• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DUALISME DESA DI BALI PASCA DI UNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP DUALISME DESA DI BALI PASCA DI UNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL PENELITIAN MANDIRI

KONSEP DUALISME DESA DI BALI PASCA

DI UNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Oleh :

I KETUT SUARDITA,SH.,MH NIP. 196902241997121001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

2016

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan Rachmat-Nyalah penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Adapun penelitian yang mengambil judul “Konsep Dualisme Desa Di Bali Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa”, merupakan penelitian yang sifatnya mandiri sebagai bentuk pelaksanaan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu bidang penelitian.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan hasil penelitian ini, dan pada kesempatan ini tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.M.Hum yang telah banyak memberikan masukan serta bimbingan dan juga kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang membacanya, dan sebagai akhir kata tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih.

Denpasar, 20 Juli 2016 ttd

I Ketut Suardita, SH.MH NIP. 196902241997121001

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ABSTRAK

BAB I. PENDAHULUAN………...1

1.1. Latar Belakang……….1

1.2. Rumusan Masalah………4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...5

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN...8

3.1. Tujuan...8

3.2. Manfaat...8

BAB IV METODE PENELITIAN...9

4.1. Jenis penelitian...9

4.2. Jenis pendekatan…..……….9

4.3. Sumber bahan hukum……….…….10

4.4. Teknik Pengumpulan Bahan hukum………..…….11

4.5. Teknik Pengolahan dan analisa Bahan hukum...11

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………..………...13

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN…….……….………..25

6.1. Kesimpulan…...………25

6.2 Saran...25

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(5)

ABSTRAK

Dalam lintasan sejarah, perkembangan desa di Bali telah ada sejak jaman dahulu semenjak kedatangan Rsi Markandya ke Bali. Bentuk dualisme desa yang ada di Bali itu berlangsung sejak masuknya pengaruh Kerajaan Majapait.

Kemudian sejak Belanda datang ke Bali bentuk dualisme desa tersebut tetap dipertahankan dengan maksud politik tertentu untuk melakukan pengawasan.

Sejak Indonesia Merdeka pengaturan mengenai desa baik di tingkat nasional maupun daerah telah berulang kali dilakukan dan secara konstitusional telah diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam perkembangan selanjutnya dengan diberlakukanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka mengenai desa hanya diakui satu bentuk desa apakah itu desa dinas ataupun desa adat (desa Pakraman). Oleh karena itu di Bali timbul adanya wacana yang menginginkan untuk membentuk satu bentuk Desa di Bali, dalam artian Desa Dinas melebur ke Desa Adat ataun Desa Adat yang melebur ke Desa Dinas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Karena fungsi dan karakternya yang,berbeda maka khususnya di Bali untuk sementara masih menerapkan konsep yang berlaku sebelumnya dengan menempatkan pada porsi yang sebenarnya sesuai dengan fungsinya masing- masing, Walaupun ada kegiatan yang melibatkan kedua bentuk desa tersebut itu merupakan bentuk koordinasi serta partisipasi sehingga desa yang terdaftar untuk sementara masih Desa Dinas.

Kata kunci : Dualisme, Desa Adat, Desa Dinas

(6)

ABSTRACT

In the sweep of history, the development of villages in Bali has existed since antiquity since the arrival of the sage Markandya to Bali. Form of dualism villages in Bali that took place since the influence of the Kingdom Majapait. Then, since the Dutch came to Bali village dualism shape is retained with certain political intent to conduct surveillance. Since Indonesia Merdeka village arrangements regarding both the national and local levels have been repeatedly made and constitutionally by Article 18 B (2) Constitution NRI, 1945. In a further development with the adoption of Act No. 6 of 2014 on the village, then the the village is only recognized one village forms whether it's official or indigenous village village (village Pakraman). Therefore in Bali arising discourse that wants to establish a form of Balinese village, in the sense that the Village Office fused to submit their Village People Village People were merged into the village of Dinas as stipulated in Law No. 6 of 2014 on Village

Because the function and character, different then especially in Bali for a while still applying the prevailing concept prior to putting on a portion of the truth according to their respective functions, Although there are activities that involve both forms of the village it is a form of coordination and participation so that village while still registered for the Village Office.

Keywords: Dualism, Indigenous villages, Village Office

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, namun telah menjadi kodrat alam bahwa manusia akan hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok.

Naluri untuk selalu hidup dengan manusia lainya, sering sebagai mahkluk bermasyarakat (zoon politicon).1

Kelangsungan hidup manusia yang berkelompok tersebut dalam perkembangannya membentuk suatu organisasi yang teratur dan berkuasa dalam bentuk suatu suatu persekutuan hidup dari taraf yang paling sederhana hingga bentuk yang paling komplek yaitu negara. Mengenai tujuan dibentuknya organisasi atau persekutuan tersebut , salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan atas kelangsungan hidup mereka. Disisi lain sebagai konsekuensi naluri manusia tersebut diatas adalah lahirnyas kaidah-kaidah yang mengatur kehidupannya, baik berupa kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan maupun kaidah hukum. Terhadap kaidah hukum keberadaanya sulit dilepaskan dari setiap aspek kehidupan manusia yang hidup bermasyarakat.

Hukum sebagai gejala sosial, yang artinya hukum itu ada ditangah masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh “Cicero, yang mengatakan bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi sicietes ibi ius). Disini yang menjadi dasar sosial dari hukum adalah masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini

1Soerjono Soekanto,1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru kesatu, CV Rajawali, Jakarta, : 110

(8)

hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas serta tidak dapat dipisahkan, yang artinya tanpa ada manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum.2 Dalam hal ini adalah hukum yang hidup dimasyarakat yang bersifat otonom atau yang kita kenal dengan nama hukum adat. Hukum adat dapat diartikan sebagai hukum asli Indonesia yang telah ada secara turun-temurun yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang mengandung unsur-unsur agama dan merupakan pencerminan dari nilai budaya bangsa Indonesia.

