154
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI
Made Warka, Dariati
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Email: [email protected]
Abstrak
Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) didominasi oleh istri sebagai korban. Kekerasan dalam rumah tangga berkaitan erat dengan persoalan gender, adanya diskriminasi terhadap perempuan, serta diidentikkan dengan permasalahan pribadi dalam suatu keluarga. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis, ekonomi dan seksual. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004, maka diharapkan penegakan hukum terhadap kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat dilaksanakan secara maksimal. Baik dengan melakukan penanggulangan secara penal maupun non penal. Sehingga hambatan-hambatan dalam penyelesaian kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri dapat ditanggulangi. Penulisan bertujuan mengetahui pengaturan hukum kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, serta faktor-faktor penyebab dan upaya penanggulangannya.
Kata kunci: UU No 23 Tahun 2004, Kekerasan dalam rumah tangga.
PENDAHULUAN
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sering terjadi, faktanya satu dari tiga istri pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.1 Ada anggapan yang tumbuh dalam masyarakat yaitu “rumah tangga adalah urusan pribadi dan yang terjadi didalamnya adalah bukan urusan orang lain”.
Anggapan yang tidak memberi ruang perlindungan hukum bagi perempuan memposisikan permasalahan dalam rumah tangga termasuk didalamnya kejahatan, dianggap bukan sebagai masalah kriminal yang dilakukan anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya.
Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), perkosaan (Pasal 285 KUHP) dan seterusnya. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang dipakai masing-masing tergantung pada kasus
1 lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61& src=a&id=210509, akses tanggal 18 Mei 2011.
155
yang timbul. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.
Yang menarik perhatian publik adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri), dimana pelaku dan korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik.2 Sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa selama ini kaum perempuan hampir selalu menjadi kaum yang dinomorduakan jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pada akhirnya mengkibatkan kaum perempuan dalam kehidupan seharí-hari, banyak mengalami pembatasan yang dikenakan oleh masyarakat sendiri secara umum. Hal ini perempuan mendapatkan rintangan dalam mengembangkan eksistensi dan potensi yang ada pada diri mereka masing- masing.
Perempuan menerima perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan sebagai hikmah dan memahami kondisi hidup antara laki-laki dan perempuan memang berbeda, akan tetapi perlakuan yang bersifat diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan bermasya-rakat berlangsung telah lama dan sangat kental.
Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak 22, 512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus)3. Lembaga-lembaga tersebut termasuk RPK (Ruang Pelayanan Khusus) atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian, Pusat Krisis Terpadu & Pusat Pelayanan Terpadu (PKT & PPT) di Rumah Sakit atau Layanan Kesehatan, Women’s Crisis Centre (WCC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyediakan layanan pendampingan bagi Korban serta Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Women Crisis Center Mitra Perempuan, ditahun 2007 mencatat 87%
dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersbut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan
2 Soeroso, Hadiati Moerti, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, Sinar Grafika, h 1.
3 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan Tahunan tentang kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta, 7 Maret 2007, h. 5.
156
korban kekerasan yang diampingi WCC Mitra Perempuan mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12%
dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya.
Pada dasarnya pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai di samping untuk memperoleh keturunan.
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa, Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penganiayaan terhadap Istri hakikatnya adalah perwujudan dari ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat (yang sering disebut sebagai ketimpangan gender), yang secara sosial menempatkan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan perempuan.
Bahwa ketimpangan tersebut yang diperkuat oleh keyakinan sosial seperti mitos (kepercayaan masyarakat jaman dahulu yang dianggap sebagai kebenaran), dan prasangka yang menumbuhsuburkan praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan (baik di ranah domestik maupun publik). Dan penganiayaan yang mengakibatkan penderitaan perempuan baik secara fisik, mental maupun seksual.4
Dalam konteks kekerasan terhadap istri banyak akar kepercayaan yang berasal dari interpretasi ajaran agama yang mempertimbangkan bahwa kekuasaan suami adalah absolut terhadap istrinya, serta status subordinasi perempuan. Karena norma-norma ini orang cenderung tidak mengambil jalur hukum ketika mengalami penganiayaan dalam rumah tangga. Menurut pengamatan penulis, kekerasan dalam rumah tangga setiap tahun semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Di samping itu pula, hak asasi manusia khususnya perlindungan terhadap anggota rumah tangga semakin diperjuangkan seperti munculnya kelompok kerja pemantauan untuk perempuan, Komnas Perempuan, Komnas HAM yang telah berupaya dan berjuang untuk menghapuskan bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan mencari alternatif pemecahannya (suatu tinjauan hukum) dan lain-lain. Puncak perjuangan tersebut dengan ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Berdasarkan argumentasi tersebut, penulis tertarik untuk meneliti secara mendalam bagaimana solusi menghapus kekerasan dalam rumah tangga, faktor-faktor apa yang menyebabkan kekerasan yang dilakukan suami
4 Ahmad Suaedy, 2000, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren, Jakarta, Gresindo, h.
82.
157
terhadap istri, bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, dan sejauh mana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan sanksi terhadap pelaku kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, dan hambatan-hambatan dalam penanganan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian diatas, penuliskan merumuskan permasalahan yaitu “Bagaimana penegakan hukum terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri?
METODE PENELITIAN
Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang- undangan (The Statute Approach) dan pendekatan konsep. Bahan-bahan hukum yang telah disusun secara sistematis selanjutnya dianalisis dengan teknik deskripsi dan argumentasi.5 “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin- doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi” Isu hukum mempunyai posisi yang sentral di dalam penelitian hukum sebagaimana kedudukan masalah di dalam penelitian lainnya karena isu hukum itulah yang harus dipecahkan di dalam penelitian hukum sebagaimana permasalahan yang harus dijawab dalam penelitian bukan hukum”.6
PEMBAHASAN Teori Kekerasan
Berkaitan dengan teori kekerasan yang mendasarkan pola pemikirannya atas fenomena kekerasan individu, maka terdapat dua teori besar yang mencoba mencerna tentang keberadaan kekerasan pada diri seseorang. Kedua teori tersebut antara lain adalah teori kekerasan sosio-anthropologis dan teori kekerasan genetika.
Teori sosio-anthropologi, menyatakan bahwa manusia itu adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Bagi Hobbes, dan tentu saja hingga kini masih sangat diyakini oleh para pengikutnya, dalam diri seseorang senantiasa bersemayam benih-benih kekerasan. Manusia, manakala diganggu kepentingannya, maka ia akan menyerang. Sedangkan kalau memiliki suatu kemauan atau kehendak, maka manusia tersebut tak tanggung-tanggung lagi untuk menyerbunya dan merampasnya kalau ada insan lain yang memiliki apa yang dimauinya itu. Perilaku agresif ini dibenarkan oleh Sigmmund Freud dengan menegaskan bahwa agresifitas
5Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, h. 92.
6Ibid, h. 14.
158
yang dimiliki manusia sebenarnya bersifat bawaan dan tak terelakkan. Ia akan semakin dominan dalam kehidupan manusia sehingga pada akhirnya naluri thanatos atau daya mematikan akan melebihi naluri eros atau daya menghidupkan.
Sedangkan teori genetik, merupakan konsep teori yang diambil dari sisi ilmiah. Teori ini menyatakan bahwa kekerasan merupakan hasil suatu rangkaian reaksi kimiawi yang terjadi dalam fungsi otak seseorang. Ini terjadi karena suatu zat tertentu, serotinin, kurang pasokannya ke otak. Akibatnya, emosipun menyala dan daya kendalipun melumpuh. Hanya bila kadar serotin dalam otak seseorang pada kadar yang memadai, ia baru bisa berpikir sehat dan hidup normal. Pandangan ini secara langsung mengarah pula pada diri seseorang, taraf tinggi rendahnya kekerasan, ditentukan faktor gen atau keturunan.
Sedangkan teori-teori kekerasan yang mendasarkan pada pengembangan pola pikir atas fenomena kekerasan kolektif / kelompok, dapat ditunjukkan dengan keberadaan teori psikologis, teori instink, teori revolusi, teori konflik serta teori frustasi-agresi.
Bentuk Kekerasan Pada Anggota Keluarga
Dari berbagai kasus yang pernah ada di Indonesia bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi berikut ini.
1. Kekerasan Fisik a. Pembunuhan:
1) suami terhadap istri atau sebaliknya;
2) ayah terhadap anak atau sebaliknya;
3) ibu terhadap anak atau sebaliknya(termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);
4) adik terhadap kakak, kemanakan, ipar atau sebaliknya;
5) anggota keluarga terhadap pembantu;
6) bentuk campuran selain tersebut di atas.
b. Penganiayaan :
1) suami terhadap istri dan sebaliknya;
2) ayah terhadap anak dan sebaliknya;
3) ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk penganiayaan bayi oleh ibu);
4) adik terhadap kakak, kemanakan, ipar atau sebaliknya;
5) anggota keluarga terhadap pembantu;
6) bentuk campuran selain tersebut diatas.
159 c. Perkosaan:
1) ayah terhadap anak perempuan; ayah kandung atau ayah tiri dan anak kandung maupun anak tiri;
2) suami terhadap adik/kakak ipar;
3) kakak terhadap adik;
4) suami/anggota keluarga laki-laki terhadap pembantu rumah tangga;
5) bentuk campuran selain tersebut diatas.
2. Kekerasan Non Fisik/Psikis/Emosional, seperti:
a. penghinaan;
b. komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri pihak istri;
c. melarang istri bergaul;
d. ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua ; e. akan menceraikan;
f. memisahkan istri dari anak-anaknya dan lain-lain.
3. Kekerasan Seksual, meliputi:
a. pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;
b. pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau disetujui oleh istri;
c. pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri sedang sakit atau sedang menstruasi;
d. memaksa istri menjadi pelacur atau sebagainya.
4. Kekerasan Ekonomi, berupa:
a. tidak memberi nafkah pada istri;
b. memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol kehidupan istri;
c. membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami. Misalnya memaksa istri menjadi “perempuan panggilan”.
Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Bentuk-bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yaitu:
1) Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
2) Kekerasan Psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
160
3) Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2004).
4) Penelantaran rumah tangga juga dimasukkan dalam pengertian keke-rasan, karena setiap orang dilarang menelantarkan dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004).
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:
a. suami, istri dan anak.
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwakilan yang menetap dalam rumah tangga;
dan
b. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Selanjutnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur tentang tujuan disusunnya undang-undang tersebut, yaitu:
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah sosial, bukan masalah keluarga yang perlu disembunyikan. Hal ini tertuang dalam aturan yang tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.”
161 Peran Aparat Penegak Hukum
Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokat dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban.
a. Peran Kepolisian (Pasal 16-20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004) Kepolisian menerima laporan kasus kekerasan dan segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.
b. Peran Advokat ( pasal 25)
Advokat sebagai propesi yang pembela masyarakat harus selalu siap dalam menyelesaikan masalah atau perkara mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Hal ini diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004.
c. Peran Pengadilan
Peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khu- susnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.
Fungsi dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Keberadaan hukuman sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati, norma-norma yang berlaku. Bab VIII tentang ketentuan pidana dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengemukakan sebagai berikut:
a. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000, (lima belas juta rupiah)
b. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000, 00 ( tiga puluh juta rupiah).
c. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000, 00 (empat puluh lima juta rupiah).
d. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
162
atau halangan untuk menjalankan kekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000, 00 (lima juta rupiah).
Selanjutnya, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 berbunyi:
a. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
b. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Kemudian Pasal 45 ini, perlu dikaitkan dengan Pasal 52 dari undang- undang yang sama, yang berbunyi:
“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.”
Adapun Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 berbunyi:
“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000, 00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Pasal 46 tersebut berkaitan dengan Pasal 53 dari undang-undang yang sama, yang berbunyi :
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh seseorang terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan”.
Upaya Preventif dan Represif Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Suami pada Istri
1. Sarana Penal
Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan. Mengingat keterbatasan dan kelemahan hukum pidana, maka dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau intervensi
“penal” seyogianya dilakukan dengan lebih berhati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Dengan kata lain, sarana penal tidak selalu dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Dalam menggunakan
163
sarana penal Nigel Walker,7 pernah mengingatkan adanya “prinsip-prinsip pembatas” yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain:
1) jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;
2) janganmenggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;
3) jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan;
4) jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari tindak pidana itu sendiri;
5) larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
6) hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
Barda Nawawi Arief,8 menyimpulkan dan mengidentifikasi sebab- sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut:
1) sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana;
2) hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio- kultural dan sebagainya);
3) keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
4) bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”. Dalam memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya (hukum) pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional.
2. Sarana Non Penal
Berkaitan dengan usaha-usaha non-penal tersebut, Barda Nawawi Arief,9 menyatakan, mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
7 Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 47-48.
8 Ibid, h. 46-47.
164
non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah- masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau dilihat dari sudut politik kriminal menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian secara makro dan global, maka upaya-upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Menurut Muladi,10 dalam strategi preventif umumnya terdiri 3 (tiga) kategori yang mendasarkan diri pada public health model yakni:
1) Pencegahan kejahatan prime. Strategi yang melalui kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain, secara khusus mencoba mempengaruhi kriminogenik dan akar kejahatan. Hal ini misalnya saja melalui pendidikan, perumahan, lapangan kerja dan rekreasi yang sering disebut sebagai pre offence intervention. Target utamanya adalah masyarakat umum bersifat luas.
2) Pencegahan sekunder. Dapat ditemukan dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya secara praktis seperti peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Targetnya adalah mereka yang cenderung melanggar.
3) Pencegahan tersier. Terutama diarahkan pada residivisme oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana. Targetnya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan. Dibedakan pula yaitu:
a) Pencegahan sosial. Diarahkan pada akar kejahatan.
b) Pencegahan situasional. Diarahkan pada pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan.
c) Pencegahan masyarakat. Dilakukan dengan tindakan-tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan meningkatkan kemampuan mas-yarakat untuk menggunakan kontrol sosial informal.11
Hambatan-Hambatan Dalam Penanganan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri.
Tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mempunyai sifat istimewa dan khusus. Keistimewaan perbuatan ini terletak pada hubungan antara pelaku dan korban. Pada kasus-kasus tindak pidana yang lain kadang- kadang pelaku tidak mengenal korban sama sekali dan seringkali tidak mempunyai hubungan. Tetapi pada kekerasan dalam rumah tangga pelaku
9 Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, h. 49.
10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, h. 8.
11 Ibid, h. 8.
165
dan korban mempunyai hubungan khusus yaitu hubungan perkawinan(suami istri), hubungan darah(orang tua, anak, kemenakan) atau hubungan adanya ikatan kerja misalnya pembantu rumah tangga dan tinggal dalam satu rumah dengan pelaku.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mengutamakan kekeluargaan. Keutuhan rumah tangga merupakan hal yang penting. Apabila di dalam rumah tangga itu terdapat masalah, selama masih bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, jalan inilah yang akan dipilih. Rasa malu apabila keburukan rumah tangga diketahui orang serta pengabdian seorang istri terhadap suami masih mendominasi rumah tangga di Indonesia. Kaum feminis sering menuding nilai-nilai ini yang melanggengkan KDRT. Namun inilah kenyataannya. Di dalam masyarakat telah ada aturan-aturan yang tidak begitu saja dapat diubah hanya dengan munculnya sebuah undang-undang.
Sebuah dilema yang tidak mudah dicarikan jalan keluarnya. Di satu sisi KDRT tetaplah sebuah kekerasan, sebuah tindakan yang menimbulkan korban, negara telah menentukan bahwa pelakunya dapat dipidana. Di sisi lain apabila pelaku dipidana, keluarga akan menanggung malu, keutuhan rumah tangga terancam, akan ada proses peradilan yang panjang dan berlarut- larut. Apabila pelaku adalah pencari nafkah dalam rumah tangga itu, keluarga akan kehilangan pencari nafkah utama.
Berikut ini hambatan penyelesaian permasalhan KDRT:
1. Hambatan yang datang dari korban dapat terjadi karena:
a. korban tidak mengetahui bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami merupakan pidana atau perbuatan yang dapat dihukum.
Oleh karena itu, korban tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya;
b. korban membiarkan tindakan kekerasan terhadap dirinya sampai berlarut-larut. Hal ini bisa disebabkan oleh korban berpendapat tindakan suaminya akan berubah;
c. korban berpendapat apa yang dialaminya adalah takdir atau nasibnya sebagai istri. Hal ini dapat terjadi karena adanya pendapat bahwa seorang istri harus “bekti” (setia dan mengabdi) pada suami;
d. korban mempunyai ketergan-tungan secara ekonomi pada pelaku tindak kekerasan. Keti-dakberdayaan finansial yang dimaksud adalah kondisi istri yang tidak mandiri dan tidak memiliki penghasilan sehingga jika ia melakukan tindakan dan akibat tindakannya tersebut sang suami meninggalkannya atau di jatuhi sanksi pidana maka sang istri tidak dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya;
e. korban mempertahankan status sosialnya, sehingga kalau sampai tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya diketahui oleh orang lain, akan memperburuk status sosial keluarganya dalam
166
masyarakat. Sehingga korban merasa perlu melindungi nama baik keluarganya terutama pelaku berasal dari kalangan keluarga bersangkutan;
f. korban takut akan ancaman dari suami. Rasa takut yang dimaksud adalah ketakutan para istri untuk menceritakan apalagi melaporkan perlakuan yang diterimanya, biasanya karena para suami memberikan ancaman akan melakukan tindakan yang lebih kejam jika ada yang mengetahuinya. Rasa ketakutan perempuan terhadap kekerasan juag lebih besar dari pada laki – laki, inilah yang menjadi kendala dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga ini muncul kepermukaan terlebih lagi terselesaikan dengan benar. Korban merasa proses pidana terhadap kasus ini belum tentu membuat pelaku dipidana. Korban khawatir akan membalas dari pelaku tindak pidana kekerasan tersebut, terlebih pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban dalam rumah tangga tersebut;
g. korban khawatir keluarga akan menyalahkan dirinya karena dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri;
h. korban terlambat melaporkan tindakan kekerasan yang dialami, sehingga bukti-bukti fisik sudah hilang.
2. Hambatan dapat dilakukan oleh keluarga korban, kerena kekerasan dalam rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi agar tidak diketahui oleh masyarakat. Alasan yang lain adalah karena tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan urusan domestik atau urusan intern keluarga.
3. Hambatan yang lain datang dari masyarakat. Memang masih ada pendapat yang menganggap kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah urusan keluarga bukan merupakan kejahatan yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Pendapat demikian masih mewarnai berbagai kalangan dalam masyarakat, sehingga akan merupakan hambatan bagi penegak hukum di bidang tindak kekerasan dalam rumah tangga.
4. Hambatan Dari Negara:
a. hambatan ini berupa ketentuan bahwa biaya visum et repertum harus dikeluarkan oleh korban. Bagi korban yang tidak mampu, hal ini merupakan hambatan dalam mencari keadilan.
b. selain itu dimasukkannya kekerasan fisik, psikis dan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri, ke dalam delik aduan, sangat membatasi ruang gerak istri. Meskipun dalam undang-undang tidak disebutkan delik aduan absolut atau delik aduan relatif tetap saja menempatkan istri pada posisi subordinatif. Hal ini tercantum dalam Pasal 51, 52 dan 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Padahal pada awalnya sudah ditentukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
167
merupakan suatu delik, suatu perbuatan pidana yang dapat diproses secara hukum.
Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda
Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan Pasal - Pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya Pasal 49 jo Pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri;
Pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; Pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal- pasal KUHP (Pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 dan 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); Pasal 81 dan 82 UU No. 23 tahun 2002 dan Pasal 287 dan 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.
Penerapan Pidana Tambahan
Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:
“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”
Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan
Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28).
Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.
Pada kenyataannya perempuan tidak mengetahui informasi mengenai hal ini, sehingga berkesulitan mengakses layanan seperti pada pasal tersebut.
Pasal 29 Undang-Undang no.23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekeradan dalam RUmah Tangga mengatur mengenai Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan yang dapat diajukan oleh:
168 a. Korban atau keluarga korban;
b. Teman korban;
c. Kepolisian;
d. Relawan pendamping;atau e. Pembimbing rohani.
Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Berdasarkan pemantauan LSM hingga tahun 2008 ini, baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah beberapa kali mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban, dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang dari 7 (tujuh) hari.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan yang telah dilakukan, maka pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Aparat penegak hukum dalam pemberian sanksi pidana harus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
b. Pemerintah, aparat penegak hukum maupun masyarakat ikut berpartisipasi secara aktip dan bertanggung jawab terhadap masalah perlindungan hukum, bagi korban kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri.
169
DAFTAR BACAAN
Buku
Ahmad Suaedy, 2000, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren, Jakarta, Grasindo.
Arif Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.
_________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Moerti Hadiati Soeroso, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, Sinar Grafika
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni.
Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Granit.
Soeroso, hadiati moerti, 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, Sinar Grapika.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=210509, akses tanggal 18 Maret 2013.
www.komnas perempuan.com.
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Made Warka, S.H., M.Hum, lahir di Singaraja, 24 Oktober 1956 aktif sebagai dosen kopertis wilayah VII DPK pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Menguasai bidang hukum penanaman modal. Aktif sebagai penulis buku, diantaranya berjudul Wawasan Kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Singkronisasi Penanaman Modal Dalam Konteks Otonomi Daerah, Penalaran Hukum bagi Penegak Hukum. Dapat dihubungi di 081803197808.
Dariati, Alumni Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.