i
PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”
(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
Luciawaty Setyaningsih
(0643310403)
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA 2012
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
ii
PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”
(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)
Disusun oleh :
LUCIAWATY SETYANINGSIH NPM. 0643310403
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi.
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Dra.Herlina Suksmawati,Msi. NIP. 19641225 199309 2001
Mengetahui, DEKAN
Dra. Hj. Suparwati, Msi NIP. 195507181983022001
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
iii
PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”
(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)
Oleh :
LUCIAWATY SETYANINGSIH NPM. 0643310403
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 13 Juni 2012
Pembimbing Utama Tim Penguji,
1. Ketua
Dra.Herlina Suksmawati, M.Si Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 19641225 199309 2001 NIP. 195812251990011001
2. Sekretaris
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
iv
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul : PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS” (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)
Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ibu Dra. Herlina Suksmawati, Msi, selaku Dosen Pembimbing Utama penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang sangat membantu penulis baik secara moril maupun materil, yaitu kepada:
1. Ibu Dra. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, Msi selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, Msi selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi.
4. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu serta bimbingannya kepada penulis selama menempuh studi. 5. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan terhadap penyelesaian
skripsi.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
v
6. Kokoku tercinta, Hendi yang selalu membantu dalam setiap kesulitan dalam memperoleh informasi dan menyelesaikan skripsi.
7. Sahabat terbaikku Kartikasari dan Putri yang selalu memberikan dukungan, semangat dan motivasi demi keberhasilan atas selesainya skripsi ini.
8. Serta semua pihak yang belum disebutkan oleh penulis, terima kasih atas segala kontribusi yang telah diberikan pada penulis dalam penyelesaian skripsi.
Penulis menyadari bahwa apa yang telah disajikan masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Apabila dalam penyampaian dan penulisan terdapat kesalahan, peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Surabaya, 2012
Penulis
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 14
1.3 Tujuan Penelitian... 14
1.4 Manfaat Penelitian... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA... 15
2.1 Landasan Teori... 15
2.1.1. Musik sebagai Media Komunikasi………... 15
2.1.2. Gender……….. 16
2.1.3. Patriarki……… 20
2.1.4. Definisi “Susis” (Suami Sieun Istri)”……….. 22
2.1.5. Lirik Lagu……….... 24
2.1.6. Perilaku Menyimpang……….. 26
2.1.7. Sumber Penyimpangan……….... 28
2.1.8. Sifat-sifat Perilaku Menyimpang………... 29
2.1.9. Semiologi Roland Barthes……… 31
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
vii
Halaman
2.1.10.Kode Pembacaan………. 40
2.2 Kerangka Berfikir………... 42
BAB III METODE PENELITIAN………... 45
3.1. Metode Penelitian……… 45
3.2. Corpus………. 46
3.3. Unit Analisis………... 49
3.4. Teknik Pengumpulan Data………. 50
3.5. Metode Analisis Data……….. 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………. 54
4.1. Gambaran Umum Objek Peneliti……… 54
4.2. Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”………... 59
4.3. Penyajian dan Analisis Data……… 61
4.3.1. Penyajian Data……… 61
4.3.2. Analisis Data………... 62
4.4. Sistem Mitos……… 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100
5.1. Kesimpulan………. 100
5.2. Saran……… 101
DAFTAR PUSTAKA ……….. 102
LAMPIRAN……….. 104
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes ...……...……… 33
Gambar 2.1.2 Gambar Dua Tatanan Petandaan Peta Barthes……...…... 39
Gambar 2.2 Gambar Kerangka Berpikir... 45
Gambar 4.2 Gambar Peta Roland Barthes... 60
Gambar 4.2.1a Gambar Peta Tanda Roland Barthes Judul Lagu... 63
Gambar 4.2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 1 ... 64
Gambar 4.2.2 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 2... 66
Gambar 4.2.3 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 1... 68
Gambar 4.2.4 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 2... 70
Gambar 4.2.5 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 3... 71
Gambar 4.2.6 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 4... 73
Gambar 4.2.7 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 1... 75
Gambar 4.2.8 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 2... 76
Gambar 4.2.9 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 3... 77
Gambar 4.2.10 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 4... 78
Gambar 4.2.11 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 1... 80
Gambar 4.2.12 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 2... 82
Gambar 4.2.13 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 3... 83
Gambar 4.2.14 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 4... 85
Gambar 4.2.15 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 1... 87
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
ix
Halaman
Gambar 4.2.16 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 2... 88
Gambar 4.2.17 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 3... 90
Gambar 4.2.18 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 4... 92
Gambar 4.2.19 Gambar Peta Tanda Roland Barthes kalimat ke 19... 93
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Profil “Sule” ...104 Lampiran 2 Lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” ...107
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
xi
ABSTRAK
LUCIAWATY SETYANINGSIH, PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”
oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” atau “Suami Takut Istri” Dimana di lirik ini tercermin fenomena penyimpangan perilaku oleh istri didalam menjalankan peran sosialnya dalam kehidupan berumah tangga, yaitu sebagai sosok yang menguasai dan mengendalikan suaminya.
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif – interpretatif semiologi Roland Barthes, yaitu menggunakan metode signifikasi dua tahap (two of signifikasi) yang dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan menurut Barthes, yaitu kode hermeneutik, kode proaretik, kode gnomik (cultural), kode semik dan kode simbolik, untuk pemaknaan sebuah tanda yang berupa bahasa dan tulisan sehingga dapat mengetahui tanda denotatif dan tanda konotatifnya.
Melalui pandangan Roland Barthes tersebut kemudian dijelaskan lewat penafsiran menggunakan teori perspektif perilaku menyimpang, yang pada akhirnya akan ditarik suatu makna yang sebenarnya tentang perilaku menyimpang dan perilaku yang muncul, sebagai akibat dari perilaku menyimpang tersebut. Dalam tahap kedua dari tanda denotatif dan tanda konotatif akan muncul mitos dan kontramitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitarnya.
Kesimpulan dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan Sule sebagaimana adanya merupakan suatu perilaku menyimpang istri dari peran sosialnya dalam kehidupan berumah tangga. Perilaku menyimpang tersebut merupakan wujud dari kontramitos pada budaya patriarki. Dikatakan sebagai perilaku menyimpang dikarenakan perilaku istri yang dominan dan menguasai suami sehingga membuat suaminya ketakutan tersebut adalah perilaku yang belum dapat diterima oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Adanya pergeseran budaya patriarki ke matriarki juga tersirat secara implisit dalam lirik lagu “Susis”.
Kata Kunci : Pemaknaan Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Penyanyi Solo “Sule” dari album “Prikitiew” dengan metode semiologi Roland Barthes
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan musik di Indonesia tidak pernah surut. Banyaknya hasil karya musik yang dilahirkan para pencipta musik atau musisi karya seni memberikan kontribusi yang menarik untuk industri musik tanah air. Musik merupakan konsumsi publik, secara psikologis merupakan kebutuhan hiburan dan bisa menjadi semangat kehidupan. Musik juga dapat diartikan sebagai media ekspresi diri masyarakat dan mampu menyatukan banyak kalangan masyarakat, baik itu kalangan bawah hingga sampai lapisan paling atas.
Musik memiliki efek yang besar dan berperan penting dalam sosialisasi ide, gagasan dalam tradisi kebudayaan. Bagi pencipta musik ini adalah ungkapan yang berkaitan dengan komunikasi ekspresif yang artinya musik dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, bahkan pandangan hidup manusia. Musik sendiri menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia memiliki makna bunyi-bunyian yang ditata enak dan rapi.
Musik dapat tercipta karena didorong oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Musik adalah cermin dari masyarakat, musik juga diilhami oleh perilaku umum masyarakat. Sebaliknya, perilaku masyarakat dapat terilhami oleh musik tertentu. Perilaku umum masyarakat dapat berupa permasalahan sosial, peristiwa monumental, kebutuhan dan tuntutan bersama, kritikan ataupun harapan yang diidamkan (Ayuningtyas, 2006:9).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
2
Musik merupakan bagian dari komunikasi, seperti yang dikemukakan oleh William I. Gorden bahwa komunikasi itu mempunyai empat fungsi. Keempat fungsi tersebut yakni komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan instrumental, tidak saling meniadakan (mutually exclusive).
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain (Mulyana, 2005 : 5).
Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi Ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan perasaan – perasaan (emosi kita). Perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan – pesan non verbal. Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk – bentuk seni seperti novel, puisi, musik, tarian atau lukisan. Harus diakui musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideology) manusia (Mulyana, 2005 : 21 – 22).
Dari sisi psikologis humanistis, lagu atau musik bisa menjadi sarana untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia dalam pemenuhannya akan hasrat seni melalui musik. Manusia sebagai homovalens atau makhluk yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
3
memiliki keinginan, memiliki kemampuan untuk menyalurkan identifikasinya terhadap kebudayaan. Dari sisi sosial lagu biasa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat dimana lagu tersebut diciptakan. Dari segi ekonomis, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rahmat, 1993 : 19).
Lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik diantara budaya – budaya manusia yang lain. Lagu identik dengan musik dan musik adalah bahasa dunia. Banyak hal menarik yang dapat diamati dari budaya yang satu ini. Sebuah lagu biasanya terdiri dari tiga komponen. Komponen tersebut antara lain paduan alat musik atau instrument. Suara atau vokal dan yang terakhir lirik lagunya. Instrument dan kekuatan vokal penyanyi adalah sebagai tubuh sedangkan lirik lagu adalah jiwa atau nyawa dalam penggambaran musik itu sendiri.
Lagu tanpa syair disebut musik lagu adalah sekumpulan lirik yang diberi instrumen akor dan melody. Meskipun terlihat sederhana, namun proses pembuatan sebuah lagu dibutuhkan keahlian, baik itu keahlian memainkan alat musik, keahlian menulis lirik hingga keahlian dalam berimajinasi, meskipun dalam prakteknya lirik tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau keadaan masyarakat disekitarnya. Lirik lagu biasanya memiliki muatan pesan tertentu, kadang-kadang pesannya hanya sekedar ungkapan cinta kasih, tapi kadang – kadang juga bermuatan politis, filosofi dan membelah kehidupan (Ayuningtyas, 2006 :25).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
4
Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar di masyarakat. Lirik lagu dapat sebagai sarana untuk bersosialisasi dan pelestarian terhadap sikap dan nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya keyakinan, nilai – nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).
Lirik lagu merupakan sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu memikat perhatian. Dalam proses penciptaan lirik lagu dapat terjadi berdasarkan pengalaman – pengalaman si pencipta dengan dunia sekitarnya. Dapat pula dari hasil perenungan si pencipta terhadap suatu gejala yang dilihat atau yang dirasakannya.
Komunikasi verbal adalah sarana utama menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Komunikasi menggunakan kata – kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individu kita, konsekuensinya kata – kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata – kata (Mulyana, 2000 : 238).
Sebuah lirik lagu bukanlah rangkaian kata-kata indah semata, melainkan representasi dari realitas yang dilihat dan dirasakan oleh pencipta. Realita inilah yang mengilhami seorang pencipta dalam membuat lirik lagu.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
5
Salah satu realitas yang ada di masyarakat kita saat ini dan yang menarik perhatian penulis adalah fenomena.
Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu bersumber dari pola pikirnya serta frame of reference dan field of experience yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan social disekitarnya. Menurut Soeriono dan Rahmawati (2000 : 1) yang menyatakan :
Musik berkaitan erat dengan setting social kemasyaratan tempat dia berada. Musik merupakan gejala yang khas yang dihasilkan akibat adanya social dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok social dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.
Melalui lirik lagu pencipta atau biasa disebut musisi dapat menyampaikan pesan yang merupakan ekspresi terhadap apapun yang dirasakan terhadap fenomena – fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, dimana pencipta tersebut ikut berinteraksi didalamnya.
Pada saat ini fenomena grup band, boyband, girlband menjamur di Indonesia. Selain grup band, boyband, girlband, penyanyi solo pun juga marak di pasaran musik Indonesia. “Sule” adalah salah satu penyanyi solo dengan salah satu judul lagunya, yaitu “Susis (Suami Sieun Istri)” dari album “Prikitiew”. Lirik lagu tersebut berkisah tentang fenomena atau realita sosial diluar diri pencipta lagu, pada masyarakat tertentu yaitu suami – suami yang takut istri.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
6
Serial suami takut istri sebelumnya pernah ditayangkan di Trans TV setiap Senin hingga Jumat pukul 18.00 WIB sejak 15 Oktober 2007. Serial ini digarap oleh rumah produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Serial ini mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan "senasib sepenanggungan" ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Suami-suami_Takut_Istri).
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki ternyata juga dapat ditemukan adanya fenomena suami takut istri. Memang tidak semua pria takut pada istrinya, tetapi keberadaan suami takut istri sendiri merupakan salah satu realitas sosial yang saat ini ternyata ada dan masih dianggap menyimpang dari nilai-nilai sosial masyarakat terutama bila diliat dari sudut pandang patriarki. Fenomena ini dianggap menarik dan pada akhirnya disajikan dalam serial suami takut istri di Trans TV. Selain ditayangkan dalam bentuk serial, Dose Hudaya sebagai salah satu pencipta lagu di Indonesia menampilkan kembali fenomena suami takut istri yang dituangkan dalam lirik-lirik lagu “Susis” dinyanyikan oleh Sule.
Dose Hudaya mengatakan, ide membuat lagu “Susis” berasal dari Sule. “Dia cerita, dirinya sering diledek sesama personel OVJ seperti Azis dan Parto dengan sebutan lelaki takut istri. Memang benar, Sule memang takut sama istrinya. Saya sudah melihatnya sendiri. Ha ha ha,” ujar Dose. Dose sendiri,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
7
mengaku tidak merasa kesulitan memenuhi permintaan Sule. “Begitu mendengar ceritanya, saya lalu menghubungkannya dengan kondisi masyarakat pada umumnya. Saya pikir, bukan cuma Sule yang takut istri. Banyak lelaki yang takut sama istrinya, enggak peduli profesinya. Mau preman, sopir, pejabat, bahkan teroris sekalipun, tetap sieun atau takut sama istri-istrinya.”. (http://www.tabloidnova.com/Nova/Selebriti/Profil-Selebriti/Suksesnya-Susis-Sule-Berawal-dari-Ledekan).
Menurut konselor dari Jagadnita Consulting Service ini, banyak faktor yang bisa membuat suami takut terhadap istri. Beberapa di antaranya adalah dari segi psikologis, suami punya sikap submisif yaitu sikap yang sering mengalah, menunggu, tidak punya inisiatif, dan tidak kreatif. Pola hubungan antara suami dan istri tidak seimbang, biasanya juga datang dari faktor sosial, seperti suami merasa rendah diri karena berasal dari keluarga yang jauh lebih miskin, berpendidikan jauh lebih rendah, penghasilan lebih kecil. Bisa juga karena si istri merupakan sosok yang sangat terkenal, sedangkan suami bukan apa-apa. Sikap takut bisa berasal dari si suami yang merasa kalah segala-galanya. Ketakutan suami pun bisa muncul karena perbedaan ras dan suku. Berbeda dengan istri yang terbiasa hidup di suku dan lingkungan yang keras. Kata-kata yang keluar pun seringkali ketus, kasar, atau menghujat. Ketika si suami bertemu dengan model istri seperti ini, mungkin saja dia akan merasa takut bila berhadapan dengan istrinya. Saat ini di masyarakat sudah terjadi banyak pergeseran nilai. Bila dahulu hanya suami yang mencari nafkah, kini istri pun sah saja bekerja di luar rumah. Tujuannya agar beban ekonomi keluarga bisa
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
8
ditanggung berdua, sehingga rasanya jadi lebih ringan. Bila pada kenyataannya istri lebih sukses dalam berkarier, bisa jadi suami merasa rendah diri.
(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri) Kisah suami takut istri ternyata tidak hanya digambarkan ada dalam cerita sinetron. Nyatanya secara jamak, kisah ini juga marak terjadi di sekitar kita. Peran istri yang lebih dominan, berhasil menguasai suami yang submisif. Rumah yang diharapkan penuh kedamaian, tak lagi jadi tempat yang meneduhkan. Dalam siklus keluarga, hubungan setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat mendominasi satu dengan yang lain. Namun semua tergantung pada pribadi masing-masing, jika satu lebih kuat dan mendominasi, bukan tidak mungkin pihak lain akan kalah. Faktor yang terus tumbuh subur dalam satu keluarga inilah yang kemudian memicu timbulnya bibit-bibit baru yang juga turut mendominasi. Bukan tanpa alasan, sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dan kini semakin bergeser karena emansipasi, membuat suami seakan rela mengalah posisinya yang dulu dominan kini direbut istri. Berkat emansipasi semakin menyadarkan wanita agar ia harus bisa setara dan tidak dilecehkan kaum pria. Pihak yang dominan biasanya akan suka mendikte, padahal di dalam sebuah pernikahan, posisi suami istri harus setara dan saling mengisi. Sayangnya sifat mendominasi ini cenderung akhirnya menyebabkan pihak yang tertekan terpaksa mengalah, meski setengah hati menolak.
(http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/detail.aspx?x=love&y=cyberwo man0091181).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
9
Emansipasi yang sebenarnya adalah bentuk pemberian hak kepada wanita untuk mengembangkan diri dan kemahiran profesional agar bisa bergandeng bahu dengan lelaki dalam pembangunan negara. Tidak ada maksud negatif yang tersembunyi dibalik gerakan emansipasi. Jikapun ada, itu kembali ke niat orang atau kumpulan yang memperjuangkannya dan apa latar belakang yang memotivasinya. Emansipasi juga tidak menyeru perempuan untuk membangkang dari ayahnya, walinya, orang tuanya, dan suaminya (http://ppium.wordpress.com/2012/04/).
Pada para wanita dengan pemikiran dan pemahaman yang keliru dalam memaknai arti emansipasi membuat para wanita akhirnya bertindak dominan pada suami dan mengganggap perilaku yang dominan tersebut adalah hal yang benar sebagai bagian dari tindakan emansipasi. Dominasi terhadap patriarki mengakibatkan bergesernya sedikit demi sedikit konsep patriarki yang sudah mengakar kuat sekian lama. Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarki yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarki. Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya wanita masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak wanita yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik.
Matriarki merupakan suatu bentuk masyarakat dalam mana ibu dijadikan pemimpin dan bertindak sebagai garis keturunan perempuan. Secara ideologis, matriarki mengasumsikan bahwa kekuatan perempuan dan kasih ibu
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
10
merupakan kekuatan yang kohesif secara sosial. Dalam pandangan feminis, matriarki juga dicirikan dengan kedamaian, keselamatan dan kebersamaan.
Selain beberapa hal diatas, ketertarikan peneliti terhadap lirik lagu tersebut juga didasarkan pada unsur metafora yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan (Sobur, 2003 : 155). Penampilan sebuah lirik lagu tidak hanya menyajikan kata-kata sederhana yang hanya melengkapi. Efektifitasnya tidak terletak pada teks yang lekat bersama lirik lagu itu sendiri. Lirik lagu itu sendiri akan terbukti bahwa ia mampu berperan positif terhadap objek yang dimaksud. Itulah sebabnya mengapa lirik lagu dapat dikatakan sebagai sebuah sarana fungsi komunikasi verbal. Persepsi di kalangan masyarakat yang dibentuk oleh lirik lagu tersebut dapat memberikan dukungan atau sebaliknya, dapat memberikan cemoohan serta antisipasi terhadap subjek ataupun objek tertentu.
Sangat dibutuhkan pengetahuan dan wawasan dalam melakukan intrepretasi terhadap sebuah lirik lagu musik tersebut supaya sesuai dengan konteksnya, sehingga mendapatkan pemahaman yang menyeluruh terhadap pesan yang disampaikan.
Dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” menggambarkan seorang suami atau pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) yang selalu ketakutan terhadap istri (wanita yang telah bersuami). Suami tersebut muncul sebagai sosok yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa (tidak berperan sebagai suami atau kepala keluarga sebagaimana mestinya), sedang istrinya muncul sebagai sosok yang menguasai dan memegang kendali atas
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
11
suaminya. Seorang suami pada hakekatnya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berkeluarga, yaitu memberikan bimbingan, wibawa, pengambil keputusan dan menjadi panutan sebagai kepala keluarga kepada istrinya, namun yang terjadi sebaliknya.. Arti kata “Sieun” dalam judul lagu “Suami Sieun Istri” dalam kamus bahasa Sunda adalah “takut”, jadi arti kata “Suami Sieun Istri” adalah “Suami takut Istri”. Contoh beberapa penggal lirik lagu “Suami Sieun Istri” adalah :
Picingkan mata, cari aman saja
Kalo membangkang, urusan bakal panjang
Dalam penggalan lirik lagu diatas adalah ketakutan seorang suami, terhadap istrinya dalam kehidupan berumah tangga yang secara eksplisit telah nampak dalam lirik lagu tersebut. Namun tidak berhenti hanya pada makna eksplisit, peneliti bermaksud melihat makna implisit dalam pemaknaan pada lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”. Dimana dalam lirik lagu tersebut suatu cerminan dari suatu realitas yang munculnya wanita (istri) yang mendominasi, memegang kendali atas suaminya. Melalui lirik lagu “Susis”, peneliti melihat adanya tindakan menyimpang dari istri terhadap suami, yang merupakan suatu bentuk kontramitos istri dari budaya patriarki. perilaku tersebut bila diterima dan sebagai pembelajaran baru bagi wanita lain secara luas, maka akan menimbulkan bergesernya sedikit demi sedikit budaya patriarki menjadi matriarki dalam proses alih budaya atau cultural transmission dalam kurun waktu perlahan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
12
Hal yang dimaksudkan diatas adalah bila dalam proses peralihan budaya dari patriarki ke matriarki ternyata para wanita yang dominan dalam pergaulannya mempengaruhi wanita lain yang awalnya tidak dominan menjadi dominan, dan bila kebiasaan tersebut akhirnya diikuti dan ditiru oleh banyak wanita yang lain dan diterima sebagai suatu kebiasaan yang baru dalam kelompok dan latar belakang dengan motivasi tertentu. Pada akhirnya budaya tersebut sedikit demi sedikit merembet kemudian meluas dan mulai menggeser konsep patriarki yang telah lama mengakar kuat di Indonesia, sangat dimungkinkan muncul kebudayaan baru yang disertai mitos yang baru pula.
Saat ini, tindakan istri yang mendominasi, mengendalikan, menguasai suami sehingga suaminya menjadi takut terhadap istri dalam kehidupan berumah tangga dianggap sebagai perilaku yang menyimpang terutama bila dilihat dari sudut pandang patriarki. Menurut James W.Van der Zanden ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat tertentu.
Bila dihubungkan dengan hakekat agama, peran sosial, nilai sosial, norma sosial, juga pandangan masyarakat pada umumnya, tidak sepantasnya pihak istri menjadi sosok dominan, mengendalikan, menguasai dan ditakuti oleh suaminya.
Menurut Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA., lebih melihat persoalan itu sebagai tidak adanya kesetaraan hubungan antara suami dan istri. Menurutnya, ketakutan suami terhadap istri akan terlihat dari
ungkapan-Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
13
ungkapannya, seperti, "Aku harus menunggu istriku, karena kalau aku yang memutuskan, takut salah." Rasa takut membuat suami tidak berani mengambil keputusan sendiri, tidak punya ide, selalu menunggu istri, takut dimarahi istri, tidak berani mengungkapkan alasan, dan sebagainya.(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri).
Dengan adanya pemaknaan lirik lagu “Susis” memberikan pesan moril yang baik dan suatu pembelajaran, semoga adanya lirik lagu tersebut dapat berdampak positif bagi pelaku maupun yang bukan pelakunya untuk memberikan kesadaran terhadap perannya masing-masing dalam kehidupan berumah tangga, supaya saling menghormati baik antara istri maupun suami. bertindak dengan hakekat dan kodrat selain sesuai aturan agama yang diyakini. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui adanya proses alih budaya atau pergeseran dari konsep patriarki ke konsep matriarki, tersirat adanya kontramitos yang berwujud penyimpangan perilaku istri (dominan dan menguasai suami) yang mengakibatkan suami takut terhadap istri dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes karena menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi yang dialami dan diharapkan penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of Signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
14
sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”.
1.4Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan serta pemahaman studi komunikasi mengenai analisis semiologi pada lirik lagu.
2. Manfaat Praktis
Membantu pembaca dan penikmat musik dalam memahami dan pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan Sule dan diharapkan dapat menjadi kerangka acuan bagi pencipta musik agar semakin kreatif dalam menggambarkan lirik lagu.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Musik sebagai Media Komunikasi
Pada dasarnya musik dan lagu juga merupakan kegiatan
komunikasi, karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si
pencipta lagu kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam
sebuah lagu merupakan representasi dari pikiran atau perasaan dari si
pencipta lagu sebagai orang yang mengirim pesan terhadap fenomena dan
realita sosial yang terjadi diluar diri si pencipta lagu. Artinya bahwa pesan
tersebut bersumber dari pola pikirnya serta frame of reference dan field of
experience yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial.
Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang
menarik diantara budaya – budaya manusia yang lain. Dari sisi psikologis
humanistis, musik dan lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan
manusia dalam hasrat akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut
sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu
diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat
menguntungkan (Rahmat, 1993 :19).
Musik diartikan sebagai suatu ungkapan perasaan yang
dituangkan dalam bentuk bunyi-bunyian atau suara. Ungkapan yang
16
dikeluarkan melalui bunyi alat musik disebut instrumental (Subagyo,
2006:4).
Perjalanan proses berkarya seni musik setiap seniman memiliki
keunikan yang berbeda-beda. Untuk menciptakan karya musik dipengaruhi
oleh beberapa hal seperti latar belakang seniman, lingkungan, pengetahuan
serta pengalamannya. Selain itu juga untuk memunculkan ide perlu adanya
renungan, pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungan sekitar
(Subagyo, 2006:27).
2.1.2 Gender
Kata “Gender” berasal dari Bahasa Inggris, berarti jenis
kelamin. Gender yaitu perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultura, berupaya membuat
perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary
M. Lips dalam bukunya Sex and Gender : an introduction mengartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan
(Cultural Expectation for Women and Men). Misalnya perempuan dikenal
dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan
sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut,
17
itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
(Fakih, 1999 : 8-9).
Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir
dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan
(West, Candance and Zimmerman, Don. 1987.”Doing Gender”. Gender and
Society), sesuatu yang kita tampilkan (Judith Butler.1990.Gender Trouble :
Feminism and Subversion of Identity. New York and London Routledge).
(sugihastuti, 2007 :4).
Menurut Morris gender sebagai pembedaan perempuan dan
laki-laki berdasarkan social construction tercermin dalam kehidupan sosial
yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasikan dan diasuh secara
berbeda denga laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya ekspektasi sosial yang
berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki. Sejak dini anak perempuan
disosialisasi bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan
bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif,
mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap
perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki (Sihite, 2007:230).
Hendy Shri Ahimsa Putra (2000) dalam Mufidah (2003 : 3-6),
menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa
pengertian berikut ini :
1. Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu
Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak
18
menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang yang pernah
mendengar istilah tersebut. Sering orang berpandangan bahwa perbedaan
gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian
yang keliru. Jika hal itu terjadi maka diskusi yang berlangsung tidak akan
membawa manfaat.
2. Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya
Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik
yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa
mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari
suatu kenyataan yang jelas. Bahkan kehidupan di muka bumi tidak akan
dapat bertahan karena tidak ada lagi fungsi reproduksi perempuan, jika itu
pun melalui rekayasa. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan
kontekstual. Gender yang dikenal orang Bali berbeda dengan yang dikenal di
daerah Minang, berbeda pula di masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan
konstruksi sosial budaya yan membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya.
3. Gender sebagai suatu kesadaran sosial
Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu
diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial. Pembedaan seks
di masyarakat merupakan konstruksi sosial. Dari sini masyarakat mulai
menyadari bahwa perbedaan tersebut produk sejarah dan kontak warga
masyarakat dengan komunitasnya. Manusia kemudian menyadari bahwa ada
banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini menjadi lebih baik, harmonis
19
unggul dan terjadi dominasi jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin
lainnya. Disinilah gender menjadi persoalan sosial budaya.
4. Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya
Fenomena perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya
bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi
bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, dimana jenis kelamin tertentu
memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. Untuk
menghapus ketidakadilan gender tersebut, tidak akan berarti tanpa
membongkar akar permasalahan yang ada, yaitu pembedaan atas dasar seks.
Dalam term ini, perjuangan terhadap ketidakadilan gender tidak hanya
menyentuh persoalan praktis, tetapi telah memasuki wilayah filosofi dan
agama.
5. Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis
Dalam ilmu sosial, definisi gender tidak lepas dari
asumsi-asumsi dasar yang ada pada sebuah paradigma, dimana konsep analisis
merupakan salah satu komponennya. Asumsi-asumsi dasar itu umumnya,
merupakan pandangan-pandangan filosofi dan juga ideologis. Gender sebagai
suatu konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang
ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya.
6. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan
Dalam tema ini, gender menjadi sebuah paradigma atau
kerangka teori lengkap dengan asumsi dasar, model dan konsep-konsepnya.
20
pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial
budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya.
2.1.3 Patriarki
Masyarakat Indonesia masih menganut budaya patriarki di
berbagai daerah, terutama di daerah pedesaan. Budaya patriarki merupakan
budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam
budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan
lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga
(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Janda%2C+Stigma+
dan+Budaya+Patriarki&dn=20110605083817).
Ideologi patriarki melestarikan wujud kekuasaan dan dominasi
laki-laki yang terealisasi dalam berbagai tatanan sosial termasuk dalam
keluarga. Ideologi patriarki mencirikan bahwa laki-laki merupakan kepala
rumah tangga, pencari nafkah (bread winner) yang terlihat dalam pekerjaan
produktif di luar rumah maupun sebagai penerus keturunan (Sihite, 2007
:231).
Menurut Millet (1972: 26), ideologi patriarki disosialisasikan
ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen
psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar
pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan
kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas,
21
tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif
merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role, merupakan
komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin.
Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga
terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik
(domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang
merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan
perempuan inferior.
Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman (2002: 16),
sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang
menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku,
status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang
kemudian menjadi hirarki gender.
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap
sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang
perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara.
Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa
masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior).
22
2.1.4 Definisi “Susis (Suami Sieun Istri)”
Dalam judul lagu “Susis” yang merupakan singkatan dari kata
“Suami Sieun Istri,” terdapat tiga kata yang perlu untuk didefinisikan oleh
peneliti, yaitu : “suami”, “sieun”, dan “istri”.
Menurut kamus Bahasa Indonesia arti kata suami adalah pria
yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) sedangkan arti
kata istri adalah wanita (perempuan) yg telah menikah atau yg bersuami
(http://www.artikata.com/arti-331193-istri.html).
Dalam kehidupan rumah tangga, menurut Chaniago (2002)
Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai
suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suami
mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan
hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam
berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga.
Tanggung jawab seorang suami tidak sekedar memberi nafkah
kepada istrinya. Menurut Thalib (1995) tugas, fungsi dan posisi suami
ditetapkan sebagai orang yang mengatur, mendidik, meluruskan masalah
yang terjadi dalam rumah tangga dan memberi komando dalam rumah
tangganya. Jadi, seorang suami bertanggung jawab atas pemenuhan materi
dan kehidupan istri. Menghayati norma tanggung jawab suami terhadap istri
merupakan kunci untuk dapat membangun perkawinan yang penuh dengan
23
Sedangkan untuk seorang wanita (istri) sejak dini wanita
disosialisasikan bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan
bukan pengambil keputusan. Kontrol sosial terhadap wanita jauh lebih ketat
dibandingkan laki-laki. Apabila seorang istri melakukan perannya dengan
benar maka dapat dipastikan kesuksesan suami dalam pekerjaan dan
peranan dalam kehidupan sosial, sangat dipengaruhi oleh istrinya, dari
sinilah munculnya kutipan terkenal “Behind Every Great Man There’s A
Great Woman”.
(http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/10/ibu-rumah-tangga-puncak-prestasi-karier-seorang-wanita/).
Jika Suami dan istri menjalankan peranannya masing-masing
sesuai kapasitasnya, maka akan tercipta hubungan keluarga yang harmonis,
tetapi Fenomena yang dituangkan dalam lirik lagu Sule dalam judul lagu
Susis (Suami Sieun Istri) memiliki makna sebaliknya yang menunjukkan
tindakan istri yang mendominasi dan menguasai suami. Arti kata “Sieun”
dalam judul lagu “Suami Sieun Istri” dalam kamus bahasa Sunda adalah
“takut”, jadi arti kata “Suami Sieun Istri” adalah “Suami takut Istri”.
Menurut kamus Bahasa Indonesia definisi kata takut adalah merasa cemas
dan gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yg dianggap akan mendatangkan
bencana.
Rasa takut merupakan reaksi manusiawi yang secara biologis
merupakan mekanisme perlindungan bagi seseorang pada saat menghadapi
bahaya. Ketakutanadalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi
24
tertentu. Ketakutan biasa disebut dengan tanda peringatan terhadap hidup,
peringatan agar berhenti, melihat atau mendengarkan.
Setiap manusia dihadapkan pada peringatan serta ancaman
yang sangat menuntut perhatian. Rasa takut betul-betul memperlambat dan
mengendalikan sejumlah besar emosi psikosomatis. Salah satu tujuan dari
pengendalian adalah untuk membantu seseorang untuk menghindarkan diri
dari bahaya dan
mengatasinya(http://www.duniapsikologi.com/rasa-takut-apakah-anda-phobia/).
2.1.5 Lirik Lagu
Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat
menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial
yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk
sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu,
ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga
mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya keyakinan,
nilai – nilai bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).
Termasuk realitas sosial yang menggambarkan masyarakat
yang melakukan perilaku menyimpang sebagai suatu tindakan kontramitos.
Yaitu fenomena istri yang mendominasi, mengendalikan dan menguasai
suami, seharusnya masing –masing peran baik suami maupun istri bertindak
25
menghormati dan saling mengasihi untuk keharmonisan kehidupan berumah
tangga.
Sejalan dengan pendapat Soerjono dalam Rachmawati
(2000 :1) yang menyatakan :
Musik berkaitan erat dengan setting sosial
kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala yang khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai wadah individu maupun ekelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.
Berdasarkan kutipan diatas sebuah lirik lagu dapat berkaitan
erat dengan realitas soasial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung
dalam masyarakat. Lirik lagu memiliki kedudukan yang penting dalam
sebuah lagu. Lagu merupakan suatu alat penyampaian pesan dari si pencipta
lagu kepada khalayak.
Teks atau lirik sendiri definisikan oleh Roland Barthes
“Bukanlah sebaris kata-kata, melainkan sebuah jaringan unsur kebudayaan”.
Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian
terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu
mulai diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak, lirik lagu tersebut
mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah
26
musik merupakan bagian dari suatu budaya manusia, tidak terpisahkan
selama hidup manusia, dari lahir hingga akhir hayat, musik menyentuh
segala lapisan sosial dari bawah hingga atas. Mantle Hood, seorang pelopor
ethnomusiclogy dari USA memberikan definisi tentang Ethnomusicology
sebagai studi musik dari segi sosial dan kebudayaan (Bandem, 1981).
2.1.6 Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang adalah apabila tidak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Menurut kajian
sosiologi, penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku
tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Berikut
beberapa teori yang menyatakan bahwa penyimpangan adalah perilaku yang
didefinisikan secara sosial :
1. Menurut Korblum
Penyimpangan tidak hanya dapat dikategorikan kepada
individu atau masyarakat dengan kategori deviance (penyimpangan) dan
deviant (penyimpang), tetapi akan dijumpai pula yang disebut dengan
institusi menyimpang atau Deviant Institution.
2. Menurut James W.Van der Zanden
Menurut Zanden, penyimpangan perilaku merupakan tindakan
yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar
27
atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran
norma dan nilai sosial suatu masyarakat tertentu.
3. Menurut Robert M.Z. Lawang
Menurut Lawang, perilaku menyimpang adalah norma
tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu
sistem sosial. Perilaku tersebut menurut lawang menimbulkan usaha dari
mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaikinya (Kun
Maryati dan Juju Suryawati dalam sosiologi, 2006 : 121-122).
Menurut Dr. Arief Budiman, Ph.D seorang sosiolog pengkritik
nasionalisme (2009:134), Relativitas perilaku menyimpang, juga dapat
terjadi karena situasi dan kondisi. Sesuatu yang dahulu di anggap tidak
layak, sekarang dapat dianggap layak.Misalnya, pada zaman dahulu wanita
Indonesia (pribumi) dinilai tidak pantas mengenakan celana seperti
laki-laki. Mereka harus mengenakan kain dan kebaya. Akan tetapi, sekarang hal
itu sudah tidak berlaku lagi. Relativitas nilai sosial dipengaruhi pula oleh
tempat atau lingkungan sosial budaya.
Antara masyarakat desa dan kota mungkin memiliki nilai dan
norma yang berbeda pula. Masyarakat desa mempertahankan tradisi
turun-temurun dari nenek moyang. Orang desa yang meninggalkan tradisi di
desanya dianggap tidak layak atau menyimpang. Akan tetapi, masyarakat
kota menganut nilai keterbukaan, sehingga cepat menyesuaikan diri dengan
28
Perubahan di berbagai penjuru dunia cepat mempengaruhi perilaku
orang-orang kota, apalagi dengan dibantu oleh sarana teknologi komunikasi yang
seolah telah menghilangkan batas ruang dan waktu.
2.1.7 Sumber Penyimpangan
Edward H. Sutherland
Suherland mengemukakan sebuah teori yang
dinamakan differential association. Menurutnya, penyimpangan bersumber
pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih
(cultutal transmission). Melalui proses belajar ini, seseorang mempelajari
suatu budaya yang menyimpang.
Edwin M.Lemert
Lemert menamakan teorinya (Labelling Theory). Menurutnya,
seseorang menjadi penyimpang karena adanya proses labelling (pemberian
julukan, cap, etiket atau merek) yang diberikan masyarakat kepadanya.
Proses Labelling ini bisa membuat seseorang yang tadinya tidak memiliki
kebiasaan menyimpang menjadi terbiasa. Lebih jauh Lemert membagi
perilaku menyimpang ke dalam dua bentuk yaitu :
a. Penyimpangan Primer (Primary Deviation), yaitu perbuatan menyimpang
yang dilakukan seseorang namun sang pelaku masih dapat diterima secara
sosial. Ciri penyimpangan primer adalah sifatnya sementara, tidak terulang,
dan dapat ditolerir masyarakat.
b. Penyimpangan Sekunder (Secondary Deviation), yaitu perbuatan yang
29
perilaku menyimpang. Penyimpangan demikian bisa dilakukan secara
individu maupun kelompok. Masyarakat pada umumnya tidak bisa
menerima dan tidak menginginkan orang-orang semacam ini berada dalam
lingkungannya. (Kun Maryati dan Juju Suryawati dalam sosiologi,
2006 :122).
2.1.8 Sifat-Sifat Perilaku Menyimpang
Secara umum terdapat dua sifat penyimpangan, yaitu
penyimpangan yang bersifat positif dan penyimpangan yang bersifat
negatif:
1. Penyimpangan yang bersifat positif
Penyimpangan yang bersifat positif adalah penyimpangan
yang mempunyai dampak positif terhadap sistem sosial karena
mengandung unsur inovatif, kreatif dan memperkaya alternatif.
Penyimpangan demikian umumnya dapat diterima masyarakat karena
sesuai dengan perubahan zaman.
Menurut Dr. Arief Budiman, Ph.D seorang sosiolog
pengkritik nasionalisme (2009:134), perilaku menyimpang tidak selalu
berdampak negatif. Penyimpangan dalam bentuk pemberontakan terhadap
nilai-nilai yang sudah mapan kadang-kadang melahirkan
pemikiran-pemikiran baru. Misalnya, R.A. Kartini memelopori penerobosan
nilai-nilai kehidupan yang dia rasa tidak adil bagi kaumnya, sehingga lahirlah
30
saat itu mendukung pengekangan terhadap kaum wanita. Biasanya
penyimpangan seperti itu mendapat tentangan dari masyarakat namun
ketika „pemberontakan‟ itu dirasakan ada manfaatnya, lama-kelamaan
diterima dan menjadi nilai dan norma baru. Tidak semua pemberontakan
melahirkan pahlawan-pahlawan seperti R.A. Kartini. Tetapi, selalu
ada orang atau sekelompok orang yang mendobrak nilai-nilai yang sudah
mapan.
2. Penyimpangan yang bersifat negatif
Dalam penyimpangan yang bersifat negatif, pelaku bertindak
ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang berakibat buruk serta
mengganggu sistem sosial. Tindakan dan pelakunya akan dicela atau
dicemooh dan tidak diterima oleh masyarakat.
Menurut Hera Farina (Anggota DPRD Partai Demokrat di
Banjarmasin) sehubungan dengan hari Kartini 21 April 2012 ini.
Ia mencontohkan bentuk emansipasi yang berlebih-lebihan atau
melampaui kodrat seorang kaum hawa, “Sikap seorang wanita yang mau
mengatasi atau mengendalikan suami selaku kepala rumah tangga, itu
keliru. Wanita Indonesia patut bersyukur bisa berkarir serta melanjutkan
pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, atas perjuangan RA. Kartini
bersama kawan-kawan pejuang wanita lainnya seperti Tjut Nyak Dien
(Aceh), Dewi Sartika (Jawa Barat), dan Maria Walanda Maramis
(Sulawesi Utara)”.
31
Bila dihubungkan dengan bab 4 yaitu pembahasan analisis lirik
lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” terjadi suatu perilaku menyimpang itu
sendiri, pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri)
menjadi sosok yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa dalam
perannya sebagai kepala keluarga terhadap istri, sedangkan Istri menjadi
pemegang kekuasaan dan memegang kendali atas suaminya dalam
perannya di kehidupan berumah tangga. Perilaku tersebut termasuk
penyimpangan negatif, pelaku bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang
dipandang berakibat buruk serta mengganggu sistem dan nilai sosial
masyarakat pada umumnya, dimana seorang istrinya tidak seharusnya
memegang kendali atas suaminya. Tindakan dan pelakunya akan dicela
atau dicemooh dan tidak diterima oleh masyarakat, apalagi budaya
patriarki di Indonesia masih mengakar kuat selama ini.
2.1.9 Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir
struktualis yang getol mempraktekkan model linguistik dan semiologi
Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama,
ekspones penerapan struktualisme dan semiotika pada studi sastra
menyebutkan sebagai tokoh yang memainkan peranan central dalam
struktualisme tahun 1960-1970 an. Barthes berpendapat bahasa adalah
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
32
dalam Writing Degree Zero 1953 terjemahan Bahasa Inggris tahun 1977
dan Critical Essays 1964 terjemahan Bahasa Inggris 1972
(Sobur,2004:63).
Sedangkan pendekatan karya struktualis memberikan perhatian
terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna.
Struktualisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus
memperhatikan struktur karya atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika
didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003:11).
Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat
berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh
seorang semiokus dalam mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya.
Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan
secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001 : 156). Didalam
semiologi, seseorang diberikan kebebasan dalam memaknai sebuah tanda.
Dalam pengkajian tekstual, Barthes menggunakan analisis
naratif struktual yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara
metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut
linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai
semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif
struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan
diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu
karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan
33
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya
tentang tanda adalah peran pembaca konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan
tataran kedua yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya
(Sobur, 2004:68-69).
Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tatanan
kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem pertama. Sistem kedua
ini oleh Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologiesnya secara
tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tatanan pertama
Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda.
1. Signifier
(Penanda) 2. (Petanda) Signified
3. Denotative (Tanda Denotatif) 4. Connotative Signifier (Penanda
Konotatif) 5. (Petanda Konotatif) Connotative Signified
5. Connotative Sign(Tanda Konotatif)
Sumber : Paul Cobley & Litza Jansa, 1999 dalam Alex Sobur, 2004 : 69
Gambar 2.1.1 Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2), akan tetapi pada saat bersamaan
tanda denotatif adalah juga petanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal
tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda
“singa” barulah konotatif seperti harga diri, kegarangan dan keberanian
34
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya
sekedar memiliki makna tambahan. Namun, juga mengandung makna
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada tatanan
denotatif.
Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi
dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang
dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya
dimengerti sebagai makna harfiah, makna “sesungguhnya”, bahkan kadang
kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses Signifikasi yang
secara tradisional disebut juga sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada
penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.
Akan tetapi, didalam semiologi Roland Bathes dan para
pengikutnya, denotasi merupakan sistem Signifikasi tingkat pertama
sementara, sementara konotatif merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini
denotasi justru lebih disosialisasikan dengan ketertutupan makna dan
demikian, sensor atau represi politis, sebagai reaksi yang paling ekstrim
melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba
menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi
semata-mata.
Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap
35
merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22 dalam Sobur,
2004:0-71). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideology yang disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001 :28 dalam
Sobur, 2004:1). Didalamnya mitos juga terdapat pola tiga dimensi,
penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos
dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tatanan kedua. Didalam mitos pula
petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya
terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam
bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk-bentuk-bentuk tersebut
(Sobur,2004:71).
Menurut Barthes (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu
bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau
“coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa
apa yang dikatakan, apa yang didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca.
Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi petanda adalah
aspek mental dari bahasa. Yang haus diperhatikan adalah bahwa dalam
tanda bahasa yang kongkret kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan.
Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi Signifier (penanda) dan Signified
(petanda). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena
itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin
36
ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan
suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan, seperti dua sisi
dari sehelai kertas” (Sobur, 2004:46). Setiap tanda kebahasaan, menurut
Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara
(sound image), bukan menyatakan sesuatu sebagai nama. Suara yang
muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier),
sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat
dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan “kata” tersebut
Sobur,2004 :47).
Semiologi Roland Barthes tersusun tingkatan-tingkatan sistem
bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa,
bahasa pada tingkat pertama sebagai objek dan bahasa pada tingkatan
kedua yang disebut metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda
yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru
nada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda yang pertama kadang disebutnya
sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes
terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan,
2001:115).
Tatanan penandaan pertama adalah landasan kerja Saussure,
tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda didalam
tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal.
Barthes menyebutkan tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada
37
keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jala mendenotasi jalan
pertokoan yang membentang diantara bangunan (Fiske, 2006 :118).
Denotasi menurut Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama,
dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur,2004:70).
Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan
satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas
bahasa-bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai
petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, di luar alam deskriptif.
Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial
dalam hal pesan literatur memberikan dukungan bagi makna kedua dari
sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum (Kurniawan,
2001:68).
Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah
melalui mitos. Mitos biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu
keliru, namun pemakaiannya yang biasa itu adalah bagi penggunaan oleh
orang tak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang
percaya dalam artian orisonal.
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive
berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk.
Mitos kita yang lebih bertaktik-taktik adalah tentang maskulinitas dan
feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi