• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi pemaknaan lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari Slank dalam Album Jurustandur No. 18).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi pemaknaan lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari Slank dalam Album Jurustandur No. 18)."

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

BERTA RIZKI ARISANDI NPM. 0543310449

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK J URUSAN ILMU KOMUNIKASI

(2)

Oleh:

BERTA RIZKI ARISANDI NPM. 0543310449

Telah diper tahankan dan diter ima oleh Tim Penguji Skr ipsi J ur usan Ilmu Komunikasi Fak ultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pada Tanggal 13 Desember 2011

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji :

1.

Dr a. Diana Amalia, MSi J uwito, S.Sos., MSi NIP. 19630907 199103 2001 NIP/NPT. 3670 4950 0361 2.

Dr s. Saifuddin Zuhr i, MSi NIP/NPT. 370 069 400 351 3.

Dr a. Diana Amalia, MSi NIP. 19630907 199103 2001

Mengetahui DEKAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim. Segala puji bagi Allah SWT, Sang Pemberi

nafas hidup pada seluruh makhluk. Hanya kepadanya-lah syukur dipanjatkan atas selesainya skripsi ini. Sejujurnya penulis mengakui bahwa pendapat sulit ada benarnya, tetapi faktor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri karena itu, kebanggaan penulis bukanlah pada selesainya skripsi ini, melainkan kemenangan atas berhasilnya menundukkan diri sendiri. Semua kemenangan dicapai tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis “wajib” mengucapkan terima kasih kepada mereka yang disebut berikut: 1. Ibu Dra. Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN

“Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S. Sos., MSi, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Dra. Diana Amalia, MSi, selaku Dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini.

4. Ayah dan ibu saya tercinta 5. Kakak dan adik saya tercinta

6. Seseorang yang selalu memberikan semangat yang luar biasa.

(4)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa laporan ini dapat berguna untuk teman-teman mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi, maka saran dan kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

Surabaya, November 2011

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 10

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 12

2.1. Landasan Teori ... 12

2.1.1. Definisi komunikasi ... 12

2.1.2. Komunikasi Verbal ... 15

2.1.3. Semiotika atau Semiologi ... 16

2.1.4. Semiologi Roland Barthes ... 20

2.1.5. Ideologi dan Mitologi ... 33

2.1.6. Mitos Sebagai Suatu Sistem Semiologi ... 35

2.1.7. Kode-Kode Pembacaan ... 37

2.1.8. Makna dalam Kata ... 39

2.1.9. Perubahan makna dan Ambiguitas ... 40

2.1.10. Musik ... 42

2.1.11. Lirik Lagu ... 42

(6)

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1. Metode Penelitian ... 47

3.2. Definisi Operasional ... 48

3.2.1. Corpus ... 48

3.2.2. Unit Analisis ... 50

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 51

3.4. Metode Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL DAN PENELITIAN ... 53

4.1. Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data ... 53

4.1.1. Gambaran umum Obyek ... 53

4.1.2. Penyajian Data ... 63

4.2. Analisis Data ... 64

4.3. Pemaknaan Lirik Lagu “Bobrokisasi Borokisme” ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

5.1. Kesimpulan ... 95

5.2. Saran ... 95

Daftar Pustaka ... 97

(7)

BERTA RIZKI ARISANDI, PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi pemaknaan lir ik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dar i Slank dalam Album J ur ustandur No. 18)

Dalam lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” yang dibawakan oleh Slank, dalam lagu tersebut menggambarkan tentang kritik social. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna kritik social pada lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” yang dibawakan oleh Slank.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat kualitatif-interpretatif semiologi dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap (two order of signification). Yang dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan menurut Barthes, yaitu kode Hermeneutik, kode Semik, kode simbolik, kode Proaretik, kode Gnomik. Untuk pemaknaan sebuah tanda sehingga dapat mengetahui tanda denotative dan tanda konotatifnya. Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar.

Kesimpulan pada pemaknaan lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” yang dibawakan oleh Slank ini adalah banyaknya permasalahan-permasalahan yang dialami Negara Indonesia yang diakibatkan oleh sikap-sikap para pejabat pemerintah yang bertindak seenaknya, yang seharusnya kepentingan rakyat itu diatas segala-galanya

Kata kunci : Semiologi Roland Barthes, lirik lagu Bobrokisasi Borokisme, pemaknaan

ABSTRACT

BERTA RIZKI ARISANDI, lyr ics meaning (semiology studies pur por t lyr ics of the song “Bobr okisasi Bor okisme” from the album J ur ustandur No. 18)

In the lyrics of the song “bobrokisasi Borokisme” by Slank, the song describes about social criticism. The purple of this study was to determine the meaning of social criticism in the song lyrics “Bobrokisasi Borokisme” by Slank.

Methods of data analysis in this study using qualitative research methods, interpretative semiology of Roland Barthes, the significance of two-stage method (two orders of signification). Analyzed using five kinds of code readability by Barthes, ie hermeneutic code, code Semik, Symbolic code, the code Proaretik, Gnomik code. For the meaning of a sign so that it can find and mark konotative denotative sign. In the second stage of connotative signs that mark will appear myths relating to the cultural community around.

Conclusion on the meaning of the lyrics to “Bobrokisasi Borokisme” by Slank is that many problems experienced by the State of Indonesia as a result of the attitudes of government officials who act arbitrarily, which should benefit the people above anything else.

(8)

1.1 Latar Belakang Masalah

Musik adalah suara atau bunyi-bunyian yang diatur menjadi suatu yang menarik dan menyenangkan. Dengan kata lain musik dikenal sebagai sesuatu yang terdiri dari atas nada dan ritme yang mengalun secara teratur. Musik juga memainkan peran dalam evolusi manusia, dibalik perilaku dan tindakan manusia terdapat pikiran dan perkembangan ini dipengaruhi oleh musik. Seni musik merupakan salah satu seniuntuk menyampaikan ekspresi. Ekspresi yang disampaikan sekarang ini bukan hanya mengandung unsur keindahan seperti tema-tema percintaan, namun belakangan ini banyak tercipta tema-tema yang berisi permasalahan social dan realitas yang ada pada masyarakat. Musik dapat tercipta karena didorong oleh kondisi social, politik, dan ekonomi masyarakat. Musik juga diilhami oleh perilaku umum masyarakat, dan sebaliknya perilaku umum masyarakat dapat terilhami oleh

(9)

2002:26). Beberapa jenis musik yang didasarkan pada manfaat agar diketahui lebih dalam adalah:

1. Musik klasik : ada sedikit pergeseran makna, sepertiterjadi pula pada nama ataupun istilah lain. Ada tiga taksiran mengenai musik klasik yang sering digunakan.

a. Pertama : Musik klasik adalah jenis musik tekenal yang dibuat atau diciptakan jauh di masa lalu, tetapi disukai, dimainkan dan diminati orang sepanjang masa sampai sekarang.

b. Kedua : Musik klasik ialah jenis musik yang lahir atau diciptakan oleh komponis-komponis pada masa klasik, yaitu masa sekitar tahun 1750-1800.

c. Ketiga : Musik klasik adalah jenis musik yang dibuat pada masa sekarang, tetapi mengambil gaya, corak, ataupun teknik yang terdapat pada musik klasik dari pengertian pertama dan kedua. 2. Musik jazz : Jenis musik yang dianggap lahir di New Orleans, Amerika

Serikat, pada awal abad ini. Merupakan perpaduan antara teknik dan

peralatan musik Eropa, khususnya Perancis, dengan irama bangsa negro asal Afrika Barat, di perkebunan-perkebunan kapas, New Orleans Selatan.