Untuk dapat tumbuh dan berkembangnya hukum diperlukan adanya suatu wadah atau lembaga dalam suatu masyarakat dari tingkatan yang paling kecil (desa) sampai yang paling besar dalam bentuk negara. Seperti apa yang dikatakan oleh Harold J. Bermen yaitu “One of deepest concern of all civilized men everywhere”.3 Dalam artian hukum sebagai salah satu masalah manusia yang sementara dihadapi oleh umat manusia sebagai suatu permasalahan yang paling dalam bagi setiap manusia yang berperadaban dimanapun juga.

Bagi masyarakat di Bali pada umumnya persekutuan atau organisasi semacam itu sering kita kenal dengan nama Desa Adat (sekarang Desa Pakraman) yang telah tumbuh dan berkembang berabad-abad yang lampau seiring dengan datangnya Maha Rsi Markandya yang kemudian disusul oleh para Rsi yang lainya, serta datangnya pengaruh dari kerajaan Majapahit yang membawa pengaruh yang besar mengenai keberadaan desa-desa di Bali. Desa Adat atau yang sekarang disebut Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum

2Otje Salma HR dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, h.15

3Abdurrahman, 1978, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung, h: 11

(9)

yang mengatur urusan pemerintahannya berdasarkan atas Awig-Awig Desa atau peraturan Desa.

Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman ditentukan bahwa Desa Pakraman adalah “Kesatuan masyarakat hukum adat Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga/kahyangan Desa, mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri serta berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri”. Dan yang terpenting disini adalah tidak ada keinginan dari warganya untuk membubarkan organisasi atau desa tersebut. Namun dalam perkembangan seanjutnya menimbulkan suatu permasalahan mengenai keberadaan dua bentuk desa (dualisme) yang ada sekarang di Bali. Disatu pihak menginginkan agar desa adat (sekarang desa pakraman) melebur menjadi desa dinas, sedangkan disatu pihak menginginkan desa dinas yang melebur ke desa adat. Atau ada yang netral saja bahwa sebaiknya kedua bentuk desa tersebut tetap dipertahankan dengan masing- masing fungsinya yang berbeda.

Setelah berlakaunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana diatur dalamPasal 6 yang menyebutkan bahwa ;

(1) Desa terdiri atas desa dan desa adat

(2) Penyebutan desa atau desa adat sebagaimana pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku didaerah setempat. Namun dalam penjelasan pasal 6 tersebut dijelaskan bahwa”untuk menghindari tumpang tindihantara desa adat dan desa dinas dalam satu (1) wilayah maka harus dipilih salah satu jenis

(10)

desa sesuai dengan ketentuan undang-Undang ini. Karena hal itulah khususnya di\bali para pemerhati tentang desa terjadi silang pendapat antara amemilih desa adat ataupun desa dinas.namun sampai saat penulisan ini selesai pe4rmasalahan tersebut di Bali belum menemukan titik temu. Namun pemerintah berharaf adanya perlakuan khusus di bali dengan mengharapkan adanya instrumen hukum yang dapat memayungi kondisi tersebut sehingga keresahan antara memilih salah satu bentuk desa tersebut tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

2.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang permasalahan tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu: “bagaimanakah tife desa yang cocok di Bali setelah berlakunya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014, sehubungan dualisme bentuk desa tersebut di masa yang akan datang dalam rangka pembangunan hukum hukum di Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”.

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan Madzab historical mazhab sejarah) dari Friedrich Carl von Savigny, atau mazhab sejarah bahwa hukum itu tumbuh, tidak dibuat, pertumbuhan hukum pada dasarnya merupakan perkembangan organ yang yang tidak disengaja. Dan itu merupakan pencerminan dari jiwa bangsa (volkgeist)4 Dalam Aliran sociological yurisprudence seperti yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich (Jerman), bahwa keputusan yang akan diambil harus didasari dengan adanya pertimbangan yang nyata atau realita, disamping itu hukum yang akan dibuat harus memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat (living law)5. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).6 Sebagai konsekuensi dari negara hukum, maka kita menganut ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi.7 Dalam hal ini hukum dijadikan guiding principle, bagi aktivitas organ negara, pemerintah, pejabat-pejabat negara maupun masyarakat/rakyat. Hampir semua aktivitas di bidang kenegaraan, baik pemerintah maupun masyarakat harus berdasarkan pada hukum. Adapun hukum yang dimaksudkan disini bukanlah hukum dalam arti sempit (hukum tertulis) yang berupa peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi hukum dalam arti yang

4 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h: 65

5 Otje Salman,1992, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet. III, CV. Armico, Bandung, h: 15 6 Mukthie Fadjar,A, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h: 1 7Ismail Suny, 1984, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, h: 8.

(12)

luas yang meliputi hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis maupun hukum adat (living law) sebagai warisan nenek moyang yang diterima dan berlaku sampai sekarang yang tumbuh dan terpelihara dalam praktek kehidupan kehidupan bermasyarakat.8

Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.9 Konsepsi ini dapat kita jumpai pada alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, baik materiil maupun spiritual secara merata di semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Dalam konsep negara hukum yang berlandaskan Pancasila merupakan konsep negara hukum Republik Indonesia yang secara umum dapat dikatakan sebagai negara yang mengimplementasikan unsur-unsur negara hukum yang dijiwai oleh filsafat dasar negara serta pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan dilandasi oleh UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam negara.

