• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota

Hartshorn (1980) mengatakan bahwa kota adalah suatu konsentrasi penduduk yang memiliki jalan hidup yang berbeda, dalam kaitannya dengan pola dalam pekerjaan dan organisasi. Sementara itu, Watt (1073) serta Stearns dan Montag (1974) dalam Irwan, 2005, mengemukakan pengertian sebuah kota sebagai berikut :

a. Suatu areal di mana terdapat atau terjadi pemusatan penduduk dengan kegiatannya dan merupakan tempat konsentrasi dan pusat aktivitas perekonomian (seperti industri, perdagangan dan jasa)

b. Kota merupakan sebuah sistem, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis yang sewaktu-waktu dapat menjadi tidak beraturan dan susah untuk di kontrol.

c. Mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim dan sejauh mana pengaruh itu sangat tergantung pada perencanaannya.

Menurut Hatt dan Reis (1959) dalam Irwan (2005), kehadiran kota bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan kegiatan ekonomi penduduk yang selalu berkembang. Hal ini untuk mendukung dan melayani fungsi-fungsi kota yang saling memengaruhi sebagai berikut :

• Kota sebagai pusat berbagai kegiatan untuk daerah sekitarnya. Kota-kota itu cenderung merupakan ruang produktif yang luas.

• Kota sebagai pusat penyedia transportasi dan merupakan break-of-bulk.

Transportasi kota merupakan break-of-bulk, merupakan pelayanan sepanjang rute transportasi sehingga daerah-daerah terpencil pun dapat dicapai dengan mudah karena letak jalur transportasi kota yang strategis.

• Kota sebagai titik konsentrasi pelayanan khusus.

16

(2)

2.2. Transportasi

Transportasi adalah pemindahan fisik baik benda maupun manusia dari satu tempat ke tempat lain. Sukarto (2006) berpendapat bahwa konsep transportasi adalah adanya pergerakan berupa perjalanan (trip) dari asal (origin) sampai ke tujuan (destination). Asal (origin) dapat berupa rumah (home), sehingga perjalanan yang dilakukan disebut home base trip, menuju kepada tujuan berupa kegiatan yang akan dilakukan, seperti kegiatan sosial (sekolah, olahraga, keluarga, rekreasi dan sebagainya) dan kegiatan usaha (bekerja, berdagang, dan sebagainya).

Transportasi merupakan hasil turunan dari kebutuhan, yang mempertalikan kebutuhan barang dan pelayanan pada tempat dan waktu tertentu. Artinya, transportasi digunakan pertama kali karena transportasi dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan lain. Pada dasarnya semua analisis dari jaringan transportasi mengasumsikan bahwa pembuat perjalanan berkeinginan untuk mempersingkat waktu perjalanan, mengurangi ongkos transportasi, dan memperkecil hal-hal yang tidak dikehendaki (Catanese,1996).

Sukarto (2006) menggolongkan sistem transportasi atas sub sistem prasarana, sub sistem sarana, sub sistem kegiatan, dan sub sistem pergerakan (travel, movement, trip) yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem transportasi, dan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Sistem Transportasi

(3)

a. Sub Sistem Kegiatan:

Kegiatan yang dilakukan manusia dapat dibedakan dalam dua macam kegiatan pokok, yaitu:

1. Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan harian (daily activity), dan dibagi dalam: kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (services activity) 2. Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity).

Dalam pergerakan perjalanan dari asal (origin) ke tujuan (destination) terdapat aliran barang (flow of goods) dan aliran jasa (flow of services). Aliran barang umumnya mencakup wilayah (regional), sedangkan aliran jasa lebih banyak berlangsung di dalam kota.

b. Sub Sistem Sarana dan Prasarana:

Sub sistem ini berkaitan dengan pola jaringan (nertwork system) yang terbagi dalam:

• pola konsentrik (menuju ke satu titik)

• pola radial (menyebar)

• pola linier (contoh: Ribbon Development)

• pola grid/kotak (grid iron)

Perkembangan sub sistem ini bisa cepat, sedang, lambat, atau stagnan (tetap, tidak berubah), tergantung pada kecepatan pertumbuhan (rate of growth) dan tingkat pengembangan (level of development) dari daerah yang bersangkutan (antara lain: kawasan tertinggal, kawasan yang cepat bertumbuh, dan sebagainya)

c. Sub Sistem Pergerakan:

Terbagi dalam skala nasional, regional dan lokal. Pada skala nasional diatur dalam kebijakan Sistranas (Sistem Transportasi Nasional) dengan Rencana Induk Perhubungan sebagai masterplan. Di dalam Sistranas sebagai kebijakan umum, terdapat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada skala regional diatur dalam Sistem dan Strategi Transportasi Regional, dan Rencana Umum Jaringan

(4)

Transportasi Jalan. Selanjutnya skala lokal diatur menurut Sistem dan Strategi Transportasi Perkotaan (Urban Transportation Policy). Sasaran Sub Sistem Pergerakan : cepat (fast), murah (cheap), aman / selamat (safe), nyaman (comfort), lancar, handal (reliable), tepat guna (efektif), berdaya guna (efisien), terpadu (integrated), menyeluruh (holistic), menerus (continue), berkelanjutan (sustainable), dan berkesinambungan, sedangkan proses dari Sub Sistem Pergerakan dapat dikategorikan dalam: sangat pesat, cepat, sedang, lambat, terisolasi (ini melahirkan angkutan-angkutan perintis).

Jalan raya (darat) berdasarkan peranannya dapat dibagi menjadi:

• Jalan arteri, yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

• Jalan kolektor, yang melayani angkutan pengumpulan/pembagian dengan ciri- ciri perjalanan jarak sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

• Jalan lokal, yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Johnson (1968) dalam Koestoer (1996) menyatakan bahwa pusat kegiatan ekonomi kota biasanya dimulai dengan pusat perdagangan, yang kemudian menyebar ke daerah sekitarnya. Dengan penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memungkinkan, ekspansi wilayah kegiatan kota menjadi semakin meluas dengan tumbuhnya berbagai pusat kegiatan.

Ullman dalam Getis (1985) berpendapat bahwa interaksi keruangan didasarkan pada tiga faktor, yaitu :

a. Complementarity atau pelengkap. Interaksi terjadi karena area yang berbeda saling melengkapi satu sama lain. Jadi, jika dua area saling berinteraksi, maka area yang satu harus memiliki sesuatu yang merupakan permintaan dari yang lainnya. Adanya perbedaan sumberdaya menyebabkan tiap area perlu berinteraksi untuk saling melengkapi.

b. Intervening opportunity atau kesempatan intervensi , yaitu berkompetisi di antara beberapa lokasi untuk memenuhi kebutuhan dan penyediaan. Setiap

(5)

daerah memiliki peluang atau daya tarik yang berbeda-beda untuk dipilih menjadi daerah tujuan perjalanan

c. Transferability atau tingkat peluang untuk diangkut atau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang dipengaruhi oleh jarak yang dicerminkan dengan ukuran waktu dan atau biaya.

2.3. Aksesibilitas

Aksesibilitas adalah kemampuan atau keadaan suatu wilayah, region, ruang untuk dapat diakses oleh pihak luar baik secara langsung atau tidak langsung. Di samping itu aksesibilitas merupakan suatu ukuran kenyamanan bagaimana suatu lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan bagaimana mudah dan sukarnya lokasi tersebut dicapai melalui sistem transportasi. Tata guna lahan yang berbeda akan mempunyai aksesibilitas yang berbeda karena aktivitas tata guna lahan terdistribusi dalam ruang dan tidak merata dalam hal kuantitas dan kualitas transportasi yang ada. Apabila tata guna lahan berdekatan dan hubungan transportasi baik, maka aksesibilitas akan tinggi. Jika aktivitas terpisah jauh dan hubungan buruk, maka aksesibilitas rendah dan beberapa kombinasi mempunyai aksesibilitas sedang. Tingkat aksesibilitas ini biasanya dinyatakan dalam bentuk jarak atau waktu tempuh.

Inti dari konsep aksesibilitas adalah, pertama, mengurangi perjalanan yang tidak perlu dengan mendekatkan lokasi tempat bekerja, permukiman, belanja, atau rekreasi. Kedua, apabila perjalanan tidak terelakkan, sedapat mungkin perjalanan itu dilakukan dengan angkutan umum guna mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya.

