• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMUNDURAN POLITIK ALIRAN DI SUMATERA BARAT PADA AWAL ORDE BARU: PARTAI PERTI SEBAGAI PERBANDINGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEMUNDURAN POLITIK ALIRAN DI SUMATERA BARAT PADA AWAL ORDE BARU: PARTAI PERTI SEBAGAI PERBANDINGAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

~ - 25 - ~ KEMUNDURAN POLITIK ALIRAN DI SUMATERA BARAT PADA AWAL ORDE BARU: PARTAI PERTI SEBAGAI PERBANDINGAN

Drs.Syafrizal, M.Hum

Staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang.

Abstrak

Semenjak berkuasanya pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1966, peranan politik aliran semakin mengalami kemunduran dalam kehidupan perpolitikan baik pada level lokal maupun nasional. Makalah ini membicarakan proses kemunduran politik aliran di Sumatera Barat pada permulaan era pemerintahan Orde Baru, dengan mengambil pengalaman Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) sebagai perbandingan. Partai Perti terbentuk di Sumatera Barat pada akhir tahun 1945, guna memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Corak kepartaian yang berkembang ketika itu umumnya adalah bersifat politik aliran, yaitu kuatnya ikatan orientasi kultural atau segmentasi sosial terhadap partai politik tertentu. Dalam konteks ini Perti dapat dilihat sebagai partainya ulama tradisional atau “Kaum Tua” dan pengikutnya di Sumatera Barat. Ketika dilakukan Pemilu (pemilihan umum) 1955 yang merupakan pemilu pertama di Indonesia, Perti menjadi partai terbesar kedua setelah Partai Masyumi di Sumatera Barat. Keadaan menjadi berubah dalam Pemilu 1971 yang diselenggarakan oleh pemerintahan Orde Baru, perolehan suara Partai Perti mengalami kemerosotan secara drastis. Pengaruh politik aliran dalam tubuh Perti mulai menipis, dialihkan oleh kehadiran kontestan Golongan Karya (Golkar) sebagai kenderaan politik rezim Orde Baru.

Golkar bersifat solidaritas yaitu menyatukan semua aliran yang berkembang dalam masyarakat. Banyak tokoh Partai Perti seperti Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Inyik Adam dan Inyik Sasak yang menyeberang ke dalam Golkar. Makalah ini menelusuri lebih jauh proses kemunduran politik aliran dalam tubuh Partai Perti sepanjang tahun 1966-1971.

Kata kunci: Partai Perti, politik aliran, Pemilu 1955 dan 1971, dan Golkar.

(2)

~ - 26 - ~ I. Pendahuluan

Dalam tahun 1966-1967 terjadi peralihan kekuasaan di Indonesia dari rezim Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) ke tangan rezim Orde Baru. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru terdapat kecenderungan untuk melenyapkan peranan politik aliran dalam kehidupan politik di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto menjadikan organisasi politik Golongan Karya (Golkar) sebagai kenderaan politik, guna mendapatkan legitimasi kekuasaan dan mengokohkan keterlibatan aparat militer dalam kehidupan sosial politik. Golkar meskipun tidak mau memberikan label partai politik terhadap dirinya, namun sesungguhnya merupakan sebuah partai politik milik penguasa Orde Baru.

Golkar dapat dikategorikan sebagai partai solidaritas, yaitu menyatukan berbagai kelompok, assosiasi dan paham yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat ke dalam satu partai.1 Penguasa Orde Baru berusaha keras membuka jalan bagi Golkar untuk mendominasi peta kekuatan politik di Indonesia. Dalam konteks itulah terjadi proses degradasi atau kemunduran peranan politik aliran dalam percaturan politik masa Orde Baru, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal.

