• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDOMAN PELAYANAN LABORATORIUM PEMERIKSAAN HEPATITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEDOMAN PELAYANAN LABORATORIUM PEMERIKSAAN HEPATITIS"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEDOMAN

PELAYANAN LABORATORIUM PEMERIKSAAN HEPATITIS

KEMETERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik Dan

Sarana Kesehatan

Tahun 2015

(2)

i TIM PENYUSUN

Kementerian Kesehatan RI

dr. Dyah Armi Riana, MARS Naning Nugrahini, SKM, MKM

dr. Wiwi Ambarwati

dr. Yulita Evarini Yuzwar, MARS dr. Eva Dian Kurniawati

Mai Syafni, SKM

Tim Penulis

1. Dr. dr. Rino A Gani, SpPD-KGEH Departemen Hepatologi RSCM 2. dr. Juferdy Kurniawan, SpPD Departemen Hepatologi RSCM 3. Anugerah Dwi Handayu, S.T., M.Biomed Departemen Hepatologi RSCM 4. dr. Fera Ibrahim, M.Sc., SpMK (K)., PH.D Mikrobiologi FKUI

5. Prof. Suzanna Immanuel, SpPK Departemen Patologi RSCM 6. dr. Dewi Wulandari, SpPK., M.Sc Departemen Patologi RSCM 7. dr. Sondang Maryutka Sirait, SpPK BBLK Jakarta

8. Dr. dr. Yuyun SM Soedarmono, M.Sc PMI Pusat

Kontributor

1. dr. Rina Sitanggang BBLK Jakarta

2. Eka Irdianty, SKM Global Fund Komponen TB 3. Gita Ardyani, SKM Global Fund Komponen TB 4. dr. Andy Omega Global Fund Komponen TB

Sekretariat :

Subdit Bina Pelayanan Mikrobiologi dan Imunologi

Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan

(3)

i DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur Rujukan Pelayanan Laboratorium Pemeriksaan

Hepatitis B dan C ... 19

Gambar 2. Algoritma Untuk Penatalaksanaan Diagnostik Hepatitis B ... 21

Gambar 3. Algoritma Pemeriksaan Diagnostik Hepatitis C ... 22

Gambar 4. Alur Algortima Deteksi Dini Hepatitis B ... 25

Gambar 5. Algoritma Untuk Uji Saring IMLTD ... 30

Gambar 6. Proses Penyelenggaraan Tes Panel ... 46

(4)

ii DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Nilai Diagnostik Reagen ... 34 Tabel 2. Status Infeksi Sumber Pajanan dan Vaksin

Petugas Kesehatan ... 40

(5)

iii DAFTAR ISTILAH

Hepatitis

VHB : Virus Hepatitis B

VHC : Virus Hepatitis C

HBsAg : Hepatitis B surface Antigen HBeAg : Hepatitis B envelope Antigen AST : Asparlate Aminotransferase

ALT : Alanine Aminotransferase

EIA : Enzyme Immunoassay

CLIA : Chemiluminescent Immunoassay

IMLTD : Infeksi Menular Lewat Tranfusi Darah

PCR : Polymerase Chain Reaction adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro

NAT : Nucleic acid amplification technology

(6)

iv DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR ISTILAH ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

1.3 PENGERTIAN ... 2

1.4 RUANG LINGKUP ... 3

BAB II STANDAR PELAYANAN LABORATORIUM PEMERIKSA HEPATITIS B DAN C ... 4

2.1 PEMERIKSAAN SEROLOGI ... 4

2.1.1 RAPID DIAGNOSTIK TEST HEPATITIS B DAN C ... 4

2.1.1.1 SARANA DAN PRASARANA ... 4

2.1.1.2 KETENAGAAN ... 5

2.1.1.3 PERALATAN ... 5

2.1.1.4 EIA/CLIA ... 5

2.1.1.5 SARANA DAN PRASARANA ... 6

2.1.1.6 KETENAGAAN ... 7

2.1.1.7 PERALATAN ... 7

2.2 PEMERIKSAAN MOLEKULER ... 7

2.2.1 PEMERIKSAAN VIRAL LOAD HEPATITIS B ... 8

2.2.1.1 TUJUAN ... 8

2.2.1.2 SARANA DAN PRASARANA ... 8

2.2.1.3 KETENAGAAN ... 9

2.2.1.4 PERALATAN ... 9

2.2.1.5 REAGENSIA ... 10

2.2.1.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN ... 10

2.2.2 PEMERIKSAAN RESISTENSI OBAT ANTIVIRUS HEPATITIS B ... 10

2.2.2.1 TUJUAN ... 11

2.2.2.2 SARANA DAN PRASARANA ... 11

2.2.2.3 KETENAGAAN ... 11

2.2.2.4 PERALATAN ... 11

2.2.2.5 REAGENSIA ... 12

2.2.2.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN ... 12

2.2.3 PEMERIKSAAN VIRAL LOAD HEPATITIS C ... 12

2.2.3.1 TUJUAN ... 12

2.2.3.2 SARANA DAN PRASARANA ... 13

2.2.3.3 KETENAGAAN ... 14

2.2.3.4 PERALATAN ... 14

2.2.3.5 REAGENSIA ... 14

(7)

v

2.2.3.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN ... 15

2.2.4 PEMERIKSAAN GENOTIP VIRUS HEPATITIS C .... 15

2.2.4.1 TUJUAN ... 15

2.2.4.2 SARANA DAN PRASARANA ... 15

2.2.4.3 KETENAGAAN ... 15

2.2.4.4 PERALATAN ... 16

2.2.4.5 REAGENSIA ... 16

2.2.4.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN ... 16

2.2.5 NUCLEIC ACID AMPLIFICATION TECHNOLOGY (NAT) REAGENT ... 16

BAB III ALUR RUJUKAN PEMERIKSAAN HEPATITIS ... 18

3.1 METODE DIAGNOSTIK ... 20

3.1.1 DIAGNOSTIK INFEKSI VIRUS HEPATITIS B ... 20

3.1.2 DIAGNOSTIK INFEKSI VIRUS HEPATITIS C ... 20

3.1.3 ALGORITMA DIAGNOSTIK ... 20

BAB IV PEMERIKSAAN HEPATITIS UNTUK UJI SARING ... 23

4.1 PEMERIKSAAN HEPATITIS UNTUK DETEKSI DINI PADA PASIEN ... 23

4.1.1 METODE DETEKSI DINI ... 23

4.1.1.1 METODE UNTUK DETEKSI DINI HEPATITIS B PADA PASIEN ... 23

4.1.1.2 METODE UNTUK DETEKSI DINI HEPATITIS C PADA PASIEN ... 24

4.1.2 ALGORTIMA DETEKSI DINI PASIEN HEPATITIS B ... 25

4.2 PEMERIKSAAN HEPATITIS UNTUK UJI SARING PADA DARAH DONOR ... 26

4.2.1 INFORMED CONSENT DONOR DARAH ... 26

4.2.2 METODE UJI SARING ... 26

4.2.2.1 METODE UNTUK UJI SARING HEPATITIS B PADA DARAH DONOR ... 26

4.2.2.2 METODE UNTUK UJI SARING HEPATITIS C PADA DARAH DONOR ... 28

4.2.3 ALGORTIMA UJI SARING ... 29

4.2.4 INTERPRETASI HASIL UJI SARING ... 30

4.2.5 RUJUKAN HASIL UJI SARING REAKTIF ... 31

BAB V EVALUASI DAN PEMILIHAN REAGEN ... 33

5.1 EVALUASI REAGEN HEPATITIS ... 33

5.2 PEMILIHAN REAGEN... 33

(8)

vi

BAB VI KEAMANAN DAN KESELAMATAN KERJA ... 36

6.1 MANAJEMEN KEAMANAN KERJA LABORATORIUM ... 36

6.1.1 VAKSINASI BAGI PETUGAS LABORATORIUM ... 37

6.1.2 PENYEDIAAN SARANA PRASARANA DAN ALAT LABORATORIUM YANG STANDAR ... 37

6.1.3 MANAJEMEN PENGELOLAAN LIMBAH ... 37

6.1.4 PEMBENTUKAN TIM K3 LABORATORIUM ... 38

6.2 TINDAKAN KEWASPADAAN BAGI PETUGAS LABORATORIUM ... 38

6.2.1 PENERAPAN KEWASPADAAN STANDAR ... 38

6.2.2 PENGENDALIAN INFEKSI ... 38

6.2.3 PENATALAKSANAAN PASKA PAJANAN ... 39

6.2.4 TINDAKAN PASKA PAJANAN ... 39

6.2.5 PROFILAKSIS PASKA PAJANAN ... 40

6.2.6 LAPORAN PAJANAN ... 40

BAB VII PEMANTAPAN MUTU ... 42

7.1 PEMANTAPAN MUTU INTERNAL ... 42

7.2 PEMANTAPAN MUTU EKSTERNAL ... 44

7.3 PENINGKATAN MUTU ... 46

BAB VIII PENUTUP ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

DAFTAR LAMPIRAN ... 50

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Penyelenggaraan pelayanan laboratorium kesehatan dilaksanakan oleh berbagai laboratorium milik pemerintah dan swasta pada berbagai jenjang pelayanan mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/ kota, propinsi, regional dan nasional, masing-masing laboratorium pada berbagai jenjang pelayanan tersebut mempunyai tugas dan fungsi tersendiri dengan kemampuan pemeriksaan yang berbeda-beda, demikian juga pada pemeriksaan Hepatitis.

Penyakit Hepatitis merupakan salah satu masalah dalam kesehatan masyarakat yang terjadi di negara berkembang, salah satunya adalah di Indonesia. Virus Hepatitis B (VHB) setidaknya telah menginfeksi sekitar 2 milyar penduduk di dunia dan diantaranya sekitar 240 juta orang mengidap virus Hepatitis B kronis.

Diperkirakan sekitar 170 juta penduduk di dunia terinfeksi virus Hepatitis C dan diperkirakan sekitar 1.500.000 penduduk di dunia meninggal akibat terinfeksi oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan Virus Hepatitis C (VHC).1

Berdasarkan data WHO tahun 2012, sekitar 23 juta penduduk di Indonesia terinfeksi oleh virus Hepatitis B dan sekitar 2 juta penduduk di Indonesia telah terinfeksi oleh virus Hepatitis C.

Indonesia adalah negara dengan penduduk dengan terinfeksi Hepatitis B tebesar nomor 2 setelah Myanmar diantara negara- negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).

Menurut hasil Riskesdas tahun 2007, hasil pemeriksaan Biomedis dari 10.391 sampel serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg yang positif adalah 9.4%, yang berarti bahwa diantara 10 penduduk di Indonesia terdapat satu orang terinfeksi virus Hepatitis B. Serta berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penderita Hepatitis meningkat menjadi 1.2% dari 0.6% di tahun 2007.2

Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan laboratorium pemeriksa Hepatitis, maka diperlukan Standar Pelayanan Laboratorium Pemeriksa Hepatitis menurut jenjang dan metode pemeriksaan yang dilakukan oleh fasyankes.

(10)

2 1.2 TUJUAN

1. Sebagai pedoman dan acuan bagi pimpinan fasyankes dalam pelayanan laboratorium pemeriksa Hepatitis.

2. Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengawasan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi pelayanan laboratorium.

3. Sebagai pedoman dalam melaksanakan rujukan dan pemantapan mutu.

1.3 PENGERTIAN

1. Pedoman adalah ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan.

2. Laboratorium klinik adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan dibidang hematologi, kimia klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi klinik, imunologi klinik, patologi anatomi dan bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan perorangan terutama untuk menunjang upaya diagnosis penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

3. Laboratorium kesehatan masyarakat adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan dibidang mikrobiologi, fisika, kimia atau bidang lain yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan terutama untuk menunjang upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan.

4. Puskesmas adalah unit pelaksana pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan, yang merupakan satu satuan organisasi yang diberikan kewenangan kemandirian oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota untuk melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan.

5. Puskesmas Pembantu (PUSTU) adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan berfungsi menunjang dan membantu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Puskesmas dalam ruang lingkup wilayah yang lebih kecil.

6. Balai Besar/ Balai Laboratorium Kesehatan adalah sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan laboratorium kesehatan klinik dan laboratorium kesehatan masyarakat, rujukan, pendidikan dan pelatihan.

7. Rumah Sakit Umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat inap.

8. Unit Transfusi Darah (UTD):

(11)

3 a. Unit Transfusi Darah Pusat PMI (UTDP-PMI) adalah Unit Transfusi Darah Pusat yang merupakan unit pelayanan teknis transfusi darah yang berkedudukan di Palang Merah Indonesia Pusat.

b. Unit Transfusi Darah Daerah PMI (UTDD-PMI) adalah Unit Transfusi Darah Daerah yang merupakan unit pelayanan teknis transfusi darah yang berkedudukan di Palang Merah Indonesia Daerah.

c. Unit Transfusi Darah Cabang PMI (UTDC-PMI) adalah Unit Transfusi Darah Cabang yang merupakan unit pelayanan teknis transfusi darah yang berkedudukan di Palang Merah Indonesia Cabang.

d. Unit Transfusi Darah Utama (UTD Utama) adalah Unit Transfusi Darah Pusat yang merupakan unit pelayanan teknis transfusi darah yang berkedudukan di pusat.

e. Unit Transfusi Darah Madya (UTD Madya) adalah Unit Transfusi Darah di tingkat provinsi yang merupakan unit pelayanan teknis transfusi darah yang ditetapkan dan berkedudukan di provinsi.

f. Unit Transfusi Darah Pratama (UTD Pratama) adalah Unit Transfusi Darah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang merupakan unit pelayanan teknis transfusi darah yang ditetapkan dan berkedudukan di provinsi, kabupaten dan kota.

g. Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) adalah unit pelayanan di rumah sakit yang bertanggung jawab atas tersedianya darah untuk transfusi yang aman, berkualitas, dan dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pelayanan kesehatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

1.4 RUANG LINGKUP

Ruang lingkup standar pelayanan laboratorium pemeriksa Hepatitis mencakup.

1. Standar Sarana dan Prasarana, SDM, Peralatan Laboratorium Pemeriksa Hepatitis B Dan C.

2. Alur Rujukan Pemeriksaan Hepatitis.

3. Pemantapan Mutu Laboratorium Hepatitis.

4. Pencatatan Dan Pelaporan.

(12)

4 BAB II

STANDAR PELAYANAN LABORATORIUM PEMERIKSA HEPATITIS B DAN C

Jenis pemeriksaan laboratorium Hepatitis B dan C terdiri dari : 2.1 PEMERIKSAAN SEROLOGI

2.1.1 RAPID DIAGNOSTIK TEST HEPATITIS B DAN C

Rapid/ Simple single use reagents (Rapid Test) adalah reagen yang memiliki ciri-ciri tersendiri, individual dan sekali pakai.

Tampilan reagen ini bisa bermacam-macam. Kebanyakan rapid test berupa imunokromatografi dimana penambahan sampel yang diteteskan akan mengalir lamban ke bagian ujung strip dan bereaksi dengan reagen yang telah terlebih dahulu diimobilisasi. Sampel dapat berupa serum atau plasma atau bahkan pada beberapa reagen bisa menggunakan darah lengkap. Setiap reaksi positif divisualisasikan sebagai bulatan (dot) atau pita (band) yang muncul pada strip pemeriksaan. Semua rapid test harus menyertakan dot atau pita kontrol yang digunakan untuk menilai validitas hasil pemeriksaan.

Rapid test disiapkan dalam format yang sangat mudah untuk digunakan yang pada umumnya tidak memerlukan reagen tambahan kecuali semua yang telah disediakan dalam kitnya.

Hasil pemeriksaan dibaca dengan mata dan menunjukkan hasil kualitatif dalam beberapa menit. Pembacaan subyektif dan rekaman permanen dari hasil pemeriksaan aslinya tidak dapat disimpan. Rapid test disarankan digunakan pada jumlah sampel yang tidak banyak.

2.1.1.1 SARANA DAN PRASARANA

Laboratorium pemeriksa Hepatitis merupakan bagian laboratorium pemeriksa lainnya. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pemeriksaan Hepatitis B dan C dengan rapid test merupakan laboratorium sederhana. Ketentuan mengenai sarana dan prasarana dapat mengacu pada Permenkes No. 37 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Laboratorium Puskesmas.3

(13)

5 2.1.1.2 KETENAGAAN

- Dipimpin oleh 1 (satu) orang dokter terlatih dibidang pemeriksaan Hepatitis B dan C sebagai penanggung jawab.

- Petugas teknis adalah ahli teknologi laboratorium medik (D3 analis kesehatan) atau tenaga kesehatan lain yang mendapat pelatihan khusus/ spesifik untuk menangani agen patogen infeksius dan prosedur yang dilakukan.

- Petugas administrasi minimal SMU/sederajat.

2.1.1.3 PERALATAN

Peralatan yang dibutuhkan oleh laboratorium pemeriksa Hepatitis B dan C dengan rapid test adalah:

- Alat-alat keamanan dan keselamatan kerja petugas laboratorium:

 jas laboratorium

 sarung tangan

 masker

face shield/ goggles

- Alat-alat persiapan dan penyimpanan bahan pemeriksaan:

sentrifus

lemari pendingin

pipet dan disposable tip - Alat pengolahan limbah

 wadah limbah tajam

 wadah limbah infeksius

 wadah limbah non infeksius 2.1.2 EIA/CLIA

Enzyme dan chemiluminescent immunoassay saat ini merupakan metode pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk tujuan diagnostik atau uji saring infeksi menular lewat transfusi Darah (IMLTD) pada darah donor.

Prinsip EIAs dan CLIAs adalah sama. Perbedaannya hanya dalam model deteksi dari kompleks imun yang terbentuk, yakni terbentuknya warna pada EIAs dan pengukuran cahaya yang terbentuk oleh reaksi kimia pada CLIAs. EIA, dengan sensitifitas yang tinggi akan mendeteksi petanda target dari infeksi. Reagen yang telah dievaluasi dengan baik untuk tujuan diagnostik maupun uji saring harus memenuhi

(14)

6 standar. EIAs dan CLIAs cocok untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah besar dan membutuhkan beberapa peralatan khusus. Pemeriksaan ini bisa dikerjakan secara manual atau sistem otomatik yang spesifik (sistem tertutup).

EIAs dan CLIAs mempunyai solid phase yang berbeda untuk melakukan imobilisasi terhadap antigen atau antibodi.

Umumnya solid phase yang digunakan adalah:

- Bagian dasar atau sisi dari microwell polystirene - Bagian permukaan dari polystirene atau bahan lain - Microparticle

- Permukaan dari alat disposable khusus yang digunakan pada sistem reagen otomatik, bervariasi tergantung pabrik, namun umumnya polystyrene.

2.1.2.1 SARANA DAN PRASARANA Tata Ruang

a. Lokasi

Laboratorium pemeriksaan Hepatitis merupakan bagian laboratorium pemeriksaan lainnya. Area laboratorium harus cukup lapang dengan dinding, langit-langit dan lantai yang terbuat dari bahan yang tidak berpori, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tahan terhadap bahan- bahan kimiawi.

b. Ventilasi

Laboratorium mempunyai ventilasi yang baik untuk pengendalian infeksi di laboratorium.

c. Infrastruktur

- Ketersediaan dan ketentuan infrastruktur sesuai dengan pedoman K3.

- Tersedia air bersih mengalir, listrik, sanitasi dan pengolahan limbah.

- Bak cuci tangan diletakkan dekat pintu ruang laboratorium dan tidak boleh dipakai untuk pembuangan limbah infeksius dan pencucian alat.

- Pintu laboratorium jangan dibiarkan dalam keadaan terbuka.

- Kontrol suhu dan kelembaban

Suhu dan kelembaban laboratorium harus dikendalikan sehingga peralatan dan bahan pemeriksaan bisa terjaga dalam batas toleransi yang direkomendasikan oleh pabrik.

(15)

7 2.1.2.2 KETENAGAAN

a. Penanggung Jawab:

1 (satu) orang Dokter Spesialis Patologi Klinik/

Mikrobiologi Klinik/ Dokter yang terlatih dibidang pemeriksaan Hepatitis B dan C.

b. Tenaga Teknis:

Petugas teknis adalah ahli teknologi laboratorium medik (D3 analis kesehatan).

c. Petugas pencatatan dan pelaporan:

1 (satu) orang, minimal SMU/ sederajat.

2.1.2.3 PERALATAN

Peralatan yang dibutuhkan oleh laboratorium pemeriksa Hepatitis B dan C dengan EIA dan CLIA adalah:4

a. Alat-alat keamanan dan keselamatan kerja petugas laboratorium:

- jas laboratorium - sarung tangan - masker

- face shield/ goggles

b. Alat-alat persiapan, penyimpanan, dan pemeriksaan:

- sentrifus

- lemari pendingin

- pipet dan disposable tip - washer EIA/CLIA

- reader EIA/CLIA - inkubator EIA/CLIA c. Alat pengolahan limbah

- wadah limbah tajam - wadah limbah infeksius - wadah limbah non infeksius - wadah limbah cair

2.2 PEMERIKSAAN MOLEKULER

Uji molekuler yang saat ini tersedia untuk diagnosis dan penatalaksanan Hepatitis adalah pengukuran kadar virus, pemeriksaan genotip dan deteksi mutasi resistensi obat antivirus.4 Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah besar hanya dalam beberapa jam. Dengan ditemukannya teknik PCR dan sekuensing

(16)

8 DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit infeksi. PCR adalah teknik yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.5 Kadar DNA VHB dan RNA VHC sebaiknya dilakukan dengan metode real-time PCR dan dilaporkan dalam satuan IU/mL.5

2.2.1 PEMERIKSAAN VIRAL LOAD HEPATITIS B 2.2.1.1 TUJUAN

Pemeriksaan ini sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan dalam penatalaksanaan Hepatitis B kronik. Pengukuran kadar DNA VHB dalam darah perifer (fraksi serum atau plasma) saat ini merupakan tes yang banyak digunakan, karena merupakan petanda replikasi virus yang dapat dipantau.6

2.2.1.2 SARANA DAN PRASARANA a. Tata ruang

- Desain laboratorium harus memastikan keamanan petugas ketika bergerak di area kerja, menggunakan peralatan laboratorium dan melakukan pemeriksaan laboratorium.

Perpindahan spesimen dan alur kerja di laboratorium harus meminimalkan kemungkinan hilangnya spesimen, tercampurnya spesimen dan terpaparnya personil laboratorium dari kecelakaan kerja.

- Sarana laboratorium harus didesain untuk menjamin keamanan petugas, lingkungan dan kualitas kerja. Ruangan yang sesuai untuk meletakkan peralatan, mempertimbangkan ventilasi dan suhu ruangan.

b. Ruangan

Area kerja laboratorium harus cukup luas dan dirancang untuk mendukung alur pekerjaan laboratorium yang efisien.

c. Kontrol suhu dan kelembaban

Suhu dan kelembaban laboratorium harus dikendalikan sehingga peralatan dan bahan pemeriksaan bisa terjaga dalam batas toleransi yang direkomendasikan oleh pabrik.

d. Kebersihan

(17)

9 Seluruh lantai, dinding, langit-langit dan meja laboratorium harus mudah dibersihkan dan selalu terjaga kebersihannya.

e. Area penyimpanan

Area penyimpanan harus dialokasikan untuk menyimpan reagen, bahan kontrol, kalibrator dan bahan-bahan laboratorium yang lainnya untuk menjaga kondisi, kemurnian dan stabilitasnya secara adekuat.

f. Area Kerja Amplifikasi Molekuler

Laboratorium yang tidak menggunakan prosedur amplifikasi molekuler sistim tertutup, harus mempunyai alur kerja satu arah. Ruangan khusus untuk preparasi reagen, preparasi spesimen, amplifikasi, dan deteksi merupakan area yang terpisah satu sama lain.

2.2.1.3 KETENAGAAN

a. Penanggung Jawab:

1 (satu) orang Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik/ Patologi Klinik.

b. Tenaga Teknis:

Petugas teknis minimal S1 dibidang biomedik.

c. Petugas pencatatan dan pelaporan:

1 (satu) orang, minimal D3 analis.

2.2.1.4 PERALATAN

Peralatan yang diperlukan oleh laboratorium pemeriksa viral load Hepatitis B adalah:4

a. Alat-alat keamanan dan keselamatan kerja petugas laboratorium:

- jas laboratorium - sarung tangan - face shield / goggles - safety cabinet class IIa

b. Alat-alat persiapan dan penyimpanan bahan pemeriksaan:

- refrigerated centrifuge

- refrigerator dan deep freezer (minimal -200C) - mikropipet “adjustable” 1000µL, 200µL, 100µL

dan disposable tip - vortex mixer

c. Alat-alat pemeriksaan:

Untuk amplifikasi asam nukleat:

(18)

10 - mikropipet “adjustable” dan disposable tip

1000µL, 200µL, 100µL dan 50 µL (3 set) - pencatat waktu terkalibrasi (3 set) - sistem amplifikasi dan deteksi hasil 2.2.1.5 REAGENSIA

Reagensia generasi pertama untuk pemeriksaan viral load Hepatitis B dalam darah perifer (serum atau plasma) didasarkan pada teknologi hibridisasi dengan satuan hasil dalam picograms per mililiter.

Namun, reagen ini relatif kurang sensitif (sekitar 5,0 log10 kopi/mL), dan linearitas berkisar 5,0 - 10,0 log10 kopi/mL. Adaptasi teknologi molekuler selanjutnya mengembangkan teknik amplifikasi sinyal dan target yang mengawali perkembangan tes generasi kedua dengan sensitivitas yang lebih tinggi (<200 kopi/mL).

Pemeriksaan viral load Hepatitis B generasi terbaru menggunakan real time PCR. Teknik ini terbukti meningkatkan karakteristik kinerja analitik, termasuk batas bawah deteksi, rentang linier yang luas, presisi yang sangat baik dan mengurangi pengenceran spesimen untuk sebagian besar spesimen dengan jumlah virus yang tinggi.

Pemeriksaan viral load Hepatitis B harus dilaksanakan dengan reagensia yang tervalidasi dan hasilnya dilaporkan dalam satuan IU/mL. Konversi satuan dari kopi/mL ke IU/mL disesuaikan dengan reagen yang digunakan.

2.2.1.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN

Pemeriksaan viral load Hepatitis B menggunakan teknik amplifikasi dan hibridisasi asam nukleat seperti Polymerase Chain Reaction (PCR), Hybrid capture, b-DNA dan Real-time PCR. Pemeriksaan harus dilakukan sesuai petunjuk pabrik.

2.2.2 PEMERIKSAAN RESISTENSI OBAT ANTIVIRUS HEPATITIS B

Resistensi virus terhadap terapi analog nukleos(t)ida adalah isu yang mempersulit terapi Hepatitis B saat ini. Secara umum, resistensi bisa dibagi atas resistensi genotip atau

(19)

11 resistensi fenotip. Resistensi fenotip biasanya bisa dinilai dari adanya kenaikan kembali DNA VHB atau ALT sementara resistensi genotip diketahui dengan melakukan pemeriksaan sekuen gen target. Pemeriksaan terbaik untuk menilai resistensi genotip adalah pemeriksaan DNA VHB direct sequencing yang dapat menilai seluruh kemungkinan mutasi yang terkait resistensi.

Saat ini belum disarankan untuk melakukan pemeriksaan resistensi pada semua pasien Hepatitis B, namun pemeriksaan ini bisa dipertimbangkan pada pasien yang gagal mencapai respon yang diharapkan atau pada pasien yang mengalami virologic breakthrough. Peningkatan DNA VHB umumnya mendahului peningkatan ALT dan perubahan strategi terapi lebih awal pada kondisi ini telah terbukti meningkatkan respon.

2.2.2.1 TUJUAN

Untuk mendeteksi mutasi penyebab resistensi obat antivirus Hepatitis B.

2.2.2.2 SARANA DAN PRASARANA

Fasilitas laboratorium sesuai standar fasilitas laboratorium molekular untuk amplifikasi asam nukleat.

2.2.2.3 KETENAGAAN

a. Penanggung Jawab:

1 (satu) orang Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik/ Patologi Klinik.

b. Tenaga Teknis:

Petugas teknis minimal S1 dibidang biomedik.

c. Petugas pencatatan dan pelaporan:

1 (satu) orang, minimal D3 analis.

2.2.2.4 PERALATAN

a. Alat-alat keamanan dan keselamatan kerja petugas laboratorium:4

- jas laboratorium - sarung tangan - face shield / goggles - safety cabinet class IIa b. Alat-alat pemeriksaan

- pipet serologi

(20)

12 - mikropipet “adjustable” 1000µL, 200µL, 100µL,

20 µL, 10 µL, 1 µL

- sistem amplifikasi dan deteksi hasil - alat sekuensing

2.2.2.5 REAGENSIA

a. Reagensia untuk amplifikasi asam nukleat

- Pasangan primer untuk amplifikasi asam nukleat meliputi gen polymerase

- Polimerase DNA termostabil - dNTP

b. Reagensia untuk sekuensing asam nukleat

- Primer sekuensing yang mencakup posisi mutasi penyebab resistensi pada gen polymerase

- Dye terminator

2.2.2.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN

Metoda pemeriksaan: Genotipik (Direct Sequence) 2.2.3 PEMERIKSAAN VIRAL LOAD HEPATITIS C

2.2.3.1 TUJUAN

Pemeriksaan molekular Hepatitis C sangat penting dalam mendiagnosis infeksi virus Hepatitis C kronis, karena uji serologi tidak dapat membedakan infeksi kronik dari infeksi yang telah lampau.

Pemeriksaan viral load Hepatitis C menggunakan teknik RT-PCR juga terbukti berguna dalam menilai viremia pada pasien dengan tes antibodi positif, mengevaluasi respon pengobatan, dan sebagai tes konfirmasi pada pasien dengan hasil tes serologi negatif palsu.7

Penilaian kadar virus Hepatitis C wajib bagi semua pasien yang akan mendapatkan terapi antivirus.

Pemeriksaan viral load Hepatitis C harus menggunakan teknik real-time PCR (nilai deteksi terendah <50 IU/mL untuk dual therapy dan <15 IU/mL untuk triple therapy) dan dinyatakan dalam satuan IU/mL.8

(21)

13 2.2.3.2 SARANA DAN PRASARANA

a. Tata ruang

- Desain laboratorium harus memastikan keamanan petugas ketika bergerak di area kerja, menggunakan peralatan laboratorium dan melakukan pemeriksaan laboratorium.

Perpindahan spesimen dan alur kerja di laboratorium harus meminimalkan kemungkinan hilangnya spesimen, tercampurnya spesimen dan terpaparnya personil laboratorium dari kecelakaan kerja.

- Sarana laboratorium harus didesain untuk menjamin keamanan petugas, lingkungan dan kualitas kerja. Ruangan yang sesuai untuk meletakkan peralatan, mempertimbangkan ventilasi dan suhu ruangan.

b. Ruangan

Area kerja laboratorium harus cukup luas dan dirancang untuk mendukung alur pekerjaan laboratorium yang efisien.

c. Kontrol suhu dan kelembaban

Suhu dan kelembaban laboratorium harus dikendalikan sehingga peralatan dan bahan pemeriksaan bisa terjaga dalam batas toleransi yang direkomendasikan oleh pabrik.

d. Kebersihan

Seluruh lantai, dinding, langit-langit dan meja laboratorium harus mudah dibersihkan dan selalu terjaga kebersihannya.

e. Area penyimpanan

Area penyimpanan harus dialokasikan untuk menyimpan reagen, bahan kontrol, kalibrator dan bahan-bahan laboratorium yang lainnya untuk menjaga kondisi, kemurnian dan stabilitasnya secara adekuat.

f. Area Kerja Amplifikasi Molekuler

Laboratorium yang tidak menggunakan prosedur amplifikasi molekuler sistim tertutup, harus mempunyai alur kerja satu arah. Ruangan khusus untuk preparasi reagen, preparasi spesimen, amplifikasi, dan deteksi merupakan area yang terpisah satu sama lain.

(22)

14 2.2.3.3 KETENAGAAN

a. Penanggung Jawab:

1 (satu) orang Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik/ Patologi Klinik.

b. Tenaga Teknis:

Petugas teknis minimal S1 dibidang biomedik.

c. Petugas pencatatan dan pelaporan:

1 (satu) orang, minimal D3 analis.

2.2.3.4 PERALATAN

Peralatan yang diperlukan oleh laboratorium pemeriksa viral load Hepatitis C adalah:4

a. Alat-alat keamanan dan keselamatan kerja petugas laboratorium:

- jas laboratorium - sarung tangan - face shield / goggles - safety cabinet class IIa

b. Alat-alat persiapan dan penyimpanan bahan pemeriksaan

- refrigerated centrifuge

- refrigerator dan deep freezer (minimal -200C) - mikropipet “adjustable” 1000µL, 200µL, 100µL

dan disposable tip - vortex mixer

c. Alat-alat pemeriksaan:

Untuk amplifikasi asam nukleat:

- mikropipet “adjustable” dan disposable tip 1000µL, 200µL, 100µL dan 50 µL (3 set)

- pencatat waktu terkalibrasi (3 set) - sistem amplifikasi dan deteksi hasil 2.2.3.5 REAGENSIA

Berbagai variasi tes kit tersedia untuk mendeteksi atau mengkuantifikasi RNA VHC. Pemeriksaan viral load Hepatitis C didasarkan pada reaksi reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), transcrption-mediated amplification (TMA), bDNA, atau yang baru-baru ini banyak digunakan adalah teknologi real time RT-PCR.6

Pemeriksaan viral load Hepatitis C harus dilaksanakan dengan reagensia yang tervalidasi dan hasilnya dilaporkan dalam satuan IU/mL.

(23)

15 2.2.3.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN

Pemeriksaan viral load Hepatitis C didasarkan pada prinsip amplifikasi target menggunakan metode

"klasik" Polymerase Chain Reaction (PCR), "real-time"

RT-PCR atau TMA (Transcription-mediated Amplification). RNA VHC diekstraksi dan ditranskripsikan balik menjadi DNA komplementer rantai ganda (cDNA), selanjutnya diproses dengan cyclic enzymatic reaction sehingga menghasilkan generasi dengan sejumlah besar salinan DNA.

Pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan petunjuk dari pabrik pembuat reagensia yang digunakan dan hasilnya dilaporkan dalam International Unit per mililiter (IU/mL).7

2.2.4 PEMERIKSAAN GENOTIP VIRUS HEPATITIS C

Virus Hepatitis C memiliki keragaman genetik yang cukup besar. Ada 6 genotip yang dikenal dan lebih dari 50 subtipe VHC. Nomenklatur yang paling umum digunakan untuk genotip VHC pertama kali diusulkan oleh Simmonds dkk.

Sistem klasifikasi ini didasarkan pada perbandingan sekuen nukleotida daerah NS5.

Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan regimen terapi, durasi terapi dan memprediksi respons terapi.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan menggunakan berbagai teknik seperti direct sequence analysis, reverse hybridization, dan genotype specific real-time PCR. Saat ini pemeriksaan genotipe yang tersedia sudah mampu mengidentifikasi secara akurat 6 genotipe pada infeksi Hepatitis C kronik.10

2.2.4.1 TUJUAN

Untuk menentukan genotipe virus Hepatitis C.

2.2.4.2 SARANA DAN PRASARANA

Fasilitas laboratorium sesuai standar fasilitas laboratorium molekular untuk amplifikasi asam nukleat.

2.2.4.3 KETENAGAAN

a. Penanggung Jawab:

1 (satu) orang Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik/ Patologi Klinik.

(24)

16 b. Tenaga Teknis:

Petugas teknis minimal S1 dibidang biomedik.

c. Petugas pencatatan dan pelaporan:

1 (satu) orang, minimal D3 analis.

2.2.4.4 PERALATAN

a. Alat-alat keamanan dan keselamatan kerja petugas laboratorium:4

- jas laboratorium - sarung tangan - face shield / goggles - safety cabinet class IIa b. Alat-alat pemeriksaan

- pipet serologi

- mikropipet “adjustable” 1000µL, 200µL, 100µL, 20 µL, 10 µL, 1 µL

- sistem amplifikasi dan deteksi hasil 2.2.4.5 REAGENSIA

a. Reagensia untuk reverse transcription dan amplifikasi asam nukleat.

b. Reagensia untuk reverse hybridization.

2.2.4.6 PROSEDUR PEMERIKSAAN

Metoda pemeriksaan: reverse hybridization atau sekuensing sesuai dengan reagen yang digunakan.

Pemeriksaan genotype Hepatitis C.

2.2.5 NUCLEIC ACID AMPLIFICATION TECHNOLOGY (NAT) REAGENT

Nucleic acid amplification technology (NAT) reagent merupakan reagen molekuler yang didesain untuk uji saring darah donor.

Reagen ini mendeteksi keberadaan asam nukleat virus, DNA atau RNA, pada sampel darah donor. Pada teknologi ini, segmen DNA/ RNA yang spesifik dari suatu virus dijadikan target dan diamplifikasi in vitro. Tahapan amplifikasi memungkinkan terdeteksinya virus dengan titer rendah dalam sampel melalui peningkatan jumlah target spesifik ke titer yang dapat dideteksi. Keberadaan asam nukleat yg spesifik mengindikasikan keberadaan virus dan karenanya darah donor kemungkinan infeksius.

Uji saring NAT dapat dilakukan pada setiap sampel darah donor untuk mendeteksi asam nukleat dari agen infeksius.

(25)

17 Saat ini telah dikembangkan reagen uji saring NAT multipleks yang dapat mendeteksi DNA atau RNA dari beberapa virus secara simultan.10

(26)

18 BAB III

ALUR RUJUKAN PEMERIKSAAN HEPATITIS

Pelayanan laboratorium di fasyankes memiliki kemampuan pemeriksaan yang berbeda sesuai tingkat pelayanannya. Oleh karena itu, agar fasyankes dapat memiliki akses pada pelayanan laboratorium yang terstandarisasi, diperlukan alur rujukan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan Permenkes No. 1647 Tahun 2005 tentang Jejaring Laboratorium Kesehatan, alur rujukan merupakan komponen dalam jejaring laboratorium kesehatan.

Jejaring laboratorium ini diperlukan sebagai rujukan pelayanan laboratorium kesehatan dalam bentuk rujukan pemeriksaan/ spesimen, rujukan sarana dan rujukan ilmu pengetahuan/ teknologi. Dalam kaitan dengan pembinaan anggota jejaring laboratorium, maka jejaring laboratorium berfungsi juga sebagai jejaring pemantapan mutu.

Tujuan jejaring laboratorium:4

1. Meningkatkan efisiensi pelayanan laboratorium kesehatan.

2. Memperluas jangkauan pelayanan kesehatan.

3. Meningkatkan mutu pelayanan laboratorium kesehatan.

4. Terlaksananya sistem rujukan dalam pelayanan laboratorium kesehatan.

Jejaring pelayanan laboratorium pemeriksa Hepatitis disesuaikan berdasarkan jenjang pelayanan yaitu:

a. Laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas, labkesda kabupaten/ kota, Klinik Pratama, dan Laboratorium Klinik Pratama, Rumah Sakit Umum Kelas D), UTD Pratama.

Jenis pelayanan Laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan primer:

- Pemeriksaan Hepatitis B dan C dengan rapid diagnostic test (RDT) untuk kepentingan deteksi dini di puskesmas, laboratorium klinik pratama, rumah sakit umum kelas D, dan uji saring untuk UTD pratama.

b. Laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan sekunder (RS kelas C, BLK/ BBLK, Laboratorium Klinik Madya), UTD Madya, Sarana Kesehatan CTKI.

Jenis pelayanan laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan sekunder:

- Pemeriksaan Hepatitis B dan C dengan rapid diagnostic test (RDT).

- Pemeriksaan Hepatitis B dan C dengan EIA.

(27)

19 c. Laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan tersier (RS kelas A/

B), Laboratorium Klinik Utama), dan UTD Utama.

Jenis pelayanan laboratorium pada fasilitas pelayanan kesehatan tersier:

- Pemeriksaan Hepatitis B dan C dengan EIA/ CLIA.

- Pemeriksaan DNA VHB.

- Pemeriksaan RNA VHC.

- Pemeriksaan NAT.

d. Laboratorium Rujukan Nasional

Laboratorium Rujukan Nasional ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan untuk melakukan tugas dan fungsi tertentu meliputi:

- Evaluasi reagen Hepatitis.

- Penyelenggaraan PME Laboratorium Hepatitis.

- Pemeriksaan molekuler dan resistensi - Pembinaan dan peningkatan kapasitas.

Gambar 1. Alur Rujukan Pelayanan Laboratorium Pemeriksa Hepatitis B dan C Catatan:

*Jika di laboratorium fasyankes sekunder tidak tersedia pemeriksaan DNA VHB dan RNA VHC untuk inisiasi dan pemantauan terapi maka perlu dilakukan rujukan spesimen ke fasilitas yang lebih tinggi.

Laboratorium Fasyankes Primer

Laboratorium Fasyankes Sekunder*

Laboratorium Fasyankes Tersier

Laboratorium Rujukan Nasional

Metode Pemeriksaan: Rapid Diagnostic Test Tujuan Pemeriksaan: Deteksi dini

Metode Pemeriksaan: EIA/CLIA

Tujuan Pemeriksaan: Diagnostik, Inisiasi Terapi

Metode Pemeriksaan: EIA/CLIA, Molekuler Tujuan Pemeriksaan: Diagnostik, Inisiasi Terapi, Pemantauan Terapi

Metode Pemeriksaan: Molekuler + Resistensi

(28)

20 3.1 METODE DIAGNOSTIK

3.1.1 DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS HEPATITIS B

- Diagnosis Hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologi.11 Pada infeksi akut, kadar AST dan ALT akan meningkat hingga 3-10 kali batas atas normal.

HBsAg merupakan petanda serologis pertama yang terdeteksi 2-12 minggu setelah pejanan. HBeAg akan muncul bersamaan atau beberapa saat setelah munculnya HBsAg dalam darah. Antibodi terhadap HBeAg akan segera muncul setelah hilangnya HBeAg. Pada Hepatitis B akut, anti-HBc akan muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi.

- Pada infeksi virus Hepatitis B kronik didefinisikan sebagai ditemukannya HBsAg dalam serum selama lebih dari 6 bulan.

- Terdeteksinya HBeAg menunjukkan infektivitas yang tinggi. Konsentrasi DNA VHB juga digunakan sebagai salah satu prediktor respons pada pasien yang menerima terapi antiviral.11

3.1.2 DIAGNOSIS INFEKSI VIRUS HEPATITIS C

- Pada infeksi Hepatitis C akut, RNA VHC dapat terdeteksi pada hari ke 7-10 setelah paparan dan anti-HCV akan terdeteksi didalam darah 2-8 minggu setelah paparan.

- Diagnosis Hepatitis C akut dapat ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-HCV pada pasien yang sebelumnya telah diketahui anti-HCV negatif, oleh karena tidak adanya petanda serologi yang dapat membuktikan infeksi akut VHC.

- Pada Hepatitis C kronik, diagnosis dapat ditegakkan apabila anti-HCV dan RNA VHC tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi disertai dengan gejala-gejala penyakit hati kronik.12

3.2 ALGORITMA DIAGNOSTIK

Seseorang yang diduga terpapar virus Hepatitis B dapat diuji untuk berbagai petanda diagnostik, setiap pemeriksaan yang dilakukan tergantung pada riwayat klinis penderita, gejala dan hasil tes sebelumnya.13 Pola pemeriksaan serologis umum dan virologi yang dapat diamati pada pasien dengan infeksi VHB akut dan kronik ditampilkan pada gambar berikut (Gambar 2).13

(29)

21 Gambar 2. Algoritma Untuk Penatalaksanaan Diagnostik Hepatitis B5

Sedangkan pada infeksi virus Hepatitis C kronik, diawali dengan pemeriksaan antibodi virus Hepatitis C dalam darah secara rapid. Hasil reaktif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan RNA VHC (metoda PCR atau NAT).13 Gambar 3 merupakan algoritma pemeriksaan yang digunakan sebagai panduan untuk penanganan awal dan pelayanan publik untuk pemeriksaan virus Hepatitis C (VHC).

HBsAg

HBsAg Positif HBsAg Negatif

Anti HBc (IgG/IgM)

Anti HBs

Anti HBc IgG

Anti HBc IgM

Anti HBs Positif

Anti HBs Negatif

Anti HBc IgG (+), DNA VHB (+)

Anti HBc IgM (INFEKSI AKUT)

INFEKSI KRONIK HBsAg (-), Anti HBs (+), Anti HBc IgG (+), DNA VHB

(-)

SEMBUH SPONTAN

VAKSINASI Proteksi

(Kemungkinan berasal dari

alami atau vakisinasi)

(30)

22 Gambar 3. Algoritma Pemeriksaan Diagnostik Hepatitis C

- Untuk pemeriksaan uji saring yang dilakukan dilayanan tingkat dasar menggunakan metode RDT. Untuk hasil pemeriksaan uji saring ditulis dengan hasil reaktif dan non reaktif.

- Sedangkan untuk diagnostik dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan molekuler. Untuk diagnostik Hepatitis B yang diperiksa adalah DNA VHB dan untuk diagnostik Hepatitis C yang diperiksa adalah RNA VHC. Hasil pemeriksaan diagnostik ditulis dengan hasil positif dan negatif.

No. Jenis Pemeriksaan Metode Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan

1. Uji Saring RDT Reaktif Non Reaktif

2. Diagnostik Molekuler Positif Negatif

Anti-HCV

RNA VHC

Evaluasi Medis Ulang RNA

VHC 1 bulan kemudian

STOP

(+)

(-)

(-) (+)

Kecuali HD, HIV, Populasi/

Imunosupresan

Cek RNA VHC

(31)

23 BAB IV

PEMERIKSAAN HEPATITIS UNTUK UJI SARING

4.1 PEMERIKSAAN HEPATITIS UNTUK DETEKSI DINI PADA PASIEN Hepatitis B dan Hepatitis C merupakan infeksi Hepatitis B Virus (HBV) dan Hepatitis C Virus (HCV) yang dapat ditularkan melalui transfusi darah, hubungan seksual, penggunaan jarum suntik bekas, tindakan medis invasif, dan khusus Hepatitis B ditularkan dari ibu kepada bayi. Penyakit Hepatitis B dan C seringkali tanpa gejala yang khas dan biasanya pasien tidak menyadari hingga pada saat pemeriksaan kesehatan rutin atau melakukan pemeriksaan laboratorium untuk keperluan yang lain. Pemeriksaan deteksi dini Hepatitis B dan C ditujukan untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi Hepatitis B atau C. Pemeriksaan deteksi dini Hepatitis B juga diperlukan pada saat akan dilakukan vaksinasi VHB.

4.1.1 METODE DETEKSI DINI

4.1.1.1 METODE UNTUK DETEKSI DINI HEPATITIS B PADA PASIEN

Seseorang yang terinfeksi Hepatitis B, didalam darahnya mengandung sejumlah besar HBsAg yang dihasilkan secara berlebihan oleh VHB yang bereplikasi. Oleh karenanya deteksi dini terhadap HBsAg merupakan deteksi apakah seseorang terinfeksi Hepatitis B. Adanya antibodi terhadap antigen surface HBV (anti-HBs) merupakan petanda adanya respon imun terhadap infeksi HBV, baik yang berasal dari infeksi maupun pasca vaksinasi.

Untuk deteksi keberadaan HBsAg dapat digunakan metoda serologi, yakni EIA atau CLIA atau Rapid Test, sedangkan untuk deteksi keberadaan anti- HBs, saat ini bisa dilakukan dengan menggunakan metoda EIA atau CLIA. Lebih lanjut dengan kemajuan teknologi dalam bidang biomolekuler, telah dikembangkan metoda molekuler untuk mendeteksi keberadaan DNA VHB dengan PCR DNA.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan deteksi dini pada pasien, hal-hal berikut disarankan dilaksanakan:14

1. Uji saring dengan rapid test HBsAg yang sangat sensitif dan spesifik bisa dilakukan di

(32)

24 laboratorium dengan jumlah pemeriksaan kurang dari 60 pemeriksaan/minggu, di daerah terpencil atau pada keadaan darurat.

2. Deteksi dini harus dilakukan menggunakan imunoreagen HBsAg yang sangat sensitif dan spesifik (misalnya metoda EIA/ CLIA). Reagen harus mampu mendeteksi subtipe HBV yang spesifik di negara yang bersangkutan.

3. Deteksi dini untuk anti-HBc tidak direkomendasikan secara rutin. Setiap negara harus menetapkan kebutuhan deteksi dini anti- HBc atas dasar prevalensi dan insidensi infeksi HBV.

4. Deteksi dini terhadap ALT tidak direkomendasikan.

4.1.1.2 METODE UNTUK DETEKSI DINI HEPATITIS C PADA PASIEN

Seseorang yang terinfeksi Hepatitis C, sering tidak menunjukkan gejala dan cenderung berkembang menjadi penyakit hati kronis hingga hepatoma (kanker hati). Adanya antibodi terhadap virus Hepatitis C (anti-HCV) merupakan petanda adanya respon imun terhadap infeksi HCV dan dipakai sebagai petanda infeksi HCV. Untuk deteksi keberadaan anti-HCV dapat digunakan metoda serologi, yakni Rapid Test atau EIA atau CLIA.

Untuk memastikan diagnosis dilanjutkan dengan pemeriksaan RNA VHC yang menggunakan metode PCR dan diikuti dengan pemeriksaan genotip.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan deteksi dini pada pasien, hal-hal berikut disarankan dilaksanakan:

1. Deteksi dini dengan rapid test anti-HCV yang sangat sensitif dan spesifik bisa dilakukan di laboratorium dengan jumlah pemeriksaan kurang dari 60 pemeriksaan/minggu, di daerah terpencil atau pada keadaan darurat.

2. Deteksi dini harus dilakukan menggunakan imunoreagen anti-HCV yang sangat sensitif dan spesifik (misalnya metoda EIA/ CLIA).

(33)

25 Ringkasan tentang petanda uji saring, reagen dan rekomendasi untuk digunakan di laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1 (lampiran 1).15

4.1.2 ALGORITMA DETEKSI DINI PASIEN HEPATITIS B

Gambar 4. Alur Algoritma Deteksi Dini Hepatitis B Interpretasi hasil uji saring:?

- Bila hasil uji saring pertama reaktif, lakukan sentrifugasi ulang pada sampel dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit. Baru dilakukan pemeriksaan duplo (dua kali).

- Bila hasil tetap reaktif, disarankan untuk pemeriksaan konfirmasi menggunakan HbsAg confirmatory reagent.

- Bila hasil tetap reaktif, dilaporkan sebagai hasil reaktif.

- Bila fasyankes tidak memiliki sarana peralatan ultrasentrifugasi atau confirmatory, segera rujuk pasien ke rumah sakit rujukan terdekat untuk pemeriksaan konfirmasi dan pengobatan.

HBsAg

Non Reaktif Reaktif

HbsAg Negatif Reaktif Retest

Konfirmasi HBsAg

Non Reaktif Reaktif

HbsAg Negatif HbsAg Positif

(34)

26 4.2 PEMERIKSAAN HEPATITIS UNTUK UJI SARING PADA DARAH

DONOR

Hepatitis B dan Hepatitis C merupakan infeksi Hepatitis B virus (HBV) dan Hepatitis C virus (HCV) yang dapat ditularkan melalui transfusi Darah. Di Indonesia, kewajiban tentang uji saring Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) pada semua kantong darah yang dikumpulkan terhadap HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan sifilis telah dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2011 tentang Pelayanan Darah, khususnya pada Pasal 11. Uji saring IMLTD terhadap darah donor bertujuan untuk meminimalkan risiko penularan IMLTD pada pasien yang menerima transfusi darah.

4.2.1 INFORMED CONSENT DONOR DARAH

Penyumbangan Darah merupakan tindakan medis pengambilan sejumlah darah dari vena donor kedalam kantong darah yang memiliki risiko. Ketentuan terkait pengambilan darah tertera di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2011 tentang Pelayanan Darah, khususnya Bagian Ketiga Pasal 9. Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa pengambilan darah harus dilakukan di Unit Transfusi Darah (UTD) pada donor yang sehat yang memberikan persetujuan. Untuk mendapatkan persetujuan donor, donor harus diberikan informasi terlebih dahulu mengenai risiko pengambilan darah dan hasil pemeriksaan darahnya. Apabila hasil pemeriksaan darah reaktif, maka UTD harus menganjurkan kepada yang bersangkutan untuk sementara tidak mendonorkan darah dan segera melakukan pemeriksaan diagnostik untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Setelah donor memahami bahan edukasi dan mengisi kuesioner donor terkait riwayat kesehatannya, sebagai tanda persetujuan donor atas pengambilan darah, uji saring infeksi dan kesediaan untuk diberitahu hasil uji saring terhadap darahnya, donor harus membubuhkan tanda tangan pada formulir informed consent yang sudah disediakan. Terlampir contoh informed consent donor darah (lampiran 2).

4.2.2 METODE UJI SARING

4.2.2.1 METODE UNTUK UJI SARING HEPATITIS B PADA DARAH DONOR

Hepatitis B merupakan salah satu jenis IMLTD yang prevalensinya paling tinggi dibandingkan dengan

(35)

27 Hepatitis C dan HIV pada darah donor. Hal ini terkait dengan tingginya prevalensi HBsAg positif diantara populasi umum di Indonesia, yakni 9,4%.16 Oleh karenanya Indonesia dikelompokan kedalam negara dengan prevalensi Hepatitis B sedang hingga tinggi. Tahun 2013, prevalensi HBsAg reaktif pada Darah donor di Indonesia adalah 1,56%.17

Seseorang yang terinfeksi Hepatitis B, di dalam darahnya mengandung sejumlah besar HBsAg yang dihasilkan secara berlebihan oleh HBV yang bereplikasi. Oleh karenanya uji saring terhadap HBsAg merupakan upaya pengamanan darah terhadap Hepatitis B yang paling umum dilaksanakan. Namun demikian, beberapa negara lain ada juga yang melakukan uji saring pada antibodi terhadap antigen core HBV (anti-HBc) sebagai petanda paparan terhadap HBV dan antibodi terhadap antigen surface HBV (anti-HBs) sebagai petanda adanya respon imun terhadap infeksi HBV. Untuk deteksi keberadaan HBsAg dapat digunakan metoda serologi, yakni EIA atau CLIA atau Rapid Test, sedangkan untuk deteksi keberadaan anti-HBc dan atau anti-HBs, saat ini bisa dilakukan dengan menggunakan metoda EIA atau CLIA.

Atas dasar beberapa data tersebut di atas, untuk meminimalkan risiko infeksi HBV melalui transfusi di Indonesia, hal-hal berikut disarankan dilaksanakan:14

1. Uji saring harus dilakukan menggunakan imunoreagen HBsAg yang sangat sensitif dan spesifik. Reagen harus mampu mendeteksi subtipe HBV yang spesifik di negara yang bersangkutan.

2. Uji saring dengan rapid test HBsAg yang sangat sensitif dan spesifik bisa dilakukan di laboratorium dengan jumlah pemeriksaan kurang dari 60 pemeriksaan/minggu), di daerah terpencil atau pada keadaan darurat.

3. Uji saring untuk anti-HBc tidak direkomendasikan secara rutin. Setiap negara harus menetapkan kebutuhan uji saring anti-

(36)

28 HBc atas dasar prevalensi dan insidensi infeksi HBV. Indonesia merupakan negara dengan tingkat endemisitas infeksi HBV sedang hingga tinggi, sehingga uji saring anti-HBc akan reaktif pada sekitar 33,7% sampel HBsAg negatif yang belum tentu semuanya benar-benar infeksius.

Hal ini akan menyebabkan banyak darah yang dibuang.

4. Uji saring terhadap ALT tidak direkomendasikan.

5. Uji saring dengan NAT dilakukan untuk meningkatkan keamanan darah, namun perlu memperhatikan aspek pembiayaan dan ketersediaan logistik.

4.2.2.2 METODE UNTUK UJI SARING HEPATITIS C PADA DARAH DONOR

Hepatitis C merupakan jenis IMLTD yang prevalensinya menempati tertinggi kedua setelah Hepatitis B pada darah donor. Infeksi HCV pada seseorang akan merangsang tubuh untuk membuat antibodi berupa anti-HCV. Pada tahun 2013, prevalensi anti-HCV reaktif pada darah donor di Indonesia adalah 0,39%.17 Untuk deteksi keberadaan anti-HCV dapat digunakan metoda serologi berupa EIA, CLIA atau Rapid Test dan untuk deteksi keberadaan RNA VHC dapat digunakan metoda molekuler NAT multipleks yang diikuti dengan NAT HCV diskriminatori.

Untuk meminimalkan risiko infeksi HCV melalui transfusi di Indonesia, hal-hal berikut disarankan dilaksanakan:

1. Uji saring harus dilakukan menggunakan imunoreagen anti-HCV atau imunoreagen kombinasi Antibodi-Antigen HCV yang sangat sensitif dan spesifik. Reagen harus mampu mendeteksi subtipe HCV yang spesifik di negara yang bersangkutan.

2. Uji saring dengan rapid test anti-HCV yang sangat sensitif dan spesifik bisa dilakukan di laboratorium dengan beban kerja sedikit, di daerah terpencil atau pada keadaan darurat.

3. Uji saring dengan NAT dilakukan untuk meningkatkan keamanan darah, namun perlu

(37)

29 memperhatikan aspek pembiayaan dan ketersediaan logistik.

Untuk lebih lengkapnya, ringkasan tentang petanda uji saring, reagen dan rekomendasi untuk empat jenis IMLTD dapat dilihat pada Tabel 1 (lampiran 1).

4.2.3 ALGORITMA UJI SARING

Terdapat dua pilihan algoritma uji saring yang direkomendasikan16 tergantung pada sudah atau belum diterapkannya sistem kualitas yang efektif di laboratorium uji saring IMLTD. Kedua pilihan algortima tersebut adalah:

Pilihan 1: Algoritma uji saring IMLTD dimana sistem kualitas di laboratorium terbatas.

a. Gunakan reagen tunggal (misalnya reagen A), dan lakukan pemeriksaan terhadap sampel satu kali sesuai dengan prosedur kerja standar. Reagen untuk setiap IMLTD harus divalidasi terlebih dahulu.

b. Analisa hasil pemeriksaan. Jika hasilnya non reaktif (A-), darah dapat dikeluarkan untuk transfusi.

c. Jika hasilnya initial reactive (A+), segera pisahkan dan musnahkan darah yang disumbangkan dan komponen darah yang dihasilkan.

Pilihan 2: Algoritma uji saring IMLTD dimana sistem kualitas di laboratorium efektif.

a. Gunakan reagen tunggal (misalnya reagen A), dan lakukan pemeriksaan terhadap sampel satu kali sesuai dengan prosedur kerja standar. Assay untuk setiap IMLTD harus divalidasi terlebih dahulu.

b. Analisa hasil pemeriksaan. Jika hasilnya non reaktif (A-), darah dapat dikeluarkan untuk penggunaan klinis.

c. Jika hasilnya initial reactive (A +), segera pisahkan darah yang disumbangkan dan komponen darah yang dihasilkan.

d. Ulangi pemeriksaan secara ganda (in duplicate), dari sampel yang sama menggunakan reagen yang sama;

Analisa hasil dari pemeriksaan ulang:

- Jika kedua pemeriksaan ulang non reaktif (A+, A-, A-), maka hasil initial mungkin adalah reaktif palsu atau

(38)

30 ada kesalahan teknis dan darah dapat dikeluarkan untuk penggunaan klinis.

- Jika salah satu atau kedua hasil pemeriksaan ulang reaktif (A+, A+, A-) atau (A+, A+, A+), maka hasil dikatakan positif, segera pisahkan dan musnahkan darah yang disumbangkan dan komponen darah yang dihasilkan. Rujuk donor ke bagian penyakit dalam rumah sakit rujukan pemerintah terdekat atau yang ditunjuk untuk mendapatkan pemeriksaan diagnostik.

Ke dua pilihan algoritma dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 5. 15

4.2.4 INTERPRETASI HASIL UJI SARING

Uji saring terhadap IMLTD pada darah donor bertujuan untuk menentukan darah mana yang dapat ditransfusikan yang kemungkinan penularan IMLTD nya seminimal mungkin. Oleh karena itu hasil uji saring inisial atau pertama kali dinyatakan dengan reaktif dan non reaktif. Reaktif artinya darah mengandung antibodi dan atau antigen agen infeksius yang dideteksi, sehingga darah tidak aman untuk ditransfusikan, dan harus dimusnahkan sesuai standar. Sedangkan non reaktif artinya darah tidak mengandung antibodi dan atau antigen agen infeksius yang dideteksi, sehingga darah aman untuk ditransfusikan. Sedemikian pentingnya tujuan dari uji Non Reaktif

(A-)

Lakukan uji saring inisial (A)

Initial Reactive (A+)

Keluarkan darah &

komponen darah yang dihasilkan

Pilihan 1

(Sistem Kualitas tidak ada/terbatas) Musnahkan darah dan komponen

darah yang dihasilkan

Negatif pada ke-dua pemeriksaan ulang (A+, A-, A-) Keluarkan darah & komponen

darah yang dihasilkan

Pilihan 2 (Sistem Kualitas efektif) Ulangi uji saring in duplicate dengan

sampel dan assay yang sama

Reaktif pada salah satu atau kedua pemeriksaan ulang (A+, A+, A-)

atau (A+, A+, A+) Musnahkan darah dan komponen

darah yang dihasilkan Rujuk donor ke bagian penyakit

dalam rumah sakit rujukan pemerintah terdekat atau yang

ditunjuk untuk mendapatkan pemiksaan diagnostik

(39)

31 saring ini, maka reagensia yang digunakan harus memiliki sensitifitas setinggi mungkin agar kemungkinan hasil negatif palsu dapat dihindarkan.

4.2.5 RUJUKAN HASIL UJI SARING REAKTIF

Donor dengan hasil uji saring darah ulang positif perlu dirujuk ke bagian penyakit dalam rumah sakit yang mampu melakukan layanan Hepatitis terdekat atau yang ditunjuk untuk mendapatkan pemeriksaan diagnostik agar dapat ditetapkan status infeksinya. Rujukan kepada rumah sakit dilakukan secara tertulis, setelah sebelumnya donor diundang ke UTD untuk mendapatkan penjelasan dan konseling tentang hasil uji saring darahnya. Konseling ditujukan agar donor setuju dan bersedia untuk dirujuk ke rumah sakit untuk memperoleh pemeriksaan diagnostik.

Umpan balik hasil tes diagnostik dari rumah sakit kepada UTD hanya akan dilakukan terhadap hasil tes diagnostik negatif, sedangkan untuk hasil tes diagnostik positif tidak dilakukan umpan balik hasil kepada UTD oleh karena hasil tes diagnostik merupakan informasi rahasia yang hanya bisa diberikan kepada pasien yang bersangkutan.

Umpan balik hasil tes diagnostik dapat dijadikan bahan untuk menentukan status penyumbangan darah dari donor terkait.

Jika donor sudah dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan tes diagnostik dan tidak ada hasil umpan balik tes diagnostik dari rumah sakit, maka UTD dapat menetapkan status donasi donor yang bersangkutan berupa penolakan permanen yakni donor tidak diperkenankan untuk menyumbangkan darahnya lagi kecuali bukti klinis dan laboratoris dari Dokter dan rumah sakit menunjukan adanya penyembuhan. Sedangkan apabila hasil pemeriksaan diagnostik menunjukkan hasil negatif, maka darah yang telah disumbangkan tetap tidak bisa digunakan untuk transfusi, sementara penentuan boleh tidaknya donor yang bersangkutan menyumbangkan darahnya kembali ditetapkan dari hasil uji saring tiga bulan kemudian saat donor menyumbangkan darahnya kembali.

Perbedaan hasil antara uji saring dengan pemeriksaan diagnostik sangat mungkin terjadi oleh karena reagen uji saring memiliki sensitifitas yang tinggi sehingga memiliki kemungkinan hasil positif palsu. Oleh karena itu pemeriksaan diagnostik harus dilakukan melalui algoritma yang standar

(40)

32 melibatkan 2-3 jenis reagensia yang berbeda metoda dan formatnya.

(41)

33 BAB V

EVALUASI DAN PEMILIHAN REAGEN HEPATITIS 5.1 EVALUASI REAGEN HEPATITIS

Reagen yang diproduksi oleh perusahaan bertaraf internasional pada umumnya telah didesain dengan baik dan umumnya telah dievaluasi secara ilmiah, baik oleh pabriknya maupun laboratorium independen. Namun demikian, perlu dilakukan evaluasi reagen dengan menggunakan spesimen penduduk Indonesia dan secara berkala dilakukan secara terencana dengan baik dan terdokumentasi penting, untuk menjamin agar pemilihan reagen yang paling tepat dari sekian pilihan yang ada dapat dibuat. Evaluasi dilakukan sebelum pengadaan dan secara berkala dievaluasi ulang setiap periode 5 tahun atau bilamana terjadi banyak hasil yang tidak sesuai antara hasil deteksi dini dan uji saring dengan hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Rujukan. Hasil evaluasi reagen membantu pemilihan reagen sesuai dengan kebutuhan.

Evaluasi dan penetapan rekomendasi reagen harus dilakukan di laboratorium yang memiliki fasilitas, tenaga ahli, pengalaman dan yang paling penting adalah panel sampel. Oleh karena itu evaluasi hanya dapat dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan.

5.2 PEMILIHAN REAGEN

Setiap tujuan pemeriksaan memiliki kelebihan dan keterbatasan yang perlu dijadikan bahan pertimbangan ketika memilih reagen.

Oleh karenanya algoritma dari pemeriksaan berperan penting.

Beberapa keterbatasan reagen adalah:

a. Masa jendela infeksi

b. Derajat positif palsu biologis

c. Kompleksitas beberapa reagen yang membutuhkan instrumen khusus.

Faktor spesifik yang harus dipertimbangkan dalam memilih reagen:

 Kejelasan prosedur pemeriksaan

 Kemudahan penggunaan

 Karakteristik reagen termasuk sensitivitas dan spesifisitas

 Jenis dan volume sampel yang digunakan

 Akurasi, presisi dan reprodusibilitas reagen

 Jumlah tes per kit

 Total waktu pemeriksaan

(42)

34

 Kesuaian jenis reagen dengan peralatan yang digunakan

 Kondisi penyimpanan reagen

Faktor laboratorium yang harus dipertimbangkan dalam memilih reagen:

 Jumlah sampel yang akan diperiksa

 Kompetensi petugas

 Ketersediaan alat

 Sarana dan prasarana yang memenuhi syarat

 Pemantapan mutu laboratorium

Faktor logistik yang harus dipertimbangkan dalam memilih reagen:

 Seleksi dan validasi pemasok

 Harga

 Sistem pengadaan

 Masa kadaluarsa

 Infrastruktur, misalnya kondisi penyimpanan yang terkontrol dan listrik yang tidak terganggu

 Dukungan teknis untuk pemecahan masalah

 Pemeliharaan alat, pelayanan dan perbaikan

Memilih reagen yang tepat merupakan bagian penting dalam program pemeriksaan diagnostik maupun uji saring. Hasil pemeriksaan diagnostik maupun uji saring yang dapat dipercaya tergantung pada konsistensi penggunaan reagen yang efektif dan telah divalidasi dengan baik.

Berikut adalah kategori nilai diagnostik reagen Tabel 1. Kategori Nilai Diagnostik Reagen

Kategori Sensitivitas (%)

Sangat tinggi >= 95

Tinggi 80-94

Sedang 65-79

Rendah 50-64

Sangat rendah < 50

(43)

35 Pemilihan reagen yang akan digunakan berdasarkan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi.

(44)

36 BAB VI

KEAMANAN DAN KESELAMATAN KERJA

Bekerja menangani bahan biologik berpotensi mendapat risiko bahaya terpapar dan terinfeksi agen infeksius yang terkandung di dalamnya.

Petugas laboratorium memiliki risiko terpapar dan terinfeksi Hepatitis B dan C termasuk agen infeksius lain yang terkandung pada bahan yang diperiksa. Berkaitan dengan hal tersebut berbagai institusi yang bekerja dengan bahan berisi agen infeksius harus memastikan keamanan bagi semua, bahwa program keselamatannya berjalan efektif, kemampuan staf terjamin, kemampuan fasilitas, peralatan dan manajemen dapat memenuhi kebutuhan untuk keamanan dan keselamatan terhadap bahaya agen infeksius. Staf laboratorium yang menangani mikroba patogen atau infeksius harus mengerti kondisi bagaimana cara yang aman memanipulasi patogen tersebut. Aplikasi pengetahuan dan penggunaan peralatan yang sesuai dan tepat dapat mencegah potensi paparan terhadap staf, laboratorium dan lingkungan terhadap agen infeksius atau bahan biologik berbahaya.

Pengendalian infeksi di laboratorium dilaksanakan dengan menerapkan kewaspadaan standar di laboratorium dengan berbagai tindakan untuk mencegah terjadinya infeksi pada petugas laboratorium, pasien, pengunjung sarana kesehatan dan penduduk sekitar sarana kesehatan atau laboratorium akibat semua kegiatan dalam sarana kesehatan atau laboratorium tersebut.

Penerapan kewaspadaan standar dalam hal pengendalian infeksi di laboratorium dilaksanakan tanpa memandang status pasien apakah menderita penyakit menular atau tidak dan juga kepatuhan dalam mengikuti panduan biosafety dapat menurunkan risiko terpapar dan infeksi yang didapatkan di laboratorium.

Secara detail mengenai keselamatan dan keamanan kerja di laboratorium mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 835 Tahun 2009 tentang Pedoman Keselamatan dan Keamanan Mikrobiologik dan Biomedik.

6.1 MANAJEMEN KEAMANAN KERJA LABORATORIUM

Untuk memenuhi standar keamanan dan keselamatan di laboratorium, beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh manajemen di rumah sakit, puskesmas, maupun laboratorium mandiri.

Referensi

Dokumen terkait

jika dibentuk dalam bentuk jaring-jaring dengan mengambil irisan dan membuang yang tidak mempunyai irisan, sehingga jaring-jaringnya dapat digambarkan sebagai berikut: e h.. 64

Curah hujan dan penutupan lahan pada Sub DAS Musi mempengaruhi ketersediaan air. Kedua komponen ini merupakan input dari neraca air yang akan mempengaruhi fluktuasi

Dam’z Cleaning and Service Computer merupakan usaha jasa dengan tujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan jasa bagi masyarakat yang kurang mengerti dibidang

Pemerintah juga telah melaksanakan dukungannya terhadap pendidikan anak usia dini dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan antara lain adanya UU no 20 tahun2013

Daftar Hadir : Pertemuan untuk pemaparan hasil musyawarah untuk pengembangan usaha pengrajin anyaman Desa Sawah Kulon Kecamatan Pasawahan di Aula Desa Sawah Kulon pada :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi karakteristik lalu lintas, dan kinerja ruas jalan tersebut saat ini, serta membandingkannya dengan kinerja sebelum

45 Total Aset Gross, Pembiayaan, Dana Pihak Ketiga, FDR dan NPF Bank Pembiayaan Rakyat Syariah berdasarkan Propinsi (Total of Gross Assets, Financing, Depositor Funds,

- Siswa membaca nyaring teks bacaan Legenda Candi Prambanan dengan lafal dan intonasi yang tepat secara bergantian.. - Salah satu siswa mendemonstrasikan membaca