
Tabel 3.6
Pedoman untuk Memberikan Interprestasi Koefisien Korelasi ...
Tabel 3.7
Kisi-kisi Inventori Kesiapan Calon TKW (setelah uji coba) ...
Tabel 3.8
Subjek Penelitian ...
Tabel 4.1
Gambaran Kesiapan Mental Calon TKW sebelum Konseling ...
Tabel 4.2
Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Calon TKW
sebelum konseling ...
Tabel 4.3
xviii Tabel 4.4
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.5
Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.6
Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri
Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.7
Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita
Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.8
Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.9
Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.10
Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.11
Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.12
Gambaran Aspek Sosial Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.13
Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.14
Gambaran Indikator Kesetiakawanan Calon TKW Sebelum Konseling ...
xix
Tabel 4.15
Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.16
Gamabaran Kesiapan Mental Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.17
Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.18
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.19
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.20
Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Suami Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.21
Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri
Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.22
Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita
Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.23
Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.24
Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Suami
Calon TKW Sebelum Konseling ...
xx Tabel 4.25
Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.26
Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.27
Gambaran Aspek Sosial Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.28
Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.29
Gambaran Indikator Kesetiakawanan Suami Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.30
Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.31
Gamabaran Kesiapan Mental Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.32
Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.33
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.34
xxi Tabel 4.35
Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Anak Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.36
Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.37
Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita
Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.38
Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.39
Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Anak
Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.40
Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.41
Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.42
Gambaran Aspek Sosial Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.43
Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Anak Calon TKW
Sebelum Konseling ...
Tabel 4.44
Gambaran Indikator Kesetiakawanan Anak Calon TKW
xxii Tabel 4.45
Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...
Tabel 4.46
Gambaran Kesiapan Mental Calon TKW setelah Konseling ...
Tabel 4.47
Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Calon TKW
Setelah Konseling ...
Tabel 4.48
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.49
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.50
Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.51
Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri
Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.52
Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita
Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.53
Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.54
xxiii Tabel 4.55
Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.56
Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.57
Gambaran Aspek Sosial Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.58
Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Calon TKW
Setelah Konseling ...
Tabel 4.59
Gambaran Indikator Kesetiakawanan Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.60
Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Calon TKW
Setelah Konseling ...
Tabel 4.61
Gamabaran Kesiapan Mental Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.62
Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.63
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.64
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.65
Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Suami Calon TKW
xxiv Tabel 4.66
Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri
Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.67
Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita
Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.68
Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.69
Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Suami
Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.70
Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.71
Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.72
Gambaran Aspek Sosial Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.73
Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Suami Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.74
Gambaran Indikator Kesetiakawanan Suami Calon TKW
Setelah Konseling ………
Tabel 4.75
xxv Tabel 4.76
Gamabaran Kesiapan Mental Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.77
Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.78
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.79
Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.80
Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Anak Calon TKW Setelah Konseling ..
Tabel 4.81
Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.82
Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita
Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.83
Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.84
Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Anak
Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.85
Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
xxvi Tabel 4.86
Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat
Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.87
Gambaran Aspek Sosial Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.88
Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Anak Calon TKW
Setelah Konseling ...
Tabel 4.89
Gambaran Indikator Kesetiakawanan Anak Calon TKW
Setelah Konseling ...
Tabel 4.90
Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Anak Calon TKW Setelah Konseling ...
Tabel 4.91
Pengujian Normalitas Data ...
Tabel 4.92
Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Calon TKW ...
Tabel 4.93
Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Calon TKW ...
Tabel 4.94
Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Calon TKW ...
Tabel 4.95
Aspek dan Indikator Sikap Sosial Calon TKW ...
Tabel 4.96
Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Suami Calon TKW ...
Tabel 4.97
Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Suami Calon TKW ...
xxvii Tabel 4.98
Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Suami Calon TKW ...
Tabel 4.99
Aspek dan Indikator Sikap Sosial Suami Calon TKW ...
Tabel 4.100
Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Anak Calon TKW ...
Tabel 4.101
Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Anak Calon TKW ...
Tabel 4.102
Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Anak Calon TKW ...
Tabel 4.103
Aspek dan Indikator Sikap Sosial Anak Calon TKW ...
Tabel 4.104
Ringkasan Perubahan Kesiapan Mental Calon
TKW dan Keluarganya ...
229
233
234
236
238
241
xxviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar : 3.1
Peengujian Efektivitas Model ...
Gambar : 3.2
Tahap Pengembangan Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...
112
xxix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran: 1
Permohonan Izin Mengadakan Studi Lapangan/Penelitian ...
Lampiran: 2
Surat Keterangan telah melakukan Penelitian/uji lapangan Model
Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...
Lampiran: 3
Kisi-Kisi Inventori dan Instrumen Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita dan Keluarganya. (sebelum Uji Coba) ...
Lampiran: 4
Kisi-Kisi Inventori dan Instrumen Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita dan Keluarganya. (setelah Uji Coba) ...
Lampiran: 5
Penghitungan bobot nilai skala sikap ...
Lampiran: 6
Analisis Daya Pembeda Skala Sikap ...
Lampiran: 7
Hasil pengujian validitas instrumen kesiapan mental Calon Tenaga
Kerja Wanita (TKW) dan keluarganya ...
Lampiran: 8
Reliabilitas instrumen kesiapan mental Calon TKW dan keluargnya ...
Lampiran: 9
Pengujian Normalitas Data ...
Lampiran: 10
Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...
xxx Lampiran: 11
Panduan Operasional Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...
Lampiran: 12
Tabel frekuensi kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Keluarganya Sebelum dan Sesudah Konseling ...
Lampiran: 13
Hasil Pengujian Efektifitas Model Konseling Keluarga
untuk mengembangkan Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita ………
Lampiran: 14
Instrumen Validasi Model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita
(TKW) dan keluarganya ...
Lampiran: 15
Foto Layanan Konseling Keluarga ...
355
371
405
425
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keadaan ekonomi keluarga dan desakan kebutuhan hidup yang
semakin tidak terpenuhi, serta sempitnya lapangan pekerjaan mendorong
para ibu rumah tangga (isteri) melibatkan diri membantu suami mencari
nafkah, sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (migran).
Faktor ekonomi dan keinginan memenuhi kebutuhan menjadi alasan utama
para ibu rumah tangga menjadi tenaga kerja di luar negeri. Menurut
Wahjuni (2007: 1) terdapat dua faktor yang mendorong para ibu rumah
tangga menjadi TKW, yaitu :
Pertama keinginan dari dalam diri sendiri dengan tujuan merubah nasib, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarga. Kedua dorongan dari luar dirinya, yaitu pengaruh teman, kerabat, tetangga, dan dorongan dari suami dengan tujuan untuk membuat rumah, pemenuhan perabot rumah tangga, kendaraan, dan modal usaha untuk masa depan.
