• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPLORASI CENDAWAN ENDOFIT PADA AKAR TANAMAN KARET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EKSPLORASI CENDAWAN ENDOFIT PADA AKAR TANAMAN KARET"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

INNI IZZATI / 130301209 AET-HAMA PENYAKIT TANAMAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(2)

SKRIPSI

OLEH:

INNI IZZATI / 130301209 AET-HAMA PENYAKIT TANAMAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(3)

Di Kabupaten Asahan.

Nama : Inni Izzati

NIM : 130301209

Program Studi : Agroteknologi

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Ir. Lahmuddin Lubis, M.P) (Dr. Ir. Hasanuddin, M.S)

Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr. Ir. Sarifuddin, M.P.) Ketua Program Studi Agroteknologi

(4)

menghasilkan metabolit sekunder yang sering berdampak terhadap pertumbuhan inangnya, seperti meningkatkan peertumbuhan dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kondisi cekaman biotik dan abiotik. Penelitian ini bertujuan

mengisolasi dan menguji daya antagonisme cendawan endofit terhadap R. microporus penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet. Penelitian

ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan mulai bulan September 2017 sampai Februari 2018 . Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial. Hasil penelitian menunjukkan

terdapat 8 genus isolat cendawan asal akar tanaman karet di Asahan (Rhizoctonia sp., Penicillium sp., Gliocladium sp., Trichoderma sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp., Mucor sp. dan Fusarium sp.) yang berpotensi

sebagai agens hayati untuk mengendalikan penyakit jamur akar putih pada karet.

Hasil terbaik didapat pada cendawan dari genus Aspergillus sp. dengan daya hambat sebesar 81,11 %.

Kata kunci : karet, Rigidoporus microporus, cendawan endofit

(5)

metabolites that often impact on the growth of its host, such as enhance its growth and increasing the resistance of plant to biotic and abiotic stress condition. This research aimed to isolated and find endophytic fungi which potency as biocontrol agents ti against Rigidoporus microporus on rubber tree. The research was conducted at Plant Disease Laboratory, Agrotechnology Program Study, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan from September 2017 to February 2018. It was done by using Completely Randomized Design (CRD) Non Factorial. The results indicate there are 8 genus of fungi (Rhizoctonia sp., Penicillium sp., Gliocladium sp., Trichoderma sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp., Mucor sp. dan Fusarium sp.) from roots of rubber tree in Asahan that have potential as biological agent to control R. microporus in rubber tree. The best results obtained on genus Aspergillus sp. with power inhibition was 8,11%.

Keywords : rubber, Rigidoporus microporus, endophytic fungi

(6)

Inni Izzati, lahir pada tanggal 15 Mei 1995 di Bandar Pulau Kecamatan Bandar Pulau Pekan, Kabupaten Asahan, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari Ayahanda (Alm.) Suwito dan Ibunda Sunawati.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

- Tahun 2007 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 010132 Bandar Pulau Pekan.

- Tahun 2010 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bandar Pulau Pekan.

- Tahun 2013 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kisaran.

- Tahun 2013 lulus dan diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SBMPTN.

Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu anggota Himagrotek (Himpunan Mahasiswa Agroteknologi) Fakultas Pertanian USU tahun 2013-2017, kepanitian forum mahasiswa Agroteknologi/Agroekoteknologi se Indonesia (FORMATANI) pada tahun 2015, sebagai bendahara bidang PSDM di IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun 2017 dan asisten Hama Penyakit Perkebunan Sub Hama tahun 2017.

Penulis melaksanakan praktek Kerja Lapangan (PKL) di Laboratorium Anlaitik PT. Socfin Indonesia Dolok Masihul pada bulan Juli samapai dengan Agustus 2016.

(7)

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudul “Eksplorasi Cendawan Endofit Pada Akar Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Sebagai Agens Hayati Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus (Swartz ; Fr)) Di Kabupaten Asahan” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua saya yang sangat berjasa terhadap hidup saya, terimakasih juga kepada Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, M.P dan Bapak Dr. Ir. Hasanuddin, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2018

Penulis

(8)

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Karet ... 4

Biologi Patogen Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus) ... 6

Gejala Serangan ... 7

Daur Hidup Patogen ... 9

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit JAP ... 9

Pengendalian Penyakit JAP... 11

Cendawan Endofit ... 12

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Alat dan Bahan ... 17

Metode Penelitian... 17

Pelaksanaan Penelitian ... 18

Pengambilan Sampel Tanaman ... 18

Isolasi Cendawan ... 18

Identifikasi Cendawan Endofit ... 19

Uji Antagonis terhadap JAP ... 19

Peubah Amatan ... 20

Persentase Hambatan Pertumbuhan Koloni Cendawan Patogen 20 Diameter Koloni Cendawan ... 21

Luas Pertumbuhan Cendawan ... 21

(9)

Diameter Koloni Cendwan Endofit dan Patogen... 28 Luas Pertumbuhan Koloni Cendwan Endofit dan Patogen ... 29 Persentase Daya Hambatan (Inhibiting Zone) ... 32 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 35 Saran ... 35 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

1. Badan buah jamur R. microporus ... 7

2. Bentuk mikroskopis A. R. lignosus (R. microporus), B. basidium (a) dengan basidiospora (bs) dan sistidium (s) ... 7

3. Skema penempatan cendwan patogen dengan cendawan endofit dengan metode dual culture ... 20

4. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis isolat cendawan ... 23

5. Grafik pertumbuhan isolat cendawan endofit dan patogen ... 27

6. Lahan tempat pengambilan sampel ... 75

7. Sampel akar tanaman karet ... 75

8. Isolasi awal cendawan dari akar tanaman karet ... 76

9. Supervisi penelitian di laboratorium ... 76

10. Uji Antagonis ... 76

(11)

1. Genus isolat hasil eksplorasi dari desa Kampung Baru, Pulau Pale, dan Silomlom ... 21

2. Luas pertumbuhan cendawan endofit yang diaplikasikan bersama R. microporus di laboratorium (cm2) ... 30

3. Daerah hambatan cendawan endofit terhadap R. microporus (%) ... 32

(12)

1. Data diameter pertumbuhan isolat cendawan ... 40

2. Data luas pertumbuhan isolat cendawan ... 44

3. Data daerah hambatan (Inhibiting Zone) ... 61

4. Biodata Kebun ... 72

5. Gambar Kegiatan Penelitian ... 75

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif. Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) berasal dari benua Amerika dan saat ini menyebar luas ke seluruh dunia. Karet dikenal di Indonesia sejak masa kolonial Belanda, dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Indonesia. Diperkirakan ada lebih dari 3,4 juta hektar perkebunan karet di Indonesia, 85% di antaranya (2,9 juta hektar) merupakan perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat atau petani skala kecil, dan sisanya dikelola oleh perkebunan besar milik negara atau swasta (Janudianto et al., 2013).

Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia yang pada waktu itu masih menjadi jajahan Belanda. Mula-mula karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersial. Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah spesies Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet H. brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906 (Setiawan dan Andoko, 2008).

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menghasilkan karet. Berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2015 luas areal perkebunan rakyat, besar negara dan besar swasta mencapai 427.086 Ha dengan rata-rata produksi 410.606 ton (BPS, 2016).

(14)

Asahan merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang menghasilkan karet. Dari 24 kecamatan di Asahan, 19 diantaranya menghasilkan karet. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan diketahui bahwa luas tanaman karet di Asahan tahun 2015 yaitu mencapai 302,65 Ha untuk TBM, 4.992,04 Ha TM, dan 333,96 Ha TTM sehingga jumlah seluruhnya adalah 5.628,65 Ha dengan produksi 5.268,65 ton (BPS, 2017).

