• Tidak ada hasil yang ditemukan

GADAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONVENSIONAL DAN SYARI AH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GADAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONVENSIONAL DAN SYARI AH"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

82 GADAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONVENSIONAL DAN

SYARI’AH

M. Syukran Yamin Lubis

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

muhammadsyukran@umsu.ac.id

ABSTRAK

Gadai merupakan pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Pelaksanaan gadai di Indonesia dapat dilakukan dengan sistem konvensional dan juga dengan sistem syariah. Gadai dalam sistem konvensional di atur dalam KUHPerdata. Pelaksanaan gadai dalam sistem konvensional terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu : Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan.

Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian pemberian gadai. Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Dengan demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Gadai dalam fiqih muamalah juga bisa disebut dengan Rahn, yaitu penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Barang yang dibuat jaminan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang yang memberi hutang, kecuali orang yang berhutang, pada saat jatuh tempo masih belum bisa melunasi hutangnya, maka barang yang dibuat jaminan akan dijual kepada orang lain sebagai ganti untuk membayar hutangnya.

Persamaan Gadai dalam Sistem Konvensional dengan Gadai dalam Sistem Syariah adalah sama-sama merupakan jaminan kebendaan yang berfungsi sebagai pelunasan utang manakala terjadi kegagalan pembayaran pada waktu yang ditentukan. Sedangkan perbedaannya adalah Gadai dalam sistem Konvensional melalui penerapan bunga, sedangkan gadai dalam sistem syariah menggunakan akad biaya penyimpanan marhun (akad ijarah).

Kata Kunci: Gadai, hukum konvensional, Syari’ah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perekonomian merupakan salah satu aspek kehidupan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang meliputi produksi, distribusi serta, konsumsi barang dan jasa, dan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (M. Syukran Yamin Lubis, 2005). Untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut biasanya anggota masyarakat berusaha dengan berbagai macam cara. Salah satu usaha yang lazim ditempuh adalah dengan meminjam uang/berutang kepada pihak lain (M. Syukran Yamin Lubis, 2005).

(2)

83 Suatu hutang/kredit diberikan terutama atas dasar integritas/kpribadian debitur yang menimbulkan rasa percaya dalam diri kreditur, bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik. Ketentuan demikian itu sesuai dengan asal kata kredit (credere), yaitu kepercayaan. Selain itu, untuk lebih meyakinkan kreditur dan memudahkan mengambil pelunasan hutang jika debitur wanprestasi adalah dengan adanya jaminan khusus seperti gadai. Gadai merupakan pemberian benda bergerak oleh si berhutang kepada si berpiutang untuk dijadikan sebagai jaminan. Jaminan gadai berupa jaminan yang mudah dijadikan uang untuk dapat menutup pinjaman apabila tidak dapat dilunasi oleh sipeminjam atau debitur. Pelaksanaan gadai dapat dilakukan dengan sistem konvensional dan juga dengan sistem syariah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan membahas tentang bagaimana gadai dalam perspektif hukum konvensional dan syari’ah serta persamaan dan perbedaan dari keduanya.

C. Metode Penelitan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan jenis pendekatan yuiridis normatif, yaitu mengacu kepada norma-norma hukum, dan menggunakan studi dokumen serta studi kepustakaan (library research), kemudian setiap data yang diperoleh langsung diolah dan dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas maksud dari penelitian ini. Penelitian ini memperhatikan penelitian terhadap peristiwa hukum terkait dengan gadai dalam perspektif hukum konvensional dan Syari’ah

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data yang bersumber dari hukum Islam, seperti Al-quran dan Hadist.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan atau studi literatur yang terdiri atas:

a) Bahan hukum primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan bahan hukum primer yang relevan dengan materi yang diteliti seperti, buku-buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu dan karya ilmiah.

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti; Kamus Besar Bahasa Indonesia, internet dan lainnya.

Prosedur pengumpulan data penelitian ini yang menggunakan data sekunder, diperoleh dengan tahapan penelitian kepustakaan yakni penelitian dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang dapat dari bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Data yang terkumpul dapat dijadikan acuan pokok dalam melakukan analisis penelitian dan pemecahan masalah. Untuk memperoleh penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yakni sebenarnya merupakan salah satu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yakni apa yang dinyatakan secara tertulis dan perilaku nyata (M. Syukran Yamin Lubis, 2005). Secara sederhana analisis kualitatif dalam penelitian ini yaitu memaparkan, menjelaskan, dan menarik kesimpulan serta memecahkan masalah terkait judul penelitian dari data yang telah terkumpul.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(3)

84 A. Gadai dalam Sistem Konvensional

1. Pengertian Gadai

Istilah gadai berasal dari terjemahan dari bahasa Belanda pand, bahasa Inggris pledge atau pawn (Salim HS, 2007). Pengertian gadai dalam kamus umum bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah “pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman” (Balai Pustakan, 1997).

Ketentuan-ketentuan mengenai gadai dalam sistem konvensional diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) (Taufik. 2021) Bab XX Buku ke- II dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah “Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.

Berdasarkan rumusan Pasal 1150 KUHPerdata dapat diketahui bahwa unsur-unsur gadai itu adalah:

a. Gadai hanya diberikan atas benda bergerak;

b. Gadai harus di keluarkan dari penguasaan pemberi gadai;

c. Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit depreference)

d. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahului tersebut.

Selain itu beberapa perumusan tentang gadai juga dikemukakan oleh beberapa ahli hukum sebagai berikut:

a. R. Subekti, dengan mengacu pada Pasal 1150 KUH Perdata, pandrecht adalah “Suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata- mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya”(Subekti, 1982).

b. Wiryono Prodjodikoro, Gadai adalah “sebagai suatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran utang dan memberi hak kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari si berpiutang lain dari uang pendapatan penjualan barang itu” (Wiryono Prodjodikoro, 1986).

c. Salim HS, Gadai adalah suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya. Dalam definisi ini gadai dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak. Apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya, barang yang telah dijaminkan oleh debitur kepada kreditur dapat dilakukan pelelangan untuk melunasi hutang debitur (Salim HS, 2007).

2. Objek Hak gadai.

(4)

85 Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.

Menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak adalah karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya.

3. Terjadinya Hak Gadai

Hak Gadai terjadi dengan memperjanjikannya terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai dilaksanakan. Di dalam mengadakan perjanjian gadai, harus ada perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokok dan harus ada benda bergerak sebagai jaminan utang. Setelah kedua hal tersebut dipenuhi, lalu dibuat perjanjian gadai.

Dalam pelaksanaan gadai ada proses yang terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu : a. Fase Pertama

Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan. Perjanjian ini bersifat konsensuil, obligatoir. Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian pemberian gadai.

b. Fase Kedua

Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata (Mariam Darus Badrulzaman, 1991).

Dengan demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Penyerahan kekuasaan ini dianggap sebagai syarat mutlak untuk terjadinya hak gadai.

4. Hak dan Kewajiban Pemegang gadai.

Di dalam perjanjian gadai, pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai”

dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda gadai sebagai jaminan piutangnya (Mariam Darus Badrulzaman, 1991).

Menurut KUH Perdata disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemegang gadai yaitu :

a. Hak Pemegang gadai

1) Pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hal itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155 KUH Perdata).

2) Apabila pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai (si berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, dan kemudian

(5)

86 mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata).

3) Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata).

4) Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata).

b. Kewajiban Pemegang gadai

1) Pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).

2) Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata).

3) Pemegang gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan itu, dan setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158 KUHPerdata).

4) Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah di bayar lunas (Pasal 1159 KUHPerdata).

5. Hapusnya Gadai

Hak gadai akan hapus dalam hal-hal berikut ini :

a. Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Ini sesuai dengan sifat accessoir daripada gadai, sehingga nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya.

Perikatan pokok hapus antara lain karena : 1) Pelunasan

2) Kompensasi 3) Novasi

4) penghapusan hutang

b. Terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai.

Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai maka hak gadai akan hapus, tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan jika berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat (3) K.U.H.Perdata).

c. Dengan hapus/ musnahnya benda jaminan.

d. Dengan dilepasnya benda gadai secara suka rela.

e. Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang-gadai menjadi pemilik barang gadai tersebut.

f. Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang-gadai (Pasal 1159 KUH Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal ini.

Hanya dalam Pasal 1159 KUH Perdata dikatakan, bahwa pemegang-gadai mempunyai hak retensi, kecuali kalau ia menyalahgunakan benda gadai, dalam hal mana secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi-gadai berhak untuk menuntut kembali benda jaminan. Kalau benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang-gadai, maka gadainya menjadi hapus.

(6)

87 6. Gadai pada PT. Pegadaian

PT. Pegadaian sebagai lembaga perkreditan memiliki tujuan khusus yaitu menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai guna mencegah praktek rentenir yang cenderung merugikan masyarakat. Pemberian kredit gadai pad PT. Pegadaian terdapat istilah sewa modal yang merupakan jumlah uang yang menjadi kewajiban nasabah kepada pihak pengadaian sebagai akibat pinjaman yang di terima oleh nasabah, besarnya di hitung berdasarkan tarif tertentu dan jangka waktu tertentu.

Layanan produk pembiayaan yang ditawarkan PT. Pegadaian kepada masyarakat banyak sekali. Setiap produk yang ditawarkan memiliki sistem pembayaran yang belum tentu sama, berikut juga sewa modal atau bunga yang dibebankan pun berbeda di setiap produknya. Selain itu, berbeda agunan yang diserahkan juga memiliki tarif bunga yang berbeda. Salah satu produk PT. Pegadaian adalah Pembiayaan Kredit Cepat dan Aman (KCA).

Produk KCA memberikan pinjaman dengan sistem gadai mulai dari Rp 50.000,- hingga Rp 500.000.000,- atau lebih dengan tarif bunga yang berlaku yaitu selama 15 hari.

Sistem pembayaran pada pinjaman KCA ini dilakukan secara angsuran dalam jangka waktu maksimal 4 bulan dan dapat diperpanjang.

Adapun bunga yang ditetapkan berbeda, tergantung pada besarnya jumlah pinjaman dan jaminan yang diserahkan:

a. Pinjaman mulai dari Rp. 50.000 hingga Rp. 500.000, bunga yang ditetapkan untuk jaminan berupa emas maupun non emas yaitu sebesar 0.750% dari uang pinjaman selama 15 hari dan maksimal 6.00%.

b. Untuk pinjaman sebesar Rp. 550.000 hingga Rp. 20.000.000, tarif sewa modal atau bunga untuk jaminan berupa emas maupun non emas sebesar 1.150 % per 15 hari dengan maksimal 9.20%.

c. Sedangkan untuk pinjaman Rp. 20.100.000 hingga Rp 2 milyar, terdapat dua pilihan sewa modal yang disesuaikan dengan golongan peminjam. Untuk golongan DK yaitu sebesar 1.00% maksimal 8.00% dan untuk golongan DG sebesar 1.15% dengan maksimal 9.20%.

B. Gadai dalam Sistem Syari’ah 1. Pengertian Gadai

Gadai atau dalam bahasa arab dikenal dengan istilah ar-Rahn yang artinya al- Habsu yang artinya tetap, kekal, jaminan, penahanan atau sesuatu yang berlaku karena perjanjian. Kata rahinah tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Muddatsir : 38

ةَنيِه َر ْتَبَسَك اَمِب ٍسْفَن ُّلُك

Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.

Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.

Gadai dalam fiqih muamalah juga bisa disebut dengan Rahn, yaitu penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Barang yang dibuat jaminan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang yang memberi hutang, kecuali orang yang berhutang, pada saat jatuh tempo masih belum bisa melunasi hutangnya, maka barang yang dibuat jaminan akan dijual kepada orang lain sebagai ganti untuk membayar hutangnya.

Selain itu, beberapa ulama fiqih merumuska rahn sebagai berikut:

(7)

88 a. Imam Hanafi, rahn adalah menjadikan sesuatu (barang) baik sebagiannya atau keseluruhannya sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut (Al Dardir, 2017).

b. Imam Maliki, rahn adalah harta yang dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat oleh pemiliknya (Al Dardir, 2017).

c. Imam Syafi’i dan Imam Hambali, rahn dalam arti akad, yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang barhutang tidak bisa membayar hutangnya tersebut (Al Dardir, 2017).

2. Dasar Hukum Gadai

a. Alqur’an Surat Al-Baqarah (2): 283

َن ِمَأ ْنِإَف ۖ ةَضوُبْقَم ناَه ِرَف اًبِتاَك اوُد ِجَت ْمَل َو ٍرَفَس ٰىَلَع ْمُتْنُك ْنِإ َو او ُمُتْكَت َلَ َو ۗ ُهَّب َر َ َّاللَّ ِقَّتَيْل َو ُهَتَناَمَأ َن ِمُت ْؤا ي ِذَّلا ِ د َؤُيْلَف اًضْعَب ْمُكُضْعَب ميِلَع َنوُلَمْعَت ا َمِب ُ َّاللَّ َو ۗ ُهُبْلَق مِثآ ُهَّنِإَف اَه ْمُتْكَي ْن َم َو ۚ َةَداَهَّشلا

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al- Baqarah [2]: 283)

b. Al-Hadis

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

َْلْا ْنَع َميِها َرْبِإ ْنَع ُشَمْعَ ْلْا اَنَثَّدَح َةَيِواَعُم وُبَأ اَنَثَّدَح ىَسيِع ُنْب ُفُسوُي اَنَثَّدَح ْنَع ِد َوْس

ٍ يِدوُهَي ْنِم َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ُلوُس َر ى َرَتْشا ْتَلاَق اَهْنَع ُ َّاللَّ َي ِض َر َةَشِئاَع َئيِسَنِب اًماَعَط ُهَع ْرِد ُهَنَه َر َو ٍة

Artinya: “Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau". (HR.

Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

ٍسَنَأ ْنَع –

هنع الله ىضر لا َنَه َر ْدَقَل : لاق –

ُّىِبَّن – ملسو هيلع الله لص ُهَل اًع ْرِد –

ُهْن ِم َذَخَأ َو ٍىِدوُهَي َدْنِع ِةَنيِدَمْلاِب

ى ، ا ًريِعَش

(8)

89 Anas ra. juga pernah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi

wasalam pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR al-Bukhari).

Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi.

Riwayat Aisyah (Ismail. 2021) dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim. QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah sedangkan dalam kondisi mukim hukumnya mubah.

Berdasarkan hadis diatas, gadai telah di kenal sejak zaman nabi Muhammad masih hidup, dan bahkan merupakan salah satu bentuk muamalah yang disebut dalam Al-Quran sebagai alternatif bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan kesulitan menghadirkan juru catat dalam transaksi yang dibuat.

3. Rukun Gadai

Menurut jumhur ulama rukun gadai itu ada 4 (empat) yaitu:

a. Shighat (lafal ijab dan qabul)

b. Orang yang berakad (aqid) (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin).

c. Obyek akad (Al-ma’qud ‘alaih) yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) d. Utang (al-marhun bih)

4. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai (Murtahin) a. Hak Penerima Gadai

1) Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo

2) Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah di keluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.

3) Selama pinjaman belun dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).

b. Kewajiban Penerima Gadai

1) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya barang gadainya yang diakibatkan oleh kelalaiannya.

2) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.

3) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.

5. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai (Rahin) a. Hak Pemberi Gadai (Rahin)

1) Pemberi gadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.

2) Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dan kerusakan dan jika hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan akibat kelalaian gadai.

(9)

90 3) Pemberi gadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang gadai setelah

dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.

b. Kewajiban pemberi gadai

1) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya dalam waktu yang telah ditentukan.

2) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentuka pemberi gadai tidak dapat melunasinya (Buchari Alma, 2009).

6. Risiko Kerusakan Barang Jaminan

Apabila kerusakan barang jaminan (marhun) dalam penguasaan penerima gadai (murtahin), maka penerima gadai tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya barang jaminan itu disebabkan kelalaian atau karena faktor penyebab tidak bertanggungjawabnya (tidak diurus) penerima gadai.

Menurut Imam Hanafi, penerima barang jaminan (murtahin) harus menanggung risiko kerusakan barang jaminan (marhun) bila barang jaminan itu hilang atau rusak, atau disebabkan karena kelalaian penerima jaminan (murtahin) maupun tidak. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, penerima barang gadai (murtahin) harus menanggung risiko kehilangan atas sebab kelalaiannya.1

7. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Pertama: Hukum

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Kedua: Ketentuan Umum

a. Murtahin (Penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

e. Perjualan Marhun

1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

2) Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

Ketiga: Ketentuan Penutup

1 Op.Cit, hal 169

(10)

91 a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 15 Rabi’ul Akhir 1423 H/26 Juni 2001 M

8. Gadai pada Pegadaian Syariah

Pegadaian yang berbasis syariah berbeda dengan gadai konvensional. Jika pada gadai konvensional pihak Pegadaian menetapkan sistem bunga, di Pegadaian Syariah hanya membebankan biaya untuk upah jasa pemeliharaan barang jaminan (ijaroh).

Pembiayan Pegadaian Syariah disebut dengan layanan RAHN. Pegadaian menentukan besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan berdasarkan taksiran emas yang digadaikan. Taksiran emas yang diperhitungkan ini dapat dilihat dari karatase emas, volume, serta berat emas yang digadaikan. Jangka waktu pinjaman yang diberikan selama 4 bulan dan dapat diperpanjang hingga berkali-kali. Pelunasannya dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan perhitungan ijaroh selama masa pinjaman.

Adapun penerimaan marhun bih/pinjaman pada layanan Rahn ini bisa dalam bentuk tunai atau ditransfer ke rekening nasabah:

a. Untuk peminjaman mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 500.000, tarif ijaroh dengan agunan emas maupun non emas yaitu sebesar 0.45% dari nilai taksiran.

b. Untuk pinjaman Rp 500.001 hingga Rp 20.000.000, tarif ijaroh-nya sebesar 0.710%

dari nilai taksiran untuk emas dan untuk non emas sebesar 0.72%.

c. Sedangkan untuk pinjaman di atas Rp 20 juta, tarif ijaroh dengan agunan emas yaitu 0.62% dan untuk non emas 0.65% dari nilai taksiran.

9. Persamaan dan Perbedaan Gadai dalam Sistem Konvensional dengan Gadai dalam Sistem Syariah

a. Persamaan Gadai dalam Sistem Konvensional dengan Gadai dalam Sistem Syariah.

1) Baik Hukum Islam maupun KUHPerdata, memandang bahwa gadai merupakan jaminan kebendaan yang berfungsi sebagai pelunasan utang manakala terjadi kegagalan pembayaran pada waktu yang ditentukan.

2) Jaminan dalam kapasitasnya sebagai pengganti pembayaran utang, benda jaminan harus memenuhi kualifikasi bernilai ekonomis dan dapat diperjual belikan.

3) Dalam kapasitasnya sebagai jaminan utang, maka harus terjadi pemindahan penguasaan benda jaminan dari pemberi gadai kepada penerima gadai atau pihak ketiga lainnya.2

b. Perbedaan Gadai dalam Sistem Konvensional dengan Gadai dalam Sistem Syariah.

a) Gadai dalam KUHPerdata lebih kepada tujuan komersial berorientasi profit, sedangkan dalam hukum Islam motivasi rahn semata-mata untuk tujuan tabarru (berbuat baik).

2 Imron Rosyadi, Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah, Kencana, Depok, 2017, hal 195

(11)

92 b) Gadai dalam sistem KUHperdata melalui penerapan bunga, sedangkan gadai dalam sistem syariah menggunakan akad biaya penyimpanan marhun (akad ijarah.3

PENUTUP A. Kesimpulan

1. Ketentuan-ketentuan mengenai gadai dalam sistem konvensional diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Bab XX Buku ke- II dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan. Hak Gadai terjadi dengan memperjanjikannya terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah proses perjanjian gadai dilaksanakan. Dalam pelaksanaan gadai ada proses yang terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu : Fase Pertama adalah perjanjian pinjam uang (kredit) dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan. Perjanjian ini merupakan awal dari perjanjian pemberian gadai. Fase Kedua adalah penyerahan benda gadai dalam kekuasan penerima gadai sesuai dengan benda gadai adalah benda bergerak, maka benda itu harus dilepaskan dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai. Penyerahan itu harus nyata, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari debitur, sedangkan benda itu berada dalam kekuasaan debitur itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata.

Dengan demikian hak gadai dianggap barulah terjadi dengan penyerahan kekuasaan (bezit) atas benda yang dijadikan jaminan itu pada kreditur. Penyerahan kekuasaan ini dianggap sebagai syarat mutlak untuk terjadinya hak gadai.

2. Dasar hukum mengenai gadai dalam sistem syariah terdapat dalam Alqur’an Surat Al-Baqarah [2]: 283, Hadis Rasullulah SAW, serta Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.Gadai dalam fiqih muamalah juga bisa disebut dengan Rahn, yaitu penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Barang yang dibuat jaminan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang yang memberi hutang, kecuali orang yang berhutang, pada saat jatuh tempo masih belum bisa melunasi hutangnya, maka barang yang dibuat jaminan akan dijual kepada orang lain sebagai ganti untuk membayar hutangnya. Gadai telah di kenal sejak zaman nabi Muhammad masih hidup, dan bahkan merupakan salah satu bentuk muamalah yang disebut dalam Al-Quran sebagai alternatif bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan kesulitan menghadirkan juru catat dalam transaksi yang dibuat.

3. Persamaan Gadai dalam Sistem Konvensional dengan Gadai dalam Sistem Syariah adalah sama-sama merupakan jaminan kebendaan yang berfungsi sebagai pelunasan utang manakala terjadi kegagalan pembayaran pada waktu yang ditentukan. Sedangkan perbedaannya adalah Gadai dalam sistem Konvensional melalui penerapan bunga, sedangkan gadai dalam sistem syariah menggunakan akad biaya penyimpanan marhun (akad ijarah).

B. Saran

3 Ibid

(12)

93 Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas di peroleh suatu gagasan untuk pembaharuan sistem hukum di Indonesia khususnya pembaharuan sistem hukum gadai.

Dalam pembaharuan sistem hukum gadai tersebut dihasilkan beberapa saran:

1. Hendaknya mengenai gadai dalam sistem konvensional agar merendahkan bunga pinjaman dan juga jangka waktu yang lebih lama dalam pengembalian pinjaman kepada para penggadai, karena masyarakat yang melakukan gadai bukan orang yang mampu melainkan sebagian masyarakat yang lemah/rendah.

2. Hendaknya mengenai gadai dalam sistem syariah diatur lebih khusus ke dalam bentuk Undang-Undang sehingga sama dengan gadai dalam sistem konvensional. Selain itu juga pemerintah harus lebih mensosialisikan lagi gadai dalam sistem syariah ini khususnya kepada umat Islam.

3. Hendaknya gadai dalam sistem konvensional dan syariah tetap bertujuan untuk membantu masyarakat golongan ekonomi lemah/rendah mengatasi kesulitan akan dana yang dibutuhkan sehingga dapat mencegah dan menghindari masyarakat dari peraktek lindah darat dan pegadaian gelap dengan bunga yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alma, Buchari. (2009). Manajemen Bisnis Syariah, cet 1. Alfabeta, 2009.

Al Hadi, Abu Azam. (2017). Fikih Muamalah Kontemporer. Raja Grafindo Persada Badrulzaman, Mariam Darus. (1991). Bab-Bab Tentang Kredit Verband, Gadai dan

Fidusia. Citra Aditya Bakti

Balai Pustaka. (1997). Kamus Umum Bahasa Indonesia

HS, Salim. (2007). Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed I. PT. Raja Grafindo Persada

Koto, Ismail, and Erwin Asmadi. "Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah Sakit." Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi 4.2 (2021): 181-192.

Koto, Ismail, and Taufik Hidayat Lubis. 2021 "Tindak Pidana Penyelundupan Pakaian Bekas Dalam Perspektif Teori Kepastian Hukum (Studi Kasus Di Kantor Bea Cukai Teluk Nibung Tanjung Balai)." Buletin Konstitusi 2.1

Prodjodikoro, Wiryono. (1986). Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda.

Intermasa

Rosyadi, Imron. (2017). Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah. Kencana Subekti, R. (1987). Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.XXI. Intermasa

Sumarsono, S, dkk. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan, cet. II. Gramedia Pustaka Utama

Peraturan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah produk selesai di desain tahapan selanjutnya adalah validasi untuk menentukan kelayakan produk. Pada tahap ini masing-masing ahli melakukan dua kali

Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru-guru SMP Muhammadiyah 2 Karanglewas dalam mengembangkan media pembelajaran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Penanganan dokumen Clearance Out kapal di Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas

Berdasarkan hasil observasi di PT Mitra Beton Perkasa Kudus, permasalahan yang terjadi pada perusahaan tersebut adalah penurunan kinerja karyawan terhadap disiplin

Pada masa bercocok tanam telah menghasil budaya yang mengarah pada usaha bercocok tanam yang syarat dengan kepercayaan/religi. Bentuk alat-alatnya pun lebih halus dan sudah

 Hukum Suksesi Fauna (Fosil) adalah hukum yang menyatakan bahwa sepanjang umur bumi, mulai dari zaman Kambrium hingga Kuarter telah terjadi suatu proses perubahan

8% Dalam sistem hidrolik yang ,ertugas se,agai pemindah oli dari tangki ke sistem dan se,agai pengu,ah energi mekanis menjadi energi hidrolik  adalah1.. a% Tangki hidrolik   ,%

trn darr kulit ikan patin sebagai bahan baku dengan melakukan penelitian terhadap penanganan bahan baku, penentuan kondisi yang terbaik untuk proses pengembangan kulit