Banyaknya ibu rumah tangga (isteri) bekerja di luar negeri sebagai
TKW, selain dapat memecahkan masalah ketenagakerjaan, meningkatkan
devisa negara, dan memperbaiki ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki sisi
negatif, seperti differensiasi peranan dalam keluarga dan longgarnya ikatan
perkawinan. Sebagaimana dikemukakan oleh Oberg (Tamtiari, 2000: 502)
menimbulkan dampak negatif, baik yang menyangkut aspek politik,
ekonomi, demografi, budaya, sosial, psikologis, maupun harkat dan
martabat bangsa”.
Dampak pengiriman tenaga kerja wanita ke luar dari sisi ekonomi
dapat meningkatkan standar kehidupan keluarga TKW. Peningkatan standar
kehidupan keluarga TKW, secara tidak langsung juga meningkatkan
pendapatan masyarakat sekitarnya. Martin (Tjiptoherijanto, 1997: 151)
mengemukakan:
Pada tingkat mikro hasil dari penghasilan (remiten), dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal para TKW yang bekerja di luar negeri, pada umumnya lebih baik dibanding non TKW. Para TKW yang bekerja di luar negeri banyak yang memiliki sepeda motor, peralatan rumah tangga, dan berinvestasi membeli tanah sawah atau pekarangan
Meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong pola hidup dan
perilaku konsumtif pada masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Tjahyani (2005: 54) menunjukkan bahwa:
Sisi lain keterlibatan ibu rumah tangga bekerja sebagai TKW di luar
negeri selama dua tahun, menyebabkan dinamika kehidupan keluarga
terganggu. Seperti pelimpahan peran dan fungsi sebagai ibu rumah tangga
(isteri) kepada suami, dimana pelimpahan peran dan fungsi tersebut dapat
menimbulkan differensiasi peranan dalam keluarga TKW. Pelimpahan
peran ibu rumah tangga kepada suami, dapat memunculkan permasalahan
lain seperti keresahan sosial. Tidak semua suami mampu mempertahankan
diri “puasa” dari dorongan seksual. Kurang perhatian dan kasih sayang
isteri kepada suami, seringkali suami kurang terkendali dalam
melampiaskan kebutuhan biologisnya. Tidak menutup kemungkinan
sebagian suami untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya disalurkan
dengan membeli kepuasan dari tempat prostitusi, atau melakukan
perselingkuhan dengan wanita idaman lain.
Kondisi ini menjadi titik awal tidak konsistennya suami terhadap
tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Mencermati permasalahan
tersebut, mengindikasikan bahwa para ibu rumah tangga yang bekerja di
luar negeri sebagai TKW menjadi penyebab terhadap longgarnya ikatan
perkawinan.
Salah satu contoh kasus TKW yang menimpa Sumitri 26 tahun
(bukan nama sebenarnya). Dua tahun berkeluarga belum dikaruniai anak.
layak huni, serta sulitnya mencari pekerjaan di daerahnya, maka dengan ijin
suaminya ia memutuskan untuk mengadu nasib ke negeri Jiran. Sumitri
mendapatkan majikan yang cukup memperhatikan, gaji selalu dibayarkan
tepat waktu pada setiap bulannya. Setiap tiga bulan mengirimkan uang
kepada suaminya untuk memperbaiki rumah, dan untuk mencukupi
kebutuhan keluarga. Tanpa sepengetahuan isterinya uang kiriman
digunakan suami untuk foya-foya dengan selingkuhannya. Suami sudah
tidak konsisten dengan tujuan semula. Tidak konsistennya suami
merupakan bentuk pengingkaran tanggung jawab sebagai suami. Hal ini
yang menjadi alasan Sumitri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.
Salah satu contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa, para isteri
atau ibu rumah tangga yang bekerja di luar negeri sebagai TKW, secara
tidak langsung menyebabkan keutuhan rumah tangga menjadi rapuh.
Kerapuhan keluarga dapat berawal karena adanya krisis keluarga yang
disebabkan tidak berjalannya fungsi keluarga. Menurut Rifa’i (2007: 187)
bahwa:
masalah krisis keluarga dapat diduga muncul akibat tidak berfungsinya tugas dan peranannya keluarga, yang secara psikologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera pula.
Rendahnya tingkat pendidikan para ibu rumah tangga yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga (blue collar). Pendidikan dan keterampilan
bagi calon TKW sangat penting, karena tingkat pendidikan menjadi dasar
dalam penempatan (placement) tenaga kerja di luar negeri. Berdasarkan
studi pendahuluan terhadap 50 calon TKW diperoleh data tingkat
pendidikan calon TKW, SLTA 15 orang (30%), SLTP 26 orang (52%),
SD 9 orang (18% ). Rendahnya kualitas tenaga kerja menjadi salah satu
penyebab ketidakmampuan tenaga kerja untuk bersaing dalam pemenuhan
kebutuhan tenaga kerja baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Di samping itu, rendahnya tingkat pendidikan TKW memiliki
kerentanan terhadap berbagai masalah yang kurang menguntungkan, seperti
penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai perlakuan yang bersifat
merugikan. Pendidikan pada hakekatnya memiliki fungsi untuk
mengembangkan potensi manusia agar tumbuh menjadi yang terbaik bagi
dirinya, dan lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Managara
(2006: 1) bahwa:
bekal utama seseorang untuk survive dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya termasuk lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun adalah terletak pada kemampuan, inisiatif, kreativitas, dan keberaniannya untuk mempertahankan diri dari berbagai kesulitan sebagai senjata (self-defense).
Faktor lain yang mendorong munculnya permasalahan TKW yaitu
persyaratan perekrutan calon TKW yang masih sangat longgar jauh dari
sesuatu yang normal, fleksibel dan berpihak pada pencari kerja. Di balik
kelonggaran tersebut sebetulnya berisiko cukup besar terhadap keselamatan
tenaga kerja itu sendiri.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep-104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar
negeri. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa sebagian persyaratan
yang harus dipenuhi oleh calon TKI antara lain adalah serendah-rendahnya
harus tamat SLTP atau yang sederajat. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa
harus memiliki keterampilan atau keahlian yang dibuktikan dengan
sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam keputusan
tersebut juga dijelaskan bahwa setiap perusahaan jasa tenaga kerja
Indonesia (PPTKIS) wajib melatih calon TKI yang belum memenuhi
kualitas di Balai Latihan Kerja (BLK) yang sudah terakreditasi.