Politik aliran menurut Clifford Geertz, merupakan fenomena yang memperlihatkan kuatnya ikatan

ideologi atau paham kemasyarakatan suatu kelompok sosial terhadap partai politik tertentu.2 Orientasi budaya atau aliran ideologi tertentu dirumuskan pelaku politik menjadi orientasi partai politik, guna membentuk pandangan masyarakat tentang kekuasaan.3Corak politik aliran itu mewarnai keberadaan partai-partai politik di Indonesia pada awal kemerdekaan hingga akhir dekade 1950-an. Menurut Herbert Feith, sebelum era pemerintahan Orde baru di Indonesia terdapat lima aliran dalam politik yaitu komunisme, sosialisme, Islam reformis, Islam konservatif, dan nasionalisme.4

Partai Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang dibicarakan melalui makalah ini, merupakan salah satu contoh dari partai berlandasan politik aliran yaitu Islam konservatif. Partai Perti lahir dan berkembang luas di Sumatera Barat, menempati posisi kedua setelah Partai Masyumi (Islam reformis) pada pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia tahun 1955. Pada awal berkuasanya pemerintahan Orde Baru Partai Perti mulai ditinggalkan oleh pengikutnya, fenomena serupa juga dialami oleh partai-partai aliran lainnya. Golkar yang dikenal sebagai partai solidaritas keluar sebagai kekuatan politik yang dominan, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal termasuk di Sumatera Barat.5

Dominasi Golkar itu mulai terlihat sejak Pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama

(3)

~ - 27 - ~ diselenggarakan pemerintahan Orde

Baru. Dalam Pemilu 1971 di Sumatera Barat, Golar jauh mengungguli Parmusi (kelanjutan Masyumi), Partai Perti, dan partai politik lainnya. Peranan politik aliran mengalami kemunduran di Indonesia selama era pemerintahan Orde Baru, prosesnya telah dimulai pada kurun waktu 1966-1971.

Makalah ini membicarakan Partai Perti di Sumatera Barat sebagai fokus perhatian, untuk melihat proses kemunduran politik aliran di Sumatera Barat pada awal Orde Baru. Aspek yang diperhatikan meliputi fenomena politik aliran dalam Partai Perti, lalu faktor penyebab menyeberangnya sebagian tokoh Perti ke dalam Golkar, dan suasanan menjelang Pemilu 1971 yang mengindikasikan adanya dukungan beberapa orang pemuka Perti terhadap Golkar. Dari pengungkapan aspek itu diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemunduran politik aliran pada masa awal Orde Baru.

II. Partai Perti Sebelum Orde Baru Kehadiran partai-partai politik di Indonesia pada awal kemerdekaan merupakan respon atas Maklumat Pemerintah pada tanggal 3

November 1945, yang

ditandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Mohammad Hatta. Pemerintah RI melalui maklumat itu menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat agar membentuk partai-partai politik, guna menyalurkan berbagai aliran

atau paham dalam masyarakat secara teratur untuk mempertahankan kemerdekaan.6 Seruan pemerintah itu cepat diresponi oleh masyarakat di Sumatera Barat.

Sebagian besar pemuka Islam di Sumatera Barat bergabung ke dalam Partai MIT (Majelis Islam Tinggi), yang dibentuk di Bukittinggi pada pertengahan November 1945.

Kepemimpinan MIT didominasi oleh ulama “Kaum Muda” (ulama modernis atau reformis) seperti Ilyas Yakub, Mansyur Daud Datuk Palimo Kayo, dan A.R.Sutan Mansyur, sehingga tidaklah mengherankan kalau MIT pada bulan November 1946 berubah menjadi cabang Partai Masyumi (beraliran Islam reformis) di Sumatera Barat.7 Akibat dominannya pengaruh ulama modernis dalam kepemimpinan MIT, maka ulama tradisionalis atau “Kaum Tua” di bawah pimpinan Haji Siradjuddin Abbas mengadakan kongres di Bukittinggi pada tanggal 22-24 Desember 1945, dan dari kongres itulah terbentuknya Partai Perti.8

Partai Perti menjadi penyalur aspirasi politik ulama “Kaum Tua”

dan pengikutnya. Nama Perti diambil dari nama organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada masa penjajahan Belanda. Perti dibentuk oleh Syekh Sulaiman ar- Rasuli (Inyik Candung) dan Syekh Abbas pada tanggal 20 Mei 1930, guna menyatukan ulama “Kaum Tua” (tradisionalis) menghadapi ulama “Kaum Muda” (modernis).9 Perti dengan demikian menganut

(4)

~ - 28 - ~ politik beraliran Islam tradisional

(konservatif), atau juga merupakan partainya “Kaum Tua”.

Istilah “Kaum Muda” dan

“Kaum Tua” muncul di Sumatera Barat pada dekade kedua permulaan abad ke-20. Untuk pertama kalinya istilah itu dikemukakan dalam Harian “Utusan Melayu” oleh Datuk Sutan Maharadja, yang dikenal anti terhadap “Kaum Muda”.10 Istilah

“Kaum Muda” dan “Kaum Tua”

merupakan indikasi adanya polarisasi dalam kehidupan masyarakat Islam di Sumatera Barat. Polarisasi dimaksud lahir dan berkembang ketika berhadapan dengan pengaruh budaya modern, yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda terutama melalui pendidikan sekuler.

Kelompok “Kaum Muda”

terbuka terhadap pengaruh kebudayaan moderen, mereka mendirikan sekolah-sekolah Islam yang dikelola secara modern.

Pelajaran yang diberikan pada sekolah-sekolah “Kaum Muda” di samping menyangkut soal Islam, maka juga diberikan pengetahuan sekuler sebagaimana yang diajarkan pada sekolah-sekolah pemerintah seperti geografi, aljabar, dan bahasa Belanda. Murid dan siswa sekolah- sekolah “Kaum Muda” memakai kemeja, celana panjang, sepatu dan boleh tidak berkopiah, serta kegiatan belajar-mengajar menggunakan bangku, meja, dan papan tulis.11 Lembaga pendidikan yang diselenggarakan “Kaum Muda”

antara lain adalah Perguruan Sumatera Thawalib pada berbagai

tempat, sekolah-sekolah Muhammadiyah, dan Diniyah School.

Selain itu “Kaum Muda” juga melakukan gerakan pemurnian Islam, yaitu mengembalikan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks itulah “Kaum Muda”

dikenal sangat anti terhadap amalan tarekat, karena terdapatnya unsur rabithah yaitu membayangkan wajah guru ketika melakukan zikir kepada Allah SWT.12 Bersamaan dengan itu ajaran tarekat mengandung unsur pendewaan terhadap guru, seperti orang akan memperebutkan sisa makanan guru, dan jika guru telah meninggal dunia maka di atas makamnya orang akan membakar kemenyan serta memohon sesuatu yang diinginkan.13 Tokoh gerakan

“Kaum Muda” di Sumatera Barat antara lain Syekh Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Syekh Haji Mohammad Djamil Djambek.

Sebaliknya kalangan ulama

“Kaum Tua” menutup diri terhadap pengaruh kebudayaan dunia modern.

Mereka mengamalkan ajaran tarekat secara konsisten, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan tarbiyah yang hanya mengajarkan pengetahuan tentang Islam. Ketika perkumpulan Muhammadiyah yang menghimpun kalangan modernis makin berkembang di Sumatera Barat pada tahun 1930,14 maka ulama “Kaum Tua” menghimpun kekuatan dengan mendirikan organisasi Perti pada bulan Mei

(5)

~ - 29 - ~ 1930. Perti itulah yang akhirnya

dikembangkan menjadi partai politik oleh “Kaum Tua” di Sumatera Barat pada awal kemerdekaan.

Partai Perti turut berpartisipasi dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sepanjang tahun 1945-1949. Perti menempatkan wakilnya dalam keanggotaan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) mulai dari tingkat kenagarian hingga tingkat keresidenan di Sumatera Barat.15 Fungsi KNID ketika itu adalah sebagai lembaga legislatif pada setiap unit pemerintahan. Partai Perti dan partai-partai lainnya membentuk barisan-barisan bersenjata atau lasykar rakyat, guna membantu tentara dalam perang kemerdekaan.

Pimpinan Perti membentuk Lasjmi (Lasykar Muslimin Indonesia) pada setiap cabang dan ranting Partai Perti.16

Sejak tahun 1950, yaitu setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, sistem pemerintahan Demokrasi Liberal diberlakukan oleh pemerintah. Kekuatan atau pengaruh partai politik diuji,baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal, melalui Pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama di Indonesia.Hasil Pemilu 1955memperlihatkan kuatnya pengaruh Partai Perti di Sumatera Barat. Dari 1.187.348 pemilih maka sebanyak 510. 854 suara dikantongi oleh Partai Masyumi, lalu disusul oleh Partai Perti di Sumatera Barat sebanyak 290.393 suara.17 Partai Perti dengan demikian menempati

posisi kedua dalam prestasi perolehan suara pada Pemilu 1955.

III. Orde Baru dan Degradasi Partai Perti

Rezim Orde Baru yang berkuasa di Indonesia sejak pertengahan dekade 1960-an, baru bisa menyelenggarakan pemilu pertama dalam tahun 1971. Golkar yang semula bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar yang berdiri pada bulan Oktober 1964, dijadikan penguasa Orde Baru sebagai kontestan mulai pada Pemilu 1971. Pemerintah berkepentingan untuk memenangkan Golkar pada setiap pemilu masa Orde Baru.

Golkar yang lahir sebagai organisasi politik anti komunis, dan dipimpin oleh aparat militer dipandang sangat relevan menjadi kenderaan politik oleh penguasa Orde Baru.

Pemerintahan Orde Baru menganut paham anti komunis, dan menganut dwifungsi militer sehingga sangat sejalan dengan semangat Golkar.

Golkar pada mulanya hanya terdapat di Jakarta, diperkenalkan di SumateraBarat oleh aparat militer Kodam III/17 Agustus. Menjelang Pemilu 1971, Golkar Sumatera Barat melakukan konsolidasi melalui Musyawarah Kerja Daerah pada tanggal 30 dan 31 Januari 1970 di Padang, sehingga terbentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah Golkar Sumatera Barat yang diketuai oleh Mayor Inf. Drs.

Saafroedin Bahar.18 Kepengurusan itulah yang berjuang untuk

(6)

~ - 30 - ~ memenangkan Golkar pada Pemilu

1971 di Sumatera Barat.

Golkar dapat diklassifikasikan sebagai partai solidaritas, yang menghimpun semua aliran atau kelompok dalam masyarakat untuk masuk ke Golkar. Dalam Pemilu 1971 Golkar sebagai pendatang baru keluar sebagai pemenang, baik pada tingkat nasional maupun lokal Sumatera Barat. Partai Perti bergeser ke tempat ketiga dalam jumlah perolehan suara setelah Parmusi (lanjutan Partai Masyumi). Selain turun peringkat, jika dibandingkan dengan Pemilu 1955 maka perolehan suara Perti di Sumatera Barat pada Pemilu 1971 berkurang secara drastis. Pada Pemilu 1955 Partai Perti di Sumatera Barat meraih 290.393 suara, merosot drastis menjadi 83.556 suara pada Pemilu 1971.19

Kekalahan Partai Perti di Sumatera Barat dalam Pemilu 1971 merupakan indikasi mundurnya peranan politik aliran dalam mewarnai keberadaan partai politik, dikalahkan oleh kehadiran partai solidaritas (Golkar). Kemenangan Golkar di Sumatera Barat dalam Pemilu 1971 antara lain disebabkan oleh menyeberangnya beberapa orang tokoh Perti ke dalam Golkar.

Kecenderungan itu terlihat beberapa saat sebelum dilakukannya acara pemungutan suara.

Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyik Candung) yang dikenal sebagai salah seorang tokoh pendiri Perti misalnya, pada awal tahun 1970 menyatakan keluar dari kegiatan

politik Perti, ia memilih kegiatan untuk memajukan pendidikan keagamaan di lingkungan Perti dengan cara berafiliasi ke dalam Golkar yang berorientasi pada pembangunan. Dalam pertengahan tahun 1970 Inyik Candung meninggal dunia. Menjelang pelaksanaan Pemilu 1971, massa pendukung almarhum Inyik Candung mengadakan pertemuan.

Pengemban amanat Inyik Candung yaitu K.H. Baharuddin Rusli dalam pertemuan tanggal 27 Mei 1971 di Candung (dekat Bukittinggi) yang dihadiri oleh sekitar 3.000 orang massa Golkar, menegaskan bahwa Perti adalah organisasi non-politik dan dalam Pemilu 1971 berada bersama Golkar.20

Tindakan Inyik Candung itu diikuti pula oleh tokoh-tokoh Perti lainnya seperti Ketua Umum PB Perti Sumatera Barat Ramli Datuk Bagindo Malano. Pada tanggal 11 Februari 1971 ia menyatakan bahwa Departemen Pendidikan dan Tharikat beserta alakahnya (lembaga pengajian agama) sebanyak 460 buah masuk Golkar Sumatera Barat.21 Peranan Partai Perti semakin memudar ketika pelaksanaan pemilu semakin dekat. Inyik Adam yang dikenal sebagai penasehat DPD Perti Sumatera Barat dan Pembina Perguruan Islam di Koto Tangah (dekat Kota Padang), menyatakan dirinya masuk Golkar.22 Bersamaan dengan itu Angku Solok (Pembina Surau Gadang) di Tanah Garam Solok juga menyatakan dirinya masuk Golkar.23

(7)

~ - 31 - ~ Fenomena menyeberangnya

beberapa orang tokoh Perti ke dalam Golkar terkait antara lain dengan dinamika politik sebelum berkuasanya Orde Baru. Pada dekade 1950-an di Sumatera Barat terjadi gejolak politik, yang menyebabkan buruknya hubungan daerah dengan pemerintah pusat. Gejolak politik itu berkembang menjadi pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada awal tahun 1958. Pergolakan itu ditindas dengan kekerasan oleh pemerintah pusat.

Partai-partai politik yang dinilai terlibat dalam gerakan PRRI itu, yaitu Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.

Partai Perti dinilai Presiden Soekarno tidak terlibat dalam gerakan PRRI, sehingga eksistensinya dapat dipertahankan.

Orientasi politik Presiden Soekarno yang dekat dengan blok komunis sepanjang era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), memaksa Partai Perti membangun hubungan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno, muncul rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru berkembang aksi-aksi massa, dimotori mahasiswa dan pelajar, yang bertujuan melenyapkan komunisme dan anasir-anasirnya.

Partai Perti turut menjadi sasaran aksi-aksi mahasiswa dan pelajar, mengingat harmonisnya hubungan

partai itu dengan PKI masa Demokrasi Terpimpin. Anggota DPRD-Gotong Royong (lembaga legislatif) Sumatera Barat yang berasal dari Partai Perti terpaksa mengundurkan diri pada bulan Juni 1966.24Untuk mengatasi ketakutan akibat adanya aksi penumpasan terhadap PKI dan sekutunya, maka sebagian tokoh Perti dan massa pengikutnya menyeberang ke Golkar.

Faktor lain yang menyebabkan sebagian tokoh Perti menyeberang ke dalam Golkar di Sumatera Barat adalah karena mengalirnya bantuan Golkar dan pemerintah kepada sekolah dan surau-surau pengajian

“Kaum Tua”. Partai Perti sebelumnya sibuk berpolitik, sehingga kemajuan prasarana dan sarana pendidikan luput dari perhatian. Golkar datang memberikan bantuan semen, seng, Kitab Suci Al-Qur’an, tikar untuk shalat, generator lestrik, perbaikan asrama pelajar, dan lain-lain.25 Ulama Perti yang masuk ke Golkar akhirnya ada pula yang dilibatkan menjadi juru kampanye Golkar, sehingga semakin meminggirkan peranan Perti sebagai partai aliran

“Kaum Tua”.

IV. Kesimpulan

Partai Perti merupakan partai aliran “Kaum Tua” di Sumatera Barat, pada mulanya masuk jajaran partai yang berpengaruh di Sumatera Barat. Pada Pemilu 1955 menempati posisi kedua setelah Masyumi, dengan perolehan suara lebih dari 25% jumlah pemilih.Keadaan

(8)

~ - 32 - ~ menjadi berubah pada awal

pemerintahan Orde Baru, perolehan suara Perti di Sumatera Barat dalam Pemilu 1971 turun ke posisi nomor tiga setelah Golkar dan Parmusi (lanjutan Masyumi), perolehan suara Perti turun drastis menjadi 6,9% dari jumlah pemilih.

Sejak berkuasanya rezim Orde Baru, peranan politik aliran mengalami kemunduran seperti yang dialami Partai Perti di Sumatera Barat. Partai solidaritas yang ditampilkan organisasi politik Golkar

mendominasi peta kekuatan politik di Indonesia, baik pada level nasional maupun lokal Sumatera Barat.

Sebagian ulama “Kaum Tua”

meninggalkan Partai Perti dan beralih mendukung Golkar, yang juga dikenal sebagai “partai pemerintah”. Aksi pembersihan terhadap anasir komunis, beserta ideologi pembangunan yang ditawarkan Golkar dan pemerintah diduga menjadi faktor utama menyebabkan degradasi politik aliran

dalam Partai Perti.

Catatan Akhir

1David E. Apter, terj., Politik Modernisasi (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hal. 209-210.

2Clifford Geertz, terj., Politik Kebudayaan (Yogyakarta:Kanisius, 1994), 63-64.

3Nazaruddin Sjamsuddin, “Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia”, dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, penyunting, Profil Budaya Politik Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal. 30-35.

4Herbert Feith, “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965: Suatu Pengantar”, dalam Miriam Budiardjo, penyunting, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT Gramedia, 1981), hal. 214-220.

5Selama berkuasanya rezim pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu mendominasi perolehan suara. Kemenangan Golkar di Sumatera Barat telah dimulai sejak Pemilu 1971, yang merupakan pemilu pertama masa Orde Baru. Informasi lebih jauh soal kemenangan Golkar di Sumatera Barat dapat ditelusuri dalam tesis Syafrizal, “Pemilihan Umum 1971 di Sumatera Barat: Studi tentang Kemenangan Golongan Karya”, tesis (Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1997).

6Adnan Buyung Nasution, terj., Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituane 1956-1965 (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 21-22.

7Kementerian Penerangan RI, Propinsi Sumatera Tengah (Djakarta: Kempen RI, 1953), hal.

459-464.

8Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 170-174.

9Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1991), hal.

240-241.

10Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia (Ithaca dan London: Cornell University Press, 1972), hal. 236.

11Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), hal. 83-84.

12Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR.H.Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Jakarta: Umminda, 1982), hal.103-104.

(9)

~ - 33 - ~

13Ibid., hal. 50-51.

14Pada tahun 1929 saja telah terbentuk cabang-cabang Muhammadiyah Sumatera Barat di Maninjau, Padangpanjang, Batusangkar, Payakumbuh, Pariaman, dan Padang. Informasi lebih lengkap dapat diikuti dalam Hamka, Islam dan Adat Minangkabau (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), hal.

210.

15Komposisi keanggotaan yang mewakili partai politik dalam KNID didasarkan pada negosiasi antar pimpinan partai pada lokalitas bersangkutan. Informasi ini dapat ditelusuri lebih jauh dalam Audrey R.

Kahin, “Struggle For Independence: West Sumatra in the Indonesian National Revolution 1945-1950”, thesis (Ithaca, New York: Cornell University, 1979), hal. 122-123.

16Ibid., hal. 123.

17Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 Untuk Dewan Perwakilan Rakjat (DPR)(Djakarta:

Leknas LIPI, 1971), hal. 107 dan 110.

18Saafroedin Bahar, “Peranan Elite Sipil dan Militer dalam Dinamika Integrasi Nasional di Indonesia: Kasus Etnik Minangkabau di Sumatera Barat1945-1984”, Disertasi Ilmu Politik (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1996), hal. 302-303.

19Uraian tentang kontestan dan hasil Pemilu 1971 di Sumatera Barat dapat dilihat dalam Syafrizal, op.cit., hal. 70-115.

20Harian Haluan (28 Mei 1971), hal. I.

21Harian Haluan (12 Februari 1971), hal. I.

22Harian Aman Makmur (23 Djuni 1971), hal. 1 dan 4.

23Harian Haluan (3 Djuni 1971), hal. !.

24Berita Antara (17 Djuni 1966B), hal. 2.

25Berita tentang bantuan Golkar dan pemerintah terhadap sekolah dan rumah ibadah Perti di Sumatera Barat antara lain diberitakan dalam Berita Antara (14 Djuni 1971A), Harian Aman Makmur (23 Djuni 1971), dan Harian Haluan (3 Djuni 1971).

[ ]

Daftar Bacaan

Abdullah, Taufik,“Modernization in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia. Ithaca dan London: Cornell University Press, 1972.

Alfian,Hasil Pemilihan Umum 1955 Untuk Dewan Perwakilan Rakjat (DPR).

Djakarta: Leknas LIPI, 1971.

Aman Makmur, Harian tertanggal: 23 Djuni 1971.

Apter, David E, ter., Politik Modernisasi.Jakarta: PT Gramedia, 1987.

Bahar, Saafroedin, “Peranan Elite Sipil dan Militer dalam Dinamika Integrasi Nasional di Indonesia: Kasus Etnik Minangkabau di Sumatera Barat1945- 1984”, Disertasi Ilmu Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1996.

Berita Antara, Harian tertanggal: 17 Djuni 1966B, 14 Djuni 1971A.

Daya, Burhanuddin,Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990.

(10)

~ - 34 - ~ Feith, Herbert,“Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965: Suatu Pengantar”, dalam Miriam Budiardjo, penyunting, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Geertz, Clifford, terj.,Politik Kebudayaan. Yogyakarta:Kanisius, 1994.

Haluan, Harian tertanggal: 12 Februari 1971, 28 Mei 1971, dan 3 Djuni 1971.

Hamka,Ayahku: Riwayat Hidup DR.H.Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.

Hamka,Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984.

Kahin, Audrey R.,“Struggle For Independence: West Sumatra in the Indonesian National Revolution 1945-1950”, thesis. Ithaca, New York: Cornell University, 1979.

Kementerian Penerangan, Propinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kempen RI, 1953.

Nasution, Adnan Buyung,terj., Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:

Studi Sosio Legal atas Konstituane 1956-1965. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1995.

Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Noer, Deliar,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1991.

Sjamsuddin, Nazaruddin, “Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia”, dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, penyunting, Profil Budaya Politik Indonesia.

Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991.

Syafrizal,“Pemilihan Umum 1971 di Sumatera Barat: Studi tentang Kemenangan Golongan Karya”, tesis. Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1997.

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kadar kreatinin serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis2. Kata kunci:

Menurut perbandingan saat ini dan didasarkan pada prinsip-prinsip dari algoritma algoritma dan non metode (dijelaskan dalam bagian sebelumnya); untuk menggunakan

Hasil: Didapati, sebanyak 48,4% mahasiswa yang mengalami stres Data yang ada diuji menggunakan uji korelasi Kendall’s Tau, nilai p yang didapatkan adalah 0,136, menunjukkan

Negara Tiongkok telah berhasil dalam menciptakan label bahwa Panda merupakan simbol penyelamatan dan pelestarian lingkungan, maka diplomasi Panda pun juga dilakukan

Activity diagram menggambar kan berbagai alir aktivitas dalam sistem yang sedang dirancang, bagaimana masing- masing alir berawal, decision yang mungkin terjadi,

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

Hal seperti itu dapat terjadi karena kebiasaan guru dalam menyajikan pembelajaran terlalu mengacu pada target pencapain kurikulum sehingga mengabaikan hal yang nampaknya sepele

〔下級審民訴事例研究 六〕 一 株式会社の負担する債務の担保として