• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KORBAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN. MANUSIA (STUDI PUTUSAN NOMOR 182/Pid.B/2019/PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KORBAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN. MANUSIA (STUDI PUTUSAN NOMOR 182/Pid.B/2019/PN."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH :

ELISABETH SISKA DEWI SIAHAAN NIM 140200322

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

KATA PENGANTAR Salam sejahtera bagi kita semua,

Segala puji kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kenikmatan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih buat Ayah, Ibu, dan adik-adik penulis yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup penulis dengan doa dan cinta kasih yang tiada henti. Skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi penulis adalah “Perlindungan Hukum Kepada Korban Pekerja Migran Indonesia Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (Studi Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls)”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.

2. Bapak Dr. Saidin, SH., M.Hum sebagai Wakil dekan I, Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum sebagai Wakil Dekan II, dan Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum sebagai Wakil Dekan III.

3. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, SH., M.H sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

(4)

Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum sebagai Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Almamater Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, 03 November 2020 Penulis

Elisabeth Siska Dewi Siahaan

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penelitian ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Perlindungan Hukum ... 7

2. Pengertian Korban ... 9

3. Pengertian Pekerja Migran Indonesia ... 12

4. Pengertian Penyelundupan Manusia ... 13

F. Metode Penelitian ... 16

1. Jenis Penelitian ... 16

2. Bahan Hukum ... 16

3. Metode Pengumpulan Data ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 18

(6)

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA YANG BERLAKU DI

INDONESIA ... 20

A. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyelundupan Manusia ... 20

1. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Penyelundupan Manusia ... 20

2. Faktor-faktor Tindak Pidana Penyelundupan Manusia ... 22

3. Pelaku dan Korban Dalam Penyelundupan Manusia ... 26

4. Modus Operandi Dalam Penyelundupan Manusia ... 29

B. Aturan Hukum Tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia Yang Berlaku Di Indonesia ... 31

1. Dalam KUHP ... 31

2. Diluar KUHP ... 32

3. Protokol PBB Terhadap Penyelundupan Manusia ... 40

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KORBAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 182/Pid.B/2019/PN.Bls ... 43

A. Ruang Lingkup Pekerja Migran ... 43

1. Terminologi Pekerja ... 43

2. Sejarah Pekerja Migran ... 46

(7)

3. Dasar Hukum Pekerja Migran di Indonesia ... 58

B. Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls ... 60

1. Posisi Kasus ... 60

2. Dakwaan ... 61

3. Tuntutan ... 62

4. Pertimbangan Hakim ... 62

5. Putusan Hakim ... 63

C. Perlindungan Hukum Kepada Korban Pekerja Migran Indonesia Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Manusia Berdasarkan Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls ... 64

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA

(8)

 Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I

ABSTRAKSI

Elisabeth Siska Dewi Siahaan* Syafruddin Kalo**

Nurmalawaty***

Istilah people smuggling atau penyelundupan manusia sudah menjadi istilah yang biasa di dengar pada era modern ini. Di Indonesia sendiri, penyelundupan manusia ada diatur secara implisit melalui Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi maupun dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Akan tetapi 2 (dua) ketentuan tersebut tidak mampu menjerat pelaku penyelundupan manusia karena tidak ada definisi yang pasti mengenai kejahatan mengenai kejahatan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan-putusan hakim, bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku dan pendapat para ahli dan bahan hukum tersier terdiri dari Kamus Umum, Kamus Hukum, Majalah dan Jurnal Ilmiah. Metode Pengumpulan Data menggunakan studi kepustakaan. Dalam aturan yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia sesuai hukum yang berlaku di Indonesia telah diatur dalam KUHP pada Pasal 263 KUHP, sedangkan di luar KUHP dalam Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 dan Protokol PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia ke dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2009.

Perlindungan Hukum Pekerja Migran Indonesia telah di jaminkan oleh Undang- undang hal ini berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yakni perlindungan sebelum bekerja, perlindungan selama bekerja dan perlindungan setelah bekerja. Namun hal itu dapat diterima oleh Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Selanjutnya jika Pekerja Migran Indonesia ingin mendapatkan pekerjaan dengan menggunakan dokumen sah tapi tidak sesuai dengan persyaratan sebagai Calon atau Pekerja Migran Indonesia maka Negara Indonesia melalui Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat (1) dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2009 melalui Pasal 5.

Kata Kunci : perlindungan hukum, penyelundupan manusia

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Saat ini, dunia sedang menghadapi apa yang disebut dengan isu keamanan non tradisional yang tidak mengerahkan kekuatan militer sebagai bentuk penyelesaian.

Kemudian ditambah dengan globalisasi yang semakin hari semakin berkembang pesat mengakibatkan batas-batas teritorial yang ada tidak lagi menjadi penghalang individu yang berbeda negara untuk saling berkomunikasi satu sama lain.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini dapat memberikan kemudahan bagi terjadinya kejahatan-kejahatan lintas negara sebagai salah satu bentuk dari isu keamanan non tradisional. Transnational crime atau kejahatan lintas negara saat ini tengah menjadi perhatian dari negara-negara di dunia karena marak terjadi dan menimbulkan korban yang jumlahnya tidak sedikit.

Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia, kejahatan lintas negara merupakan bentuk kejahatan yang menjadi ancaman serius terhadap keamanan dan kemakmuran global mengingat sifatnya yang melibatkan berbagai negara.1 Semua negara di dunia bekerja sama untuk mencegah kejahatan lintas negara. Kementerian Luar Negeri Indonesia sendiri membagi kejahatan lintas negara ke dalam 3 (tiga) kategori2 dimana salah satu dari kategori tersebut adalah trafficking crimes dimana di dalamnya termasuk penyelundupan manusia.3

1 Kementerian Luar Negeri, Kejahatan Lintas Negara,

https://kemlu.go.id/portal/id/read/89/halaman_list_lainnya/kejahatan-lintas-negara, diakses pada Kamis 02 Juli 2020 Pukul 16:30 WIB

2 Dua kategori kejahatan lintas negara berdasarkan Kementerian Luar Negeri selain trafficking crimes adalah high-tech crimes dan financial crimes. Tiga kategori high-tech crimes adalah piracy,

(10)

Istilah people smuggling atau penyelundupan manusia sudah menjadi istilah yang biasa kita dengar di era modern ini. Penyelundupan manusia dalam bentuk apapun merupakan bentuk tantangan yang serius bagi aspek kemanusiaan karena mempengaruhi hidup jutaan orang, baik pria dan wanita maupun anak-anak dari berbagai negara. Permasalahan penyelundupan manusia, tidak terjadi pada beberapa tahun belakang, namun sudah terjadi sejak lama dan terus menerus berkembang. Hal ini menyebabkan negara-negara dunia menaruh perhatian khusus untuk mencegah terjadinya penyelundupan manusia.

Penyelundupan manusia mempengaruhi semua wilayah di dunia. Setiap tahunnya, terdapat ribuan migran dan pengungsi yang berusaha untuk keluar dari negara asalnya dan berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di negara tujuannya.

Latar belakang para migran untuk keluar dari negara asalnya dikarenakan tidak terlepas dari kondisi, tatanan, bahkan sistem nilai yang dianggap tidak memungkinkan berkembangnya potensi dan harapan manusia di tanah airnya. Selain daripada itu, para migran juga menerima berbagai tekanan dalam masalah kependudukan, masalah ketimpangan strategi atau tidak meratanya pembagian kesempatan dan pembangunan sosial-ekonomi, ataupun terjadinya berbagai konflik dengan alasan yang beranekaragam dan hal ini telah lama dipahami sebagai pemicu terjadinya arus migrasi yang tidak sah.4

Terkait hal diatas, untuk melawan kejahatan terhadap manusia, maka pada tahun 2000 United Nations mengeluarkan aturan melalui protocol againts the smuggling of data breaches, dan identity theft. Sedangkan dua kategori untuk financial crimes adalah money laundering dan bulk-cash smuggling. Ibid.

3 Ibid.

4 Natalis Pigay, Migrasi Tenaga Kerja Internasional (Sejarah, Fenomena, Masalah dan Solusinya), (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal 120

(11)

migrants by land, sea and air, supplementing the united nations convention againts transnational organized crime yang kemudian diratifikasi Indonesia pada tahun 2009 melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2009 tentang Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi.

Di Indonesia sendiri, penyelundupan manusia ada diatur secara implisit melalui Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi maupun dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Akan tetapi 2 (dua) ketentuan tersebut tidak mampu menjerat pelaku penyelundupan manusia karena tidak ada definisi yang pasti mengenai kejahatan mengenai kejahatan tersebut.5

Penyelundupan manusia hanya merupakan pelanggaran keimigrasian bukan suatu kejahatan atau tindak pidana pada masa itu. Butuh kurang lebih 19 tahun bagi pemerintah Indonesia untuk merumuskan masalah penyelundupan manusia masuk dalam masalah keimigrasian. Selama waktu belum keluarnya undang-undang yang baru untuk mengatur penyelundupan manusia, maka para pelaku people smuggling bergerak secara bebas untuk melakukan aksinya. Pada akhirnya Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan aturan melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang di dalamnya terdapat pasal dalam ketentuan pidana yang mengatur mengenai penyelundupan manusia.6

5 Muhar Junef, Kajian Praktik Penyelundupan Manusia Di Indonesia (Study of People Smuggling Practices In Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol 20 No.1 Maret 2020, hal 3

6 Eranovita Kalalo Paembonan, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Orang (People Smuggling), Lex Crimen Vol III No 4 Agustus-November 2014, hal 2

(12)

Dari hal diatas, perlu diketahui bahwasanya dalam Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls telah terjadi penyelundupan manusia.

Dimana peristiwa telah terjadi pada hari Sabtu tanggal 26 Januari 2019 sekitar pukul 00:30 yang bertempat di Jl. Yos Sudarso Desa Selat Baru Kec. Bantan Kabupaten Bengkalis tepatnya di Pelabuhan Internasional Bandar Sri Setia Raja yang kedudukan hukumnya masih di wilayah hukum Polres Bengkalis.

Kejadian peristiwa tersebut terjadi pada suatu tempat yang berada di Penginapan Cafe Pak SAM yang alamatnya di Jl. Yos Sudarso dimana telah ditemukan 8 (delapan) orang dengan rincian 4 (empat) laki-laki dan 4 (empat) perempuan. Dari ke delapan orang tersebut, 7 (tujuh) orang diantaranya merupakan korban tindak pidana perlindungan pekerja migran dan atau penyelundupan manusia yang memiliki paspor dengan atas nama Robial Husni, Okita Roji, Ayu Lestari, Surya Dharma, Mulyadi, Nani Bukit dan Ale.

Dari kejadian tersebut, Pihak Kepolisian Polres Bengkalis berhasil mengamankan terdakwa sekaligus sebagai pemilik Penginapan Cafe Pak SAM berserta barang bukti 2 (dua) unit handphone yang selanjutnya dibawa ke Polres Bengkalis guna pemeriksaan lanjut. Ke tujuh orang tersebut merupakan para Tenaga Kerja Indonesia yang menginap ditempat terdakwa.

Ke tujuh orang yang merupakan dugaan penyelundupan manusia merupakan TKI yang bekerja di Malaysia sebagai buruh yang menggunakan Passport pengunjung (pelancong) dengan biaya upah diterima per orangnya sekitar RM 50 atau di Rupiahkan sekitar Rp4.760.000,-. Selanjutnya jika waktu berkunjung yang telah ditentukan dalam Passport selama 28 (dua puluh delapan) hari telah habis, maka ke

(13)

tujuh TKI tersebut harus kembali ke Indonesia. Peran Terdakwa, dalam hal ini selain memiliki penginapan tersebut, Terdakwa dapat membantu perpanjangan passport para TKI tersebut dengan catatan mereka terlebih dahulu harus menginap di penginapan yang dimiliki Terdakwa dengan biaya perharinya dan perorang sekitar Rp100.000,-.

Dari perbuatan yang telah dilakukan Terdakwa merupakan perbuatan yang tidak memiliki izin dari pihak berwenang untuk menempatkan ke tujuh orang tersebut untuk dapat di pekerjakan sebagai Migran Indonesia di Malaysia dan perbuatan Terdakwa tersebut telah dilakukannya kurang lebih selama 2 (dua) tahun.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

“Perlindungan Hukum Kepada Korban Pekerja Migran Indonesia Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (Studi Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana aturan hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia ?

2. Bagaimana perlindungan hukum kepada korban pekerja migran Indonesia terhadap tindak pidana penyelundupan manusia berdasarkan putusan nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian adalah :

(14)

a. Untuk mengetahui aturan hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum kepada korban pekerja migran Indonesia terhadap tindak pidana penyelundupan manusia berdasarkan putusan nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

a. Memberikan informasi mengenai aturan hukum tentang tindak pidana penyelundupan manusia berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

b. Menambah pengetahuan yang jelas tentang perlindungan hukum kepada korban pekerja migran Indonesia terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Manusia.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul yang dipilih oleh penulis adalah “Perlindungan Hukum Kepada Korban Pekerja Migran Indonesia Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (Studi Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls)”, yang diajukan oleh penulis dalam rangka untuk memenuhi suatu tugas serta syarat untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul skripsi yang penulis akan buatkan ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun penulisan skripsi ini berdasarkan kepada referensi dari buku-buku, undang-undang, peraturan-peraturan, serta data-data dari sumber-sumber lainnya. Penulisan skripsi ini berdasarkan atas hasil pemikiran penulis sendiri dan belum ada orang lain yang membuatkannya, hal ini telah diperiksa oleh

(15)

perpustakaan hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian skripsi ini merupakan sebuah karya asli yang berasal dari penulis dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum merupakan unsur yang harus ada dalam suatu negara.

Setiap pembentukan negara pasti di dalamnya ada hukum untuk mengatur warga negaranya. Dalam suatu negara, pasti terjadi hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan Hukum akan menjadi hak bagi warga negara. Di sisi lain perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara. Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya.

Ada beberapa pengertian tentang perlindungan hukum menurut para ahli yaitu : a. Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.7

b. Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

c. Perlindungan Hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan

7 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), hal 36

(16)

konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

d. Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.8 Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Aspek dominan dalam konsep barat tentang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan diatas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Karena konsep ini, maka sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai melunturnya sifat individualistik dari konsep Barat.

8 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hal 50

(17)

Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan Rule of The Law. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

2. Pengertian Korban

Berbicara masalah kejahatan dan para pelaku kejahatan berarti berbicara masalah manusia dan kemanusiaan artinya bahwa dalam kejahatan itu melibatkan atau berhubungan dengan manusia yaitu manusia yang melakukan kejahatan dan manusia yang menjadi korban dari kejahatan itu. Hanya saja yang menjadi sorotan utama selama ini adalah yang menyangkut kepentingan orang yang melakukan kejahatan (offenders). Perhatian terhadap masalah mengapa sampai orang yang telah melakukan kejahatan, menjadi pokok kajian dari para ahli kriminal (kriminologi) dan banyak dibahas oleh para ahli ilmu hukum pidana. Demikian juga halnya peraturan-peraturan hukum pidana dan dalam proses peradilan pidana semuanya berorientasi pada pelaku kejahatan (offenders oriented).

(18)

Adanya perhatian yang besar terhadap pelaku kejahatan seperti yang dikemukakan diatas terlihat dengan jelas dalam ketentuan-ketentuan dalam aturan pidana dalam KUHP serta dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana (KUHAP) orientasinya adalah agar para pelaku kejahatan dapat diadili dan dalam proses peradilan itu hak-hak dari tersangka, terdakwa dan terpidana tidak dilanggar oleh aparat yang terlibat dalam proses peradilan pidana tersebut.

Kenyataan bahwa hukum pidana dan proses peradilan pidana serta kajian terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan berorientasi pada pelaku kejahatan tidaklah terlalu keliru dan sangat berguna dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Hanya saja perlu disadari bahwa setiap terjadi suatu kejahatan disatu pihak dan orang yang menjadi sasaran atau korban dari kejahatan itu. Orang yang melakukan kejahatan dalam hal ini berusaha memperoleh keuntungan dari pihak lain dengan cara memaksakan kehendaknya atau dengan cara melanggar hukum.

Sementara orang yang menjadi sasaran kejahatan (korban) menderita kerugian moril maupun materil sebagai akibat dari kejahatan.

Memberikan pengertian dari istilah korban dari korban kejahatan tidaklah sesederhana seperti yang telah disebutkan diatas, maka orang yang menderita kerugian akibat terjadinya suatu kejahatan karena seperti disebutkan diatas bahwa korban kejahatan terkait dengan adanya kejahatan dan kejahatan itu sendiri semakin lama semakin berkembang dan semakin bervariasi. Selain itu pemikiran dan pembahasan tentang korban kejahatan semakin berkembang mengikuti perkembangan

(19)

kejahatan bahkan pembahasannya semakin luas sampai ke masalah-masalah politik, sosial, ekonomi bahkan sampai masalah Hak Asasi Manusia (HAM)9.

Lebih lanjut untuk memperjelas tentang definisi korban, maka menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Sedangkan menurut kamus crime dictionary yang dikutip oleh Abdussalam10 menyatakan bahwa korban adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”

Selaras dengan pendapat yang disampaikan Abdussalam, Arif Gosita11 memberikan pendapatnya mengenai korban. Korban adalah “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. Ini menggunakan istilah penderitaan jasmani dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dari korban.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi-saksi dalam Pelanggaran HAM yang berat, korban adalah “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan

9 Boy Mardjono Reksodipoetro, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hal 96

10 Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta : Restu Agung, 2007), hal 5

11 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1993), hal 75

(20)

sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman gangguan terror dan kekerasaan dari pihak manapun”.

Kemudian menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, korban adalah “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak- hak dasarnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk korban adalah juga ahli warisnya”.

3. Pengertian Pekerja Migran Indonesia

Migran adalah seseorang yang melakukan Migrasi.12 Migran dibagi 2 (dua) yaitu migran internal (dalam negeri) dan migran Internasional. Migran Internal adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk mencari atau mendapatkan bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia, karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota maka migran internal seringkali di identikan dengan orang desa yang bekerja di kota. Sedangkan Migran Internasional adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan yang ada di negara lain atau negara yang dituju.13

Di Indonesia pengertian Migran Internasional menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI).14 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004, istilah TKI

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/migran.html, diakses pada Senin tanggal 20 Juli 2020 pukul 14:30 WIB

13 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat ; Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung : PT Refika Aditama, 2014), hal 177

14 Ibid., hal 178

(21)

dapat diartikan “setiap warga Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah”.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017, istilah Migran Indonesia disebut dengan Pekerja Migran Indonesia. Pekerja Migran Indonesia adalah “setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia”.15

4. Pengertian Penyelundupan Manusia

Sebelum mengetahui apa itu tindak pidana penyelundupan manusia, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dikatakan tindak pidana dan penyelundupan manusia. Tindak Pidana berdasarkan pendapat Moeljatno adalah perbuatan pidana.

Perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mengenai larangan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melarang larangan tersebut”.16

Sehubungan dengan pengertian tindak pidana atau perbuatan pidana yang disampaikan Moeljatno, maka dalam hal ini Bambang Poernomo memberikan pengertian perbuatan pidana adalah “suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.17

Dari pengertian tindak pidana diatas, maka sekiranya perlu diketahui juga apa itu unsur-unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Dimana unsur subjektif merupakan unsur-unsur yang melekat pada diri

15 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

16 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal 54

17 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992), hal 130

(22)

si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya sesuatu yang terkandung di dalam hatinya, sedangkan unsur objektif adalah unsur- unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan dimana di dalam keadaan terdapat tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.18 Sedangkan unsur- unsur tindak pidana berdasarkan pendapat Amir Ilyas19 yakni adanya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, memiliki sifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar.

Telah diketahui mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya perlu diketahui apa itu penyelundupan manusia. Menurut Pasal 1 angka 32 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang menyebutkan Penyelundupan Manusia adalah “perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu atau tanpa menggunakan dokumen perjalanan, baik melalui pemeriksaan Imigrasi maupun tidak”.

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal 193

19 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana ; Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai Teori-teori Pengantar dan Beberapa Komentar), (Yogyakarta : Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, 2012), hal 42

(23)

Menurut Pasal 3 Protocol Againts Thee Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing the United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime, dapat dikatakan Penyelundupan Migran didefinisikan :

“Smuggling of migrants shall mean the procurement, in order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material benefit, of the illegal entry of a person into a State Party of which the person is not a national or a permanent resident”20

Terjemahan bebas dari Penulis : “Penyelundupan migran” berarti pengadaan, secara berurutan untuk memperoleh, secara langsung atau tidak langsung, manfaat finansial atau material lainnya, dari masuknya seseorang secara ilegal ke suatu Negara Pihak yang bukan orangnya penduduk nasional atau tetap.”

Dari pengertian tindak pidana dan penyelundupan manusia diatas, maka selanjutnya memberikan pengertian tindak pidana penyelundupan manusia. Namun dalam hal ini, pengertian tindak pidana penyelundupan secara umum tidak dapat ditemukan, maka hal ini ditarik berdasarkan secara spesifik yang dapat dilihat melalui Pasal 120 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.

Pasal 120 yang berbunyi “setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain,

20 Article 3 Protocol Againts Thee Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing the United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime

(24)

yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, dipidana karena Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah)”.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian yuridis normatif juga meneliti norma-norma hukum positif, asas-asas, prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin hukum.21. 2. Bahan Hukum

Adapun jenis data yang akan diperoleh dalam melengkapi dari penulisan skripsi ini terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.

Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim

b. Bahan Hukum Sekunder

21Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia Publishing, 2008), hal 45-62 dan hal 390.

(25)

Bahan yang mendukung dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan pendapat para ahli.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan yang berasal dari bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Umum, Kamus Hukum, Majalah dan Jurnal Ilmiah.22

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data-data yang akan diperoleh oleh penulis, maka penulis menggunakan metode :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.23 Informasi itu dapat diperoleh peraturan perundang-undangandan artikel. Kemudian diuraikan dan dihubungkan sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu hasil penelitian hukum, pendapat ahli hukum serta mengumpulkan bahan-bahan hukum tersier yaitu dokumen-dokumen hukum, buku-buku hukum, majalah hukum, internet.

b. Analisis Data

Data-data yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam menangani tindak pidana perdagangan orang seperti perundang – undangan,

22Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2001), hal 1.

23Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Jakarta : Sinar Grafika , 1996), hal 50.

(26)

buku-buku, kliping-kliping, serta media massa akan dikumpulkan kemudian akan di analisa sehingga mendapatkan gambaran yang jelas tentang Perlindungan Hukum Kepada Korban Pekerja Migran Indonesia Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (Studi Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls).

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan tesis ini direncanakan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya terurai mengenai latar belakang penelitian skripsi, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian peneltian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : ATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA

PENYELUNDUPAN MANUSIA YANG BERLAKU DI INDONESIA

Dalam bab ini menguraikan tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia dan Aturan Hukum tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia Yang Berlaku di Indonesia.

(27)

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KORBAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 182/Pid.B/2019/PN.Bls

Dalam bab ini menguraikan tentang Ruang Lingkup Pekerja Migran yang terdiri dari Terminologi, Sejarah Pekerja Migran, Dasar Hukum Pekerja Migran Indonesia dan Putusan Nomor 182/Pid.B/2019/PN.Bls.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

(28)

BAB II

ATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyelundupan Manusia

1. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Penyelundupan Manusia

Penyelundupan Manusia (People Smuggling) dapat diartikan mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara ilegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga negara atau memiliki izin tinggal. Masuk secara ilegal berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi peraturan atau perizinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah suatu negara secara legal.24

Penyelundupan Manusia memiliki unsur yang hampir sama dengan Perdagangan Orang (Human Trafficking), yaitu ada unsur proses, cara dan tujuan.

Unsur proses adalah aktivitas pemindahan seseorang (sama seperti dalam perdagangan orang). Unsur cara adalah tidak ada unsur penyelewengan persetujuan kehendak pribadi maupun dengan penggunaan kekerasan, umumnya calon imigran mencari dan memulai kontak dengan penyelundup sendiri dengan menyadari tujuannya, yaitu untuk melintasi batas suatu negara secara ilegal. Sedangkan unsur tujuan yaitu selalu ada nilai mendapatkan keuntungan berupa finanasial dan

24 Annisa Febrianti, Tindak Pidana Kejahatan Penyelundupan Manusia Dan Perdagangan Manusia Di Indonesia (Crime Of People Smuggling And Human Trafficking In Indonesia), (Jakarta : Politeknik Imigrasi, 2019), hal 5

(29)

pelaksanaannya untuk tujuan melintasi perbatasan negara yang dilakukan secara ilegal.25

Perbedaan mendasar yang bisa kita lihat antara Perdagangan Orang dengan Penyelundupan Manusia, adalah dari sifat dan kualitas persetujuannya, dimana perdagangan orang persetujuan diperoleh karena kekerasan, paksaan, penipuan dan sebagainya.26 Maka dalam hal ini untuk menentukan bentuk-bentuk tindak pidana penyelundupan manusia dengan tindak pidana perdagangan orang tidak jauh berbeda karena penyelundupan manusia pada dasarnya para pelaku tidak ada memiliki niat untuk mengeksploitasi orang yang diselundupkan27 sedangkan perdagangan orang28 pada akhirnya akan di eksploitasi oleh pelakunya.

Dari penjelasan diatas, selanjutnya perlu disampaikan bahwasanya bentuk- bentuk tindak pidana penyelundupan manusia tidak jauh berbeda dengan bentuk- bentuk tindak pidana perdagangan orang. Bentuk-bentuk tindak pidana penyelundupan manusia diantaranya sebagai berikut :

a. Pekerja Migran

Pekerja Migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru dalam jangka waktu

25 Muhammad Teguh Syuhada Lubis, Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Penyelundupan Manusia, Journal De Lega Lata, Volume 2 Nomor 1, Januari sampai Juni 2017, hal 6

26 Ibid., hal 7

27 Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FH UI), Tindak Pidana Penyelundupan Manusia Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta : Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2016), hal 10

28 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi

(30)

relatif menetap.29 Yang menjadi kategori pekerjaan untuk pekerja migran adalah:

1) Pembantu rumah tangga 2) Pelayan restoran

3) Buruh pabrik dan perkebunan.30 b. Tenaga Penghibur

Tenaga penghibur yakni orang yang bekerja ditempat hiburan malam yang menemani pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur.

Dari 2 (dua) bentuk-bentuk tindak pidana penyelundupan manusia diatas, pada umumnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai penyelundupan manusia dan banyak dilakukan oleh para orang yang hendak mencari pekerjaan dikarenakan untuk mendapatkan hal tersebut dapat membuat suatu dokumen sah ataupun dokumen palsu agar dapat memasuki Wilayah Indonesia ataupun keluar dari Wilayah Indonesia.31 Dan dari 2 (dua) bentuk tindak pidana penyelundupan manusia diatas, selama tujuannya bukan untuk di eksploitasi maka hanya dua bentuk itu saja yang dapat disampaikan.

2. Faktor-faktor Tindak Pidana Penyelundupan Manusia

Berbicara mengenai penyelundupan manusia tidak akan terlepas dari masalah imigran ilegal atau imigran gelap. Penyelundupan manusia dan imigran gelap merupakan dua hal yang berbeda. Istilah imigran gelap adalah istilah teknis yang digunakan dalam rangka penanggulangan oleh aparat keamanan, Penggunaan istilah

29 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal 32

30 Ibid.

31 Hal ini dapat dilihat dari pengertian Penyelundupan Manusia Pasal 1 angka 32 Undang- undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.

(31)

imigran gelap hanya dituangkan secara implisit. Apabila diambil dari terjemahan bahasa Inggris maka illegal migrant hanyalah mereka yang datang dari luar negeri ke satu negara untuk menetap dengan cara melawan hukum.

Secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian memang tidak disebutkan definisi imigran ilegal, namun dalam pengertian umumnya, imigran ilegal adalah subjek yang melakukan perpindahan dari suatu negara ke negara lain secara tidak sah atau tidak menurut hukum; perpindahan yang dimaksud adalah terkait dengan proses masuk atau keluar wilayah suatu negara.32

Ada 4 (empat) situasi orang disebut imigran gelap :33

a. Imigran yang masuk secara klandestin (sembunyi), dengan dokumen palsu;

b. Menetap lebih dari waktu yang diijinkan (over-stay);

c. Korban jaringan people smuggling;

d. Sengaja melecehkan sistem suaka internasional.

Dalam konteks penelitian ini, imigran gelapnya merupakan korban penyelundupan manusia. Berbagai faktor yang menyebabkan imigran tersebut melakukan migrasi mendorong munculnya penyelundupan manusia. Faktor tersebut dibagi menjadi dua yakni faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).

a. Push Factor

32 Adrianus Meliala, Tinjauan Kritis Terhadap Penyelundupan Manusia di Indonesia da Berbagai Dampaknya, (Depok : Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal 59

33 International Organization for Migration (IOM), Buku Petunjuk Bagi Petugas Dalam Rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, (Jakarta : International Organization for Migration (IOM) Indonesia, 2009), hal.24

(32)

Push factor dalam masalah penyelundupan manusia, dilihat pada kecenderungan (trends) dari mana mereka datang, kemana negara tujuan mereka, serta motivasi atau alasan kepergian mereka. Dalam konteks penyelundupan manusia, pihak-pihak yang diselundupkan oleh penyelundup adalah mereka yang disebut sebagai imigran gelap dengan berbagai status. Pada umumnya, motivasi yang menyebabkan mereka melakukan imigrasi secara ilegal adalah adanya permasalahan krusial yang mereka hadapi di negara asal masing-masing, yang dapat dilihat dari perspektif politik, keamanan, ekonomi, maupun pandangan individual.

Tanpa permasalahan-permasalahan dasar ini, tidak mungkin mereka mau melakukan kegiatan yang sangat berisiko, yang membutuhkan biaya material dan ancaman nyawa yang tinggi, yang pada akhirnya nyawa mereka sendiri menjadi taruhan di perjalanan, terutama di laut lepas, baik akibat tantangan alam, maupun kebijakan keras aparat keamanan di negara transit dan tujuan. Jadi, bagaimanapun, ada penyebab jelas mengalirnya imigran gelap dari suatu negara ke negara lainnya.34

Sebagai contoh, konflik yang terus berkecamuk di kawasan Timur Tengah menyebabkan hampir sebagian besar warga Afghanistan, Pakistan, Iran, Irak melakukan migrasi dengan tujuan negara Australia. Masalah politik di Myanmar menyebabkan kelompok tertentu mencari perlindungan di negara lain. Alasan ekonomi tidak terlepas juga dari alasan konflik.

Ketidakstabilan di negara asal berdampak buruk pada perekonomian yang menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan, tidak ada peluang usaha serta merosot dan memburuknya kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat

34 Partogi Nainggolan, dkk, Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang, (Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), 2009), hal 161

(33)

mendorong mereka mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain. Namun tidak sedikit juga yang bermigrasi dengan alasan pribadi ingin mencari peluang bisnis atau pekerjaan yang lebih baik di negara tujuan.

b. Pull Factor

Faktor penarik ini muncul dari negara-negara yang menjadi tujuan imigran diantaranya, kesuksesan migran terdahulu dan komunitas etnis dari negara asal yang telah berhasil di negara tujuan menarik datangnya imigran ke negara maju serta adanya jaminan suaka serta harapan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang besar karena negara-negara maju memiliki stabilitas ekonomi yang baik.35

Ada prinsip yang dipegang oleh para imigran gelap yang membuat mereka tidak takut untuk melakukan migrasi secara ilegal yakni lebih baik menderita dalam perjalanan menuju ‘tanah impian’ dengan keyakinan hidup 99% daripada terus menetap di negara asal dengan keyakinan hidup hanya 1%.36

Membanjirnya imigran dengan berbagai faktor menjadi beban bagi negara tujuan. Masing-masing negara mulai menetapkan peraturan maupun undang- undang yang memperketat masuknya imigran ke negaranya. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi minat para migran untuk datang walaupun dengan cara ilegal, salah satu cara yang dipakai untuk mencapai negara tersebut adalah melalui penyelundupan manusia. Dengan semakin ketatnya penjagaan di perbatasan negara tujuan, imigran gelap membutuhkan sindikat penyelundupan manusia untuk masuk ke negara

35 Fiona David, People Smuggling In Global Perspective, Australian Institute of Criminology,http://74.125.153.132/custom?q=cache:wDBIE8envGcJ:www.aic.gov.au/conf erences/transnational/david.pdf+people+smuggling+theory&cd=3&hl=en&ct=clnk&client=

pub--‐4803409 109 489 353, diunduh 10 Juli 2020.

36 Partogi Nainggolan, dkk, Op. Cit, hal 163

(34)

tersebut. Hal ini menciptakan celah kejahatan baru, sindikat penyelundupan manusia dan menerapkan tarif yang tinggi dengan janji mengantarkan mereka ke negara yang menjadi tujuan imigran tersebut.37

3. Pelaku dan Korban Dalam Penyelundupan Manusia

Para penyelundup (smuggler) bekerja dengan berbagai cara tergantung pada besarnya uang yang mereka terima, dengan mengatur rute, lama perjalanan dan fasilitas imigran gelap tersebut. Lemahnya kontrol di perbatasan beberapa negara mendukung kemudahan untuk arus imigran gelap di era globalisasi.38 Pelaku penyelundupan manusia terdiri dari para calo, perantara, pengirim imigran gelap, atau perencana perjalanan adalah mereka yang bekerja dengan jaringan dan telah berpengalaman mengetahui seluk-beluk rute perjalanan dan kelemahan penjagaannya, baik di negara transit maupun tujuan. Mereka juga mengetahui hukum nasional yang berlaku dan segala sanksinya, berikut kelemahan-kelemahannya (loopholes) yang bisa dimanfaatkan untuk disalahgunakan.

Sementara, para sopir pengangkut para imigran gelap itu di darat dan awak dan pemilik kapal ataupun para nelayan tradisional merupakan operator lapangan yang bekerja lintas pulau, lautan, dan negara, dengan risiko lebih berbahaya yang mereka hadapi di lapangan. Juga, masih ada pelaku lain yang tidak kecil perannya, yakni, penyedia tempat penampungan dan jasa pengangkutan para imigran gelap.

Adapun aparat negara di tempat asal, transit, dan tujuan yang meloloskan mereka adalah pihak yang memberikan perlakuan istimewa dan bisa diajak ‘bekerja sama’ atau kolusi akibat mental mereka yang korup dan lemahnya kontrol dan

37 Ibid.

38 Ibid., hal 164

(35)

penegakan hukum di setiap negara tersebut.39 Para penyelundup juga tidak membedakan antara pengungsi dan migran ekonomi, mereka sekedar menyelundupkan siapapun yang mampu membayar.

Para penyelundup memanfaatkan peraturan yang ketat di perbatasan setiap negara, semakin ketat peraturan di wilayah perbatasan dan diperketatnya pemberian visa justru mendorong lebih banyak orang, baik pengungsi maupun migran ekonomi, imigran gelap kedalam penggunaan jasa penyelundupan. Adapun aparat negara di tempat asal, transit, dan tujuan yang meloloskan mereka adalah pihak yang memberikan perlakuan istimewa dan bisa diajak ‘bekerja sama’ atau kolusi akibat mental mereka yang korup dan lemahnya kontrol dan penegakan hukum di setiap negara tersebut.40

Para penyelundup juga tidak membedakan antara pengungsi dan migran ekonomi, mereka sekedar menyelundupkan siapapun yang mampu membayar. Para penyelundup memanfaatkan peraturan yang ketat di perbatasan setiap negara, semakin ketat peraturan di wilayah perbatasan dan diperketatnya pemberian visa justru mendorong lebih banyak orang, baik pengungsi maupun migran ekonomi, imigran gelap kedalam penggunaan jasa penyelundupan.

Sedangkan untuk korban dalam penyelundupan manusia adalah siapa saja baik laki-laki, perempuan, anak-anak maupun dewasa. Umumnya mereka adalah migran ekonomi, pengungsi atau pencari suaka yang notabene juga merupakan korban ketidakkondusifan di negara asal mereka. Meskipun terdapat persetujuan dari korban untuk diselundupkan, mereka tetap disebut sebagai korban karena mereka adalah

39 Ibid.

40 Ibid.

(36)

pihak yang dirugikan. Korban dalam penyelundupan manusia umumnya diminta sejumlah uang yang tidak sedikit untuk biaya pemberangkatan. Kondisi kapal atau perahu yang digunakan untuk mengangkut mereka umumnya juga merupakan kapal barang dengan kapasitas kecil yang tidak layak untuk mengangkut manusia. Belum lagi taruhan nyawa dalam perjalanan selama melintasi laut.41 Dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011 tidak diatur mengenai definisi korban penyelundupan manusia, akan tetapi untuk ketentuan lainnya hal tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011.

Hal ini dapat dilihat di Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011. Menurut Pasal 86 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 yakni “ketentuan tindakan administratif keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia, sedangkan untuk korban yang mengalami perdagangan orang dan penyelundupan manusia, maka menurut Pasal 87 Undang- undang Nomor 6 Tahun 2011 yakni pada ayat (1) “korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia yang berada di Wilayah Indonesia ditempatkan di dalam Rumah Detensi Imigrasi atau di tempat lain yang ditentukan” sedangkan pada ayat (2)

“korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapatkan perlakuan khusus42 yang berbeda dengan Detensi pada umumnya”.

41 Ibid., hal 118

42 Penjelasan dari Pasal 87 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011, Yang dimaksud dengan “perlakuan khusus” adalah peraturan dalam Rumah Detensi Imigrasi yang berlaku bagi terdetensi tidak sepenuhnya diperlakukan bagi para korban karena para korban bukan terdetensi.

(37)

4. Modus Operandi Dalam Penyelundupan Manusia

Modus operandi dalam penyelundupan manusia tidak terlepas kaitannya dengan masalah demand (permintaan) dan supply (penawaran). Terkait permintaan, mereka yang ingin meninggalkan negara asalnya dengan berbagai faktor tersebut menghubungi sindikat penyelundup yang ada di negaranya. Mereka bersedia membayar sindikat penyelundup untuk menyelundupkan mereka ke negara-negara tujuan. Modus operandi penyelundupan ini muncul atas permintaan atau keinginan dari pihak yang ingin diselundupkan.

Terkait penawaran, modus operandi penyelundupan manusia datang dari penyelundup. Ada penyelundup yang telah menyediakan kapal (ilegal), tetapi jumlah orang yang hendak diberangkatkan masih sedikit sehingga penyelundup tersebut mencari orang-orang yang mau diseberangkan ke negara-negara tujuan.43 Umumnya pelaku penyelundupan menyelundupkan pihak yang ingin bermigrasi tersebut dengan menggunakan kapal atau perahu seadanya yang tidak dilengkapi dokumen resmi. Ada juga modus penyelundupan manusia yang tidak melalui sindikat. Biasanya, mereka yang mampu atau kaya menggunakan jalur udara secara individual atau keluarga, tanpa kelompok lain di luar itu, dengan melakukannya secara legal, menggunakan dokumen yang sah sejak berangkat dari negeri asal dan tiba di negara transit dan tujuan, karena mereka memiliki kemampuan ekonomi untuk itu. Jika menghadapi masalah di tengah keberangkatan atau perjalanan, mereka menggunakan kekuatan uang mereka untuk membayar petugas atau pejabat imigrasi dan kepolisian.44

43 Partogi Nainggolan, dkk, Op.Cit., hal 77

44 Ibid

(38)

Dalam melaksanakan penyelundupan manusia melalui negara transit, mereka bekerja sama dengan kelompok kriminal lokal untuk menyediakan berbagai keperluan dokumen, akomodasi dan kontak-kontak untuk perjalanan selanjutnya. Yang menjadi imigran dan pelaku pengiriman dan pihak perantaranya di negara transit dan tujuan bisa berasal dari negara yang sama, dan bisa juga berbeda. Dengan kata lain, kalangan imigran itu sendiri bisa merangkap sebagai koordinator pengiriman dan sekaligus sebagai orang yang bertujuan melakukan kegiatan imigrasi secara ilegal ke negara lain. Sebagai organisator, para calo atau perantara jauh lebih terdidik, canggih, dan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya ketimbang para sopir dan nelayan tradisional yang mengangkut para imigran gelap. Itulah sebabnya, yang mudah dan sering tertangkap aparat keamanan di lapangan adalah para sopir dan nelayan tradisional pengirim mereka daripada para calo atau perantara tersebut.

Secara tradisional terjadi spesialisasi dalam penyelundupan manusia, misalnya dengan memfokuskan penyelundupan manusia pada kelompok etnis atau bangsa mereka sendiri. Sebagai contoh, penyelundup dari Timur Tengah akan bekerja dengan pihak-pihak yang masih keturunan Arab di setiap negara transit.

Akhir dari perjalanan penyelundupan manusia melalui Asia ke Australia adalah di Indonesia sehingga penyelundup di Indonesia mempunyai spesialisasi atau berperan sebagai “tukang perahu” menuju Australia. Sebagai contoh perjalanan migran ilegal dari Afgahanistan menuju Australia. Afghanistan merupakan negara asal pengungsi nomor satu di dunia saat ini dan memiliki rekor tersendiri dalam masalah penyelundupan manusia.

(39)

B. Aturan Hukum Tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia Yang Berlaku Di Indonesia

1. Dalam KUHP

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal yang mengatur tentang Tindak Pidana Penyelundupan Manusia hanya terletak pada Pasal 263 KUHP. Pasal 263 KUHP yang berbunyi :

Ayat (1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam, jika pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsukan, seolah- olah benar dan tidak palsu, apabila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian

Dari Pasal 263 KUHP tersebut, sangat berbeda dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang di dalam KUHP terdiri dari Pasal 297, Pasal 301, Pasal 324, Pasal 325, Pasal 326, Pasal 327, Pasal 328, Pasal 330, Pasal 331, Pasal 332, Pasal 333 KUHP. Dari ketentuan pasal-pasal yang ada pada KUHP yang ditujukan untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang, ada satu pasal yakni Pasal 333 KUHP yang bisa dimasukkan ke dalam Tindak Pidana Penyelundupan Manusia.

Pasal 333 KUHP menetapkan sanksi pidana penjara selama-lamanya 8 tahun bagi orang yang merampas kemerdekaan orang lain dan yang memberikan tempat menahan orang itu. Perbuatan merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan penahanan menyembunyikan) dapat dikategorikan sebagai penyelundupan manusia, akan tetapi jika hal tersebut tujuannya sampai mengeksploitasi dan dilakukan dengan

(40)

cara ancaman kekerasaan atau kekerasaan, paksaan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, maka pasal ini tidak berlaku ke Tindak Pidana Penyelundupan Manusia dan hanya berlaku pada Tindak Pidana Perdagangan Orang.

2. Diluar KUHP

a. Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi dan KUHP

Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955, hanya berisikan 8 (delapan) Pasal yang dimana kedelapan pasal tersebut menghapuskan Pasal 241 sub I dan Pasal 257 Wetboek vsn Strafrecht voor Nederlandsce Indie (KUHP). Dari kedelapan pasal yang ada, tidak ada satupun kalimat yang menyebutkan istilah penyelundupan manusia, penyelundup, menyelundupkan ataupun diselundupkan. Undang-undang Darurat ini secara umum mengatur mengenai masalah imigran ilegal dan pemalsuan dokumen perjalanan atau surat-surat kewarganegaraan. Hal-hal yang diatur tersebut masuk dalam kategori kejahatan. Pengaturan mengenai pemalsuan dokumen perjalanan,45 ataupun surat-surat kewarganegaraan dalam Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 lebih bertujuan mencegah terjadinya peluang tindak pidana penyelundupan migran yang masuk ke Indonesia.

Jika didalam Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 mengenai tentang pemalsuan dokumen perjalanan, maka ketika pihak penyidik Kepolisian melakukan pengusutan terhadap kasus penyelundupan manusia, Pasal yang digunakan Penyidik

45 Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011, Dokumen Perjalanan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang dari suatu negara, Perserikatan Bangsa- bangsa atau organisasi Internasional lainnya untuk melakukan perjalanan antarnegara yang memuat identitass pemegangnya.

(41)

yang diatur dalam KUHP yakni Pasal 263 KUHP46 terkait pemalsuan surat-surat.

Ketentuan dalam Pasal 263 KUHP lebih kepada pelaku yang memalsukan surat atau dokumen perjalanan orang asing atau warga negara Indonesia yang hendak masuk atau keluar dari wilayah Indonesia guna menghindari prosedur yang ketat.

b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

Sebelum terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pengaturan untuk Keimigrasian diatur pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 hal tersebut mengatur tentang kegiatan keluar masuk negara secara teknis merupakan urusan keimigrasian. Otomatis, apabila terdapat suatu legalitas menyangkut kegiatan tersebut, menjadi ranah Undang-undang Keimigrasian.

Berdasarkan Pasal 48 Undang-undang Nomor 1992 yang menyebutkan “Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Selain itu, juga terdapat Pasal 53 dan Pasal 54 tentang pidana menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang diketahui atau patut diduga berada di wilayah Indonesia secara tidak sah. Sehingga dapat disimpulkan, mereka yang dapat dipidana

46 Pasal 263 KUHP yang berbunyi :

Ayat (1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam, jika pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsukan, seolah- olah benar dan tidak palsu, apabila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Implementasi ACFTA di Indonesia telah menyebabkan terpuruknya beberapa sektor industri dalam negeri akibat lonjakan impor produk-produk China yang membanjiri pasar dalam negeri

Dengan mendapatkan data jumlah material yang harus dikerjakan untuk penanganan lumpur pada main sump , maka dapat diperkirakan lama waktu yang dibutuhkan oleh

Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2012, dengan kami ini minta kepada Saudara Direktur untuk hadir dalam melakukan Pembuktian Kualifikasi dengan membawa berkas asli data perusahaan pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Timbangan Bilangan efektif untuk meningkatkan kemampuan menjumlahkan

dan pajak restoran terhadap PAD di Kabupaten Gianyar tahun 2008-2012, kemudian dibandingkan tingkat efektivitas dan besaran kontribusinya pada masing- masing

Hal tersebut menunjukan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti, yaitu hubungan positif antara servant leadership dengan komitmen organisasi pada perawat RSUD RAA

[r]

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil pembahasan sebelumnya maka simpulan yang didapatkan sebagai berikut : (1) Evaluasi berbasis Computer Based Test