KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI Islamic Business Online School
IJTIHAD DAN TAQLID (1)
SEPUTAR IJTIHAD
POKOK BAHASAN
(1) PENGERTIAN IJTIHAD
(2) PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD (3) SYARAT-SYARAT IJTIHAD
(4) METODE IJTIHAD
(5) TINGKATAN-TINGKATAN MUJTAHID
PENGERTIAN IJTIHAD
PENGERTIAN IJTIHAD
Pengertian Ijtihad Menurut Bahasa :
داهتجلإا
ف ةغللا لذب
دوهجملا غارفتساو
عسولا
ف لمعلا
Ijtihad menurut makna bahasa (etimologi) artinya adalah mengerahkan kesungguhan dan mencurahkan kesanggupan dalam melakukan suatu kegiatan.
(M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hlm. 361)
PENGERTIAN IJTIHAD
Pengertian Ijtihad Menurut Istilah :
داهتجلإا
ف حلاطصلإا
لذب عسولا
ف بلط
نظلا يشب نم
ماكحلأا ةيع ر شلا
لىع هجو
سحي دهتجملا
نم هسفن
علا زج
نع ديزملا
هنم
Ijtihad menurut makna istilah (terminologi) adalah mengerahkan kesanggupan untuk mencari zhann (dugaan) dalam hukum-hukum syara’
sedemikian sehingga mujtahid merasa tidak
mampu lagi untuk menambah kesanggupannya
itu.
(M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 361)PENGERTIAN IJTIHAD
Medan Ijtihad :
Berdasarkan definisi ijtihad tersebut, yang menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni, maka diketahui pula bahwa medan ijtihad (داهتجلإا لاجم) adalah nash-nash syariah yang bermakna zhanni, yaitu yang mempunyai makna lebih dari satu.
Misalnya : (1) “menyentuh wanita” (laamastum an nisaa`) (QS An Nisa` : 43), yang dapat bermakna
“menyentuh dengan tangan” atau “berhubungan badan.” (2) “tiga quru’” (tsalaatsa quru`) (Al Baqarah : 228) yang dapat bermakna suci (ath thuhr) atau haid.
PENGERTIAN IJTIHAD
Medan Ijtihad :
Adapun nash-nash syara’ yang bermakna qath’i (tegas), yaitu yang maknanya hanya satu, maka nash-nash seperti ini bukanlah medan ijtihad.
Misalnya : nash yang qath’i (tegas) yang mewajibkan sholat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya; atau nash yang qath’i yang mengharamkan zina, riba, khamr, judi, liwath (homoseksual), dan sebagainya.
Kaidah ushuliyah mengatakan : (صنلا دروم ف داهتجا ل), artinya “Tidak ada ijtihad pada perkara yang ada nash-nya secara qath’i.”
PENGERTIAN IJTIHAD
Suatu Aktivitas Intelektual Disebut Ijtihad Jika Memenuhi 3 (Tiga) Kriteria :
Pertama, harus ada pengerahan kesanggupan yang dilakukan oleh seorang mujtahid sampai semaksimal mungkin.
Kedua, hasil dari pengerahan kesanggupan yang maksimal tersebut adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni.
Ketiga, sumber untuk hukum syara’ tersebut adalah nash-nash syariah (Al Qur`an dan As Sunnah), sebagai dalil-dalil syar’i (sumber hukum).
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz I, hlm. 209)
PENGERTIAN IJTIHAD
Tidak Termasuk Ijtihad, Penerapan Hukum Syara’ Untuk Masalah- Masalah Baru :
Penerapan hukum syara’ yang sudah ada, yang bermakna umum, terhadap masalah-masalah baru, bukan termasuk ijtihad.
Misalnya :
(1) menerapkan hukum haramnya bangkai (al maitah) (QS Al Maidah : 3) untuk menghukumi hewan yang dimatikan dengan cara disetrum listrik atau dipuikul.
(2) Menerapkan hukum haramnya sembelihan kafir musyrik (QS Al Maidah : 5) untuk menghukumi haramnya sembelihan orang Ahmadiyah (yang meyakini ada nabi lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW)
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
Ijtihad hukumnya fardhu kifayah, maka tidak boleh suatu masa kosong dari mujtahid yang mampu mengistinbath hukum syara’ untuk menghadapi fakta-fakta baru yang terjadi (seperti asuransi, PT (perseroan terbatas), koperasi).
. Jika pada suatu masa tak ada seorang mujtahid, maka kaum muslimin berdosa seluruhnya. Sebaliknya dengan adanya mujtahid, gugurlah dosa kaum muslimin pada masa itu.
(M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 365; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm.
259).
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
Fardhu kifayahnya ijtihad, didasarkan pada 3 (tiga) alasan : Pertama, nash-nash syariah banyak yang bermakna
zhanniyyah, misalnya nash-nash mujmal, yang memerlukan ijtihad untuk mendapatkan tafshiil (rincian)-nya. Misal, makna kalalah (QS An Nisa` : 12 dan 176)
Kedua, fakta-fakta baru banyak terjadi di tengah masyarakat, yang tidak mungkin diberi status hukumnya kecuali dengan ijtihad.