Penyakit jamur akar putih (JAP) pada tanaman karet yang disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus dapat menyebabkan kehilangan hasil sekitar 3% di perkebunan rakyat dan 5% di perkebunan besar dengan taksiran kerugian mencapai 300 milyar setiap tahunnya. JAP merupakan penyakit tular tanah (soil borne disease) yang dapat bertahan sebagai sumber infeksi selama bertahun-tahun sehingga tidak mudah dalam pengendaliannya. Infeksi JAP dimulai sejak di pembibitan sampai tanaman menghasilkan sehingga upaya pengendalian maupun pencegahan terhadap patogen dan sumber infeksi dapat dilakukan sejak awal (Amaria dan Wardiana, 2014).

Berdasarkan penelitian Rahayu (2016) menyatakan bahwa serangan penyakit Jamur Akar Putih tersebar di Desa Aek Teluk Kiri, Desa Kampung Baru, Desa Silomlom, Desa Sei Pulo Pale, serta Desa Sei Alim Ulu dengan tingkat serangan yang berbeda. Persentase kejadian penyakit tertinggi dan keparahan penyakit tertinggi di Desa Sei Alim Ulu dengan persentase kejadian penyakit 100% dan keparahan penyakit 52,50%. Dan data terendah terdapat pada Desa Silomlom Kecamatan Simpang Empat dengan persentase kejadian penyakit 5%

dan keparahan penyakit 3.10%.

(15)

Pengendalian penyakit JAP selama ini masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia. Namun, penggunaannya yang terus menerus dapat menimbulkan masalah yang lebih besar salah satunya adalah pencemaran lingkungan. Perlu dicari teknologi pengendalian yang lebih ramah lingkungan, di antaranya adalah penggunaan cendawan endofit sebagai agens biologi kontrol. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Eksplorasi Cendawan Endofit Pada Akar Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Sebagai Agens Hayati Jamur Akar Putih (JAP) (Rigidoporus microporus (Swartz ; Fr)) Di Kabupaten Asahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis-jenis cendawan yang terdapat pada akar tanaman karet dan yang berpotensi sebagai agens hayati jamur akar putih (JAP) (Rigidoporus microporus (Swartz ; Fr)) .

Hipotesis Penelitian

Adanya cendawan endofit sebagai agens biologi kontrol untuk mengendalikan serangan Jamur Akar Putih (JAP) (Rigidoporus microporus (Swartz ; Fr)) di akar tanaman karet (Hevea brasilliensies Muell. Arg.).

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.)

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15–30 m. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Hulu, 2015).

Daun karet berwarna hijau yang terdiri atas tangkai daun utama dan anak daun. Panjang tangkai daun utama sekitar 7-20 cm sedangkan anak daun sekitar 3- 10 cm. Umumnya terdapat tiga anak daun pada setiap tangkai utama. Anak daun berbentuk elips yang memanjang dengan ujung meruncing dan tepian rata. Pohon karet berbunga setelah berumur 5-6 tahun (Husniyati, 2012).

Tanaman karet merupakan tanaman yang mempunyai batang yang dapat menghasilkan getah yang disebut lateks. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Fahroji, 2010).

Pada tanaman karet tinggi batang dapat mencapai 30 – 40 m. Sistem perakarannya kompak/padat, akar tunggangnya dapat menembus tanah hingga kedalaman 1 – 2 m, sedangkan akar lateralnya dapat menyebar sejauh 10 m.

Batangnya bulat silindris, kulit kayunya halus rata berwarna pucat hingga kecokelatan dan sedikit bergabus (Rahayu, 2016).

Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona 15oLS dan 15oLU. Bila ditanam di luar zona tersebut, pertumbuhannya agak lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih

(17)

lambat. Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2.000 mm. Optimal antara 2.500-4.000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100-150 hari hujan (Fahroji, 2010).

Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya. Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m (Anwar, 2001).

Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis maupun alluvial. Pada tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, solum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainase, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah (Damanik et al., 2010).

Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 150 LS dan 150 LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HH/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang. Pada dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak cocok untuk tumbuh tanaman karet. Suhu optimal diperlukan berkisar antara 250 C sampai 350C (Anwar, 2001).

(18)

Biologi Patogen Jamur Akar Putih (Rigidoporus macroporus (Swartz: Fr.)) Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) menurut Alexopoulus and Mins (1979) diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Mycetaceae Sub Divisio : Amestigomycots Kelas : Basidiomycetes Ordo : Homobasidiomycetes Famili : Polyperales

Genus : Rigidoporus

Spesies : Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.)

Tubuh buah berbentuk kipas tebal, agak berkayu, mempunyai zone-zone pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat yang radier, mempunyai tipe yang tipis. Warna permukaan atas tubuh buah dapat berubah tergantung dari umur dan kandungan airnya. Pada waktu masih muda berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan, dengan zone berwarna gelap yang agak menonjol. Permukaan bawah berwarna jingga, tepinya berwarna kuning jernih atau putih kekuningan. Tubuh buah yang tua umumnya ditumbuhi ganggang sehingga warnanya kehijauan. Jika tua atau kering tubuh buah menjadi suram, permukaan atasnya cokelat kekuningan pucat, permukaan bawahnya cokelat kemerahan. Tepinya menggulung ke bawah dan warnanya tidak kuning lagi (Semangun, 2006).

(19)

Gambar 1. Badan buah jamur R. microporus Sumber : (Rahayu, 2016).

Basidiospora bulat, tidak berwarna, dengan garis tengah 2,8-5,0µm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium pendek (buntak), lebih kurang 16x4,5-5,0 µm, tidak berwarna, mempunyai 4 sterigma (tangkai basidiospora). Diantara basidium-basidium terdapat banyak sistidium yang berbentuk gada, berdinding tipis dan tidak berwarna. Tetapi Pegler dan Waterston (1968, dalam Semangun, 2008) menyatakan bahwa R. lignosus tidak membentuk sistidium, yang membedakannya dengan R. zonalis (Semangun, 2008).

Gambar 2. Bentuk mikroskopis A. R. lignosus (R. microporus), B. basidium (a) dengan basidiospora (bs) dan sistidium (s).

Sumber : (Semangun, 2008)

Gejala Serangan

Penyakit ini dapat menyerang pada tanaman di pembibitan sampai tanaman menghasilkan. Tanaman yang terserang terlihat daun tajuknya pucat kuning dan tepi atau ujung daun tajuknya terlipat ke dalam. Kemudian daun gugur dan ujung

(20)

ranting menjadi mati. Adakalanya terbentuk daun muda atau bunga dan buah lebih awal. Pada perakaran tanaman sakit terdapat benang-benang berwarna putih dan agak tebal (rhizomorf). Jamur kadang-kadang membentuk badan buah mirip topi berwarna jingga kekuning-kuningan pada pangkal akar. Pada serangan berat akar tanaman menjadi busuk dan tanaman akan tumbang dan mati. Penyakit ini bisa

menular pada tanaman yang sehat disekitarnya melalui kontak akar (Purwanta et al., 2008).

Meskipun dapat timbul pada semua umur tanaman, namun penyakit akar putih lebih banyak terdapat di kebun muda. Tanaman yang sakit akar putih daun- daunnya menguning dan rontok. Pada pohon dewasa gugurnya daun-daun, yang disertai dengan matinya ranting-ranting, menyebabkan pohon mempunyai mahkota yang jarang. Pohon yang sakit kadang-kadang membentuk bunga danbuah sebelum masanya. Akar-akar busuk, sehingga pohon mudah rebah (Semangun, 2006).

Rhizomorph tumbuh dengan cepat dan menyebabkan busuk serta menyebar beberapa meter melalui tanah bebas hambatan dari substrat kayu. Perkembangan internal patogen busuk akar seperti karakteristik pertumbuhan ectotrophic. Pada titik infeksi, parasit menembus akar tunggang bawah tanah. Setelah infeksi akar, kolonisasi dalam akar tunggang berlangsung menuju daerah keras dan bagian lain dari akar. Kayu yang baru diserang berwarna kecoklatan setelah itu menjadi warna krim dan lembut. Hal ini menunjukkan memudarnya warna sepanjang

gradien dari depan terhadap jaringan yang dijajah sebelumnya. Pengaruh

R. lignosus menyebabkan putih busuk akar enzim ekstraseluler (Omorusi et al., 2014).

(21)

Daur Hidup Patogen

Jamur akar putih terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman sakit, atau dengan kayu-kayu yang mengandung jamur tadi. Agar dapat mengadakan infeksi pada akar yang sehat, jamur harus mempunyai alas makanan (food base) yang cukup. Dari akar-akar yang halus, yang tidak banyak mengandung kayu, misalnya akar-akar tanaman penutup tanah kacangan, jamur tidak mampu menginfeksi akar karet yang sehat (Semangun, 2008).

Berbeda dengan jamur-jamur akar lain, jamur akar putih dapat menular dengan perantaraan rizomorf. Kalau pada kebanyakan jamur akar rizomorf hanya menjalar pada permukaan akar, pada jamur akar putih rizomorf dapat menjalar bebas dalam tanah, terlepas dari akar atau kayu yang menjadi sumber makanannya. Rizomorf dapat menjalar sampai lebih kurang 180 cm, terutama sepanjang permukaan yang keras. Tetapi rizomorf hanay dapat mengadakan infeksi pada akar yang sehat bila masih bertumpu pada sepotong kayu yang menjadi alas makanannya (Semangun, 2006).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit JAP

Jamur akar putih dapat menyerang tanaman karet pada bermacam-macam umur. Namun seperti yang sudah diuraikan di muka, penyakit akar putih terutama

timbul di kebun-kebun muda. Pada umumnya gejala mulai tampak pada tahun ke-2. Sesudah tahun ke-5 atau ke-6 infeksi-infeksi baru mulai berkurang,

meskipun dalam kebun-kebun tua pun penyakit dapat berkembang terus (Semangun, 2008).

(22)

JAP terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat dengan akar tanaman sakit, atau dengan kayu-kayu yang mengandung JAP. Agar dapat mengadakan infeksi pada akar yang sehat, jamur harus mempunyai makanan yang cukup. JAP dapat menular dengan perantaraan rizomorf (Manurung et al., 2015).

Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa R. microporus dapat berkembang secara optimal pada kondisi pH netral dan pertumbuhan semakin terhambat pada pH media yang semakin bersifat asam. Pertumbuhan miselium jamur tidak berkembang pada pH 4.0 atau lebih kecil. Pertumbuhan optimal R.

microporus diperoleh pada media dengan pH antara 5,5-6,5. Potensi kejadian penyakit JAP pada suatu areal ditentukan oleh beberapa faktor kondisi lingkungan, antara lain kondisi vegetasi sebelumnya, tekstur atau struktur tanah, keasaman tanah, kadar air tanah, curah hujan per tahun dan topografi daerah (Setyawan et al., 2013).

Infeksi penyakit akar putih terjadi karena persinggungan akar sehat dengan sisa-sisa akar tanaman lama yang mengandung spora cendawan ini.

Penyebarannya bisa dengan bantuan angin yang menerbangkan spora ini. Spora yang jatuh di tunggul atau sisa tanaman yang mati akan membentuk koloni. Dari tunggul ini jamur menjalar ke akar dan akhirnya menginfensi akar-akar sehat di sekitarnya (Damanik et al., 2010).

Persiapan lahan juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi tingkat kejadian penyakit ini, terutama penyiapan lahan yang tidak tepat pada perkebunan karet rakyat. Pada umumnya persiapan lahan dilakukan tanpa adanya pembongkaran tunggul, petani hanya menebang, menebas dan biasanya diikuti

(23)

dengan pembakaran. Sebaliknya pada perkebunan besar, persiapan lahan telah dilakukan dengan baik. Semua tunggul dan sisa-sisa akar yang dicabut dan dibersihkan secara mekanik kemudian dibakar. Namun dengan adanya larangan pembakaran pada saat persiapan lahan oleh pemerintah, tunggul dan sisa-sisa akar ditumpuk di areal gawangan. Tumpukan tersebut berpotensi menjadi sumber inokulum JAP pada pertanaman yang baru dan kondisi ini akan meningkatkan tingkat kejadian penyakit JAP (Setyawan et al., 2013).

Pengendalian Penyakit JAP

Sejak lama pengendalian penyakit ini lebih menekankan pada penggunaan bahan kimia atau fungisida, tetapi untuk sekarang ini banyak yang telah menyadari bahwa penggunaan bahan kimia terus-menerus dapat mengakibatkan efek negatif pada lingkungan. Penggunaan fungisida kimia dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan mikroorganisme penting dalam tanah, resistensi patogen

terhadap bahan kimia, polusi, dan meninggalkan residu dalam tanah (Damiri et al., 2014).

Pengendalian penyakit JAP umumnya menggunakan fungisida berbahan aktif triadimefon, yaitu bahan kimia yang memiliki potensi efek toksik kumulatif yang rendah terhadap tanaman, tetapi diduga memiliki efek toksik cukup tinggi terhadap manusia . Oleh sebab itu, perlu dicari teknologi pengendalian yang lebih ramah lingkungan, di antaranya adalah penggunaan agens hayati dan fungisida nabati. Saat ini penggunaan agens hayati dan fungisida nabati mulai dilakukan

untuk mengatasi permasalahan penyakit JAP pada tanaman karet (Nasrun dan Nurmansyah, 2015)

(24)

Agen biokontrol terutama cendawan antagonis dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman sampai 90% dengan aplikasi berupa formulasi

yang menggunakan beberapa strains Trichoderma, seperti T. harzianum, T. virens, dan T. viridae. Hasil penelitian Amaria et al. (2013) menunjukkan

bahwa cendawan T. harzianum, T. viridae, dan P. lilacinus merupakan cendawan antagonis potensial untuk mengendalikan penyakit jamur akar putih pada tanaman karet. Hasil penelitian Morsy et al. (2009) dan Liu et al. (2009) memperlihatkan bahwa kombinasi cendawan Trichoderma dan B. subtilis dapat mengendalikan penyakit akar (Kusdiana et al., 2015).

Pengendalian hayati dengan pemanfaatan mikroorganisme antagonis merupakan alternatif yang saat ini banyak diteliti dan digunakan sebagai pengendalian penyakit tanaman. Agrios (2005) menjelaskan bahwa pengendalian hayati merupakan perlindungan tanaman dari patogen termasuk penyebaran mikroorganisme antagonis pada saat setelah atau sebelum terjadinya infeksi patogen. Sinaga (2006) menambahkan bahwa introduksi agens hayati antagonis berpotensi mengendalikan patogen tular tanah, yaitu menekan inokulum, mencegah kolonisasi, melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi patogen. Selain itu secara langsung dapat menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi terhadap ruang dan atau nutrisi, menginduksi proses ketahanan tanaman (Amaria et al., 2013).

Cendawan Endofit

Cendawan endofit disebut juga sebagai mikosimbion endofitik merupakan cendawan yang melakukan kolonisasi dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala sakit (Petrini 1992). Sedangkan menurut Sinclair dan

(25)

Cercauskas (1996) mendefinisikan endofit sebagai mikroorganisme yang hidup dalam tumbuhan lain. Clay (1988) mengatakan bahwa cendawan endofit adalah cendawan yang terdapat di dalam sistem jaringan tumbuhan, seperti daun, bunga, ranting ataupun akar tumbuhan (Khairy, 2012).

Suatu jenis cendawan, untuk dapat ditetapkan sebagai agen hayati pengendali patogen tanaman harus dilakukan pengujian keefektifannya dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya secara in vitro dalam cawan petri. Jika menunjukkan potensi antagonis dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan patogen, dilakukan pengujian lanjutan ke lapang sehingga dapat dikembangkan secara komersial. Mekanisme antagonis yang sering terjadi adalah parasit, antibiosis, lisis, dan kompetisi (Octriana, 2011).

