• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces

cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Kimia

Oleh:

Ariqah Khoirunnisa 12307144016

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Hasbunallah wa ni’mal wakil (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an). Dia melindungi orang-orang saleh.”

(QS. Ali ‘Imran (7)μ 1λ6)

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas

limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam selalu tercurahkan

kepada nabi besar Muhammad SAW yang dirindukan syafaatnya di yaumul qiyamat

nanti. Alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT sehingga laporan tugas akhir ini

mampu terselesaikan.

Penelitian kimia berjudul “Pengaruh Interferensi Ion Timbal (Pb2+) terhadap

Biosorpsi Ion Kadmium (Cd2+) oleh Sel Ragi Saccharomyces cerevisiae pada Variasi

Waktu Kontak dan pH Media” telah dapat diselesaikan dengan baik sebagai

persyaratan memperoleh gelar sarjana sains yang telah ditetapkan oleh Jurusan

Pendidikan Kimia di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada kesempatan ini

perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang

telah memberikan izin dalam penulisan tugas akhir ini.

2. Bapak Drs. Jaslin Ikhsan, M.App.Sc., Ph.D selaku Ketua dan Koordinator Tugas

Akhir Skripsi Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas

Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran pelayanan dan urusan

akademik.

3. Bapak Sunarto, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan

(8)

viii

4. Bapak Dr.rer.nat. Senam, selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan, dan saran.

5. Ibu Prof. Dr. Hj. Indyah Sulistyo Arty, M.S. selaku penguji utama, atas

pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

6. Ibu Dr. Das Salirawati, M.Si selaku penguji pendamping, atas pertanyaan, kritik,

dan saran yang diberikan.

7. Ibu Sulistyani, M.Si selaku sekretaris penguji, atas pertanyaan, kritik, dan saran

yang diberikan.

8. Seluruh Dosen, Staf, dan Laboran Jurusan Pendidikan Kiimia FMIPA UNY yang

telah banyak membantu selama perkuliahan dan penelitian.

9. Ibu, Ayah, adik dan seluruh keluargaku yang selalu mendoakan, mendukung,

memotivasi dan segala kasih sayangnya selama ini.

10. Dhaul, Zainab, Kara, Fia, Sita, Nado, Ifa, Tika, April, Titik, sahabat Kawanan

Wanita Bahagia yang selalu memberi dukungan, semangat, dan doa.

11. Teman-teman Kimia Swadana 2012 yang selalu memberi motivasi dan doa.

12. Karamina, mitra kerja selama penelitian yang sudah memberikan bantuan tenaga

dan motivasi.

13. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan secara moral

maupun material dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini, yang tidak dapat

penulis sebut satu per satu.

Semoga semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis,

(9)

ix

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai

pihak demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak dan perbaikan pendidikan di masa yang akan datang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 24 November 2016

(10)
(11)

xi BAB III METODE PENELITIAN……….……....

A.Subjek dan Objek Penelitian ……….

1.Subjek Penelitian ………

1.Pembuatan Media Yeast Peptone Dextrosa (YPD) Padat ………...

2.Pembuatan Media Yeast Peptone Dextrosa (YPD) Cair ..………………. 3.Peremajaan Sel Ragi S. cerevisiae ………………………………………..

4.Pembuatan Kultur Awal (Starter) …………………………….…………..

5.Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae ……………….

6.Pembuatan Larutan Induk Pb2+ ………...

7.Pembuatan Larutan Induk Cd2+………..

8.Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae...

9.Pengaruh Interfensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S.

cerevisiae ………...

10. Pengaruh Variasi Waktu Kontak terhadap Biosorpsi Ion Pb2+………... 11. Pengaruh Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S.

cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak ……….………...

(12)

xii

12. Pengaruh Variasi pH Media terhadap Biosorpsi Ion Pb2+……….….. 13. Pengaruh Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S.

cerevisiae pada Variasi pH Media ……….…………..………...

E.Teknik Analisis Data ……….

1.Pengukuran dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)………... 43 44 45 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… A.Profil Pertumbuhan S. cerevisiae…...………...

B.Pengaruh Konsentrasi Ion Pb2+ terhadap Pertumbuhan Sel S. cerevisiae ………..

C.Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Ion Pb2+ terhadap Pertumbuhan Sel

S. cerevisiae ………

D.Pengaruh Waktu Kontak terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb2+………... E.Interfensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak ….. F. Pengaruh pH Media terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb2+…..……….…... G.Interfensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi pH Media ………..

H.Mekanisme Reaksi Biosorpsi ……..………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Asam Amino dalam Khamir S. cerevisiae…….…...…. 21 Tabel 2. Klarifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam-Basa Lewis …………..… 23 Tabel 3. Volume Larutan Pb2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi……….….. 38 Tabel 4. Volume Larutan Cd2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi ……….. 40 Tabel 5. Data Absorbansi Kultur Ragi S. cerevisiae…………..……….….. 49 Tabel 6. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Pb2+.… 51 Tabel 7. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Cd2+.… 53 Tabel 8. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiaepada Variasi Waktu Kontak…... 56 Tabel 9. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu

Kontak ……… 58

Tabel 10. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak... 59 Tabel 11. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak

dengan Interferensi Cd2+……… 60

Tabel 12. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+...………...……… 62 Tabel 13. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada

Variasi Waktu Kontak …... 63 Tabel 14. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi

(14)

xiv

Interferensi Cd2+……….……… 71

Tabel 19. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+...………...……….…… 74 Tabel 20. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada

Variasi pH Media …... 75 Tabel 21. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi

Cd2+ pada Variasi pH Media ...………... 76 Tabel 22. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu

Kontak tanpa Interfensi Cd2+……….. 94 Tabel 23. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media

tanpa Interfensi Cd2+……….……….. 95 Tabel 24. Data Absorbansi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak dan

pH Media dengan Interferensi Cd2+………...…………

96 Tabel 25. Perhitungan Korelasi X dan Y Larutan Standar Pb2+ pada Variasi

Waktu Kontak ………. 97

Tabel 26. Perhitungan Korelasi X dan Y Larutan Standar Pb2+ pada Variasi

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Strukur Kimia Kitin ………..………... 16

Gambar 2. Struktur Kimia metallothionein……….……... 16

Gambar 3. S. cerevisiae pembesaran 10 x 40 ………. 18

Gambar 4. Fase Pertumbuhan S. cerevisiae……… 20

Gambar 5. Gambar 6. Komponen pada Spektrofotometer Serapan Atom……… Kerangka Berpikir Biosorpsi Menggunakan S. cerevisiae... 25 30 Gambar 7. Kurva Pertumbuhan Sel Ragi S. cerevisiae………... 49

Gambar 8. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb2+ dengan Besarnya OD600 ...… 51

Gambar 9. Grafik Hubungan Konsentrasi Cd2+ dengan Besarnya OD600 …... 54

Gambar 10. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak ……….. 57

Gambar 11. Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan Konsentrasi Pb2+……… 58 Gambar 12. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi Waktu Kontak …...

59 Gambar 13. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan

Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak dengan Ion

Pb2+ dan Cd2+………....

61 Gambar 14. Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan

Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya

Interferensi Cd2+………

63 Gambar 15. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+ .…... 64 Gambar 16. Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi

S. cerevisiae tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi

Waktu Kontak………...

(16)

xvi

Gambar 17. Perbandingan OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH Media ………...