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
Ketiga, adanya dorongan dari Islam untuk berijtihad, berdasarkan nash-nash hadis Nabi SAW mengenai ijtihad, dan iqrar (pengakuan) Nabi SAW terhadap ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi SAW
(Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 365- 366; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm.
259-261).
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
Nash-Nash Yang Mendorong Ijtihad
(1) Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
اذإ َم َ
كحَ م ِكاحلا
َد َهَ
تجافْ مث
َباصأ هَ
لَ
، ِنارجأْ ف اذإو
َم َ كحَ
َد َهَ
تجافْ مث
َط ْ
َ خأ أ هَ
لَ ف
رجأْ
“Jika seorang hakim hendak menegakkan hukum lalu berijtihad dan ijtihadnya benar, maka dia mendapat dua pahala. Dan jika hendak menegakkan hukum lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala.” (HR Bukhari, no 7352, Muslim, no. 1716)
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
(2) Sabda Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA yang diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman :
َف ْي َ ِ ك
ض ْ قَ
ت اَ
ذ ِإ َض َر َ
َ ع كَ ل ءا َ
ض َ ق
؟
، َلاَ
ق
َ : ِ أ ضْ ِباَ ق
ت ِكِب ِ َ
للّا
، َلاَ
ق
ْ : ن ِإ َ
ف ْمَ
ل ْ
د ِجَ ِ ت
ِباَ ف ت ِك ِ َ
للّا
؟
، َلاَ
ق ِةن سِب َ :
ف ِلو س َر
ِ َ
َ للّا لى َص َ
َ للّا ل َ ِهْي ع َمَ
ل َس َو
،
َلا َ ق
ْ : ن ِإ َ
ف ْمَ
ْ ل د ِجَ ِ ت
ِةن س ف ِلو س َر
ِ َ
َ للّا لى َص َ
ِهْيَل َع للّا
َل َس َو َم
َ ، ِ ل َو ف
ِباَ ت ِك ِ َ
للّا
؟ َلاَ
ق د ِهَ :
تجْ َ ِ يْ أ
أ َر
َ ، ل َو لآ
َ و ب َضَ َ
ف لو س َر
ِ َ
َ للّا لى َص َ
للّا
ِهْيَل َع َمَ
ل َس َو ه َر ْ
د َص
، َلا َ
ق َو :
د ْم َ حْ ِ َ ِ لا
ي ِذَ للّ
َ لا قف َو َلو س َر
، س َر ِلو ِ َ
ا َم ِل للّا
ِ ض ْري َلو س َر
ِ َ للّا . هاور وبأ
دواد
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
(2) Sabda Rasulullah SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA yang diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman : “Bagaimana kamu memutuskan jika datang kepadamu suatu perkara peradilan?” Muadz menjawab,”Dengan Kitabullah.” Nabi SAW bertanya,”Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam Kitabullah?” Muadz menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah.” Nabi SAW bertanya,”Bagaimana jika kamu tidak mendapatkan di dalam Sunnah Rasulullah ?” Muadz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pendapatku…”
(HR Abu Dawud, no. 3172).
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
(3) Sabda Rasulullah SAW kepada para shahabat pada saat Perang Ahzab :
انَ َ ال ي ِّ
ل َص ُي ا
د َحأ اَ ْ
ص َعلا ا ن
ا َ لإ ا َن َب ف
ا ُ ق ا َ
ة َ ظ ْي َر ا َ
ك َر ْ دأف اُم ُه ُ
ض ْع َب اَ ْ
ص َعلا ا َ
ف
، قيِر ن طلا اَلا َ
ق َ ف اْم ُه ُ
ض ْع َب :
ا ِّ ال
ل َص ُ ن ا نّ
،ا َه َي ت ْ نح أ َ
ن اَلا َ
قو اَب
اْم ُه ُ ض ْع :
اْل َب
، ِّ
ل َص ُ ن اْم َ
ل ا ْ
دِر ُي اا ن
ن م
، َ اَر ك ُ كلذ
ذ َ ف ذ
ا َ اي كل
ننلل ا َ
ل َص اُالل
يلع ه
اَم َ
لسو
اْم َ ل َ
ف ا ْف ي
ن َع ُي اا ً
د حاو اْمهنم
.
.
هاور
يراخبلا
PENSYARIATAN DAN HUKUM IJTIHAD
(3) Sabda Rasulullah SAW kepada para shahabat pada saat Perang Ahzab : “Janganlah sekali-kali kamu sholat Ashar kecuali di kampung Bani Quraizhah.” Maka tibalah sholat Ashar saat mereka di tengah perjalanan. Sebagian berkata,’Kita tidak sholat hingga kita datang ke sana.”
Sebagian lainnya berkata,”Bahkan kita sholat [sekarang], Nabi SAW tidak bermaksud demikian [sholat di sana].”