Ibu rumah tangga yang bekerja sebagai TKW di luar negeri, akan
terjadi pergeseran peran dalam pengasuhan anak. Secara umum dalam
pengasuhan anak melibatkan suami dan orang tua atau mertua calon TKW.
Ketidakhadiran seorang ibu di tengah-tengah keluarga menjadi
permasalahan yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Dalam kondisi
seperti ini suami (ayah) ambil alih peran seorang ibu sebagai pendidik bagi
anak-anaknya. Pengalihan peran tersebut, maka suami (ayah) memiliki
waktu yang terbatas untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya,
pendidik dan pengasuh anak-anaknya, suami harus mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Noerwanto (2007: 2) mengemukakan
bahwa :
ketika isteri menjadi tenaga kerja wanita, keluarga yang ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam “ekosistem” keluarga itu menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju keseimbangan baru. Disebutkan lebih lanjut bahwa kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran. Pertama, suami mengambil alih peran yang ditinggalkan isteri. Mereka mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.
Kedua, suami mengambil sebagian peran yang ditinggalkan isteri. Mereka biasanya dibantu ibu mertua atau anggota keluarga dekat lain. Ketiga, suami tidak mengambil peran. Pola ini dapat dikatakan kegagalan keluarga dalam melakukan transformasi nilai. Dalam hal ini ibu atau mertua TKW mengambil alih peran domestik keluarga.
Selain permasalahan-permasalahan yang datang dari keluarga, para
TKW juga dihadapkan berbagai permasalahan yang datang dari tempat
kerjanya. Data yang dicatat oleh Depnakertrans (2005: 1) bahwa beberapa
kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia dan kesaksian dari para pekerja
rumah tangga (TKW) di luar negeri dipaparkan sebagai berikut:
Tidak semua TKW mengalami nasib yang tidak menguntungkan,
banyak pula para TKW yang mendapatkan tempat kerja atau majikan yang
baik, sehingga diperlakukan dengan baik. Kasus-kasus kekerasan banyak
disebabkan oleh perilaku pengguna tenaga kerja atau majikan yang
memiliki karakter keras dan kurang berpihak pada TKW, kurang
menghargai dan menghormati hak-hak kerja para TKW.
Perilaku keluarga majikan yang kurang berpihak pada TKW,
menyebabkan berbagai tindakan yang merugikan TKW, seperti kasus
pelecehan seksual yang dialami Susanti, 20 tahun (bukan nama
sebenarnya), yang diperkosa berkali-kali oleh suami majikan. Perkosaan
disertai ancaman tersebut dilakukan setiap kali isteri majikan dan anak-anak
tidak ada di rumah.
Kasus putus komunikasi sering menimpa TKW asal Indonesia, hal
ini dapat dikarenakan ketidaktahuan menggunakan atau memanfaatkan alat
komunikasi yang ada, atau majikan tidak mengijinkan TKW menggunakan
atau memanfaatkan alat komunikasi yang ada, atau majikan tidak
mengijinkan TKW berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia atau
berkomunikasi dengan sesama TKW.
Kasus putus komunikasi, seperti yang dialami Wulandari, 23 tahun
(bukan nama sebenarnya). Ia bekerja untuk lima orang yang sudah dewasa.
Indonesia atau dengan teman sejawatnya. Selain itu tidak diberikan waktu
istirahat yang cukup.
Menurut Laporan Human Rights Watch, para TKW yang putus
komunikasi dengan keluarganya atau dengan teman sejawatnya, karena
majikan tidak mengijinkan mereka berkomunikasi dengan dunia luar.
Perlakuan majikan ini seringkali melahirkan kecemasan keluarga yang ada
di Indonesia. Untuk membatasi TKW berkomunikasi dengan dunia luar,
majikan tidak memperkenankan TKW menggunakan HP atau telepon
rumah, keluar rumah atau berkirim surat.
Permasalahan tenaga kerja di luar negeri makin menambah beban
persoalan ketenagakerjaan Indonesia. Selain permasalahan tenaga kerja
yang dipaparkan di atas, masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi
oleh TKW, seperti penganiayaan, pemerkosaan atau kasus-kasus lain
seperti kelalaian kerja yang berakibat fatal juga menambah permasalahan
para TKW di luar negeri, seperti kecelakaan kerja yang menimpa Umi
Maskonah (31 tahun) TKW asal kecamatan Gemuh, kabupaten Kendal,
meninggal dunia karena jatuh dari lantai 19 apartemen tempat bekerja
(Suara Merdeka, November 2008).
Berbagai upaya untuk meminimalisir permasalahan yang menimpa
TKW telah dilakukan pemerintah dengan melakukan berbagai kebijakan
tenaga kerja, salah satunya adalah membentuk Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), membuat terminal
khusus TKI (terminal 3) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Namun
demikian langkah yang ditempuh pemerintah belum mampu menangani
permasalahan yang dihadapi para TKI, khususnya TKW yang akan atau
yang sedang bekerja di luar negeri. Sehingga tidak sedikit kisah-kisah pilu
masih saja dialami oleh TKW Indonesia di luar negeri.
Permasalahan yang dihadapi TKW tidak hanya terjadi di tempat
mereka bekerja (di luar negeri) tetapi permasalahan muncul sejak mereka
masih di dalam negeri. Permasalahan tersebut dapat juga masalah yang
datang dari diri sendiri atau dari keluarga (internal), dan permasalahan
yang datang dari luar dirinya (eksternal) yang meliputi permasalahan antar
calon TKW, permasalahan dengan pengelola PPTKIS, pelayanan selama di
penampungan, proses pemberangkatan, sampai dengan tahap pasca TKW.
Menurut Bronfenbrenner's (Yakusho, 2005: 295) permasalahan yang
dihadapi TKW tidak hanya terjadi di tempat mereka bekerja (di luar negeri)
tetapi permasalahan muncul ketika dalam penampungan. Hal ini
menunjukkan bahwa pangkal masalah para TKW dan keluarganya sudah
terjadi sejak masih di tanah air.
Konflik psikis calon TKW dan keluarga berada dalam dua situasi
bentuk adanya ketidaksiapan mental untuk meninggalkan dan ditinggalkan.
Menurut Yusuf (2005: 165) konflik ganda (double approach-avoidance
conflict) adalah konflik psikis yang dialami individu dalam menghadapi dua
situasi atau lebih yang masing-masing mengandung motif positif dan
negatif sekaligus dan sama kuat.