68 Gambar 18. Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi

Pb2+yang Terbiosorpsi ………..…………

69 Gambar 19. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi pH Media ………... Gambar 21. Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi

Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya Interferensi Cd2+..…

74 Gambar 22. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+ …... 75 Gambar 23. Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi

S. cerevisiaetanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH

Media ………..………... Gambar 25. Kurva Kalibrasi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu

Kontak tanpa Interfensi Cd2+……… 94 Gambar 26. Kurva Kalibrasi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media

tanpa Interfensi Cd2+……….………

95 Gambar 27. Kurva Kalibrasi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja ... 84

Lampiran 2. Daftar dan Kurva Larutan Standar ………. 94

Lampiran 3. Uji Signifikansi Garis Regresi ………... 97

(18)

xviii

PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces

cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA

Oleh :

Ariqah Khoirunnisa NIM. 12307144016

Pembimbing: Dr. rer. nat. Senam ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu kontak dan pH media terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cerevisiae dengan adanya pengaruh interferensi ion Cd2+. Subjek penelitian ini adalah ragi S. cerevisiae dan objek penelitian ini adalah biosorpsi ragi S. cerevisiae terhadap ion Pb2+. Penelitian ini dilakukan secara bertahap untuk mengetahui kondisi biosorpsi meliputi: (1) Penentuan profil pertumbuhan S. cerevisiae pada rentang waktu 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48 jam, (2) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae dengan konsentrasi Pb2+ 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm, (3) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae pada variasi waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 jam tanpa dan dengan interferensi Cd2+, (4) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae dengan pH media 3, 5, 7 dan 9 tanpa dan dengan interferensi Cd2+. Karakterisasi sampel dengan menggunakan Spectronic 20 dan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi waktu kontak dan pH media berpengaruh terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae. Pada waktu kontak 6 jam menunjukkan efisiensi pertumbuhan sebesar 45,31%. Pada pH 5 ragi S. cerevisiae menunjukkan biosorpsi optimum yaitu 43,78%.

(19)

xix

THE INFLUENCE OF CADMIUM ION (Cd2+) INTERFERENCE ON THE BIOSORPTION OF LEAD (Pb2+) ION BY S. cerevisiae YEAST

CELL IN THE VARIATION OF TIME CONTACT AND pH MEDIUM

By :

Ariqah Khoirunnisa

Number of Student: 12307144016

Supervisor: Dr. rer. nat. Senam ABSTRACT

The aim of this research are to study the influence of time contact and pH solution at on biosorption of Pb2+ by S. cerevisiae yeast with of interference Cd2+. The subject and the object of this research respectively were S. cerevisiae yeast and biosorption of it. The biosorption process was done step by step to get the best condition. The evaluation of the biosorption consist of: (1) Measurement growth of S. cerevisiae yeast in 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24, and 48 hours, (2) Measurement growth of S. cerevisiae yeast with variation concentration: 0, 5, 10, 15, 20 and 25 ppm, (3) Measurenment growth of S. cerevisiae with contact time varied at 0, 2, 4, 6, 8 and 10 hours without Cd2+ and with existence of Cd2+, (4) Measurement growth S. cerevisiae

yeast at pH medium 3, 5, 7 and 9 without Cd2+ and with existence of Cd2+. Samples were characterized by Spectronic 20 and Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). The results showed that the growth efficiency of S. cerevisiae at 6 hours contact time was 45,31% and the optimum biosorption of it at media pH 5 was 43,78%.

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Air yang menutupi hampir 70% permukaan bumi, memiliki peranan penting

sebagai sumber kebutuhan pokok makhluk hidup yang digunakan untuk

melangsungkan metabolisme, sistem asimilasi, menjaga keseimbangan tubuh dan

lain-lain. Saat ini pemenuhan terhadap air bersih menjadi perhatian khusus, seiring

dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk serta meningkatnya aktivitas

penduduk dikarenakan adanya arus globalisasi. Arus globalisasi ini memberikan

pengaruh pada berbagai sektor perindustrian, pertambangan, dan transportasi yang

membawa dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Salah satu dampak

negatif ini berupa pencemaran lingkungan akuatik oleh logam berat.

Limbah logam berat pada lingkungan akuatik membahayakan

keberlangsungan lingkungan, terutama manusia. Peristiwa ini dapat dilihat pada

kasus pencemaran logam berat kadmium yang pernah terjadi di Toyama Jepang.

Peristiwa ini mengakibatkan penduduk menderita penyakit Itai-itai (Ouch-ouch),

yakni tulang mengalami pelunakan (osteomalacia), kemudian menjadi rapuh dan

otot mengalami kontraksi karena kehilangan sejumlah kalsium, serta menderita

(21)

2

Pencemaran logam dapat merusak jaringan makhluk hidup. Beberapa logam

berbahaya yang terdapat di lingkungan, antara lain antimony (Sb), arsen (As),

kadmium (Cd), kromium (Cr), kobalt (Co), timbal (Pb), zink (Zn), merkuri (Hg).

Nikel (Ni), strontium (Sr) dan selenium (Se). Pencemaran lingkungan oleh logam

mengganggu kesehatan makhluk hidup bahkan dapat menyebabkan kematian.

Timbal merupakan logam yang bersifat racun jika terakumulasi di dalam

tubuh. Top Hazardous Subtance Priority List (2013) menjelaskan bahwa timbal

menempati urutan ke dua sebagai zat yang paling sering ditemukan dan

menimbulkan potensi yang signifikan bagi kesehatan manusia. Timbal dapat

masuk dalam lingkungan dan tubuh manusia dari berbagai macam sumber, seperti

bensin (petrol), daur ulang atau pembuangan baterai mobil, mainan, cat, pipa,

tanah, beberapa jenis kosmetik dan obat tradisional dan berbagai sumber lainnya

(WHO, 2007).

Pencemaran lingkungan oleh limbah logam berat umumnya diatasi dengan

pengolahan secara fisiko-kimia dan fitoremediasi. Adapun cara-cara fisiko kimia

yang umum digunakan seperti reverse osmosis, elektrodialisis, ultrafiltrasi

pertukaran ion, dan pengendapan kimiawi. Akan tetapi pengolahan secara

fisiko-kimia dan fitoremediasi masih menyebabkan berbagai kerugian misalnya

pemindahan ion logam yang tidak sempurna, kebutuhan energi dan reagen yang

tinggi, biaya yang mahal, menghasilkan lumpur toksik atau produk lain yang justru

(22)

3

dibutuhkan pengolahan yang efektif dan efisein dalam usaha mengurangi

pencemaran logam berat.

Metode berbasis bioteknologi seperti biosorpsi atau bioakumulasi menjadi

metode alternatif yang dapat digunakan dalam menangani pencemaran logam

berat. Proses biosorpsi menggunakan mikroorganisme yang terdapat di alam,

seperti rumput laut, fungi maupun bakteri. Faktor utama dalam pemilihan

mikroorganisme tersebut berupa; organisme mudah tersedia di alam, dan dapat

mengalami pertumbuhan cepat, terutama dibudayakan atau diperbanyak untuk

keperluan biosorpsi; efektivitas biaya (Volesky, 2000).

Fungi dapat dibedakan menjadi yeast (khamir, sel ragi), kapang (mold),

cendawan dan jamur lendir. Jamur dan khamir mendapat perhatian yang besar

sebagai penyerap logam, terutama karena keduanya dapat diperoleh pada industri

fermentasi (Gadd, 1992). Ragi S. cereviseae pada penelitian ini digunakan sebagai

mikroorganisme model biosorben, telah banyak diteliti berkaitan dengan

potensinya sebagai biosorben dan bioakumulator, diantaranya karena mudah

diperoleh banyak digunakan pada proses fermentasi serta memiliki presentase

material dinding sel sebagai sumber pengikatan logam yang tinggi. Hasil penelitian

sebelumnya S. cerevisiae telah banyak digunakan dalam mengurangi logam berat,

seperti Zn, Cu, Co, serta Th (Veglio, 1996).

Pada penelitian ini mempelajari ion logam Pb2+ sebagai ion yang dibiosorpsi

oleh ragi S. cereviseae, sedangkan ion Cd2+ digunakan sebagai ion yang

(23)

4

memberikan alternatif dalam penanganan pencemaran oleh limbah yang

mengandung ion logam berat pada lingkungan. Proses biosorpsi ion Pb2+ yang

terinterferensi Cd2+ sebagai ion penganggu dari proses penyerapan timbal. Pada

penelitian ini dikaji berdasarkan pengaruh ion logam lain, yaitu Cd2+ pada variasi

waktu kontak, dan pH media yang dimungkinkan mampu mempengaruhi proses

biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae.

Pemilihan ion Pb2+ pada penelitian ini didasarkan pada kondisi di lingkungan

dimana banyak ditemui ion Pb2+ pada limbah industri yang mencemari

lingkungan. Pemilihan waktu kontak didasarkan pada pertumbuhan ragi S.

cereviseae yang diperoleh melalui pengamatan profil pertumbuhan ragi. Pengaruh

interferensi oleh logam Cd2+ dilakukan sebagai simulasi keberadaan ion lain dalam

limbah, serta untuk mengetahui pengaruhnya terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh ragi

S. cereviseae yang diambil berdasarkan konsep asam basa lunak keras.

Ion logam Cd2+ pada konsep asam basa lunak-keras terletak pada golongan

asam-lunak, sedangkan ion logam Pb2+ terdapat pada daerah batas. Alasan

menggunakan Cd2+ adalah untuk mengetahui kemampuan biosorpsi ragi

S.cereviseae terhadap kedua logam yang memiliki kemiripan antara pasangan

asam-basanya.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini dapat diidentifikasi masalah

(24)

5

1. Belum dilakukan pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat timbal

secara optimal, sehingga limbah ion logam yang terbuang mencemari

lingkungan

2. Pengolahan limbah cair khususnya yang mengandung logam berat timbal

menggunakan biomassa S. cerevisiae belum dilakukan.

3. Adanya kemungkinan logam berat lain yang terdapat dalam kandungan limbah

cair yang mengandung timbal, seperti kadmium yang dapat mengganggu proses

biosorpsi.

4. Larutan logam berat timbal dan kadmium yang digunakan dalam penelitian ini

berupa larutan simulasi berupa Pb(NO3)2 dan CdSO4.

5. Pengolahan limbah cair logam berat timbal menggunakan konsentrasi timbal

(II) optimum dengan kondisi S. cerevisiae yang masih dapat hidup.

6. Pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat timbal yang

diinterferensi logam kadmium dengan variasi waktu kontak dan pH media

belum diteliti.

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dilakukan pembatasan masalah pada

penelitian ini sebagai berikut:

1. Media pertumbuhan yang digunakan yaitu media YPD (Yeast Peptone

(25)

6

2. Variasi konsentrasi larutan ion Pb2+ yang digunakan adalah 0; 5; 10; 15; 20; dan

25 ppm untuk mendapatkan konsentrasi optimum ragi S.cerevisiae masih dapat

hidup dengan baik.

3. Variasi konsentrasi interferensi larutan ion Cd2+ yang digunakan adalah 5; 10;

15; 20; dan 25 ppm untuk mendapatkan konsentrasi interferensi optimum ragi

S.cerevisiae masih dapat hidup dengan baik.

4. Variasi waktu kontak yang digunakan sebesar 0; 2; 4; 6; 8; dan 10 jam.

5. Variasi pH media yang digunakan 3, 5, 7 dan 9.

D.Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi:

1. Adakah pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+

oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi waktu kontak?

2. Adakah pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+

oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi pH media?

E.Tujuan Penelitan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji:

1. Ada tidaknya pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh

sel ragi S.cereviseae pada variasi waktu kontak.

2. Ada tidaknya pengaruh interferensi Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh sel

(26)

7 F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat, menambah wawasan pengetahuan mengenai potensi lain sel

ragi S. cereviseae dalam membantu mengatasi pencemaran lingkungan dan

memberikan pengetahuan tentang bidang bioteknologi mengenai pemanfaatan

mikroorganisme ragi dalam kehidupan manusia.

2. Bagi mahasiswa, memberikan pengetahuan mengenai pengaruh interferensi ion

kadmium (II) terhadap biosorpsi ion timbal (II) oleh ragi S. cerevisiae pada

variasi waktu kontak dan pH media dan sebagai acuan bagi referensi

(27)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teori

Deskripsi teori yang terkait dengan biosorpsi ion logam berat oleh

mikroorganisme disajikan secara rinci meliputi:

1. Pencemaran Lingkungan

Definisi pencemaran lingkungan menurut Undang-undang No. 23 tahun

1997 adalah masuknya dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan

komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan

hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya, kemudian

Undang-undang tersebut diperbaharui kembali dengan Undang-Undang-undang No. 32 tahun

2009 menurut undang-undang tersebut pencemaran lingkungan adalah masuk

atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke

dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu

lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Sumber pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh limbah industri

dan limbah domestik. Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran

lingkungan disebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila

keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makhluk hidup. Suatu

(28)

9

berada pada waktu yang tidak tepat. Pencemaran lingkungan dalam bidang

industri menjadi suatu perhatian khusus dikarenakan sangat berbahaya bagi

kesehatan. Logam berat yang terkandung dalam pencemaran dalam bentuk ion

logamnya seperti, Zn2+, Ni2+, Cu2+, Pb2+, Ag2+, Cd 2+ dan Cu2+..

Kasus pencemaran timbal dalam lingkungan biasanya disebabkan hasil

samping industri. Industri kertas menghasilkan limbah cair timbal dalam

volume yang besar. Limbah cair tersebut merupakan air dari hasil filtrasi

limbah yang berupa bubur kertas encer yang apabila tidak dikelola dapat

mengganggu kehidupan makhluk hidup (Maharai Haryati dkk, 2012).

Pencemaran lingkungan oleh timbal kebanyakan berasal dari aktivitas manusia

yang mengekstraksi dan mengeksploitasi logam tersebut.

a. Timbal

Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga

disebut dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah,

mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga biasa digunakan

untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Timbal adalah logam

yang lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat dan memiliki bilangan

oksidasi +2 (Sunarya, 2007).

Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun

garamnya. Garamnya yang beracun adalah: timbal karbonat (timbal putih);

(29)

10

asetat (merupakan penyebab keracunan yang paling sering terjadi). Ada

beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut dan kronis.

Baku mutu udara ambien untuk timbal, yaitu sebesar 2,0 g/Nm3

berdasarkan PP RI No. 41 Tahun 1999. Public Health Service Amerika

Serikat (Evi Naria, 2005) menetapkan bahwa sumber-sumber air untuk

masyarakat tidak boleh mengandung timbal lebih dari 0,05 mg/L, sedangkan

WHO menetapkan batas timbal di dalam air sebesar 0,1 mg/L. Indonesia

mempunyai batas maksimum cemaran Timbal (Pb) pada bahan makanan

yang ditetapkan oleh Dirjen POM dalam Surat Keputusan Dirjen POM No.

03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam

Makanan. Bahan makanan seperti susu dan hasil olahannya kadar

maksimum adalah 1,0 ppm, untuk sayuran dan hasil olahannya maksimum

2,0 ppm, untuk ikan dan hasil olahannya maksimum 2,0 ppm, dan untuk

beberapa jenis bahan makanan lainnya (Eva Naria, 2005).

Kemungkinan pencemaran timbal (Pb) oleh manusia dikarenakan

luasnya penggunaan timbal oleh manusia seperti dalam bahan bakar bensin,

baterai, cat dan sebagainya (Nana Dyah dkk., 2004). Palar (Meyliana, 2013)

menjelaskan keracunan timbal dapat terjadi jika timbal atau persenyawaanya

masuk ke dalam tubuh. Sama seperti jenis logam berat lainnya, timbal dapat

masuk ke tubuh manusia melalui beberapa cara, antara lain: melalui

(30)

11

timbal maupun penetrasi melalui kulit. Peristiwa absorpsi melalui kulit

terjadi untuk senyawa timbal organik (alkil timbal dan naftalenat timbal).

Keracunan timbal dapat menyerang manusia dari berbagai usia. Akan

tetapi, anak usia muda, wanita hamil dan pekerja di industri tertentu lebih

besar resikonya dibandingkan kelompok yang lain (Kessel I & O’Connor,

1997). Anak-anak lebih sensitif dibandingkan orang dewasa karena pusat

perkembangan sistem saraf mereka masih berkembang (Albalak et al, 2003).

b. Kadmium

Widowati (Istana, 2014) menjelaskan kadmium merupakan logam

berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah

bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Kadmium

(Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau

belerang (Cd sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil.

Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4, titik leleh 321°C, titik didih

767 °C dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3.

Seperti berbagai logam berat lain, logam kadmium membawa sifat

racun yang dapat merugikan makhluk hidup. Sarwoko Mangkoediharjo dan

Ganjar Hardianto (2009) menjelaskan bahwa meskipun kadmium

mempunyai konfigurasi elektronik dan sifat kimia yang mirip dengan seng

tetapi kadmium mempunyai daya racun yang lebih tinggi dibandingkan seng.

Daya racun atau toksisitas logam berat kadmium sangat tinggi, tetapi masih

(31)

12

mempunyai sifat mobilitas yang tinggi dalam tatanan lingkungan

dibandingkan logam berat lainnya, sehingga kadmium lebih mudah masuk

ke dalam rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup.

Terpapar akut oleh kadmium menyebabkan gejala nausea (mual),

muntah, diare, kram otot, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat,

kerusakan ginjal dan hati, dan gangguan kardiovaskuler, emfisema dan

degenerasi testikular. Perkiraan dosis mematikan akut adalah sekitar 500

mg/kg untuk dewasa dan efek dosis akan nampak jika terabsorpsi 0,043

mg/kg per hari. Gejala akut keracunan Cd adalah sesak dada, kerongkongan

kering dan dada terasa sesak, nafas pendek, nafas terengah-engah, dan dapat

berkembang ke arah penyakit radang paru-paru, sakit kepala dan menggigil,

bahkan dapat diikuti dengan kematian. Gejala kronis keracunan Cd yaitu

nafas pendek, kemampuan mencium bau menurun, berat badan menurun,

gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan (Widaningrum dkk, 2007).

2. Pengolahan Limbah

Pemisahan logam berat dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi.

Dyah Purwaningsih (2005) menjelaskan bahwa hampir semua logam berat

dapat dipisahkan dengan cara pengendapan dengan pH tinggi. Oleh karena itu

pada umumnya, cara pemisahan yang sering digunakan adalah cara kimia, yaitu

cara pengendapan dengan pH tinggi yang dilakukan dengan menambahkan

(32)

13

yang umum dilakukan adalah absorpsi menggunakan karbon aktif atau dengan

cara penyaringan menggunakan membran. Suyono (Dyah Purwaningsih, 2005)

menjelaskan bahwa pengolahan secara fisika-kimia dibebani suatu harapan

(terpenuhinya) kriteria efisien (tidak mahal) dan efektif. Namun ternyata cara

tersebut tidak memenuhi kedua kriteria secara kompherensif. Harris dan

Ramellow (1990) menjelaskan bahwa cara tersebut membutuhkan teknologi

tinggi, serta peralatan dan sistem monitor yang mahal. Selain itu kelemahannya

cara ini adalah dimasukkannya bahan kimia lain dalam proses pemisahannya.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem pengolahan yang

menggunakan bahan (material) murah untuk memisahkan logam berat dari air

buangan. Cara lain yang digunakan yaitu fitoremediasi menggunakan tanaman

tertentu untuk membersihkan tanah, sedimen, dan air yang terkontaminsai

logam. Kerugian menggunakan metode ini ialah dibutuhkan waktu lama untuk

pemindahan logam dan regenerasi tanaman untuk proses biosorpsi lebih lanjut

sukar (Rakhmawati, 2006).

Metode pengolahan limbah logam berat terutama timbal yang perlu

dikembangkan yaitu dengan metode biosorpsi dengan menggunakan

mikroorganisme. Kratochvil & Volesky (Ahalya et al, 2006) menjelaskan

keuntungan utama biosorpsi dibandingkan dengan semua metode penanganan

limbah yang ada ialah murah, efisiensi tinggi, minim bahan kimia dan buangan

lumpur, tidak memerlukan nutrien tambahan, adanya regenerasi biosorben, dan

(33)

14 a. Biosorpsi

Biosorpsi merupakan suatu proses dalam pengikatan kation secara

pasif dengan menggunakan mikroorganisme hidup atau mati yang dapat

mengurangi toksisitas dari logam tersebut. Forest (Rakhmawati, 2006)

menjelaskan bahwa biosorpsi dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari

materi biologi untuk mengakumulasi logam berat dari perairan baik dengan

cara fisiko-kimia maupun secara metabolik.

Proses biosorpsi melibatkan bahan padat (biosorben: materi biologi)

dan bahan cair (solven: biasanya digunakan air) mengandung logam berat

yang akan diserap (sorbat; ion logam). Dengan adanya daya afinitas yang

tinggi biosorben terhadap sorbat, sorbat akan ditarik dan terikat oleh

mekanisme yang berbeda(Rakhmawati, 2006).

Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang

bermuatan positif dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada

permukaan dinding sel atau dalam polimer-polimer ekstraseluler, seperti

protein dan polisakarida sebagai sumber gugus fungsi yang berperan penting

dalam mengikat ion logam. Proses penyerapan ini berlangsung cepat dan

terjadi pada sel hidup maupun sel yang telah mati (Volesky, 2000). Selain itu

biosorpsi juga terjadi karena adanya peristiwa pertukaran ion dimana ion

monovalent dan divalent seperti Na+, Mg2+, Ca2+, K+ pada dinding sel

(34)

15

Absorpsi logam berat (proses biosorpsi): melalui proses passive uptake

dan active uptake (Zarkasyi, 2008). Passive uptake merupakan proses yang

terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben. Mekanisme

passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara

pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam

berat; dan kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion

logam berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, tiol, hidroksi,

posfat dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat (Suhendrayatna,

2001; Ahalya et al., 2004). Dinding sel fungi sangat efisien untuk biosorpsi

logam karena adanya gugus-gugus fungsional yang dimilikinya. Polisakarida

fungi memiliki gugus amino, karboksi, fosfat, dan sulfat (Rakhmawati,

2006).

Protein dan polisakarida yang terdapat dalam fungi memiliki peran dan

proses biosorpsi logam karena ikatan-ikatan kovalen termasuk juga dengan

gugus amino dan karboksil. Gambar 1 memperlihatkan struktur kimia dari

kitin yang merupakan penyusun utama dinding sel S. cerevisiae. Kitin

memiliki gugus amino dan karboksil yang dapat berperan dalam biosorpsi

(35)

16

Gambar 1. Struktur Kimia Kitin

Mekanisme proses biosorpsi juga dapat diawali dengan pengikatan

logam pada gugus sulfur dari asam amino sistein yang terdapat pada dinding

sel S. cerevisiae. Protein reseptor akan mengenali adanya logam asing (non

esensial), selanjutnya gen akan mengkode untuk pembentukan

metallothionein dalam sel. Gambar 2 memperlihatkan strutur protein dalam

metallothionein. Protein metallothionein merupakan suatu protein pengikat

logam yang memiliki berat molekul 6000-7000 dalton, mengandung 30%

asam amino sistein. Kandungan sistein dan thiol yang tinggi menyebabkan

protein tersebut memiliki daya afinitas yang kuat terhadap logam

(Rakhmawati, 2006).

Gambar 2. Struktur Kimia Mettalothienin (Rakhmawati, 2006)

Active uptake merupakan mekanisme secara simultan terjadi berbagai

(36)

17

mikroorganisme dan akumulasi intraseluler ion logam tersebut. Logam berat

dapat diendapkan pada proses metabolisme, proses ini tergantung dari energi

yang terkandung dari energi yang tergantung dan sensifitasnya terhadap

parameter yang berbeda seperti pH, suhu dan kekuatan ionik.

Proses biosorpsi dapat dihambat oleh suhu yang rendah, tidak

tersedianya sumber energi dan beberapa penghambat metabolisme sel, selain

itu biosorpsi logam berat dengan sel hidup sangat terbatas dikarenakan oleh

akumulasi ion yang meracuni mikroorganisme. Mikroorganisme yang tahan

terhadap efek toksik dari ion logam dapat dihasilkan berdasarkan prosedur

seleksi yang ketat terhadap pemilihan jenis mikroorganisme yang tahan

terhadap kehadiran ion logam berat.

3. Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara

morfologi hanya membentuk blastopora yang berbentuk bulat lonjong, silindris,

oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembang biak

dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi

oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan

sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning

muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan

(37)

18

Gambar 3. S. cerevisiae Pembesaran 10 x 40 (Jean-Michel 2005).

Sel S. cerevisiae dapat tumbuh pada medium yang mengandung air gula

dengan konsentrasi tinggi. S. cerevisiae merupakan golongan khamir yang

mampu memanfaatkan senyawa gula yang dihasilkan oleh mikroorganisme

selulotik untuk pertumbuhannya. Spesies ini dapat memfermentasikan berbagai

karbohidrat dan menghasilkan enzim invertase yang bisa memecah sukrosa

menjadi glukosa dan frukosa serta dapat mengubah glukosa menjadi alcohol

dan karbondioksida sehingga banyak digunakan dalam industri pembuatan bir,

roti ataupun anggur (Fardiaz, 1992).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. cerevisiae

yaitu (Agustining, 2012):

a. Suhu

S. cerevisiae memiliki suhu optimum untuk pertumbuhannya. Pada

posisi suhu dibawah minimal maupun diatas maksimal dapat menyebabkan

terjadinya denaturasi enzim sehingga S. cerevisiae tidak dapat tumbuh.

(38)

19 b. pH

Laju pertumbuhan mikroorganisme S. cerevisiae bergantung pada pH,

adanya perubahan pH dapat mempengaruhi permebilitas sel dan sintesis

enzim, oleh sebab itu diperlukan upaya dalam mempertahankan pH dan

buffer. Adapun nilai pH optimal untuk pertumbuhan S. cerevisiae berada di

antara 2,5-4,5.

Dalam tahapan pertumbuhannya S. cerevisiae mengalami enam fase

yaitu:

a. Fase Adaptasi (Lag Phase)

Fase ini merupakan fase dimana S. cerevisiae menyesuaikan diri

(adaptasi) dengan lingkungan barunya dan belum mengadakan perbanyakan

sel. Mikroba merombak substrat menjadi nutrisi untuk pertumbuhannya

(Satriyo Krido., dkk, 2011).

b. Fase Eksponensial / Pertumbuhan (Log Phase)

S. cerevisiae telah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pembelahhan sel terjadi secara sangat cepat secara eksponensial. Dalam

kondisi kultur yang optimum, sel mengalami reaksi metabolisme yang

maksimum. Fase eksponensial ini berlangsung selama 2 jam. Peristiwa ini

dapat menunjukkan bahwa kultur telah berada kondisi aktif dan proses

(39)

20 c. Fase Penurunan (Deceleration Phase)

Fase ini berlangsung selama 20 menit, dimana pertumbuhan

mengalami perlambatan (Satriyo Krido., dkk, 2011).

d. Fase Penetapan/ Konstan (Stationer Phase)

Pada fase ini kecepatan pertumbuhan S. cerevisiae adalah nol. Namun

demikian, bukan berarti tidak terjadi pertumbuhan sel. Konsentrasi biomassa

pada fase ini berada dalam keadaan maksimum. Pada fase ini menghasilkan

metabolisme sekunder, yaitu merupakan inhibitor dan bersifat racun. Nutrien

yang merupaka asupan nutrisi bagi S. cerevisiae mulai berkurang, sehingga

adanya persaingan antar mikroba yang mengakibatkan semakin cepat

kematian (Satriyo Krido., dkk, 2011).

e. Fase Kematian (Decline Phase)

Tahapan pada fase ini terhentinya aktifitas kehidupan S. cerevisiae,

dikarenakan tidak adanya energi yang digunakan untuk melakukan

metabolisme (Satriyo Krido., dkk, 2011).

(40)

21

Mekanisme dalam proses biosorpsi S. cerevisiae diawali dengan

pengikatan logam pada gugus sulfur yang terdapat dari asam amino sistein yang

terdapat pada dinding sel. Berikut kandungan asam amino yang terdapat dalam

S. cerevisiae:

Tabel 1. Kandungan Asam Amino dalam Khamir S. cerevisiae

No. Asam Amino Jumlah (%)

Gugus sulfur yang terdapat pada asam amino sistein sebesar 0,9% dalam

ragi S. cerevisiae dimungkinkan dapat mengikat logam berat seperti timbal dan

kadmium. Metallothionein sebagai protein pengikat logam (metal-binding

protein) berfungsi dan berperan dalam pengikatan atau penyekapan logam

dalam jaringan makhluk hidup. Kandungan dalam metallothionein berupa

residu sistein yang dibutuhkan dalam mendetoksifikasi logam-logam berat

dengan mengikat kation dalam logam transisi. Terdapat dua domain dalam

metallothionein yang mempunyai peran fungsional yaitu domain β (N-terminal)

yang terlibat dalam homeostasis dari ion logam esensial, dan domain α (C

(41)

22

Pertukaran ikatan dengan protein lain dalam metallothionein dapat

berlangsung dengan mudah, meskipun metallothionein dapat mengikat logam

dengan sangat kuat. Peristiwa ini karena ikatan metallothionein terhadap logam

memiliki kestabilan termodinamik yang tinggi namun stabilitas kinetiknya

rendah. Alasan inilah yang menjadikan metallothionein mempunyai fungsi

biologis sebagai distributor dan mediator intraseluler terhadap logam-logam

yang diikatnya (Ekawati, 2014).

4. Asam-Basa Lunak-Keras

Asam-basa lunak merupakan asam basa yang elektron valensinya mudah

dilepaskan, sedangkan asam-basa keras merupakan asam-basa yang mempunyai

sifat terpolarisasi rendah karena sifatnya yang tidak mempunyai elektron

valensi. Istilah lunak-keras bersifat relatif tanpa adanya pemisahan yang tajam

antara keduanya. Daerah batas umumnya banyak terdapat pada logam-logam

transisi. Golongan utama logam pada bagian kanan sistem periodik unsur

bersifat asam lunak. Beberapa ion logam tertentu bersifat asam lunak karena

muatan ion rendah dan keras karena muatan ion tinggi (Cowan, 1997).

Pearson (1963) menjelaskan bahwa asam-basa Lewis dapat diklasifikasi

sebagai asam basa lunak (soft) atau keras (hard). Asam-basa lunak adalah asam

basa yang elektron-eletron valensinya mudah terpolarisasi atau dilepaskan,

sedangkan asam-basa keras adalah asam-basa yang tiak mempunyai elektron

(42)

23

Informasi yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa istilah

lunak-keras bersifat relatif tanpa adanya pemisahan yang tajam (mendadak)

antara keduanya sehingga menghasilkan apa yang dapat dikatakan sebagai

“daerah batas” (borderline) bagi keduanya. Secara umum, ion logam-logam

yang terletak pada bagian kiri sistem periodik unsur bersifat asam keras;

peristiwa ini paralel dengan rendahnya sifat elektronegatif atau tingginya sifat

elektropositif logam-logam yang bersangkutan. Daerah batas umumnya

terdapat pada logam-logam transisi. Golongan utama logam pada bagian kanan

sistem periodik unsur bersifat asam lunak. Sifat asam juga berkaitan dengan

muatan ion; beberapa ion logam tertentu bersifat aman lunak bagi muatan ion

rendah dan keras bagi muatan ion ton tinggi. Beberapa contoh sifat asam-basa

menurut klasifikasi Pearson dapat diperiksa pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam Basa Lewis

No Acid Bases

(43)

24 5. Pengukuran

Pengukuran untuk memperoleh data selama pelaksanaan penelitian

dilakukan menggunakan:

a. Spektronik 20

Spektronik 20 dapat mengukur kepekaan sel dalam suspensi dengan

parameter optical density (OD). Dalam mikrobiologi OD sebagai suatu

hitungan karena OD sebanding dengan jumlah sel dalam suspensi biakan

(Bibiana, 1994).

Dalam penggunaanya, penentuan jumlah sel dengan spektronik 20

dengan parameter OD memerlukan dua tahap. Pada tahap pertama,

spektronik 20 dikalibrasikan hingga mempunyai nilai 0 bila tidak ada sel.

Langkah ini dilakukan dengan memasukkan kuvet yang berisi larutan

blanko, sedangkan pada tahap kedua dilakukan dengan memasukkan kuvet

yang berisi larutan sampel hingga diperoleh nilai OD (Bibiana, 1994).

Pengukuran densitas optik dengan menggunakan spektronik 20

didasarkan pada pemisahan cahaya pada panjang gelombang 600 nm.

Panjang gelombang 600 nm memiliki warna oranye, pemilihan panjang

gelombang 600 nm ini dikarenakan dengan panjang gelombang 600 nm

bahan organik lebih mudah menyerap cahaya.

Prinsipnya gelombang cahaya akan melewati suspensi biakan hingga

(44)

25

diukur. Jumlah cahaya yang ditransmisikan setelah melewati biakan

berbanding terbalik dengan jumlah mikroorganisme.

Densitas optik suatu supensi tidak langsung menunjukkan jumlah

sampel dalam suatu populasi, namun menunjukkan jumlah cahaya yang

disebar oleh populasi tersebut. Untuk memperoleh jumlah sel

mikroorganisme, maka nilai kerapatan optik harus disetarakan dengan

jumlah organisme. Semakin besar OD600 maka semakin banyak selnya

(OD600 = 1 menjadi 107 sel/mL).

b. Spektroskopi Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode yang digunakan

untuk mendeteksi atom-atom logam dalam fase gas. Metode ini seringkali

mengandalkan nyala untuk mengubah logam dalam larutan sampel menjadi

atom-atom logam berbentuk gas yag digunakan untuk analisis kuantitatif

dari logam dalam sampel. Metode spektrofotometri serapan atom

berdasarkan pada prinsip absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan

menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat

unsurnya.

(45)

26

Spektroskopi serapan atom pada penelitian ini digunakan untuk

mengukur jumlah konsentrasi Pb2+ yang tersisa maupun Pb2+ yang sudah

terinteferensi oleh Cd2+. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur

jumlah atom logam yang kembali dari energi tinggi menuju pada energi

dasarnya.

Khopkar (1990) menjelaskan bahwa metode ini mampu mendeteksi

logam sampai jumlah yang sangat kecil, yaitu bagian per juta (ppm). Dengan

metode pengukuran ini dapat mendeteksi kadar logam berat salah satunya

kadmium dan timbal dengan jumlah yang sangat kecil.

Energi radiasi disebabkan oleh terjadinya perpindahan elektron ke

tingkat energi yang lebih tinggi. Pengurangan interaksi yang ditimbulkan

sebanding dengan jumlah atom pada tingkat energi dasar yang menyerap

energi tersebut. Sehubungan dengan itu intensitas radiasi yang dapat diserap

menunjukkan konsentrasi unsur dalam suatu larutan (Khopkar, 1990).

Teknik analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometer serapan

atom digunakan untuk mengukur konsentrasi larutan dalam sampel dengan

menggunakan kurva standar berdasarkan persamaan Lambert-Beer, A = bc.

Bila  dan b tetap maka persamaan Lambert-Beer secara matematik dapat

dinyatakan dengan Y= aX. Y menyatakan besarnya absorbansi, X

menyatakan konsentrasi dan a menyatakan tetapan dengan a= bc, 

(46)

27 B.Penelitian yang Relevan

Nunik Ekawati (2014) melakukan penelitian mengenai biosorpsi ion logam

Cd oleh biomassa S. cerevisiae dengan menggunakan logam simulasi. Biosorspi

dilakukan dengan menambahkan biomassa S. cerevisiae yang telah diinokulasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa S. cerevisiae mencapai waktu

optimum pada jam ke-6 dan pada suhu 25oC biomassa S. cerevisiae mencapai suhu

optimum. Adanya interferensi logam lain mengakibatkan penurunan efisiensi

biosorpsi dari 24,57% menjadi 16,23% dan pada variasi suhu inkubasi terjadi

penurunan efisiensi dari 44,47% menjadi 35,22%.

Sunardi (2011) telah melakukan penelitian adanya penurunan kadar krom

(VI) dengan Sargassum Sp, S. cerevisiae dan kombinasinya pada limbah cair

industri batik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan S. cerevisiae dapat

digunakan untuk menurunkan kadar krom(VI) serta limbah cair industri batik.

Rahmadhan dan Handajani (2010), melakukan penelitian untuk mengetahui

biomassa S. cerevisiae sebagai biosorben untuk menyerap kandungan ion logam

Cr yang terdapat pada larutan. Penelitian dilakukan dengan menguji kemampuan

biosorpsi pada variasi pH, waktu kontak dan konsentrasi logam Cr. Berdasarkan

hasil penelitian menunjukkan bahwa biosorpsi tertinggi mencapai 45% dengan

kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 62,5 mg Cr/g sorben.

Muwardi et al (1997) telah meneliti mengenai pemanfaatan biomassa S.

cerevisiae untuk penyerapan logam Pb2+. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(47)

28

dengan serapan maksimum 33,04 mg Pb/g biomasaa. Veglio dan Beolchini (1996)

telah menunjukkan kapasitas biosorpsi dari S. cerevisiae dalam mengurangi

logam-logam seperti kobalt, zink, serta uranium.

C.Kerangka Berpikir

Pesatnya arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan industri

menyebakan pencemaran logam berat pada lingkungan, terutama pada lingkungan

perairan. Logam berat yang banyak ditemukan di alam berupa timbal, yang

menempati urutan ke dua sebagai zat yang paling sering ditemukan dan

menimbulkan potensi yang signifikan bagi kesehatan manusia. Selain logam

timbal tidak menutup kemungkinan adanya logam-logam berat lain yang terbawa

dan mampu menyebabkan pencemaran lingkungan akuatik juga. Dalam penelitian

ini digunakan logam berat kadmium sebagai simulasi keberadaan logam lain di

alam.

Untuk mengatasi masalah pencemaran logam tersebut perlu dilakukan

penelitian dengan metode yang ramah lingkungan, salah satunya dengan biosorspi

memanfaatkan sel ragi dengan menggunakan mikroorganisme. Mikroorganisme

seperti jamur, khamir, bakteri, alga secara efisen dapat menyerap logam berat

dengan memiliki berbagai keunggulan lebih murah dibandingkan metode

fisika-kimia. Penelitian ini menggunakan mikroorganisme S. cerevisiae yang berpotensi

sebagai biosorben dan bioakumulator logam berat, diantaranya karena material

(48)

29

Penelitian ini mengkaji mengenai kemampuan ragi S. cerevisiae dalam

mengabsorpsi Pb2+ yang tercampur ion logam Cd2+ yang keduanya berbeda

kelompok sesuai klasifikasi asam basa lunak-keras. Hal ini dilakukan berdasarkan

keberadaan ion-ion logam lain dalam limbah selain ion Pb2+ yang mungkin dapat

mengabsorpsi ion Pb2+.

Ion logam dapat diabsorpsi oleh mikroorganisme S. cerevisiae dengan cara

berikatan dengan gugus sulfida dan asam amino sistein pada protein dinding sel

ragi S. cerevisiae. Berdasarkan klasifikasi asam basa lunak keras gugus sulfida

termasuk ke dalam golongan basa lunak. Dengan demikian, secara teori dapat

diramalkan bahwa gugus sulfida akan cenderung mengikat ion golongan asam

lunak atau ion daerah batas.

Berdasarkan konsep asam basa lunak keras ion logam Pb2+ dan ion logam

Cd2+ terletak pada klasifikasi yang berbeda. Pb2+ terletak pada daerah batas dan

Cd2+ terletak pada daerah asam lunak. Ditinjau dari elektron valensi gugus sulfida

dan ion Pb2+ mempunyai elektron yang sesuai yaitu 2- dan 2+, sehingga

dimungkinkan akan lebih mudah terjadi ikatan. Berdasarkan beberapa

kemungkinan di atas maka interferensi ion Cd2+ diduga akan berpengaruh dalam

mempengaruhi biosorpsi ragi S. cerevisiae terhadap logam Pb2+ apabila kedua ion

(49)

30

Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi yaitu

waktu kontak dan pH media untuk mengetahui efisiensi biosorpsi ion Pb2+ yang

terinteferensi ion logam Cd2+. Secara ringkas kerangka berpikir dapat ditampilkan

melalui Gambar 6.

(50)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dan obyek penelitian ini dijelaskan secara rinci dengan memisahkan

antara subyek penelitian dan obyek penelitian.

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berupa sel ragi S. cerevisiae yang mampu

membiosorpsi ion Pb2+ yang diinterferensi oleh ion Cd2+ pada pengaruh variasi

waktu kontak dan pH media.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini berupa absorptivitas sel ragi S. cereviseae terhadap

ion Pb2+ yang diinterferensi oleh ion Cd2+ pada pengaruh variasi waktu kontak

dan pH media.

B.Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat yang

masing-masing variabel dijelaskan pada bagian berikut.

1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian adalah variasi perbandingan Pb2+ dan Cd2+

(51)

32 2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah jumlah ion Pb2+ yang dibiosorpsi

oleh sel ragi S. cereviseae pada media pertumbuhan yang mengandung ion

Pb2+.

C.Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari alat penelitian, bahan penelitian,

dan tempat penelitian sebagai berikut.

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Spektrofotometer

Serapan Atom (SSA), Shaker Eyela, Autoklaf Model 25 No 25X Wiscosin

Aluminium, sentrifuge H-103n Kokusan, laminar air flow (LAF) SCB- 4000A

Shimadzu, timbangan analitik, tabung sentrifuge, mikropipet 10 mL; 5mL; dan

1 mL, labu ukur 100 mL, erlenmeyer, cawan petri, tabung reaksi, beakerglass,

kawat ose, pipet tetes, stopwatch, tip, dan tabung fihn.

2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: yeast

extract, bacto pepton, bacto agar, sel ragi S. cerevisiae, NaOH 0,5 M, HNO3

0,5 M, serbuk Pb(NO3)2, serbuk CdSO4, kapas, kasa, kertas payung, karet dan

(52)

33 3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA UNY dan

Laboratorium Kimia Organik FMIPA UNY.

D.Prosedur Penelitian

Sebagian besar kerja dan penelitian ini dilakukan dalam kondisi steril untuk

menghindari adanya kontaminasi, terutama ketika menggunakan media

pertumbuhan dan inokulasi sel ragi. Inokulasi dilakukan di Laminar Air Flow

(LAF) yang sebelumnya telah diberi sinar ultraviolet dan disemprot dengan

alkohol 70%.

Semua peralatan gelas, kawat ose, YPD ( Yeast Peptone Dextrosa ) cair dan

padat harus disterilkan terlebih dahulu menggunakan autoklaf pada suhu 121 ͦ C

dan tekanan 1 atm selama 15 menit (Widyatmoko, 2012).

Pengukuran koloni mikroorganisme berdasarkan jumlah koloni secara

kualitatif menggunakan spektronik 20 dengan = 600 nm. Sedangkan pengukuran

secara kuantitatif dengan mengukur kadar timbal menggunakan SSA.

1. Pembuatan Media Yeast Pepton Dekstrosa (YPD) Padat

Sebanyak 2 g glukosa, 1 g yeast extract, 2 g agarosa dan 2 g bacto pepton.

Bacto pepton, yeast extract, dan agarosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250

mL dan ditambah akuades hingga volume 70 mL. Glukosa dimasukkan dalam

(53)

34

larutan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 ͦC selama 10 menit dan

tekanan 1 atm, kemudian larutan dicampur di dalam Laminar Air Flow. Media

dituangkan pada cawan petri dan ditunggu sekitar 10 menit hingga memadat

(Widyatmoko, 2012). Media YPD padat dapat digunakan setelah dua hari untuk

melihat ada tidaknya kontaminasi jamur lain.

2. Pembuatan Media Yeast Pepton Dekstrosa (YPD) Cair

Sebanyak 2 g glukosa, 1 g yeast exctract, dan 2 g bacto pepton ditimbang.

Bacto pepton dan yeast extract dicampur dalam erlenmeyer 250 mL dan

ditambah akuades hingga volume 70 mL. Glukosa dimasukkan dalam

erlenmeyer lain dan ditambah akuades hingga volume 30 mL. Masing–masing

larutan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 10

menit dan tekanan 1 atm, kemudian larutan dicampur di dalam Laminar Air

Flow. Media YPD cair siap digunakan (Widyatmoko, 2012).

3. Peremajaan Sel Ragi S. cerevisiae

Media YPD padat pada cawan petri disiapkan. Sel ragi alami (wild type S.

cereviseae) sebagai sel stok diambil dengan kawat ose steril. Sel yang

menempel pada kawat ose digesekkan pada media YPD padat, kemudian

(54)

35

berperan sebagai sel stok dan disimpan pada alat pendingin dengan suhu 4oC

untuk dapat digunakan pada penelitian selanjutnya ( Widyatmoko, 2012).

4. Pembuatan Kultur Awal (Starter)

Media YPD cair yang telah disterilkan menggunakan autoklaf

dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sel ragi pada media diambil menggunakan

ose steril, kemudian dimasukkan ke dalam 10 mL YPD cair. Inkubasi dilakukan

pada suhu kamar selama 12 jam (Widyatmoko, 2012).

5. Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae

Sebanyak 25 mL media YPD cair dimasukkan dalam 2 buah Erlenmeyer

250 mL yang telah disterilkan terlebih dahulu. Media ditambah dengan starter

masing-masing 0,5 mL (dari metode 4). Kultur tersebut diinkubasi

menggunakan shaker dengan kecepatan 125 ppm pada suhu kamar selama 48

jam (erlenmeyer ditutup dengan kapas). Pengukuran OD600 dilakukan pada jam

ke 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48. Profil pertumbuhan ragi S.cereviseae diketahui

dengan menghubungkan grafik antara waktu kontak dengan OD600

(Widyatmoko, 2012).

6. Pembuatan Larutan Induk Pb2+

Pembuatan larutan induk Pb2+ dilakukan dengan menimbang serbuk

(55)

36

Larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dengan

menambahkan akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan digojog hingga

homogen. Larutan induk ini disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC

selama 10 menit dan tekanan 1 atm. Pembuatan larutan induk didasarkan pada

perhitungan (Widyatmoko, 2012).

Massa kristal Pb(NO3)2 =

=

= 159,848 mg

7. Pembuatan Larutan Induk Cd2+

Pembuatan larutan induk Cd2+ dilakukan dengan menimbang serbuk

CdSO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga larut dalam erlenmeyer. Larutan

tersebut kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dengan menambahkan

akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan digojog hingga homogen.

Larutan induk ini disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama

10 menit dan tekanan 1 atm. Pembuatan larutan induk didasarkan pada

perhitungan (Widyatmoko, 2012).

Massa kristal CdSO4 =

=

(56)

37

8. Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsentrasi

larutan Pb2+ maksimum dengan kondisi sel ragi yang masih dapat hidup dengan

baik. Variasi konsentrasi larutan Pb2+ yang digunakan yakni 0; 5; 10; 15; 20 dan

25 ppm (masing-masing dilakukan secara duplo).

Volume larutan Pb2+ yang ditambahkan dapat ditentukan dengan rumus

pengenceran berikut.

V1 x C1 = V2 x C2

Keterangan:

V1 : volume larutan Pb2+ yang akan ditambahkan

C1 : konsentrasi larutan Pb2+ yang akan ditambahkan

V2 : volume total sampel

C2 : konsentrasi larutan Pb2+ total sampel

Volume total sampel yaitu 10 mL termasuk 0,5 mL starter. Melalui rumus

di atas, maka akan diperoleh volume larutan Pb2+ yang ditambahkan pada setiap

(57)

38

Tabel 3. Volume Larutan Pb2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi

No. Konsentrasi

Sebanyak 12 buah erlenmeyer yang sudah disterilkan dengan autoklaf

diisi dengan media YPD cair sesuai dengan tabel di atas. Setiap dua erlenmeyer

diisi masing-masing 9,5 mL; 9,45 mL; 9,4 mL; 9,35 mL; 9,3 mL; dan 9,25 mL.

Starter sebanyak 0,5 mL ditambahkan pada masing-masing media cair dan

diinkubasi selama 6 jam, kemudian dilakukan pengukuran OD600 setelah media

diinkubasi.

Larutan Pb2+ ditambahkan sesuai dengan variasi konsentrasi, setelah

media diinkubasi selama 6 jam. Masing-masing kultur diinkubasi kembali

menggunakan shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (sesuai hasil

dari profil pertumbuhan ragi) pada suhu kamar. Untuk mengetahui jumlah sel

ragi yang mampu hidup dalam media yang telah diberi Pb2+, dapat dilakukan

pengukuran dengan menggunakan spektronik 20. Data yang didapatkan berupa

OD600 pada variasi konsentrasi Pb2+. Data ini kemudian digambarkan dalam

sebuah grafik yang menjelaskan mengenai konsentrasi Pb2+ optimum dimana

(58)

39

9. Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsentrasi

larutan Cd2+ maksimum dengan kondisi sel ragi yang masih dapat hidup dengan

baik. Variasi konsentrasi larutan Cd2+ yang digunakan yakni 5; 10; 15; 20 dan

25 ppm (masing-masing dilakukan secara duplo).

Volume larutan Pb2+ yang ditambahkan disesuaikan dari hasil konsentrasi

pengaruh variasi konsentrasi Pb2+, sedangkan volume larutan Cd2+ dapat

ditentukan dengan rumus pengenceran berikut.

V1 x C1 = V2 x C2

Keterangan:

V1 : volume larutan Cd2+ yang akan ditambahkan

C1 : konsentrasi larutan Cd2+ yang akan ditambahkan

V2 : volume total sampel

C2 : konsentrasi larutan Cd2+ total sampel

Volume total sampel yaitu 10 mL termasuk 0,5 mL starter, dan 0,15 mL

Pb2+. Dengan menggunakan rumus diatas, maka akan diperoleh volume larutan

Cd2+ yang ditambahkan pada setiap variabel konsentrasi dapat dilihat pada

(59)

40

Tabel 4. Volume Larutan Cd2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi

No.

Sebanyak 10 buah erlenmeyer yang sudah disterilkan dengan autoklaf

diisi dengan media YPD cair sesuai dengan tabel di atas. Setiap dua erlenmeyer

diisi masing-masing 9,3 mL; 9,25 mL; 9,2 mL; 9,15 mL; dan 9,1 mL. Starter

sebanyak 0,5 mL ditambahkan pada masing-masing media cair dan diinkubasi

selama 6 jam, kemudian dilakukan pengukuran OD600 setelah media diinkubasi.

Larutan Cd2+ sesuai dengan variasi konsentrasi dan larutan Pb2+

ditambahkan, setelah media diinkubasi selama 6 jam. Masing-masing kultur

diinkubasi kembali menggunakan shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 10

jam (sesuai hasil dari profil pertumbuhan ragi) pada suhu kamar. Untuk

mengetahui jumlah sel ragi yang mampu hidup dalam media yang telah diberi

Pb2+ dengan interferensi Cd2+, dapat dilakukan pengukuran dengan

menggunakan spektronik 20. Data yang didapatkan berupa OD600 pada variasi

konsentrasi Pb2+ dengan adanya interferensi Cd2+. Data ini kemudian

digambarkan dalam sebuah grafik yang menjelaskan mengenai konsentrasi Pb2+

optimum dimana kondisi ragi S. cerevisiae masih tumbuh dengan baik

Gambar

Gambar 2. Struktur Kimia Mettalothienin (Rakhmawati, 2006)
Gambar 3.  S. cerevisiae Pembesaran 10 x 40 (Jean-Michel 2005).
Tabel 2. Klasifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam Basa Lewis
Tabel 5. Data Absorbansi Kultur Ragi S. cerevisiae
+7

Referensi

Dokumen terkait