• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA PENELITIAN. ang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu 1. Menurut Mariam Darus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA PENELITIAN. ang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu 1. Menurut Mariam Darus"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA PENELITIAN

A. TINJAUAN PUSTAKA a. Pengertian Perikatan

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan pihak satu berhak menuntut suatu dari pihak yang lain dan pihak ang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu1. Menurut Mariam Darus Badrulzaman perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua oran atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak lain yang satu berhak atas prestasinya dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi itu2.

Hubungan atara dua orang atau dua pihah tadi merupakan suatu hubungan hukum, yang artinya bahwa dari pihak yang berpihutang berhak menuntut, itu dijamin oleh hukum atau undang undang. Jadi apa bila tuntutan itu tidak dipenuhi, maka dapat menuntunya dimuka hakim. Kemudian dari peristiwa ini lahirlah suatu perhubungan antar dua orang yang dinamakan perikatan.

Hubungan perikatan dengan perjanjian, bahwa perjanjian itu melahirkan perikatan. Atau dengan kata lain perjanjian adalah salah salah satu sumber perikatan disampin sumber lainya yaitu undang undang. Istilah perikatan lahir dari undang undang diambil dengan memakai pasal 1233 KUHPer yang menyatakan bahwa tiap tiap perikatan muncul dari perjanjian atau dari undang

1 Subekti, Loc.Cit, hal 1

2 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1993, hal.1

(2)

15

undang. Dengan demikian suatu perikatan lahir karena perjanjian dan karena undang undang3.

b. Pengertian perjanjian

Pengertian Perjanjian Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu4. Defenisi perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntuan itu5.

Perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam Pasal 1313 yaitu : suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dari defenisi perjanjian yang diterangkan di atas terlihat bahwa suatu perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan baik secara lisan maupun secara tertulis. Dari hubungan ini timbul suatu perikatan (pengertian abstrak) antara dua pihak yang membuatnya.

3 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-undang, PT. Citra Aditya Bakti, jakarta, 1993, hal 12

4 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Bandung:

Sumur Bandung, 1981, hal. 11

5 Subekti, Hukum Perjanjian, Loc.Cit. hal 1

(3)

16 c. Perjanjian jual beli

Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 KUHPer. Menurut pasal 1457 KUHPer jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Berdasarkan pengertian jual beli menurut pasal 1457 KUHPer maka perjanjian jual beli membebankan dua kewajiban6:

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Pengertian jual beli menurut R.M. Suryodiningrat adalah perjanjian/

persetujuan/kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda/barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual7. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga8.

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli,

6 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 181.

7 R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung, Penerbit Tarsito, 1980, hal. 14.

8 M. Yahya Harahap, Loc.Cit.

(4)

17

sehingga jual beli merupakan dua istilah ya Pihak penjual berjanji untuk menyerahkan atau memindahkan hak milik atas suatu barang yang ditawarkan, sedangkan pihak pembeli menjanjikan membayar barang yang telah disetujuinya itu. Barang yang dijadikan objek jual beli pun haruslah tertentu yang setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya saat diserahkan hak miliknya kepada pembeling mencakup dua perbuatan timbal balik9.

Dalam pasal 1458 KUHPer yang menyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar, maka jual beli merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, yang artinya perjanjian jual beli lahir sebagai perjanjian yang sah dimana mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum saat tercapainya kata sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok yaitu barang dan harga. Berdasarkan beberapa pengertian jual beli diatas, maka dapat ditarik beberapa unsur dari jual beli, yaitu10:

1. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli

2. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga

3. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli

9 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, PT Citra Aditya Bakti 2014, hal. 1

10 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 49.

(5)

18 d. Syarat-syarat perjanjian

Terdapat empat syarat sah nya suatu perjanjian dalam pasal 1320 KUHPer, yaitu:

1. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak

2. Adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya objek

4. Adanya kausa yang halal.

Syarat sah nya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer, berlaku juga dalam syarat sahnya perjanjian jual beli, sehingga dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Kesepakatan antara penjual dan pembeli Konsesualisme berasal dari kata konsensus yang berarti kesepakatan. Dengan adanya kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan yaitu penjual dan pembeli tercapai sesuatu persesuaian kehendak11.Kesepakatan merupakan hal yang penting dalam pembuatan suatu perjanjian. Tanpa adanya kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli, tidak mungkin perjanjian jual beli tersebut tercipta. Kesesuaian kehendak yang diberikan yaitu dalam bentuk pernyataan dari masing- masing pihak, sehingga untuk tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang sudah dilakukan oleh kedua belah pihak Menurut Sudino Mertokusumo, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang

11 Subekti, Op.Cit, hal. 3

(6)

19

lain12. Selain itu, terdapat lima cara terjadinya persuaian pernyataan kehendak, yaitu13:

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis 2. Bahasa yang sempurna secara lisan

3. Bahasa yang tidak sempurna, asalkan dapat diterima oleh pihak lawan

4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan

5. Diam atau membisu, tetapi dapat dipahami atau diterima oleh pihak lawan

Bagaimanapun cara terbentuknya kesepakatan yang dilakukan yang terpenting adalah bagaimana penawaran dan penerimaan itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli sehingga kesepakatan tersebut terjadi. Kesepakatan secara lisan (tidak tertulis) dan tidak lisan (tertulis) sering ditemukan dalam kegiatan masyarakat. Jika kesepakatan secara tidak lisan (tertulis) bertujuan agar dapat memberikan kepastian hukum dan sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa, sedangkan kesepakatan secara lisan (tidak tertulis) banyak tidak disadari oleh pihak satu dengan pihak lainnya sebagai suatu perjanjian, padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian tersebut Kesepakatan juga harus diberikan secara bebas dimana menurut pasal 1321 KUHPer, menyebutkan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

12 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Segi Pengayaan Hukum Perikatan), Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hal. 112

13 Salim H.S., Op.Cit, hal. 33.

(7)

20

Pasal 1321 KUHPer menunjukan bahwa syarat kesepakatan harus disampaikan secara bebas agar mempunyai kekuatan mengikat karena kesepakatan yang diberikan dengan kekilhafan, paksaan dan penipuan maka kesepakatan yang diberikan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan juga menimbulkan kecacatan pada kesepakatan. Terjadinya kecacatan pada kesepakatan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kekhilafan yang diatur dalam pasal 1322 KUHPer, terjadi jika salah satu pihak keliru dalam hal apa yang telah diperjanjikan, baik subjek ataupun objek dalam perjanjian tersebut. Tetapi pihak lain membiarkan kekhilafan tersebut terjadi

2. Paksaan yang diatur dalam pasal 1323 sampai 1327 KUHPer. terjadi apabila pihak yang satu atau lebih dalam memberikan kesepakatannya mengalami tekanan, ancaman, atau paksaan, sehingga tidak terdapat kehendak yang bebas dalam menyampaikan kesepakatan tersebut 3. Penipuan yang diatur dalam pasal 1328 KUHPer, terjadi apabila

dalam menyampaikan kesepakatan pihak yang satu menyampaikan keterangan yang tidak benar sehingga membuat pihak lawan untuk memberikan persetujuan atau kesepakatan dalam perjanjian.

4. Penyalahgunaan keadaan, terjadi apabila dalam menyampaikan kesepakatan pihak yang satu memiliki posisi yang kuat baik dari segi ekonomis maupun psikologis sehingga meyalahgunakan keadaan yang membuat pihak lawan yang lemah untuk menyepakati hal-hal yang memberatkan dirinya.

(8)

21

Penyalahgunaan keadaan tidak diatur dalam KUHPer, tetapi tiga hal dalam terjadinya kecacatan pada kesepakatan yaitu kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam KUHPer. Sesuai dalam pasal 1449 KUHPer, yang berbunyi

“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”, dalam hal ini kesepakatan yang mengandung unsur kecacatan kesepakatan dapat membuat perjanjian dapat dibatalkan.

2) Kecakapan dari pihak penjual maupun pembeli

Pihak penjual dan pembeli haruslah cakap menurut hukum dalam membuat perjanjian jual beli. Sesuai dengan pasal 1329 KUHPer yaitu “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undangundang tidak dinyatakan tak cakap". Pada umumnya, orang dikatakan sudah cakap melakukan perbuatan hukum apabila dia sudah dewasa, yang artinya sudah mencapai umur 21 tahun penuh atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun14.

Menurut pasal 1330 KUHPer, tergolong orang yang tidak cakap adalah:

1. Orang yang belum dewasa, kecakapan orang ditandai dengan sudah berumur 21 tahun atau yang telah menikah. Jika telah menikah sebelum umur 21 tahun, maka orang tersebut dianggap telah cakap dalam melakukan suatu perjanjian

2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, berdasarkan pasal 433 KUHPer, pengampuan merupakan setiap orang dewasa, yang

14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PTCitra Aditya Bakti, Bandung , 2014, hal.

301.

(9)

22

selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.

3) Suatu hal tertentu dalam perjanjian jual beli

Suatu hal tertentu mengacu pada objek yang terdapat pada perjanjian. Objek perjanjian juga merupakan prestasi yang meyangkut hak dan kewajiban dari pihak penjual dan pembeli. Prestasi terdiri atas15:

1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu dan 3. Tidak berbuat sesuatu.

4) Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal berkaitan dengan isi perjanjian tersebut. Dalam hal ini, isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya isi perjanjian tersebut menurut pasal 1337 KUHPer, tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dalam masyarakat.

Adanya suatu sebab yang halal dalam pasal 1320 KUHPer, bukan sebab yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri menjadi tujuan yang akan dicapai para pihak. Undang-undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab para pihak mengadakan perjanjian,

15 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 30

(10)

23

tetapi yang diawasi oleh perjanjian adalah “isi perjanjian” sebagai tujuan yang hendak dicapai para pihak16.

Dalam pasal 1355 KUHPer, menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena suatu sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Pada perjanjian jual beli, isi perjanjian yaitu pembeli menghendaki hak milik atas suatu benda dan penjual menghendaki sejumlah uang. Pada isi perjanjian tersebut terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yaitu hak milik atas benda diserahkan kepada pembeli dan penjual mendapat sejumlah uang sebagai imbalannya.

Berdasarkan keempat syarat sah nya perjanjian, syarat pertama dan kedua tersebut merupakan syarat subjektif, dikarenakan menyangkut orang atau subyek pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, dikarenakan menyangkut perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila dalam perjanjian, syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian akan batal demi hukum, yang artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak ada.

16 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 303

(11)

24 e. Akta Notariil

Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta notariil atau akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejebat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Notaris dan PPAT ditunjuk sebagai pejabat umum yang berwenang dalam membuat akta otentik, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Wewenang Notaris dalam membuat akta otentik menurut Pasal 15 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan yang dinyatakan dalam akta otentik. Dalam akta otentik dijamin mengenai kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, pemberian grosse, salinan dan kutipan akta. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara Undang- Undang, sehingga ada 2 macam Akta Notaris:

1. Akta Pejabat atau Akta Relaas adalah akta yang dibuat oleh Notaris, yang memuat uraian secara otentik dari notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.

(12)

25

2. Akta yang dibuat dihadapan Notaris atau Akta Partij adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris memuat uraian tentang apa yang diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada Notaris.

Pada Pasal 1870 dijelaskan bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Maksud dari bukti yang sempurna tersebut adalah:

1. Tidak dapat disangkal keberadaannya, karena perjanjian dibuat oleh Notaris selaku pejabat berwenang.

2. Tidak dapat disangkal isinya, karena notaris telah memastikan bahwa isi perjanjian telah dipahami dengan cara membacakannya dihadapan para pihak dan memastikan perjanjian ditandatangani sendiri oleh para pihak.

f. Wanprestasi

J. Satrio menjelaskan wanprestasi sebagai berikut: “Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya17.”Dari pendapat di atas Beliau menyimpulkan terdapat beberapa unsur penting dalam wanprestasi yaitu:

1. Harus ada perikatan, yang menjadi dasar kewajiban berprestasi

2. Adanya perbuatan atau sikap tidak memenuhi kewajiban perikatan sebagaimana mestinya dan

17 J. Satrio, Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Cetakan Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal. 3.

(13)

26 3. Ada unsur salah18.

Terhadap unsur pertama yaitu harus ada perikatan yang menjadi dasar kewajiban berprestasi, J. Satrio menjelaskan sebagai berikut: “ perikatan itu bisa timbul, baik dari undang-undang maupun perjanjian. Untuk wanprestasi, dalam Bahasa Indonesia digunakan istilah “cidra janji”, yang sudah mengindikasikan adanya hubungan kontraktual sebagai dasar, karena “janji”

yang tidak dipenuhi, adanya di dalam suatu perjanjian19.” Dari pendapat Beliau di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan wanprestasi, yang dimaksud dengan perikatan ialah perikatan yang timbul dari perjanjian.

Terhadap unsur kedua yaitu adanya perbuatan atau sikap tidak memenuhi kewajiban perikatan sebagaimana mestinya, apabila dikaitkan dengan penjelasan Beliau terhadap unsur pertama dapat disimpulkan bahwa unsur kedua wanprestasi menghendaki adanya perbuatan atau sikap tidak memenuhi kewajiban perikatan yang timbul dari perjanjian sebagaimana mestinya

Sedangkan terhadap unsur ketiga Beliau menjelaskan unsur salah sebagai berikut: “debitur mempunyai unsur salah kalau somasi – yang dilancarkan secara sah – tidak dipenuhi oleh debitur, tanpa adanya alasan pembenar (Pasal 1243, 1244, dan 1245 B.W.) Orang mengatakan, di dalam kata-kata “berada dalam keadaan lalai” sudah tersimpul adanya unsur salah pada debitur20.”

Somasi dijelaskan oleh Beliau sebagai: “Tindakan melancarkan “surat perintah

18 Ibid., hal. 108.

19 Ibid., hal. 18-19.

20 Ibid., hal. 99-100.

(14)

27

atau akta sejenis” – sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1238 B.W.26

….”27 Argumen

J. Satrio mengenai wanprestasi diperkuat oleh ketentuan Pasal 1243 K.U.H.Perdata yang menentukan: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

Bentuk-Bentuk Wanprestasi Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan 21bahwa debitur dinyatakan melakukan wanprestasi jika memenuhi 3 (tiga) unsur sebagai berikut :

1. Perbuatan yang dilakukan debitur itu dapat disesalkan;

2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu orang yang normal dapat menduga, bahwa keadaan itu akan timbul maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan demikian akan timbul;

3. Dapat diminta untuk mempertanggungjwabkan perbuatannya, artinya orang yang melakukan wanprestasi tersebut termasuk dalam golongan yang sehat jasmani dan rohani bukan orang gila atau lemah ingatan.

Pada dasarnya wanprestasi dapat terjadi karena ada 2 (dua) hal, sebagai berikut22:

21Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Badan Pribadi, (Yogyakarta : Seksi Hukum Perdata FH UGM, 1996), hlm. 45

22 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bakti), hlm. 63

(15)

28

1. Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau dikehendaki oleh debitur.

2. Kelalaian, debitur tidak mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibat itu akan terjadi.

Berdasarkan kedua hal tersebut menimbulkan akibat yang berbeda karena dengan adanya kesengajaan si debitur, maka si debitur harus lebih banyak mengganti kerugian daripada dalam hal adanya kelalaian. Selain itu, untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan suatu wanprestasi, maka terlebih dahulu perlu juga ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasinya

Subekti membagi wanprestasi tersebut dalam 4 (empat) bentuk, yaitu 23: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, menyebutkan bahwasanya wanprestasi ada 3, yaitu24 :

1. Pihak yang berwajib sama sekali tidak melaksanakan janjinya;

2. Pihak yang berwajib terlambat melaksanakan kewajibannya;

23 Ibid, hlm.63

24Wirjono Prodjodikoro, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 9

(16)

29

3. Melaksanakan tetapi tidak secara semestinya atau tidak sebaik- baiknya.

Wanprestasi membawa akibat yang berat bagi kreditur, maka wanprestasi tidak terjadi dengan sendirinya, sehingga untuk itu dibedakan antara perutangan dengan ketentuan waktu dan perutangan tidak dengan ketentuan waktu. Perutangan dengan ketentuan waktu, wanprestasi terjadi apabila batas waktu yang ditetapkan dalam perjanjian lampau tanpa adanya prestasi, tetapi batas waktu ini pun tidak mudah karena dalam praktek sering ada kelonggaran. Suatu peraturan yang tidak dengan ketentuan waktu biasanya digunakan kepantasan, tetapi azas ini juga tidak memuaskan karena ukuran kepantasan tidak sama bagi setiap orang. Kemudian digunakan suatu upaya hukum yang disebut in gebreke stelling untuk menentukan kapankah saat mulainya atau telah terjadinya wanprestasi25.

Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena pada saat tersebut debitur berkewajiban untuk mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut. Dalam hal debitur melakukan wanprestasi, kreditut dapat menuntut beberapa hal, antara lain 26:

1. Pemenuhan perikatan;

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

3. Ganti rugi;

4. Pembatalan persetujuan timbal balik;

5. Pembatalan dengan ganti rugi.

25Ibid, hlm. 72

26 Ibid, hlm. 81

(17)

30

Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, tidak juga dapat terlaksana sebagaimana yang telah diperjanjikan.

Dalam hukum perjanjian, ada dua hal yang menyebabkan tidak terlaksananya suatu perjanjian yaitu wanprestasi atau ingkar janji atau cidera janji (overmacht).

Wanprestasi (kelalaian atau alpa) yaitu tidak terlaksananya suatu perjanjian karena kesalahan atau kelalaian atau cidera janji/ingkar janji dari para pihak. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”, yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Jadi apabila yang berutang (debitur) tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka dapat dikatakan melakukan wanprestasi.

B. ANALISA PENELITIAN a. Posisi Kasus

Dalam perkara ini yang bertindak sebagai PENGGUGAT adalah Hendrikus Chandra atau Hendrik Chandra dan sebagai TERGUGAT I adalah PT MANGGARAI BARAT INTERNASIONAL REALITY, serta TERGUGAT II adalah Junianto, S.H.,M.Kn.

Hendrikus Chandra selaku PENGGUGAT memiliki sebidang tanah bersertifikat hak milik atas nama dirinya seluas 17.210m2. TERGUGAT I ingin membeli sebagian kecil dari tanah milik PENGGUGAT tersebut seluas 7.600m2 dengan harga per meter nya tersebut sebharga Rp.3.500.000,-/m2. Setelah disepakati harga tersebut kemudian PENGGUGAT dan TERGUGAT I membuat pernyataan dihadapan TERGUGAT II sebagai NOTARIS/PPAT di daerah tersebut. Dari pernyataan kedua belah pihak melahirkan kesepakatan pembayaran

(18)

31

sebanyak 2 tahap dimana tahap yang pertama TERGUGAT I membayar sejumlah Rp. 23.600.000.000 (dua puluh tiga miliar enam ratus juta rupiah) kepada PENGGUGAT, lalu tahap kedua harus dibayarkan pada saat pemecahan sertifikat, adapun yang harus dibayar adalah Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

Pada tanggal 28 Januari 2015 PENGGUGAT dan TERGUGAT I membuat Akta Pernyataan Nomor 34, yang dibuat dihadapan TERGUGAT II, akta mana menerangkan PENGGUGAT akan melakukan pemecahan hak atas tanah milik PENGGUGAT berupa sebidang tanah Sertipikat Hak Milik(SHM) Nomor 528/Labuan Bajo seluas 17. 210 m2 (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Sepuluh Meter Persegi) menjadi seluas 7.600 m2 (Tujuh Ribu Enam Ratus Meter Persegi) dan penurunan Hak atas Sertipikat menjadi Sertipikat Hak Guna bangunan (SHGB).

Dalam upaya pemecahan luas tanah dan penurunan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 528/Labuan Bajo menjadi Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB), PENGGUGAT meminjam Asli Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 528/Labuan Bajo kepada TERGUGAT I dan berjanji kepada TERGUGAT I untuk menyerahkan kembali hasil pemecahan dan penurunan Hak atas Sertipikat tersebut.

Pada tanggal 11 Februari 2015 PENGGUGAT telah mengajukan permohonan pemecahan luas tanah yang sebelumnya 17. 210 m2 (Tujuh Belas Ribu Dua Ratus Sepuluh Meter Persegi) menjadi seluas 7.600 m2 (Tujuh Ribu Enam Ratus Meter Persegi) dan penurunan Hak yang sebelumnya Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 528/Labuan Bajo menjadi Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat (TURUT TERGUGAT II).

(19)

32

Berdasarkan pengajuan permohonan pemecahan dan penurunan hak, maka Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat (TURUT TERGUGAT II) telah menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 00035/Kelurahan Labuan Bajo, dengan luas 7.600 m2 (Tujuh Ribu Enam Ratus Meter Persegi) berdasarkan surat ukur tertanggal 06-03-2015, Nomor: 405/Labuan Bajo/2015 atas nama pemegang hak Hendrikus Chandra. Setelah pemecahan dan penurunan Sertipikat Hak Milik (SHM) menjadi Sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama Hendrikus Chandra, maka PENGGUGAT dengan TERGUGAT I membuat Akta Jual Beli pada tanggal 30 April 2015 dihadapan Carolina Desiani Djerabu,S.H.,M.Kn selaku PPAT, Kabupaten Manggarai Barat di Labuan Bajo (TURUT TERGUGAT I) dengan baru membayar kepada PENGGUGAT sebesar Rp5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah).

Setelah sekian lama setelah kedua belah pihak melakukan perjanjian namun sampai saat ini TERGUGAT belum melunasi perjanjian di tahap pertama. Bukan hanya itu, TERGUGAT pun tidak menanggapi PENGGUGAT setiap kali PENGGUGAT melalukan penagihan kepada TERGUGAT. Akibat perbuatan TERGUGAT yang mengabaikan dan lalai dalam melakukan pelunasan tersebut, PENGGUGAT mengalami kerugian. Selain lalai dan mengabaikan PENGGUGAT, TERGUGAT pun terindikasi melakukan tipu muslihat kepada PENGGUGAT untuk melunasi pembelian tanah milik PENGGUGAT melalui dua kali tahapan pembayaran.

Atas perbuatannya tersebut, Hakim Pengadilan Negeri Labuan Baju memutus perkara ini dengan putusan sebagai berikut :

(20)

33

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan penipuan/tipu muslihat dalam pembuatan Akta Jual Beli Nomor: 39/2015, Tanggal 30 April 2015 yang dibuat dihadapan Turut Tergugat II;

3. Menyatakan Akta Jual Beli Nomor: 39/2015, Tanggal 30 April 2015 yang dibuat dihadapan Turut Tergugat I tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum;

4. Menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan cidera janji (wanprestasi) terhadap Akta Kesepakatan Bersama Nomor 30, tanggal 27 Januari 2015 dan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 32, tanggal 28 Januari 2015 yang dibuat dihadapan Tergugat II;

5. Menyatakan Akta Kesepakatan Bersama Nomor 30, tanggal 27 Januari 2015 dan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 32, tanggal 28 Januari 2015 yang dibuat dihadapan Tergugat II dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum;

6. Memerintahkan Tergugat I menyerahkan kepada Penggugat atas fisik bidang tanah beserta dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor: 00035/Labuan Bajo tanggal 12-03-2015, Surat Ukur Nomor: 405/Labuan Bajo/2005 tanggal 06-03-2015 seluas 7.602 m2 yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Manggarai Barat, Kecamatan Komodo, Kelurahan Labuan Bajo atas nama Tergugat I;

7. Memerintahkan kepada Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II untuk tunduk dan patuh terhadap putusan ini;

(21)

34

8. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

b. Akibat dari tipu muslihat pada perikatan jual beli hak atas tanah di depan notaris dan tanpa kehadiran salah satu pihak

Dalam perkara Nomor 9/Pdt.G/2018/PN.Lbj ini yang bertindak sebagai PENGGUGAT adalah Hendrikus Chandra atau Hendrik Chandra dan sebagai TERGUGAT I adalah PT MANGGARAI BARAT INTERNASIONAL REALITY, serta TERGUGAT II adalah Junianto, S.H.,M.Kn. Dijelaskan dalam gugatan perkara, bahwa para pihak tergugat telah melakukan wanprestasi serta tipu muslihat terhadap penggugat. Antara penggugat dan tergugat baru terjadi Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB) yang dilakukan dihadapan notaris.

PPJB sendiri memiliki pengertian kesepakatan antara pelaku pembangunan dengan pembeli untuk melakukan jual beli dalam kegiatan pemasaran sebelum ditandatangani Akta Jual Beli menurut Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Selaras dengan syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPer, bahwa harus ada kesepakatan antara dua belah pihak. Ruang lingkup dari sistem PPJB ini adalah pemasaran dan PPJB (dalam hal berlaku untuk rumah umum milik, rumah komersial milik yang berbentuk rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun) beserta hak atas tanah yang terkandung didalamnya. Hak atas tanah dapat dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang diperlihatkan kepada calon pembeli saat penandatanganan PPJB. Dalam Pasal 11

(22)

35

ayat (2) Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, PPJB paling sedikit memuat tentang identitas para pihak, uraian objek PPJB, harga dan tata cara pembayaran, jaminan pelaku pembangunan, hak dan kewajiban para pihak, pembatalan dan berakhirnya PPJB, waktu serah terima bangunan, dan penyelesaian sengketa.

Pada kasus Perkara Nomor 9/Pdt.G/2018/PN.Lbj telah dilakukan PPJB dengan ditandainya terjadi kesepakatan antara Hendrikus Chandra selaku PENGGUGAT dan PT MANGGARAI BARAT INTERNASIONAL REALITY selaku TERGUGAT I dihadapan notaris Junianto, S.H., M.Kn. selaku TERGUGAT II berdasarkan Akta PPJB Nomor 32, tertanggal 28 Januari 2015.

Namun, setelah disepakatinya PPJB, TERGUGAT I melakukan wanprestasi, dimana dalam kesepakatan telah tertuang untuk dilakukan pembayaran sebanyak 2 tahap, yang pada tahap pertama TERGUGAT I wajib membayar sejumlah Rp23.600.000.000,00 (dua puluh tiga miliar enam ratus juta rupiah) serta tahap kedua sejumlah Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) kepada PENGGUGAT dengan harga per meternya Rp3.500.000,00/m2. Dalam hal wanprestasi, menurut Pasal 9 Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, sebagaimana kelalaian ditimbulkan oleh pihak pelaku pembangunan, maka calon pembeli dapat melakukan pembatalan pembelian dan seluruh pembayaran yang telah diterima oleh pihak pelaku pembangunan harus dikembalikan seutuhnya kepada calon pembeli. Dalam hal kelalaian ditimbulkan oleh pihak pembeli, maka pihak pelaku pembangunan wajib mengembalikan pembayaran yang telah diterima dengan dapat memotong 10%

(23)

36

(sepuluh persen) dari pembayaran yang telah diterima. Semua kelalaian yang terjadi dalam PPJB dapat mengakibatkan batalnya PPJB. Pihak TERGUGAT I dalam putusan hakim telah terbukti lalai dalam melakukan pembayaran setelah dilakukan somasi oleh PENGGUGAT, sampai perkara diputus oleh hakim, masih belum melakukan pembayaran sama sekali. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1243 KUHPer yang menentukan penggatian biaya, kerugian, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan dan menurut Pasal 1328 KUHPer, apabila dalam menyampaikan kesepakatan, pihak yang satu telah menyampaikan keterangan yang tidak benar sehingga membuat pihak lawan memberikan persetujuan atau sepakat dalam perjanjian, dapat mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.

c. Legal reasoning Hakim

Pada perkara Nomor 9 Pdt.G/2018/PN. Lbj, hakim telah memutus TERGUGAT I untuk melakukan penyerahan fisik sebidang tanah beserta dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor: 00035/Labuan Bajo tanggal 12-03-2015, Surat Ukur Nomor: 405/Labuan Bajo/2005 tanggal 06-03-2015 seluas 7.602m2 yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Manggarai Barat, Kecamatan Komodo, Kelurahan Labuan Bajo serta membatalkan Akta PPJB Nomor 32, tanggal 28 Januari 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan batal demi hukum. Pihak TERGUGAT I juga berusaha melakukan tipu muslihat,

(24)

37

dengan memaksa PENGGUGAT untuk melakukan penandatanganan AJB Nomor:

39/2015, tanggal 30 April 2015, dimana TERGUGAT I telah melegalisir kwitansi Nomor: 001/MIR/2015 tertanggal 28 Januari 2015 dan TERGUGAT II baru melegalisir kwitansi Nomor: 002/MIR/2015 tertanggal 29 April 2015 pada tanggal 07 Mei 2015 seolah-olah telah terjadi pembayaran nyata antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I. Dalam hal tipu muslihat, sesuai pada Pasal 1328 KUHPer yang berbunyi: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai salah satu pihak, adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”, telah dibuktikan dan diputuskan oleh hakim dengan AJB Nomor: 39/2015, tanggal 30 April 2015, dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap karena mengandung perbuatan tipu muslihat yang dibuat dihadapan Turut TERGUGAT II (Carolina Desiani Djerabu, S.H., M.Kn selaku PPAT).

Hakim juga telah memutuskan bahwa TERGUGAT I harus mengembalikan sebidang tanah yang disebutkan dalam AJB Nomor: 39/2015, tertanggal 30 April 2015 kepada PENGGUGAT. Hal ini didasarkan pada Pasal 9 Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah yang menyebutkan sebagaimana kelalaian ditimbulkan oleh pihak pelaku pembangunan, maka calon pembeli dapat melakukan pembatalan pembelian dan seluruh pembayaran yang telah diterima oleh pihak pelaku pembangunan harus dikembalikan seutuhnya kepada calon

(25)

38

pembeli. Dalam hal kelalaian ditimbulkan oleh pihak pembeli, maka pihak pelaku pembangunan wajib mengembalikan pembayaran yang telah diterima dengan dapat memotong 10% (sepuluh persen) dari pembayaran yang telah diterima.

Hakim juga memutuskan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum.

Sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 9 Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah , yaitu semua kelalaian yang terjadi dalam PPJB dapat mengakibatkan batalnya PPJB. Dan juga hal ini diatur dalam Pasal 1328 KUHPer, apabila dalam menyampaikan kesepakatan, pihak yang satu telah menyampaikan keterangan yang tidak benar sehingga membuat pihak lawan memberikan persetujuan atau sepakat dalam perjanjian, dapat mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.

Dalam perkara Nomor 9/Pdt.G/2018/PN. Lbj, meskipun hakim tidak memutuskan untuk memberikan bunga dan perhitungan kerugian yang diterima oleh PENGGUGAT, namun hakim memutuskan untuk PENGGUGAT tidak mengembalikan pembayaran yang telah diterima dari TERGUGAT I sebesar Rp5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah). Hakim mengacu pada Pasal 1243 KUHPer yang menentukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur (dalam hal ini TERGUGAT I), walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan. Hakim melihat bahwa TERGUGAT I tetap lalai untuk memenuhi kewajibannya dalam perikatan, dengan dibuktikannya pada somasi

(26)

39

yang telah beberapa kali dilakukan oleh PENGGUGAT kepada TERGUGAT I, namun tidak ditanggapi sama sekali oleh pihak TERGUGAT I.

d. Analisa

Pada perkara putusan Nomor 9/Pdt.G/2018/PN. Lbj, terjadi tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh TERGUGAT I, yaitu PT. MANGGARAI BARAT INTERNATIONAL REALITY, dengan cara melakukan tipu muslihat melalui pemalsuan kuitansi pembayaran dan perjanjian AJB dihadapan notaris terhadap PENGGUGAT, yaitu Hendrikus Chandra. Kesepakatan harga mengenai jual beli tanah telah tercapai, dengan harga Rp3.500.000,-/m2 dengan luas tanah sebesar 7.600m2, yang harus dibayarkan dalam 2 tahap, dimana pada tahap pertama, TERGUGAT I harus membayarkan sebesar Rp23.600.000.000,- kepada PENGGUGAT dan pada tahap kedua sebesar Rp3.000.000.000,- yang dilakukan pada saat pemecahan sertifikat yang ditandai dengan terbitnya PPJB yang dilakukan dihadapan notaris Junianto, S.H. PPJB, sesuai dari kepanjangannya Perjanjian Pendahuluan Jual Beli, merupakan kesepakatan antara pembeli dengan penjual untuk melakukan jual beli dalam kegiatan pemasaran sebelum ditanda tangani Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB) menurut Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Hal tersebut juga sesuai Pasal 1320 KUHPer yang menyatakan bahwa harus ada kesepakatan antara dua belah pihak.

Pada saat pembayaran baru mencapai angka Rp5.000.000.000,-, TERGUGAT I meminta PENGGUGAT untuk melakukan pemecahan sertifikat tanah, yang kemudian TERGUGAT I membujuk PENGGUGAT agar secara

(27)

40

bersama-sama membuat Akta Jual Beli pada tanggal 30 April 2015 dihadapan PPAT Kabupaten Manggarai Barat, Labuan Bajo, sehingga seolah-olah TERGUGAT I telah membayar lunas pembelian tanah atas PENGGUGAT. Tanpa adanya kelanjutan pembayaran kembali meskipun PENGGUGAT telah melakukan somasi berkali-kali, TERGUGAT I telah melakukan wanprestasi terhadap PENGGUGAT. Sesuai Pasal 9 Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 Tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, sebagaimana kelalaian ditimbulkan oleh pelaku pembangunan, maka pihak calon pembeli dapat melakukan pembatalan pembelian dan seluruh pembayaran yang telah diterima oleh pihak pelaku pembangunan harus dikembalikan seutuhnya kepada calon pembeli. Jika kelalaian ditimbulkan oleh pihak calon pembeli, maka pembayaran harus dikembalikan kepada calon pembeli dengan dipotong 10% dari pembayaran yang telah diterima pelaku pembangunan. PPJB dapat batal jika terjadi kelalaian dalam PPJB. Ganti rugi juga diatur dalam Pasal 1243 KUHPer dimana ditentukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan. Dalam hal ini, untuk Penggugat sudah layak karena Pasal 9 Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 yang berbunyi Jika kelalaian ditimbulkan oleh pihak calon pembeli, maka pembayaran harus dikembalikan kepada calon pembeli dengan dipotong 10% dari pembayaran yang telah diterima pelaku pembangunan. Hal tesebut sudah di realisasi untuk penggugat menerima uang sebesar Rp5.000.000.000,- sebagai mana Pasal 1243.

AJB Nomor 39/2015, tertanggal 30 April 2015, juga dinyatakan tidak sah karena telah terbukti terjadi tipu muslihat, dengan bukti legalisir kwitansi Nomor:

(28)

41

001/MIR/2015 tertanggal 28 Januari 2015 yang dilakukan oleh TERGUGAT I dan legalisir kwitansi Nomor: 002/MIR/2015 tertanggal 29 April 2015 yang baru dilakukan pada tanggal 07 Mei 2015 oleh TERGUGAT II, seolah-olah telah terjadi pembayaran lunas antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I. Sesuai ketentuan Pasal 1328 KUHPer dimana disebutkan jika “penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai salah satu pihak, adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan,” telah dibuktikan dan diputuskan oleh hakim.

Referensi

Dokumen terkait

Distilasi yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah distilasi campuran biner, dimana zat yang digunakan adalah campuran kloroform dan aseton dengan komposisi yang variasi.Suatu

Berdasarkan hasil analisa mineralgrafi yang didukung analisa x-ray mapping dan ditampilkan secara tampilan spectro electron microscpe, dapat dikatakan bahwa contoh-contoh

Data hasil analisis pengaruh berbagai jenis pestisida nabati terhadap jumlah imago yang hidup 8 MSI dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa berbagai

- Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum dan

Puji syukur kepada Allah SWT yang memberikan ridho dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “ Analisis Implementasi

Salah satu gambar tangan di Gua Metanduno diperkirakan berjari runcing (Oktaviana, Bulbeck, et al., 2016). Gambar tangan berjari runcing di Gua Metanduno berada di bawah imaji

Pengukuran protein kasar pada sampel bertujuan untuk mengetahui jumlah protein pada pakan dan sampel A (silase sorgum Samurai 2) menunjukkan bahwa protein kasar yang