• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)."

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

Luciawaty Setyaningsih

(0643310403)

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(2)

ii

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Disusun oleh :

LUCIAWATY SETYANINGSIH NPM. 0643310403

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi.

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Dra.Herlina Suksmawati,Msi. NIP. 19641225 199309 2001

Mengetahui, DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, Msi NIP. 195507181983022001

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(3)

iii

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS”

(Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Oleh :

LUCIAWATY SETYANINGSIH NPM. 0643310403

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 13 Juni 2012

Pembimbing Utama Tim Penguji,

1. Ketua

Dra.Herlina Suksmawati, M.Si Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 19641225 199309 2001 NIP. 195812251990011001

2. Sekretaris

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul : PEMAKNAAN LIRIK LAGU “SUSIS” (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ibu Dra. Herlina Suksmawati, Msi, selaku Dosen Pembimbing Utama penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang sangat membantu penulis baik secara moril maupun materil, yaitu kepada:

1. Ibu Dra. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, Msi selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, Msi selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi.

4. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu serta bimbingannya kepada penulis selama menempuh studi. 5. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan terhadap penyelesaian

skripsi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(5)

v

6. Kokoku tercinta, Hendi yang selalu membantu dalam setiap kesulitan dalam memperoleh informasi dan menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat terbaikku Kartikasari dan Putri yang selalu memberikan dukungan, semangat dan motivasi demi keberhasilan atas selesainya skripsi ini.

8. Serta semua pihak yang belum disebutkan oleh penulis, terima kasih atas segala kontribusi yang telah diberikan pada penulis dalam penyelesaian skripsi.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah disajikan masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Apabila dalam penyampaian dan penulisan terdapat kesalahan, peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Surabaya, 2012

Penulis

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian... 14

1.4 Manfaat Penelitian... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 15

2.1 Landasan Teori... 15

2.1.1. Musik sebagai Media Komunikasi………... 15

2.1.2. Gender……….. 16

2.1.3. Patriarki……… 20

2.1.4. Definisi “Susis” (Suami Sieun Istri)”……….. 22

2.1.5. Lirik Lagu……….... 24

2.1.6. Perilaku Menyimpang……….. 26

2.1.7. Sumber Penyimpangan……….... 28

2.1.8. Sifat-sifat Perilaku Menyimpang………... 29

2.1.9. Semiologi Roland Barthes……… 31

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(7)

vii

Halaman

2.1.10.Kode Pembacaan………. 40

2.2 Kerangka Berfikir………... 42

BAB III METODE PENELITIAN………... 45

3.1. Metode Penelitian……… 45

3.2. Corpus………. 46

3.3. Unit Analisis………... 49

3.4. Teknik Pengumpulan Data………. 50

3.5. Metode Analisis Data……….. 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………. 54

4.1. Gambaran Umum Objek Peneliti……… 54

4.2. Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”………... 59

4.3. Penyajian dan Analisis Data……… 61

4.3.1. Penyajian Data……… 61

4.3.2. Analisis Data………... 62

4.4. Sistem Mitos……… 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

5.1. Kesimpulan………. 100

5.2. Saran……… 101

DAFTAR PUSTAKA ……….. 102

LAMPIRAN……….. 104

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes ...……...……… 33

Gambar 2.1.2 Gambar Dua Tatanan Petandaan Peta Barthes……...…... 39

Gambar 2.2 Gambar Kerangka Berpikir... 45

Gambar 4.2 Gambar Peta Roland Barthes... 60

Gambar 4.2.1a Gambar Peta Tanda Roland Barthes Judul Lagu... 63

Gambar 4.2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 1 ... 64

Gambar 4.2.2 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 2... 66

Gambar 4.2.3 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 1... 68

Gambar 4.2.4 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 2... 70

Gambar 4.2.5 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 3... 71

Gambar 4.2.6 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 2 kalimat 4... 73

Gambar 4.2.7 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 1... 75

Gambar 4.2.8 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 2... 76

Gambar 4.2.9 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 3... 77

Gambar 4.2.10 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 3 kalimat 4... 78

Gambar 4.2.11 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 1... 80

Gambar 4.2.12 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 2... 82

Gambar 4.2.13 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 3... 83

Gambar 4.2.14 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 4 kalimat 4... 85

Gambar 4.2.15 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 1... 87

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(9)

ix

Halaman

Gambar 4.2.16 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 2... 88

Gambar 4.2.17 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 3... 90

Gambar 4.2.18 Gambar Peta Tanda Roland Barthes bait 5 kalimat 4... 92

Gambar 4.2.19 Gambar Peta Tanda Roland Barthes kalimat ke 19... 93

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Profil “Sule” ...104 Lampiran 2 Lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” ...107

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(11)

xi

ABSTRAK

LUCIAWATY SETYANINGSIH, PEMAKNAAN LIRIK LAGU (Studi Semiologi Pemaknaan Pada Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”

oleh “Sule” dari Album “Prikitiew”)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” atau “Suami Takut Istri” Dimana di lirik ini tercermin fenomena penyimpangan perilaku oleh istri didalam menjalankan peran sosialnya dalam kehidupan berumah tangga, yaitu sebagai sosok yang menguasai dan mengendalikan suaminya.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif – interpretatif semiologi Roland Barthes, yaitu menggunakan metode signifikasi dua tahap (two of signifikasi) yang dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan menurut Barthes, yaitu kode hermeneutik, kode proaretik, kode gnomik (cultural), kode semik dan kode simbolik, untuk pemaknaan sebuah tanda yang berupa bahasa dan tulisan sehingga dapat mengetahui tanda denotatif dan tanda konotatifnya.

Melalui pandangan Roland Barthes tersebut kemudian dijelaskan lewat penafsiran menggunakan teori perspektif perilaku menyimpang, yang pada akhirnya akan ditarik suatu makna yang sebenarnya tentang perilaku menyimpang dan perilaku yang muncul, sebagai akibat dari perilaku menyimpang tersebut. Dalam tahap kedua dari tanda denotatif dan tanda konotatif akan muncul mitos dan kontramitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitarnya.

Kesimpulan dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan Sule sebagaimana adanya merupakan suatu perilaku menyimpang istri dari peran sosialnya dalam kehidupan berumah tangga. Perilaku menyimpang tersebut merupakan wujud dari kontramitos pada budaya patriarki. Dikatakan sebagai perilaku menyimpang dikarenakan perilaku istri yang dominan dan menguasai suami sehingga membuat suaminya ketakutan tersebut adalah perilaku yang belum dapat diterima oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Adanya pergeseran budaya patriarki ke matriarki juga tersirat secara implisit dalam lirik lagu “Susis”.

Kata Kunci : Pemaknaan Lirik Lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Penyanyi Solo “Sule” dari album “Prikitiew” dengan metode semiologi Roland Barthes

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan musik di Indonesia tidak pernah surut. Banyaknya hasil karya musik yang dilahirkan para pencipta musik atau musisi karya seni memberikan kontribusi yang menarik untuk industri musik tanah air. Musik merupakan konsumsi publik, secara psikologis merupakan kebutuhan hiburan dan bisa menjadi semangat kehidupan. Musik juga dapat diartikan sebagai media ekspresi diri masyarakat dan mampu menyatukan banyak kalangan masyarakat, baik itu kalangan bawah hingga sampai lapisan paling atas.

Musik memiliki efek yang besar dan berperan penting dalam sosialisasi ide, gagasan dalam tradisi kebudayaan. Bagi pencipta musik ini adalah ungkapan yang berkaitan dengan komunikasi ekspresif yang artinya musik dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, bahkan pandangan hidup manusia. Musik sendiri menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia memiliki makna bunyi-bunyian yang ditata enak dan rapi.

Musik dapat tercipta karena didorong oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Musik adalah cermin dari masyarakat, musik juga diilhami oleh perilaku umum masyarakat. Sebaliknya, perilaku masyarakat dapat terilhami oleh musik tertentu. Perilaku umum masyarakat dapat berupa permasalahan sosial, peristiwa monumental, kebutuhan dan tuntutan bersama, kritikan ataupun harapan yang diidamkan (Ayuningtyas, 2006:9).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(13)

2

Musik merupakan bagian dari komunikasi, seperti yang dikemukakan oleh William I. Gorden bahwa komunikasi itu mempunyai empat fungsi. Keempat fungsi tersebut yakni komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan instrumental, tidak saling meniadakan (mutually exclusive).

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain (Mulyana, 2005 : 5).

Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi Ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan perasaan – perasaan (emosi kita). Perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan – pesan non verbal. Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk – bentuk seni seperti novel, puisi, musik, tarian atau lukisan. Harus diakui musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideology) manusia (Mulyana, 2005 : 21 – 22).

Dari sisi psikologis humanistis, lagu atau musik bisa menjadi sarana untuk memenuhi salah satu kebutuhan manusia dalam pemenuhannya akan hasrat seni melalui musik. Manusia sebagai homovalens atau makhluk yang

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(14)

3

memiliki keinginan, memiliki kemampuan untuk menyalurkan identifikasinya terhadap kebudayaan. Dari sisi sosial lagu biasa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat dimana lagu tersebut diciptakan. Dari segi ekonomis, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rahmat, 1993 : 19).

Lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik diantara budaya – budaya manusia yang lain. Lagu identik dengan musik dan musik adalah bahasa dunia. Banyak hal menarik yang dapat diamati dari budaya yang satu ini. Sebuah lagu biasanya terdiri dari tiga komponen. Komponen tersebut antara lain paduan alat musik atau instrument. Suara atau vokal dan yang terakhir lirik lagunya. Instrument dan kekuatan vokal penyanyi adalah sebagai tubuh sedangkan lirik lagu adalah jiwa atau nyawa dalam penggambaran musik itu sendiri.

Lagu tanpa syair disebut musik lagu adalah sekumpulan lirik yang diberi instrumen akor dan melody. Meskipun terlihat sederhana, namun proses pembuatan sebuah lagu dibutuhkan keahlian, baik itu keahlian memainkan alat musik, keahlian menulis lirik hingga keahlian dalam berimajinasi, meskipun dalam prakteknya lirik tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau keadaan masyarakat disekitarnya. Lirik lagu biasanya memiliki muatan pesan tertentu, kadang-kadang pesannya hanya sekedar ungkapan cinta kasih, tapi kadang – kadang juga bermuatan politis, filosofi dan membelah kehidupan (Ayuningtyas, 2006 :25).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(15)

4

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar di masyarakat. Lirik lagu dapat sebagai sarana untuk bersosialisasi dan pelestarian terhadap sikap dan nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya keyakinan, nilai – nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).

Lirik lagu merupakan sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu memikat perhatian. Dalam proses penciptaan lirik lagu dapat terjadi berdasarkan pengalaman – pengalaman si pencipta dengan dunia sekitarnya. Dapat pula dari hasil perenungan si pencipta terhadap suatu gejala yang dilihat atau yang dirasakannya.

Komunikasi verbal adalah sarana utama menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Komunikasi menggunakan kata – kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individu kita, konsekuensinya kata – kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata – kata (Mulyana, 2000 : 238).

Sebuah lirik lagu bukanlah rangkaian kata-kata indah semata, melainkan representasi dari realitas yang dilihat dan dirasakan oleh pencipta. Realita inilah yang mengilhami seorang pencipta dalam membuat lirik lagu.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(16)

5

Salah satu realitas yang ada di masyarakat kita saat ini dan yang menarik perhatian penulis adalah fenomena.

Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu bersumber dari pola pikirnya serta frame of reference dan field of experience yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan social disekitarnya. Menurut Soeriono dan Rahmawati (2000 : 1) yang menyatakan :

Musik berkaitan erat dengan setting social kemasyaratan tempat dia berada. Musik merupakan gejala yang khas yang dihasilkan akibat adanya social dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok social dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.

Melalui lirik lagu pencipta atau biasa disebut musisi dapat menyampaikan pesan yang merupakan ekspresi terhadap apapun yang dirasakan terhadap fenomena – fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, dimana pencipta tersebut ikut berinteraksi didalamnya.

Pada saat ini fenomena grup band, boyband, girlband menjamur di Indonesia. Selain grup band, boyband, girlband, penyanyi solo pun juga marak di pasaran musik Indonesia. “Sule” adalah salah satu penyanyi solo dengan salah satu judul lagunya, yaitu “Susis (Suami Sieun Istri)” dari album “Prikitiew”. Lirik lagu tersebut berkisah tentang fenomena atau realita sosial diluar diri pencipta lagu, pada masyarakat tertentu yaitu suami – suami yang takut istri.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(17)

6

Serial suami takut istri sebelumnya pernah ditayangkan di Trans TV setiap Senin hingga Jumat pukul 18.00 WIB sejak 15 Oktober 2007. Serial ini digarap oleh rumah produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Serial ini mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan "senasib sepenanggungan" ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suami-suami_Takut_Istri).

Tidak dapat dipungkiri, Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki ternyata juga dapat ditemukan adanya fenomena suami takut istri. Memang tidak semua pria takut pada istrinya, tetapi keberadaan suami takut istri sendiri merupakan salah satu realitas sosial yang saat ini ternyata ada dan masih dianggap menyimpang dari nilai-nilai sosial masyarakat terutama bila diliat dari sudut pandang patriarki. Fenomena ini dianggap menarik dan pada akhirnya disajikan dalam serial suami takut istri di Trans TV. Selain ditayangkan dalam bentuk serial, Dose Hudaya sebagai salah satu pencipta lagu di Indonesia menampilkan kembali fenomena suami takut istri yang dituangkan dalam lirik-lirik lagu “Susis” dinyanyikan oleh Sule.

Dose Hudaya mengatakan, ide membuat lagu “Susis” berasal dari Sule. “Dia cerita, dirinya sering diledek sesama personel OVJ seperti Azis dan Parto dengan sebutan lelaki takut istri. Memang benar, Sule memang takut sama istrinya. Saya sudah melihatnya sendiri. Ha ha ha,” ujar Dose. Dose sendiri,

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(18)

7

mengaku tidak merasa kesulitan memenuhi permintaan Sule. “Begitu mendengar ceritanya, saya lalu menghubungkannya dengan kondisi masyarakat pada umumnya. Saya pikir, bukan cuma Sule yang takut istri. Banyak lelaki yang takut sama istrinya, enggak peduli profesinya. Mau preman, sopir, pejabat, bahkan teroris sekalipun, tetap sieun atau takut sama istri-istrinya.”. (http://www.tabloidnova.com/Nova/Selebriti/Profil-Selebriti/Suksesnya-Susis-Sule-Berawal-dari-Ledekan).

Menurut konselor dari Jagadnita Consulting Service ini, banyak faktor yang bisa membuat suami takut terhadap istri. Beberapa di antaranya adalah dari segi psikologis, suami punya sikap submisif yaitu sikap yang sering mengalah, menunggu, tidak punya inisiatif, dan tidak kreatif. Pola hubungan antara suami dan istri tidak seimbang, biasanya juga datang dari faktor sosial, seperti suami merasa rendah diri karena berasal dari keluarga yang jauh lebih miskin, berpendidikan jauh lebih rendah, penghasilan lebih kecil. Bisa juga karena si istri merupakan sosok yang sangat terkenal, sedangkan suami bukan apa-apa. Sikap takut bisa berasal dari si suami yang merasa kalah segala-galanya. Ketakutan suami pun bisa muncul karena perbedaan ras dan suku. Berbeda dengan istri yang terbiasa hidup di suku dan lingkungan yang keras. Kata-kata yang keluar pun seringkali ketus, kasar, atau menghujat. Ketika si suami bertemu dengan model istri seperti ini, mungkin saja dia akan merasa takut bila berhadapan dengan istrinya. Saat ini di masyarakat sudah terjadi banyak pergeseran nilai. Bila dahulu hanya suami yang mencari nafkah, kini istri pun sah saja bekerja di luar rumah. Tujuannya agar beban ekonomi keluarga bisa

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(19)

8

ditanggung berdua, sehingga rasanya jadi lebih ringan. Bila pada kenyataannya istri lebih sukses dalam berkarier, bisa jadi suami merasa rendah diri.

(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri) Kisah suami takut istri ternyata tidak hanya digambarkan ada dalam cerita sinetron. Nyatanya secara jamak, kisah ini juga marak terjadi di sekitar kita. Peran istri yang lebih dominan, berhasil menguasai suami yang submisif. Rumah yang diharapkan penuh kedamaian, tak lagi jadi tempat yang meneduhkan. Dalam siklus keluarga, hubungan setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat mendominasi satu dengan yang lain. Namun semua tergantung pada pribadi masing-masing, jika satu lebih kuat dan mendominasi, bukan tidak mungkin pihak lain akan kalah. Faktor yang terus tumbuh subur dalam satu keluarga inilah yang kemudian memicu timbulnya bibit-bibit baru yang juga turut mendominasi. Bukan tanpa alasan, sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dan kini semakin bergeser karena emansipasi, membuat suami seakan rela mengalah posisinya yang dulu dominan kini direbut istri. Berkat emansipasi semakin menyadarkan wanita agar ia harus bisa setara dan tidak dilecehkan kaum pria. Pihak yang dominan biasanya akan suka mendikte, padahal di dalam sebuah pernikahan, posisi suami istri harus setara dan saling mengisi. Sayangnya sifat mendominasi ini cenderung akhirnya menyebabkan pihak yang tertekan terpaksa mengalah, meski setengah hati menolak.

(http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/detail.aspx?x=love&y=cyberwo man0091181).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(20)

9

Emansipasi yang sebenarnya adalah bentuk pemberian hak kepada wanita untuk mengembangkan diri dan kemahiran profesional agar bisa bergandeng bahu dengan lelaki dalam pembangunan negara. Tidak ada maksud negatif yang tersembunyi dibalik gerakan emansipasi. Jikapun ada, itu kembali ke niat orang atau kumpulan yang memperjuangkannya dan apa latar belakang yang memotivasinya. Emansipasi juga tidak menyeru perempuan untuk membangkang dari ayahnya, walinya, orang tuanya, dan suaminya (http://ppium.wordpress.com/2012/04/).

Pada para wanita dengan pemikiran dan pemahaman yang keliru dalam memaknai arti emansipasi membuat para wanita akhirnya bertindak dominan pada suami dan mengganggap perilaku yang dominan tersebut adalah hal yang benar sebagai bagian dari tindakan emansipasi. Dominasi terhadap patriarki mengakibatkan bergesernya sedikit demi sedikit konsep patriarki yang sudah mengakar kuat sekian lama. Menurut mereka, sistem patriarki dapat diruntuhkan dengan menonjolkan kualitas feminin. Dengan cara inilah, sistem patriarki yang membuat peran pria dominan dapat diubah menjadi sistem matriarki yang lebih egaliter dan berkeadilan. Egalitarianisme matriarki adalah jawaban atas dominasi patriarki. Kelompok ini memang telah mendorong banyaknya wanita masuk ke dalam dunia maskulin, sehingga banyak wanita yang berhasil menempati posisi strategis di sektor publik.

Matriarki merupakan suatu bentuk masyarakat dalam mana ibu dijadikan pemimpin dan bertindak sebagai garis keturunan perempuan. Secara ideologis, matriarki mengasumsikan bahwa kekuatan perempuan dan kasih ibu

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(21)

10

merupakan kekuatan yang kohesif secara sosial. Dalam pandangan feminis, matriarki juga dicirikan dengan kedamaian, keselamatan dan kebersamaan.

Selain beberapa hal diatas, ketertarikan peneliti terhadap lirik lagu tersebut juga didasarkan pada unsur metafora yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau persamaan (Sobur, 2003 : 155). Penampilan sebuah lirik lagu tidak hanya menyajikan kata-kata sederhana yang hanya melengkapi. Efektifitasnya tidak terletak pada teks yang lekat bersama lirik lagu itu sendiri. Lirik lagu itu sendiri akan terbukti bahwa ia mampu berperan positif terhadap objek yang dimaksud. Itulah sebabnya mengapa lirik lagu dapat dikatakan sebagai sebuah sarana fungsi komunikasi verbal. Persepsi di kalangan masyarakat yang dibentuk oleh lirik lagu tersebut dapat memberikan dukungan atau sebaliknya, dapat memberikan cemoohan serta antisipasi terhadap subjek ataupun objek tertentu.

Sangat dibutuhkan pengetahuan dan wawasan dalam melakukan intrepretasi terhadap sebuah lirik lagu musik tersebut supaya sesuai dengan konteksnya, sehingga mendapatkan pemahaman yang menyeluruh terhadap pesan yang disampaikan.

Dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” menggambarkan seorang suami atau pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) yang selalu ketakutan terhadap istri (wanita yang telah bersuami). Suami tersebut muncul sebagai sosok yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa (tidak berperan sebagai suami atau kepala keluarga sebagaimana mestinya), sedang istrinya muncul sebagai sosok yang menguasai dan memegang kendali atas

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(22)

11

suaminya. Seorang suami pada hakekatnya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berkeluarga, yaitu memberikan bimbingan, wibawa, pengambil keputusan dan menjadi panutan sebagai kepala keluarga kepada istrinya, namun yang terjadi sebaliknya.. Arti kata “Sieun” dalam judul lagu “Suami Sieun Istri” dalam kamus bahasa Sunda adalah “takut”, jadi arti kata “Suami Sieun Istri” adalah “Suami takut Istri”. Contoh beberapa penggal lirik lagu “Suami Sieun Istri” adalah :

Picingkan mata, cari aman saja

Kalo membangkang, urusan bakal panjang

Dalam penggalan lirik lagu diatas adalah ketakutan seorang suami, terhadap istrinya dalam kehidupan berumah tangga yang secara eksplisit telah nampak dalam lirik lagu tersebut. Namun tidak berhenti hanya pada makna eksplisit, peneliti bermaksud melihat makna implisit dalam pemaknaan pada lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”. Dimana dalam lirik lagu tersebut suatu cerminan dari suatu realitas yang munculnya wanita (istri) yang mendominasi, memegang kendali atas suaminya. Melalui lirik lagu “Susis”, peneliti melihat adanya tindakan menyimpang dari istri terhadap suami, yang merupakan suatu bentuk kontramitos istri dari budaya patriarki. perilaku tersebut bila diterima dan sebagai pembelajaran baru bagi wanita lain secara luas, maka akan menimbulkan bergesernya sedikit demi sedikit budaya patriarki menjadi matriarki dalam proses alih budaya atau cultural transmission dalam kurun waktu perlahan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(23)

12

Hal yang dimaksudkan diatas adalah bila dalam proses peralihan budaya dari patriarki ke matriarki ternyata para wanita yang dominan dalam pergaulannya mempengaruhi wanita lain yang awalnya tidak dominan menjadi dominan, dan bila kebiasaan tersebut akhirnya diikuti dan ditiru oleh banyak wanita yang lain dan diterima sebagai suatu kebiasaan yang baru dalam kelompok dan latar belakang dengan motivasi tertentu. Pada akhirnya budaya tersebut sedikit demi sedikit merembet kemudian meluas dan mulai menggeser konsep patriarki yang telah lama mengakar kuat di Indonesia, sangat dimungkinkan muncul kebudayaan baru yang disertai mitos yang baru pula.

Saat ini, tindakan istri yang mendominasi, mengendalikan, menguasai suami sehingga suaminya menjadi takut terhadap istri dalam kehidupan berumah tangga dianggap sebagai perilaku yang menyimpang terutama bila dilihat dari sudut pandang patriarki. Menurut James W.Van der Zanden ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat tertentu.

Bila dihubungkan dengan hakekat agama, peran sosial, nilai sosial, norma sosial, juga pandangan masyarakat pada umumnya, tidak sepantasnya pihak istri menjadi sosok dominan, mengendalikan, menguasai dan ditakuti oleh suaminya.

Menurut Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA., lebih melihat persoalan itu sebagai tidak adanya kesetaraan hubungan antara suami dan istri. Menurutnya, ketakutan suami terhadap istri akan terlihat dari

ungkapan-Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(24)

13

ungkapannya, seperti, "Aku harus menunggu istriku, karena kalau aku yang memutuskan, takut salah." Rasa takut membuat suami tidak berani mengambil keputusan sendiri, tidak punya ide, selalu menunggu istri, takut dimarahi istri, tidak berani mengungkapkan alasan, dan sebagainya.(http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Bila-Suami-Takut-Istri).

Dengan adanya pemaknaan lirik lagu “Susis” memberikan pesan moril yang baik dan suatu pembelajaran, semoga adanya lirik lagu tersebut dapat berdampak positif bagi pelaku maupun yang bukan pelakunya untuk memberikan kesadaran terhadap perannya masing-masing dalam kehidupan berumah tangga, supaya saling menghormati baik antara istri maupun suami. bertindak dengan hakekat dan kodrat selain sesuai aturan agama yang diyakini. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui adanya proses alih budaya atau pergeseran dari konsep patriarki ke konsep matriarki, tersirat adanya kontramitos yang berwujud penyimpangan perilaku istri (dominan dan menguasai suami) yang mengakibatkan suami takut terhadap istri dalam lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes karena menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi yang dialami dan diharapkan penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of Signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(25)

14

sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan oleh Sule?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)”.

1.4Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan serta pemahaman studi komunikasi mengenai analisis semiologi pada lirik lagu.

2. Manfaat Praktis

Membantu pembaca dan penikmat musik dalam memahami dan pemaknaan lirik lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” yang dipopulerkan Sule dan diharapkan dapat menjadi kerangka acuan bagi pencipta musik agar semakin kreatif dalam menggambarkan lirik lagu.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Musik sebagai Media Komunikasi

Pada dasarnya musik dan lagu juga merupakan kegiatan

komunikasi, karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si

pencipta lagu kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam

sebuah lagu merupakan representasi dari pikiran atau perasaan dari si

pencipta lagu sebagai orang yang mengirim pesan terhadap fenomena dan

realita sosial yang terjadi diluar diri si pencipta lagu. Artinya bahwa pesan

tersebut bersumber dari pola pikirnya serta frame of reference dan field of

experience yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial.

Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang

menarik diantara budaya – budaya manusia yang lain. Dari sisi psikologis

humanistis, musik dan lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan

manusia dalam hasrat akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut

sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu

diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat

menguntungkan (Rahmat, 1993 :19).

Musik diartikan sebagai suatu ungkapan perasaan yang

dituangkan dalam bentuk bunyi-bunyian atau suara. Ungkapan yang

(27)

16

dikeluarkan melalui bunyi alat musik disebut instrumental (Subagyo,

2006:4).

Perjalanan proses berkarya seni musik setiap seniman memiliki

keunikan yang berbeda-beda. Untuk menciptakan karya musik dipengaruhi

oleh beberapa hal seperti latar belakang seniman, lingkungan, pengetahuan

serta pengalamannya. Selain itu juga untuk memunculkan ide perlu adanya

renungan, pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungan sekitar

(Subagyo, 2006:27).

2.1.2 Gender

Kata “Gender” berasal dari Bahasa Inggris, berarti jenis

kelamin. Gender yaitu perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan

apabila dilihat dari tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia

dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultura, berupaya membuat

perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional

antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary

M. Lips dalam bukunya Sex and Gender : an introduction mengartikan

gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan

(Cultural Expectation for Women and Men). Misalnya perempuan dikenal

dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki

dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan

sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut,

(28)

17

itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain

(Fakih, 1999 : 8-9).

Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir

dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan

(West, Candance and Zimmerman, Don. 1987.”Doing Gender”. Gender and

Society), sesuatu yang kita tampilkan (Judith Butler.1990.Gender Trouble :

Feminism and Subversion of Identity. New York and London Routledge).

(sugihastuti, 2007 :4).

Menurut Morris gender sebagai pembedaan perempuan dan

laki-laki berdasarkan social construction tercermin dalam kehidupan sosial

yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasikan dan diasuh secara

berbeda denga laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya ekspektasi sosial yang

berbeda terhadap anak perempuan dan laki-laki. Sejak dini anak perempuan

disosialisasi bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan

bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif,

mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap

perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki (Sihite, 2007:230).

Hendy Shri Ahimsa Putra (2000) dalam Mufidah (2003 : 3-6),

menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa

pengertian berikut ini :

1. Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu

Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak

(29)

18

menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang yang pernah

mendengar istilah tersebut. Sering orang berpandangan bahwa perbedaan

gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian

yang keliru. Jika hal itu terjadi maka diskusi yang berlangsung tidak akan

membawa manfaat.

2. Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya

Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik

yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa

mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari

suatu kenyataan yang jelas. Bahkan kehidupan di muka bumi tidak akan

dapat bertahan karena tidak ada lagi fungsi reproduksi perempuan, jika itu

pun melalui rekayasa. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan

kontekstual. Gender yang dikenal orang Bali berbeda dengan yang dikenal di

daerah Minang, berbeda pula di masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan

konstruksi sosial budaya yan membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya.

3. Gender sebagai suatu kesadaran sosial

Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu

diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial. Pembedaan seks

di masyarakat merupakan konstruksi sosial. Dari sini masyarakat mulai

menyadari bahwa perbedaan tersebut produk sejarah dan kontak warga

masyarakat dengan komunitasnya. Manusia kemudian menyadari bahwa ada

banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini menjadi lebih baik, harmonis

(30)

19

unggul dan terjadi dominasi jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin

lainnya. Disinilah gender menjadi persoalan sosial budaya.

4. Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya

Fenomena perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya

bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi

bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, dimana jenis kelamin tertentu

memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. Untuk

menghapus ketidakadilan gender tersebut, tidak akan berarti tanpa

membongkar akar permasalahan yang ada, yaitu pembedaan atas dasar seks.

Dalam term ini, perjuangan terhadap ketidakadilan gender tidak hanya

menyentuh persoalan praktis, tetapi telah memasuki wilayah filosofi dan

agama.

5. Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis

Dalam ilmu sosial, definisi gender tidak lepas dari

asumsi-asumsi dasar yang ada pada sebuah paradigma, dimana konsep analisis

merupakan salah satu komponennya. Asumsi-asumsi dasar itu umumnya,

merupakan pandangan-pandangan filosofi dan juga ideologis. Gender sebagai

suatu konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang

ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya.

6. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan

Dalam tema ini, gender menjadi sebuah paradigma atau

kerangka teori lengkap dengan asumsi dasar, model dan konsep-konsepnya.

(31)

20

pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial

budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya.

2.1.3 Patriarki

Masyarakat Indonesia masih menganut budaya patriarki di

berbagai daerah, terutama di daerah pedesaan. Budaya patriarki merupakan

budaya dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam

budaya ini, ada perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan

lelaki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga

(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Janda%2C+Stigma+

dan+Budaya+Patriarki&dn=20110605083817).

Ideologi patriarki melestarikan wujud kekuasaan dan dominasi

laki-laki yang terealisasi dalam berbagai tatanan sosial termasuk dalam

keluarga. Ideologi patriarki mencirikan bahwa laki-laki merupakan kepala

rumah tangga, pencari nafkah (bread winner) yang terlihat dalam pekerjaan

produktif di luar rumah maupun sebagai penerus keturunan (Sihite, 2007

:231).

Menurut Millet (1972: 26), ideologi patriarki disosialisasikan

ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen

psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar

pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan

kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas,

(32)

21

tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif

merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role, merupakan

komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin.

Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga

terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik

(domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang

merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan

perempuan inferior.

Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman (2002: 16),

sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang

menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan

baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara.

Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku,

status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang

kemudian menjadi hirarki gender.

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap

sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang

perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara.

Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa

masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior).

(33)

22

2.1.4 Definisi “Susis (Suami Sieun Istri)”

Dalam judul lagu “Susis” yang merupakan singkatan dari kata

“Suami Sieun Istri,” terdapat tiga kata yang perlu untuk didefinisikan oleh

peneliti, yaitu : “suami”, “sieun”, dan “istri”.

Menurut kamus Bahasa Indonesia arti kata suami adalah pria

yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) sedangkan arti

kata istri adalah wanita (perempuan) yg telah menikah atau yg bersuami

(http://www.artikata.com/arti-331193-istri.html).

Dalam kehidupan rumah tangga, menurut Chaniago (2002)

Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai

suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suami

mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan

hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam

berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga.

Tanggung jawab seorang suami tidak sekedar memberi nafkah

kepada istrinya. Menurut Thalib (1995) tugas, fungsi dan posisi suami

ditetapkan sebagai orang yang mengatur, mendidik, meluruskan masalah

yang terjadi dalam rumah tangga dan memberi komando dalam rumah

tangganya. Jadi, seorang suami bertanggung jawab atas pemenuhan materi

dan kehidupan istri. Menghayati norma tanggung jawab suami terhadap istri

merupakan kunci untuk dapat membangun perkawinan yang penuh dengan

(34)

23

Sedangkan untuk seorang wanita (istri) sejak dini wanita

disosialisasikan bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif dan

bukan pengambil keputusan. Kontrol sosial terhadap wanita jauh lebih ketat

dibandingkan laki-laki. Apabila seorang istri melakukan perannya dengan

benar maka dapat dipastikan kesuksesan suami dalam pekerjaan dan

peranan dalam kehidupan sosial, sangat dipengaruhi oleh istrinya, dari

sinilah munculnya kutipan terkenal “Behind Every Great Man There’s A

Great Woman”.

(http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/10/ibu-rumah-tangga-puncak-prestasi-karier-seorang-wanita/).

Jika Suami dan istri menjalankan peranannya masing-masing

sesuai kapasitasnya, maka akan tercipta hubungan keluarga yang harmonis,

tetapi Fenomena yang dituangkan dalam lirik lagu Sule dalam judul lagu

Susis (Suami Sieun Istri) memiliki makna sebaliknya yang menunjukkan

tindakan istri yang mendominasi dan menguasai suami. Arti kata “Sieun”

dalam judul lagu “Suami Sieun Istri” dalam kamus bahasa Sunda adalah

“takut”, jadi arti kata “Suami Sieun Istri” adalah “Suami takut Istri”.

Menurut kamus Bahasa Indonesia definisi kata takut adalah merasa cemas

dan gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yg dianggap akan mendatangkan

bencana.

Rasa takut merupakan reaksi manusiawi yang secara biologis

merupakan mekanisme perlindungan bagi seseorang pada saat menghadapi

bahaya. Ketakutanadalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi

(35)

24

tertentu. Ketakutan biasa disebut dengan tanda peringatan terhadap hidup,

peringatan agar berhenti, melihat atau mendengarkan.

Setiap manusia dihadapkan pada peringatan serta ancaman

yang sangat menuntut perhatian. Rasa takut betul-betul memperlambat dan

mengendalikan sejumlah besar emosi psikosomatis. Salah satu tujuan dari

pengendalian adalah untuk membantu seseorang untuk menghindarkan diri

dari bahaya dan

mengatasinya(http://www.duniapsikologi.com/rasa-takut-apakah-anda-phobia/).

2.1.5 Lirik Lagu

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat

menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial

yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk

sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu,

ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga

mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya keyakinan,

nilai – nilai bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).

Termasuk realitas sosial yang menggambarkan masyarakat

yang melakukan perilaku menyimpang sebagai suatu tindakan kontramitos.

Yaitu fenomena istri yang mendominasi, mengendalikan dan menguasai

suami, seharusnya masing –masing peran baik suami maupun istri bertindak

(36)

25

menghormati dan saling mengasihi untuk keharmonisan kehidupan berumah

tangga.

Sejalan dengan pendapat Soerjono dalam Rachmawati

(2000 :1) yang menyatakan :

Musik berkaitan erat dengan setting sosial

kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala yang khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai wadah individu maupun ekelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.

Berdasarkan kutipan diatas sebuah lirik lagu dapat berkaitan

erat dengan realitas soasial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung

dalam masyarakat. Lirik lagu memiliki kedudukan yang penting dalam

sebuah lagu. Lagu merupakan suatu alat penyampaian pesan dari si pencipta

lagu kepada khalayak.

Teks atau lirik sendiri definisikan oleh Roland Barthes

“Bukanlah sebaris kata-kata, melainkan sebuah jaringan unsur kebudayaan”.

Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian

terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu

mulai diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak, lirik lagu tersebut

mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah

(37)

26

musik merupakan bagian dari suatu budaya manusia, tidak terpisahkan

selama hidup manusia, dari lahir hingga akhir hayat, musik menyentuh

segala lapisan sosial dari bawah hingga atas. Mantle Hood, seorang pelopor

ethnomusiclogy dari USA memberikan definisi tentang Ethnomusicology

sebagai studi musik dari segi sosial dan kebudayaan (Bandem, 1981).

2.1.6 Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang adalah apabila tidak sesuai dengan

nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Menurut kajian

sosiologi, penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku

tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Berikut

beberapa teori yang menyatakan bahwa penyimpangan adalah perilaku yang

didefinisikan secara sosial :

1. Menurut Korblum

Penyimpangan tidak hanya dapat dikategorikan kepada

individu atau masyarakat dengan kategori deviance (penyimpangan) dan

deviant (penyimpang), tetapi akan dijumpai pula yang disebut dengan

institusi menyimpang atau Deviant Institution.

2. Menurut James W.Van der Zanden

Menurut Zanden, penyimpangan perilaku merupakan tindakan

yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar

(38)

27

atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran

norma dan nilai sosial suatu masyarakat tertentu.

3. Menurut Robert M.Z. Lawang

Menurut Lawang, perilaku menyimpang adalah norma

tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu

sistem sosial. Perilaku tersebut menurut lawang menimbulkan usaha dari

mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaikinya (Kun

Maryati dan Juju Suryawati dalam sosiologi, 2006 : 121-122).

Menurut Dr. Arief Budiman, Ph.D seorang sosiolog pengkritik

nasionalisme (2009:134), Relativitas perilaku menyimpang, juga dapat

terjadi karena situasi dan kondisi. Sesuatu yang dahulu di anggap tidak

layak, sekarang dapat dianggap layak.Misalnya, pada zaman dahulu wanita

Indonesia (pribumi) dinilai tidak pantas mengenakan celana seperti

laki-laki. Mereka harus mengenakan kain dan kebaya. Akan tetapi, sekarang hal

itu sudah tidak berlaku lagi. Relativitas nilai sosial dipengaruhi pula oleh

tempat atau lingkungan sosial budaya.

Antara masyarakat desa dan kota mungkin memiliki nilai dan

norma yang berbeda pula. Masyarakat desa mempertahankan tradisi

turun-temurun dari nenek moyang. Orang desa yang meninggalkan tradisi di

desanya dianggap tidak layak atau menyimpang. Akan tetapi, masyarakat

kota menganut nilai keterbukaan, sehingga cepat menyesuaikan diri dengan

(39)

28

Perubahan di berbagai penjuru dunia cepat mempengaruhi perilaku

orang-orang kota, apalagi dengan dibantu oleh sarana teknologi komunikasi yang

seolah telah menghilangkan batas ruang dan waktu.

2.1.7 Sumber Penyimpangan

Edward H. Sutherland

Suherland mengemukakan sebuah teori yang

dinamakan differential association. Menurutnya, penyimpangan bersumber

pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih

(cultutal transmission). Melalui proses belajar ini, seseorang mempelajari

suatu budaya yang menyimpang.

Edwin M.Lemert

Lemert menamakan teorinya (Labelling Theory). Menurutnya,

seseorang menjadi penyimpang karena adanya proses labelling (pemberian

julukan, cap, etiket atau merek) yang diberikan masyarakat kepadanya.

Proses Labelling ini bisa membuat seseorang yang tadinya tidak memiliki

kebiasaan menyimpang menjadi terbiasa. Lebih jauh Lemert membagi

perilaku menyimpang ke dalam dua bentuk yaitu :

a. Penyimpangan Primer (Primary Deviation), yaitu perbuatan menyimpang

yang dilakukan seseorang namun sang pelaku masih dapat diterima secara

sosial. Ciri penyimpangan primer adalah sifatnya sementara, tidak terulang,

dan dapat ditolerir masyarakat.

b. Penyimpangan Sekunder (Secondary Deviation), yaitu perbuatan yang

(40)

29

perilaku menyimpang. Penyimpangan demikian bisa dilakukan secara

individu maupun kelompok. Masyarakat pada umumnya tidak bisa

menerima dan tidak menginginkan orang-orang semacam ini berada dalam

lingkungannya. (Kun Maryati dan Juju Suryawati dalam sosiologi,

2006 :122).

2.1.8 Sifat-Sifat Perilaku Menyimpang

Secara umum terdapat dua sifat penyimpangan, yaitu

penyimpangan yang bersifat positif dan penyimpangan yang bersifat

negatif:

1. Penyimpangan yang bersifat positif

Penyimpangan yang bersifat positif adalah penyimpangan

yang mempunyai dampak positif terhadap sistem sosial karena

mengandung unsur inovatif, kreatif dan memperkaya alternatif.

Penyimpangan demikian umumnya dapat diterima masyarakat karena

sesuai dengan perubahan zaman.

Menurut Dr. Arief Budiman, Ph.D seorang sosiolog

pengkritik nasionalisme (2009:134), perilaku menyimpang tidak selalu

berdampak negatif. Penyimpangan dalam bentuk pemberontakan terhadap

nilai-nilai yang sudah mapan kadang-kadang melahirkan

pemikiran-pemikiran baru. Misalnya, R.A. Kartini memelopori penerobosan

nilai-nilai kehidupan yang dia rasa tidak adil bagi kaumnya, sehingga lahirlah

(41)

30

saat itu mendukung pengekangan terhadap kaum wanita. Biasanya

penyimpangan seperti itu mendapat tentangan dari masyarakat namun

ketika „pemberontakan‟ itu dirasakan ada manfaatnya, lama-kelamaan

diterima dan menjadi nilai dan norma baru. Tidak semua pemberontakan

melahirkan pahlawan-pahlawan seperti R.A. Kartini. Tetapi, selalu

ada orang atau sekelompok orang yang mendobrak nilai-nilai yang sudah

mapan.

2. Penyimpangan yang bersifat negatif

Dalam penyimpangan yang bersifat negatif, pelaku bertindak

ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang berakibat buruk serta

mengganggu sistem sosial. Tindakan dan pelakunya akan dicela atau

dicemooh dan tidak diterima oleh masyarakat.

Menurut Hera Farina (Anggota DPRD Partai Demokrat di

Banjarmasin) sehubungan dengan hari Kartini 21 April 2012 ini.

Ia mencontohkan bentuk emansipasi yang berlebih-lebihan atau

melampaui kodrat seorang kaum hawa, “Sikap seorang wanita yang mau

mengatasi atau mengendalikan suami selaku kepala rumah tangga, itu

keliru. Wanita Indonesia patut bersyukur bisa berkarir serta melanjutkan

pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, atas perjuangan RA. Kartini

bersama kawan-kawan pejuang wanita lainnya seperti Tjut Nyak Dien

(Aceh), Dewi Sartika (Jawa Barat), dan Maria Walanda Maramis

(Sulawesi Utara)”.

(42)

31

Bila dihubungkan dengan bab 4 yaitu pembahasan analisis lirik

lagu “Susis (Suami Sieun Istri)” terjadi suatu perilaku menyimpang itu

sendiri, pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri)

menjadi sosok yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa dalam

perannya sebagai kepala keluarga terhadap istri, sedangkan Istri menjadi

pemegang kekuasaan dan memegang kendali atas suaminya dalam

perannya di kehidupan berumah tangga. Perilaku tersebut termasuk

penyimpangan negatif, pelaku bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang

dipandang berakibat buruk serta mengganggu sistem dan nilai sosial

masyarakat pada umumnya, dimana seorang istrinya tidak seharusnya

memegang kendali atas suaminya. Tindakan dan pelakunya akan dicela

atau dicemooh dan tidak diterima oleh masyarakat, apalagi budaya

patriarki di Indonesia masih mengakar kuat selama ini.

2.1.9 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir

struktualis yang getol mempraktekkan model linguistik dan semiologi

Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama,

ekspones penerapan struktualisme dan semiotika pada studi sastra

menyebutkan sebagai tokoh yang memainkan peranan central dalam

struktualisme tahun 1960-1970 an. Barthes berpendapat bahasa adalah

sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu

(43)

32

dalam Writing Degree Zero 1953 terjemahan Bahasa Inggris tahun 1977

dan Critical Essays 1964 terjemahan Bahasa Inggris 1972

(Sobur,2004:63).

Sedangkan pendekatan karya struktualis memberikan perhatian

terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna.

Struktualisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus

memperhatikan struktur karya atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika

didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003:11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat

berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh

seorang semiokus dalam mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya.

Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan

secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001 : 156). Didalam

semiologi, seseorang diberikan kebebasan dalam memaknai sebuah tanda.

Dalam pengkajian tekstual, Barthes menggunakan analisis

naratif struktual yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara

metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut

linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai

semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif

struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan

diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu

karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan

(44)

33

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya

tentang tanda adalah peran pembaca konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara

panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan

tataran kedua yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya

(Sobur, 2004:68-69).

Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tatanan

kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem pertama. Sistem kedua

ini oleh Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologiesnya secara

tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tatanan pertama

Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda.

1. Signifier

(Penanda) 2. (Petanda) Signified

3. Denotative (Tanda Denotatif) 4. Connotative Signifier (Penanda

Konotatif) 5. (Petanda Konotatif) Connotative Signified

5. Connotative Sign(Tanda Konotatif)

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansa, 1999 dalam Alex Sobur, 2004 : 69

Gambar 2.1.1 Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3)

terdiri atas penanda (1) dan petanda (2), akan tetapi pada saat bersamaan

tanda denotatif adalah juga petanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal

tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda

“singa” barulah konotatif seperti harga diri, kegarangan dan keberanian

(45)

34

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya

sekedar memiliki makna tambahan. Namun, juga mengandung makna

kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.

Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi

penyempurnaan semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada tatanan

denotatif.

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi

dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang

dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya

dimengerti sebagai makna harfiah, makna “sesungguhnya”, bahkan kadang

kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses Signifikasi yang

secara tradisional disebut juga sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada

penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.

Akan tetapi, didalam semiologi Roland Bathes dan para

pengikutnya, denotasi merupakan sistem Signifikasi tingkat pertama

sementara, sementara konotatif merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini

denotasi justru lebih disosialisasikan dengan ketertutupan makna dan

demikian, sensor atau represi politis, sebagai reaksi yang paling ekstrim

melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba

menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi

semata-mata.

Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap

(46)

35

merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22 dalam Sobur,

2004:0-71). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi

ideology yang disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk

mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan

yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001 :28 dalam

Sobur, 2004:1). Didalamnya mitos juga terdapat pola tiga dimensi,

penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos

dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tatanan kedua. Didalam mitos pula

petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya

terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam

bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk-bentuk-bentuk tersebut

(Sobur,2004:71).

Menurut Barthes (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu

bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau

“coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa

apa yang dikatakan, apa yang didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca.

Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi petanda adalah

aspek mental dari bahasa. Yang haus diperhatikan adalah bahwa dalam

tanda bahasa yang kongkret kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan.

Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi Signifier (penanda) dan Signified

(petanda). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena

itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin

(47)

36

ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan

suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan, seperti dua sisi

dari sehelai kertas” (Sobur, 2004:46). Setiap tanda kebahasaan, menurut

Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara

(sound image), bukan menyatakan sesuatu sebagai nama. Suara yang

muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier),

sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat

dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan “kata” tersebut

Sobur,2004 :47).

Semiologi Roland Barthes tersusun tingkatan-tingkatan sistem

bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa,

bahasa pada tingkat pertama sebagai objek dan bahasa pada tingkatan

kedua yang disebut metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda

yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru

nada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda yang pertama kadang disebutnya

sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes

terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan,

2001:115).

Tatanan penandaan pertama adalah landasan kerja Saussure,

tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda didalam

tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal.

Barthes menyebutkan tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada

(48)

37

keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jala mendenotasi jalan

pertokoan yang membentang diantara bangunan (Fiske, 2006 :118).

Denotasi menurut Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama,

dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur,2004:70).

Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan

satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas

bahasa-bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai

petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, di luar alam deskriptif.

Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial

dalam hal pesan literatur memberikan dukungan bagi makna kedua dari

sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum (Kurniawan,

2001:68).

Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah

melalui mitos. Mitos biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu

keliru, namun pemakaiannya yang biasa itu adalah bagi penggunaan oleh

orang tak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang

percaya dalam artian orisonal.

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive

berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk.

Mitos kita yang lebih bertaktik-taktik adalah tentang maskulinitas dan

feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi

Gambar

Gambar 2.1.1 Peta Tanda Roland Barthes
Gambar 2.1.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes
Gambar 4.2 Peta Roland Barthes
Gambar 4.2.1 Peta Roland Barthes bait 1 kalimat 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sumber-sumber yang digunakan adalah: (1) Sumber benda yang berupa areal situs Biting yang di dalamnya terdapat bangunan benteng, makan Menak Koncar, bekas

Untuk variasi jumlah lapis anyaman bambu, peningkatan daya dukung paling efektif terjadi pada penambahan jumlah lapis dari 2 lapis ke 3 lapis dengan jarak

1). Kurangnya komunikasi dan tanggungjawab karyawan perusahaan, terutama pada bagian pengangkutan dan kurir terhadap dokumen / barang yang dikirim, sehingga terjadi

Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada narapidana di rumah tahanan Negara klas II B Purbalingga.. Alat pengumpul data

Redaksi jmal kinetika Mdguupk& lenma Kasin atcs p&tisipasinya naskah dai pcnulis. l,6giri6d aftlkel s6ta korespodensi dapol

"Pada hari ketujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hiyang bertolak dari Minanga sambil membawa dua laksa tentara dengan perbekalan sebanyak dua ratus (peti) berjalan

kondisi tersebut dapat menunjukkan bahwa PKL mengalami stres.. dimana beban yang dirasakan tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi. beban itu. Dari kondisi tersebut