• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KONSELING KELUARGA UNTUK MENGEMBANGKAN KESIAPAN MENTAL CALON TENAGA KERJA WANITA (TKW) DAN KELUARGANYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL KONSELING KELUARGA UNTUK MENGEMBANGKAN KESIAPAN MENTAL CALON TENAGA KERJA WANITA (TKW) DAN KELUARGANYA."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

xiv

UNGKAPAN TERIMA KASIH ...

DAFTAR ISI ...

B. Rumusan Masalah ...

C. Tujuan Penelitian ...

D. Asumsi Penelitian ...

E. Hioptesis ...

F. Manfaat Penelitian ...

BAB II

KONSELING KELUARGA BAGI CALON TENAGA KERJA WANITA (TKW) DAN KELUARGANYA

A. Kajian Konseptual Tentang Keluarga ...

1. Pengertian Keluarga ...

2. Peran dan Fungsi Keluarga ...

3. Pondasi Keluarga ...

4. Penyebab Masalah Keluarga ...

B. Keluarga Calon TKW ...

1. Karakteristik Keluarga Calon TKW ...

2. Faktor-faktor yang Mendorong Isteri Menjadi TKW ...

(2)

xv

4. Kebutuhan ...

5. Dampak Isteri Menjadi TKW terhadap Keutuhan Rumah Tangga ...

6. Interaksi Dalam Keluarga ...

C. Konsep Dasar Konseling Keluarga ...

1. Pengertian Konseling Keluarga ...

2. Prinsip-prinsip Dasar Konseling ...

3. Tujuan Konseling Keluarga ...

4. Konselor Keluarga ...

5. Konseling Keluarga Calon TKW ...

D. Mengembangkan Kesiapan Mental ...

1. Emosi ...

2. Kecemasan ...

3. Stres ...

4. Percaya Diri ...

5. Sikap Sosial ...

E. Pendekatan-pendekatan Konseling Keluarga ...

1. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Sistem ...

2. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Perilaku ...

3. Konseling Keluarga Berdasar Pendekatan Komunikasi ...

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian ...

B. Definisi Operasional Variabel ...

C. Pengembangan Instrumen ...

D. Subyek Penelitian ...

E. Prosedur Penelitian ...

F. Analisis Data ...

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ...

1. Kesiapan Mental Calon TKW Sebelum Konseling ...

2. Kesiapan Mental Suami Calon TKW sebelum Konseling...

(3)

xvi

3. Kesiapan Mental Anak Calon TKW sebelum Konseling ...

4. Kesiapan Mental Calon TKW Setelah Konseling ………...

5. Kesiapan Mental Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

6. Kesiapan Mental Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

B. Model Hipotetik Konseling Keluarga Bagi

Calon TKW dan Keluarganya ...

C. Validasi Model Konseling Keluarga Bagi Calon TKW

dan Keluarganya ...

1. Uji Kelayakan MKK Bagi Calon TKW dan Keluarganya ...

2. Uji Coba Terbatas ...

3. Uji Coba Lapangan Konseling Keluarga ...

D. Hasil Uji Coba MKK Bagi Calon TKW dan Keluarganya ...

1. Pengujian Normalitas Data ...

2. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Calon TKW ...

3. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Suami Calon TKW ...

4. Pengujian Efektivitas MKK Bagi Anak Calon TKW ...

E. Pembahasan ...

1. Pembahasan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

2. Pembahasan Efektivitas Model Konseling Keluarga Untuk

Membangun Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...

(4)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1

Kisi-kisi inventori Kesiapan Mental Calon TKW (sebelum uji coba) ...

Tabel 3.2

Koefisien Validitas Antar Penimbang untuk Instrumen Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

Tabel 3.3

Penghitungan Bobot Nilai Skala ...

Tabel 3.4

Contoh Penghitungan Daya Pembeda ...

Tabel 3.5

Pengujian Reliabilitas ...

Tabel 3.6

Pedoman untuk Memberikan Interprestasi Koefisien Korelasi ...

Tabel 3.7

Kisi-kisi Inventori Kesiapan Calon TKW (setelah uji coba) ...

Tabel 3.8

Subjek Penelitian ...

Tabel 4.1

Gambaran Kesiapan Mental Calon TKW sebelum Konseling ...

Tabel 4.2

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Calon TKW

sebelum konseling ...

Tabel 4.3

(5)

xviii Tabel 4.4

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.5

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.6

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.7

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.8

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.9

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.10

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.11

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.12

Gambaran Aspek Sosial Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.13

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.14

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Calon TKW Sebelum Konseling ...

(6)

xix

Tabel 4.15

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.16

Gamabaran Kesiapan Mental Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.17

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.18

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.19

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.20

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Suami Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.21

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.22

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.23

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.24

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Suami

Calon TKW Sebelum Konseling ...

(7)

xx Tabel 4.25

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.26

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.27

Gambaran Aspek Sosial Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.28

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.29

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Suami Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.30

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Suami Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.31

Gamabaran Kesiapan Mental Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.32

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.33

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.34

(8)

xxi Tabel 4.35

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Anak Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.36

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.37

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.38

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.39

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Anak

Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.40

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.41

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.42

Gambaran Aspek Sosial Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.43

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Anak Calon TKW

Sebelum Konseling ...

Tabel 4.44

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Anak Calon TKW

(9)

xxii Tabel 4.45

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Anak Calon TKW Sebelum Konseling ...

Tabel 4.46

Gambaran Kesiapan Mental Calon TKW setelah Konseling ...

Tabel 4.47

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.48

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.49

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.50

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.51

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.52

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.53

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.54

(10)

xxiii Tabel 4.55

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.56

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.57

Gambaran Aspek Sosial Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.58

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.59

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.60

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.61

Gamabaran Kesiapan Mental Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.62

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.63

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.64

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.65

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Suami Calon TKW

(11)

xxiv Tabel 4.66

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri

Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.67

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.68

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.69

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Suami

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.70

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.71

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.72

Gambaran Aspek Sosial Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.73

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Suami Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.74

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Suami Calon TKW

Setelah Konseling ………

Tabel 4.75

(12)

xxv Tabel 4.76

Gamabaran Kesiapan Mental Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.77

Gambaran Aspek Kemampuan Mengendalikan Emosi Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.78

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Kecemasan Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.79

Gambaran Indikator Kemampuan Mengendalikan Stres Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.80

Gambaran Aspek Kepercayaan Diri Anak Calon TKW Setelah Konseling ..

Tabel 4.81

Gambaran Indikator Menerima Kekuatan dan Kelemahan Diri Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.82

Gambaran Indikator memiliki Kekuatan yng Mendukung Cita-cita

Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.83

Gambaran Indikator Memiliki Keterampilan yang mendukung Cita-cita Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.84

Gambaran Indikator Memiliki Konsep Diri yang Positif Anak

Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.85

Gambaran Indikator Bertindak Mandiri dalam Pengambilan Keputusan Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

(13)

xxvi Tabel 4.86

Gambaran Indikator Keberanian dalam Mengungkapkan Pendapat

Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.87

Gambaran Aspek Sosial Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.88

Gambaran Indikator Respek terhadap orang lain Anak Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.89

Gambaran Indikator Kesetiakawanan Anak Calon TKW

Setelah Konseling ...

Tabel 4.90

Gambaran Indikator Aktif dalam Kegiatan Sosial Anak Calon TKW Setelah Konseling ...

Tabel 4.91

Pengujian Normalitas Data ...

Tabel 4.92

Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Calon TKW ...

Tabel 4.93

Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Calon TKW ...

Tabel 4.94

Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Calon TKW ...

Tabel 4.95

Aspek dan Indikator Sikap Sosial Calon TKW ...

Tabel 4.96

Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Suami Calon TKW ...

Tabel 4.97

Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Suami Calon TKW ...

(14)

xxvii Tabel 4.98

Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Suami Calon TKW ...

Tabel 4.99

Aspek dan Indikator Sikap Sosial Suami Calon TKW ...

Tabel 4.100

Pengujian Efektifitas MKK untuk Kesiapan Mental Anak Calon TKW ...

Tabel 4.101

Aspek dan Indikator Pengendalian Emosi Anak Calon TKW ...

Tabel 4.102

Aspek dan Indikator Kepercayaan Diri Anak Calon TKW ...

Tabel 4.103

Aspek dan Indikator Sikap Sosial Anak Calon TKW ...

Tabel 4.104

Ringkasan Perubahan Kesiapan Mental Calon

TKW dan Keluarganya ...

229

233

234

236

238

241

(15)

xxviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar : 3.1

Peengujian Efektivitas Model ...

Gambar : 3.2

Tahap Pengembangan Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

112

(16)

xxix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran: 1

Permohonan Izin Mengadakan Studi Lapangan/Penelitian ...

Lampiran: 2

Surat Keterangan telah melakukan Penelitian/uji lapangan Model

Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya ...

Lampiran: 3

Kisi-Kisi Inventori dan Instrumen Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita dan Keluarganya. (sebelum Uji Coba) ...

Lampiran: 4

Kisi-Kisi Inventori dan Instrumen Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita dan Keluarganya. (setelah Uji Coba) ...

Lampiran: 5

Penghitungan bobot nilai skala sikap ...

Lampiran: 6

Analisis Daya Pembeda Skala Sikap ...

Lampiran: 7

Hasil pengujian validitas instrumen kesiapan mental Calon Tenaga

Kerja Wanita (TKW) dan keluarganya ...

Lampiran: 8

Reliabilitas instrumen kesiapan mental Calon TKW dan keluargnya ...

Lampiran: 9

Pengujian Normalitas Data ...

Lampiran: 10

Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...

(17)

xxx Lampiran: 11

Panduan Operasional Model Konseling Keluarga untuk Mengembangkan Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya. ...

Lampiran: 12

Tabel frekuensi kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Keluarganya Sebelum dan Sesudah Konseling ...

Lampiran: 13

Hasil Pengujian Efektifitas Model Konseling Keluarga

untuk mengembangkan Kesiapan Mental Calon Tenaga Kerja Wanita ………

Lampiran: 14

Instrumen Validasi Model konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita

(TKW) dan keluarganya ...

Lampiran: 15

Foto Layanan Konseling Keluarga ...

355

371

405

425

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keadaan ekonomi keluarga dan desakan kebutuhan hidup yang

semakin tidak terpenuhi, serta sempitnya lapangan pekerjaan mendorong

para ibu rumah tangga (isteri) melibatkan diri membantu suami mencari

nafkah, sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (migran).

Faktor ekonomi dan keinginan memenuhi kebutuhan menjadi alasan utama

para ibu rumah tangga menjadi tenaga kerja di luar negeri. Menurut

Wahjuni (2007: 1) terdapat dua faktor yang mendorong para ibu rumah

tangga menjadi TKW, yaitu :

Pertama keinginan dari dalam diri sendiri dengan tujuan merubah nasib, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarga. Kedua dorongan dari luar dirinya, yaitu pengaruh teman, kerabat, tetangga, dan dorongan dari suami dengan tujuan untuk membuat rumah, pemenuhan perabot rumah tangga, kendaraan, dan modal usaha untuk masa depan.

Banyaknya ibu rumah tangga (isteri) bekerja di luar negeri sebagai

TKW, selain dapat memecahkan masalah ketenagakerjaan, meningkatkan

devisa negara, dan memperbaiki ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki sisi

negatif, seperti differensiasi peranan dalam keluarga dan longgarnya ikatan

perkawinan. Sebagaimana dikemukakan oleh Oberg (Tamtiari, 2000: 502)

(19)

menimbulkan dampak negatif, baik yang menyangkut aspek politik,

ekonomi, demografi, budaya, sosial, psikologis, maupun harkat dan

martabat bangsa”.

Dampak pengiriman tenaga kerja wanita ke luar dari sisi ekonomi

dapat meningkatkan standar kehidupan keluarga TKW. Peningkatan standar

kehidupan keluarga TKW, secara tidak langsung juga meningkatkan

pendapatan masyarakat sekitarnya. Martin (Tjiptoherijanto, 1997: 151)

mengemukakan:

Pada tingkat mikro hasil dari penghasilan (remiten), dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal para TKW yang bekerja di luar negeri, pada umumnya lebih baik dibanding non TKW. Para TKW yang bekerja di luar negeri banyak yang memiliki sepeda motor, peralatan rumah tangga, dan berinvestasi membeli tanah sawah atau pekarangan

Meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong pola hidup dan

perilaku konsumtif pada masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian yang

dilakukan oleh Tjahyani (2005: 54) menunjukkan bahwa:

(20)

Sisi lain keterlibatan ibu rumah tangga bekerja sebagai TKW di luar

negeri selama dua tahun, menyebabkan dinamika kehidupan keluarga

terganggu. Seperti pelimpahan peran dan fungsi sebagai ibu rumah tangga

(isteri) kepada suami, dimana pelimpahan peran dan fungsi tersebut dapat

menimbulkan differensiasi peranan dalam keluarga TKW. Pelimpahan

peran ibu rumah tangga kepada suami, dapat memunculkan permasalahan

lain seperti keresahan sosial. Tidak semua suami mampu mempertahankan

diri “puasa” dari dorongan seksual. Kurang perhatian dan kasih sayang

isteri kepada suami, seringkali suami kurang terkendali dalam

melampiaskan kebutuhan biologisnya. Tidak menutup kemungkinan

sebagian suami untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya disalurkan

dengan membeli kepuasan dari tempat prostitusi, atau melakukan

perselingkuhan dengan wanita idaman lain.

Kondisi ini menjadi titik awal tidak konsistennya suami terhadap

tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Mencermati permasalahan

tersebut, mengindikasikan bahwa para ibu rumah tangga yang bekerja di

luar negeri sebagai TKW menjadi penyebab terhadap longgarnya ikatan

perkawinan.

Salah satu contoh kasus TKW yang menimpa Sumitri 26 tahun

(bukan nama sebenarnya). Dua tahun berkeluarga belum dikaruniai anak.

(21)

layak huni, serta sulitnya mencari pekerjaan di daerahnya, maka dengan ijin

suaminya ia memutuskan untuk mengadu nasib ke negeri Jiran. Sumitri

mendapatkan majikan yang cukup memperhatikan, gaji selalu dibayarkan

tepat waktu pada setiap bulannya. Setiap tiga bulan mengirimkan uang

kepada suaminya untuk memperbaiki rumah, dan untuk mencukupi

kebutuhan keluarga. Tanpa sepengetahuan isterinya uang kiriman

digunakan suami untuk foya-foya dengan selingkuhannya. Suami sudah

tidak konsisten dengan tujuan semula. Tidak konsistennya suami

merupakan bentuk pengingkaran tanggung jawab sebagai suami. Hal ini

yang menjadi alasan Sumitri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.