Hal ini lalu disampaikan kepada Nabi SAW dan beliau tidak mencela salah satu dari mereka.” (HR Bukhari, no.
4119).
SYARAT-SYARAT IJTIHAD
SYARAT- SYARAT IJTIHAD
Seorang muslim yang hendak berijtihad, wajib menguasi 3 (tiga) macam ilmu sbb :
Pertama, al ma’arif al lughawiyyah, yaitu ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, dll.
Kedua, al ma’arif al syar’iyah, yaitu ilmu-ilmu syar’i, seperti Ushul Fiqih, Ulumul Qur`an, Ulumul Hadits.
Ketiga, ma’rifat haqiqat al waqi’, ilmu atau pengetahuan mengenai fakta yang akan dihukumi, atau yang disebut manath.
(Taqiyuddin An Nabhani, At Tafkir; M. Husain Abdullah, Dirasat fi Al Fikr Al Islami, hlm. 46)
SYARAT- SYARAT IJTIHAD
Syarat-syarat tersebut, bukan berarti seorang mujtahid wajib mengusai ilmu secara sempurna, misalnya sampai level mujtahid dalam bahasa Arab (sepert Imam Sibawaih), atau sampai pada level mufassir dalam Ulumul Qur`an (seperti Imam Suyuthi), atau sampai level Muhaddits dalam Ilmu Hadits (seperti Imam Bukhari), dan seterusnya.
Yang dimaksud adalah, mujtahid wajib mempunyai ilmu sampai pada batas-batas yang diperlukan untuk memahami nash-nash syara’, serta tidak boleh tidak tahu untuk ilmu-ilmu yang menjadi keharusan dalam berijtihad. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, hlm. 362-363).
METODE IJTIHAD
METODE IJTIHAD
Seorang mujtahid, menempuh metode (thariqah) sebagai berikut dalam berijtihad untuk menghukumi fakta-fakta kontemporer :
Pertama, mempelajari fakta masalah yang ada,
Kedua, mempelajari nash-nash syara’ yang terkait dengan masalah yang ada,
Ketiga, mengistinbath hukum syara’ dari nash syara’ tersebut.
(Taqiyuddin Nabhani, Nizhamul Islam, hlm. 74).
METODE IJTIHAD
METODE IJTIHAD
Imam Taqiyuddin Nabhani berkata :
ِملاسلإلو
ةقيرط ةدحاو
ِةجلاعم ف
،لكاشملا وهف
ي و عد
َ دهتجملا نلأ
َس ردي
َ ةلكشملا ةثداحلا
ْ يح ف َ
ي
،ا ه َم َ ه َ مث
َسردي َصوصنلا
ة يع ر شلا ةقلعتملا
هذه ِب
، ِةلك شملا
مث َ
طِبنتسي لح
، ِةلكشملا هذه صوص ُّ نم
نلا
،
َ يأ
طبنتسي
َمكحلا ع شلا ر
ِةلأسملا هذهل ِة َ نم
لدلأا ر
، ِةيع شلا لو
كلسي
ةقيرط
،اه َ يغ اقلط م
(Taqiyuddin Nabhani, Nizhamul Islam, hlm. 74).
METODE IJTIHAD
Imam Taqiyuddin Nabhani berkata :
“Islam memiliki satu metode untuk mengatasi masalah- masalah, yaitu menyeru mujtahid agar dia :
mempelajari masalah baru yang ada hingga dia memahaminya,
kemudian dia mempelajari nash-nash syara’ yg terkait dengan masalah ini,
kemudian dia mengistimbath pemecahan untuk masalah ini, dari nash-nash syara’ tersebut,
yaitu mengistinbath hukum syara’ untuk masalah ini dari dalil-dalil syar’i. Mujtahid tak menempuh jalan selain jalan ini secara mutlak.”
(Lihat Taqiyuddin Nabhani, Nizhamul Islam, hlm. 74).
TINGKATAN-TINGKATAN
MUJTAHID
TINGKATAN- TINGKATAN MUJTAHID
Imam Taqiyuddin Nabhani menjelaskan bahwa mujtahid itu ada 3 (tiga) tingkatan :
Pertama, mujtahid mutlak, yaitu mujtahid yang berijtihad dalam 2 (dua) macam ilmu, yaitu ushul fiqih (thariqah ijtihad), dan hukum-hukum syara’ yang diistinbath berdasarkan Ushul Fiqih itu.
Kedua, mujtahid mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti Ushul Fiqih imamnya, kemudian berijtihad menghasilkan hukum-hukum syara’ berdasarkan Ushul Fiqih tersebut.
Ketiga, mujtahid masalah, yaitu mujtahid yang berijtihad untuk satu masalah tertentu.
(Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Bab Syuruth Al Itjihad, Juz I, hlm. 212-213).
و للها باوصلاب ملعأ
Wallahu a’lam bish-shawabi
www.fissilmi-kaffah.com I-BOS 0811-2399-231
Contact Us :
islamicbusinessonlineschool@gmail.com
@IslamicBusinessOnlineSchool
# E n e r g i z i n g P e o p l e