2.4. Kemacetan

Zipf (1949) dalam Hartshorn (1980) mengemukakan "principle of least effort" untuk menghitung panjang dan intensitas pergerakan yang ia anggap dapat menjelaskan tingkah laku manusia dalam konteks transportasi dan komunikasi.

Intinya adalah bahwa manusia akan memperkecil jarak, memilih jalan terpendek,

(6)

dan memilih lokasi terdekat untuk memperoleh barang dan jasa. Pusat kota biasanya memiliki aksesibilitas yang paling baik yang menghubungkannya dengan wilayah sekitarnya. Jenis penggunaan tanah sangat dipengaruhi oleh nilai tanah, sedangkan nilai tanah ditentukan oleh kemudahan aksesibilitasnya. Artinya pusat kota memiliki nilai penggunaan tanah yang menarik datangnya masyarakat menuju pusat kota karena memiliki aksesibilitas baik. Karena itu, penduduk di sekitar maupun dari luar pusat kota akan mencoba untuk memperoleh barang dan jasa di tempat yang menyediakan fasilitas yang baik namun dengan jarak yang relatif dekat. Jika banyaknya arus penduduk yang datang ke pusat kota demi memenuhi kebutuhannya akan barang dan jasa tidak diimbangi oleh penyedian sarana jalan yang baik, maka kemacetan akan terjadi di pusat kota.

Kemacetan pada tingkat mikro dikaitkan dengan masalah tingkat pelayanan jalan (Level of Service) yang menyangkut aspek kapasitas, hambatan samping, kebutuhan, dan perilaku sosial seperti dijelaskan pada gambar 5. berikut.

Gambar 2.2. Permasalahan Transportasi Jalan

Sumber: Penanganan Kemacetan Lalu Lintas di Jalan Perkotaan,2000.

Berikut adalah faktor-faktor penyebab kemacetan menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,2000:

a. Terjadinya konflik karena kebutuhan pergerakan b. Kemacetan disebabkan oleh friksi (hambatan samping)

Kebijakan Tata

Kebijakan Transportasi Kapasitas

Tingkat pelayanan jalan

Perilaku sosial

Friksi Kebutuhan

Perencanaan Implementasi

(7)

c. Perilaku pengemudi atau pengguna jalan lainnya.

d. Tidak optimumnya penggunaan kapasitas jalan e. Kegiatan masyarakat di sekitar jalan.

Sedangkan Kunarto (1995) berpendapat bahwa kemacetan terjadi pada pusat-pusat kegiatan seperti perkantoran, bisnis, perbelanjaan—terutama pasar tradisional—atau perempatan dan persimpangan di jalur padat. Di samping itu, Kunarto juga berpendapat bahwa ketimpangan antara jumlah kendaraan dan luas jalan serta ketidakdisiplinan pengguna jalan pun ikut ambil bagian dalam kemacetan, terutama kendaraan umum, pengemudi maupun penumpangnya. Tidak jarang pengemudi angkutan umum seenaknya menaikkan atau menurunkan penumpang di tempat-tempat yang tidak semestinya.

Kemacetan menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan jaringan jalan yang ditandai dengan berkurangnya kecepatan kendaraan, waktu perjalanan yang lebih panjang dan terjadi peningkatan antrian kendaraan. Kemacetan sudah menjadi isu penting di banyak kota di Indonesia bahkan di negara-negara di dunia.

2.4.1. Karakteristik Jalan

Karakteristik suatu jalan akan mempengaruhi kinerja jalan tersebut.

Karakteristik jalan tersebut terdiri atas beberapa hal, yaitu : 1. Geometrik

2. Komposisi arus dan pemisahan arah; volume lalu lintas dipengaruhi komposisi arus lalu lintas, setiap kendaraan yang ada harus dikonversikan menjadi suatu kendaraan standar.

3. Pengaturan lalu lintas, batas kecepatan jarang diberlakukan didaerah perkotaan Indonesia, dan karenanya hanya sedikit berpengaruh pada kecepatan arus bebas.

4. Hambatan samping; banyaknya kegiatan samping jalan di Indonesia sering menimbulkan konflik, hingga menghambat arus lalu lintas.

5. Perilaku pengemudi dan populasi kendaraan; manusia sebagai pengemudi kendaraan merupakan bagian dari arus lalu lintas yaitu sebagai pemakai jalan.

(8)

Faktor psikologis, fisik pengemudi sangat berpengaruh dalam menghadapi situasi arus lalu lintas yang dihadapi.

Geometrik suatu jalan terdiri dari beberapa unsur fisik dari jalan sebagai berikut :

a. Tipe jalan; berbagai tipe jalan akan menunjukan kinerja berbeda pada pembebanan lalu-lintas tertentu, misalnya jalan terbagi, jalan tak terbagi, dan jalan satu arah.

b. Lebar jalur; kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu-lintas.

c. Bahu/Kereb; kecepatan dan kapasitas jalan akan meningkat bila lebar bahu semakin lebar. Kereb sangat berpengaruh terhadap dampak hambatan samping jalan.

2.4.2. Tingkat Pelayanan Jalan (Level of Service)

Tingkat pelayanan jalan (Level of Service) merupakan suatu ukuran kualitatif yang menggambarkan kondisi operasi lalu lintas pada suatu potongan jalan. Dengan kata lain merupakan suatu ukuran untuk menyatakan kualitas pelayanan yang disediakan oleh suatu jalan dalam kondisi tertentu. Level of Service telah diperkenalkan sejak tahun 1965 oleh Highway Capacity Manual (HCM) yang selama ini menjadi acuan pada sistem transportasi di Amerika.

Berdasarkan definisi awalnya, Level of Service ini digunakan untuk mengukur efek faktor-faktor tertentu pada pelayanan jalan yaitu : kecepatan dan waktu perjalanan, gangguan jalan, keleluasaan gerak kendaraan, keamanan, kenyamanan berkendara serta biaya operasi kendaraan. Namun Level of Service ini terus mengalami perbaikan sehingga pada saat ini salah satu fungsinya adalah mengukur tingkat kemacetan lalu lintas yang salah satunya adalah menggunakan pendekatan V/C (volume-to-capacity) berdasarkan perbaikan Highway Capacity Manual tahun 2000.

(9)

2.4.3. Volume Kendaraan

Volume kendaraan adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik dalam ruang selama satu interval waktu tertentu. Studi volume lalu lintas pada dasarnya bertujuan untuk menetapkan :

a. Nilai kepentingan relatif suatu rute b. Fluktuasi dalam arus

c. Distribusi lalu lintas pada sebuah sistem jalan d. Kecenderungan pemakaian jalan

Gambar 2.3. Hubungan Antara Arus Lalu Lintas Dengan Waktu Perjalanan

Sumber: Departemen Perhubungan, 1991

Pada waktu melakukan perjalanan, setiap pemakai jalan hanya memperkirakan waktu perjalanannya saja tanpa memperhitungkan keterlambatan yang disebabkan oleh kendaraan lain. Oleh sebab itu, jika arus lalu lintas meningkat, biaya total perjalanan, seperti waktu dan bahan bakar, akan meningkat secara tidak proporsional.

2.4.4. Hambatan Samping

Di Indonesia, banyak hambatan samping/aktivitas samping jalan yang sering menimbulkan konflik, dan kadang-kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu-lintas. Hal ini berbeda dengan di negara-negara barat yang kebanyakan

(10)

memiliki sistem jalan yang baik sehingga hambatan sampingnya pun kecil dan tidak banyak mengganggu kelancaran lalu lintas jalan. Hal ini membuat hambatan samping diberikan perhatian utama dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia, jika dibandingkan dengan manual negara Barat. Hambatan samping yang terutama berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan menurut Manual Kapasitas Jalan Perkotaan adalah :

§ Pejalan kaki;

§ Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti;

§ Kendaraan lambat (misalnya becak, kereta kuda);

§ Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan

Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) mengelompokkan tingkat hambatan samping kedalam lima kelas dari sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan samping sepanjang segmen per 200 meter jalan yang diamati yaitu sebagai berikut;

Tabel 2.1. Klasifikasi Hambatan Samping Kelas Hambatan

Samping

Frekuensi Bobot Kejadian

per 200 m per jam Kondisi khusus

Sangat Rendah < 100 smp Daerah permukiman; jalan samping tersedia.

Rendah 100-299 smp Daerah permukiman; beberapa angkutan umum dsb.

Sedang 300-899 smp Daerah industri; beberapa toko sisi jalan.

Tinggi 500-899 smp Daerah komersial; aktivitas sisi jalan tinggi.

Sangat Tinggi >900 smp Daerah komersial; aktivitas pasar sisi jalan.

Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

(11)

2.4.5. Kapasitas Jalan

Kapasitas jalan adalah arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Kapasitas jalan merupakan ukuran kinerja, pada kondisi yang bervariasi, dapat diterapkan pada suatu lokasi tertentu atau pada suatu jaringan jalan yang sangat kompleks.

Berhubung beragamnya geometrik jalan, kendaraan pengendara dan kondisi lingkungan, serta sifat saling keterkaitannya, kapasitas bervariasi menurut kondisi lingkungannya.

2.5. Penggunaan Tanah

Hartshorn (1980) membagi penggunaan tanah kota menjadi:

a. Penggunaan tanah permukiman. Merupakan penggunaan tanah dengan persentase terbesar di kota, meliputi penggunaan tanah untuk perumahan, rumah susun, apartemen, dan hotel.

b. Ruang transportasi. Penggunaan tanah ini juga diperlukan dalam jumlah besar terutama di pusat kota yang membutuhkan tingkat aksesibilitas tinggi. Ruang transportasi meliputi jalan raya, jalur kereta api, serta tempat parkir.

c. Industri dan komersil

d. Penggunaan tanah publik. Meliputi area rekreasi, taman kota, sekolah dan kampus, bandara, terminal, serta stasiun.

Jalur-jalur transportasi dan utilitas kota merupakan pembentuk pola penggunaan tanah di kota. Sejak awal pertumbuhan komunitas, berbagai kegiatan usaha memilih lokasi di sepanjang jalur-jalur lalu lintas primer dan di tempat- tempat yang merupakan konsentrasi para pelanggan potensial. Transportasi dan guna tanah oleh para perencana kota sering diibaratkan "dua sisi mata uang logam", karena tempat masuk dan keluarnya transportasi diperlukan agar sebidang tanah memiliki fungsi produktif, dan jalur lalu lintas tidak akan bermanfaat kecuali jika jalur tersebut melayani kegiatan baru ataupun yang telah ada pada ke dua ujungnya (Branch, 1995).

(12)

Penggunaan tanah merupakan salah satu faktor dari pergerakan dan aktivitas. Aktivitas ini diketahui sebagai bangkitan pergerakan yang akan ditentukan oleh fasilitas transportasi seperti jalan dan sistem angkutan, akan diperlukan untuk menggerakkan lalu lintas. Besarnya permintaan transportasi sangat berkaitan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat, yakni sistem kegiatan yang biasanya dapat diukur melalui intensitas penggunaan tanah. Bila penambahan fasilitas diberikan, maka sistem secara alamiah telah menambah aksesibilitas

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi SM Rimbang Baling sangat memprihatinkan saat ini, dan sangat disayangkan jika pada akhirnya, pemasalahan yang terjadi di kawasan konservasi menyebabkan

Pemerintah Pusat melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) juga akan mengeluarkan program program yang meliputi pengelolaan sumber daya

Aplikasi HOPE ini sendiri hasil akhirnya terdiri dari dua bentuk yaitu dalam bentuk fisik (media cetak berupa print out ) yang berisikan marker/QR Code dan Aplikasi augmented

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi dan Sewa Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah

150 mg/kgbb memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik dibandingkan dengan dosis 75 mg/kgbb dilihat dari kemampuannya dalam menghambat perkembangan edema pada

Kapabilitas bisnis inovasi produk memiliki hubungan positif terhadap efektivitas strategi kompetitif inovasi produk sebesar 0,787 dan sebagai konsekuensinya juga berhubungan

[r]

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PAKAIAN SERAGAM KERJA, TANDA PENGENAL DAN ATRIBUT BAGI PEGAWAI DI LINGKUNGAN PUSAT KARANTINA