Desa yang dimaksudkan disini adalahdesa dalam pengertian suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu kecuali di beberapa desa yang ada di kota serta desa-desa di pinggir pantai yang enduduknya sudah heterogenyang terdiridari beberapa umat beragama. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa yang dimaksud dengan desa adalah Desa dan Desa adapt atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah,

8Padmo Wahyono, 1983, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, : 109

9Sjachran Basah, Eksistensi dan tolak ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung, 1985, . 11.

(13)

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak, asal usul, dan/hak tradisional yanag diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan republik Indonesia.

Dalam ketentuan Pasal 18B ayat(2) Undang-Undang Dasar Negara republic Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsif Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.

Ketentuan ini mengaskan bahwa Negara megakui keberadaan masyarakat hokum adapt yang memiliki karakter majemuk yang terdapat di wilayah nusantara dari sabang sampai merauke.

Dalam masyarakat Bali istilah desa menunjuk pada 2 (dua) pengertian.

Pertama istilah desa menunjuk pada peraturan perundang-undangan, yaitu desa dalam pungsinya sebagai pelaksanaan administrasi pemerintahan di desa atau yang lazim disebut dengan nama “Desa Dinas”. Kedua istilah desa menunjuk pada masyarakat adat dalam melaksanakan fungsi sosial-religius, atau yang lazim disebut “Desa Adat” (sekarang Desa Pakraman).10

Secara formal istilah desa Pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

10 Nantri, Ayu Putu dan Sudantra, IKetut, 1961, Struktur Organisasi dan hubungan Antar Lembaga Dalam desa Adat Gianyar, Laporan Penelitian, Universitas Uadayanan, :1

(14)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1.Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. untuk melaksanakan salah satu bidang Tri Darma perguruan Tinggi, yaitu bidangpenelitian

b. untuk memberikan dukungan terhadap kenajuab perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum;

c. untuk mengetahui persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat serta memberikan sumbanga npemikiran untuk memecahkan masalah hukum tersebut;

d. untuk menambah wawasan keilmuan tantang hubungan ilmu hukum dengan masyarakat.

3.2. Manfaat

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :

a. untuk menetahui serta memahami secara lebih mendalamtentang bentu desa serta apemerintahan des yang ada di bali

b. hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi warga masyarakat serta aparat pemerintah desa dalam menentukan pilihan untk menentukan desa mana yang akan didaftarkan.

c. Menjadi acuan dalam bagi para pengamat, praktisi maupun pemerintah daerah, baik Provinsi, kabupaten/kotadalam menyikapipolemik yang terjadi dimasyarakat berkaitan dengan pilihan untuk memilih salah satu bentuk desa yang akan didaftarkan dipusat

(15)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis PenelitianMetode Pendekatan

Dalam penelitian ini adapaun metode yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normativf, yang merupakan penelitian hukum yang mengacu pada konsep hukum sebagai norma.

Dalam beberapa kajian sering juga dikatakan sebagai penelitian dogmatik.11 Disamping itu juga dikatakan sebagai penelitian kepustakaan (library research) karena didasarkan atas data sekunder.12 Pada penelitian ini lebih menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analitis normative-kualitatif.13 Maksudnya memberikan suatu analisa secara deskriptif dengan kata-kata terhadap peraturan perundang-undangan yang dibahas, serta tidak menguraikan dalam bentuk tabel maupun angka-angka dalam jumlah tertentu (kuantitatif) yang dilakukan melalui proses berpikir secara deduktif.

4.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini adapun metode pendekatan yang digunakan adalah : 1. Metode pendekatan yuridis normative yaitu pendekatan peraturan

perundang-undangan (Statute Approach), yakni pendekatan yang dilakukan dengan menganalisa ketentuan-ketentuan peraturan perundang-

11 Jan Gijsels & Mark Van Hock (terjemahan B Arief Sidharta) Apakah teori Hukum itu ?, Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung, h. 109 - 110

12 J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h. 2 13Ibid, h. 3

(16)

undangan sebagai bahan hukum primer, yang didukung oleh bahan hukum sekunder berupa buku-buku/literatur-literatur, majalah, ataupun artikel yang relevan dengan pokok permasalahan.

2. Metode pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan menganalisa terhadap sejarah perkembangan dari hukum adat maupun desa adat maupun desa dinas itu sendiri terutama dalam kaitanya dengan keberadaan dua bentuk desa di Bali.

3. Metode pendekatan facta (fact approach) dengan melakukan anaklisa terdadap fakta yang terjadi di lapangan.

4. Metode pendekatan konseptual (analitical or conceptual approach) yakni dengan melakukan analisa terhadap konsep hukum, maupun analisis tentang ilmu pengertian.

4.3. Sumber Bahan Hukum

Secara umum dalam melakukan penelitian hukum lazimnya dibedakan antara data primer dengan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, sedangkan data sekunder bersumber pada bahan-bahan kepustakan.14 Dalam penelitian hukum normatif menggunakan data sekunder sebagai sumber bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama, sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif, yakni

14 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, UI-Press, Jakarta, h. 12 (selanjutnya disebut Sorjono Soekanto I)

(17)

bahan hukum yang mempunyai otoritas.15 Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan dan segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan dan segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum. Dalam penelitian ini yangbahan hukum primer yang relevan yaitu : UU No. 6 Tahun 2014, UU No. 23 tahun 2014 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001

4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan/studi dokumen terhadap literatur yang ada kaitanya dengan materi yang akan dibahas dalam poenelitian ini dan untuk selanjutnya mencari dan memahami berbagai pendapat, teori dan konsepsi yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diperoleh dari literatur serta peraturan perundang-undangan16

Untuk mendapatkan data dari bahan hukum diatas, adapun langkah yang dilakukan adalah diawali dengan kegiatan inventarisasi, kemudian dilakukan pengoleksian dan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali bahan-bahan yang diperlukan.

15Peter Mahmud Marzuki,…Op. Cit, h. 141

16 Setyo Yowono Sudikni, 1983, Pengantar Karya Ilmiah, Cet.III, Aneka Ilmu, Jakarta, h:

37

(18)

4.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Bahan hukum

Dalam penelitian hukum normative, pengolahan bahan hukum pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan sistematisasi terhadap bahan- bahan hukum. Dalam hal ini kita mengklasifikasikan bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dengan tujuan untuk memudahkan pekerjaan analisa dari bahan- bahan tersebut. Setelah itu baru dilakukan interprestasi hukum yang berkaitan dengan kata-kata dari peraturan hukum yang dapat memberikan penafsiran yang berbeda-beda serta ketidakpastian hukum17.

Adapun yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah memilih pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan terutama yang berisi norma mengenai yang berkaitan dengan pokok permasalahan dan untuk selanjutnya disajikan secara deskriftif dan sistematis

17 LB. Curzon, …Op.Cit, h. 253 – 255

(19)

BAB V

HASIL PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Terbentuknya Desa Di Bali

Berdasarkan atas penelitian sejarah, bahwa keberadaan desa di Bali diawali dengan kedatangan seorang Maha Rsi dari India yang bernama Rsi Markandya ke Jawa di bukit damalung pegunungan dieng (Jawa Tengah), namun tidak lama kemudia pindah ke serta membuat pasraman di Gunung Raung (giri rawang) Jawa Timur. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur dengan menyebrangi lautan menuju ke suatu pulau (sekarang pulau Bali) dengan diikuti sekitar 8000 orang pengikut. Namun kedatanganya gagal karena pengikutnya banyak yang mati maupun sakit, sehingga beliau balik lagi ke Jawa. Kemudian untuk yang kedua kalinya beliau datang lagi ke Bali, dimana pada kedatanganya yang kedua beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik bahwa untuk memasuki daerah ini harus menanam lima macam logam (panca datu) di sekitar bukit tolangkir, lereng Gunung Agung. Daerah tersebut diberi nama basukian atau sekarang diperkirakan di besakih. Kemudian beliau membangun sebuah pura yang bernama Pura Penulisan. Dalam perjalanannya beliau kemudian menetap di sebuah tempat yang diberinama sarwada (serba ada) sekarang dikenal dengan nama Desa Taro dan disana beliau membangun sebuah pura yang diberinama Pura Gunung Raung. Konon katanya gunung Raung yang ada di Jawa kelihatan dari sana. Dalam perjalanannya beliau kemudian beliau membangun pasowakan di desa puwakan dimana desa tersebut dipimpin oleh seorang bang desa atau disebut

(20)

juga Bendesa. Sedangkan yang berkaitan dengan pertanian disebut subak (pengairan) dipimpin oleh kelian subak (pekaseh).

Berdasarkan atas hal tersebut diatas diperkirakan bahwa desa pertama yang ada di Bali adalah “Desa Taro”. Sedangkan pemukimannya disebut pakraman atau banua atau desa.

Dalam perkembangan selanjutanya terjadi kekacauan di Bali karena ulah seorang raja yang bernama Maya Danawa. Semenjak kedatangan Empu Kuturan, maka Maya Danawa dapat dikalahkan namun masih terjadi pertentangan antar kelompok, sehingga atas inisiatif dari Empu Kuturan, maka dikumpulkanya ke sembilan wedanta (Pasupatya, Bhairawa, Wesnawa, Bodha/sogatha, Rsi, Brahma, Sora, Siwa sidhanta, Ganapatya) menjadi tiga kelompok yang dilakukan disuatu tempat yang sekarang kita kenal dengan nama Samuan Tiga (rapat tiga kelompok). Dari ketiga kelompok tersebut dicarilah persamaannya, yang sama- sama percaya adanya Tri Murti (Brahma, Wisnu Siwa). Sehingga dengan demikian disepakati bahwa semua desa mempunyai kahyangan tiga (Pura Puseh, Pura Bale Agung/Pura Desa, dan Pura Dalem). Namun ada desa yang tidak mempunyai kahyangan tiga seperti desa tua. Dari pesamuan tersebut ada 5 (lima) kesepakatan yang dicapai yaitu :

1. Percaya akan Tri Murti

2. Bahwa setiap desa mempunyai Kahyangan Tiga 3. setiap keluarga mempunyai sanggah/Merajan 4. Setiap desa memiliki Tanah desa

5. Agama yang dianut adalah Agama Ciwa-Budha.

(21)

Kemudian setelah masuknya pengaruh Majapahit (Gajah Mada) datang ke Bali, maka untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan di tingkat bawah maka ditempatkanlah seorang wakil raja di desa (perbekel), Masuknya peran sapra desa (perbekel dan pungawa) di desa menyebabkan terjadinya dualisme desa di Bali.

Disatu sisi desa sebagai desa yang mandiri (otonom) dan desa dalam artian sebagai penyelenggaraan kekuasaan kerajaan (sangat tergantung pada penguasa atau raja). Sehingga keberadaan dua tife desa di Bali diperkirakan terjadi pada jaman/pengaruh Majapahit.

Setelah jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada tahun 1906 keberadaan masyarakat adat di Bali masih tetap eksis bahkan seperti apa yang dikemukakan oleh Liefrinck, bahwa keberadaan desa di Bali diibaratkan sebagai “republic kecil”.