Dorongan niat para ibu rumah tangga menjadi TKW salah satu
diantaranya yaitu untuk dapat lepas dari belenggu kemiskinan, hanya saja
niat tersebut tidak didukung oleh kemampuan diri seperti pendidikan,
keterampilan dan bahasa yang memadai. Memperhatikan niat tersebut, ibu
rumah tangga menjadi calon TKW karena adanya unsur keterpaksaan.
Keterpaksaan memutuskan untuk bekerja keluar negeri sebagai TKW
mengindikasikan bahwa calon TKW dan keluarganya kurang memiliki
kesiapan mental.
Ketidaksiapan mental calon TKW dan keluarganya akan berimbas
pada ketidakmampuan calon TKW dan keluarga menghadapi konflik psikis
Rumbaut (Yakushko, 2005: 294) menyatakan bahwa “migrasi” dapat
mendatangkan krisis psikologis, maka individu perlu disiapkan dengan baik
dan dimotivasi, bahkan di dalam keadaan mau menerima pun. Kemudian
Espin (Yakushko, 2005: 294) mengemukakan:
persepsi mereka yang tidak mampu untuk berfungsi dengan segenap kemampuan di dalam budaya baru
Berbagai permasalahan yang dihadapi calon TKW dan keluarganya,
menunjukkan bahwa para calon TKW dan keluarganya, mengalami
berbagai krisis psikologis. Memperhatikan berbagai permasalahan yang
dihadapi para TKW sangat memprihatinkan. Sebutan yang disandangkan
pada TKW adalah sebagai pahlawan devisa, namun demikian sebutan yang
disandangkan kepadanya belum seimbang antara pengorbanan dengan
kesejahteraan mereka. TKW masih saja dipandang sebagai kelompok
marginal yang jauh dari sentuhan-sentuhan pemikiran akademis, sehingga nasib
para imigran tidak diketahui oleh para pengambil kebijakan. Hal ini didasarkan
pada penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan belum menyentuh
pada tataran pengembangan yang bersinggungan langsung dengan
permasalahan mendasar dari para TKW dan keluarganya, dengan demikian
permasalahan permasalahan yang mendasar yang dihadapi para TKW tidak
diketahui secara pasti oleh pengambil kebijakan.
Permasalahan yang dihadapi para TKW dan keluarganya dapat saja
karena mereka kurang memiliki kesiapan mental untuk menghadapi
berbagai perubahan yang terjadi setelah salah satu anggota keluarganya
meninggalkan atau berpisah untuk sementara waktu karena bekerja di luar
negeri sebagai TKW. Oleh karena itu, sebelum calon TKW bekerja di luar
dipersiapkan, hal ini dimaksudkan agar calon TKW dan keluarganya
memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan permasalahan
yang muncul.
Konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya sangat
diperlukan, paling tidak pemberian konseling tersebut dapat meminimalisir
permasalahan yang muncul dari dalam diri sendiri, keluarga, maupun
permasalahan yang muncul di tempat penampungan. Layanan konseling
keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan
keluarganya, merupakan pemberian bantuan yang ditujukan untuk
membantu calon TKW dan keluarganya agar mereka memiliki kesiapan
mental, yang mencakup kemampuan mengendalikan dan mengotrol emosi,
rasa percaya diri, dan sikap sosial.
Pemberian layanan konseling keluarga diharapkan agar calon TKW
dan keluarganya memperoleh pengetahuan, dan pemahaman, serta
membantu menangani masalah-masalah yang mengganggu calon TKW dan
keluarganya. Selain itu, layanan konseling sebagai upaya untuk
mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan membantu menjaga
keutuhan rumah tangga meskipun mereka hidup berjauhan.
Agar dalam pemberian layananan konseling dapat diperoleh hasil
yang maksimal dan efektif, maka diperlukan suatu model konseling
keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan
digunakan secara optimal oleh para konselor dan PPTKIS dalam membantu
para calon TKW dan keluarganya untuk mengembangkan kesiapan mental
dan dapat mengurangi konflik psikis para calon TKW dan keluarganya.
B. Rumusan Masalah
Faktor ekonomi dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga menjadi alasan utama ibu rumah tangga (isteri) memutuskan untuk
bekerja diluar negeri sebagai TKW. Hanya saja dorongan niat tersebut tidak
didukung oleh kemampuan diri seperti pendidikan, keterampilan dan
bahasa yang memadai. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ibu rumah
tangga yang akan bekerja keluar negeri sebagai TKW kurang memiliki
kesiapan mental. Ketidaksiapan mental calon TKW dan keluarganya akan
berimbas pada ketidak mampuan calon TKW dan keluarganya menghadapi
konflik psikis. Fakta empiris tentang gejala ketidaksiapan mental pada
calon TKW dan keluarganya mengisyaratkan perlunya layanan konseling
keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan
keluarganya.
Konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk
membantu keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi atau
seimbang sehingga kebahagiaan semua anggota keluarga dapat terwujud.
Ini berarti bahwa sebuah keluarga membutuhkan pendekatan yang beragam
Rumusan tersebut memuat dua implikasi berikut. Pertama,
terganggunya kondisi seorang anggota keluarga merupakan hasil
adaptasi/interaksi terhadap lingkungan yang sakit (ketidakberfungsian peran
dan fungsi keluarga secara efektif) yang diciptakan di dalam keluarga.
Kedua, seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan emosional
akan mempengaruhi suasana dan interaksi anggota keluarga yang lain,
sehingga diupayakan pemberian bantuan melalui konseling keluarga.
Terlaksananya konseling keluarga akan membantu anggota keluarga
mencapai keseimbangan psiko-fisik sehingga dapat mencapai kebahagiaan
dan kenyamanan bagi semua anggota keluarga.
Mengacu dan mencermati permasalahan tersebut, maka penelitian ini
merupakan salah satu upaya merumuskan model konseling keluarga untuk
mengembangkan kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan
keluarganya. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
”Bagaimanakah model konseling keluarga (MKK) yang efektif untuk
mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?”
Rumusan masalah tersebut, dijabarkan ke dalam beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran kesiapan mental calon TKW dan keluarganya
sebelum memperoleh layanan konseling keluarganya?
2. Bagaimana rumusan model hipotetik konseling keluarga untuk
3. Bagaimana gambaran kesiapan mental calon TKW dan keluarganya
sesudah memperoleh layanan konseling keluarga?