Salah satu contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa, para isteri

atau ibu rumah tangga yang bekerja di luar negeri sebagai TKW, secara

tidak langsung menyebabkan keutuhan rumah tangga menjadi rapuh.

Kerapuhan keluarga dapat berawal karena adanya krisis keluarga yang

disebabkan tidak berjalannya fungsi keluarga. Menurut Rifa’i (2007: 187)

bahwa:

masalah krisis keluarga dapat diduga muncul akibat tidak berfungsinya tugas dan peranannya keluarga, yang secara psikologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera pula.

Rendahnya tingkat pendidikan para ibu rumah tangga yang bekerja

(22)

sebagai pembantu rumah tangga (blue collar). Pendidikan dan keterampilan

bagi calon TKW sangat penting, karena tingkat pendidikan menjadi dasar

dalam penempatan (placement) tenaga kerja di luar negeri. Berdasarkan

studi pendahuluan terhadap 50 calon TKW diperoleh data tingkat

pendidikan calon TKW, SLTA 15 orang (30%), SLTP 26 orang (52%),

SD 9 orang (18% ). Rendahnya kualitas tenaga kerja menjadi salah satu

penyebab ketidakmampuan tenaga kerja untuk bersaing dalam pemenuhan

kebutuhan tenaga kerja baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Di samping itu, rendahnya tingkat pendidikan TKW memiliki

kerentanan terhadap berbagai masalah yang kurang menguntungkan, seperti

penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai perlakuan yang bersifat

merugikan. Pendidikan pada hakekatnya memiliki fungsi untuk

mengembangkan potensi manusia agar tumbuh menjadi yang terbaik bagi

dirinya, dan lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Managara

(2006: 1) bahwa:

bekal utama seseorang untuk survive dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya termasuk lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun adalah terletak pada kemampuan, inisiatif, kreativitas, dan keberaniannya untuk mempertahankan diri dari berbagai kesulitan sebagai senjata (self-defense).

Faktor lain yang mendorong munculnya permasalahan TKW yaitu

persyaratan perekrutan calon TKW yang masih sangat longgar jauh dari

(23)

sesuatu yang normal, fleksibel dan berpihak pada pencari kerja. Di balik

kelonggaran tersebut sebetulnya berisiko cukup besar terhadap keselamatan

tenaga kerja itu sendiri.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

Kep-104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar

negeri. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa sebagian persyaratan

yang harus dipenuhi oleh calon TKI antara lain adalah serendah-rendahnya

harus tamat SLTP atau yang sederajat. Lebih lanjut disebutkan pula bahwa

harus memiliki keterampilan atau keahlian yang dibuktikan dengan

sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam keputusan

tersebut juga dijelaskan bahwa setiap perusahaan jasa tenaga kerja

Indonesia (PPTKIS) wajib melatih calon TKI yang belum memenuhi

kualitas di Balai Latihan Kerja (BLK) yang sudah terakreditasi.

Ibu rumah tangga yang bekerja sebagai TKW di luar negeri, akan

terjadi pergeseran peran dalam pengasuhan anak. Secara umum dalam

pengasuhan anak melibatkan suami dan orang tua atau mertua calon TKW.

Ketidakhadiran seorang ibu di tengah-tengah keluarga menjadi

permasalahan yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Dalam kondisi

seperti ini suami (ayah) ambil alih peran seorang ibu sebagai pendidik bagi

anak-anaknya. Pengalihan peran tersebut, maka suami (ayah) memiliki

waktu yang terbatas untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya,

(24)

pendidik dan pengasuh anak-anaknya, suami harus mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhan keluarga. Noerwanto (2007: 2) mengemukakan

bahwa :

ketika isteri menjadi tenaga kerja wanita, keluarga yang ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam “ekosistem” keluarga itu menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju keseimbangan baru. Disebutkan lebih lanjut bahwa kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran. Pertama, suami mengambil alih peran yang ditinggalkan isteri. Mereka mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.

Kedua, suami mengambil sebagian peran yang ditinggalkan isteri. Mereka biasanya dibantu ibu mertua atau anggota keluarga dekat lain. Ketiga, suami tidak mengambil peran. Pola ini dapat dikatakan kegagalan keluarga dalam melakukan transformasi nilai. Dalam hal ini ibu atau mertua TKW mengambil alih peran domestik keluarga.

Selain permasalahan-permasalahan yang datang dari keluarga, para

TKW juga dihadapkan berbagai permasalahan yang datang dari tempat

kerjanya. Data yang dicatat oleh Depnakertrans (2005: 1) bahwa beberapa

kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia dan kesaksian dari para pekerja

rumah tangga (TKW) di luar negeri dipaparkan sebagai berikut:

(25)

Tidak semua TKW mengalami nasib yang tidak menguntungkan,

banyak pula para TKW yang mendapatkan tempat kerja atau majikan yang

baik, sehingga diperlakukan dengan baik. Kasus-kasus kekerasan banyak

disebabkan oleh perilaku pengguna tenaga kerja atau majikan yang

memiliki karakter keras dan kurang berpihak pada TKW, kurang

menghargai dan menghormati hak-hak kerja para TKW.

Perilaku keluarga majikan yang kurang berpihak pada TKW,

menyebabkan berbagai tindakan yang merugikan TKW, seperti kasus

pelecehan seksual yang dialami Susanti, 20 tahun (bukan nama

sebenarnya), yang diperkosa berkali-kali oleh suami majikan. Perkosaan

disertai ancaman tersebut dilakukan setiap kali isteri majikan dan anak-anak

tidak ada di rumah.

Kasus putus komunikasi sering menimpa TKW asal Indonesia, hal

ini dapat dikarenakan ketidaktahuan menggunakan atau memanfaatkan alat

komunikasi yang ada, atau majikan tidak mengijinkan TKW menggunakan

atau memanfaatkan alat komunikasi yang ada, atau majikan tidak

mengijinkan TKW berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia atau

berkomunikasi dengan sesama TKW.

Kasus putus komunikasi, seperti yang dialami Wulandari, 23 tahun

(bukan nama sebenarnya). Ia bekerja untuk lima orang yang sudah dewasa.

(26)

Indonesia atau dengan teman sejawatnya. Selain itu tidak diberikan waktu

istirahat yang cukup.

Menurut Laporan Human Rights Watch, para TKW yang putus

komunikasi dengan keluarganya atau dengan teman sejawatnya, karena

majikan tidak mengijinkan mereka berkomunikasi dengan dunia luar.

Perlakuan majikan ini seringkali melahirkan kecemasan keluarga yang ada

di Indonesia. Untuk membatasi TKW berkomunikasi dengan dunia luar,

majikan tidak memperkenankan TKW menggunakan HP atau telepon

rumah, keluar rumah atau berkirim surat.

Permasalahan tenaga kerja di luar negeri makin menambah beban

persoalan ketenagakerjaan Indonesia. Selain permasalahan tenaga kerja

yang dipaparkan di atas, masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi

oleh TKW, seperti penganiayaan, pemerkosaan atau kasus-kasus lain

seperti kelalaian kerja yang berakibat fatal juga menambah permasalahan

para TKW di luar negeri, seperti kecelakaan kerja yang menimpa Umi

Maskonah (31 tahun) TKW asal kecamatan Gemuh, kabupaten Kendal,

meninggal dunia karena jatuh dari lantai 19 apartemen tempat bekerja

(Suara Merdeka, November 2008).