Untuk kepentingan politiknya ada usaha dari pemerintah Hindia belanda untuk mengatur desa tersebut dengan menempatkan wakil pemerintah untuk dapat mengawasi ataupun menyelanggarakan pungsi pemerintahan. Adapun langkah yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu adalah:

1. Menempatkan perbekel yang diangkat oleh pemerintah;

2. Dibuatkanya batas-batas desa yang jelas;

3. Serta dibangunya administrasi tingkat desa.

2.2. Pengaturan Desa Dalam Peratuan Perundang-undangan

Pengaturan desa adat sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Hindia Belanda. Masuknya pemerintah Hindia Belanda ke Bali yang bermaksud untuk

(22)

menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa di Bali. Untuk kepentingan politiknya Pemerintah Hindia Belanda kemudian memanfaatkan Perbekel sebagai wakilnya untuk mengawasi keadaan di desa. Perbekel yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda dimaksudkan untuk membangun lembaga administrasi di tingkat desa, serta membuat desa baru. Dengan demikian munculah 2 (dua) kategori desa, yakni desa lama dan desa baru yang keduanya kemudian dikenal dengan sebutan “Desa Adat” dan “Desa Dinas”.

(Gouvernementdesa). Pemerintah Hindia Belanda ini memandang kedua desa ini secara terpisah, yang seolah-oleh desa adat tersebut tidak tersentuh atau dipengaruhi oleh pemerintah, melainkan bersifat mandiri dengan hukumnya sendiri.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda peraturan yang mengatur mengenai desa adalah Staaatblad 1906 Nomor 83 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) dan Staatblad 1938 Nomor 490 tentang Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB). Berdasarkan kedua staatblad tersebut dinyatakan bahwa disamping desa sebgai daerah otonom asli, juga sebagai wilayah administratif yang diserahi tugas perbantuan (medebewinds).

Pada masa kemerdekaan sesudah tahun 1945 desa yang bersifat administrasi masih tetap hidup. Setelah Indonesia merdeka, undang-undang yang mengatur tentang desa adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah yang membagi daerah menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu Propinsi, kabupaten dan Desa yang menurut undang-undang ini desa dianggap sebagai daerah otonom terbawah yang menerima penyerahan urusan kewenangan

(23)

dari pusat. Kemudian pengaturan tentang desa diatur dalam Undang-undang No.

1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah, dimana daerah otonom dibagi menjadi Swatantara tingkat. I, II, dan III, dalam hal ini ada suatu kelonggaran bahwa keberadaan desa dijadikan sebagai Swatantra tingkat III.

Namun undang-undang ini tidak menginginkan persekutuan hukum adat yang secara otomatis menjadi daerah swatantra tingkat III. Hal ini didasarkan factor pertimbangan luas wilayah, potensi dan jumlah penduduk.

Dalam perkembangan selanjutnya undang-undang ini diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang membagi wilayah Indonesia menjadi 3 (tiga) tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) undnag-undang ini Kecamatan terdiri atas satu atau lebih desa.

Kemudian khusus tentang desa dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja. Dengan demikian desa mempunyai hubungan struktural dengan pemerintah atasan (Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi), tetapi sebelum undang-undang ini berlaku sempat ditunda pelaksanaannya berdasarkan Instrusi Mentri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 1966 yang akhirnya dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1966. Adapun undang-undang yang baru yang menggantikanya adalah Undang-undang nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, dalam undang-udang ini pengaturan desa diatur secara sumir yakni bahwa pengaturan tentang desa diatur dengan undang- undang. Adapun undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor

(24)

5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.18 Dalam undang-undang ini desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat tetapi sebagai wilayah administrasi di bawah Kecamatan dengan bentuk dan susunan yang seragam diseluruh wilayah Indonesia. Namun demikian keberadaan masyarakat hukum adat (desa adat) masih tetap diakui, sehingga dengan demikian undang-undang ini menganut stelsel ganda yakni menetapkan adanya desa dan kelurahan serta disisi lain tetap mengakui adanya desa adat.

Kemudian Pemerintah Propinsi Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986 yang mengukuhkan secara formal keberadaan desa adat sebagai masyarakat hukum adat Bali. Dalam Perkembangan selanjutnya Undang- undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya Undang_undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang didalamnya juga mengatur tentang desa, yaitu pada Pasal 1 huruf o yang menyatakan bahwa:

“Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten”.

Dengan berlakunya undang-undang ini menimbulkan wacana yang intensif dikalangan masyarakat Bali mengenai model desa apa yang cocok untuk daerah Bali. Maka pada tahun 2001 dikeluarkanlah Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman yang menggantikan Peraturan Daerah nomor 06

18 Ari Atu Dewi dan Suardita, I Ketut, 2004, Format dan Mekanisme Hubungan Antara desa Dinas dan Desa Pakraman Dalam Penyelesaian Sengketa, Dalam Wilayah Kabupaten Badung Setelah Berlakunya UU. No. 22 Tahun 1999, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, 12

(25)

Tahun 1986 , sehingga istilah Desa adat secara Formal telah diganti dengan nama Desa Pakraman.

Dengan adanya amandemen terhadap UUD 1945, berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam prinsif Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Kemudian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 12 menyebutkan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain , selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.3. Dualisme Desa di Bali

Dalam masyarakat Bali istilah desa menunjuk pada 2 (dua) pengertian.

Pertama istilah desa menunjuk pada peraturan perundang-undangan, yaitu desa dalam pungsinya sebagai pelaksanaan administrasi pemerintahan di desa atau yang lazim disebut dengan nama “Desa Dinas”. Kedua istilah desa menunjuk

(26)

pada masyarakat adat dalam melaksanakan fungsi sosial-religius, atau yang lazim disebut “Desa Adat” (sekarang Desa Pakraman).19

Secara formal istilah desa Pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa pakraman sebagai berikut :

“Desa Pakraman adalah “Kesatuan masyarakat hukum adat Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga/kahyangan Desa, mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri serta berhak untuk menguruis rumah tangganya sendiri”.

Sebelum berlakunya Perda tersebut, istilah yang digunakan adalah “Desa Adat” sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 06 Tahun 1986 yang dalam Pasal 1 menyatakan bahwa :

“Desa Adat adalah kesatuan mansyarakat hukum adat di Daerah Tingkat I Pripinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.

Berdasarkan pada kedua hal tersebut, disini istilah Desa Adat maupun desa Pakraman mempunyai pengertian yang sama, walaupun dalam kenyataannya istilah desa adat masih banyak digunakan oleh masyarakat namun secara teknis yuridis yang benar adalah desa Pakraman. Dari pengertian desa tersebut diatas, maka Desa Adat atau Desa Pakraman adalah merupakan suatu masyarakat hukum adat atau yang lazim disebut persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yakni kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai satu kesatuan yang mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal serta orang-orang didalamnya

19 Nantri, Ayu Putu dan Sudantra, IKetut, 1961, Struktur Organisasi dan hubungan Antar Lembaga Dalam desa Adat Gianyar, Laporan Penelitian, Universitas Uadayanan, :1

(27)

menjalani kehidupan sebagai sesuatu yang wajar menurut kodrat alam serta tidak ada dari mereka yang mempunyai pikiran untuk membubarkan kelompoknya.

Dalam konsep negara kesatuan maka tidak ada istilah negara di dalam negara, semua kewenangan berasal dari pemerintah pusat yang berdasarkan atas asas desentralisasi diserahkan sebagaian urusan pemerinthan kepada pemerintah daerah untuk diatur dan di urus sendiri (otonomi). Namun apabila kita lihat pada ketentuan Pasal 18B ayat 2 UUD NRI 1945, berarti secara konstitusional kemberadaan desa adat masih tetap diakui sepanjang masih ada. Dalam perkembangannya Desa Adat atau Desa Pakraman dalam sistem pemerintahan tetap berada di luar struktur pemerintahan formal sehingga Desa itu tidak mempunyai hubungan hierarki dengan Pemerintah Propinsi, Kabupaten maupun Kota.20

Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka keberadaan desa dinas sangat diperlukan terutama dalam fungsinya untuk menyelenggarakan pungsi pemerintahan dan administrasi ditingkat desa (pungsi administratif). Sehingga dengan demikian sangatlah sulit kembali ke abad yang lampau dengan menempatkan satu bentuk desa yang bersifat otonom dengan meleburkan desa dinas ke dalam desa adat, mengingat kemajemukan masyarakat dalam suatu daerah, perubahan jaman, serta perubahan pola perilaku kehidupan masyarakat yang sudah jauh berbeda .

Apabila desa adat melebur ke desa dinas akan menimbulkan permasalahan baru karena akan sullit untuk mengakomodasikan kepentingan-

20Suandi, I Wayan, 2004,Partisipasi Desa Pakraman dalam Penggunaan Wewenang Paksaan Pemerintahan Di Propinsi Bali, dalam Kertha Patrika, Vol. 29 No. 2, Juli 2004, :63

(28)

kepentigan masyarakat adat yang telah berlangsung turun-temurun dalam kaitanya dengan fungsi sosial-religius, karena semuanya harus seragam sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini konstitusional akan bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dan juga apabila dikaitkan dengan konteks HAM akan bertentangan dengan HAM generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya).

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka menurut pendapat saya (penulis) maka yang paling tepat untuk bentuk/tife desa di Bali adalah menempatkan kedua bentuk/tife desa tersebut pada porsi yang sebenarnya sesuai dengan fungsinya masing-masing tanpa adanya intervensi dari kedua belah pihak, walaupun warga masyarakatnya sama yaitu disatu sisi dia sebagai warga masyarakat adat sedangkan disisi lain juga sekaligus sebagai warga masyarakat dinas. Walaupun ada program pemerintah yang dilaksanakan di suatu desa yang melibatkan warga masyarakat ini bukan berarti desa yang satu lebih diatas dari desa yang lainya, tetapi lebih merupakan koordinasi dan partisipasi dari masyarakat adat di dalam menunjang program pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti apa yang telah disebutkan diatas bahwa Desa Adat atau Desa Pakraman dalam sistem pemerintahan tetap berada di luar struktur pemerintahan formal sehingga Desa itu tidak mempunyai hubungan hierarki dengan Pemerintah Propinsi, Kabupaten maupun Kota.

(29)

2.4. Polemik Penentuan Desa Di Bali

Dalam konsep Negara kesatuan tidak ada istilah Negara dalam Negara, namun sejak jaman dahulu di Bali telah tumbuh dan berkembang konsep otonomi yang sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda sering diistilahkan sebagai Negara kecil yang mempunyai wilayah, penduduk serta berhak mengatur dan mengurus urusan pemerintahanya sendiri dalam lingkup yang keicil,. Hal inilah yang sampai sekarang kita kenal dibali dengan Istilah desa Adat (Desa Pakraman).

Namun seiring dengan perkembagan jaman sebagai wakil pemerintah yang ada di desa maka di desa yang telah ada dibentuklah wakil pemerintahan ditempat itu sebagaimana kita akenal sekarang dengan sebutan Desa dinas.

Dibali keberadaan kedua desa tersebut selama ini hidup berdampingan yang mempunyai tugas serta fungsi yang berbeda yang satu bukan merupakan bawahan dari yang lainya namun dalam pelaksannaan tugas berkaitan dengan tugas pelayanan kepada mansyarakat serta pembangunan lebih bersifat koordinasi.

Dalam kenyataaanya antara kedua bentuk desa tersebut tidak selalu sama luas serta ruang lingkupnya, dalam artian satu desa adat (pkraman) terdapat satu desa atau lebih, atau sebaliknya satu desa dinas bisa satu desa adat atau lebih.

Seperti contoh Desa Adat (pakraman Besan) terdiri dari satu dasa dinas yaitu Desa Besan, satu desa dinas pesinggahan terdiri dari dua desa adapt(pakraman) yaitu desa adat9Pakraman ) pesinggahan dan desa Adat (pakraman ) punduk dawa, serta satu desa adapt Dawan terdiri atas dua desa dinas yaitu desa dawan kaler dan desa dawan klod. Disamping itu wilayah desa adat (pakraman) di bali terkadang melewati batas wilayah kabupaten atau dalam istilah bali sering diistilahkan

(30)

dengan “saling seluk”, sehingga sangat sulit untuk menentukan batas wilayah desa tersebut kalau kita kaitkan dengan wilayah desa dinas, dan itu telah berlangsung sejak lama.

Sejak diberlakukanya Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa permasalahan mulai muncul dibali berbagai pandangan serta pendapat para pakar (praktisi, akademisi, pemerhati, serta pengamat) mulai bermunculan antara memilih desa dinas ataupun desa adat (pakraman) utuk didaftarkan dengan berbagai pertimbangan serta konsekuensimasing-masing. Sebagimana diamanatkan dalam undang-undang dimaksud (UU No. 6 Th 2014). Untuk daerah Bali sampai saat penelitian ini dilakukan belum menentukan sikap untuk memilih salah satu bentuk desa sebagaimana diamanatkan undang-undang dimaksud, namun masih mencoba untuk mecarit format yang tepat yang sesuai dengan karakter masyarakat Bali yang beragama Hindu yang terikat dengan keberadaan Kahyangan Tiga, termasuk juga dengan setra /sema (kuburan)

(31)

BAB VI

KESIMPILAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan atas uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan dualisme desa di Bali masih diterapkan mengingat hal-hal sebagai berikut yaitu :

1. Bahwa Desa Adat dalam dalam melaksanakan fungsi sosial-religius (keagamaan) yang bersifat otonom yang berada diluar struktur formal pemerintahan yang berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri yang keberadaannya tetap diakui sepanjang Desa tersebut dalam kenyataannya masih ada.

2. Bahwa keberadaan desa dinas sangat diperlukan dalam fungsinya sebagai tugas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan administrasi pemerintahan di desa.

6.2. Saran

Berdasarkan atas kesimpulan tersebut diatas saya (penulis) menyarankan agar keberadaan kedua bentuk/tife desa yang ada di Bali tetap dipertahankan mengingat karakter serta fungsinya yang berbeda-beda. Namun dalam penyelanggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka desa dinas dapat melakukan koordinasi dengan desa adat. Demikian juga desa adat dapat berpartisipasi dalam

(32)

pembangunan tanpa adanya interpensi ataupun tekanan dari masing-masing desa.

Oleh karena itu perlu untuk dibuat Undang-Undanag tersendiri yang khusus mengngatur pemerintah Provinsi Bali yang dapat menjembatani konsep dualisme desa di Bali.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 1978, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung

Ari Atu Dewi dan Suardita, I Ketut, 2004, Format dan Mekanisme Hubungan Antara desa Dinas dan Desa Pakraman Dalam Penyelesaian Sengketa, Dalam Wilayah Kabupaten Badung Setelah Berlakunya UU. No. 22 Tahun 1999, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, 12

Ismail Suny, 1984, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung

Mukthie Fadjar,A, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang Nantri, Ayu Putu dan Sudantra, I Ketut, 1961, Struktur Organisasi dan hubungan

Antar Lembaga Dalam desa Adat Gianyar, Laporan Penelitian, Universitas Uadayanan

Otje Salman,1992, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet. III, CV. Armico, Bandung

Otje Salma HR dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung

Padmo Wahyono, 1983, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan tolak ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung

Soerjono Soekanto,1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru kesatu, CV Rajawali, Jakarta

Suandi, I Wayan, 2004, Partisipasi Desa Pakraman dalam Penggunaan Wewenang Paksaan Pemerintahan Di Propinsi Bali, dalam Kertha Patrika, Vol. 29 No. 2, Juli 2004

(34)

CURRICULUM VITAE

IDENTITAS DIRI

Nama : I KETUT SUARDITA, SH.,MH

NIP : 19690224 199702 1 001

Tempat dan Tanggal Lahir : Besan, Dawan, Klungkung, 24 Pebruari 1969 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Kawin Agama : Hindu

Golongan / Pangkat : III. d /Penata Tingkat I Jabatan Akademik : Lektor

Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Udayana Alamat : Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar

Telp / Faks : (0361) 222666 / Fax. 234888

Alamat Rumah : Jl. Pakusari, V. No. 2 Sesetan, Denpasar Selatan, Denpasar

Telp / Faks/Hp : 0817552858

Alamat e-mail : suarditaketut_fh@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI Tahun

Lulus

Program Pendidikan (diploma, sarjana, magister, spesialis, dan

doktor)

Perguruan Tinggi Jurusan/

Program Studi

1993 Sarjana (S1) Univ. Udayana Hukum Administrasi

Negara/ Ilmu Hukum

2010 Magister (S2) Univ. Udayana Hukum Pemerintahan

/Ilmu Hukum

PENGALAMAN PENELITIAN

Tahun Judul Penelitian Ketua/

anggotaTim

Sumber Dana

2003 Hubungan antara Desa Dinas dengan Desa adat dalam dalam wilayah Desa adat di Kabupaten Tabanan

Anggota Dana Dik Universitas Udayana Tahun anggaran 2003 dengan nomor kontrak : 1228/J14/KU.02.03/2003 2004 Format Dan Mekanisme

Hubungan Antara Desa Dinas Dan

Anggota Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi

(35)

Desa Pakraman Dalam Penyelesaian Sengketa Dalam Wilayah Desa Pakraman Di Kabupaten Badung Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Dirjen PT. Dep. Pendidikan Nasioanal, Sesuai dengan Surat perjanjian Pelaksanaan osen Muda, Studi Kajian Wanita dan Sosial Keagamaan

Nomor:118/P4T/DPPM/DM, SKW.SOSAG/III/2004

2004

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita yang Bekerja pada Perusahan

pertenunan Di kabupaten Gianyar

Anggota Dana Dik Universitas Udayana Tahun anggaran 2004 dengan nomor kontrak : 2057/J14/KU.02.03/2004 2006 Pelaksanaan Pembayaran Ganti

Rugi Dalam Hal Terjadinya kecelakaan Angkutan Penumpang Umum Di Denpasar

Ketua Dana Dipa Universitas Udayana 2006 Dengan

kontrak Nomor :

002055/J.14/KU.04.07/2006 2008 Arah Kebijakan Pembangunan

Sistem Hukum Nasional Di Masa Depan

Mandiri Mandiri

2008 Konsep Dualism Desa Di Bali (Tife Ideal desa Di Masa Depan)

Mandiri Mandiri 2009 Kewenangan Pemerintah Daerah

Melaksanakan Pemungutan Pajak Dalam Rangka Otonomi Daerah

Mandiri Mandiri

2009 Eksistensi Lembaga Peradilan Pajak Di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah

Mandiri Mandiri

2010 Konstitusi Sebagai Dasar Pembentukan Peraturan perundang-undangan

Mandiri Mandiri

2010 Normatifisasi Falsafah Tri Hita Karana Dalam Produk Hukum Pemerintah Provinsi Bali Di Bidang Kepariwisataan

Anggota Dana Dipa Universitas Udayana Dengan kontrak No : 0161/023-04.2/XX/2010

2010 Pendelegasian Kewenangan Mengatur Kepada Peraturan Gubernur Di Bali

Anggota Dana Dipa Universitas Udayana No: 0161/023- 04.2/XX/2010

2010 Konsekuensi Perubahan Konstitusi Terhadap Peraturan Perundang- undangan

Mandiri Mandiri

2010 Sinkronisasi Nilai Palemahan Dalam Konsep Tri Hita Karana Sebagai Perwujudan Pelaksanaan Pariwisata Budaya Dalam Produk

Ketua Dana Fakultas hukum, UNUD

(36)

Hukum Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Bali.

2011 Konsistensi Penerapan nilai kearipan local dalam produk hukum kepariwisataan berkaitan dengan kebijakan perizinan di kabupaten Badung

Anggota Project Nuffic IDN 223 tahun anggaran 2011 berdasarkan perjanjian pelaksanaan penelitian no.

22/research/NPT-Niffic FL- Unud/II/2011

2012 Diskresi penentuan tariff pajak kendaraan bermotor berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 di Provinsi Bali

Ketua Prodi magister kenotariatan Unud tahun anggaran 2012 dengan surat perjanjian no:

05/V/MKn/UN.14.4/TPPM/2 012

2012 Standarisasi Klausula-Klausula perjanjian yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengadaan barang /jasa

Anggota Prodi magister kenotariatan Unud tahun anggaran 2012 dengan surat perjanjian no:

05.a/V/MKn/UN.14.4/TPPM /2012

2013 Penganturan pelestarian obyek wisata sawah bertingkat (rice terrace di desa tegalalang

kecamatan tegallalang kabupaten gianyar

ketua Dana PNBP Unud dengan surat perjanjian pelaksanaan

penugasan penelitianNo:

2014 Pemungutan pajak bumi dan Bangunan (PBB) di kota Denpasar pasca Peralihan Kewenangan dari pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota

Ketua Prodi magister kenotariatan Unud tahun anggaran 2012 dengan surat perjanjian no:

05/V/MKn/UN.14.4/TPPM/

2012

2015 Pemenuhan Hak Atas Keselamatan Dan

Kesehatan Kerja Terhadap Para Tenaga Kerja

Di Kota Denpasar Tim Peneliti:

Anggota Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan

Pelaksanaan Penelitian Nomor : 246-

20/UN14.2/PNL.01.03.00/

2015,

tanggal 21 April 2015 2015 Pencegahan Dan Penanggulangan

Konflik

Sosial Di Bali Dari Perspektif Hukum

Ketua Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan

Pelaksanaan Penelitian Nomor : 246-

21/UN14.2/PNL.01.03.00/

(37)

2015,

tanggal 21 April 2015

Denpasar, 20 Juli 2016

I Ketut Suardita,SH.MH NIP. 196902241997021001

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat peneliti paparkan maksud dari Bapak B.H.R bahwa strategi pemasaran yang di lakukan oleh Bank Muamalat Indonesia KC

Perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya bermuara pada meningkatnya jumlah penduduk, dan meningkatnya berbagai kebutuhan akan fasilitas kehidupan. Perkembangan

Namun begitu, tidak dapat ditentukan secara sah selama tempoh program Saijana Pendidikan (Teknikal) KUiTTHO ini ditawarkan, adakah graduan lepasan program ini benar-benar

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Indeks Massa Tubuh dengan angka kejadian osteoarthritis lutut primer di Rumah Sakit PHC Surabaya. Metode:

Secara keseluruhan dari hasil sintesis abu layang menjadi material mirip zeolit telah berhasil dilakukan, hal ini terlihat dengan adanya peningkatan sifat fisikokimiawi mineral

garis B), profil B’ (hilangnya lung sliding dengan garis B), profil C (konsolidasi paru yang ekuivalen dengan gambaran garis pleura yang tebal dan

NIM Nama Lengkap Praktikan Romb... NIM Nama Lengkap

Homogenisasi Peralatan tidak steril Penggunaan alat yang telah disterilisasi Bukan CCP Tidak terdapat penggumpalan susu Pemantauan peralatan secara berkala