4. Bagaimana efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan
rumusan model konseling keluarga yang efektif untuk mengembangkan
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.
Secara operasional, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran empirik tentang hal-hal berikut.
1. Mendeskripsikan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sebelum
diberikan layanan konseling keluarga.
2. Merumuskan model hipotetik konseling keluarga untuk
mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.
3. Mendeskripsikan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sesudah
diberikan layanan konseling keluarga.
4. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk
mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.
a. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk
mengembangkan kemampuan mengelola emosi calon TKW dan
b. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk
mengembangkan kepercayaan diri calon TKW dan keluarganya.
c. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk
mengembangkan sikap sosial calon TKW dan keluarganya.
D. Asumsi Penelitian
Penelitian model konseling keluarga untuk mengembangkan
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, dilandasi oleh asumsi-asumsi
berikut.
1. Terjadinya perasaan kecewa, tertekan atau sakitnya seorang anggota
keluarga bukan hanya disebabkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh
interaksi yang tidak sehat dengan anggota keluarga yang lain,
ketidaktahuan individu dalam keluarga tentang peranannya dalam
menjalani kehidupan keluarga, situasi hubungan suami-isteri dan antar
keluarga lainya, dan penyesuaian diri yang kurang sempurna (Perez,
1979).
2. “Migrasi” dapat mendatangkan krisis psikologis sehingga individu perlu
disiapkan dan dimotivasi dengan baik Rumbaut (Yakushko, 2005: 294).
3. Para wanita imigran (TKW) mengalami tekanan post-traumatic,
kesedihan, penderitaan dan berbagai kerugian, tekanan akulturasi,
mempersepsikan ketidakberdayaan dalam menghadapi budaya baru
Espin (Yakushko, 2005: 294).
4. Konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk membantu
keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi dan seimbang
sehingga semua anggota keluarga mencapai kebahagiaan dan
kenyamanan (Perez, 1979).
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan adalah “model konseling keluarga
efektif untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan
keluarganya.”
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritik maupun praktik. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat : (1) menjadi rujukan konseptual tentang konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya, dan (2) memberikan wawasan strategi mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Tujuan akhir dari penelitian ini, yaitu merumuskan model konseling
keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon tenaga kerja wanita
(TKW) dan keluarganya. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan
pengembangan (research and development), sedangkan metode dalam penelitian
ini dengan menggunakan metode campuran (mixed methods design). yaitu
metode kualitatif dan kuantitatif yang digunakan secara terpadu dan saling
melengkapi.
Menurut Creswell, J.W (2008: 552) mixed methods design adalah
suatu prosedur untuk mengumpulkan data, menganalisis, dan “mixing”
kedua metode kualitatif dan kuantitatif dalam suatu penelitian tunggal
untuk memahami masalah penelitian. Sedangkan jenis desain dalam
penelitian ini adalah ekploratory mixed design, yaitu prosedur
pengumpulan data kualitatif untuk mengeksplorasi suatu gejala, dan
kemudian mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan data
kualitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk memaknai deskripsi kondisi
obyektif tentang kebutuhan layanan konseling, kesiapan mental calon TKW
konseling untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan
keluarganya. Hasil analisis dari pendekatan kualitatif sebagai dasar untuk
merumuskan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Pendekatan kuantitatif
digunakan untuk menganalisis keefektifan model konseling keluarga bagi calon
TKW dan keluarganya.
Tahap pengembangan desain model, dengan menerapkan metode analisis
deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode
analisis deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis secara
faktual kesiapan mental, upaya yang dilakukan oleh calon TKW dan keluarganya
didalam mengembangkan kesipan mental, dan analisis karakteristik calon TKW
dan keluarganya.
Metode partisipatif kolaboratif dilakukan untuk uji kelayakan dan uji
lapangan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan
mental calon TKW dan keluarganya. Uji kelayakan model hipotetik dilakukan
melalui diskusi terbatas dengan cakupan bahasan meliputi uji rasional, uji
keterbacaan, uji kepraktisan dan uji coba terbatas. Dalam uji rasional melibatkan
tiga orang pakar konseling, uji keterbacaan melibatkan sepuluh orang calon TKW
dan sepuluh orang perwakilan dari keluarga calon TKW, sedangkan untuk uji
kepraktisan melalui diskusi dengan melibatkan konselor, unsur pimpinan
PPTKIS, dan para nara sumber (tutor). Dalam uji lapangan, partisipasi dan kerja
PPTKIS dalam mengimplementasikan model hipotetik konseling keluarga untuk
mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.
Pengujian efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, menerapkan metode
pre-experimental designs berupa one-group pretest-posttest design, yaitu
membandingkan kondisi calon TKW dan keluarganya sebelum dan sesudah
perlakuan. Alasan penggunaan metode one-group pretest-posttest design karena
dalam penelitian ini untuk membandingkan dengan keadaan (kesiapan mental)
sebelum dan sesudah perlakuan (konseling keluarga) tanpa menggunakan
kelompok pembanding (kelompok kontrol). Sebagaimana pendapat Sugiyono
(2007: 415) yang mengemukakan bahwa metode one-group pretest-posttest
design dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan keadaan sebelum
dan sesudah perlakuan.
One-group pretest-posttest design tervisualisasikan pada gambar berikut:
Gambar: 3.1
Pengujian efektivitas Model
Keterangan :
Kondisi sebelum perlakuan Kondisi sesudah perlakuan Perlakuan
01 X 02
01
Pengujian perbedaan sebelum dan susudah perlakuan (konseling
keluarga), diuji secara statistik dengan t - test berkorelasi (related), atau korelasi
antara kedua kelompok, yaitu kondisi sebelum perlakuan (konseling keluarga)
dan kondisi sesudah perlakuan (konseling keluarga) dengan rumus sebagai
berikut.
Keterangan :
x
1 : Rata-rata kondisi sebelum perlakuanx
2 : Rata-rata kondisi sesudah perlakuans
1 : Simpangan baku kondisi sebelum perlakuans
2 : Simpangan baku kondisi sesudah perlakuans
12 : Varian kondisi sebelum perlakuans
22 : Varian kondisi sesudah perlakuanr : Korelasi antara kondisi awal sebelum
Operasionalisasi pengujian perbedaan kondisi sebelum dan setelah
perlakuan atau efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya menggunakan bantuan perangkat
lunak (software) SPSS 16.0 for Windows.
B. Definisi Operasional Variabel
Terdapat dua variabel utama dari tema penelitian ini yaitu model
Definisi operasional variabel penelitian diuraikan sebagai berikut.
1. Model Konseling Keluarga
Menurut Kartadinata (2008: 7) model adalah “perangkat asumsi, proposisi,
atau prinsip yang terverifikasi secara empirik, diorganisasikan ke dalam sebuah
struktur (kerja) untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku
atau arah tindakan”. Natawidjaya (2007: 6) mengemukakan bahwa “pemodelan
merupakan bidang kegiatan baru yang melibatkan perkawinan gagasan dari
berbagai disiplin ilmu, dan merupakan bagian yang esensial dan tidak terpisahkan
dari semua kegiatan ilmiah”. Law dan Kelton (Wibowo, 2006: 14) berpendapat
bahwa ‘model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak
berdasarkan pijakan yang terpresentasikan oleh model itu’.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan model adalah visualisasi dari suatu konsep, berupa cara berpikir
(way of thingking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atas fenomena abstrak.
Konseling keluarga didefinisikan sebagai suatu proses interaktif untuk
membantu keluarga mencapai keseimbangan dimana setiap anggota keluarga
merasakan kebahagiaan (Perez, 1979). Pendapat senada dikemukakan oleh Willis
(1994 : 72) bahwa konseling keluarga merupakan suatu upaya bantuan yang
diberikan kepada individu anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan
masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota
keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.
Berdasarkan pendapat tersebut, model konseling keluarga didefinisikan
sebagai suatu pengembangan pola pemberian bantuan profesional dari seorang
konselor yang ditujukan untuk membantu calon TKW dan keluarganya dalam
upaya mengembangkan kesiapan mental yang meliputi: kemampuan
mengendalikan dan mengotrol emosi, rasa percaya diri, dan sikap sosial.
2. Kesiapan Mental
Kesiapan mental atau kesiapan diri didefinisikan sebagai : (a)
keadaan siap-siaga untuk mereaksi atau merespon sesuatu; dan (b) tingkat
perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan
untuk mempraktikkan sesuatu (adaptasi dari pendapat Chaplin, 2002 : 418).
Dalam penelitian ini, kesiapan mental didefinisikan sebagai keadaan
siap-siaga dari calon TKW dan keluarganya dalam menghadapi berbagai
perubahan-perubahan yang muncul, baik dari dalam diri sendiri, keluarga,
maupun permasalahan yang muncul di tempat penampungan dan tempat
kerja di luar negeri secara positif, yang ditandai dengan kemampuan
pengendalian emosi, kepercayaan diri, dan sikap sosial.
Dalam penelitian ini, variabel kesiapan mental terdiri atas tiga aspek,
yaitu: pengendalian emosi, kepercayaan diri, dan sikap sosial. Aspek
kecemasan; dan (b) kemampuan mengendalikan stress. Aspek kepercayaan
diri, terdiri atas indikator : (a) menerima kekuatan dan kelemahan diri
sendiri; (b) memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita; (c) memiliki
keterampilan yang mendukung cita-cita; (d) memiliki konsep diri yang
positif; (e) bertindak secara mandiri dalam pengambilan keputusan; dan
(f) berani mengungkapkan pendapat. Aspek sikap sosial, terdiri atas
indikator: (a) respek terhadap orang lain; (b) memiliki sikap
kesetiakawanan sosial; dan (c) aktif dalam kegiatan sosial.
C. Pengembangan Instrumen
1. Instrumen Pengumpul data Kesiapan Mental
Jenis instrumen pengumpul data yang digunakan adalah inventori.
Instrumen dikonstruksi untuk memperoleh data tentang kesiapan mental calon
TKW dan keluarganya. Instrumen kesiapan mental dibuat dalam laporan diri (self
report), karena laporan diri dipandang sebagai sumber informasi utama untuk
mengukur emosi, stress, rasa percaya diri, dan sikap sosial. Isi pertanyaan terkait
dengan perasaan, pikiran atau tindakan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu
masalah, Lazarus & Folkmann (Sukartini, 2003: 82).
Bentuk laporan diri dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan
kemungkinan jawaban: sangat sesuai (SS), sesuai (S), ragu-ragu (R), tidak sesuai
(TS), sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1 - 5.
yaitu: (a) menyusun kisi-kisi; (b) merumuskan butir-butir pernyataan;
(c) menimbang (judgment) butir-butir pernyataan oleh para pakar; dan (d) uji coba
dilapangan, sebagai dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang
akan digunakan dalam penelitian.
a. Menyusun Kisi-kisi
Kesiapan mental memiliki tiga aspek, yaitu: pengendalian emosi, percaya
diri, dan sikap sosial. Masing-masing aspek diungkap melalui instrumen
berbentuk laporan diri dengan skala yang merentang dari 1-5. Kisi-kisi inventori
kesiapan mental calon TKW dan keluarganya disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Inventori
Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya (Sebelum Uji Coba)
No. Aspek Indikator Positif Nomor Item Negatif ∑
1. Emosi 1. Mampu mengendalikan kecemasan
1,2,7,8,12 3,4,5,6,9,10,11 12
2. Mampu mengatasi stress 16,17,18,19,20,
22
2. Memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita
32,34,36, 33,35, 5
3. Keterampilan yang mendukung
38,40 37,39 4
4. Memiliki konsep diri yang positif
42,43,46,48 41,44,45,47 8
5. Bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan
50,51 49,52 4
b. Merumuskan Butir-butir Pernyataan
Berdasarkan kisi-kisi tersebut diatas disusun pernyataan-pernyataan yang
terdiri dari pernyataan positif (+) 37 pernyataan dan pernyataan negatif (-) 33
pernyataan. Untuk mengukur aspek emosi ada 22 pernyataan, untuk mengukur
rasa percaya diri ada 34 pernyataan, dan untuk mengukur sikap sosial ada 14
pernyataan, jumlah keseluruhan 70 pernyataan.
c. Penimbangan (Judgment) Instrumen
Penimbangan instrumen kepada para pakar konseling, dimaksudkan
untuk memperoleh kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator
variable yang akan diukur. Dengan penimbangan tersebut diharapkan instrumen
penelitian layak dipakai. Untuk keperluan penimbangan instrumen peneliti
meminta bantuan kepada tiga pakar konseling pada Universitas Pendidikan
Indonesia. Ketiga pakar konseling tersebut adalah: Prof. Dr. Uman Suherman,
M.Pd., Prof. Dr. Achmad Juntika Nurihsan, M.Pd., dan Dr. Suherman, M.Pd.
Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak baik konstruk
isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai
dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Instrumen yang telah di
revisi, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen.
Hasil penimbangan instrumen oleh pakar disajikan Penghitungan
reliabilitas antar penimbang dimaksudkan untuk mengukur kadar validitas
dengan menggunakan rumus dari Ebel (Guilford, 1959 : 395).
r = Kadar validitas timbangan seorang penimbang
kk
r = Kadar validitas antar penimbang
p
Instrumen Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya
Koefisien Validitas Nilai Koefisien t Signifikan pada p < 11
r 0.536 5.239 0,01
33
r 0.776 10.153 0,01
d. Uji Coba Instrumen
Langkah ini dilakukan dengan tujuan menguji kebakuan instrumen secara
empiris. Menurut Sukartini (2003: 85) syarat kebakuan sekurang-kurangnya
adalah ketepatan bobot skala setiap pernyataan (soal), daya pembeda setiap
pernyataan, keterpaduan setiap pernyataan dengan keseluruhan pernyataan, dan
kesahihan faktor. Uji coba instrumen dilakukan kepada 120 responden, yang
terdiri dari: 40 orang calon TKW, 40 orang suami dari calon TKW, dan 40 orang
anak dari calon TKW.
pengujian bobot nilai skala, uji daya pembeda, uji validitas dan uji reliabilitas.
1. Pengujian Bobot Nilai Skala Pernyataan
Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji
ketepatan pembobotan skala setiap pernyataan. Sebagaimana disampaikan oleh
Azwar (2008: 139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan
didasari oleh dua asumsi, yaitu:
a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel
b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.
Dalam pengujian pembobotan nilai skala, responden diminta untuk
menyatakan kesesuaian atau ketidaksesuaian terhadap isi pernyataan, dalam lima
kategori jawaban, yaitu sangat sesuai (SS) sesuai (S) ragu-ragu (R) tidak sesuai
(TS), dan sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1 sampai
dengan 5, sedangkan untuk pernyataan yang tidak memenuhi kriteria dikeluarkan
dari rangkaian pernyataan instrumen.
Berikut disajikan dua contoh perhitungan bobot nilai skala pernyataan
nomor 16 dari aspek emosi, dengan pernyataan favorable (+), maka kategori
jawaban STS (sangat tidak sesuai) diletakan paling kiri, karena akan mendapat
bobot paling rendah dan kategori jawaban SS (sangat sesuai) diletakan paling
kanan karena harus mendapat bobot yang paling tinggi. Contoh yang kedua
favovable (-), maka kategori jawaban SS (sangat sesuai) diletakan paling kiri,
karena akan mendapat bobot paling rendah, dan kategori jawaban STS (sangat
sesuai) diletakan paling kanan karena harus mendapat bobot yang paling tinggi
(Azwar, 2008: 142).
Tabel 3.3
Contoh Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan Nomor 16 (+) dan 26 (-)
Nomor Pernyataan 16 (+)
Kategori Respon
STS TS R S SS
f 2 5 13 19 1
P=f/N 0.050 0.125 0.325 0.475 0.025 Pk 0.050 0.175 0.500 0.975 1.000 Pk-tengah 0.025 0.113 0.338 0.738 0.988 Z -1.960 -1.211 -0.418 0.637 2.257 Z+2.326 0 0.749 1.542 2.597 4.217
Nilai skala 0 1 2 3 4
Nomor Pernyataan : 26 (-)
Kategori Respon
SS S R ST STS
f 1 7 8 20 4
P=f/N 0.025 0.175 0.200 0.500 0.100 Pk 0.025 0.200 0.400 0.900 1.000 Pk-tengah 0.013 0.113 0.300 0.650 0.950 Z -2.226 -1.211 -0.524 0.385 1.645 Z + 2.226 0 1.015 1.702 2.611 3.871
Nilai skala 0 1 2 3 4
f : frekuensi
p : proporsi dalam kategori itu (membagi setiap frekuensi dengan banyaknya responden)
N : banyaknya responden
pk : proporsi kumulatif (proporsi dalam suatu kategori ditambah dengan proporsi kesemua kategori disebelah kirinya)
2. Pengujian Daya Pembeda Pernyataan
Setelah keseluruhan pernyataan dihitung nilai skala kategori responnya
masing-masing, maka langkah selanjutnya dilakukan uji daya beda. Menurut
Azwar (2008: 147) pernyataan yang terbaik adalah pernyataan yang mempunyai
daya beda tinggi untuk memisahkan antara mereka yang termasuk dalam
kelompok responden yang mempunyai sikap positif dan mereka yang termasuk
dalam kelompok responden yang mempunyai sikap negatif.
Edwards 1957 (Azwar, 2008: 151) bahwa harga t = 1.75 dianggap
sebagai batas minimal untuk memilahkan antara pernyataan yang mempunyai
daya beda yang baik dan yang tidak, kalau masing-masing kelompok atas dan
kelompok bawah jumlahnya tidak kurang dari 25 orang. Semua pernyataan yang
mempunyai harga t lebih kecil dari 1.75 dapat dibuang atau tidak dikutsertakan
dalam rangkaian instrumen penelitian. Adapun formula t-test untuk menghitung
daya beda dirumuskan sebagai berikut:
n
f : frekuensi pemilih setiap kategori responden n : banyaknya subyek dalam suatu kelompok A : kelompok Atas
B : kelompok Bawah
Keseluruhan responden dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok A
(kelompok atas) yaitu kelompok yang mendapatkan skor total skala tinggi dan
kelompok B (kelompok bawah), yaitu kelompok yang mendapatkan skor total
skala bawah. Untuk pembagian kelompok A dan kelompok B dilakukan
berdasarkan perolehan skor total yang diperoleh masing-masing responden dari
yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Karena responden dalam uji coba
ini tidak banyak, maka semua responden dilibatkan untuk dianalisis.
Berikut disajikan dua contoh perhitungan daya pembeda pernyataan
nomor tujuh (7) dengan pernyataan favorable (+), dan nomor (35) dengan
pernyataa tidak favorabel (-)
Tabel 3.4
Contoh Pengujian Daya Pembeda Nomor 16 (+)
Kelompok A Kelompok B
20
Contoh Pengujian Daya Pembeda Nomor 35 (-)
Kelompok A Kelompok B
f fY fY² f fY fY²
beda tinggi yang artinya bahwa pernyataan tersebut mampu menunjukan
responden yang bersikap favorable dan responden yang tak-favorabel.
3. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrumen. Arikunto (1997: 160) uji validitas item dalam
Analisis item dilakukan dengan menghitung korelasi antara setiap skor butir
instrumen dengan skor total.
Arikunto (1997: 67) menyatakan bahwa koefisien korelasi product
moment yang dikemukakan oleh Pearson adalah prosedur yang umum digunakan
untuk melaporkan validitas item. Validitas item yang digunakan dengan rumus
korelasi product moment (r) dengan taraf signifikansi 95%. Artinya butir
pernyataan dinayatakan signifikan jika koefisien korelasi dari
r
hitung≥ dengankoefisien korelasi tabel.
{
2 2}{
2 2}
Secara operasional proses pengujian validitas menggunakan bantuan
perangkat lunak SPSS version 16.0 for Windows. Hasil pengujian validitas
menunjukkan dari 70 item pernyataan yang disusun didapatkan 32 item yang
dinyatakan valid adalah item nomor 4, 7, 10, 11, 16, 21, 26, 27, 29, 32, 34, 35, 37,
38, 39, 41, 42, 43, 44, 49, 50, 51, 53, 54, 58, 59, 60, 61, 62, 66, 68, dan 69. Hasil
pengujian validitas terlampir di lampiran.
4. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas instrumen pengumpul data penelitian
dimaksudkan untuk melihat konsistensi internal instrumen yang digunakan.
Spearman-Brown dengan bantuan perangkat lunak (software) SPSS version 16.0 for
Windows. Langkah-langkah rumus tersebut yaitu:
Pertama, mengelompokkan skor butir bernomor ganjil atau belahan
kiri sebagai belahan pertama dan kelompok bernomor genap atau belahan
kanan sebagai belahan kedua, cara ini biasa disebut dengan teknik belah
dua ganjil-genap atau awal-akhir.
Kedua, mengkorelasikan skor belahan pertama dengan skor belahan
kedua dan akan diperoleh harga rxy.
Tabel 3.5 Pengujian Reliabilitas
Correlation Between Forms .760
Spearman-Brown Coefficient
Equal Length .864
Unequal Length .864
Guttman Split-Half Coefficient .860
a. The items are: X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, X10, X11, X12, X13, X14, X15, X16.
b The items are: X17, X18, X19, X20, X21, X22, X23, X24, X25, X26, X27, X28, X29, X30, X31, X32.
Ketiga, indeks korelasi yang diperoleh baru menunjukkan hubungan
antara dua belahan instrumen.
Keempat, indeks reliabilitas soal diperoleh dengan rumus
Titik tolak ukur koefisien reliabilitas digunakan pedoman koefisien
korelasi yang dikemukakan oleh Sugiyono (1999 : 149) pada tabel 3.6.
Tabel 3.6
Pedoman untuk Menginterpretasi Koefesien Korelasi
Interval Koefesien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan koefisien reliabilitas
sebesar 0.855. Artinya, instrumen tersebut memiliki reliabilitas yang sangat
kuat.
Berdasarkan pengujian validitas dan reliabilitas instrumen penelitian,
instrumen setelah uji coba disajikan pada tabel 3.7, sedangkan instrumen
penelitian setelah direvisi disajikan pada lampiran penelitian.
Tabel 3.7
Kisi-Kisi Inventori Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya (Setelah Uji Coba)
8. Memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita
32, 34 35 3
9. Keterampilan yang mendukung
38 37, 39 3
10.Memiliki konsep diri yang positif
42, 43 41, 44 4
11.Bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan
50,51 49 3
12.Berani mengungkapkan pendapat
2. Kuesioner Kelayakan Model
Kuesioner ini disusun untuk memperoleh data dari para pakar konseling
dan para konselor untuk mengkaji kelayakan model konseling keluarga bagi calon
TKW dan keluarganya. Ketelibatan para pakar dan para konselor sebagai dasar
pengembangan dari model hipotetik menjadi model operasional. Kuesioner
disusun dalam bentuk skala likert menurut tingkat kelayakan suatu model, yaitu
dipahami (3), kurang tepat/kurang dipahami (2), sangat tidak tepat/sangat tidak
dipahami (1). Instrumem validasi terdiri dari: Validasi umum yang meliputi
komponen komponen: rumusan judul, kejelasan penggunaan istilah, sistematika
model, kejelasan struktur model, keterbacaan model, kesesuaian antar komponen
model. Validasi panduan praktik (panduan operasional) yang meliputi komponen
komponen: deskripsi, prosedur pelaksanaan konseling keluarga, karakteristik
hubungan, norma kelompok, komposisi kelompok, adegan konseling, peran
peneliti dan anggota kelompok keluarga, prakondisi dan keterbatasan konseling,
kejelasan konseling tiap-tiap sesi.
D. Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri dan
anak, sebagaimana pengertian keluarga menurut UU No. 10/1992 yaitu: “unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah
dengan anaknya, atau ibu dengan anak”.
Ketentuan penetapan subjek dalam penelitian adalah calon TKW berstatus
kawin (menikah), baik mempunyai anak atau belum mempunyai anak, yang
direkrut oleh PPTKIS di kabupaten Kendal, yang secara obyektif melaksanakan
perekrutan calon Tenaga Kerja Wanita, menampung calon TKW dan
melaksanakan pelatihan atau memberi pembekalan keterampilan bagi calon
TKW. Secara rinci subyek dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Calon TKW
kemampuan minimal anak sudah mampu berkomunikasi aktif dan mampu
menyampaikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan
peneliti).
Tabel 3.8 Subjek Penelitian
Jenis subyek Jumlah
Calon TKW 40 orang
Suami 40 orang
Anak 40 orang
Jumlah 120 orang
E. Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian pengembangan model menurut Borg and
Gall (2003 : 271), ada sepuluh tahap, yaitu: (1) studi pendahuluan,
(2) perencanaan, (3) pengembangan model hipotetik, (4) uji lapangan model
hipotetik, (5) revisi model hipotetik, (6) uji coba terbatas, (7) revisi hasil uji coba,
(8) uji coba model lebih luas, (9) revisi model akhir, (10) diseminasi dan
sosialisasi. Kesepuluh tahap pengembangan model tersebut dapat
disederhanakan menjadi empat tahap yaitu:
Tahap pertama: Studi pendahuluan. Tahap ini dilakukan untuk
mendapatkan berbagai informasi awal yang dapat dijadikan dasar untuk
merancang model yang bersifat teoritis-hipotetik. Dalam studi pendahuluan