• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yunita Baransano. (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) ( Hanafi Tanawijaya, S.H., M.H.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Yunita Baransano. (Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) ( Hanafi Tanawijaya, S.H., M.H."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BATIN HITAM SUNGAI MEDANG DESA KESUMA KECAMATAN PANGKALAN KURAS KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU (STUDI PUTUSAN NOMOR 113/PID.B/2019/PN PLW)

Yunita Baransano

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)

(e-mail: [email protected])

Hanafi Tanawijaya, S.H., M.H.

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Magister Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) (e-mail: [email protected])

Abstract

The problem that will be discussed in this research is how the agreement for the management of the customary land of Batin Hitam Sungai Medang customary community, Kesuma Village, Pangkalan Kuras District, Pelalawan Regency, Riau Province with PT. Arara Abadi and how its legal protection for holders of customary rights over their ulayat lands, efforts to implement various laws and regulations on customary law communities and their customary rights as an effort to implement the boundary agreement for PT. Arara Abadi. This type of research is normative, so the data sources used are primary data from interviews, secondary data from libraries and tertiary data from dictionaries, media, and encyclopedias. Interview data collection techniques, and literature review. Legal protection is an effort to protect the ulayat rights of the Batin Hitam customary law community in the former IUPHHK-HTI area of PT. Arara Abadi, due to the dispute settlement with the Batin Hitam customary community with the agreement that: a) The 1.5 km area on the left and right of the Medang river or approximately 4,300 ha, was excluded from PT. Arara Abadi to enclave and preserve. b) Whereas the 54 hectare area deemed to have been damaged by the Batin Hitam customary law community includes the area of customary land.

field.

Keywords: Customary rights, protection of customary rights law, and customary law agreements.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan dengan jelas pada alinea yang ke-empat bahwa salah

(2)

satu tugas dan tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Maka muncul pemikiran dari kesadaran bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dari satu negara, sedangkan negara dibentuk dengan kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada seluruh rakyatnya tanpa diskriminasi atau perbedaan berdasarkan agama, suku, pandangan politik, letak geografis, dan sebagainya. Berdasarkan dari pemahaman penulis bahwa upaya untuk mewujudkan penegakan hak asasi manusia (HAM) termasuk bagi masyarakat hukum adat itu sendiri yang diemban oleh Negara adalah dengan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Setidaknya terdapat tiga ketentuan utama dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan tersebut yaitu :

Pasal 18 B ayat (2)

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. 1

Pasal 28I ayat (3)

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”2

Pasal 32 ayat (1)

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

1 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bab VI Pasal 18B Ayat 2.

2 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bab XA Pasal 28I Ayat 3.

(3)

mengembangkan nilai-nilai budayanya.”3 Pasal 32 ayat (2)

“Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”

Adapun syarat pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dalam frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”, harus dimaknai selagi masyarakatnya ada dan hidup sesuailah dengan perkembangannya masyarakat, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum yang tidak tertulis dan merupakan living law, artinya hukum yang diterima (accepted) dan dijalankan (observed) dan ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan karena memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat hukum adat dan sesuai serta diakui oleh konstitusi.4 Termasuk masyarakat hukum adat khususnya dalam Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam Sungai Medang.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diatur pula tentang eksistensi hak ulayat. Mengenai desa adat juga terdapat dalam Pasal 1 angka 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Desa tersebut dikepalai oleh pemangku adat atau biasa disebut oleh masyarakat adat setempat dengan sebutan Batin, diatur dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pengertian Batin ialah :

“Pemangku adat adalah seorang atau beberapa orang yang disebut datuk- datuk atau Ninik Mamak, Batin dan nama-nama lain menurut adat setempat yang diangkat menjadi Pemimpin atau masyarakat Hukum adat tersebut (Pucuk adat)”.5

3 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.BAB XIII Pasal 32 Ayat 1 dan 2.

4 Titis Anindyajati, “Politik Tentang Peran Mahkamah Konstitusi dalam Melindungi Eksitensi Kesatuan Hukum Masyarakat Hukum Adat di Indonesia”, Jurnal Masyrakat & Budaya, Edisi 19No. 1 Tahun 2017, hal. 10.

5 Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya ( Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2015 Nomor 10, Noreg Peraturan Daerah Provinsi Riau 2/2016), Pasal 1 angka 8.

(4)

Timbul permasalahan pada masyarakat hukum adat Batin Hitam yaitu dengan PT. Arara Abadi mengenai permasalahan/persengketaan tentang kepemilikan/penguasaan lahan sejak tahun 1998. Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2019 dan sampailah pada peristiwa dipidanakannya masyarakat hukum adat Batin Hitam dalam hal ini PT.Arara Abadi menuntut adanya perusakan yang dilakukan masyarakat hukum adat Batin Hitam dalam kawasan areal tersebut dengan menggunakan landasan izin Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 743 / KPTS-II / 1996 terhadap objek perkara ini. Padahal dalam keperdataan obyek perkara ini merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam.

Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Penegakkan hukum adalah suatu bentuk proses agar dapat mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Disebutkan keinginan hukum disini tidak lain ialah pikiran-pikiran lembaga negara yang memuat undang-undang harus dirumuskan terlebih dahulu menjadi peraturan perundang-undangan. Rumusan pemikiran pembuatan hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan hukum akan turut serta menentukan bagaimanakah penegakan hukum itu harus dijalankan sebagaimana mestinya.6

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah di paparkan di atas ada beberapa permasalahan hukum yang ingin penulis rumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana Perjanjian Pengelolaan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam Sungai Medang Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau dengan PT. Arara Abadi?

2. Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Hak Ulayat atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam Sungai Medang Desa

6 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal. 25.

(5)

Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau?

C. Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif juga biasa disebut penelitian hukum doktrinal atau penelitian perpustakaan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang diteliti secara sistematis dengan menganalisis data-data yang diperoleh.

Dalam pengumpulan data penelitian untuk merumuskan permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam Sungai Medang maka digunakan teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis studi kepustakaan dan wawancara. Dengan teknik analisis pada penulisan ini menggunakan data kualitatif. Proses analisisnya pertama dari norma hukum positif yang diketahui dan terakhir penemuan asas- asas hukum dan selanjutnya doktrin-doktrin7 serta teori-teori dengan menjelaskan hubungan berbagai jenis data yang diperoleh dan selanjutnya akan ditarik kesimpulan.

II. PEMBAHASAN

A. Uraian Masyarakat Hukum Adat Suku Batin Hitam

Sebagaimana yang telah dimaklumkan bahwa penelitian ini berkaitan dengan peluasan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat suku Batin Hitam. Memulakan penghuraiannya daripada sebagai berikut :

1. Sejarah Masyarakat Hukum Adat Batin Sungai Medang Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

Sekiranya perlu diketahui asal-usul nya yaitu, Orang Petalangan juga sering disebut sebagai orang Talang yang berarti “orang bambu”. Nama

7 Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam Huma, 2002), hal. 15.

(6)

ini berasal dari kebiasaan nenek-moyang mereka mengambil air sungai dengan menggunakan buluh talang, sehingga kemudian mereka disebut

“Orang Talang”, dan keseluruhan puaknya disebut “Orang Petalangan”.

Walaupun orang Petalangan memakai istilah ini sebagai penunjuk diri secara khusus, mereka juga menganggap diri mereka sebagai orang Melayu, sebagai etnik Melayu asli. Sementara masyarakat Melayu pesisir menyebut mereka sebagai “Orang Darat” karena mereka bermukim jauh di daratan (pedalaman). Orang Petalangan terbagi dalam suku-suku (matrilineal lineage group), yaitu Sengerih, Lubuk, Pelabi, Medang, Piliang, Melayu, Penyabungan, dan Pitopang.

Batin Hitam yang berada di Wilayah Hukum Adat Petalangan Kabupaten Pelalawan mempunyai sejarah asal-usul puak suku sungai Medang konon adalah empat orang bersaudara, yakni : Nek Doyang Mak Juna, Nek Kancil Boleh, Nek Siti, dan Nek Bungo, keempat orang bersaudara itu kemudian berpisah, Nek Doyang Mak Juna pergi ke Indragiri (konon beliau menikah disana dengan salah seorang Raja Indragiri), Nek Kancil Boleh pergi ke sungai Kampar, sedangkan Nek Bungo dan Nek Siti Pergi ke Kerumutan. Di Kerumutan, Nek Siti dan Nek Bungo berselisih karena memperebutkan Pusaka Batin Kerumutan yang berupa “Gelang Ikal”, Nek Siti kemudian merajuk, dan memutuskan untuk memudiki Sungai Kampar mencari saudaranya Nek Kancil Boleh, yang sudah duluan berangkat kesana, berangkatlah Nek Sirti, lalu memudiki Sungai Kampar, kemudian bertemu dengan Nek Kancil Boleh, kedua bersaudara ini mufakat untuk mencari Hutan Tanah di Sungai Nilo, karena Hutan Tanah di bagian Kuala dan hulu nya sudah dimiliki orang, maka mereka terpaksa mencari Hutan Tanah yang ada di anak-anak Sungai Nilo.

Disebelah kanan mudik, akhirnya sampailah mereka ke Sungai yang banyak di tumbuhi pohon kayu Medang, disanalah mereka membuat Dusun Halaman dan mengambil Hutan Tanah di sekitarnya, tempat itu

(7)

mereka namakan Sungai Medang, dan perbatinannya disebut Perbatinan Sungai Medang. Pasal 1 angka 17 Perda Provinsi Riau No. 10 tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, “Tombo adalah keterangan tertulis yang berupa dokumen yang menjadi dasar keberadaan tanah ulayat.”

Sekitar tahun 1900 M. Dimasa perbatinan itu dipimpin oleh Batin Hitam. Telah terjadi wabah penyakit yang menyedihkan dan mengundang banyak korban, akhirnya Batin Hitam bertemu dengan Batin Bunut dan oleh Batin Bunut persukuan ini (Batin Hitam) dibawa pindah ke Bunut, dan diberi pula Rumput Nan Sekaki, Tanah nan sekopal, sebagai Hutan Tanah tempat mereka hidup dan berkuasa dengan diberi gelar oleh Kerajaan Pelalawan yaitu INTAN KAYO : yang menjadi ketiapan Batin Bunut.

Semenjak itu pula Kampung Dusun Sungai Medang mulai sepi dan penduduknya berpencar-pencar ada yang pindah ke Daerah Batin Muncak Rantau yaitu di Lubuk Kembang Bunga, ada pula yang pindah ke Daerah Gondai dan Segati di wilayah Batin Mudo Langkan, dan Batin Modo Pangkalan Gondai akhirnya Dusun Sungai Medang kosong sama sekali, sehingga menjadi Hutan Belantara.

Sekitar tahun 1978 yang lalu oleh keturunan Batin Hitam yang bernama Husin. Dusun ini dibuka kembali dan sekarang mulai di huni persukuan nya pada tahun 1984. Husin dilantik menjadi Batin Hitam (Pemangku Adat), Sungai Medang oleh pengurus Lembaga Adat Tingkat I, Riau. Dengan diakui oleh pihak pemerintah sebagaimana surat Pengukuhan Pengangkatan Pemangku Adat dalam Kecamatan Pangakalan Kuras Kabupaten Kampar Provinsi Riau tertanggal 7 September 1984 di Pusat Budaya Petalangan Desa Betung telah di kukuhkan Muhammad Husin sebagai Batin Hitam Sungai Medang oleh Syahruddin camat Pangkalan Kuras Selaku setia Amanah Lembaga Adat kecamatan pangkalan Kuras dalam kenyataannya masih ada hingga

(8)

diakui keberadaannya.8

2. Struktur Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam

Struktur masyarakat hukum adat suku Batin Hitam berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Arifin selaku Pemangku Adat Petalangan Batin Hitam Sungai Medang, dalam pergaulan hidupnya, masyarakat adat Petalangan menduduki sebuah wilayah yang masing- masing pebatinan memiliki wilayah tersendiri. Wilayah tersebut biasa disebut ulayat. Mengenai struktur masyarakat hukum adat suku Batin Hitam sebagai berikut :

a. Batin

Batin atau yang disebut pemangku adat (kepala suku) melindungi dan menjaga batas-batas tanah ulayat, juga memiliki kewenangan menandatangani legitimasi terhadap pemakaian tanah ulayat, dan dapat melakukan gugatan di pengadilan apabila terdapat sengketa terhadap tanah ulayat.

b. Wakil Batin

Sebagai wakil Batin membantu untuk mengurus rumah tangga dalam balai adat, mengawasi kepungan pohon sialang yang memproduksi lebah madu serta batas atau tanda wilayah adat. Dapat pula menyelesaikan permasalahan pada anak-kemenakan dalam wilayah adat Batin Hitam Sungai Medang.

c. Monti Medang

Monti Medang dalam hal ini harus mampu menjalani tugas dan memiliki kewenangan mengurus Suku Melayu yang berada dalam wilayah adat Batin Hitam Sungai Medang.

d. Penghulu Mudo

8 Lihat Keputusan Musyawarah Besar II Lembaga Adat Petalangan Kabupaten Kampar Nomor : 04/MUBES II LAP /VII/ 1998 tentang Hutan Tanah Wilayat

(9)

Dalam struktur masyarakat hukum adat Batin Hitam ini, Penghulu Mudo harus mengurus Suku Mandailing yang berada pada wilayah adat Batin Hitam Sungai Medang.

e. Monti Ajo

Monti Ajo, memiliki kewenangan untuk mengurus Suku Peliang yang berada dalam wilayah adat Batin Hitam Sungai Medang.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam

Sebelum menguraikan lebih lanjut, penting agar diketahui pengertian dari hak ulayat ialah hak penguasaan yang tertinggi atas tanahnya dalam hukum adat yang mencakup semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan para warganya bersama.9) Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Abdul Arifin (Pemangku Adat Batin Hitam) pada dasarnya Hak Ulayat tersebut dimiliki oleh orang pertama yang menduduki suatu wilayah tertentu. Dan orang pertama inilah yang menjadi pewaris awal dari Hak Ulayat tersebut. Hak Ulayat Batin Hitam Sungai Medang ini juga merupakan Hak yang diturunkan oleh leluhur mereka yang dimana hak tersebut diatur hukumnya oleh Ketua Adat setempat.

Hak-hak masyarakat hukum adat Batin Hitam, jika dilihat kembali bahwa masyarakat hukum adat Batin Hitam termasuk dalam Lembaga Adat Petalangan. Merujuk pada Keputusan Musyarawah Besar II Lembaga Adat Petalangan Kabupaten Kampar Nomor : 04/MUBES II LAP /VII/ 1998 dan dapat dimaknai, sangat menjunjung tinggi hak-hak adat Petalangan, seperti : Hak terhadap Hutan Tanah Wilayat, yang terdiri dari Rimba Kepungan Sialang (Jenis pohon yang dijadikan tempat lebah bersarang, yang menjadi sumber nafkah masyarakat hukum adat), Rimba Larangan, Tanah Peladangan, Suak Sungai, Tasik dan telaga yang dimana

9 Rosnida Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 70.

(10)

terdapat sumber mata pencaharian masyarakat hukum adat setempat dengan ikan-ikan musiman yang berada di dalamnya. Dan berbagai jenis kayu kayan yang tumbuh di dalamnya. Adapun diatas tanah ulayat merupakan perkebunan sawit, karet, dan kebun buah-buahan.

Apabila di kemudian hari ada perselisihan di antara kemenakan dengan pihak luar, dimana ada melanggar hak-hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam termasuk membuat kebun, dan melakukan aktivitas apapun di dalamnya dengan tidak ada kesepakatan atau tanpa ada surat izin dari Batin selaku Pemangku Adat maka pihak luar dianggap melakukan perbuatan melawan Hukum Positif maupun Hukum Adat, dengan demikian maka hak-hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam memiliki hak ulayat untuk penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan hak ulayatnya, akan tetapi dalam hal ini dapat diwakili oleh Batin sebagai Pemegang Kuasa Tanah Ulayat atau mewakili persukuan atau masyarakat hukum Adat.

4. Perjanjian antara PT. Arara Abadi dan Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam Mengenai Tata Batas Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri (IUPHHK-HTI)

PT Arara Abadi merupakan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dalam rangka pemenuhan bahan baku pengolahan Pulp and Paper. PT Arara Abadi merupakan salah satu anak perusahaan dari Sinarmas Group yaitu salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. PT Arara Abadi bergerak dibidang Industri Plantation Forestry (HTI) yang menghasilkan produk chipwood yang dikirim ke perusahaan cabang sebagai bahan material pembuatan Pulp/bubur kertas yang ada pada PT Indah Kiat Pulp & Paper. PT Arara Abadi didirikan di Jakarta berdasarkan Akta Notaris No. 213 tanggal 09 Agustus tahun 1974 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan Terbatas PT Arara Abadi dihadapan Notaris Raden Soeratman, SH.

(11)

PT Arara Abadi memiliki izin usaha atas areal hutan dengan luas areal konsesi PT Arara Abadi berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 743/kpts- II/1996 tanggal 25 November 1996 yaitu ± 299,975 ha untuk daerah tingkat I Riau. Namun pada areal kerja tersebut terjadi permasalahan tata batas namun sudah diselesaikan dengan melakukan perjanjian kesepakatan kedua belah pihak dan diketahui serta ditandatangani pada hari Selasa tanggal 18 Januari tahun 2000 bertempat di kantor Bupati Pelalawan.

Berdasarkan berita acara hasil kesepakatan penyelesaian masalah lahan kiri kanan Sungai Medang antara PT. Arara Abadi dengan KUD Kesuma Jaya dan Masyarakat Hukum Adat Desa Kesuma juga menghasilkan perjanjian kesepakatan sebagai berikut:

1) Areal sepanjang 1,5 km di kiri kanan sungai Medang atau kurang lebih 4.300 ha, dikeluarkan dari PT. Arara Abadi untuk di inclave dan dilestarikan, dalam hal ini Bupati Kampar dan Bupati Pelalawan akan mengusulkannya kepada Menteri Kehutanan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau.

2) Terhadap areal kurang lebih 600 ha, yang sudah di garap oleh PT.

Arara Abadi di dalam areal poin (a) tersebut di atas akan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

3) Terhadap kayu yang sudah di tebang di dalam areal 600 ha akan di musyawarahkan antara PT. Arara Abadi dengan masyarakat hukum adat Desa Kesuma dan sebagai mediator Camat Pangkalan Kuras.

4) Kekurangan areal PT. Arara Abadi kurang lebih 4.300 hektar akan diusahakan penggantinya oleh pihak kakanwil Kehutanan Tk. I Riau.

5) Terhadap batang sialang tumbangan baru akan dilaksanakan ceking kelapangan untuk diperhitungkan kemudian.

Namun pada tanggal 27 Januari tahun 2000 dilakukan pengukuran dikarenakan lahan tersebut sudah dikeluarkan dari PT. Arara Abadi berdasarkan perjanjian diatas, batas 1,5 km kiri kanan Sungai Medang yang disaksikan UPIKA Perda akan tetapi masyarakat hukum adat dusun

(12)

Medang tidak menerima hasil pengukuran karena tidak dilibatkan secara langsung dalam kegiatan tersebut.10

Mengenai hal tersebut dilakukan pengukuran kembali terhadap batas 1,5 km kiri kanan sungai Medang dengan melibatkan masyarakat hukum adat bersama –sama UPIKA, berjalannya proses pengukuran PT. Arara Abadi dapat bekerja atau beroperasional baik penebangan maupun penanaman pada areal diluar batas 1,5 km kiri kanan atau seluas kurang lebih 4.300 hektar serta melakukan kegiatan pengeluaran kayu diluar batas yang ditentukan tersebut.

Dicabutnya Kepmen Kehutanan No : 743 / KPTS-II / 1996 Tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas Areal Hutan Seluas ± 299.975 (Dua Ratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Sembilan Ratus Tujuh Puluh Lima) Hektar di Propinsi Daerah Tingkat I Riau Kepada PT. Arara Abadi, telah diganti dengan Kepmen Kehutanan Republik Indonesia No. SK. 703/MENHUT-II / 2013 mencabut yang dimana pada lahan ± 299.975 ha Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atas arealnya hutan produksi tersebut telah diubah menjadi ± 296.262 ha untuk dikelola di Kabupaten Siak, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hilir, Kota Dumai dan Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.11 Maka, PT. Arara Abadi harusnya melakukan pengukuran dan penataan batas di lapangan sesuai dengan SK yang baru. Namun sampai saat ini belum melakukan luas dan batas definitif areal IUPHHK- HTI PT. Arara Abadi. Dikuranginya pemberian hak pengusahaan hutan tanaman industri karena termasuk areal tanah ulayat perbatinan.

5.

Uraian Umum Sengketa Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batin

10 Lihat Resume Meeting Tanggal 24 Februari 2000 perihal Permasalahan Dusun Medang

11 Indonesia, Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK. 703/MENHUT-II / 2013 mencabut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 743 / KPTS-II / 1996 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas Areal Hutan Seluas ± 299.975 Hektar di Propinsi Daerah Tingkat I Riau Kepada PT. Arara Abadi, Pasal 1 Ayat (1).

(13)

Hitam Sungai Medang dengan PT. Arara Abadi Terhadap Obyek Persengketaan Putusan Nomor 113/PID.B/2019/Pn Plw

Berdasarkan ringkasan mengenai Putusan Nomor 113/Pid.b/2019/PN Plw dapat diketahui mengenai lahan luasnya lebih kurang 4.300 hektar atau 1,5 km kiri kanan sepanjang Sungai Medang, obyek yang sama-sama diklaim antara PT. Arara Abadi dan masyarakat hukum adat Batin Hitam.

Sudah terjadi perebutan lahan sejak tahun 1998 mengenai kepemilikan hak atas tanah tersebut, yang sebenarnya lahan garapan, areal kerja IUPHHK- HTI PT. Arara Abadi tidak layak kelola untuk areal kerja (working area), selain itu belum ada pengukuran dan penataan batas di lapangan, juga belum ada kepastian hukum terhadap objek sengketa.

Resume Meeting tanggal 24 Februari 2000 perihal permasalahan Dusun Medang dan berdasarkan surat perjanjian tanggal 21 Maret tahun 2000 juga terbukti bahwa PT. Arara Abadi juga mengakui Hutan Tanah Ulayat Perbatinan yaitu Tanah Kepungan Sialang, Tanah Perkebunan dan Tanah Perladangan, dan Tanah Perkampungan.

Berdasarkan wawancara bersamaPakar Hukum Kehutanan Dr Sadino, apabila memang benar adanya terdapat tanah ulayat, hak ulayat masyarakat hukum adat itu, termasuk ke dalam pengertian “Hutan Adat”

hendaknya untuk tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan beserta anggota-anggotanya agar mendapatkan manfaat dari hutan itu sepanjang hak-hak itu benar kenyataan memang masih ada dalam suatu daerah. Mengenai izin pengusahaan terhadap hutan adat, harus ada kesepakatan izin dari kehutanan dan melibatkan masyarakat hukum adat setempat. Izin hanya untuk pengelolaan dan ada batas waktunya tidak dapat mengklaim sebagai hak milik. Mengenai hak milik terhadap hak ulayat hanya dimiliki pemegang hak ulayat yaitu masyarakat hukum adatnya. Karena hak ulayat itu diakui dalam perundang-undangan dan hukum positif Indonesia.

Dalam hal ini yang telah diklaim kembali oleh PT. Arara Abadi, pada

(14)

Putusan Nomor 113/Pid.b/2019/PN Plw. Putusan Lepas Pidananya (Ontslag Van Alle Rechtsvervolging) yang dimana walaupun perbuatan Terdakwa (Rustam) yang merupakan Anak kemanakan yang mendapat lahan dari Abdul Arifin yang merupakan Batin Hitam Sungai Medang tidak dapat menikmati hak ulayatnya sendiri. Sampailah pada dilaporkan atas perbuatan hukum padahal di tanah hak ulayatnya sendiri.

Lahan/areal seluas 54 hektar yang didalilkan tempat Terdakwa melakukan pengrusakan terhadap tanaman akasia yang telah dikikis kulitnya agar tidak tumbuh lagi dan untuk ditanami pohon lain, namun keberadaan lahan 54 ha tersebut pengikisan kayu akasia dalam lahan yang telah disepakati antara PT. Arara Abadi dan masyarakat hukum adat Batin Hitam Sungai Medang berdasarkan perjanjian yang dibuat tahun 2000.

Putusan Nomor 113/Pid.b/2019/PN Plw mengenai Perjanjiannya terhadap obyek sengketa, dahulu pemegang hak ulayat yaitu terdakwa Rustam (anak kemenakan Batin Hitam Sungai Medang) diberikan lahan tersebut kepada terdakwa tanpa disertai alas hak dan hanya lisan saja oleh Abdul Arifin selaku Pemangku Adat. Di samping itu, juga yang dimaksud hukum perjanjian adat ialah “ hukum adat yang meliputi uraian tentang hukum perhitungan, termasuk soal-soal transaksi yang menyangkut tanah, sepanjang hal itu ada hubungan dengan masalah perjanjian yang dibuat menurut hukum adat”.

Sebagai Batin Hitam Sungai Medang menyerahkan lahan kepada Terdakwa untuk Terdakwa kelola, lahan yang diserahkan oleh saksi Arifin merupakan tanah ulayat dari kebatinan Sungai Medang.

PT. Arara Abadi benar mempunyai SK Menteri Kehutanan untuk menguasai lahan akan tetapi bersebelahan dengan lahan tempat pohon akasia yang dirusak tersebut. Didapatlah bahwa titik koordinat pengrusakan kulit kayu akasia tersebut bukanlah lahan milik PT. Arara Abadi melainkan lahan hak ulayat batin hitam seluas 4300 hektar atau 1,5 km kanan kiri sungai medang sebagaimana yang tertuang didalam

(15)

kesepakatan antara masyarakat Desa Kesuma dengan PT. Arara Abadi yang ditandatangani oleh Bupati Kampar, Bupati Pelalawan, Kakanwil Kehutanan, Camat Pangkalan Kuras dan KBKPN Langgam.

Pertimbangan Hakim dalam perkara ini kawasan hutan yang masih menimbulkan sengketa antara PT. Arara Abadi dengan masyarakat hukum adat Desa Kesuma Sungai Medang mengenai sengketa Hak Milik atau Hak Penguasaan atas sebidang tanah dan menurut hukum penyelesaian sengketa Hak Milik atau Hak Penguasaan atas tanah sengketa menjadi ranahnya hukum perdata.

Menurut penulis, dibuktikan juga dengan adanya unsur keperdataannya karena telah terjadi wanprestasi yang melanggar perjanjian untuk tidak melakukan pengelolaan baik penanaman dan penebangan pohon kayu di areal ± 4.300 ha tersebut karena sudah dilakukannya perjanjian harus di enclave dan dikembalikan pada masyarakat hukum adat setempat.

Hasil kesepakatan PT. Arara Abadi dengan membagi seluas 2 ha dari

± 4.300 ha kepada masyarakat hukum adat Suku Asli Petalangan termasuk Batin Hitam Sungai Medang, yang seharusnya dilaksanakan sistem bagi hasil (pola HTR) karena merupakan persetujuan yang diadakan antara pihak PT. Arara Abadi dan Masyarakat Hukum Adat dengan komposisi sesuai dengan ketentuan pola HTR yang berlaku. Akibat tidak dilaksanakan perjanjiannya melanggar suatu perjanjian ini sehingga masyarakat hukum adat dalam hal ini sangat dirugikan.

6. Analisis Permasalahan

Hukum dan Hukum Adat mempunyai arti yang sama. Penambahan kata “adat” pada hukum untuk menunjukkan hukum yang menguasai tingkah laku dan perbuatan orang Indonesia. Batasan makna Hukum Adat yang dipersoalkan lagi oleh karena makna Hukum Adat itu telah berkembang sesuai dengan pemahaman masing-masing sarjana. Luasnya perbedaan pemahaman para sarjana itu tergantung kepada luas dan

(16)

sempitnya ruang lingkup yang diberikan kepada Hukum Adat.12 Dengan demikian menurut Logemann proses Adat Istiadat menjadi Hukum Adat adalah Adat Istiadat – Putusan Hakim – Kebiasaan Hakim – Hukum Adat.13

Sengketa hak atas tanah merupakan persoalan yang sangat sering dirasakan oleh kalangan masyarakat hukum adat. Perusahaan-perusahaan dengan modal yang banyak, sehingga mampu memainkan kekuasaan yang ada dan menciptakan kegaduhan di dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Pengakuan hak ulayat itu diharapkan bukan hanya secara konstitusional atau tertulis, melainkan adanya penerapan secara optimal dengan cara menjadikan masyarakat hukum adat sebagai objek dalam penegakan hukum dan perlindungan hukum baik dalam bentuk hukum publik maupun hukum privat.14

Keberadaan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 hasil amandemen mendapat pengakuan dan penghormatan, termaktub dalam Pasal 18B ayat 2. Sebuah peraturan perundang-undangan nasional lainnya bentuk juga memberi perintah pengaturan, penetapan masyarakat hukum adat menggunakan produk hukum daerah. Terciptalah UU Pemerintahan Daerah, seperti memberinya mandat kepada pemerintah propinsi dan kabupaten atau kota supaya terbitlah berupa surat keputusan kepala daerah mengenai pengakuan, perlindungan masyarakat hukum adat dan kawasannya. Lewat permendagri No. 52 Tahun 2014 Tentang Pengakuan, Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, perananannya pemerintah daerah di dalam memberi pengakuan, perlindungan menjadikan lebih konkritnya dengan diterbitkanlah surat keputusan kepala daerah mengenai hak masyarakat hukum adat dan daerahnya (hutan adat). Sebab, pemerintah daerah menjadikan ujung tombak terpenting implementasikan putusan MK

12 H. Albar S. Subari et al., Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan ke-3 (Palembang : Unsri, 2010), hal. 2.

13 Ibid, hal. 10.

14 Ibid.,hal. 141.

(17)

35.

Selagi sejumlahnya peraturan daerah telah ada di berbagai kabupaten seumumnya bersifatlah mengatur dan bukan menetapkan terhadap masyarakat hukum adat serta daerahnya. Bahkan, KLHK berlandaskan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 memohon adanya perda yang bersifat menetapkan sebagai syaratnya pengakuan terhadap hutan adat. Oleh sebab itu, melalui adanya putusan MK No. 35 mandatnya dimiliki oleh pemerintah daerah dianggaplah agar terwujudnya perlindungan hukum bagi sepenuhnya segala hak masyarakat hukum adat atas hutan adat.

Tetapi dalam perjalanannya Putusan MK No. 35 dan Permendagri No. 52 Tahun 2014 sampailah saat ini, masih saja lemah menerapkan dalam memberi kepastian hukum atas status hukum masyarakat hukum adat dan wilayahnya (hutan adat).

Dalam masyarakat hukum adat Batin Hitam Sungai Medang yang keberadaan atau eksistensinya berada di provinsi Riau beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan hukum di daerah Riau khususnya mengenai masyarakat hukum adat dan hak-hak ulayatnya

a) Perda Provinsi Riau No. 14 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

b) Perda Provinsi Riau No. 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

Menurut pendapat penulis segala peraturan-peraturan yang memberikan perlindungan dan pengakuan baik terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Tidak dapat dipungkiri, jika keberadaannya memang sebenar-benarnya dilindungi. Maka, dalam melindungi hak-hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam Sungai Medang pada Putusan Nomor 113/Pid.B/2019/PN Plw sampailah dengan dihapuskan pidananya terdakwa (Rustam) anak-kemenakan Batin Hitam Sungai Medang yang pernah dilaporkan dan dipidana terkait dengan

(18)

pengrusakan, pengikisan pohon akasia di lahan 54 hektar yang termasuk dalam lahan kurang lebih 4.300 hektar karena segala peraturan perundang- undangan dan hukum positif Indonesia mengakui sepanjang masyarakat hukum adat itu ada dan maka dikembalikan menurut keperdataanya, untuk memberikan perlindungan hukum terhadap terjadinya wanprestasi yang dilanggar oleh PT. Arara Abadi juga memberikan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam dalam penyelesaian perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama dengan cara musyawarah masyarakat hukum adat.

Hukum perjanjian adat adalah hukum yang meliputi uraian tentang hukum perhutangan termasuk soal transaksi tanah dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah, sepanjang hal itu ada hubungannya dengan masalah perjanjian menurut hukum adat.

Mengenai perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam hukum adat, telah mendapatkan pengaturannya dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang- undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pasal 3 dari Undang-Undang Bagi Hasil menyebutkan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa yang disahkan oleh camat, kemudian Pasal 8 menyebutkan bahwa dilarang adanya pembayaran uang atau pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak mengusahakan tanah.

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa keabsahan dari perjanjian bagi hasil selain harus melalui kata sepakat dari para pihak, juga harus dibuat dalam bentuk tertulis di hadapan kepala desa dan disahkan oleh camat. Di samping itu juga ditentukan adanya jangka waktu minimal dari perjanjian bagi hasil serta adanya larangan pemberian sesuatu kepada pemilik tanah. Akan tetapi dalam praktiknya ketentuan yang tercantum di dalam hukum positif ini kurang dapat diaplikasikan, sehingga tepat jika dikatakan bahwa UU Bagi Hasil merupakan salah satu undang-undang yang tidak dapat diterapkan dengan efektif. Masyarakat

(19)

adat lebih suka melakukan dengan perjanjian dengan prinsip kepercayaan, sehingga menurut mereka cukup dengan kata sepakat saja. 15

Perbatinan Distrik Pangkalan Kuras mencakup didalamnya Batin Hitam Sungai Medang mempunyai wilayah hukum adat berdasarkan Peta Pelalawan (Landscape Pelalawan) tercatat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1932 No. 135 sesuai Memorie Van Overgave pada Arsip Nasional RI tanggal 28 September 1974.

Putusan Nomor 113/Pid.b/2019/PN Plw mengenai Perjanjiannya terhadap obyek sengketa, dahulu pemegang hak ulayat yaitu terdakwa Rustam (anak kemenakan Batin Hitam Sungai Medang) diberikan lahan tersebut kepada terdakwa tanpa disertai alas hak dan hanya lisan saja oleh Abdul Arifin selaku Pemangku Adat. Berdasarkan titik koordinat, tempat terjadinya pengrusakan kayu tersebut bukan merupakan lahan milik PT.Arara Abadi namun merupakan lahan hak ulayat batin hitam. PT.

Arara Abadi mempunyai SK Menteri Kehutanan untuk menguasai lahan akan tetapi bersebelahan dengan lahan tempat pohon akasia yang dirusak tersebut. Namun tidak dapat melakukan pengolahan baik penanaman dan penebangan pohon kayu atau kegiatan operasional apapun yang mengganggu di areal ± 4.300 ha tersebut karena sudah mendapatkan sepakat antara kedua belah pihak (masyarakat hukum adat Batin Hitam dan PT. Arara Abadi) perjanjian itu disepakati dengan tertulis, diketahui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Isi perjanjian yang menjadi obyek sengketa harus di enclave dan dikembalikan pada masyarakat hukum adat setempat.

III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa :

a. Terdapat hak-hak masyarakat hukum adat yang mempunyai

15 Ibid., hal. 13.

(20)

buktikepemilikan yang syah baik berdasarkan Hukum Positif maupun berdasarkan ketentuan Hukum Adat Petalangan, meliputi : Tanah Perkebunan, Tanah Perkampungan, Tanah Pedusunan (Tanaman buah- buahan/ tanaman keras). Namun perusahaan belum juga melakukan pengukuran dan penataan batas di lapangan untuk hak pengusahaan hutan tanaman industri di provinsi Riau, perusahaan hanya memiliki izin usaha bukan berarti hak milik dan seharusnya tidak dapat mengklaim dan membuat laporan hukum, sebab PT. Arara Abadi juga melanggar hukum dan mendapat sanksi administrasi sebab belum melakukan penataan batas di lapangan, sehingga belum memiliki kepastian hukum.

b. Bahwasannya dalam studi Putusan Nomor 113/Pid.B/2019/PN Plw yang mana ranahnya di bawah keperdataan dengan hal telah terjadi wanprestasi, yang harus mengembalikan apa yang menjadi seharusnya isi perjanjian tersebut bahwa tanah seluas kurang lebih 4.300 ha atau 1,5 km kiri kanan diakui dan dilindungi demikian juga areal 54 hektar tumbuhnya pohon akasia yang dikikis pohonnya untuk ditanami pohon oleh Terdakwa (Rustam) anak kemenakan Batin Hitam Sungai Medang karena termasuk hak ulayat. Adanya hubungan hukum antara masyarakat Hukum Adat Suku Petalangan Batin Hitam Sungai Medang dengan tanah ulayat dalam hal penggunaan, penguasaan, dan pengurusan tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Berdasarkan hal diatas Sengketa tersebut sudah diselesaikan menurut hukum adat , juga telah diselesaikan menurut Hukum nasional atau Pengadilan. Bahwa hak-hak ulayat masyarakat hukum adat diakui dan dilindungi serta kepemilikannya adalah pemegang ulayatnya. Penyelesaian sengketa hak ulayat menurut Hukum Adat dilakukan dengan secara kekeluargaan dengan mengutamakan perdamaian secara musyawarah Adat. Dalam praktek PT. Arara Abadi masih beritikad tidak baik, tidak menerima kesepakatan dan tidak melaksanakan keputusan itu sehingga sampai saat ini kasus sengketa terhadap hak ulayat tersebut belum selesai secara tuntas.

B. Saran

Beberapa saran guna untuk mengembangkan pengakuan, perlindungan,

(21)

dan dalam hal perjanjian mengenai masyarakat hukum adat Batin Hitam Sungai Medang terhadap hak ulayatnya dengan PT. Arari Abadi . Adapun saran-saran tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terhadap hak ulayat; objeknya masih ada, ketentuan masih berlaku tetapi masalah subjeknya perlu diadakan modifikasi baik terhadap perjanjiannya, perlindungan dan pengakuan maupun kriteria yang harus dipenuhi.

Diharapkan tentang perjanjian pengaturan, penggunaan, peralihan hak ulayat hendaklah tidak bertentangan dengan ketentuan Hukum Adat yang berlaku. Untuk mencegah atau menyelesaikan kasus hak ulayat perlu realisasi dari perangkat pengatur yang sudah ada. Dan kepala adat harus berperan aktif untuk memperhatikan masyarakat yang masih mengolah tanah ulayat.

2. Diharapkan baik Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Riau segera mungkin mengkaji ulang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ulayat haruslah mengkaji ulang pengertian hak ulayat yang pada kenyataannya masih ada sehingga pengaturan pengakuan dan perlindungan hak ulayat lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat hukum adat Suku Petalangan Batin Hitam Sungai Medang Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan dan agar untuk tetap mendukung hak-hak Ulayat (pada umumnya tanah ulayat pada khususnya) agar tidak dilupakan keberadaanya dan agar tetap menjadi tanah yang leluhur sebaiknya diberikan perhatian secara khusus. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perwujudan dalam bentuk perwujudan dalam menghormati, menghargai, dan melestarikan, memberikan perlindungan hukum terhadap Hak Ulayat (tanah ulayat) Suku Batin Hitam Sungai Medang di kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Dengan adanya tindakan tegas dari Pemerintahan Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap persengketaan yang dilakukan oleh PT. Arara Abadi seharusnya mampu untuk mengeluarkan kawasan yang merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat Batin Hitam ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar terhadap konflik yang terjadi.

(22)

Diharapkan terhadap PT. Arara Abadi lebih memperhatikan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat suku asli Petalangan Batin Hitam Sungai Medang dalam melakukan pembukaan lahan.

IV. DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Rahardjo, Sarjito. Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009).

Sembiring, Rosnida. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008).

Subari, H. Albar S, et al. Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan ke-3 (Palembang: Unsri, 2010).

Wignyosoebroto, Soetandyo. Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam Huma, 2002).

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

________. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya ( Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun 2015 Nomor 10, Noreg Peraturan Daerah Provinsi Riau 2/2016).

C. Putusan

Indonesia. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK.

703/MENHUT-II / 2013 mencabut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 743 / KPTS-II / 1996 Tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas Areal Hutan Seluas ± 299.975 Hektar di Propinsi Daerah Tingkat I Riau Kepada PT. Arara Abadi.

D. Jurnal

Anindyajati, Titis. “Politik Tentang Peran Mahkamah Konstitusi dalam Melindungi Eksistensi Kesatuan Hukum Masyarakat Hukum Adat di Indonesia”, Jurnal Masyarakat & Budaya, Edisi 19 No. 1 Tahun 2017.

(23)

E. Sumber Lainnya

Resume Meeting Masyarakat Hukum Adat Batin Hitam Sungai Medang dan PT. Arara Abadi Tanggal 24 Februari Tahun 2000.

Keputusan Musyawarah Besar II Lembaga Adat Petalangan Kabupaten Kampar Nomor : 04/MUBES II LAP /VII/ 1998 tentang Hutan Tanah Wilayat.

Referensi

Dokumen terkait

oleh pihak PT Sari Gemilang Lestari terhadap Taarifuddin dan 3 (tiga) orang pekerja terhitung sejak tanggal 17 Maret 2017 dengan alasan habis masa kontrak

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Todaro (2006) bahwa pada negara berkembang seperti Indonesia, baik secara nasional maupun pada tingkat

INTERAKSI ANFAWW PEMlMPlN DAN PENGIKUT Dl DESA LEUWISADEMG, KEGAMATAN LEUWILIAQIG,. KABUPATEN BOGOR, JAWA

Pemerintah daerah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan ditetapkan bahwa

Mengingat hal ini disebabkan karena ada atau tidaknya perjanjian sangat menentukan dalam menyatakan seseorang melakukan ingkar janji atau wanprestasi, karena

Pemberatan pidana yang dijatuhkan pada Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara anak sebagai pelaku dari tindak pidana pada putusan Mahkamah Agung Nomor

Tetapi pada saat penggolongan sisa harta pailit tim kurator PT Dhiva Inter sarana dan Richard Setiawan tidak terlihat membagikan sama rata atau menggunakan asas pari

Direkt 0 rat Penertiban dan Penetapan Tanah Terlantar, (Jakarta: Direkt 0 rat Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Kementrian Agraria dan Tata Ruang dan Badan