Berbagai upaya untuk meminimalisir permasalahan yang menimpa

TKW telah dilakukan pemerintah dengan melakukan berbagai kebijakan

(27)

tenaga kerja, salah satunya adalah membentuk Badan Nasional Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), membuat terminal

khusus TKI (terminal 3) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Namun

demikian langkah yang ditempuh pemerintah belum mampu menangani

permasalahan yang dihadapi para TKI, khususnya TKW yang akan atau

yang sedang bekerja di luar negeri. Sehingga tidak sedikit kisah-kisah pilu

masih saja dialami oleh TKW Indonesia di luar negeri.

Permasalahan yang dihadapi TKW tidak hanya terjadi di tempat

mereka bekerja (di luar negeri) tetapi permasalahan muncul sejak mereka

masih di dalam negeri. Permasalahan tersebut dapat juga masalah yang

datang dari diri sendiri atau dari keluarga (internal), dan permasalahan

yang datang dari luar dirinya (eksternal) yang meliputi permasalahan antar

calon TKW, permasalahan dengan pengelola PPTKIS, pelayanan selama di

penampungan, proses pemberangkatan, sampai dengan tahap pasca TKW.

Menurut Bronfenbrenner's (Yakusho, 2005: 295) permasalahan yang

dihadapi TKW tidak hanya terjadi di tempat mereka bekerja (di luar negeri)

tetapi permasalahan muncul ketika dalam penampungan. Hal ini

menunjukkan bahwa pangkal masalah para TKW dan keluarganya sudah

terjadi sejak masih di tanah air.

Konflik psikis calon TKW dan keluarga berada dalam dua situasi

(28)

bentuk adanya ketidaksiapan mental untuk meninggalkan dan ditinggalkan.

Menurut Yusuf (2005: 165) konflik ganda (double approach-avoidance

conflict) adalah konflik psikis yang dialami individu dalam menghadapi dua

situasi atau lebih yang masing-masing mengandung motif positif dan

negatif sekaligus dan sama kuat.

Dorongan niat para ibu rumah tangga menjadi TKW salah satu

diantaranya yaitu untuk dapat lepas dari belenggu kemiskinan, hanya saja

niat tersebut tidak didukung oleh kemampuan diri seperti pendidikan,

keterampilan dan bahasa yang memadai. Memperhatikan niat tersebut, ibu

rumah tangga menjadi calon TKW karena adanya unsur keterpaksaan.

Keterpaksaan memutuskan untuk bekerja keluar negeri sebagai TKW

mengindikasikan bahwa calon TKW dan keluarganya kurang memiliki

kesiapan mental.

Ketidaksiapan mental calon TKW dan keluarganya akan berimbas

pada ketidakmampuan calon TKW dan keluarga menghadapi konflik psikis

Rumbaut (Yakushko, 2005: 294) menyatakan bahwa “migrasi” dapat

mendatangkan krisis psikologis, maka individu perlu disiapkan dengan baik

dan dimotivasi, bahkan di dalam keadaan mau menerima pun. Kemudian

Espin (Yakushko, 2005: 294) mengemukakan:

(29)

persepsi mereka yang tidak mampu untuk berfungsi dengan segenap kemampuan di dalam budaya baru

Berbagai permasalahan yang dihadapi calon TKW dan keluarganya,

menunjukkan bahwa para calon TKW dan keluarganya, mengalami

berbagai krisis psikologis. Memperhatikan berbagai permasalahan yang

dihadapi para TKW sangat memprihatinkan. Sebutan yang disandangkan

pada TKW adalah sebagai pahlawan devisa, namun demikian sebutan yang

disandangkan kepadanya belum seimbang antara pengorbanan dengan

kesejahteraan mereka. TKW masih saja dipandang sebagai kelompok

marginal yang jauh dari sentuhan-sentuhan pemikiran akademis, sehingga nasib

para imigran tidak diketahui oleh para pengambil kebijakan. Hal ini didasarkan

pada penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan belum menyentuh

pada tataran pengembangan yang bersinggungan langsung dengan

permasalahan mendasar dari para TKW dan keluarganya, dengan demikian

permasalahan permasalahan yang mendasar yang dihadapi para TKW tidak

diketahui secara pasti oleh pengambil kebijakan.

Permasalahan yang dihadapi para TKW dan keluarganya dapat saja

karena mereka kurang memiliki kesiapan mental untuk menghadapi

berbagai perubahan yang terjadi setelah salah satu anggota keluarganya

meninggalkan atau berpisah untuk sementara waktu karena bekerja di luar

negeri sebagai TKW. Oleh karena itu, sebelum calon TKW bekerja di luar

(30)

dipersiapkan, hal ini dimaksudkan agar calon TKW dan keluarganya

memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan permasalahan

yang muncul.

Konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya sangat

diperlukan, paling tidak pemberian konseling tersebut dapat meminimalisir

permasalahan yang muncul dari dalam diri sendiri, keluarga, maupun

permasalahan yang muncul di tempat penampungan. Layanan konseling

keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan

keluarganya, merupakan pemberian bantuan yang ditujukan untuk

membantu calon TKW dan keluarganya agar mereka memiliki kesiapan

mental, yang mencakup kemampuan mengendalikan dan mengotrol emosi,

rasa percaya diri, dan sikap sosial.

Pemberian layanan konseling keluarga diharapkan agar calon TKW

dan keluarganya memperoleh pengetahuan, dan pemahaman, serta

membantu menangani masalah-masalah yang mengganggu calon TKW dan

keluarganya. Selain itu, layanan konseling sebagai upaya untuk

mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan membantu menjaga

keutuhan rumah tangga meskipun mereka hidup berjauhan.

Agar dalam pemberian layananan konseling dapat diperoleh hasil

yang maksimal dan efektif, maka diperlukan suatu model konseling

keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan

(31)

digunakan secara optimal oleh para konselor dan PPTKIS dalam membantu

para calon TKW dan keluarganya untuk mengembangkan kesiapan mental

dan dapat mengurangi konflik psikis para calon TKW dan keluarganya.

B. Rumusan Masalah

Faktor ekonomi dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga menjadi alasan utama ibu rumah tangga (isteri) memutuskan untuk

bekerja diluar negeri sebagai TKW. Hanya saja dorongan niat tersebut tidak

didukung oleh kemampuan diri seperti pendidikan, keterampilan dan

bahasa yang memadai. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ibu rumah

tangga yang akan bekerja keluar negeri sebagai TKW kurang memiliki

kesiapan mental. Ketidaksiapan mental calon TKW dan keluarganya akan

berimbas pada ketidak mampuan calon TKW dan keluarganya menghadapi

konflik psikis. Fakta empiris tentang gejala ketidaksiapan mental pada

calon TKW dan keluarganya mengisyaratkan perlunya layanan konseling

keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan

keluarganya.

Konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk

membantu keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi atau

seimbang sehingga kebahagiaan semua anggota keluarga dapat terwujud.

Ini berarti bahwa sebuah keluarga membutuhkan pendekatan yang beragam

(32)

Rumusan tersebut memuat dua implikasi berikut. Pertama,

terganggunya kondisi seorang anggota keluarga merupakan hasil

adaptasi/interaksi terhadap lingkungan yang sakit (ketidakberfungsian peran

dan fungsi keluarga secara efektif) yang diciptakan di dalam keluarga.

Kedua, seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan emosional

akan mempengaruhi suasana dan interaksi anggota keluarga yang lain,

sehingga diupayakan pemberian bantuan melalui konseling keluarga.

Terlaksananya konseling keluarga akan membantu anggota keluarga

mencapai keseimbangan psiko-fisik sehingga dapat mencapai kebahagiaan

dan kenyamanan bagi semua anggota keluarga.

Mengacu dan mencermati permasalahan tersebut, maka penelitian ini

merupakan salah satu upaya merumuskan model konseling keluarga untuk

mengembangkan kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan

keluarganya. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

”Bagaimanakah model konseling keluarga (MKK) yang efektif untuk

mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?”

Rumusan masalah tersebut, dijabarkan ke dalam beberapa

pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran kesiapan mental calon TKW dan keluarganya

sebelum memperoleh layanan konseling keluarganya?

2. Bagaimana rumusan model hipotetik konseling keluarga untuk

(33)

3. Bagaimana gambaran kesiapan mental calon TKW dan keluarganya

sesudah memperoleh layanan konseling keluarga?

4. Bagaimana efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan

rumusan model konseling keluarga yang efektif untuk mengembangkan

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

Secara operasional, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran empirik tentang hal-hal berikut.

1. Mendeskripsikan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sebelum

diberikan layanan konseling keluarga.

2. Merumuskan model hipotetik konseling keluarga untuk

mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

3. Mendeskripsikan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya sesudah

diberikan layanan konseling keluarga.

4. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk

mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

a. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk

mengembangkan kemampuan mengelola emosi calon TKW dan

(34)

b. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk

mengembangkan kepercayaan diri calon TKW dan keluarganya.

c. Mendeskripsikan efektivitas model konseling keluarga untuk

mengembangkan sikap sosial calon TKW dan keluarganya.

D. Asumsi Penelitian

Penelitian model konseling keluarga untuk mengembangkan

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, dilandasi oleh asumsi-asumsi

berikut.

1. Terjadinya perasaan kecewa, tertekan atau sakitnya seorang anggota

keluarga bukan hanya disebabkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh

interaksi yang tidak sehat dengan anggota keluarga yang lain,

ketidaktahuan individu dalam keluarga tentang peranannya dalam

menjalani kehidupan keluarga, situasi hubungan suami-isteri dan antar

keluarga lainya, dan penyesuaian diri yang kurang sempurna (Perez,

1979).

2. “Migrasi” dapat mendatangkan krisis psikologis sehingga individu perlu

disiapkan dan dimotivasi dengan baik Rumbaut (Yakushko, 2005: 294).

3. Para wanita imigran (TKW) mengalami tekanan post-traumatic,

kesedihan, penderitaan dan berbagai kerugian, tekanan akulturasi,

(35)

mempersepsikan ketidakberdayaan dalam menghadapi budaya baru

Espin (Yakushko, 2005: 294).

4. Konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk membantu

keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi dan seimbang

sehingga semua anggota keluarga mencapai kebahagiaan dan

kenyamanan (Perez, 1979).

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang diajukan adalah “model konseling keluarga

efektif untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan

keluarganya.”

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritik maupun praktik. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat : (1) menjadi rujukan konseptual tentang konseling keluarga bagi calon TKW dan keluarganya, dan (2) memberikan wawasan strategi mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

(36)
(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini, yaitu merumuskan model konseling

keluarga untuk mengembangkan kesiapan mental calon tenaga kerja wanita

(TKW) dan keluarganya. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan

pengembangan (research and development), sedangkan metode dalam penelitian

ini dengan menggunakan metode campuran (mixed methods design). yaitu

metode kualitatif dan kuantitatif yang digunakan secara terpadu dan saling

melengkapi.

Menurut Creswell, J.W (2008: 552) mixed methods design adalah

suatu prosedur untuk mengumpulkan data, menganalisis, dan “mixing”

kedua metode kualitatif dan kuantitatif dalam suatu penelitian tunggal

untuk memahami masalah penelitian. Sedangkan jenis desain dalam

penelitian ini adalah ekploratory mixed design, yaitu prosedur

pengumpulan data kualitatif untuk mengeksplorasi suatu gejala, dan

kemudian mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan data

kualitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk memaknai deskripsi kondisi

obyektif tentang kebutuhan layanan konseling, kesiapan mental calon TKW

(38)

konseling untuk mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan

keluarganya. Hasil analisis dari pendekatan kualitatif sebagai dasar untuk

merumuskan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya. Pendekatan kuantitatif

digunakan untuk menganalisis keefektifan model konseling keluarga bagi calon

TKW dan keluarganya.

Tahap pengembangan desain model, dengan menerapkan metode analisis

deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode

analisis deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis secara

faktual kesiapan mental, upaya yang dilakukan oleh calon TKW dan keluarganya

didalam mengembangkan kesipan mental, dan analisis karakteristik calon TKW

dan keluarganya.

Metode partisipatif kolaboratif dilakukan untuk uji kelayakan dan uji

lapangan model hipotetik konseling keluarga untuk mengembangkan kesiapan

mental calon TKW dan keluarganya. Uji kelayakan model hipotetik dilakukan

melalui diskusi terbatas dengan cakupan bahasan meliputi uji rasional, uji

keterbacaan, uji kepraktisan dan uji coba terbatas. Dalam uji rasional melibatkan

tiga orang pakar konseling, uji keterbacaan melibatkan sepuluh orang calon TKW

dan sepuluh orang perwakilan dari keluarga calon TKW, sedangkan untuk uji

kepraktisan melalui diskusi dengan melibatkan konselor, unsur pimpinan

PPTKIS, dan para nara sumber (tutor). Dalam uji lapangan, partisipasi dan kerja

(39)

PPTKIS dalam mengimplementasikan model hipotetik konseling keluarga untuk

mengembangkan kesiapan mental calon TKW dan keluarganya.

Pengujian efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya, menerapkan metode

pre-experimental designs berupa one-group pretest-posttest design, yaitu

membandingkan kondisi calon TKW dan keluarganya sebelum dan sesudah

perlakuan. Alasan penggunaan metode one-group pretest-posttest design karena

dalam penelitian ini untuk membandingkan dengan keadaan (kesiapan mental)

sebelum dan sesudah perlakuan (konseling keluarga) tanpa menggunakan

kelompok pembanding (kelompok kontrol). Sebagaimana pendapat Sugiyono

(2007: 415) yang mengemukakan bahwa metode one-group pretest-posttest

design dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan keadaan sebelum

dan sesudah perlakuan.

One-group pretest-posttest design tervisualisasikan pada gambar berikut:

Gambar: 3.1

Pengujian efektivitas Model

Keterangan :

Kondisi sebelum perlakuan Kondisi sesudah perlakuan Perlakuan

01 X 02

01

(40)

Pengujian perbedaan sebelum dan susudah perlakuan (konseling

keluarga), diuji secara statistik dengan t - test berkorelasi (related), atau korelasi

antara kedua kelompok, yaitu kondisi sebelum perlakuan (konseling keluarga)

dan kondisi sesudah perlakuan (konseling keluarga) dengan rumus sebagai

berikut.

Keterangan :

x

1 : Rata-rata kondisi sebelum perlakuan

x

2 : Rata-rata kondisi sesudah perlakuan

s

1 : Simpangan baku kondisi sebelum perlakuan

s

2 : Simpangan baku kondisi sesudah perlakuan

s

12 : Varian kondisi sebelum perlakuan

s

22 : Varian kondisi sesudah perlakuan

r : Korelasi antara kondisi awal sebelum

Operasionalisasi pengujian perbedaan kondisi sebelum dan setelah

perlakuan atau efektivitas model konseling keluarga untuk mengembangkan

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya menggunakan bantuan perangkat

lunak (software) SPSS 16.0 for Windows.

B. Definisi Operasional Variabel

Terdapat dua variabel utama dari tema penelitian ini yaitu model

(41)

Definisi operasional variabel penelitian diuraikan sebagai berikut.

1. Model Konseling Keluarga

Menurut Kartadinata (2008: 7) model adalah “perangkat asumsi, proposisi,

atau prinsip yang terverifikasi secara empirik, diorganisasikan ke dalam sebuah

struktur (kerja) untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku

atau arah tindakan”. Natawidjaya (2007: 6) mengemukakan bahwa “pemodelan

merupakan bidang kegiatan baru yang melibatkan perkawinan gagasan dari

berbagai disiplin ilmu, dan merupakan bagian yang esensial dan tidak terpisahkan

dari semua kegiatan ilmiah”. Law dan Kelton (Wibowo, 2006: 14) berpendapat

bahwa ‘model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang

memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak

berdasarkan pijakan yang terpresentasikan oleh model itu’.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan model adalah visualisasi dari suatu konsep, berupa cara berpikir

(way of thingking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atas fenomena abstrak.

Konseling keluarga didefinisikan sebagai suatu proses interaktif untuk

membantu keluarga mencapai keseimbangan dimana setiap anggota keluarga

merasakan kebahagiaan (Perez, 1979). Pendapat senada dikemukakan oleh Willis

(1994 : 72) bahwa konseling keluarga merupakan suatu upaya bantuan yang

diberikan kepada individu anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan

(42)

masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota

keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.

Berdasarkan pendapat tersebut, model konseling keluarga didefinisikan

sebagai suatu pengembangan pola pemberian bantuan profesional dari seorang

konselor yang ditujukan untuk membantu calon TKW dan keluarganya dalam

upaya mengembangkan kesiapan mental yang meliputi: kemampuan

mengendalikan dan mengotrol emosi, rasa percaya diri, dan sikap sosial.

2. Kesiapan Mental

Kesiapan mental atau kesiapan diri didefinisikan sebagai : (a)

keadaan siap-siaga untuk mereaksi atau merespon sesuatu; dan (b) tingkat

perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan

untuk mempraktikkan sesuatu (adaptasi dari pendapat Chaplin, 2002 : 418).

Dalam penelitian ini, kesiapan mental didefinisikan sebagai keadaan

siap-siaga dari calon TKW dan keluarganya dalam menghadapi berbagai

perubahan-perubahan yang muncul, baik dari dalam diri sendiri, keluarga,

maupun permasalahan yang muncul di tempat penampungan dan tempat

kerja di luar negeri secara positif, yang ditandai dengan kemampuan

pengendalian emosi, kepercayaan diri, dan sikap sosial.

Dalam penelitian ini, variabel kesiapan mental terdiri atas tiga aspek,

yaitu: pengendalian emosi, kepercayaan diri, dan sikap sosial. Aspek

(43)

kecemasan; dan (b) kemampuan mengendalikan stress. Aspek kepercayaan

diri, terdiri atas indikator : (a) menerima kekuatan dan kelemahan diri

sendiri; (b) memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita; (c) memiliki

keterampilan yang mendukung cita-cita; (d) memiliki konsep diri yang

positif; (e) bertindak secara mandiri dalam pengambilan keputusan; dan

(f) berani mengungkapkan pendapat. Aspek sikap sosial, terdiri atas

indikator: (a) respek terhadap orang lain; (b) memiliki sikap

kesetiakawanan sosial; dan (c) aktif dalam kegiatan sosial.

C. Pengembangan Instrumen

1. Instrumen Pengumpul data Kesiapan Mental

Jenis instrumen pengumpul data yang digunakan adalah inventori.

Instrumen dikonstruksi untuk memperoleh data tentang kesiapan mental calon

TKW dan keluarganya. Instrumen kesiapan mental dibuat dalam laporan diri (self

report), karena laporan diri dipandang sebagai sumber informasi utama untuk

mengukur emosi, stress, rasa percaya diri, dan sikap sosial. Isi pertanyaan terkait

dengan perasaan, pikiran atau tindakan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu

masalah, Lazarus & Folkmann (Sukartini, 2003: 82).

Bentuk laporan diri dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan

kemungkinan jawaban: sangat sesuai (SS), sesuai (S), ragu-ragu (R), tidak sesuai

(TS), sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1 - 5.

(44)

yaitu: (a) menyusun kisi-kisi; (b) merumuskan butir-butir pernyataan;

(c) menimbang (judgment) butir-butir pernyataan oleh para pakar; dan (d) uji coba

dilapangan, sebagai dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang

akan digunakan dalam penelitian.

a. Menyusun Kisi-kisi

Kesiapan mental memiliki tiga aspek, yaitu: pengendalian emosi, percaya

diri, dan sikap sosial. Masing-masing aspek diungkap melalui instrumen

berbentuk laporan diri dengan skala yang merentang dari 1-5. Kisi-kisi inventori

kesiapan mental calon TKW dan keluarganya disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Inventori

Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya (Sebelum Uji Coba)

No. Aspek Indikator Positif Nomor Item Negatif

1. Emosi 1. Mampu mengendalikan kecemasan

1,2,7,8,12 3,4,5,6,9,10,11 12

2. Mampu mengatasi stress 16,17,18,19,20,

22

2. Memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita

32,34,36, 33,35, 5

3. Keterampilan yang mendukung

38,40 37,39 4

4. Memiliki konsep diri yang positif

42,43,46,48 41,44,45,47 8

5. Bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan

50,51 49,52 4

(45)

b. Merumuskan Butir-butir Pernyataan

Berdasarkan kisi-kisi tersebut diatas disusun pernyataan-pernyataan yang

terdiri dari pernyataan positif (+) 37 pernyataan dan pernyataan negatif (-) 33

pernyataan. Untuk mengukur aspek emosi ada 22 pernyataan, untuk mengukur

rasa percaya diri ada 34 pernyataan, dan untuk mengukur sikap sosial ada 14

pernyataan, jumlah keseluruhan 70 pernyataan.

c. Penimbangan (Judgment) Instrumen

Penimbangan instrumen kepada para pakar konseling, dimaksudkan

untuk memperoleh kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator

variable yang akan diukur. Dengan penimbangan tersebut diharapkan instrumen

penelitian layak dipakai. Untuk keperluan penimbangan instrumen peneliti

meminta bantuan kepada tiga pakar konseling pada Universitas Pendidikan

Indonesia. Ketiga pakar konseling tersebut adalah: Prof. Dr. Uman Suherman,

M.Pd., Prof. Dr. Achmad Juntika Nurihsan, M.Pd., dan Dr. Suherman, M.Pd.

Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak baik konstruk

isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai

dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Instrumen yang telah di

revisi, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen.

Hasil penimbangan instrumen oleh pakar disajikan Penghitungan

reliabilitas antar penimbang dimaksudkan untuk mengukur kadar validitas

(46)

dengan menggunakan rumus dari Ebel (Guilford, 1959 : 395).

r = Kadar validitas timbangan seorang penimbang

kk

r = Kadar validitas antar penimbang

p

Instrumen Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya

Koefisien Validitas Nilai Koefisien t Signifikan pada p < 11

r 0.536 5.239 0,01

33

r 0.776 10.153 0,01

d. Uji Coba Instrumen

Langkah ini dilakukan dengan tujuan menguji kebakuan instrumen secara

empiris. Menurut Sukartini (2003: 85) syarat kebakuan sekurang-kurangnya

adalah ketepatan bobot skala setiap pernyataan (soal), daya pembeda setiap

pernyataan, keterpaduan setiap pernyataan dengan keseluruhan pernyataan, dan

kesahihan faktor. Uji coba instrumen dilakukan kepada 120 responden, yang

terdiri dari: 40 orang calon TKW, 40 orang suami dari calon TKW, dan 40 orang

anak dari calon TKW.

(47)

pengujian bobot nilai skala, uji daya pembeda, uji validitas dan uji reliabilitas.

1. Pengujian Bobot Nilai Skala Pernyataan

Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji

ketepatan pembobotan skala setiap pernyataan. Sebagaimana disampaikan oleh

Azwar (2008: 139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan

didasari oleh dua asumsi, yaitu:

a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel

b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Dalam pengujian pembobotan nilai skala, responden diminta untuk

menyatakan kesesuaian atau ketidaksesuaian terhadap isi pernyataan, dalam lima

kategori jawaban, yaitu sangat sesuai (SS) sesuai (S) ragu-ragu (R) tidak sesuai

(TS), dan sangat tidak sesuai (STS), dengan penetapan skala terentang 1 sampai

dengan 5, sedangkan untuk pernyataan yang tidak memenuhi kriteria dikeluarkan

dari rangkaian pernyataan instrumen.

Berikut disajikan dua contoh perhitungan bobot nilai skala pernyataan

nomor 16 dari aspek emosi, dengan pernyataan favorable (+), maka kategori

jawaban STS (sangat tidak sesuai) diletakan paling kiri, karena akan mendapat

bobot paling rendah dan kategori jawaban SS (sangat sesuai) diletakan paling

kanan karena harus mendapat bobot yang paling tinggi. Contoh yang kedua

(48)

favovable (-), maka kategori jawaban SS (sangat sesuai) diletakan paling kiri,

karena akan mendapat bobot paling rendah, dan kategori jawaban STS (sangat

sesuai) diletakan paling kanan karena harus mendapat bobot yang paling tinggi

(Azwar, 2008: 142).

Tabel 3.3

Contoh Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan Nomor 16 (+) dan 26 (-)

Nomor Pernyataan 16 (+)

Kategori Respon

STS TS R S SS

f 2 5 13 19 1

P=f/N 0.050 0.125 0.325 0.475 0.025 Pk 0.050 0.175 0.500 0.975 1.000 Pk-tengah 0.025 0.113 0.338 0.738 0.988 Z -1.960 -1.211 -0.418 0.637 2.257 Z+2.326 0 0.749 1.542 2.597 4.217

Nilai skala 0 1 2 3 4

Nomor Pernyataan : 26 (-)

Kategori Respon

SS S R ST STS

f 1 7 8 20 4

P=f/N 0.025 0.175 0.200 0.500 0.100 Pk 0.025 0.200 0.400 0.900 1.000 Pk-tengah 0.013 0.113 0.300 0.650 0.950 Z -2.226 -1.211 -0.524 0.385 1.645 Z + 2.226 0 1.015 1.702 2.611 3.871

Nilai skala 0 1 2 3 4

f : frekuensi

p : proporsi dalam kategori itu (membagi setiap frekuensi dengan banyaknya responden)

N : banyaknya responden

pk : proporsi kumulatif (proporsi dalam suatu kategori ditambah dengan proporsi kesemua kategori disebelah kirinya)

(49)

2. Pengujian Daya Pembeda Pernyataan

Setelah keseluruhan pernyataan dihitung nilai skala kategori responnya

masing-masing, maka langkah selanjutnya dilakukan uji daya beda. Menurut

Azwar (2008: 147) pernyataan yang terbaik adalah pernyataan yang mempunyai

daya beda tinggi untuk memisahkan antara mereka yang termasuk dalam

kelompok responden yang mempunyai sikap positif dan mereka yang termasuk

dalam kelompok responden yang mempunyai sikap negatif.

Edwards 1957 (Azwar, 2008: 151) bahwa harga t = 1.75 dianggap

sebagai batas minimal untuk memilahkan antara pernyataan yang mempunyai

daya beda yang baik dan yang tidak, kalau masing-masing kelompok atas dan

kelompok bawah jumlahnya tidak kurang dari 25 orang. Semua pernyataan yang

mempunyai harga t lebih kecil dari 1.75 dapat dibuang atau tidak dikutsertakan

dalam rangkaian instrumen penelitian. Adapun formula t-test untuk menghitung

daya beda dirumuskan sebagai berikut:

n

(50)

f : frekuensi pemilih setiap kategori responden n : banyaknya subyek dalam suatu kelompok A : kelompok Atas

B : kelompok Bawah

Keseluruhan responden dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok A

(kelompok atas) yaitu kelompok yang mendapatkan skor total skala tinggi dan

kelompok B (kelompok bawah), yaitu kelompok yang mendapatkan skor total

skala bawah. Untuk pembagian kelompok A dan kelompok B dilakukan

berdasarkan perolehan skor total yang diperoleh masing-masing responden dari

yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Karena responden dalam uji coba

ini tidak banyak, maka semua responden dilibatkan untuk dianalisis.

Berikut disajikan dua contoh perhitungan daya pembeda pernyataan

nomor tujuh (7) dengan pernyataan favorable (+), dan nomor (35) dengan

pernyataa tidak favorabel (-)

Tabel 3.4

Contoh Pengujian Daya Pembeda Nomor 16 (+)

Kelompok A Kelompok B

(51)

20

Contoh Pengujian Daya Pembeda Nomor 35 (-)

Kelompok A Kelompok B

f fY fY² f fY fY²

beda tinggi yang artinya bahwa pernyataan tersebut mampu menunjukan

responden yang bersikap favorable dan responden yang tak-favorabel.

3. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen. Arikunto (1997: 160) uji validitas item dalam

(52)

Analisis item dilakukan dengan menghitung korelasi antara setiap skor butir

instrumen dengan skor total.

Arikunto (1997: 67) menyatakan bahwa koefisien korelasi product

moment yang dikemukakan oleh Pearson adalah prosedur yang umum digunakan

untuk melaporkan validitas item. Validitas item yang digunakan dengan rumus

korelasi product moment (r) dengan taraf signifikansi 95%. Artinya butir

pernyataan dinayatakan signifikan jika koefisien korelasi dari

r

hitung≥ dengan

koefisien korelasi tabel.

{

2 2

}{

2 2

}

Secara operasional proses pengujian validitas menggunakan bantuan

perangkat lunak SPSS version 16.0 for Windows. Hasil pengujian validitas

menunjukkan dari 70 item pernyataan yang disusun didapatkan 32 item yang

dinyatakan valid adalah item nomor 4, 7, 10, 11, 16, 21, 26, 27, 29, 32, 34, 35, 37,

38, 39, 41, 42, 43, 44, 49, 50, 51, 53, 54, 58, 59, 60, 61, 62, 66, 68, dan 69. Hasil

pengujian validitas terlampir di lampiran.

4. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas instrumen pengumpul data penelitian

dimaksudkan untuk melihat konsistensi internal instrumen yang digunakan.

(53)

Spearman-Brown dengan bantuan perangkat lunak (software) SPSS version 16.0 for

Windows. Langkah-langkah rumus tersebut yaitu:

Pertama, mengelompokkan skor butir bernomor ganjil atau belahan

kiri sebagai belahan pertama dan kelompok bernomor genap atau belahan

kanan sebagai belahan kedua, cara ini biasa disebut dengan teknik belah

dua ganjil-genap atau awal-akhir.

Kedua, mengkorelasikan skor belahan pertama dengan skor belahan

kedua dan akan diperoleh harga rxy.

Tabel 3.5 Pengujian Reliabilitas

Correlation Between Forms .760

Spearman-Brown Coefficient

Equal Length .864

Unequal Length .864

Guttman Split-Half Coefficient .860

a. The items are: X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, X10, X11, X12, X13, X14, X15, X16.

b The items are: X17, X18, X19, X20, X21, X22, X23, X24, X25, X26, X27, X28, X29, X30, X31, X32.

Ketiga, indeks korelasi yang diperoleh baru menunjukkan hubungan

antara dua belahan instrumen.

Keempat, indeks reliabilitas soal diperoleh dengan rumus

(54)



Titik tolak ukur koefisien reliabilitas digunakan pedoman koefisien

korelasi yang dikemukakan oleh Sugiyono (1999 : 149) pada tabel 3.6.

Tabel 3.6

Pedoman untuk Menginterpretasi Koefesien Korelasi

Interval Koefesien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan koefisien reliabilitas

sebesar 0.855. Artinya, instrumen tersebut memiliki reliabilitas yang sangat

kuat.

Berdasarkan pengujian validitas dan reliabilitas instrumen penelitian,

(55)

instrumen setelah uji coba disajikan pada tabel 3.7, sedangkan instrumen

penelitian setelah direvisi disajikan pada lampiran penelitian.

Tabel 3.7

Kisi-Kisi Inventori Kesiapan Mental Calon TKW dan Keluarganya (Setelah Uji Coba)

8. Memiliki kekuatan yang mendukung cita-cita

32, 34 35 3

9. Keterampilan yang mendukung

38 37, 39 3

10.Memiliki konsep diri yang positif

42, 43 41, 44 4

11.Bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan

50,51 49 3

12.Berani mengungkapkan pendapat

2. Kuesioner Kelayakan Model

Kuesioner ini disusun untuk memperoleh data dari para pakar konseling

dan para konselor untuk mengkaji kelayakan model konseling keluarga bagi calon

TKW dan keluarganya. Ketelibatan para pakar dan para konselor sebagai dasar

pengembangan dari model hipotetik menjadi model operasional. Kuesioner

disusun dalam bentuk skala likert menurut tingkat kelayakan suatu model, yaitu

(56)

dipahami (3), kurang tepat/kurang dipahami (2), sangat tidak tepat/sangat tidak

dipahami (1). Instrumem validasi terdiri dari: Validasi umum yang meliputi

komponen komponen: rumusan judul, kejelasan penggunaan istilah, sistematika

model, kejelasan struktur model, keterbacaan model, kesesuaian antar komponen

model. Validasi panduan praktik (panduan operasional) yang meliputi komponen

komponen: deskripsi, prosedur pelaksanaan konseling keluarga, karakteristik

hubungan, norma kelompok, komposisi kelompok, adegan konseling, peran

peneliti dan anggota kelompok keluarga, prakondisi dan keterbatasan konseling,

kejelasan konseling tiap-tiap sesi.

D. Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, isteri dan

anak, sebagaimana pengertian keluarga menurut UU No. 10/1992 yaitu: “unit

terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah

dengan anaknya, atau ibu dengan anak”.

Ketentuan penetapan subjek dalam penelitian adalah calon TKW berstatus

kawin (menikah), baik mempunyai anak atau belum mempunyai anak, yang

direkrut oleh PPTKIS di kabupaten Kendal, yang secara obyektif melaksanakan

perekrutan calon Tenaga Kerja Wanita, menampung calon TKW dan

melaksanakan pelatihan atau memberi pembekalan keterampilan bagi calon

TKW. Secara rinci subyek dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Calon TKW

(57)

kemampuan minimal anak sudah mampu berkomunikasi aktif dan mampu

menyampaikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan

peneliti).

Tabel 3.8 Subjek Penelitian

Jenis subyek Jumlah

Calon TKW 40 orang

Suami 40 orang

Anak 40 orang

Jumlah 120 orang

E. Prosedur Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian pengembangan model menurut Borg and

Gall (2003 : 271), ada sepuluh tahap, yaitu: (1) studi pendahuluan,

(2) perencanaan, (3) pengembangan model hipotetik, (4) uji lapangan model

hipotetik, (5) revisi model hipotetik, (6) uji coba terbatas, (7) revisi hasil uji coba,

(8) uji coba model lebih luas, (9) revisi model akhir, (10) diseminasi dan

sosialisasi. Kesepuluh tahap pengembangan model tersebut dapat

disederhanakan menjadi empat tahap yaitu:

Tahap pertama: Studi pendahuluan. Tahap ini dilakukan untuk

mendapatkan berbagai informasi awal yang dapat dijadikan dasar untuk

merancang model yang bersifat teoritis-hipotetik. Dalam studi pendahuluan

Gambar

Tabel 4.100
Gambar : 3.1
Tabel frekuensi kesiapan mental calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan
Tabel  3.1 Kisi-Kisi Inventori
+7

Referensi

Dokumen terkait

didapatkan dari wawancara pada beberapa pengusaha wanita anggota Asosiasi Guyub Sido Rukun selama 5 Februari 2018–12 Februari 2018 untuk mendapatkan gambaran

Terjadinya peningkatan hasil belajar PKn konsep prinsip PKn yang dilakukan pada kelas X semester 2, tidak lepas dari peran guru dalam menerapkan. kurikulum dan

Alangkah baiknya kita sebagai orang tua dari anak tersebut menyaring atau merangkai nama untuk bayi kita yang tau dengan artinya karena nama juga merupakan salah satu do'a yang

Bagi peserta didik yang mengikuti mata pelajaran Public Area diharapkan dapat meningkatkan penguasaan pengetahuan Public Area melalui penggunaan media proyeksi. Bagi

Dari hasil pembahasan disarankan agar IPI harus menggunakan sebuah Pangkalan data (Database), untuk dapat mengawasi dan mengetahui informasi para anggotanya dan

kelemahan: “Kapan jiwa dimasukan ke dalam tubuh?” Pengikut Platonisme meng- alami kesulitan untuk memberi jawaban, karena dalam diri manusia ada pre-eksis- tensi dan creatio ex

Dari pengertian keberhasilan belajar dan pengertian pendidikan agama islam yang telah diuraikan, maka dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keberhasilan belajar pendidikan

Karantina Ikan Yang Baik dengan kriteria C kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil