PERANAN ANGKATAN LAUT REPUBLIK INDONESIA (ALRI)
DALAM OPERASI PEMBEBASAN IRIAN BARAT TAHUN 1961-1963
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
Maya Nurhasni
0906897
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
PERANAN ANGKATAN LAUT REPUBLIK INDONESIA (ALRI)
DALAM OPERASI PEMBEBASAN IRIAN BARAT TAHUN 1961-1963
Oleh Maya Nurhasni
Sebuah Skripsi yang Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
© Maya Nurhasni
Universitas Pendidikan Indonesia Oktober 2013
.
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
MAYA NURHASNI
PERANAN ANGKATAN LAUT REPUBLIK INDONESIA (ALRI)
DALAM OPERASI PEMBEBASAN IRIAN BARAT TAHUN 1961-1963
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH
PEMBIMBING :
Pembimbing I
Wawan Darmawan, S.Pd, M.Hum
NIP.19710101 199903 1 002
Pembimbing II
Moch. Eryk Kamsori, S.Pd
NIP.19690430 199802 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah
Prof.Dr.H.Dadang Supardan, M.Pd
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... .7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Struktur Organisasi ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS ... 10
2.1 Kajian Pustaka ... 11
2.1.1 Negara dan Kedaulatan ... 11
2.1.2 Elemen Kekuatan Negara ... 16
2.2 Landasan Teoretis ... 20
2.2.1 Teori Konflik ... 21
2.2.2 Teori Perang dan Diplomasi Negara ... 26
2.2.2.1 Teori Perang ... 26
2.2.2.2 Teori Diplomasi Negara ... 29
2.2.3 Teori Trinitas Angkatan Laut ... 31
BAB III METODE PENELITIAN... 34
3.1 Persiapan Penelitian ... 36
3.1.1 Pemilihan Topik Penelitian ... 36
3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian... 37
3.1.4 Mempersiapkan Perlengkapan Penelitian ... 39
3.1.5 Proses Bimbingan ... 39
3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 40
3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 40
3.2.2 Verifikasi (Kritik Sejarah) ... 44
3.2.3 Interpretasi (Penafsiran Sumber) ... 49
3.3 Penulisan (Laporan Hasil Penelitian ... 50
BAB IV PERJUANGAN ANGKATAN LAUT REPUBLIK INDONESIA (ALRI) DALAM PEMBEBASAN IRIAN BARAT ... 53
4.1 Latar Belakang Permasalahan Irian Barat ...53
4.1.1 Kondisi Fisik Irian Barat ... 53
4.1.2 Status Irian Barat Bagi Indonesia dan Belanda ... 56
4.1.3 Meruncingnya Masalah Irian Barat... 60
4.2 Usaha-Usaha Penyelesaian Masalah Irian Barat ... 63
4.2.1 Perundingan Bilateral ... 63
4.2.2 Upaya Penyelesaian dalam Forum Internasional ... 64
4.2.3 Konfrontasi Awal dan Persiapan Militer ... 66
4.3 ALRI dalam Pelaksanaan Operasi Militer ... 69
4.3.1 Kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) ... 69
4.3.2 Artileri Kapal ALRI ... 71
4.3.3 Trikora dan Peristiwa Laut Aru ... 78
4.3.3.1 Tri Komando Rakyat (Trikora) ... 78
4.3.3.2 Peristiwa Laut Aru ... 81
4.3.4 Operasi Angkatan Laut dalam Komando Mandala ... 85
4.3.4.1 Konsep Operasi Mandala Komponen Angkatan Laut ... 86
4.3.4.2 Fase Show of Force ... 92
4.3.4.3 Fase Infiltrasi ... 93
4.3.4.4 Fase Eksploitasi (Operasi Jayawijaya) ... 97
4.4 Dampak Perjuangan ALRI Terhadap Penyelesaian Masalah Irian Barat ... 106
4.4.1 Persetujuan New York ... 106
4.4.3 Makna Operasi Laut dalam Konfrontasi Pembebasan Irian Barat ... 110
BAB IV KESIMPULAN ……... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 118
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 telah
menandai akhir Perang Dunia II. Dalam situasi demikian, tanggal 17 Agustus 1945
Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Berita tentang proklamasi kemerdekaan ini disebarkan ke seluruh Jawa dalam
beberapa jam oleh para pemuda Indonesia melalui kantor-kantor berita dan telegraf
Jepang (Reid, 1996: 15). Akan tetapi, pada kenyataannya proklamasi ini tidak
lantas memberikan sepenuhnya kebebasan bagi Indonesia. Pihak sekutu yang
menang pada Perang Dunia II bertugas melucuti tentara Jepang dan mengganti
pendudukannya di Indonesia dengan membentuk sebuah komando khusus yaitu
Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).
Sekutu hendak mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang pada
pemilik koloninya masing-masing ketika Jepang berhasil diusir dari daerah
pendudukannya. Tentu saja hal itu menjadi sebuah ancaman serius bagi bangsa
Indonesia yang baru melepaskan diri atas penjajahan Jepang. Ancaman semakin
nyata ketika pada tanggal 29 September 1945, tentara Sekutu mulai tiba di Jakarta
dengan memboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang hendak
menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia-Belanda dengan mempersenjatai
kembali KNIL (Koninklijk Netherlands-Indisch Leger). “Orang-orang NICA dan
KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan mengadakan provokasi” (Sudharmono, 1981: 45).
Pengakuan kedaulatan Indonesia menjadi sebuah topik penting yang mencuat
pasca datangnya kembali Belanda ke Indonesia. Pertentangan terus muncul dan
menciptakan berbagai kerusuhan serta peperangan dalam masa revolusi tahun
1945-1949. Selain melalui militer, permasalahan tersebut juga telah coba
diselesaikan melalui berbagai perundingan yang salah satunya adalah Konferensi
perundingan KMB, pada tanggal 27 Desember 1949 barulah resmi tercapai suatu
kesepakatan antara Belanda dan Indonesia yang ditandai dengan diadakannya
upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan baik di Indonesia maupun
di Belanda (Notosusanto, 1998: 39-44).
Diakuinya kedaulatan Indonesia dengan melalui persetujuan Konferensi Meja
Bundar nyatanya tidak begitu saja menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan
Belanda. Karena dalam perkembangan selanjutnya, pertentangan kedua negara
terjadi pada masalah pengakuan status wilayah Irian Barat. Meninjau dari masa
sebelumnya, sesungguhnya perdebatan tentang Irian Barat telah muncul jauh
sebelum pengakuan kedaulatan, yaitu ketika diadakannya Konferensi Denpasar
pada bulan Desember 1946. Konferensi Denpasar membicarakan tentang
pembentukan Negara Indonesia Timur, dimana dalam konferensi tersebut Van
Mook, pengusung politik federal ingin memisahkan wilayah Irian Barat dari
wilayah Indonesia Timur. Masalah ini ternyata terus hadir hingga berlangsungnya
Konferensi Meja Bundar. Sebagaimana yang diungkapkan Ridhani (2009: 10),
bahwa dalam KMB semua penyelesaian diatasi dengan penyerahan kedaulatan
sepenuhnya kepada Indonesia, kecuali Irian Barat. Menambahkan dari keterangan
Jenderal A.H. Nasution (1989: 77) bahwa lahirnya permasalahan Irian Barat ini
sebenarnya didasari oleh cita-cita Belanda, dimana ketika mereka harus
menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia, Belanda ingin memiliki satu propinsi
yang dikuasai oleh turunan Belanda. Sehingga pasca pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1945, Indonesia masih memiliki “pekerjaan rumah” yang besar yaitu dapat mempersatukan sepenuhnya Irian Barat dalam kedaulatan Republik
Indonesia.
Setelah melalui perdebatan panjang dalam KMB, akhirnya permasalahan
Irian Barat diputuskan untuk diselesaikan setahun kemudian. Dari keputusan
tersebut masih terdapat sebuah perbedaan yang besar, dimana bangsa Indonesia
beranggapan bahwa Irian Barat sudah menjadi bagian dari wilayah Indonesia dan
pihak Belanda hanya mempunyai kekuasaan sementara selama satu tahun atas
wilayah tersebut. Namun Belanda bersikukuh bahwa pengakuan kedaulatan atas
Berpegang teguh pada isi perjanjian KMB, bahwa masalah Irian Barat akan
diselesaikan dalam waktu satu tahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan
kepada Indonesia, permasalahan justru semakin berlarut-larut. Hingga tahun 1957
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan penyelesaian sengketa Irian Barat secara
damai, baik melalui perundingan bilateral ataupun melalui forum internasional
seperti PBB. Upaya tersebut tidak membuahkan hasil karena kedua belah pihak
bersikeras atas pendiriannya. Akibat terjadinya kegagalan-kegagalan tersebut,
muncul semangat anti Belanda yang semakin lama semakin meningkat dari rakyat
Indonesia. Maka ketika masalah Irian Barat terakhir kalinya diajukan dalam sidang
PBB tahun 1957 dan kembali gagal, terjadilah berbagai demonstrasi anti Belanda
dan tindakan-tindakan lain yang menjadi bakal konfrontasi di berbagai bidang
termasuk ekonomi, politik dan bahkan militer.
Pada tanggal 17 Agustus 1960 perjuangan pembebasan Irian Barat
dipertegas kembali dengan secara sepihak Pemerintah Indonesia memutuskan
hubungan diplomatiknya dengan Belanda. Keputusan ini sebagai dampak
ketegangan yang semakin meningkat pasca pengiriman kapal induk Karel Doorman
oleh Pemerintah Belanda guna memperkuat militernya di Irian Barat. Hal tersebut
tentu saja mengindikasikan bahwa jalan damai semakin menipis. Berdasarkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya, cara-cara diplomasi merupakan salah satu
cara yang terbaik, tetapi sifatnya tidak memberikan kepastian ke arah penyelesaian
secara tuntas. Sedangkan cara konfrontasi, pada saat itu dianggap menjadi solusi
tepat meskipun memakan korban jiwa dan harta benda tetapi lebih memberikan
jaminan dan kepastian memperoleh hasil daripada diplomasi semata (Ridhani,
2009: 28). Atas pertimbangan ini, maka tekad bangsa Indonesia untuk
mempersatukan wilayah Irian Barat memasuki babak baru, yaitu konfrontasi.
Pemerintah Indonesia mulai berupaya memberikan tekanan kepada Belanda
dengan kekuatan militer. Sejak tahun 1958 Presiden Soekarno memang telah mengemukakan “jalan lain” dalam menyelesaikan masalah Irian Barat sehingga timbul spekulasi dari Belanda yang menganggap bahwa hal itu hanya gertakan
belaka. Wajar jika mengingat keadaan dalam negeri yang saat itu tidak stabil, serta
dan Tradisi TNI, 2000:111). Tetapi Pemerintah Indonesia ternyata tidak main-main,
untuk memperkuat kemampuan militernya, Presiden memberikan instruksi untuk
mengadakan pembelian senjata. Blok barat yang menolak memberikan bantuan
senjata berat mengharuskan Indonesia untuk mendekati Uni Soviet. Misi ini
berhasil menandatangani kontrak pembelian senjata yang saat itu sering disebut
sebagai belanja Alutsista (alat utama sistem senjata) terbesar sepanjang sejarah
militer Indonesia terutama bagi Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Bagi
Angkatan Laut, Indonesia kemudian memiliki senjata-senjata beserta kapal-kapal
selam, kapal perusak, dan Kapal penjelajah (cruiser) RI Irian Barat
(Mangoensadjito, 1980 :117).
Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mencetuskan Tri
Komando Rakyat (Trikora) yang secara resmi membuka konfrontasi total terhadap
Belanda dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat. Pembentukan Komando
Mandala pada tanggal 2 Januari tahun 1962 berdasarkan SK no.1 tahun 1962 telah
menunjuk AD, AL, dan AU untuk membentuk sebuah unsur yang bersifat
gabungan (Jusuf, 1971: 170). Peristiwa pembebasan Irian Barat ini memang dapat
dikategorikan sebagai fase penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Soekarno (1963 : 8) dalam
amanatnya pada munas maritim ke-1:
“Ingat Perdjoangan kita memasukkan Irian kedalam kekuasaan Republik? Itupun satu blessing in disguise. Akibat dari perdjoangan itu, sekarang kita punja Angkatan Perang kuat, Angkatan Darat kita kuat, Angkatan Laut kita kuat, Angkatan Udara kita kuat, Angkatan Kepolisian kita kuat, sekarang Rakjat Indonesia laksana tergembleng mendjadi satu bangsa yang kuat.”
Dalam amanat tersebut secara tidak langsung Presiden Soekarno menegaskan
bahwa tanpa adanya operasi pembebasan Irian Barat belum tentu Indonesia saat itu
dapat memiliki angkatan perang yang kuat. Secara logika, jika kekuatan perang
berkembang baik dalam sebuah operasi, maka menandakan bahwa angkatan perang
itu telah melakukan banyak peranan di dalamnya. Belanda yang saat itu notabene
lebih dulu maju dalam hal angkatan perang dengan perlengkapan yang telah
angkatan perangnya. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peranan setiap
unsur angkatan perang baik itu AL, AU, maupun AD sangatlah besar, tanpa adanya
kerjasama yang baik tentu upaya konfrontasi ini tidak akan dapat terlaksana.
Mengutip dari hal tersebut, setiap unsur selain bersatu menjadi sebuah angkatan
perang pasti memiliki tugas dan peranan masing-masing yang tidak kalah penting
dan saling mempengaruhi dalam mengembangkan situasi militer. Dengan
mengingat banyak dilaksanakannya perang laut dan amfibi selama rangkaian
operasi pembebabasan Irian Barat, dijelaskan pula oleh Sudono Jusuf (1971: 174) “khusus bagi Angkatan Laut dengan terbentuknya Komando Mandala yang akan melaksanakan operasi gabungan dan merupakan suatu naval campaign”, maka
ditunjukkan bahwa peranan Angkatan Laut cukup sentral dalam pelaksanaannya.
Setiap elemen yang terkait pasti memiliki kontribusi tertentu dalam sebuah
peristiwa, begitupun dalam operasi pembebasan Irian Barat dimana Angkatan Laut
merupakan salah satu komponennya. Fakta tersebut menunjukkan sebuah pokok
bahasan menarik yang memberikan kecenderungan bagi peneliti untuk dapat
melihat proses militer secara utuh, khususnya yang dilakukan oleh Angkatan Laut
selama operasi pembebasan Irian Barat berlangsung tanpa memisahkan harmoni
antara aspek politik maupun unsur militer lainnya. Jika ditelusuri lebih jauh secara
teori maupun kebijakan, permasalahan ini akan merujuk pada sebuah acuan tentang
beberapa kewenangan yang menjadi tugas Angkatan Laut. Kewenangan ini
dijelaskan oleh Ken Booth dalam Suhartono (2010:3) bahwa secara universal
Angkatan Laut memiliki tiga peran yaitu peran militer, peran diplomasi, dan peran
konstabulari (polisionil) yang dikenal dengan Trinitas Angkatan Laut. Ketiga peran
inilah yang nantinya akan saling berhubungan, dalam arti bahwa dalam
menjalankan salah satu perannya, Angkatan Laut juga melaksanakan peran lainnya.
Hal ini pula yang ingin ditekankan oleh peneliti bahwa dinamika politik yang
mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh militer khususnya Angkatan Laut
Repunblik Indonesia (ALRI) selama operasi pembebasan Irian Barat, akan menjadi
warna tersendiri yang akan melengkapi gambaran rekonstruksi perjuangan
Beberapa pernyataan di atas telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru
bagi peneliti untuk membuktikannya dengan memahami sejauh mana peranan
ALRI dalam operasi militer yang terjadi. Kemudian apa yang membuat pemerintah
menjadikan operasi pembebasan Irian Barat ini sebagai “naval campaign”, serta
beberapa hal lain yang berkaitan dengan bagaimana perkembangan alutsista ALRI
pada saat itu, strategi umum operasi, serta dampak dari peranan ALRI yang akan
menjadi bagian-bagian menarik bagi peneliti untuk dibahas lebih jauh.
Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk menganalisis serta mengkaji permasalahan tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia Dalam Operasi Pembebasan Irian Barat Tahun 1961-1963”. Adapun alasan penulis mengangkat permasalahan ini ke dalam sebuah karya tulis ilmiah, yaitu pertama, mengkaji peranan ALRI selama operasi pembebasan
Irian Barat dalam rangka mempertahankan kedaulatan merupakan pembahasan
sejarah nasional yang cukup menarik, karena sebuah satuan militer memiliki
dinamika dan strategi tersendiri dalam menghadapi suatu permasalahan maupun
pertikaian, hal ini tentu berbeda dengan penyelesaian masalah yang dilakukan
melalui proses politik maupun sosial. Kedua, masih kurangnya penulisan tentang
masalah Irian Barat yang concern terhadap peranan ALRI. Ketiga, masih banyak
masyarakat Indonesia yang belum mengetahui tentang bagaimana konfrontasi Irian
Barat ini terjadi dan bagaimana peranan Angkatan Laut Republik Indonesia di
dalamnya.
Kurun waktu yang peneliti angkat adalah 1961-1963, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Juwono Sudarsono dalam pengantar buku Ridhani (2009: xi) bahwa “kurun waktu 1961-1963 adalah masa penting dalam sejarah diplomasi dan militer Republik Indonesia. Kurun waktu itu sudah waktunya diungkap secara luas kepada generasi muda sekarang”. Terhitung mulai dari tahun 1961 berdasar ketika pada 12 April 1961 Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H. Nasution menerima
perintah dari Presiden/Panglima Tertinggi untuk menyusun rencana operasi
gabungan membebaskan Irian Barat (Ridhani, 2009:71). Sedangkan tahun 1963
dijadikan akhir kajian karena resmi mulai dari 1 Mei 1963 wilayah Irian Barat telah
melewati masa peralihan antara Badan Pemerintahan Sementara PBB dengan
Pemerintahan Indonesia (Cholil, 1979: 90).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa hal di atas, permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peranan Angkatan Laut Republik Indonesia dalam memperjuangkan pembebasan Irian Barat tahun 1961-1963?”. Untuk
membatasi kajian penelitian, maka diajukan beberapa pertanyaan yang sekaligus
menjadi rumusan masalah dari apa yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang munculnya permasalahan Irian Barat antara
Indonesia dan Belanda?
2. Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia dalam mengahadapi permasalahan Irian
Barat?
3. Bagaimana proses yang dilakukan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia
dalam melaksanakan operasi pembebasan Irian Barat?
4. Bagaimana dampak perjuangan Angkatan Laut Republik Indonesia terhadap
penyelesaian masalah Irian Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kondisi Irian Barat pasca pengakuan kemerdekaan Republik
Indonesia tahun 1945 meliputi garis besar perkembangan sengketa wilayah
antara Indonesia dan Belanda.
2. Menjelaskan sikap pemerintah Indonesia dalam menghadapi permasalahan Irian
Barat hingga munculnya kebijakan konfrontasi militer yang menggabungkan
3. Menguraikan proses pelaksanaan operasi pembebasan Irian Barat yang
dilakukan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sejak dikeluarkannya
perintah konfrontasi militer oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1961 hingga
tahun1963 ketika operasi militer selesai.
4. Menganalisis dampak perjuangan ALRI terhadap penyelesaian masalah Irian
Barat selama tahun 1961-1963, meliputi kontribusi serta pengaruhnya dalam
membantu operasi militer maupun kebijakan politik.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Memperoleh wawasan dan meningkatkan pemahaman tentang peranan ALRI
dalam operasi pembebasan Irian Barat tahun 1961-1963, meliputi fungsi dan
perkembangan ALRI, permasalahan Irian Barat, serta peranan ALRI dalam
menerapkan kemampuannya selama mengatasi permasalahan Irian Barat.
2. Menambah khasanah penulisan sejarah TNI-AL dan Irian Barat.
3. Mengembangkan materi sejarah Indonesia seputar pembebasan Irian Barat
khususnya untuk kelas IX semester 2 dalam Standar Kompetensi 6 dan
Kompetensi Dasar 6.1 yaitu mendeskripsikan perjuangan bangsa Indonesia
merebut Irian Barat. Kemudian pada kelas XII IPS semester 1 dalam Standar
Kompetesi 1 yakni Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi
hingga lahirnya Orde Baru.
4. Mengambil nilai-nilai patriotik, cinta tanah air, dan tanggung jawab yang
bertujuan meningkatkan semangat nasionalisme, serta sikap positif terutama
bagi generasi muda sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan para
pahlawan.
5. Menambah informasi sekaligus inspirasi bagi pihak lain untuk tertarik mengkaji
lebih jauh mengenai peranan ALRI dalam kaitannya dengan sejarah pembebasan
1.5 Struktur Organisasi Penulisan
Penulisan ini tersusun berdasarkan struktur sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan,bab I ini akan mengemukakan secara rinci mengenai latar
belakang masalah yang menjadi alasan peneliti sehingga tertarik melakukan
penelitian sebagai bahan penulisan skripsi. Kemudian identifikasi dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian secara garis besar, manfaat penelitian,
serta sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka,pada bab ini akan diuraikan berbagai studi literatur
ataupun penelitian terdahulu beserta teori yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang diteliti. Disini penulis mencoba membandingkan,
mengontraskan, dan memposisikan kedudukan masing-masing sumber sebagai
acuan yang dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji. Berdasarkan hal tersebut,
kemudian penulis akan menjelaskan posisi dan pendapatnya mengenai
permasalahan yang dibahas, dengan mengacu pada buku yang dikaji.
Bab III Metode Penelitian,bab ini bertujuan untuk memaparkan mengenai
metode penelitian yang digunakan. Bab ini bisa dikatakan sebagai penjabaran
secara rinci dari metode penelitian yang telah dicantumkan pada Bab I. Karena
penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisis data disampaikan berdasarkan
tahap-tahap analisis yang dilakukan untuk data dari setiap teknik pengumpulan data,
sesuai dengan tema-tema utama penelitian.
Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini memuat dua hal, yakni
pengolahan atau analisis data untuk menghasilkan temuan dan pembahasan atau
analisis temuan. Dalam Bab IV juga akan dibahas secara lebih luas dan mendalam
mengenai perjuangan ALRI dalam operasi pembebasan Irian Barat tahun
1961-1963. Pembahasan dalam bab ini akan disusun berdasarkan rumusan masalah yang
telah ditetapkan pada bab awal penelitian.
Bab V Kesimpulan, di dalam bab ini akan kemukakan kesimpulan sebagai
jawaban terhadap masalah secara keseluruhan, setelah pengkajian pada bab
sebelumnya. Di dalamnya akan disajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti
terhadap hasil analisis temuannya dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini akan membahas secara rinci mengenai metode penelitian yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi “Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dalam Operasi Pembebasan Irian Barat Tahun 1961-1963”.
Dalam proses penyusunan yang dilakukan, peneliti menggunakan metode
historis, yaitu suatu proses mengkaji, menjelaskan, dan menganalisis secara kritis
terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau (Gottschalk, 2006: 39).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sjamsuddin (2007: 14) bahwa dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, dengan sendirinya metode ialah “bagaimana mengetahui sejarah”. Jadi untuk mendapatkan informasi sejarah yang benar, maka peneliti juga perlu memilih metode yang tepat.
Metode historis merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam
penelitian ini karena data yang dibutuhkan menyangkut dengan kejadian masa
lampau. Atas pertimbangan itulah peneliti memandang bahwa data-data tersebut
perlu dianalisis kembali sehingga tingkat kebenarannya dapat lebih kuat dan
kondisi yang ada pada masa lampau dapat digambarkan dengan lebih baik.
Penelitian historis bermaksud membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis
dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengkritik, serta mensintesiskan
bukti-bukti yang ada untuk mendukung fakta yang diperoleh dengan kesimpulan yang
kuat. Untuk mempertajam analisis, penulis juga menggunakan pendekatan ilmu
sosial dan politik karena peristiwa pembebasan Irian Barat ini selain berkaitan
dengan militer, juga sangat kental dengan permasalahan sosial dan politik.
Berdasarkan uraian tersebut, penyusunan skripsi dijabarkan dalam beberapa
langkah kerja penelitian. Berdasarkan penjelasan dalam Ismaun (2005 : 48-50)
a. Heuristik, yaitu proses pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang
relevan setelah eksplorasi literatur.Dalam penelitian ini berarti
pengumpulan sumber-sumber yang berhubungan dengan peranan
Angkatan Laut Republik Indonesia dalam upaya pembebasan Irian Barat
selama tahun 1961-1963. Pada tahap ini, peneliti akan melakukan
pencarian sumber-sumber sejarah baik yang berupa buku, dokumen,
maupun artikel.
b. Kritik dapat dikategorikan sebagai proses memilih dan menyaring. Jadi
kritik sumber ialah proses menganalisa sumber yang telah diperoleh,
apakah sumber tersebut sesuai dengan masalah penelitian atau tidak. Pada
langkah ini, peneliti melakukan seleksi sumber baik dengan kritik
eksternal maupun internal sehingga memperoleh fakta sejarah berkaitan
dengan tema penelitian yang dikaji.
c. Interpretasi merupakan proses penafsiran dan penyusunan fakta sejarah
yang diperoleh selama penelitian berlangsung dengan cara
menghubungkan satu fakta dengan fakta yang lainnya sehingga
didapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang dihadapi.
d. Historiografi merupakan proses penyusunan dan penulisan fakta sejarah
yang telah diperoleh melalui berbagai macam proses baik interpretasi dan
eksplanasi yang telah dilakukan berdasarkan hasil penelitian dan
penemuannya yang kemudian disusun menjadi satu-kesatuan sejarah yang
utuh sehingga terbentuklah suatu skripsi.
Menurut Sjamsuddin (2007:155-156), interpretasi atau penafsiran
dikategorikan sebagai fase dari langkah historiografi, dimana pada tahap
historiografi tersebut meliputi interpretasi, eksplanasi, serta presentasi. Sedangkan
menurut Kuntowijoyo (2003: 62), dalam melaksanakan penelitian sejarah terdapat 5
(lima) tahap yang harus dilakukan, yaitu:
1. Pemilihan Topik 2. Pengumpulan Sumber
5. Penulisan
Meskipun terdapat beberapa versi dari segi sistematika penjelasan yang
disampaikan oleh para ahli, pada dasarnya peneliti memandang bahwa ketiganya
mengacu pada suatu rangkaian proses yang sama. Maka, dalam upaya
merekonstruksi peristiwa sejarah yang menjadi objek kajian, penyusunan skripsi ini
dijabarakan menjadi lima langkah kerja penelitian sejarah yaitu pemilihan topik,
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kelima langkah tersebut kemudian
dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian,
dan laporan penilitian. Berikut uraian lengkap dari ketiga tahapan tersebut.
3.1 Persiapan Penelitian
Tahap persiapan penelitian ini merupakan langkah awal yang harus ditempuh
sekaligus menentukan keberhasilan peneliti pada tahap selanjutnya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahp ini ialah penentuan tema penelitian, menyusun
rancangan penelitian, mengurus perizinan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan
proses bimbingan.
3.1.1 Pemilihan Topik Penelitian
Persiapan awal yang dilakukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian
adalah menentukan tema atau memilih topik penelitian. Menurut Kuntowijoyo (2003: 91) “pemilihan topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual”. Hal ini mengungkapkan bahwa suatu topik dipilih berdasarkan dua aspek, yakni karena adanya kegemaran dan keterkaitan peneliti
dengan disiplin ilmu. Pada tahap awal dalam menentukan tema penelitian, peneliti
melakukan beberapa kegiatan seperti membaca literatur dan melakukan survei ke
beberapa tempat yang dianggap akan membantu memberikan informasi selama
proses penelitian atau observasi. Tujuan melakukan langkah tersebut sebagi upaya
untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber data yang berhubungan dengan
kajian penelitian.
Setelah melakukan kegiatan di atas, maka peneliti memutuskan untuk
mengkaji tentang sejarah militer Indonesia berawal dari rasa ingin tahu peneliti
terhadap kontribusi militer selama berlangsungnya konfrontasi militer dalam proses
pembebasan Irian Barat selama kurun waktu 1961-1963. Ide ini timbul setelah
peneliti mengikuti perkuliahan pada mata kuliah Sejarah Indonesia pada Masa
Demokrasi Liberal dan Terpimpin di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas
Pendidikan Indonesia.
Selama mengikuti perkuliahan tersebut, pernah dibahas sebuah tema yang
menjadi bahasan kelompok peneliti dalam presentasi yaitu mengenai permasalahan
Irian Barat pasca pengakuan kedaulatan RI dalam Konferensi Meja Bundar tahun
1949, dan diberlakukannya kebijakan konfrontasi militer sejak tahun 1961 hingga
1963 oleh angkatan perang Indonesia, termasuk Angkatan Laut Republik Indonesia
(ALRI).
Setelah mengunjungi Perpustakaan Dinas Sejarah TNI AD dan beberapa
perpustakaan kampus seperti UPI, UI, dan Unpad, peneliti menemukan beberapa
referensi tentang Angkatan Laut Republik Indonesia dan masalah Irian Barat. Hasil
temuan tersebut kemudian diajukan kepada TPPS (Tim Pertimbangan Penulisan
Skripsi) Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Setelah disetujui untuk mengikuti
seminar skripsi, peneliti mulai menyusun suatu rancangan penelitian yang
dituangkan ke dalam bentuk proposal skripsi.
3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan salah bagian dari tahap awal persiapan
sebelum melakukan penelitian dan penyusunan laporan penelitian. Rancangan ini
sangat penting karena merupakan kerangka dasar yang dijadikan acuan dalam
melakukan penelitian. Pada tahap ini terlebih dahulu peneliti melakukan pencarian
bahan pustaka sebagai sumber data awal karena sumber tertulis merupakan sesuatu
yang umum digunakan sebagai bahan kajian sejarah, seperti buku, dokumen,
artikel, surat kabar, dan majalah. Setelah itu, peneliti menyusun sebuah rancangan
atau usulan penelitian ke dalam sebuah bentuk proposal skripsi.
Rancangan ini berupa proposal skripsi yang diajukan kepada TPPS dengan
calon pembimbing skripsi. Adapun secara umum, proposal tersebut memuat hal-hal
berikut:
a. Judul penelitian
b. Latar Belakang Masalah Penelitian
c. Rumusan Masalah
d. Tujuan Penelitian
e. Manfaat Penelitian
f. Tinjuan Pustaka
g. Metode dan Teknik Penelitian
h. Sistematika Penulisan
i. Daftar Pustaka
Proposal tersebut disetujui dan dipertimbangkan dalam seminar
pra-rancangan penelitian/penulisan skripsi/karya ilmiah melalui surat keputusan yang
dikeluarkan TPPS dengan No. 02/TPPS/JPS/SEM/2013, serta penunjukan calon
pembimbing I dan calon pembimbing II. Seminar pra-rancangan
penelitian/penulisan skripsi dilaksanakan tanggal 28 Januari 2013. Proposal
tersebut kemudian disetujui dengan judul “Peranan Angkatan Laut Republik
Indonesia Dalam Operasi Pembebasan Irian Barat Tahun 1961-1963”. Pengesahan
penelitian dikeluarkan melalui surat keputusan dari Tim Pertimbangan Penulisan
Skripsi (TPPS) Jurusan Pendidikan Sejarah No. 002/TPPS/JPS/2013 yang
ditandatangani oleh Ketua TPPS dan Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS
UPI, seiring dengan penunjukan pembimbing skripsi pada bulan Pebruari 2013
yaitu Bapak Wawan Darmawan, M.Hum sebagai Pembimbing I dan Bapak Moch.
Eryk Kamsori, S.Pd. sebagai Pembimbing II.
3.1.3 Mengurus Perizinan
Peneliti mulai memilih lembaga/instansi yang dapat memberikan
sumber-sumber yang dibutuhkan dalam kajian penelitian. Mengurus perizinan dilakukan
dimaksud berbentuk surat keterangan dan surat pengantar kepada instansi-instansi
terkait yang diantaranya adalah:
1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
2. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI)
3. Dinas Penerangan Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Laut
(Dispen TNI AL)
4. Korps Marinir TNI AL
3.1.4 Mempersiapkan Perlengkapan Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik, sebelum melaksanakan
penelitian langsung ke lapangan peneliti perlu terlebih dahulu merencanakan
sekaligus mempersiapkan perlengkapan penelitian yang dibutuhkan. Perlengkapan
penelitian tersebut antara lain:
1. Surat pengantar penelitian dari Jurusan Pendidikan Sejarah
2. Surat izin penelitian dari dekan FPIPS
3. Surat pengantar izin penelitian dari Universitas Pendidikan Indonesia
4. Kamera foto
5. Alat Tulis
3.1.5 Proses Bimbingan
Proses bimbingan merupakan kegiatan yang harus rutin dilakukan oleh
peneliti selama proses penyusunan skripsi. Bimbingan sangat diperlukan sebagai
langkah tepat dalam proses penelitian dan penyusunan laporan dengan melakukan
diskusi mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi. Proses bimbingan
dilakukan dengan pembimbing I dan pembimbing II dengan waktu dan teknik
bimbingan yang disepakati bersama dan dilakukan secara berkelanjutan.
Masing-masing bab dikonsultasikan secara berkala dengan mengalami beberapa revisi pada
bagian-bagian yang dianggap belum memenuhi ketentuan. Oleh sebab itu, proses
bimbingan ini sangat penting bagi peneliti sehingga hasil yang diharapkan baik dan
3.2 Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilaksanakan, maka tahapan selanjutnya
adalah pelaksanaan penelitian. Dalam tahapan ini terdapat beberapa kegiatan yaitu
heuristik, kritik, dan interpretasi. Kegiatan-kegiatan ini memiliki peranan utama
yang menentukan baik dan buruknya hasil penelitian yang akan dijadikan bahan
penulisan skripsi. Oleh karena itu, tahap ini perlu dilakukan dengan baik sehingga
hasilnya dapat sesuai dengan tujuan penyusunan skripsi itu sendiri.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada pelaksanaan penelitian tersebut akan diuraikan pada
penjelasan di bawah ini.
3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik merupakan proses dimana peneliti melakukan penelusuran,
pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan
permasalahan penelitian serta dapat membantu memecahkan persoalan yang dikaji.
Jenis-jenis sumber yang digunakan antara lain berupa buku, dokumen, artikel,
jurnal, dan beberapa skripsi yang berkaitan dengan tema konflik Irian Barat atau
pula yang berhubungan dengan Angkatan Laut Republik Indonesia seperti
mengenai fungsi-fungsi ALRI secara umum dan kegiatannya pada masa operasi
pembebasan Irian Barat. Hal ini dilakukan karena dalam melaksanakan proses
pengumpulan sumber, peneliti menggunakan teknik studi literatur untuk
mengumpulan data.
Dalam tahap heuristik, peneliti mengunjungi beberapa perpustakaan seperti
perpustakaan UPI, Perpustakaan Dinas Sejarah TNI AD, Perpustakaan UI,
Perpustakaan Unpad, Dinas Penerangan Korps Marinir TNI AL, Museum Korps
Marinir TNI AL, Museum Mandala dan juga beberapa toko buku dan situs internet
yang dianggap relavan dan terpercaya. Dari tempat-tempat tersebut, penulis
memperoleh data yang berkaitan dengan kajian penelitian. Lebih jelasnya,
buku-buku yang diperoleh dari beberapa perpustakaan tersebut akan dijabarkan sebagai
1. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Di perpustakaan ini
peneliti mendapatkan sumber-sumber yang berkaitan dengan teori konflik dan
konsep elemen kekuatan negara. Buku-buku tersebut sangat membantu penulis
dalam memahami dan menganalisis fenomena yang terjadi selama
berlangsungnya operasi pembebasan Irian Barat serta peranan ALRI sebagai
bagian dari elemen kekuatan negara. Selain itu terdapat buku Sejarah
Kesehatan TNI Angkatan Laut karangan S. Mangoensadjito, serta buku karya
P.B.R. De Geus yang berjudul Masalah Irian Barat Aspek Kebijakan Luar
Negeri dan Kekuatan Militer.
2. Perpustakaan Universitas Padjajaran di daerah Dipati Ukur, Bandung. Dari
perpustakaan ini peneliti memperoleh buku berjudul Meluruskan Sejarah
Perjuangan Irian Barat karangan Subandrio.
3. Perpustakaan Dinas Sejarah TNI AD. Dari perpustakaan ini peneliti
memperoleh cukup banyak referensi yang berkaitan dengan Angkatan Laut RI,
diantaranya Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat karya M.Cholil,
Sejarah TNI Jilid III (1960-1965) yang diterbitkan Pusat Sejarah dan Tradisi
TNI, serta Mayor Jenderal Soeharto Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat karangan A. Ridhani. Diperoleh pula buku-buku
terbitan Dinas Sejarah AL seperti Nama-nama Kapal Perang TNI-AL, Serie
Kapal Perang II, dan Sejarah Nasional Indonesia (Awal-Sekarang). Buku-buku
tersebut banyak menerangkan secara detail operasi-operasi khusus yang
dilaksanakan angkatan laut selama operasi pembebasan Irian Barat terutama
yang berada di bawah komando Mandala, sehingga sangat membantu peneliti
terlebih dalam memahami peranan dan pelaksanaan operasi militer yang
dilakukan selama konfrontasi pembebasan Irian Barat. Buku-buku tersebut
cukup.
4. Perpustakaan Universitas Indonesia. Disini terdapat beberapa koleksi jurnal
yang berkaitan dengan kajian peneliti, diantaranya tulisan T.E. Purdjianto yang
berjudul Peran TNI Angkatan Laut dalam Penegakan Kedaulatan Negara dan
Keamanan Laut, serta A.Winarso yang bejudul Peran Strategis Diplomasi
peneliti memperoleh dokumen umum tentang catatan Amanat Presiden Sukarno
Pada Munas Maritim ke-1. Selain itu, terdapat beberapa referensi pendukung
mengenai hukum tata negara dan beberapa buku lain yang mendukung analisis
teori yang digunakan dalam penelitian, sebagaimana yang telah dipaparkan
pada bab II.
5. Dinas Penerangan Korps Marinir TNI AL. Di tempat ini meskipun perlu
berupaya lebih untuk dapat mengikuti ketentuan birokrasi kemiliteran, namun
hal tersebut dapat teratasi dan peneliti berhasil mendapatkan beberapa referensi
tentang sejarah penting seputar Korps Marinir TNI-AL yang dahulu bernama
Korps Komando Mandala TNI-AL (KKO-AL). Terdapat buku yang berjudul
Korps Komando Mandala AL: Dari tahun ke Tahun yang diterbitkan oleh
Bagian Sejarah KKO-AL.
6. Dinas Penerangan TNI AL. Dalam kunjungan ke Dinas Penerangan TNI AL,
peneliti memperoleh buku yang berjudul Sedjarah Perkembangan Angkatan
Laut dari Sudono Jusuf. Buku tersebut menggambarkan tentang sejarah yang
dialami TNI-AL dari masa pendudukan Hindia-Belanda, Jepang, hingga pasca
kemerdekaan hingga tahun 1960-an. Dari buku tersebut dapat dilihat
perkembangan TNI-AL dari awal terbentuknya hingga tahun 1960-an
saatterjadi peristiwa Trikora. Selain itu, diperoleh pula buku yang berjudul
Ikhtisar Sejarah Nasional Indonesia (Awal-Sekarang) tulisan Kolonel Nugroho
Notosusanto.
7. Museum Marinir TNI AL, di tempat ini peneliti mendapatkan beberapa
dokumentasi berupa foto-foto yang berkaitan dengan KKO-AL.
8. Museum Mandala. Sama halnya seperti di museum Marinir TNI-AL, peneliti
dapat melihat beberapa dokumentasi dan replika beserta keterangannya seputar
kapal-kapal perang AL termasuk KRI Irian yang digunakan angkatan laut
selama operasi pembebasan Irian Barat.
9. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sebagai lembaga resmi pemerintah
dan pusat kearsipan nasional, ANRI memiliki arsip-arsip yang sangat
menentukan dalam menyimpan memori sejarah, termasuk dokumen-dokumen
diperlukan oleh peneliti dalam mengkaji permasalahan. Beberapa arsip yang
peneliti peroleh diantaranya:
1) Presiden RI : Keputusan penguasa Perang Tertinggi No.3 tahun 1961
tentang Front Nasional Pembebasan Irian Barat dan Badan-badan
Kerjasama Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
2) Presiden RI: Surat Keputusan No.1 Tahun 1962, yang berisi tentang
pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang bersifat
gabungan dari unsur AD, AL, dan AU.
3) Presiden RI : Surat Keputusan tanggal 23 Juli 1963 tentang pengangkatan
pejabat-pejabat Staf Komando Operasi Tinggi Pembebasan Irian Barat.
4) Wakil Ketua DPA : Surat keputusan No.01/Kpts/sd/1962 tanggal 5 April
1962 tentang pembebasan Irian Barat.
5) Tri Komando Rakyat dan catatan The people’s Comman, Given by The
President/Supreme Commander of The Armed Forces of The Republic of
Indonesia, Commander In Chief of The supreme Command for The
Liberation of West Irian at a Mass Meeting in Jogjakarta pada tanggal 19
Desember 1961.
Terdapat juga beberapa Arsip Nasional berupa inventaris pribadi dari para
tokoh penting pada masa lalu, diantaranya:
6) Marzuki Arifin 1945-1984. Departemen penerangan RI : catatan Frans
Kaisipo mengenai kejadian-kejadian di sekitar Irian Barat tahun 1945-1962,
disertai surat pengantar.
7) Dr.H.Roeslan Abdulgani 1950-1976. Staf KOTI Pembebasan Irian Barat
Gabungan V Kepada Koordinator Irian Barat: Surat tanggal 17 Februari
1963 tentang penyelenggaraan pemerintahan di Irian Barat disertai
lampiran-lampiran.
Selain itu, ada pula sumber buku-buku koleksi pribadi yang cukup relevan
dengan kajian penelitian, diantaranya adalah Hantu Laut: KKO-Marinir Indonesia
karya P.Matanasi dan Kurniawan, E.H., Pasang Surut Sejarah Papua dalam
Of Battle Artillery TNI Angkatan Laut karangan H.A.N. Seno. Beberapa sumber
pendukung diantaranya Sejarah Nasional Indonesia VI karya Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Ikhtisar Sejarah R.I (1945-Sekarang) karangan Nugroho
Notosusanto, serta buku bertajuk Politik Militer Indonesia 1945-1967 karya Ulf
Sundhaussen.
Sjamsuddin (1996) mengungkapkan bahwa sejarawan harus langsung
membuat catatan (note taking) untuk kemudahan dalam proses penulisan. Sumber
tertulis yang telah terkumpul kemudian dibaca, dipahami, dan dikaji untuk melihat
kesesuaiannya dengan permasalahan dalam penelitian. Peneliti melakukan
pencatatan terhadap berbagai temuan sumber, baik daftar pustaka maupun
tema-tema penting yang terdapat dalam sumber tertulis tersebut. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk memudahkan dalam proses penulisan sejarah.
3.2.2 Verifikasi (Kritik Sejarah)
Setelah menyelesaikan langkah pertama yaitu heuristik, langkah kedua ialah
kritik sumber. Dalam penelitian sejarah, proses kritik atau verifikasi erat kaitannya
dengan tujuan sejarawan dalam mencari kebenaran peristiwa lampau. Kritik sumber
dapat diartikan sebagai suatu proses menilai sumber dan menyelidiki kesesuaian,
keterkaitan, dan keobjektivitasan dari sumber-sumber informasi yang telah berhasil
dikumpulkan dengan masalah penelitian. Kritik sumber sejarah adalah penilaian
secara kritis terhadap data dan fakta sejarah yang ada. Kritik dilakukan setelah
sumber-sumber sejarah yang diperlukan telah diperoleh.
Pada tahap ini peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan kritik
dengan tepat terhadap sumber-sumber yang diperoleh seperti buku, jurnal, artikel,
dan arsip atau dokumen. Seluruh sumber sejarah yang digunakan sebagai sumber
tulisan memberikan informasi berupa data yang diklasifikasikan sesuai dengan
tujuan penelitian, hingga pada akhirnya diperoleh fakta yang kredibel mengenai
peranan Angkatan Laut Republik Indonesia dalam operasi pembebasan Irian Barat
tahun 1961-1963. Pelaksanaan kritik sumber ini dibagi menjadi dua proses, pertama
1. Kritik Eksternal
Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap
aspek-aspek “luar‟ dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 112). Menurut
Sjamsuddin (2007: 134), kritik eksternal ini dimaksudkan sebagai kritik atas
asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan-catatan atau peninggalan itu
sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui
apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh
orang-orang tertentu atau tidak. Sumber kritik eksternal harus menegakkan fakta dari
kesaksian bahwa:
a) kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang yang bersangkutan pada
waktu terjadinya sejarah (authenticity atau otentisitas).
b) keasaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan
(uncorrupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahanatau penghilangan
fakta-fakta yang substansial (integrity).
Pelaksanaan kritik eksternal salah satunya dilakukan pada sumber primer
yang dalam penelitian ini mencakup arsip-arsip. Sebagai badan resmi kearsipan
nasional, menurut peneliti arsip yang dikeluarkan ANRI sudah cukup terpercaya.
Namun biasanya ada beberapa hal eksternal yang tetap perlu diperhatikan
diantaranya seperti jenis kertas, ejaan yang dipergunakan dalam penulisan arsip,
tahun dikeluarkannya arsip, serta siapa yang membuat keputusan dalam arsip
tersebut. Sebagai contoh yaitu kritik terhadap dokumen yang dikeluarkan oleh
Departemen Penerangan RI pada tahun 1962. Dokumen ini berisi catatan yang
dibacakan oleh Presiden Soekarno yang bertajuk The people’s Comman, Given by
The President/Supreme Commander of The Armed Forces of The Republic of
Indonesia, Commander In Chief of The supreme Command for The Liberation of
West Irian at a Mass Meeting in Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1961.
Dokumen terdiri atas 12 halaman, dan berikut halaman pertama dari dokumen
Dari arsip tersebut dapat diperhatikan bahwa pertama, kepala surat, tanggal
dan nomor yang tercantum menunjukkan bahwa dokumen tersebut resmi
dikeluarkan oleh Departemen Penerangan RI pada tanggal 19 Desember 1961.
Tanggal yang bertepatan dengan tanggal diumumkannya Tri Komando Rakyat.
Kedua, bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Dari penggunaan bahasa
internasional tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa dokumen tersebut merupakan
catatan resmi pidato Presiden Soekarno yang dibacakan secara konteks
internasional sebagai penegasan atas Trikora yang dikumandangkan secara nasional
di Yogyakarta pada hari yang sama.
2. Kritik Internal
Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik eksternal, selanjutnya
dilakukanlah sebuah evaluasi terhadap sumber melalui kritik internal. Kritik
internal dilakukan penulis untuk melihat layak tidaknya isi dari sumber-sumber
yang telah diperoleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan
penulisan skripsi. “Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal sebagaimana yang
disarankan oleh istilahnya menekankan aspek „dalam‟ yaitu isi sumber: kesaksian (testimony)” (Sjamsuddin, 2007: 143). Berarti kritik internal ini ditujukan sebagai bentuk pengujian secara mendalam dan menyeluruh terhadap isi dari sumber
maupun kesaksian sejarah. Hal ini bertujuan agar fakta yang diperoleh benar-benar
diperoleh benar-benar sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
Buku yang digunakan penulis sebagai sumber sekunder diantaranya adalah
buku-buku yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan TNI-AL dan Dinas Penerangan
Korps Marinir, dengan pertimbangan bahwa buku-buku tersebut memiliki
presentasi kredibilitas dan otentisitas yang lebih tinggi meskipun tidak sepenuhnya.
Sedangkan sebagai sumber sekunder lainnya, peneliti menggunakan buku-buku
pendukung yang biasanya diterbitkan oleh penerbit umum yang biasa
mengeluarkan buku-buku bertemakan sejarah militer seperti Mata Padi Pressindo.
Sedangkan untuk melakukan proses kritik sumber pada data-data yang
diperoleh dari sumber lain seperti internet, sebelumnya peneliti mengawali dengan
tersebut relevan dengan pembahasan. Kedua, kejelasan pengarang, misalnya
apakah penulis tersebut adalah instansi resmi pemerintah atau dari kalangan umum.
Ketiga, kita perlu melakukan kritik terhadap daftar pustaka yang digunakan oleh
penulis. Dan keempat, yaitu situs pengunggah data tersebut, apakah berasal dari
situs yang menggunakan layanan gratis atau milik instansi pemerintah misalnya
militer, apakah situs tersebut memiliki informasi yang cukup dan dapat dipercaya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa situs resmi yang dikeluarkan
oleh intansi pemerintah, diantaranya
http://www.papuaweb.org,http://www.tnial.mil.id/,http://marinir.mil.id/ dan
http://www.kemhan.go.id/.
Kritik internal diawali sejak peneliti memperoleh sumber dan melakukan
kritik eksternal. Kemudian peneliti membaca isi sumber secara seksama dan
membandingkannya dengan sumber-sumber lain yang sesuai. Dari hasil
perbandingan sumber tersebut akan diperoleh kepastian apakah keterangan dari
sumber tersebut dapat digunakan sesuai dengan topik kajian dalam penelitian.
Sejarawan perlu memutuskan apakah sumber atau kesaksian sejarah dapat
diandalkan atau tidak. Arti sebenarnya dari data informasi yang terdapat dalam
sumber harus dipahami, karena bahasa tidak selalu statis atau sama, arti kata-kata
yang digunakan bisa saja berubah sesuai dengan redaksi yang disampaikan. Selain
itu, kata-kata tertentu biasanya memiliki dua pengertian yaitu arti harfiah dan arti
sesungguhnya.