(10)

gaya musik tradisi kita yang sudah ada sebelumnya. Misal : permainan alat penumbuk padi, kentongan, angklung, dan lain-lain.

4. Musik Populer : Jenis musik yang selalu memasukkan unsur-unsur ataupun cara-cara baru yang disukai, atau diharapkan akan disukai oleh pendengar dewasa ini. Tujuannya adalah memperoleh ledakan popularitas sebesar mungkin dan secepat mungkin. Walaupun dua atau tiga tahun kemudian tak ada lagi yang bisa mendengarkannya. Musik popular merupakan suatu bidang yang mempunyai perkembangan tersendiri. Sifat-sifat perkembangannya itu kadang-kadang menuju kearah perkembangan artistic musical, tapi yang masih mendapat simpati dari masyarakat banyak.

Meski disebut musik popular, dari pemain-pemainnya tetap diminta syarat musikalitas. Makin tinggi nilai musikalnya, makin baik. Pemain musik popular tidak begitu merasa ‘tegang’ seperti pemain musik seriosa. Yang dimaksud ‘tegang’ disini ialah suatu rasa tekanan atau ketegangan mental, yang disebabkan antara lain adanya konsentrasi yang penuh agar

dapat memainkan musiknya sebaik-baiknya. (Sumaryo dalam Rachmawati, 2000:29).

(11)

budaya yang satu ini. Dari sisi psikologi humanistis, lagu/musik bisa menjadi sarana untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia dalam pemenuhannya akan hasrat seni. Melalui musik, manusia sebagai

homovalens atau makhluk yang memiliki keinginan, memiliki kemampuan

untuk menyalurkan identifikasinya terhadap kebudayaan. Dari sisi social, lagu biasa disebut sebagai cermin dari tatanan social yang ada dalam masyarakat saat dimana lagu tersebut diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan. (Rakhmat, 1993:19).

Pada dasarnya, lagu juga merupakan kegiatan komunikasi. Karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si pencipta lagu kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lagu merupakan representasi dari pikiran ataupun perasaan dari si pencipta lagu sebagai orang yang mengirim pesan. Konsep pesan ini dapat berupa ungkapan-ungkapan dari perasaan senang, sedih, atau marah, juga dapat berupa pendapat seperti pujian atau bahkan kritik akan sesuatu hal.

Komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dapat dikatakan komunikatif (komunikasi yang efektif) apabila para peserta komunikasi dapat memahami makna dari pesan yang dikomunikasikan, hal ini mengacu pada pemikiran bahwa suatu pesan dalam bentuk system tanda merupakan hasil penurunan makna dari si pembuat pesan.

(12)

Abdee (gitar) Ridho (gitar), Ivanka (bass), mengangkatnya ke dalam sebuah lirik lagu yang berjudul “Bobrokisasi Borokisme” dalam album “Jurustandur No. 18” pada Juli 2010.

Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu lewat lagunya, tentu tidak akan berasal dari luar diri si pencipta lagu. Dalam artian bahwa pesan tersebut bersumber dari pola pikirnya serta dari pengetahuan (frame of

reference) dan latar belakang pengalaman (field of experience) yang

terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Penelitian ini berangkat dari asumsi Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson bahwa komunikasi adalah proses memahami dan berbagai makna (Mulyana, 2004 : 69) Komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dapat dikatakan komunikatif (komunikasi yang efektif) apabila para peserta komunikasi dapat memahami makna dari pesan yang dikomunikasikan, hal ini mengacu pada pemikiran bahwa suatu pesan dapat dalam bentuk sistem tanda merupakan hasil penurunan makna dari pembuat pesan.

Melihat esensinya seperti itu maka sebenarnya penampilan sebuah

(13)

sebuah sarana fungsi komunikasi verbal. Persepsi di kalangan masyarakat yang dibentuk oleh lirik lagu tersebut dapat memberikan sebuah dukungan dan sebaliknya dapat pula memberikan cemoohan serta antipati terhadap subyek atau objek tertentu. Akan dapat dibutuhkan pengetahuan serta wawasan dalam melakukan interpretasi terhadap sebuah lirik lagu musik tersebut sesuai dengan konteksnya sehingga pemahaman secara menyeluruh terhadap makna pesan yang disampaikan si pencipta dapat tercapai.

Dalam sebuah lagu selain kekuatan musik, unsur lirik yang dinyanyikan mempunyai peranan yang sangat penting, karena lirik lagu sebagaimana bahasa dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu bila dapat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu memikat perhatian. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai.

Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu mulai di aransir dan

diperdengarkan kepada khalayak, juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu. Suatu lirik lagu dapat menggambarkan suatu realitas yang terjadi di masyarakat, termasuk realitas yang menggambarkan tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pemerintah sendiri.

(14)

yang lain, seperti pada pemakaian sehari-hari. Perbedaan ini terlihat dari kalimat-kalimat yang dibuat tersebut karena didalamnya mengandung makna yang tersembunyi yang dapat dipersepsikan oleh khalayak sebagai sebuah maksud dari lirik lagu tersebut. Makna pada kata-kata merupakan suatu jalinan asosiasi pikiran yang berkaitan serta perasaan yang melengkapi konsep yang diterapkan.

Apa yang disebut dengan tanda pada bahasa teks akan membentuk sebuah interpretant (makna) secara keseluruhan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah tanda pada bahasa teks terjadi atau terbentuk setelah melalui proses representasi dan interpretasi terlebih dahulu terhadap kata-kata atau kalimat di dalamnya. Interpretan (makan) suatu objek akibat hubungan timbal balik tersebut dilambangkan oleh pemakainnya dengan suatu simbol antara lain kata-kata, gambar atau isyarat. Tidak terkecuali dalam hal tersebut adalah pesan-pesan yang terdapat di dalam lirik lagu Slank tersebut, yang dibentuk melaui proses interpretasi terhadap berbagai realitas atau fenomena yang terjadi.

(15)

Orde baru (Revolta, 2008 : 52) Iwan Fals sebagai musisi yang secara menonjol menyampaikan kritik kepada pemerintah di masa puncak kekuasaan Orde Baru. Tapi tidak hanya dua musisi ini saja, sejumlah musisi pada dekade sebelumnya juga telah lantang menyuarakan kritik terhadap keanehan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sejak era 1970-an, lirik kritik sosial memang sudah mewarnai blantika musik Indonesia. Sebut saja Mogi Darusman, yang sudah dikenal sebagai “pengusung” lagu-lagu rock bertema protes sosial-politik. Melalui lagu Rayap-rayap yang tergolong sangat keras, dan berani untuk masa itu, Mogi menyampaikan kritik sosialnya saat cengkraman rezim Soeharto amat kuat. Mogi memang bukan musisi yang memelopori munculnya tema-tema protes sosial politik dalam lirik lagu, sebelumnya ada nama Reny Sylado, Almarhum Harry Roesli, Leo Kristi, Gombloh & Lemon Trees, dan God Bless (Gong 2000).

Dalam lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” pada album “Jurustandur No. 18” yang dipopulerkan oleh Grup Band Slank ini menceritakan tentang perilaku sebagian dari para pejabat pemerintah yang sering dinilai

melakukan penyimpangan-penyimpangan dan bertindak demi kepentingan pribadi semata sebagai oknum yang berkuasa di negeri ini.

(16)

Lagu “Bobrokisasi Borokisme” merupakan lagu baru, lagu tersebut merupakan salah satu lagu dalam album “Jurustandur No. 18” yang dirilis Slank pada bulan . Bimbim selaku motor Slank bersama Kaka mengatakan bahwa lagu tersebut dibuat karena merasa muak dengan pejabat pemerintah yang bertindak sewenang-wenang dan hanya mementingkan kepentingan pribadi, yang seharusnya pihak-pihak yang dimaksud dalam lagu ini berterima kasih sudah diperingatkan. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa persoalan lirik vulgar atau tidak tergantung pada penilaian masing-masing individu.

Drumer Slank Bimbim yang menulis mayoritas lagu dalam album ini mengatakan, sebagian besar tema lagu bercerita tentang kondisi sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, lagu "Bobrokasi Borokisme" sebuah lagu tentang carut-marutnya birokrasi di negeri ini. ( http://www.republika.co.id/berita/senggang/film-musik/10/07/20/125696-slank-rilis-jurustandur-no-18)

Alasan penulis memilih lagu tersebut adalah karena dalam lirik lagu

itu merupakan suatu kritik sosial yang menyinggung kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat ini. Sebagai contoh penyimpangan-penyimpangan dalam instansi pemerintah, korupsi, kolusi, nepotisme dan lain sebagainya.

(17)

dalam sistem tanda komunikasi berupa lirik lagu. Untuk menganalisa tanda komunikasi berupa lirik lagu tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan semiologi dari teori Roland Barthes. 1.2 Per umusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimana memaknai lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari grup band Slank pada album “Jurustandur No. 18”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Bertolak dari latar belakang masalah serta perumusan masalah yang telah peneliti ungkapkan diatas maka dari penelitian ini adalah :

Untuk memaknai lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari grup band Slank pada album “Jurustandur No. 18”.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(18)

2. Manfaat Praktis

Membantu pembaca dan penikmat musik dalam memahami lirik lagu pada lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari grup band Slank pada album “Jurustandur No. 18”.

(19)

2.1 Landasan Teor i 2.1.1. Definisi komunikasi

Kominukasi atau communication dalam bahasa Inggris dari kata lain communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau

communicare yang berarti ‘membuat sama’ (to make common). Istilah

pertama (communis) adalah istilah yang paling disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran atau suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Kata yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas merujuk pada sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa ada komunikasi tidak aka nada

(20)

Pada dasarnya manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol, simbol-simbol itu mewakili pikiran, perkataan dan perbuatan yang mengiringi interaksi antar manusia, simbol-simbol itu berbentuk verbal dan non verbal yang ditransmisikan secara sadar maupun tidak, secara bersistem maupun tidak bersistem dalam interaksi dan komunikasi antar manusia. Didalam berkomunikasi manusia mengkonstruksi suatu ‘gambar’ mengenai dunia tersebut melalui proses aktif dan kreatifyang kita sebut persepsi. Mulyana (2001:167) mengungkapkan bahwa persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identic dengan penyandian batik (decoding) dalam proses komunikasi. Begitu juga diungkapkan Desiderato dalam Rakhmat (2003:51) persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Dan Nimmo mengatakan dalam pendefinisiannya tentang Komunikasi, bahwa :

(21)

Melalui interaksi sosial orang menurunkan dan bertindak bertindak menurut makna yang mampu membuat mereka mampu menciptakan dan menciptakan kembali dunia subjektif mereka.

Komunikasi adalah negoisasi dan pertukaran makna sebuah pesan yang dibangun masyarakat berdasar budaya dan realitas, yang mampu berinteraksi karena menggunakan makna yang mereka bangun dan mereka pahami bersama untuk menumbuhkan saling pengertian. Disebut komunikasi karena ada actor, ada proses dan ada lambing. Proses komunikasi dalam interaksi social antara actor dalam masyarakat menyampaikan pesan dengan menggunakan lambang-lambang, symbol-symbol, bahasa, dalam hal ini disebut tanda-tanda. Tanda-tanda ini menjadi pesan setelah melalui proses encoding oleh komunikator. Demikian pula pesan yang diterima komunikan yang berupa tanda-tanda tersebut juga ditafsirkan melalui decoding. Proses penyandian pesan oleh komunikator menjadi tanda dan proses penafsiran tanda oleh komunikan inilah yang disebut proses signifikan atau proses semiosis. Manusia

(22)

2003:217). Semiologi sebagai konsep tentang tanda-tanda dipergunakan secara fleksibel tetapi seksama didalam memecahkan persoalan makna pesan dalam tindak komunikasi, menggali berbagi perspektif dalam fenomena komunikasi, serta semiologi akan membantu menjelaskan bagaimana tindak komunikasi berlangsung sebagai proses interaksi, “The

semiotic model help to explain how Communication work as an interactive process” (Purwasito, 2003:243). Setiap tindakan komunikasi dianggap

sebagai pesan yang dikirim dan diterima melalui beragam tanda berbeda. Berbagai aturan kompleks yang mengatur kombinasi pesan-pesan ini ditentukan oleh berbagai kode sosial. Seluruh bentuk ekspresi-musik, seni, film, fashion, makanan, kesusasteraan dapat dianalisis sebagai sebuah system tanda. Begitu juga dengan lirik lagu, yang juga merupakan sebuah tanda yang sarat makna, ia membuka kemungkinan sebagai sebuah tanda yang bisa ditafsirkan.

2.1.2. Komunikasi Ver bal

(23)

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang menginterprestasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas obyek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. (Mulyana, 2004:215).

Bila menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstraksi itu, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika anda berkomunikasi dengan seseorang dari budaya anda sendiri, proses abstraksi untuk menginterprestasikan pengalaman anda jauh lebih mudah karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, proses abstraksi juga menyulitkan (Mulyana, 2004:215).

2.1.3. Semiotika atau Semiologi Komunikasi

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

(24)

tetapi juga termasuk dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi. (Kurniawan dalam Sobur, 2004:15).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, makna adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. (Littler John,1996) menurut Pines dengan tanda-tanda kita mencoba menafsirkan keteraturan di tengah-tengah dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Menurut Hjelmslev, mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresidan wahana isi”. (Sobur, 2004:15-16).

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Jika diterapkan dalam tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie). Sebuah teks baik itu lagu, musik, surat cinta, cerpen, puisi, komik, kartun, semua hal itu mungkin terjadi “tanda”

dapat dilihat dalam aktifitas penanda : yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan intrepretasi (Sobur, 2004:20).

(25)

ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistic umum. (Sobur, 2004:110).

Sehingga perlu digaris bawahi dari berbagai definisi di atas adalah para ahli melihat semiotika itu sebagai ilmu yang berhubungan dengan tanda. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu yang pertama adalah tanda itu sendiri. Hal ini sendiri atas studi utama yaitu yang pertama adalah tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang mengguakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja, ini pada gilirannya tergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 2006:61).

(26)

Pada jenis yang kedua (semiotika signifikasi) tidak dipersoalkan adanya tujuan komunikasi, sebaliknya yang diutamakan adalah pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya. (Sobur, 2004:15).

Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah :

S (s, i, e, ,r c)

S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda), I adalah interpreter (penafsir); e adalah effect atau pengaruh; r untuk reference (rujukan); c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi). (Sobur, 2004:15)

Dalam perkembangannya kedua ilmu yaitu semiotika dan semiologi yang mengacu pada tanda, secara prinsip tidak ada perbedaan. Kecuali dalam hal orientasi semiologi pada Saussure dan orientasi semiotik pada Pierce. Satu-satunya perbedaan antara keduanya, menurut

(27)

Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda gy mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu etmapt pada waktu tertentu. Dengan begitu, semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan , sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran … (Berger dalam Sobur, 2004:18)

2.1.4. Semiologi Roland Bar thes

Semiologi Barthes jelas sangat terkait dengan strukturalisme, tetapi bagaimanakah strukturalisme dalam perspektif Barthes sesungguhnya? Barthes membatasi strukturalisme sebagai sebuah cara menganalisa artefak-artefak budaya yang berasal dari metode linguistic (Culler,

(28)

Semiologi dengan kata lain berupaya melakukan “pembebasan makna”, karena selama ini makna telah dijajah oleh sistem-sistem yang telah mapan yang hanya menghasilkan interpretasi tunggal yang dianggap benar dan tuntas. Itulah sebabnya mengapa Barthes, misalnya, menolak cara pandang klasik terhadap novel Sarrasine karya Honore de Balzac yang menganggap karya itu sebagai karya realism dalam satra. Dengan menganalisanya dalam S/Z, Barthes menunjukkan bahwa betapa karya tersebut lebih kompleks dan lebih rumit dari yang selama ini dianggap. Realisme Balzac bukan seperti lukisan (meniru yang real), tetapi meniru suatu tiruan dari yang real (Bertnes, 1985:406).

Pembebasan makna ini dimungkinkan dengan penggandaan tulisan dari sebuah teks, yang berarti pula membuka eksistensi tulisan secara total. Di sana berdirilah bukan pengarangnya, tetapi pembaca. Pembaca adalah ruang tempat semua kutipan yang menciptakan sebuah tulisan dilukiskan tanpa satu pun dari mereka hilang, karena kesatuan teks terletak bukan pada asal-usulnya, tetapi pada tempat tujuannya (Barthes, 1977:148).

Semiologi Barthes kemudian sungguh-sungguh merayakan pluralitas dan memproklamirkan kematian pengarang.

(29)

semiologi Barthes menwarakan cara lain memahaminya, yang secara positif akan memberikan keluasan makna pada teks tersebut. Teks-teks tersebut terus menerus dihidupkan melalui persinggungan-persinggungannya dengan realitas aktual.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa Barthes tidak memberikan pertanggung jawaban filosofis yang cukup terhadap klaim yang dibuatnya ini. Apakah teks filsafat dan agama sungguh-sungguh sama dengan teks satra? Dari sudut linguistik jelas memang sama, karena keduanya memerlukan bahasa sebagai alat untuk mengkomunikasikan sesuatu. Baik teks filsafat maupun teks keagamaan sama-sama mematuhi aturan-aturan dalam bahasa, dan ini berarti pula memang mungkin untuk didekati dengan beragam metode, entah dengan metode linguistic, semiologi atau atau analisa structural. Namun, haruslah diingat bahwa interpretasi atas teks keagamaan harus disikapi hati-hati, karena ini menyangkut keimanan suatu kaum, yang sangat berbeda implikasinya terhadap interpretasi terhadap suatu teks sastra.

(30)

bawangnya sendiri telah tiada. Bawang hanyalah bawang ketika kulit-kulitnya menyatu dalam suatu kesatuan ke-bawang-an. Hal ini sama dengan mengurangi air (H2O) menjadi hydrogen dan oksigen, dan tepat ketika air terurai saat itu pula dia bukanlah air lagi, tetapi dua jenis gas belaka.

Autobiografi yang melawan cara bertutur autobiografi konvensional ini kemudian berubah menjadi semata teks, sama fiktifnya dengan karya sastra pada umumnya. Terlihat disini kecenderungannya untuk menhilangkan subyek (pengarang); yang adalah dirinya sendiri.

Roland Barthes dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistic dan semiologi Saussure. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang bernama, ekspones penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Roland Barthes (2001:208) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu

masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini dalam Writing Degree Zero (1953; terj.inggris 1977) dan Critical Essays (1964; terj. Inggris 1972). (Sobur, 2004:11).

(31)

Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalis merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika sebagai sistem tanda-tanda. (Budiman, 2003:11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seseorang semiotikus dalam mempelajari semua tanda-tanda sosial lainnya: semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya. (Kurniawan, 2001:156) di dalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan di dalam memaknai sebuah tanda.

Dari petanda Roland Barthes gambar di bawah ini, terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal

(32)

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes 4. Connotation signifier (penanda konotatif

5. Connotation signifier (penanda konotatif 6. Connotation signifier (penanda konotatif

Sumber : Paul Cobley 7 Litza Jan, 1999 dalam Alex Sobur, 2004:69

Jadi dalam konsep Roland Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung makna kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada penandaan dalam tataranan denotative (Cobley & Jansz, 1999 : 51 dalam Sobur, 2004:69.

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harafiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara

(33)

politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharafiaan denotasi yang bersifat agresif ini. Roland Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harafiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. (Budiman, 1999:22 dalam Sobur, 2004:70-71.

Salah satu area penting yang dirambah Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca, konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Roland Barthes secara panajgn lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diats sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Roland Barthes disebut konotasi, yang di dalam mythologis-nya secara tegas ia bedakan

dari denotasi atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjemslev, Roland Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. (Cobley & Jansz, 1999 dalam Sobur, 2004:69).

(34)

sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dpat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu. (Kurniawan, 2001:89).

Menurut Roland Barthes (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda dan petanda penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan, apa yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda hja gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi signifier (penanda) dan signified (petanda). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, penanda atau

(35)

unsur ini tidak dapat dipisahkan, memisahkan hanya akan berakibat menghancurkan “kata” tersebut (Sobur, 2004:47).

Semiologi Roland Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Roland Barthes membuahnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut sebagai membahasa, bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Roland Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa. (Kurniawan, 2001:115).

Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam

(36)

pertama dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2004:70).

Konotasi dan membahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda, diluar kesatuan penanda-penanda asli, diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literal memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan arifisial atau ideologis secara umum. (Kurniawan, 2001:68). Tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Roland Barthes terletak di sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa, (Kurniawan, 2001:115).

(37)

denotasi menurut Roland Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2004:70).

Konotasi dan membahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem riil dan dipahami sebagai petandak diluar kesatuan penanda-penanda asli, diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literal memberi dukungan bagi makan kedua dari sebuah tatanan arifisial atau ideologis secara umum. (Kurniawan, 2001:68).

Pendekatan semiologi Roland Barthes secara khusus tertuju pada jenis tuturan (speech) yang disebut sebagai mitos. Menurut Roland Barthes, bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos. (Budiman, 2003:64).

Mengenai bekerjanya tanda dalam tataran kedua adalah melalui

(38)

bertakik-takaik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi Roland Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu cara untuk mengkonseptualissikan atau memahami sesuatu. Roland Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske, 2006:121).

Roland Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejumlah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi, sambil menuniversalkannya dan membuat mitos tersebut tidak bisa diubah tapi juga cukup adil. (Fiske, 2006:123).

Untuk membuat ruang atensi yang lebih panjang bagi diseminasi

(39)

sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata, kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf, tergantung pada ke”gampang”annya (convenience) saja. Dimensinya tergantung kepada kepekaan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan. Itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran perngorganisasian yang lebih tinggi. (Budiman, 2003:54).

Dalam memaknai sebuah “teks” kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekian jumlah pendekatan yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu semestinya “setia” dengan satu pilihan, namun bisa juga mencampurkan terus beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan “pembaca” dalam membelah pembacaannya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan “melupakan” sang pengarang,

“pembaca” kemudian dapat melakukan interpretasi terhadap suatu karya. (Budiman, 2003:54).

(40)

kajian “teks” yang dimaksud Roland Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Roland Barthes melihat seluruh produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca otonom dan para penulisnya (Budiman, 2003:57).

2.1.5. Ideologi dan Mitologi

Mitos berasal dari bahasa Yunani “mutos”, berarti cerita. Biasanya digunakan untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. Ciri mitos (kisah yang tidak benar) dan fungsinya (diperlukan untuk memahami lingkungan), inilah yang diteorisasikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan semiology. (Sunardi, 2004:89)

Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi, dengan demikian dia adalah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah

mode penandaan yakni sebuah bentuk. (Kurniawan, 2001:84)

(41)

Dikaitkan dengan ideology maka seperti dikatakan Van Zoest (1980), “ideology dan mitologi didalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotic dan komunikasi kita”. Tanpa itu menurutnya, komunikasi tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks setiap penaganan bahasa, setiap semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideology yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak pernah terlepas dari ideology dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideology. (Sobur, 2004:209)

Kita bisa menemukan ideology dalam teks dengan jalan meneliti berbagai konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideology adalah suatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkasnani makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideology. (Sobur, 2004:209)

Jadi mitos adalah uraian naratif atau penuturan (representasi

kolektif) tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, diluuar dan mengatasi penglaman manusia sehari-hari. Sedangkan ideology merupakan sesuatu pemikiran yang abstrak (berdasarkan ide dan gagasan) dengan tujuan menawarkan perubahan melalui proses pemikiran yang normative.

(42)

sedangkan ideology pada intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal, jika merujuk pada sejarah, mitos lebih subjektif, sedangkan ideology lebih objektif. (Sobur, 2004:209)

2.1.6. Mitos sebagai suatu sistem semiologi

Bagi mitologi, karena hal itu merupakan studi tentang suatu jenis wicara, tidak lain merupakan satu bagian dari ilmu yang sangat luas tentang tanda-tanda yang dipostulasikan oleh Saussure sekitar wmpat puluh tahun yang lalu dengan nama semiologi. Semiologi belum muncul waktu itu. Tetapi, karena Saussure sendiri, dan tekadang independen dari dia, keseluruhan bagian riset kontemporer telah mengacu kepada masalah makna: psikoanalisis, strukturalisme, psikologi eidetic (tentang ingatan yang akurat), beberapa jenis kritik sastra yang contoh-contoh pertamanya telah diberikan oleh Bachelard, tidak lagi memerhatikan fakta-fakta kecuali fakta-fakta itu diberkati dengan pertandaan. Kini untuk mempostulasikan suatu pertandaan adalah untuk memiliki sumber ke

semiologi.

(43)

yang digunakannya. Hal ini berlaku bagi mitologi: mitologi merupakan bagian dari semiologi karena ia merupakan ilmu formal, merupakan bagian dari ideologi karena ia merupakan ilmu sejarah.

Semiotika mempostulasikan suatu hubungan antara dua terma, penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini berkaitan dengan objek-objek yang termasuk ke dalam kategori-kategori yang berbeda, dan karena itulah hubungan ini tidak bersifat persamaan (equality) melainkan kesepadanan (equivalence). Disini kita harus waspada karena meskipun terdapat bahasa biasa yang sekedar mengatakan bahwa penanda itu

mengungkapkan petanda, kita berhadapan, dalam setiap system

semiologis, tidak dengan dua, tetapi dengan tiga terma yang berbeda. Karena apa yang kita pahami sama sekali bukan satu terma sesudah yang lainnya, tetapi korelasi yang menghubungkan terma-terma itu: karena itu, terdapat penanda, petanda dan tanda yang merupakan totalitas asosiatif dari kedua terma yang pertama.

Dalam mitos, kita kembali menemukan pola tiga-dimensi penanda,

(44)

dan seterusnya), meskipun berbeda pada awalnya, direduksi menjadi suatu fungsi penanda yang murni begitu materi-materi itu tertangkap oleh mitos. Mitos meihat dalam materi-materi itu hanya bahan mentah yang sama, kesatuan mereka adalah bahwa mereka adalah bahwa mereka semua turun pada status sekedar suatu bahasa.

2.1.7. Kode – Kode Pembacaan

Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes didalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok (five

major codes) yang didalamnya semua penanda tekstual (baca : leksia)

dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan kedalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sebuah jenis jaringan (network). (Barthes, 1990:20). Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikan dapat dipahami meliputi aspek sintagmatik dan semantic sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan

terhubung dengan dunia luar teks.

Kelima jenis kode tersebut meliputi hermeneutic, kode semik, kode simbolik, kode proretik, dan kode kultural.

1. Kode Hermeneutik atau Kode Teka-Teki

(45)

Didalam narasi ada suatu tempat kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Semik atau Kode Konotatif

Kode semik atau kode konotatif banyak yang menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi melekat pada suatu nama tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”

3. Kode Simbolik

Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural atau tepatnya menurut Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenomena dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf

oposisi yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melaui istilah retoris seperti antithesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem symbol Barthes.

4. Kode Proaretik atau Kode Tindakan / Lakuan

(46)

semua teks yang bersifat naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena dapat dipahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu menggarap lakuan di “isi” sampai lakuan utama perlengkapan utama suatu teks.

5. Kode Gnomik atau Kode Kultural

Kode ini merupakan acuan teks benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. (Sobur, 2003:65-66)

2.1.8. Makna dalam Kata

Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Untuk menjelaskan istilah makna, harus dilihat dari segi kata, kalimat dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk

berkomunikasi. Secara bentuk kebahasaan. Istilah makna meskipun membingungkan, sebenarnya lebih dengan kata. Sering kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya kalimat itu? (Patede, 2001 : 79)

(47)

menerapkan makna yang terdapat di dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satun kalimat (Pateda, 2001 : 79).

Kata merupakan momen kebahasan yang bersama-sama dalam kalimat menyampaikan pesan dalam satu komunikasi. Secara teknis, kata adalah satuan ujaran yang berdiri sendir yang terdapat di dalam kalimat, dapat dipisahkan, dapat ditukar, dapat dipindahkan dan mempunyai makna serta digunakan untuk berkomunikasi. Makna dalam kata yang dimaksud disini, yakni berbentuk yang sudah dapat diperhitungkan sebagai kata atau dapat disebut sebagai makna fleksikal yang terdapat di dalam kamus (Pateda, 2001 : 34)

2.1.9. Per ubahan Makna dan Ambiguitas

Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Telah diketahui bahwa pemakaian bahasa telah diwujudkan di dalam bentuk kata dan kalimat. Manusialah yang menggunakan kata dan kalimat itu dan manusia pula menambah kosa kata

yang sesuai dengan kebutuhannya. (Pateda, 2001 : 156).

(48)

Telah dikemukakan bahwa bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa, karena manusia menggunakan kata-kata dan kalimat dan berubah terus, maka dengan sendirinya makna pun berubah. Dengan kata lain terjadi perubahan (Poteda, 2001 : 158).

Perubahan terjadi karena manusia sebagai pemakai bahasa menginginkannya. Pembicaraan membutuhkan kata, manusia membutuhkan kalimat untuk berkomunikasi, ia membutuhkan kata baru. Kadang-kadang karena belum ditemukan kata baru untuk mendukung pemikirannya, maka pembicara mengubah bentuk kata yang telah ada, atau boleh jadi ia mengubah makna kata yang telah ada sehingga muncul kata-kata yang bermakna ganda (Pateda, 2001:158).

Setiap kata mengandung makna. Makna itu ada yang sudah jelas, tetapi ada juga yang maknanya kabur. Setiap kata dapat saja mengandung lebih dari satu makna. Dapat saja sebuah kata mengacu pada sesuatu yang berbeda sesuai dengan lingkungan pemakainya. Hubungan makna tampa pula jika kata akan dirangkaikan satu dengan yang lain sehingga akan

terlihat makna dalam pemakaian bahasa (Patedo, 20011 : 200)

(49)

kalau diamati lebih cermat, baik kata maupun kalimat memang masih menimbulkan keraguan pada kita. Keraguan itu hilang jika pembicara mengukuhkan makna kata atau kalimat yang diujarkannya (Pateda : 211 :200)

2.1.10. Musik

System tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, pengubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik dalam bentuk system tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.

Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis : tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada semiotika musik tanpa semantic musik. Semantik musik, bisa dikatakan,

harus senantiasa membuktikan hak kehadirannya (Van Zoest, 1993:120-121).

2.1.11. Lir ik Lagu

(50)

mempunyai inspirasi dan insting yang lebih, sehingga nantinya akan tercipta irik demi lirik yang mencakup indah untuk diperdengarkan.

Lirik lagu dalam musik dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat dipakai sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atau tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8)

Lirik lagu merupakan salah satu dari beragam karya seni yang ada. Ia pada dasarnya sama dengan puisi. Puisi tergolong sebagai seni kata, oleh karena itu lirik digolongkan sebagai seni kata sebab mediumnya adalah kata dalam bahasa. (James Jarret dikutip oleh Herwindo, 2006 : 10) sebenarnya, lirik sebuah lagu tak ubahnya dengan lirik sebuah puisi atau sajak. Yang membedakan hanyalah cara membawakanya saja, puisi atau sajak dibawakan dengan cara membaca dan menghafal dengan penuh

penghayatan, sedangkan lirik lagu dibawakan dengan irama alunan musik yang dipadu padankan oelh sebuah irama.

Lirik merupakan bentuk ekspresi atau pesan seorang seniman (atau pencipta lagu atau pengarang). Ekspresi seorang seniman adalah kompleksitas kreativitas dan maksud tertentu (Herwindo, 2006 : 11).

(51)

sebagaimana bahasa dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu bila dapat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, yang secara individu mampu memikat perhatian. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialiasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai.

Oleh karena itu ketika sebuah lirik lagu mulai di aransir dan diperdengarkan kepada khalayak, juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu. Suatu lirik lagu dapat menggambarkan suatu realitas yang terjadi di masyarakat, termasuk realitas yang menggambarkan tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pemerintahan sendiri.

2.2 Ker angka Ber pikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam mempresentasikan suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar

belakang pengalaman (field of experience) dan pengetahuan (frame reference) yang berbeda dalam setiap individu tersebut. Begitu juga individu dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam sebuah lirik lagu atau dalam bentuk sebuah lagu, maka pencipta lagu tidak terlepas dari dua hal tersebut.

(52)

yang dipopulerkan oleh Slank. Lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiologi dari Roland Barthes.

Pada penelitian ini, peneliti tidak menggunakan metode semiotik. Karena dalam lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” kata-kata yang digunakan adalah kata-kata lugas atau kalimat langsung sehingga peneliti tidak banyak menemukan adanya simbol-simbol yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan analisis. Tetapi tidak berarti bahasa tidak langsung tidak ada sama sekali disini. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode semiologi Roland Barthes dengan menitikberatkan pada tanda-tanda denotative-konotatif dan kalimat kode. Roland Barthes menunjukkan aspek-aspek denotative tanda-tanda dalam menyingkapkan konotasi yang pada dasanya adalah mitos-mitos yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat.

Dalam pendekatan Roland Barthes terdapat signifikasi ada dua tahap yaitu tahap pertama terdapat komponen penanda dan petanda dan

(53)

Secara sistematis dapat ditunjukkan bagan kerangka sebagai berikut: Gambar 2.2 :

Lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” oleh Slank

Analisis

menggunakan metode semiologi Roland Barthes,

menggunakan 5 kode, sebagai berikut : 1. Hermeneutik 2. Semik 3. Proaretik 4. Simbolik

5. Budaya (Kultural)

(54)

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif, artinya, data yang digunakan merupakan data kualitatif (data yang tidak terdiri atas angka-angka) melainkan terbentuk kata-kata, kalimat-kalimat, narasi-narasi. Data kualitatif bersifat subyektif, sebab data itu ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda. (Ridwan, 2005:5) Penelitian ini akan mengungkapkan secara terperinci fenomena kehidupan sosial masyarakat tertentu tanpa harus melakukan hipotesa yang telah dirumuskan secara ketat.

Menurut Bogdar dan Taylor dalam Moleong (2001:3) menggunakan metode kualitatif sebagai berikut :

“Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara holistic utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu ke dalam variabel atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai keutuhan”.

(55)

dihadapi. (Moleong, 1995:5) Kemudian memaknai sebuah lirik lagu, harus diketahui dahulu sistem tanda yang ada pada lirik-lirik yang akan dijadikan corpus dan oleh sebab itu peneliti menggunakan pendekatan semiologi untuk merepresentasikan kritik sosial dalam lirik lagu tersebut.

3.2 Definisi Oper asional 3.2.1. Cor pus

Corpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin. (Kurniawan, 2001:70) Sifat yang homogen ini diperlukan untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya dapat dianalisis, corpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam. Sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan. Kelebihannya adalah bahwa dalam mendekati teks, kita

tidak didahului oleh pra anggapan atau interpretasi sebelumnya.

Corpus pada penelitian ini adalah lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” dari Slank yang merepresentasikan kritik sosial, yaitu : 1. Pada bait pertama :

Minta disuap doyan disogok.

(56)

2. Pada bait kedua :

Cari yang basah yang banyak air. Alirkan deras dari hulu sampai hilir 3. Pada bait ketiga :

Dibagi rata semuanya diam.

Rame-rame kita korupsi berjamaah. 4. Pada bait keempat :

Tutup telinga mulut dan mata. Tapi bau busuk masih tecium juga. 5. Pada bait kelima :

Bobrokisasi Borokisme. 6. Pada bait keenam :

Bobrokisasi Borokisme. 7. Pada bait ketujuh :

Tutup telinga mulut dan mata Tapi bau busuk masih tercium juga

(57)

Bobrokisasi Borokisme Minta disuap doyan disogok

Senang disuapin sambil disogrok-sogrok Bobrokisasi Borokisme

Bobrokisasi Borokisme

Cari yang basah yang banyak air Alirkan deras dari hulu sampai hilir Bobrokisasi Borokisme Tapi bau busuk masih tercium juga Bobrokisasi Borokisme Tapi bau busuk masih tercium juga

3.2.2 Unit Analisis

(58)

petanda (peta tanda Roland Barthes), kode Barthes dan denotasi (sistem tanda pertama), konotasi (sistem tanda kedua).

3.3 Tek nik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer yaitu data diperoleh dengan data mendengarkan langsung lagu “Bobrokisasi Borokisme” itu sendiri. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis berdasarkan konsep semiologi Roland Barthes yang kemudian digunakan untuk mengetahui makna apa yang terkandung dalam lirik lagu tersebut. Sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan referensi seperti buku-buku, artikel-artikel, dan dari internet yang berhubungan dengan objek kajian yang diteliti.

3.4 Metode Analisis Data

Peneliti memaknai kata-kata atau lirik sebagai tanda yang terdapat

(59)

Pada tahap tataran pertama makna denotasi oleh penanda melalui hubungan petanda yang terdapat dalam tanda yang mana merupakan sebuah realitas. Sedangkan bentuk konotasi dari lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” tataran kedua merupakan pencerminan dalam sebuah kondisi kehidupan sosial budaya yang ada dalam masyarakat.

(60)

4.1. Gambar an Umum Objek dan Penyajian Data 4.1.1. Gambaran Umum Objek

Di Indonesia Slank adalah band yang berkharisma kuat, karena merupakan sebuah kelompok musik yang selalu menceritakan fenomena yang terjadi di negeri ini. Perjalanan panjang telah membuktikan eksistensinya sebagai band papan atas dengan kualitas “legenda”. Predikat ini tidak diperoleh Slank secara cuma-cuma. Mereka mengarungi dunia musik Indonesia selama 24 tahun, dan era narkotika sudah ditinggalkan. Slank kini menjadi ikon, “idiologi” dan gaya hidup tersendiri.

Tema populasi manusia yang dekat dengan keseharian hidup manusia menjadi kekuatan lagu-lagu Slank. Lagu-lagu seperti Makan Nggak Makan Asal

Kumpul, Kupu-Kupu Malam, Tong Kosong, membuatnya merebut hati jutaan

penggemarnya. Demografi penggemar Slank pun sangat luas diantaranya

laki-laki, perempuan, pelajar, mahasiswa, karyawan, dan eksekutif profesional. Lagunya tidak hanya terkenal di Indonesia, akan tetapi juga mancanegara diantaranya Malaysia, Jepang dan Amerika.

(61)

Dalam usia 17 tahun Bimo Setiawan (Bimbim) sudah menyukai Rolling Stones. Lingkungannya juga penuh dengan penggemar band asal Inggris pimpinan Mick Jagger itu. Bimbim lalu membentuk band CSC (Cikini Stones Complex) pada tahun 1983 yang anggotanya adalah anak-anak SMA Perguruan Cikini yaitu Bimo Setiawan (drum), Boy (gitar), Abi (Bass), Uti (vocal) dan Well Welly (vocal). Sesuai namanya, Cikini Stones Complex membawakan lagu-lagu The Rolling Stones. Kata Bimbim, “yang gue lihat dari Rolling Stones, sesama penggemarnya punya rasa kekeluargaan yang sangat kuat. Istilahnya begini, preman Jakarta sama preman Bandung ketemu, mau berantem, tapi begitu ngobrol dan tahu sama-sama suka Rolling Stones, langsung damai, tenang”.

Anak-anak muda pada tahun 1980-an memang sedang mengalami siklus 20 tahunan. Kelompok musik era 60-an kembali popular, lengkap dengan atributnya. Itu pula yang dialami Bimbim dan Cikini Stones Complex. Namun Bimbim merasa terus-menerus membawakan lagu Rolling Stones itu membosankan. Dia ingin berekspresi lewat lagu karya sendiri. Dia sadar kalau dirinya adalah orang yang cenderung tertutup, termasuk ketika menghadapi

masalah. Baginya, lagu adalah sarana untuk berkomunikasi.

(62)

Penampilannya di atas panggung cenderung asal-asalan serta urakan. Para penonton yang sering menyaksikan penampilannya pun lantas dijuluki Red Evil sebagai band Slenge’an. Sejak 26 Desember 1983 mereka memutuskan untuk mengubah band menjadi Slank. Nama ini dipilih untuk menyesuaikan dengan gaya mereka yang Slenge’an (seenaknya sendiri).

Bimbim beruntung karena tekad dan aktivitasnya di dunia musik mendapat dukungan yang cukup besar dari kedua orang tuanya yaitu pasangan Sidharta Soemarno dan Iffet. Orang tua Bimbim merelakan sebagian ruang di rumahnya di Jl. Potlot No.14, Pasar Minggu, Jakarta Selatan dijadikan tempat latihan sekaligus markas berkumpulnya anak-anak Slank.

Slank ternyata tidak sekedar kelompok musik, tetapi mengilhami lahirnya ribuan komunitas. Rumah bernomor 4 yang diteduhi pepohonan itu mulai didatangi anak-anak muda yang getol main musik tapi malas sekolah. Mereka adalah anak-anak muda yang hidup seenaknya. Mereka nongkrong, diskusi dan main musik. Kebetulan Bimbim punya studio musik yang disewakan bahkan ada yang tidur disana.

Salah satu studio itu adalah Indra Setiadi atau Indra Q, anak dari artis dan peragawati Titi Qadarsih. Kepiawaian memainkan keyboard membuat Bimbim tertarik. Perlahan Bimbim mulai mengenalkan musik-musik rock kepada Indra. Mulailah ia diajak main bareng Slank. Saat pertama main di Slank honor pertama yang didapatnya sebesar 80 ribu, sebagai musisi tanggung honor itu cukup besar.

(63)

Q (keyboard), dan Kaka (vocal). Pada 1989 Parlin Burman alias Pay menggeser Pongky Ismail Marcel, yang sebelumnya memegang gitar. Bongky kemudian bermain bass menggantikan Denny. Indra mengisi posisi yang ditinggalkan Adri pada Keyboard. Kaka vokalis kelompok musik Lovina, dipinjam untuk mengisi tempat Welly yang kosong. Formasi Slank di awal-awal mereka mulai dikenal publik inilah yang dianggap terdahsyat.

Meskipun sudah membuat beberapa lagu karya sendiri, Slank tidak bisa dengan mudah masuk dapur rekaman. Mereka sudah mendatangi perusahaan rekaman, tetapi terus ditolak karena musik Slank dianggap tak bakal laku dijual. Saat itu dunia rekaman Indonesia sedang ramai dengan musik rock ala Nicky Astria dan Ikang Fawzy, pop kreatifnya Dedi Dhukun, dan pop cengeng bikinan Rinto Harahap dan Obbie Mesakh. Musik Slank tidak masuk tiga kategori itu, sehingga dianggap tidak bisa menghasilkan keuntungan.

Slank sempat frustasi, lantas mereka mencoba berkompromi dengan selera pasar dan membuat lagu-lagu rock yang lagu-lagunya mirip Ikang Fawzy. Sayangnya, meski sudah berkompromi begitu, lagu-lagu Slank tetap dinilai tidak

layak rekaman, alasannya tentu saja dianggap tidak layak jual. Keutuhan band terancam dengan kondisi yang begitu-begitu saja.

(64)

mendengar demo Slank, Budi seperti menemukan aliran musik baru. Musik Slank terasa menyegarkan.

Slank menyajikan perpaduan musik antara rock ‘n roll, jazz, blues, reggae, dan balada. Lirik dan tema yang Slank tawarkan pun amat akrab dengan lingkungan sehari-hari diantaranya ada kritik dan ada protes. Kebanyakan lagu yang berlirik kebebasan kurang lugas dan ekspresif. Semuanya dilebur menjadi satu warna musik khas Slank yang masih terasa asing bagi banyak kalangan di tengah industri musik rock lokal yang waktu itu masih dikuasai God Bless, SAS, atau Power Metal.

Budi melihat Slank bisa menjadi corong dan mewakili unek-unek anak muda, yang diprediksi bakal menjadi gaya hidup. Penggarapan album pun dimulai, namun ada perbedaan paham yang terjadi karena ada lirik lagu Slank yang jorok, apalagi zaman orde baru yang sangat ketat.

Akhirnya pada Desember 1991 Slank merilis album perdana bertajuk

Suit-Suit He… He… (Gadis Sexy). Pengungkapan yang lugas dan unik dalam album

ini, Slank mengemas kehidupan anak muda bersama problematiknya. Lagu

mereka mencerminkan pemikiran dan ketegasan hidup, yang terbilang baru untuk ukuran anak muda Indonesia di masa Orde Baru. Ini selaras dengan penampilan mereka yang informal dan seenaknya.

Harus diakui bahwa Slank berhasil mendobrak tradisi lirik musik Indonesia yang sebelumnya penuh sopan santun dalam tata bahasa. Musik mereka pun mulai rock yang hingar bingar dalam lagu Suit-Suit He… He… , blues di lagu

Gambar

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes 2. Signifier (Petanda/ makna)
Gambar 2.2 :

Referensi

Dokumen terkait

Makna konotasi dari kalimat pilih Sidang Atau Berdamai sebuah piihan yang harus dipilih oleh seseorang yang melakukan kesalahan anatara mempertanggungjawabkan kesalahannya

Kesimpulan dengan banyaknya permasalahan-permasalahan yang dialami negara Indonesia, dari yang diakibatkan oleh sikap-sikap para pejabat pemerintah yang bertindak seenaknya,

Analisis ini dilakukan terhadap dikotomi-dikotomi dari Saussure tentang signifier (penanda) & signified (petanda); form (bentuk) & content (isi); language (bahasa)

Kode Gnomik atau Kultural (Budaya) karenasaat ini sulit ditemui pemimpin yang memimpin dengan cinta atau hati nurani, karena kebanyakan pemimpin yang memimpin dengan

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui adanya proses alih budaya atau pergeseran dari konsep patriarki ke

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui adanya proses alih budaya atau pergeseran dari konsep patriarki ke

Dan penggambaran sosok laki-laki dan perempuan dalam lirik lagu “Mata Keranjang” juga telah sesuai dengan konsep gender yang berkembang di masyarakat selama ini dimana digambarkan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penggambaran perempuan yang terkandung dalam lirik lagu “Hey Ladies” yang diciptakan oleh penyanyi dan pencipta