Cendawan endofit adalah cendawan yang menginfeksi jaringan tanaman tanpa menyebabkan penyakit. Secara harfiah endofit berarti suatu organisme yang hidup dalam tubuh organisme lain. Beberapa cendawan yang tergolong cendawan endofit adalah Cylindrocarpon sp., Neonectria sp., Fusarium oxysporum, Hypocrea lixii, Trichoderma hamatum, Fusarium sp., Botryosphaeria parva, Pyronema domesticum, Glomerella sp., Cladosporium sp., Lasiodiplodia sp., Fusarium solani, Neonectria macrodydima, Glionectria tenuis, Diaporthe sp., Penicillium sp., Penicillium crustosum, Pestalothiopsis sp., Penicillium commune, Alternaria sp. (Hakizimana et al., 2011).

Salah satu cendawan endofit yang memiliki kemampuan sebagai pengendali hayati adalah Aspergillus. Cendawan ini dikenal sebagai salah satu mikroorganisme yang memiliki kemampuan tinggi untuk menghasilkan enzim asparaginase ,selulase, proteinase, lipase, katalase, glukosa oksidase dan fitase,

(26)

sehingga berpotensi sebagai pengendali hayati. Aspergillus dapat tumbuh cepat dengan menggunakan nutrisi yang ada disekelilingnya (Ratnasari et al., 2014).

Mekanisme pengendalian Trichoderma spp. terhadap jamur pathogen tumbuhan yaitu dengan kompetisi terhadap tempat tumbuh dan nutrisi, antibiosis, dan parasitisme. Antibiosis mempunyai peran penting dalam proses pengendalian dan hampir selalu terkait dengan mekanisme lain yaitu kompetisi dan mikoparasitisme. Satu mekanisme penghambatan yang dimiliki Trichoderma spp.

tidak dapat bekerja sendiri untuk menghasilkan penghambatan yang signifikan (Berlian et al., 2013).

Cendawan endofit melindungi tanaman dari serangan patogen melalui mekanisme kompetisi, induksi resistensi, antagonisme, dan mikoparasit.

Cendawan ini juga dapat menginduksi respon metabolisme inang, sehingga menjadi resisten terhadap patogen tanaman sehingga produksi meningkat.

Interaksi antara cendawan endofit dan akar kemungkinan mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen yang berada pada bagian atas tanaman.

Cendawan ini mampu mempengaruhi fisiologis tanaman seperti tahan terhadap stress air (kekeringan), beberapa dari cendawan ini menghasilkan dan obat anti tumor (Azevedo et al., 2000). Cendawan endofit dalam jaringan tanaman menyebabkan terinduksinya metabolit sekunder yang mampu menghambat cendawan lain (Wilia et al., 2011).

Cendawan Aspergillus niger memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen karena memproduksi enzim hidrolitik seperti lipase, protease, selulase, pectinase (Schuster et al., 2002). Cendawan A. niger juga menghasilkan enzim ekstraseluler diantaranya enzim kitinase, α-amilase, ß-

(27)

amilase, glukoamilase, katalase, laktase, invertase. Mekanisme penghambatan cendawan Aspergillus sp. yaitu dengan menghasilkan enzim khitinase dan ß-1, 3 glucanase (Laminarinase) yang mempunyai kemampuan untuk memecah komponen dinding sel cendawan patogen (Ratnasari et al., 2014).

Cendawan endofit pada tanaman dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang sama dengan inangnya. Metabolit yang dihasilkan diduga karena adanya koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inang dengan cendawan endofit. Cendawan endofit yang diisolasi dari suatu tanaman dapat menghasilkan metabolit yang sama dengan tanaman inangnya bahkan dalam jumlah yang lebih banyak (Radji, 2005). Senyawa metabolit yang dihasilkan cendawan endofit merupakan senyawa bioaktif dan dapat berguna dalam menghambat dan mengendalian pertumbuhan cendawan patogen terutama cendawan patogen.

Pemanfaatan metabolit cendawan endofit untuk perlakuan pada benih dapat meningkatkan mutu benih dan mengurangi kejadian penyakit di lapangan. Hal ini disebabkan karena kandungan senyawa kimia metabolit cendawan endofit yang dapat bersifat antibakteri dan anticendawan (Sukapiring, 2015).

Menurut Baker dan Cook (1982), pada umumnya mekanisme anatagonisme Trichoderma spp. dalam menekan patogen yaitu sebagai mikoparasitik dan competitor yang agresif. Awalnya, hifa Trichoderma spp. tumbuh memanjang, kemudian membelit dan mempenetrasi hifa jamur inang sehingga hifa inang mengalami vakoulasi, lisis dan akhirnya hancur. Menurut Harjono dan Widyastuti (2001), Trichoderma spp. melakukan penetrasi ke dalam dinding sel inang dengan bantuan enzim pendegradasi dinding sel yaitu kitinase, glukanase, dan protease, selanjutnya menggunakan isi hifa inang sebagai sumber makanan. Pada saat

(28)

melilit dan menghasilkan enzim untuk menembus dinding sel inang,

Trichoderma sp. juga menghasilkan antibiotik seperti gliotoksin dan viridian (Berlian et al., 2013).

Pemakaian herbisida yang tidak tepat dan penggunaan herbisida yang sama secara terus menerus dapat memberikan pengaruh negarif terhadap kesehatan manusia, tumbuhan, dan hewan. Kekeliruan aplikasi herbisida dan residunya dapat memberikan efek negatif terhadap diversitas biota tanah dan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa aplikasi herbisida Parakuat membuat gejala penyakit busuk pangkal batang pada lada muncul lebih cepat, meningkatkan keparahan penyakit, mengurangi pertumbuhan lada, dan mengurangi populasi agens hayati (Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.) di dalam tanah (Majid et al., 2014).

(29)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman , Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan pada bulan September 2017 sampai dengan Februari 2018 .

Tanaman karet yang dieksplorasi berasal dari Kabupaten Asahan Kecamatan Simpang Empat yaitu di Desa Kampung Baru dan Desa Silomlom, dan Kecamatan Air Batu yaitu Desa Sei Pulo Pale.

Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gelas ukur, petridish, cork borer, objek gelas, cool box, ember, beker gelas, batang pengaduk, pinset, jarum inokulasi, kaca pereparat, kotak inokulasi, kantong plastik, shaker, oven, laminar air flow, hot plat, tabung gas, timbangan, mikroskop compound, cangkul, kalkulator, buku data, kamera, meteran serta alat – alat yang mendukung lainnya.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman karet yang sehat, aquadesh, alkohol 70 %, media Potato Dextrose Agar (PDA), ethanol, kholorox 5%, imersi oil, methil blue, tissue, kertas label, kertas stencil, aluminium foil, spritus, cling wrap serta bahan-bahan yang mendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam 2 metode penelitian yaitu metode survei untuk di lapangan dan metode eksperimen untuk di laboratorium. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap pengambilan sampel dilapangan, tahap isolasi cendawan endofit, dan tahap uji antagonis.

(30)

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel yaitu metode survei.

Pengambilan sample dilakukan secara sampling dengan metode purposive random sampling (acak) dengan menetapkan tiga kebun di Desa Sei Pulo Pale, Desa Kampung Baru, dan Desa Silomlom. Sampel akar tanaman sehat yang berada disekitar tanaman yang terserang JAP diambil untuk di amati di Laboratorium.

Pada tahap uji antagonis digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 2 perlakuan yaitu cendawan endofit dari perakaran tanaman Karet dan cendawan patogen Jamur Akar Putih (JAP) (R. microporus ) dengan 3 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Rancangan digunakan untuk melihat uji penghambatan terhadap R. microporus secara in vitro.