Berbeda dengan arsip yang masih berbentuk dokumen, buku maupun artikel
dan karya ilmiah lain merupakan rekaman sejarah berbentuk tulisan yang sangat
bergantung pada interpretasi dan cara penyampaian dari penulis. Sehingga tidak
heran jika ada beberapa buku yang membahas tema yang sama tetapi memiliki
pendapat yang berbeda. Hal tersebut sah saja selama penulis memiliki alasan dan
bukti yang kuat atas pendapatnya. Disinilah peran kritik internal yang sangat
berpengaruh terhadap reliabilitas dari peneliti terhadap sumber yang digunakan.
Sebagai contoh, kritik internal dilakukan oleh peneliti ketika ingin
memastikan siapa delegasi dari Angkatan Laut yang ditugaskan sebagai wakil
Komando Mandala dan Sejarah Kesehatan Angkatan Laut dikatakan bahwa wakil
Panglima Komando Mandala adalah Kol. Laut Soedomo, akan tetapi dalam
beberapa sumber lain seperti buku Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian
Barat, Sejarah TNI Jilid III (1960-1965), Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut,
Hantu Laut: KKO-Marinir Indonesia, dan buku karangan Ridhani Mayor Jenderal
Soeharto Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat menyebutkan
bahwa posisi tersebut diduduki oleh Kolenel Laut Soebono. Dalam hal ini peneliti
melihat terlebih dahulu penulis dan penerbit masing-masing buku, kemudian
memperhatikan tahun penerbitan. Setelah dikaji, peneliti memutuskan untuk
mengambil keterangan kelima buku yang menyebutkan Kolonel Laut Soebono.
Tidak sebatas pertimbangan kuantitas buku yang berpendapat, jika dihubungkan
dengan hal eksternal seperti penerbit, penulis dan tahun terbit, maka sebenarnya
kedua pendapat ini sudah cukup kuat. Akan tetapi, dalam hal isi atau internal,
dalam buku A.Ridhani (2009: 59, 103) ditegaskan bahwa menurut surat nomor
VII/3/3/2 tanggal 31 Mei 1961 Letkol Sudomo adalahsebagai wakil dari Angkatan
Laut yang ditunjuk oleh KSAL dalam panitia Gabungan Kepala staf (GKS)
pembebasan Irian Barat, sedangkan wakil dalam Gabungan Staf Umum diduduki
oleh Kol. Laut Subono.
Setelah melakukan kritik internal, ternyata penulis dapat menemukan lebih
banyak fakta pada masing-masing sumber yang saling berhubungan dengan
permasalahan penelitian yang dikaji. Dalam hal ini, fakta-fakta tersebut sangat
relevan dengan bagaimana ALRI menerapkan kemampuan berdasarkan tugas dan
fungsi kesatuannya dalam operasi pembebasan Irian Barat termasuk data-data yang
berkaitan dengan strategi dan kekuatan altileri yang digunakan oleh angkatan laut
pada pelaksanaan operasi saat itu.
3.2.3 Interpretasi (Penafsiran Sumber)
Interpretasi merupakan proses pemberian penafsiran terhadap fakta yang telah
terhadap berbagai informasi yang ditemukan sehingga memberikan suatu makna
atau keberartian (signifikansi) yang kemudian dituangkan dalam sebuah penulisan
yang utuh.
Selain kajian historis, peneliti juga menggunakan pendekatan interdisipliner
yaitu bentuk pendekatan dalam penelitian sejarah yang menggunakan bantuan
disiplin ilmu lain (ilmu sosial) dengan tujuan mempertajam analisis. Beberapa ilmu
sosial yang digunakan sebagai ilmu bantu dalam pembahasan tersebut diantaranya
politik dan sosiologi. Bersama kedua ilmu tersebut peneliti menggunakan beberapa
konsep dan teori yaitu masalah Irian Barat, operasi militer, teori konflik, dan teori
elemen kekuatan negara. Pemakaian konsep dan teori ini membantu peneliti dalam
menjelaskan tentang peranan ALRI pada masa operasi pembebasan Irian Barat
tahun 1961-1963, sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai
permasalahan tersebut.
Pada tahapan ini peneliti berusaha memilah dan menafsirkan data yang
mengutarakan bahkan membuktikan konsep peranan ALRI dalam operasi
pembebasan Irian Barat terutama arsip. Buku-buku sumber walaupun banyak
tentang Irian Barat namun tidak banyak yang membahas khusus hubungan antar
fungsi ALRI, alasan keterlibatan ALRI dan kemampuan fungsi dalam operasi.
Penulis berusaha menafsirkan sumber-sumber yang ada dengan dibantu oleh teori
dari kajian ilmu politik dan kajian tentang strategi militer, hal ini sangat berarti
ketika penulis berusaha menjabarkannya dalam bentuk tulisan. Pada dasarnya,
tahapan interpretasi ini dilakukan dengan menghubungkan suatu fakta dengan fakta
lainnya yang kemudian diolah dan mengalami proses kritisi dengan merujuk pada
beberapa sumber utama (primer) dan beberapa referensi pendukung (sekunder).
Hasil ini kemudian disusun untuk membentuk suatu rekonstruksi sejarah yang
memuat penjelasan terhadap pokok-pokok permasalahan.
3.3 Penulisan (Laporan Hasil Penelitian)
Secara harfiah historiografi berarti pelukisan sejarah, yaitu gambaran sejarah
Historiografi merupakan hasil rekonstruksi melalui peroses pengujian dan
penelitian secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 28-27).
Setelah sumber-sumber sejarah dikumpulkan, dianalisis, dan ditafsirkan pada
tahap interpretasi, fakta-fakta tersebut kemudian disajikan menjadi satu-kesatuan
tulisan dan disusun dalam historiografi (penulisan sejarah). Jadi, historiografi ini
merupakan tahap terakhir dari keseluruhan prosedur penelitian sejarah setelah
heuristik, kritik dan interpretasi. Dalam tahap ini, seluruh daya pikiran dikerahkan,
bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan,
tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisis sehingga
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dalam suatu penulisan utuh
yang disebut historiografi (Sjamsuddin, 2007: 156).
Penulisan laporan ini dituangkan ke dalam karya tulis ilmiah yang disebut
dengan skripsi. Laporan disusun dalam bentuk penulisan dengan jelas dalam gaya
bahasa yang sederhana, ilmiah, dan menggunakan tata bahasa dan penulisan yang
benar. Laporan hasil penelitian disusun untuk memenuhi kebutuhan studi akademis
tingkat Sarjana pada Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Sistematika laporan
ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan, berisi beberapa hal diantaranya latar belakang masalah
yang menjadi alasan peneliti sehingga tertarik melakukan penelitian sebagai bahan
penulisan skripsi. Agar kajian tersebut lebih terarah, maka peneliti menyusun
beberapa rumusan masalah. Selain itu, disertakan pula tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian secara garis besar, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis, menguraikan beberapa studi
literatur ataupun penelitian terdahulu yang memiliki hubungan atau relevansi
dengan permasalahan penelitian. Disini penulis mencoba membandingkan,
mengontraskan, dan memposisikan kedudukan masing-masing sumber sebagai
acuan yang dikaitkan dengan permasalahan yang dikaji. Berdasarkan hal tersebut,
kemudian penulis akan menjelaskan posisi dan pendapatnya mengenai
permasalahan yang dibahas, dengan mengacu pada sumber yang dikaji. Penjelasan
mengenai konsep-konsep yang dibahas juga akan diangkat dengan menyertakan
digunakan dalam membuat analisi. Masih terbatas yang mengupas lengkap sesuai
dengan judul yang peneliti angkat, akan tetapi peneliti menggunakan referensi yang
berhubungan dengan kajian yang akan diteliti. Kajian pustaka sangat penting dalam
suatu pengkajian karya ilmiah.
Bab III Metodologi Penelitian, bab ini bertujuan untuk memaparkan
mengenai metode penelitian yang digunakan berupa rangkaian tahapan beserta
langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Bab
ini bisa dikatakan sebagai penjabaran secara rinci dari metode penelitian yang telah
dicantumkan pada Bab I. Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka analisis data
disampaikan berdasarkan tahap-tahap yang terdiri dari persiapan penelitian
(penentuan tema penelitian, penyusunan rancangan penelitian, mengurus perizinan,
mempersiapkan perlengkapan penelitian, proses bimbingan), pelaksanaan penelitian
(pengumpulan sumber/heuristik, kritik sumber, penafsiran sumber /interpretasi),
dan terakhir yaitu laporan hasil penelitian.
Bab VI Perjuangan Angkatan Laut Republik Indonesia Pada Masa Operasi
Pembebasan Irian Barat. Bab ini memuat pembahasan atau analisis temuan
mengenai kajian yang diteliti. Penulisan disusun berdasarkan data yang diperoleh
dengan menjelaskan peranan ALRI serta menghubungkan antara fungsi ALRI dan
penerapannnya dalam operasi militer di Irian Barat pada tahu 1961-1963. Dalam
Bab IV ini juga akan dibahas secara lebih luas dan mendalam mengenai
permasalahan Irian Barat, kebijakan pemerintah, operasi militer, serta kontribusi
Angkatan Laut serta dampaknya dalam upaya pembebasan Irian Barat. Pembahasan
dalam bab ini akan disusun berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan
pada awal penelitian.
Bab V Kesimpulan, mengemukakan penafsiran dan pemaknaan peneliti
terhadap hasil analisis temuannya dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan
pemberian saran terhadap permasalahan yang mengalami pengkajian dan penafsiran
pada bab sebelumnya. Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi yang
berisi mengenai nilai-nilai penting dari setiap jawaban atas permasalahan
BAB V
KESIMPULAN
Munculnya permasalahan Irian Barat dilatarbelakangi oleh perbedaan
Indonesia dan Belanda dalam menilai status Irian Barat. Indonesia memandang
bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang timbul secara alami dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini
dianggap berdasarkan pada persamaan sejarah dan kesatuan wilayah dengan tanpa
memandang perbedaan suku dan ras. Indonesia yakin bahwa Irian Barat adalah
bagian dari kesatuan Nusantara, jadi ketika wilayah yang dikenal kolonial
Belanda sebagai Hindia-Belanda ini merdeka, maka Irian Barat harus menjadi
bagian dari kemerdekaan tersebut. Hal ini berbeda dengan pandangan Belanda
yang menganggap Irian Barat sebagai bagian terpisah dari kemerdekaan RI. Hal
ini salah satunya didasari oleh isu perbedaan ras antara penduduk Irian Barat
dengan penduduk Indonesia lainnya yang sering dicuatkan Belanda, dan
keyakinan bahwa para nenek moyang Belanda telah datang ke Irian Barat sejak
abad 17 dan terus menetap serta berkelanjutan hingga saat ini. Alasan paling
utama adalah keinginan Belanda untuk menjadikan wilayah ini sebagai sebuah
negara sendiri, dan menjadikannya sebagai pemukiman bangsa Indo-Belanda
yang tidak ingin berada di bawah pemerintahan Indonesia. Kedua pendirian
tersebut terus meruncing menjadi sebuah konflik yang semakin serius, dan secara
resmi diperdebatkan pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
Usaha-usaha yang telah dilakukan dalam menyelesaikan masalah Irian Barat
selalu diupayakan melalui jalur perundingan pada masa awal dengan
pertimbangan lebih aman dan damai. Namun berbagai usaha diplomasi yang
dijalankan sejak pembentukan Uni Indonesia-Belanda secara bilateral hingga
menggunakan bantuan forum internasional seperti PBB, masih tidak dapat
memberikan jalan keluar yang solutif. Tekad Indonesia untuk membebaskan Irian
kebijakan baru dengan istilah “jalan lain” dalam bentuk konfrontasi yang bersifat politik, sosial, ekonomi dan bahkan militer.
Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan setiap operasi
militer diwujudkan dalam berbagai peristiwa dan perjuangan yang tidak mudah.
Sejak perintah persiapan militer dikeluarkan oleh Presiden Soekarno serta
dibacakannya Tri Komando Rakyat, secara resmi menandai bahwa konfrontasi
total dimulai. Dalam pembentukan Komando Mandala yang khusus menangani
operasi militer pembebasan Irian Barat, ALRI selalu berusaha untuk ikut aktif
membantu selama pelaksanaannya. Peristiwa Laut Aru yang heroik sekaligus
tragis memberi peran psikologis yang besar bagi bangsa Indonesia, dan terutama
bagi ALRI. Peristiwa ini telah menguatkan tekad Angkatan Perang RI untuk
semakin memperkuat dan mempersiapkan operasi dengan jauh lebih baik. Pada
masa Komando Mandala bertugas, ALRI telah melancarkan berbagai operasi laut
dalam beberapa rangkaian fase militer, yaitu sejak tahap Show of Force, infiltrasi,
eksploitasi, hingga konsolidasi. Operasi pokok dari fase-fase tersebut diantaranya
adalah operasi Antareja dan Imam Sura pada tahap show of Force, operasi Kapal
Cepat Torpedo yang terdiri dari operasi Badar Lumut, Badar Besi dan operasi
Kapal Selam Cakra pada masa infiltrasi, serta operasi Kapal Selam Lumba-Lumba
dan Alugara sebagai bagian dari tahap eksploitasi pada masa operasi Jayawijaya
yang menjadi puncak operasi pembebasan Irian Barat. Sedangkan masa
konsolidasi dilakukan dengan perencanaan operasi Brajamusti dan pelaksanaan
operasi Sadar, diikuti pula dengan beberapa operasi konsolidasi lain hingga Irian
Barat resmi masuk ke dalam NKRI pada 1 Mei 1963.
Operasi militer yang dilakukan terutama operasi laut dan udara telah
berhasil menarik perhatian internasional terhadap masalah Irian Barat. Dengan
berbagai upaya yang dilakukan akhirnya Belanda sadar bahwa Indonesia tidak
main-main untuk melakukan pertarungan senjata dalam menyelesaikan konflik.
Amerika yang juga sadar atas hal tersebut akhirnya mengajak kedua negara yaitu
Indonesia dan Belanda untuk mencoba mengembalikan permasalahan ini ke atas
meja perundingan di bawah PBB, yaitu melalui beberapa usulan diplomat Bunker.
telah ikut mendorong kemacetan diplomasi yang terjadi. Maka Angkatan Laut
sebagai bagian dari komponen utama naval campaign dan amphibious warfare
selama operasi militer pembebasan Irian Barat telah ikut menjadi bagian
menentukan atas keberhasilan nasional ini.
Peranan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dalam operasi
pembebasan Irian Barat merupakan contoh bukti nyata semangat perjuangan para
patriot bangsa dalam meraih dan mempertahankan kedaulatan negaranya. Apa
yang telah dilakukan oleh ALRI dalam ikut bekerjasama dan membantu
menyelesaikan masalah Irian Barat melalui setiap upayanya menunjukkan bahwa
bentuk tanggung jawab dan profesionalisme yang dipadu dengan jiwa
nasionalisme akan membawa sebuah kesuksesan. Sikap berani tersebut patut kita
hargai dan kita jadikan pembelajaran positif dalam kehidupan saat ini. ALRI
memang bertugas dan sangat berkapasitas sebagai badan pertahanan dan
keamanan negara, khususnya dalam bidang kelautan dan menjaga kedaulatan
bangsa. Maka jasa dan baktinya dapat kita maknai dan aplikasikan secara pribadi
dalam setiap segi yang kita miliki untuk membantu membangun bangsa dan
negara.
Hal berikutnya yang dapat diperoleh adalah mengetahui tentang bagaimana
cara membangun unsur angkatan perang yang tangguh dan professional.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, terdapat beberapa hal penting yang harus
diprioritaskan, diantaranya:
1. Menjalin koordinasi yang baik. Terutama dalam sebuah operasi gabungan,
keberhasilan akan sangat ditentukan oleh bagaimana membentuk kesatuan
angkatan perang yang solid dan profesional dalam menjalankan segala bentuk
tugas dengan disertai jiwa kerjasama yang erat.
2. Menjaga solidaritas di kalangan tentara, baik antara sesama pasukan
Angkatan Laut maupun dengan unsur militer lainnya.
3. Membuat suatu kurikulum pendidikan tentara yang professional sebagai
upaya penguatan wawasan dan kemampuan militer tentara, serta pertahanan
2. Melengkapi fasilitas persenjataan dan perlengkapan yang memadai agar dapat
memaksimalkan kemampuan dalam menjalankan tugas kemiliteran.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak peristiwa/topik
lain yang tidak dapat dibahas secara menyeluruh. Oleh sebab itu, penulis berharap
semakin banyak penelitian-penelitian yang jauh lebih baik di masa mendatang,
termasuk yang berkaitan dengan berbagai kejadian sejarah penting Angkatan Laut
RI maupun tentang peristiwa pembebasan Irian Barat. Selain itu terdapat beberapa
topik yang penulis anggap menarik namun tidak dapat dikupas lebih jauh dalam
skripsi ini, hal tersebut mungkin dapat menarik perhatian atau menginspirasi
pembaca yang dalam proses pencarian