Pelaksanaan Penelitian

Pegambilan Sampel Tanaman

Penetapan sampel tanaman berdasarkan pengamatan gejala serangan JAP di tiga kebun yaitu di Kecamatan Simpang Empat Desa Kampung Baru dan Desa Silomlom, dan Kecamatan Air Batu Desa Sei Pulo Pale.

Lalu di ambil sampel dengan jalan membongkar tanah di sekitar dan di ambil akar tanaman sehat sebagai sampel dari dua arah, akar di ambil secukupnya dan dimasukkan dalam kantong plastik yang telah disediakan dan diberi label.

Bagian akar yang di ambil sebagai sampel di simpan pada coolbox selanjutnya di bawa ke Laboratorium Penyakit Tanaman FP USU.

Isolasi Cendawan

Metode yang digunakan untuk isolasi cendawan non patogen (endofit) pada bagian akar dilakukan berdasarkan metode Gandjar dan Syamsurizal (2006) yang dimodifikasi, yaitu masing-masing sampel akar dicuci dengan air mengalir

(31)

sampai bersih dan dikeringkan dengan kertas tissue. Sampel akar dipotong secara aseptik dengan pisau menjadi potongan-potongan kurang lebih 1 cm, kemudian dicuci selama 10 menit dengan air kran yang mengalir. Permukaan potongan disterilkan dengan cara merendam dalam alkohol 70% selama 2 menit, 5%

khlorox selama 3 menit, alcohol 70% selama 30 detik dan akuades steril selama 3 menit, selanjutnya dikeringkan dengan kertas tissue steril. Sampel akar dibelah dua, dan setiap potongan diletakkan di atas permukaan agar, sampel ditekan sedikit, kemudian diinkubasi.

Identifikasi Cendawan Endofit

Biakan murni cendawan di identifikasi dengan metode biakan slide (slide culture) untuk mengetahui genus masing-masing isolat. Identifikasi cendawan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis dengan menggunakan buku panduan klasifikasi Barnett and Hunter (1987) dan Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi Watanabe (2002). Pengamatan makroskopis meliputi warna koloni, bentuk koloni, tekstur koloni dan pertumbuhan koloni. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis antara lain, hifa bersekat atau tidak bersekat, pertumbuhan hifa (beranting atau tidak beranting), warna hifa (gelap atau hialin transparan), warna konidia (gelap atau hialin transparan), ada tidaknya konidia dan warna bentuk konidia (bulat, lonjong, berantai atau tidak beraturan).

Uji Antagonis terhadap JAP

Pengujian daya antagonis cendwan dilakukan dengan metode biakan ganda (dual culture) (Dharmaputra dkk., 1999), yaitu dengan cara mengambil masing- masing cendawan biakan murni R. microporus dan cendawan endofit uji menggunakan cork borer berdiameter 5mm. Kemudian diinokulasikan pada

(32)

cawan petri yang berisi media PDA secara berhadapan dengan jarak 3 cm (Gambar 3).

Gambar 3. Skema penempatan cendawan patogen dengan cendawan endofit dengan metode dual culture.

Keterangan:

A : Koloni cendawan endofit B : Koloni cendawan R. microporus

R1 : Jari-jari koloni cendawan R. microporus yang menjauhi jamur endofit R2 : Jari-jari koloni cendawan R. microporus yang mendekati jamur endofit Peubah Amatan

Persentase Hambatan Pertumbuhan Koloni Cendawan Patogen

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni cendawan patogen.

Penghambatan pertumbuhan miselium cendawan patogen oleh cendawan endofit dihitung berdasarkan rumus :

P = R1 – R2 x 100%

R1 Keterangan :

P : Persentase hambatan (%)

R1 : Jari-jari koloni cendawan R. microporus yang menjauhi jamur endofit R2 : Jari-jari koloni cendawan R. microporus yang mendekati jamur endofit

R2

A B

3cm 3cm

R1

3cm

(33)

Data diperoleh dengan mengamati dan mengukur diameter pertumbuhan koloni cendawan patogen dan cendawan endofit yang terbentuk setiap hari sampai 7 hari setelah inokulasi (hsi).

Luas Pertumbuhan Cendawan

Data diperoleh dengan cara menggambar pola luas pertumbuhan jamur keduanya pada plastik transparan, digunting sesuai pertumbuhan dan diukur dengan menggunakan kertas millimeter setiap hari sampai 7 hari setelah inokulasi (hsi).

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Awal Hasil Eksplorasi Cendawan Endofit dari Akar Tanaman Karet (H. brasiliensis)

Dari hasil eksplorasi diperoleh cendawan sebanyak 6 isolat dari desa Kampung Baru, 8 isolat dari desa Pulau Pale, dan 8 isolat dari desa Silomlom.

Tabel 1. Isolat hasil eksplorasi dari desa Kampung Baru, Pulau Pale, dan Silomlom

Nama Isolat Asal Isolat (Desa)

Kampung Baru Pulau Pale Silomlom

Rhizoctonia sp. -  

Penicillium sp. -  -

Gliocladium sp.   -

Trichoderma sp.   

Gliocladium sp. -  

Aspergillus sp. -  

Rhizopus sp. -  -

Trichoderma sp.   -

Fusarium sp.  - 

Mucor sp. - - 

Trichoderma sp.  - 

Trichoderma sp.  - 

Total 6 8 8

Keterangan :

 : ada - : tidak ada

6 (enam) isolat cendawan yang diperoleh dari desa Kampung Baru terdiri dari 3 (tiga) genus cendawan yaitu Gliocladium, Fusarium, dan 4 jenis cendawan dari genus Trichoderma. Dari desa Pulau Pale diperoleh 8 isolat cendawan yang terdiri dari 6 genus cendawan yaitu Rhizoctonia, Penicillium, Aspergillus, Rhizopus, Fusarium, 2 jenis dari genus Gliocladium, dan 2 jenis dari genus Trichoderma. Sedangkan dari desa Silomlom diperoleh 8 isolat cendawan yang terdiri dari 6 genus cendawan yaitu Rhizoctonia, Gliocladium, Aspergillus, Fusarium, Mucor, dan 3 jenis dari genus Trichoderma.

(35)

Cendawan pada tiga desa tempat pengambilan sampel memiliki jenis yang berbeda-beda. Perbedaan cendawan endofit yang diisolasi dari organ tanaman yang sama dari tempat pengambilan sampel yang berbeda berkaitan dengan aspek budidaya yang merupakan proses dalam meningkatkan produksi suatu tanaman misalnya penggunaan pupuk dan pestisida. Dari ketiga desa tersebut, desa Pulau Pale memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan desa lain.

Diketahui bahwa dari ketiga desa hanya desa Pulo Pale yang tidak melakukan penyemprotan herbisida serta pengendalian yang dilakukan dengan teknik kultur teknis (lihat lampiran 4). Menurut Majid et al (2014) kekeliruan aplikasi herbisida dan residunya dapat memberikan efek negatif terhadap diversitas biota tanah dan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa aplikasi herbisida Parakuat membuat gejala penyakit busuk pangkal batang pada lada muncul lebih cepat, meningkatkan keparahan penyakit, mengurangi pertumbuhan lada, dan mengurangi populasi agens hayati (Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.) di dalam tanah.

Hasil identifikasi dari 12 isolat diperoleh 8 genus cendawan . 8 genus tersebut yaitu Rhizoctonia sp., Penicillium sp., Gliocladium sp., Trichoderma sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp., Mucor sp. dan Fusarium sp (lihat Tabel 1).

Identifikasi cendawan dilakukan dengan mengamati karakteristik makroskopis cendawan pada media PDA dan karakteristik mikroskopis dengan menggunakan mikroskop cahaya serta mengacu pada buku Pictorial Atlas of Soil and Seed

Fungi (Watanabe, 2002) dan Illustrated Genera Of Imperfect Fungi (Barnett and Hunter,1987).

(36)

Genus Makroskopis Mikroskopis

Rhizoctonia sp.

(CE1)

a

Penicillium sp.

(CE2)

d c b

Gliocladium sp.

(CE3)

d c b

Trichoderma sp.

(CE4)

d c b

Gliocladium sp.

(CE5)

d c b a

(37)

Aspergillus sp.

(CE6)

d g b

Rhizopus sp.

(CE7)

d

b e

Trichoderma sp.

(CE8)

d c d

Fusarium sp.

(CE9)

f

Mucor sp.

(CE10)

d b

(38)

Trichoderma sp.

(CE11)

d c b

Trichoderma sp.

(CE12)

d c b a

Gambar 4. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis isolat cendawan

Keterangan : (a). Hifa, (b). Konidiofor, (c). Fialid, (d). Konidia, (e). Rhizoid, f). Makrokonidia, (g.) Vesikel.

Secara umum dapat dilihat bahwa isolat cendawan endofit yang diperoleh memiliki karakteristik yang berbeda (Gambar 4) Isolat CE1 merupakan kelompok Rhizoctonia yang mempunyai koloni berwarna cokelat dengan pertumbuhan yang membumbung keatas serta berkembang lambat di media PDA. Pengamatan mikroskopis menunjukkan hifa nya bersekat dan membentuk sudut lancip. Isolat CE2 merupakan kelompok Penicillium yang mempunyai ciri koloni berwarna merah bata. Memiliki hifa yang bersekat, konidiofor panjang dan konidia bulat membentuk rantai diujung fialid.

Isolat CE3 dan CE5 merupakan Gliocladium dengan ciri koloni berwarna hijau muda dan pertumbuhan yang sangat cepat. Secara mikroskopis konidiofornya hialin dan bercabang dengan konidia yang kecil. Perbedaan dari 2 jenis Gliocladium ini terletak pada konidiofor isolat CE3 lebih panjang dari isolat CE5. Selain itu warna koloni CE3 hijau tua sedangkan CE5 koloninya berwarna

(39)

Isolat CE4, CE8, CE11, dan CE12 merupakan kelompok Trichoderma yang mempunyai koloni berwarna hijau, menyebar kesegala arah dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Memiliki konidia berbentuk oval, konidiofor bercabang dan terdapat fialid disetiap cabangnya. Perbedaan dari 4 jenis Trichoderma ini adalah dari warna koloninya dimana isolat CE4 memiliki koloni berwarna putih dengan pertumbuhan yang tipis sedangkan CE8 berwarna putih dan pertumbuhan yang agak tebal. Isolat CE11 dan CE12 sama-sama berwarna hijau dengan membentuk lingkaran yang konsentris, perbedaannya terletak pada ketebalan lingkarannya saja.

Isolat CE6 merupakan kelompok Aspergillus dengan warna koloni hijau muda, berupa titik-titik spora cendawan, dan menyebar tidak teratur ke segala arah. Hifanya bersekat dengan konidifor panjang dan tunggal serta membengkak (visikel). Isolat CE7 merupakan Rhizopus dengan warna koloni putih dan diatasnya terdapat bintik hitam. Hifanya tidak bersekat, memiliki rizoid dan sporangiospora.

Isolat CE10 kelompok Mucor mempunyai ciri koloni berwarna hijau dengan tepi putih dan pertumbuhannya sangat cepat. Secara mikroskopis menunjukkan hifanya hialin dan bersekat serta konidia yang membulat dijung konidiofor dan berwarna hitam. Isolat CE9 kelompok Fusarium memiliki koloni berwarna putih dengan ciri mikroskopis memiliki makrokonidia hialin berbentuk sabit dan bersekat.

(40)

Diameter Koloni Cendawan Endofit dan Patogen

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pertambahan diameter koloni cendawan endofit berbeda antara masing-masing cendawan.

Gambar 4. Grafik Pertumbuhan Diameter Koloni Isolat Cendawan Endofit dan Patogen.

Keterangan : JAP : Isolat cendawan R. microporus

C1-C1: Isolat cendawan Rhizoctonia sp., Penicillium sp., Gliocladium sp., Trichoderma sp., Gliocladium sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp., Trichoderma sp., Fusarium sp., Mucor sp., Trichoderma sp., Trichoderma sp.

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa diameter pertumbuhan koloni

cendawan endofit tertinggi yaitu dari genus Trichoderma sp. (CE4), Gliocladium sp. (CE5), Rhizopus sp. (CE7), Trichoderma sp. (CE8), dan

Trichoderma sp. (CE11) sebesar 9 cm dimana dihari keempat sudah memenuhi cawan petri. Sedangkan diameter pertumbuhan koloni cendawan endofit terendah yaitu dari genus Rhizoctonia sp. (CE1) dimana pada pengamatan hari ketujuh

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00

1hsi 2hsi 3hsi 4hsi 5hsi 6hsi 7hsi

JAP CE1 CE2 CE3 CE4 CE5 CE6

CE7 CE8 CE9 CE10 CE11 CE12

(41)

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan cendawan endofit lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan patogen. Kecepatan pertumbuhan cendwan endofit ini menandakan bahwa cendawan tersebut dapat digunakan sebagai agens hayati. Hal ini sesuai literatur Amaria et al ( 2013) yang menyatakan bahwa introduksi agens hayati antagonis berpotensi mengendalikan patogen tular tanah, yaitu menekan inokulum, mencegah kolonisasi, melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi patogen. Selain itu secara langsung dapat menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi terhadap ruang dan atau nutrisi, menginduksi proses ketahanan tanaman.

Luas Pertumbuhan Koloni Cendawan Endofit dan Patogen

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai luas pertumbuhan cendawan endofit berpengaruh sangat nyata terhadap R. microporus. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

(42)

Tabel 2. Luas pertumbuhan cendawan endofit yang diaplikasikan bersama R. microporus di laboratorium (cm2)

Perlakuan Pengamatan-

1Hsi 2Hsi 3Hsi 4Hsi 5Hsi 6Hsi 7Hsi

JAP 0.28 hij 4.52 hijk 14.05 bcd 34.84 cd 56.27 ab 63.59 a 63.59 a

CE1 0.05 j 1.14 lm 3.09 gh 5.93 mn 9.57 hi 15.17 ef 17.96 e

CE2 0.13 ij 0.40 m 2.53 h 4.54 n 6.13 ij 10.08 ef 12.02 fg

CE3 2.14 abcd 13.66 def 24.89 b 39.16 c 44.76 c 50.02 b 57.50 b

CE4 3.37 a 28.17 a 54.49 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a

CE5 2.33 abc 24.33 abc 50.59 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a

CE6 0.63 efghij 2.72 jklm 11.04 cdef 22.22 fghi 30.82 de 41.36 b 53.46 b

CE7 3.09 ab 20.61 bcd 50.60 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a

CE8 1.06 cdefgh 17.76 bcd 54.85 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a 63.59 a

CE9 0.32 hij 2.80 jklm 7.57 defg 15.77 ijkl 25.66 ef 43.28 bc 63.59 a

CE10 0.86 efghij 6.85 ghij 14.51 bcde 32.55 cde 63.59 ab 63.59 a 63.59 a

CE11 3.11 a 27.88 ab 50.89 a 63.59 a 63.59 ab 63.59 a 63.59 a

CE12 0.89 defghi 15.10 cde 49.47 a 55.58 b 63.59 b 63.59 a 63.59 a

CE1+JAP 2.14 abcd 10.33 efg 18.59 b 28.80 def 34.92 d 40.33 bc 42.92 c

CE2+JAP 1.5 cdef 12.83 def 21.25 b 35.92 cd 38.33 cd 42.50 bc 43.42 c

CE3+JAP 1.33 cdefg 9.92 efg 15 bcd 20.17 ghij 31.33 de 31.50 cd 31.50 d

CE4+JAP 2.03 abc 8.90 efgh 9.92 cde 18.42 hijk 18.42 fg 18.42 de 18.42 e

CE5+JAP 1.27 cdefg 5.42 ghij 6.33 efgh 7.17 mn 7.17 ij 7.17 ef 7.17 gh

CE6+JAP 0.47 ghij 3.50 ijkl 7.58 defg 13.75 jklm 15.33 gh 15.67 ef 15.67 ef

CE7+JAP 0.54 fghij 4 ijkl 8.67 cdefg 9.83 lmn 11.83 ghi 11.83 ef 11.83 fg

CE8+JAP 0.70 efghij 5.08 ghijk 8.67 cdefg 11.60 klmn 15.28 gh 15.28 ef 15.28 ef

CE9+JAP 1.57 bcde 8.15 fghi 15.58 bc 27.87 defg 32.33 de 34.33 c 34.33 d

CE10+JAP 0.63 efghij 4.40 hijk 12.67 bcde 25.92 efgh 32.88 de 32.88 c 32.88 d

CE11+JAP 0.67 efghij 1.50 klm 3.40 fgh 3.40 n 3.40 j 3.40 f 3.40 h

CE12+JAP 0.33 hij 3.17 jklm 3.43 fgh 3.43 n 3.43 j 3.43 f 3.43 h

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji darak Duncan pada taraf 5%

CE1 : Rhizoctonia sp., CE2 : Penicillium sp., CE3 : Gliocladium sp., CE4 : Trichoderma sp., CE5 : Gliocladium sp., CE6 : Aspergillus sp., CE7 : Rhizopus sp., CE8 : Trichoderma sp., CE9 : Fusarium sp., CE10 : Mucor sp., CE11 : Trichoderma sp., CE12 : Trichoderma sp.

(43)

Berdasarkan hasil uji beda rataan diketahui bahwa luas pertumbuhan pada 4

hsi perlakuan CE4 (Trichoderma sp.), CE5 (Gliocladium sp.), CE7 (Rhizopus sp.), CE8 (Trichoderma sp.), dan CE11 (Trichoderma sp.) berbeda

nyata dengan perlakuan yang lain. Luas pertumbuhan cendawan endofit perlakuan

tunggal tertinggi pada 7 hsi terdapat pada perlakuan CE4 (Trichoderma sp.),

CE5 (Gliocladium sp.), CE7 (Rhizopus sp.), CE8 (Trichoderma sp.), CE9 (Fusarium sp.), CE10 (Mucor sp.), C11 (Trichoderma sp.), CE12 (Trichoderma sp.) yaitu sebesar 63,59 cm2 dan terendah terdapat pada

perlakuan CE2 (Penicillium sp.) sebesar 12,02 cm2. Sedangkan luas pertumbuhan perlakuan kombinasi tertinggi terdapat pada perlakuan CE2+JAP (Penicillium sp.

+ R. microporus) sebesar 43,42 cm2 dan terendah terdapat pada perlakuan CE11+JAP (Trichoderma sp.+ R. microporus) sebesar 3,40 cm2.

Perkembangan luas koloni patogen terhambat dengan kehadiran cendawan endofit, terlihat pada perlakuan CE11+ JAP (Trichoderma sp.+ R. microporus) di 3 hsi luas koloni R. microporus hanya mencapai 3,40 cm2 dan tidak ada peningkatan sampai 7 hsi. Hal ini diduga karena adanya cendawan endofit Trichoderma sp. yang menghambat pertumbuhan patogen tersebut melalui mekanisme mikoparasit, antibiosis, dan persaingan ruang dan nutrisi. Menurut Berlian et al (2013) mekanisme pengendalian Trichoderma spp. terhadap jamur patogen tumbuhan yaitu dengan kompetisi terhadap tempat tumbuh dan nutrisi, antibiosis, dan parasitisme. Antibiosis mempunyai peran penting dalam proses pengendalian dan hampir selalu terkait dengan mekanisme lain yaitu kompetisi dan mikoparasitisme.

(44)

Cendawan yang memiliki luas pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan cendawan lain mempunyai daya hambat yang besar terhadap pertumbuhan patogen. Dengan pertumbuhan cendawan endofit yang lebih cepat daripada patogen R. microporus cendawan tersebut dapat digunakan sebagai pengendali pertumbuhan patogen tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Sukapiring (2015) yang menyatakan bahwa cendawan endofit yang diisolasi dari suatu tanaman dapat menghasilkan metabolit yang sama dengan tanaman inangnya bahkan dalam jumlah yang lebih banyak. Senyawa metabolit yang dihasilkan cendawan endofit merupakan senyawa bioaktif dan dapat berguna dalam menghambat dan mengendalian pertumbuhan cendawan patogen terutama cendawan patogen

Persentase Daya Hambatan (Inhibiting Zone)

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai daerah hambatan cendawan endofit berpengaruh nyata terhadap R. microporus secara in vitro pada 7 hsi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Daerah hambatan cendawan endofit terhadap R. microporus (%)

Perlakuan Daya Hambat (%) Notasi

CE6 (Aspergillus sp.) vs JAP 81.11 a

CE7 (Rhizopus sp.) vs JAP 78.89 ab

CE12 (Trichoderma sp.) vs JAP 73.72 abc

CE8 (Trichoderma sp.) vs JAP 73.33 abc

CE5 (Gliocladium sp.) vs JAP 73.18 abc

CE4 (Trichoderma sp.) vs JAP 71.11 abc

CE11 (Trichoderma sp.) vs JAP 69.58 abc

CE3 (Gliocladium sp.) vs JAP 66.67 bc

CE10 (Mucor sp.) vs JAP 61.11 cd

CE1 (Rhizoctonia sp.) vs JAP 49.84 de

CE2 (Penicillium sp.) vs JAP 44.44 e

CE9 (Fusarium sp.) vs JAP 43.33 e

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji darak Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkan hasil uji beda rataan diketahui bahwa persentase daya hambat

(45)

CE7 (Rhizopus sp.) 78,89%, CE12 (Trichoderma sp.) 73,72%, CE8 (Trichoderma sp.) 73,33%, CE5 (Gliocladium sp.) 73,18%, CE4 (Trichoderma sp.) 71,11%, dan CE11 (Trichoderma sp.) 69,85%. Adapun daya

hambat perlakuan lainnya berturut-turut yaitu CE3 (Gliocladium sp.) 66,67%, CE10 (Mucor sp.) 61,11%, CE1 (Rhizoctonia sp.) 49,84%, CE2 (Penicillium sp.) 44,44% , dan CE9 (Fusarium sp.) 43,33%.

Dari pengamatan 7 hsi menunjukkan bahwa R. microporus terhambat pertumbuhannya karena adanya cendawan endofit. Daya hambatan tertinggi terdapat pada perlakuan CE6 (Aspergillus sp.) yaitu sebesar 81,11% sedangkan daya hambatan terendah terdapat pada perlakuan CE9 (Fusarium sp.) sebesar 43,33%. Hal ini menunjukkan bahwa Aspergillus sp. (CE6) merupakan cendawan yang memiliki kemampuan terbaik dalam mengendalikan R. microporus dibandingkan dengan cendawan lainnya. Menurut Ratnasari et al (2014) cendawan Aspergillus niger memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen karena memproduksi enzim hidrolitik seperti lipase, protease, selulase, pectinase (Schuster et al., 2002). Cendawan A. niger juga menghasilkan enzim ekstraseluler diantaranya enzim kitinase, α-amilase, ß- amilase, glukoamilase, katalase, laktase, invertase. Aspergillus dapat tumbuh cepat dengan menggunakan nutrisi yang ada disekelilingnya.

Secara visual dapat dilihat pertumbuhan cendawan Aspergillus sp. (CE6) menyebabkan terhambatnya pertumbuhan cendawan R. microporus.

Penghambatan tersebut bisa terjadi karena adanya persaingan ruang tumbuh dan nutrisi yang ada dalam media tumbuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa Aspergillus sp. (CE6) berpotensi sebagai agens hayati dalam mengendalikan

(46)

patogen cendawan R. microporus. Menurut Octriana (2011) suatu jenis cendawan, untuk dapat ditetapkan sebagai agen hayati pengendali patogen tanaman harus dilakukan pengujian keefektifannya dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya secara in vitro dalam cawan petri. Jika menunjukkan potensi antagonis dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan patogen, dilakukan pengujian lanjutan ke lapang sehingga dapat dikembangkan secara komersial.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dari 12 isolat yang berhasil didentifikasi didapatkan sebanyak 8 genus cendawan yaitu Rhizoctonia sp., Penicillium sp., Gliocladium sp., Trichoderma sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp., Mucor sp. dan Fusarium sp.

2. Cendawan dari genus Aspergillus sp. memiliki kemampuan terbaik dalam

menghambat pertumbuhan R. microporus dengan daya hambat sebesar 81,11 %.

3. Akar tanaman karet mengandung cendawan endofit yang mampu menghambat pertumbuhan patogen Jamur Akar Putih (R.microporus).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjut penggunaan isolat cendawan endofit terhadap penyakit jamur akar putih pada tanaman karet di lapangan.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Elsevier Academic Press.

USA. 922 p.

Alexopoulus, C.J., C. W. Mims and M. Blackwell, 1996. Introduction Micology 4 Edition John Wiley and Sons, New York.869 p.

Amaria, W., E. Taufik, dan R. Harni. 2013. Seleksi Dan Identifikasi Jamur Antagonis Sebagai Agens Hayati Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus) Pada Tanaman Karet. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.

_________,dan E. Wardiana. 2014. Pengaruh Waktu Aplikasi dan Jenis Trichoderma Terhadap Penyakit Jamur Akar Putih Pada Bibit Tanaman Karet. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar. J. TIDP 1(2), 79- 86.

Anwar, C. 2001. Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet, Medan.

Azevedo JL, Maccheroni JR, Pereira JO, Araujo WL. 2000. Endophytic microorganism: a review on insect control and recent advances on tropical plants. Elect. Journal. Biotech. 3:1-4.

Badan Pusat Satistik. 2016. Statistika Karet Indonesia 2015.

[Diunduh 13 April 2017]. Tersedia pada:

http://www.bps.go.id./website/pdf_publikasi/Statistik-Karet-Indonesia- 2015--.

Badan Pusat Statistik. 2017. Luas Tanaman dan Produksi Karet Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan. [diunduh 15 April 2017].

Tersedia pada : https://asahankab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/162.

Baker, K. F. dan R. J. Cook. 1982. Biological control of plant pathogens. The American Phytopathology Society. Minnessota Fravel.

Barnett, H. L. and B. B. Hunter. 1987. Illustrated Genera of Imperfect Fungi.

Fourth Edition. APS Press. St. Paul. Minnesota. 218p.

Berlian, I., B. Setyawan, dan H. Hadi. 2013. Mekanisme Antagonisme Trichoderma spp. Terhadap Beberapa Patogen Tular Tanah. Warta Perkaretan 2013 32(2) :74-82.

Clay K. 1988. Clavicipitaceous fungal endophytes of grasses coevolution and the change from parasitism to mutualism. Di dalam; Pirozinsky KA, Hawksworth, DL, editor. Coevolution of fungi with plant and animals.

London: Academic Press.

Damanik, S., M. Syakir, M. Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.

(49)

Damiri, N., Mulawarman, dan M. Mutiara. 2014. Effect of Temperature and Storage on Effectiveness of Trichoderma viride as Biocontrol Agents of Rigidoporus microporus, Pathogen of White Root On Rubber. Agrivita (36) 2:176-180.

Fahroji, Z. 2010. Pengaruh Jumlah Bahan Pretanning dan Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Terhadap Mutu Kulit Samoa. Fakultas Pertanian.

Institut Teknologi Bogor, Bogor.

Hakizimana , J.D., M. Gryzenhout , T.A. Coutinho , N. van den Berg . 2011.

Endophytic diversity in Persea americana (avocado) trees and their ability to display biocontrol activity against Phytophthora cinnamomi. World avocado congress [Internet]. [diunduh 11 Mei 2017]. Tersedia pada: 32 http://worldavocadocongress2011.com/userfiles/file/Noelani%20van%20d en%20Berg%201500-1520.pdf.

Harjono and S. M. Widyastuti. 2001. Anti fungal activity of purified endochitinase produced by biocontrol agent Trichoderma reseei againsts Ganoderma philippii. Pakistan J. Biol. Sc. 4 (10) : 1232 -1234.

Hulu, V.P.J. 2015. Respon Pertumbuhan Bibit Karet (Hevea brasiliensisMuell.

Arg.) Terhadap Pemberian Inokulasn Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Pemupukan Fosfor. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian. Institut Teknologi Bogor, Bogor.

Husniyati, T. 2012. Analisis Variasi Genetik Populasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Sumber Eksplan Untuk Perbanyakan In Vitro Berdasarkan RAPD. Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bogor, Bogor.

Janudianto, A. Prahmono , H. Napitupulu , S. Rahayu . 2013. Panduan Budidaya Karet Untuk Petani Skala Kecil.Rubber cultivation guide for small-scale farmers. Lembar Informasi AgFor 5. Bogor, Indonesia: World AgroforestryCentre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.

Khairy, M. 2012. Pengaruh Cendawan Endofit Terhadap Hama Dan Pertumbuhan Tanaman Padi Di Lapangan. Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut Teknologi Bogor, Bogor.

Kusdiana, A.P.J., M. Munir, dan H. Suryaningtyas. 2015. Pengujian Biofungisida Berbasis Mikroorganisme Antagonis untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet. Jurnal Penelitian Karet, 2015, 33 (2) : 143 – 156.

Liu, X., J. Pang., and Z. Yang. 2009. The Biocontrol Effect of Trichoderma and Bacillus subtilis SY1. Journal of Agricultural Science 1(2): 132-136.

Manurung, L., L. Lubis, Marheni, dan C.I. Dalimunthe. 2015.Pengujian Berbagai Jenis Bahan Aktif Terhadap Penyakit Jamur Akar Putih (JAP)(Rigidoporus microporus(Swartz: Fr.))di Areal Tanpa Olah Tanah (TOT). J. Agr 3(1) ; 168 – 178.

Referensi

Dokumen terkait

Ruptur perineum terjadi di garis tengah dan meluas apabila kepala janin lahir terlalu cepat dan sudut arkus pubis lebih kecil dari normal, sehingga kepala janin

Selanjutnya penelitian ini dilakukan guna meningkatkan pemahaman konsep IPA pada materi gaya dan gerak menggunakan metode eksperimen dengan berbantukan media realia pada

Skripsi yang berjudul: Penggunaan Teknik Jarimatika pada Pembelajaran Matematika di Lembaga Jarimatika Banjarmasin, ditulis oleh Ratna Riannoor telah diujikan dalam

Penjabaran kompleksitasnya adalah Dapenbi merupakan lembaga pelayanan dana pensiun dengan rata-rata pengunjungnya merupakan golongan lanjut usia, Dapenbi merupakan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Siklus Belajar 5E ( Learning Cycle 5E ) berbantuan tutor sebaya ( peer tutoring

Hal ini terjadi karena pasar modal NYSE berada di negara dengan proteksi investor yang kuat sehingga legal sistem perusahaan Asia tersebut tidak mampu memperkuat pengaruh

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kualitas air dengan parameter pH, TDS, TSS, N, P, K, DHL, BOD dan COD, data kebutuhan air irigasi, data batrimetri Telaga

Penambahan pupuk majemuk NPK dapat meningkatkan pertumbuhan jamur tiram putih diperkuat oleh hasil penelitian Semiatun (2007), pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa