KETAHANAN MASYARAKAT MENGHADAPI BENCANA
(Upaya Preventif Meminimalisir Risiko Kesehatan)
Munawir Amansyah, M.Kes
Editor: Apt. Alwiyah Nur Syarif M.Si
Alauddin University Press
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang:
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
All Rights Reserved
Ketahanan Masyarakat Menghadapi Bencana (Upaya Preventif Meminimalisir Risiko Kesehatan)
Alauddin University Press UPT Perpustakaan UIN Alauddin
Jl. H. M. Yasin Limpo No. 36 Romangpolong, Samata, Kabupaten Gowa
Website: http://ebooks.uin-alauddin.ac.id/
Penulis:
Munawir Amansyah, M.Kes
Editor:
Apt. Alwiyah Nur Syarif, M.Si.
Penyelaras Akhir:
Taufiq Mathar Cetakan I: 2021
vii + 158 hlm.; 15,5 x 23 cm ISBN: 978-602-328-383-5
ii
Alhamdulillah wa Syukrulillah atas segala rahmat Allah SWT beserta salawat dan salam kepada Rasulnya Muhammad SAW, mengiringi aktivitas keseharian kita dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab akademik dan peran-peran kehidupan lainnya sehari-hari.
Publikasi karya akademik adalah salah satu ruh perguruan tinggi, karena perguruan tinggi adalah ruang produksi ide dan gagasan yang harus selalu di-update dan di-upgrade. Buku adalah salah satu produk akademik yang kelahirannya, mesti diapresiasi setinggi-tingginya. Karena dibalik proses lahirnya, ada kerja keras yang menguras waktu, tenaga dan pikiran. Kerja keras dan upaya sungguh-sungguh untuk menghadirkan sebuah karya akademik, adalah bukti nyata dedikasi serta khidmat seorang insan universitas bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai kampus yang memiliki visi menjadi pusat pencerahan dan transformasi ipteks berbasis peradaban Islam, kehadiran buku terbitan Alauddin University Press ini, diharapkan menjadi sumbangan berharga bagi desiminasi ilmu pengetahun di lingkungan kampus peradaban, sekaligus semakin memperkaya bahan bacaan bagi penguatan integrasi keilmuan.
Akhirnya, sebagai Rektor, saya mengapresiasi setinggi- tingginya atas penerbitan buku yang menjadi bagian dari Program Penerbitan 100 Buku Referensi UIN Alauddin Makassar tahun 2021 ini. Semoga membawa kemaslahatan bagi warga kampus dan masyarakat secara umum.
Gowa, 17 Agustus 2021 Rektor UIN Alauddin Makassar
Prof. H. Hamdan Juhannis, MA., Ph.D
Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari Akhir.
Bersyukur kami hadirkan buku ini yang lebih memfokuskan kepada upaya preventif, implikasi serta upaya mitigasi dari dampak bencana alam maupun non alam yang mungkin ditimbulkan. Beberapa bab dalam buku ini membahas tentang upaya ketahanan masyarakat saat pra maupun pasca terjadinya bencana, diantaranya mengenai wabah pandemi influenza, terorisme, gempa bumi, banjir, erupsi gunung berapi dan lainnya.
Bahan dari penulisan buku ini merupakan hasil library research pada bulan Januari hinga Juni 2021, ditambah jurnal dan bahan- bahan pustaka terkini yang ada di berbagai publikasi internasional.
Dengan selesainya buku ini kami mengucapkan terima kasih Bapak Rektor UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan ruang dan motivasi kepada kami untuk berbagai ilmu melalui penerbitan buku ini. Serta kepada Istri saya Alwiyah Nur Syarif yang telah membantu dan mempersiapkan naskah serta pekerjaan editing lainnya. Kepada anak Rifaat Badiuzzaman dan Tazkiyah Qurratul’aini spirit kalian akan senangtiasa ada dalam buku ini.
Makassar, 2021
Penulis
DAFTAR ISI
Pengantar Rektor ... ii
Pengantar Penulis ... iii
Daftar Isi ... iv
BAB I KETAHANAN MENGHADAPI BENCANA ...1
Menumbuhkan Ketahanan Masyarakat ... 5
Kesiapan Individu ... 8
Mendefinisikan Kesiapan Individu ... 10
BAB II PANDEMI ... 13
Dampak Ekonomi dan Sosial ... 18
Dampak Pada Anak ... 21
Peningkatan Gangguan Mental ... 23
Faktor Risiko ... 25
Fasilitas dan Tenaga Kesehatan ... 26
Infodemik ... 28
Upaya Pencegahan ... 30
Upaya Mitigasi ... 38
Strategi Negara Lain ... 41
BAB III TERORISME ... 44
Ancaman Kesehatan ... 45
Pencegahan ... 48
Keamanan fisik ... 49
Aksi Cepat ... 50
Kesehatan Medis dan Respon Medis Medical ... 50
BAB IV GEMPA BUMI ... 52
Efek pada Tubuh Manusia ... 57
Pencegahan ... 60
Minimalisasi Risiko ... 62
Tantangan Pemulihan ... 65
BAB V BANJIR ... 67
Mengenal Bencana Banjir ... 69
Kegagalan Bendungan dan Tanggul ... 71
Banjir sungai ... 75
Fluktuasi Permukaan Danau Banjir ... 76
Kegagalan Lahan mencegah Banjir ... 76
Banjir Pesisir ... 77
Efek pada Populasi Manusia ... 78
Tantangan Pemulihan ... 82
BAB VI BADAI TROPIS ... 84
Mengenal Badai ... 85
Efek pada Populasi Manusia ... 88
Pencegahan ... 90
Aksi Cepat ... 92
Tantangan Pemulihan... 93
BAB VII ERUPSI GUNUNG BERAPI ... 94
Mengenal Bencana erupsi ... 95
Efek kesehatan ... 97
Pencegahan ... 99
Aksi Cepat ... 100
Tantangan Pemulihan ... 101
BAB VIII KEBAKARAN HUTAN ...103
Mengenal kebakaran hutan ... 104
Pencegahan ... 107
Aksi Cepat ... 108
Tantangan Pemulihan ... 110
BAB IX PERUBAHAN IKLIM ...112
Mengenal perubahan iklim ... 116
Mitigasi dan Adaptasi ... 118
Kebijakan Negara ... 120
Dampak Sosial-Ekonomi ... 121
Efek suhu ekstrem pada Kesehatan Masyarakat ... 125
Pencegahan melalui konfrensi dunia... 128
BAB X TSUNAMI ... 134
Respons Lingkungan ... 140
Dampak Lingkungan ... 141
Kesiapsiagaan ... 144
Upaya Mitigasi ... 145
Penilaian Dampak Lingkungan ... 146
Daftar Pustaka ... 152
Biografi Penulis ... 158
Tabel 1. Indeks Kualitas Udara yang dikeluarkan oleh EPA ... 105 Tabel 2. Indeks Panas NWS... 127
BAB I
KETAHANAN MENGHADAPI BENCANA
encana alam maupun non alam yang terjadi di Indonesia merupakan peristiwa yang mengakibatkan dampak besar bagi kesehatan, ekonomi, sosial maupun jiwa masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang berada di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas tektonik), sedangkan di bagian Nusa Tenggara Timur terbentuk lempeng indo-Australia dan Eurasia. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki risiko kebencanaan sangat tinggi. Banyaknya bencana alam yang terjadi mencapai 18.433 selama satu dekade terakhir (2011-2021). Oleh sebab itu, kesadaran dan mitigasi bencana perlu diintensifkan pada masyarakat.
Menurut Centre for Research on The Epidemiology of Disaster, Indonesia telah menjadi negara dengan korban jiwa tertinggi di tahun 2018 akibat tsunami maupun gempa bumi dan hingga kini tetap masuk 10 besar negara dengan jumlah becana terbanyak.
BMKG melaporkan bahwa di Indonesia ada delapan zona gempa yang perlu mendapat perhatian khusus. Gempa dengan magnitodo
B
besar tersebut jika terjadi di daerah lempeng dapat menimbulkan gelombang besar yang berpotensi tsunami.
Wilayah yang berupa kepulauan menyebabkan sebagian besar aktifitas penduduk bergantung pada hasil laut. Hal ini mengakibatkan masyarakat Indonesia juga harus terus menghadapi potensi risiko di laut baik abrasi maupun tsunami.
Selain itu, risiko di daratan tinggi berupa letusan gunung berapi, maupun daratan rendah berupa gempa bumi, banjir dan terorisme, dapat mengancam kesehatan masyarakat. Indonesia memiliki sekitar 13 persen dari total gunung gunung berapi di dunia serta berpotensi menimbulkan bencana dengan intensitas dan kekuatan yang berbeda-beda. Penanggulangan bencana alam dan non alam atau mitigasi adalah upaya berkelanjutan untuk mengurangi risiko kesehatan dan kehilangan harta benda sekaligus meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak bencana.
Kesiapsiagaan yang sangat baik akan memberikan wawasan tentang konsep ketahanan yang baik pula. Kata ketahanan berasal dari kata resiliensi diambil dari kata latin resilire dan secara harfiah berarti kembali bangkit. Secara historis telah digunakan sebagai istilah psikologi sosial untuk menggambarkan mereka yang bangkit kembali dari kesulitan melalui elastisitas semangat (Claudel, 1965). Istilah ini telah bermigrasi ke disiplin ilmu lain seperti ekologi, di mana ia mengacu pada pergerakan suatu organisme dari satu wilayah ke wilayah lain demi mempertahankan eksistensinya (Holling, 1973). Selain itu kata ini telah digunakan di bidang keselamatan industri untuk menggambarkan kemampuan pekerja untuk mengantisipasi risiko dan membuat perubahan sebelum bahaya terjadi (Hollnagel et al., 2006).
Dari segi kesiapsiagaan, resiliensi adalah kemampuan untuk mengantisipasi, mempersiapkan diri, dan pulih dari tantangan fisik dan psikologis yang disebabkan oleh bencana buatan manusia dan alam. Kesiapsiagaan adalah prosesnya, dan ketahanan adalah hasilnya. Seberapa baik kita bangkit kembali dari kesulitan
bencana sangat tergantung pada seberapa baik kita mempersiapkannya. Individu yang tangguh akan memiliki pondasi tempat tinggal yang tahan pada alam. Komunitas yang tangguh terdiri dari pertahanan tempat tinggal yang tangguh. Suatu bangsa dikatakan tangguh jika satu orang, satu keluarga, satu tempat tinggal, dan satu komunitas dapat bertahan dari kondisi yang buruk dalam suatu waktu.
Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah situasi multidimensi dan dinamis yang membebani layanan kesehatan yang ada dan infrastruktur kesehatan masyarakat serta mengakibatkan efek kesehatan masyarakat yang merugikan.
Peristiwa berskala besar dan tak terduga dapat menimbulkan tantangan yang luar biasa. Ini termasuk peristiwa alam atau buatan manusia, tidak disengaja atau disengaja, dengan efek kesehatan kronis atau akut. Banyak kedaruratan kesehatan masyarakat mengakibatkan berbagai aspek ini.
Serangan teroris 12 Oktober 2002 di Kota Denpasar, Bali, menewaskan ratusan orang pada hari serangan, tetapi dampaknya terhadap kesehatan mereka yang hadir akan terasa selama bertahun-tahun yang akan datang. Penyakit pernapasan kronis di antara mereka yang terpapar debu dan puing-puing yang berlebihan selama pembersihan dan masalah kesehatan mental bagi mereka yang terkena trauma serangan hanyalah dua contoh dampak kesehatan masyarakat jangka panjang yang akan terjadi bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara Barat seperti peristiwa 9/11 di New York. Dalam hal itu, dampak kesehatan masyarakat bukan hanya akut tetapi juga kronis bagi banyak orang yang terpapar debu selama pemulihan. Menjaga kesehatan masyarakat melalui siklus hidup bencana tersebut membutuhkan kesiapsiagaan yang luas dan ketahanan yang mendalam.
Ketahanan kesehatan masyarakat dapat dicapai di seluruh masyarakat melalui penerapan prinsip-prinsip dasar dan pelayanan kesehatan masyarakat dalam rangka penanggulangan kegawatdaruratan. Beberapa skema penanggulangan bencana
telah digambarkan oleh oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dibentuk pada tanggal 26 Januari 2008.
Lembaga ini mencakup perwakilan dari semua lembaga kesehatan masyarakat dan dari organisasi kesehatan masyarakat profesional utama seperti IAKMI, Persakmi, Dinas Kesehatan Kota maupun Provinsi, dan lain-lain. Berbagai lembaga ini kurang lebih memiliki visi ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana, serta misi dalam melindungi bangsa dari ancaman bencana dengan membangun budaya pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana menjadi bagian yang terintegrasi dalam pembangunan nasional (BNPB, 2021).
Infrastruktur kesehatan masyarakat mencakup semua institusi publik dan swasta yang memerlukan keterlibatan pendidikan, perawatan kesehatan, layanan sosial, kesehatan mental, lingkungan, apotik, asuransi, media, dan sebagainya.
Mereka berkolaborasi dalam proses penilaian kesehatan masyarakat, pengembangan kebijakan, serta jaminan kesehatan yang berkelanjutan. Pengkajian tersebut mencakup evaluasi berkelanjutan atas kebutuhan kesehatan masyarakat serta mengembangkan kebijakan kesehatan dengan mengadvokasi sumber daya, menetapkan prioritas masalah, dan mengembangkan rencana untuk memenuhi kebutuhan kesehatan.
Meskipun kegiatan tersebut dilakukan setiap hari untuk memelihara program kesehatan masyarakat, dalam kesiapsiagaan kesehatan masyarakat terjadi dalam konteks proses manajemen kedaruratan. Tergantung pada fase potensi atau keadaan darurat aktif, ini dapat menimbulkan tantangan yang berat.
Dalam upaya manjemen kegawatdaruratan, Kementerian kesehatan menetapkan empat fase, diantaranya mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan. Mitigasi meliputi langkah- langkah yang diambil untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak dari suatu bencana. Seperti, pemberian peta rawan bencana yang telah ditetapkan di banyak daerah yang kemungkinan akan mengalami tsunami dan gempa bumi. Hal ini
akan mengurangi dampak bencana dengan membuat perencanaan yang lebih terukur dan spesifik untuk mengalami kerusakan parah. Disamping itu, salah satu tindakan mitigasi kesehatan masyarakat adalah program vaksinasi seperti suntikan flu, campak, polio, maupun miningitis. Kesiapsiagaan adalah perencanaan dan koordinasi yang berkelanjutan untuk memastikan respon dan pemulihan yang lebih efektif. Seperti melakukan pertemuan negara lintas regional dan lokal yang dipicu oleh kekhawatiran akan munculnya ancaman pandemi influenza maupun kebakaran hutan. Hal ini mendorong upaya perencanaan yang tentu akan meningkatkan kesiapsiagaan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Ketika dikoordinasikan dengan baik, maka perencanaan yang dicapai untuk satu jenis keadaan darurat akan meningkatkan kesiapsiagaan secara umum terhadap semua bahaya. Tanggap darurat mencakup tindakan segera yang diambil pada saat bencana maupun pra bencana. Pemulihan meliputi kegiatan yang yang dilakukan setelah bencana yang bertujuan memulihkan daerah kembali normal (Waugh, 2000).
Pemulihan bukan hanya pada upya pembersihan dan pemulihan infrastruktur, namun juga mengelola efek kesehatan kronis dan efek kesehatan mental yang kurang terlihat dari setiap bencana.
A. Menumbuhkan Ketahanan Masyarakat
Untuk memajukan kesiapan dan ketahanan, Presiden Indonesia mulai mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Arahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko, termasuk penetapan kondisi ancaman nasional dan bahaya pada kesehatan masyarakat.
Sejak serangan teroris tahun 2002 dan peristiwa Tsunami pada tahun 2004, segala sumber daya yang luar biasa telah dikerahkan pemerintah di seluruh Indonesia untuk memastikan perencanaan bencana yang konsisten, pelatihan, dan sosialisasi di antara komunitas yang berpotensi terkena dampak. Kemajuan
dalam mengatasi bencana, namun ada beberapa elemen penting yang dapat menghambat upaya penanggulangan bencana diantaranya sikap politik, media sosial, kebijakan yang kurang tegas kurangnya kesadaran bencana masyarakat. Selain itu salah satu aset kesiapsiagaan masyarakat yang paling penting adalah modal sosial. Modal sosial merupakan sumber daya aktual dan potensial yang berasal dari jaringan hubungan yang dimiliki oleh individu atau unit sosial. yang dapat memobilisasi masyarakat (Nahapiet dan Ghoshal, 1998).
Dalam konteks kesiapsiagaan kesehatan masyarakat, konsep ini menunjukkan bahwa hubungan individu dan individu lainnya jauh lebih penting. Dengan kata lain, sebuah komunitas memiliki ketahanan yang lebih besar jika tetangga saling mengenal dan mau membantu. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan modal sosial bangsa. Mobilitas dan urbanisasi masyarakat salah satunya, orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu untuk pergi dan pulang dari kerja, sehingga akan menghilangkan waktu untuk berkumpul dengan masyarakat.
Individu juga lebih mungkin untuk pindah ketika mengalami masa pensiun atau berganti pekerjaan. Akibatnya, banyak warga yang tidak mengakar dalam komunitasnya. Perubahan dapat terjadi dengan bagaimana cara seseorang menghabiskan waktu luang mereka. Beberapa orang memiliki gaya hidup dengan bergabung dengan komunitas olahraga atau hobi, menjadi sukarelawan dengan organisasi seperti Palang Merah, atau aktif dalam kegiatan komunitas atau berbasis agama. Namun kebanyakan masyarakat sekarang memilih untuk menghabiskan lebih banyak waktu di depan Internet atau menonton televisi. Pembaca surat kabar lokal terus menurun karena orang-orang mendapatkan berita mereka dari jaringan berita tv dan dari Internet.
Faktor-faktor ini dan lainnya berkontribusi pada penurunan jumlah dan kualitas hubungan sosial yang dibuat orang dalam komunitas mereka dan modal sosial yang dihasilkan. Ketika modal sosial terkikis, masyarakat cenderung tidak tahu dan kurang peduli terhadap tetangganya atau bahkan mempercayai pimpinan
pemerintah daerahnya (Putnam, 1995). Ini adalah elemen penting dari komunitas yang tahan bencana. Jika orang mengenal tetangga mereka, mereka lebih mungkin untuk saling membantu selama krisis. Mereka juga cenderung lebih waspada terhadap tetangga yang rentan yang membutuhkan bantuan khusus setelah bencana. Kegiatan relawan sangat penting untuk kesiapsiagaan masyarakat.
Jumlah total tempat tidur di rumah sakit Indonesia saat ini adalah 276 ribu atau setara dengan 1,33 per 1000 penduduk.
Kondisi tersebut sebenarnya menunjukkan kondisi fasilitas kesehatan masih belum memadai. Bahkan jika semua aset publik dan swasta tersedia dan terkelola dengan baik ketika menghadapi bencana besar, maka tetap akan mengalami kegagalan mengindari risiko kesehatan tanpa dukungan dari sukarelawan.
Bencana di seluruh komunitas akan mempengaruhi semua penduduk di suatu daerah, termasuk korban utama dan keluarganya. Untuk melindungi risiko pada masyarakat terhadap bencana, harus terbentuk kelompok relawan di tingkat lokal. Ada berbagai cara untuk menjadi sukarelawan lokal. Banyak organisasi swasta maupun berbasis agama yang terdepan dalam merespons setelah terjadi bencana. Ada juga inisiatif kementerian kesehatan seperti Tim Reaksi Cepat Penganggulan Bencana. Yaitu memberikan pelatihan dasar kepada warga tentang bagaimana membantu diri mereka sendiri dan komunitas sebelum bencana.
Para sukarelawan tersebut terlatih dalam organisasi dan manajemen tim, keselamatan diri, pencarian dan penyelamatan, serta pertolongan pertama. Adapun sukarelawan Pemadam Kebakaran dirancang untuk menyediakan personel tanggap darurat non-darurat bagi petugas pemadam kebakaran dan personel selama bencana. Berbagai organisasi relawan termasuk praktisi dan pensiunan profesional medis dan kesehatan masyarakat yang dapat dikerahkan untuk mendukung area di mana sistem perawatan kesehatan telah kewalahan. Relawan di Korps Kepolisian melatih relawan untuk membantu lembaga
organisasi nasional untuk Program Pemantauan Lingkungan.
Program-program ini berfungsi sebagai fokus utama inisiatif sukarelawan nasional tetapi banyak peluang lain juga ada, termasuk LSM seperti Palang Merah, Basarnas, Yayasan Kemanusian dan banyak lainnya. Manajemen darurat kesehatan masyarakat yang efektif tidak mungkin dilakukan tanpa organisasi sukarelawan seperti ini.
B. Kesiapan Individu
Langkah-langkah yang diperlukan untuk menjadi individu yang siap termasuk mengenali risiko dan tanggung jawab, bagaimana mendapatkan informasi, perencanaan, dan peran keterlibatannya.
Risikonya bervariasi sesuai dengan tempat tinggal, profesi, atau kondisi saat itu, sehingga penting untuk mempertimbangkan berbagai potensi bencana yang dapat memengaruhi individu tersebut, keluarga, dan masyarakat. Di Amerika Serikat dan wilayah eropa, sebagian besar risiko bencana besar dipahami dengan baik di setiap wilayah geografis. Wilayah Samudera Atlantik dan Pulau-pulau di Nusantara rentan terhadap bencana dimana memiliki garis patahan besar di mana gempa bumi dapat terjadi. Peristiwa cuaca ekstrem dapat mempengaruhi seluruh negeri, tetapi angin topan lebih berpotensi terjadi di daerah tertentu, dan badai angin kencang lebih mungkin terjadi di wilayah Timur Indonesia. Ancaman penyakit menular dan terorisme yang muncul tidak memiliki distribusi geografis yang dapat diprediksi serta dianggap sebagai ancaman yang dapat terjadi di mana- mana. Terlepas dari ancaman nyata yang ditimbulkan di negeri ini, kebanyakan orang mempertahankan kesadaran akan risiko tetapi gagal untuk mempersiapkan diri secara memadai.
Dalam upaya mempersiapkan masyarakat untuk meminimalkan dampak kesehatan dari bencana, pertanyaan pertama adalah apa yang harus kita persiapkan. Banyak warga mungkin mengalami kesulitan memahami ancaman ledakan bahan kimia atau penyebaran virus. Beberapa mengabaikan ancaman dan tidak mengambil tindakan apa pun atas
kesiapsiagaan. Sikap ini berlaku bahkan di semua daerah yang ada di Indonesia. Namun, jika kita melihat bencana 100 tahun terakhir di Indonesia, ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik.
Meskipun bencana terus terjadi, ada bencana ekstrim berkala besar dan berdampak pada kesehatan dan keselamatan ratusan atau ribuan warga. Masalahnya adalah kurangnya informasi dan sosialisasi yang tidak meyakinkan penduduk mengenai adanya bahaya yang umum terjadi di wilayah geografis mereka. Tantangan saat ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat bahwa mereka memiliki risiko tinggi terkena dampak langsung, bahwa bencana mungkin jauh lebih parah dari pengetahuan mereka, serta bahwa masyarakat dapat melakukan beberapa hal yang relatif sederhana untuk mitigasi risiko. Masyarakat juga perlu memahami bahwa ada jenis bencana yang tidak mungkin terjadi didaerah lain namun berpotensi terjadi di wilayah mereka.
Dampak dari bencana ini dapat dikurangi dengan kesiapsiagaan individu. Hambatannya hanya pada kesiapsiagaan individu masih belum dipahami dengan baik. Jenis bencana memainkan peran penting dalam persepsi risiko dan tindakan kesiapsiagaan. Pengalaman individu menghadapi bencana dapat dilakukan dengan memainkan peran penting gender (Ho et al., 2008). Selain persepsi risiko, pengaruh sosial dan akses terhadap sumber daya mempengaruhi tindakan individu dalam menghadapi potensi bencana. Untuk mengatasi hambatan ini maka perlu merangsang kesiapsiagaan organisasi bencana tertentu serta inisiatif komunikasi lintas sektoral (Riadet al., 1999). Motivasi publik yang efektif membutuhkan komunikasi risiko yang komprehensif.
Beberapa pedoman telah dikembangkan terutama ketika digunakan selama respon, keadaan darurat, dan pemulihan.
Prinsip-prinsip tersebut dapat diadaptasi untuk mengkomunikasikan kesiapsiagaan dengan lebih baik sebelum
keadaan darurat terjadi. Beberapa anggaran yang di berikan kementerian kesehatan dapat mengalir ke dinas kesehatan provinsi dan daerah disertai dengan mandat untuk melaksanakan pelatihan dan latihan, tindakan ini sering berfokus pada beberapa lembaga publik serta sektor swasta yang banyak terlibat utamanya selama kejadian bencana.
Menurut Peter Sandmann melibatkan publik berpartisipasi memang sulit dalam pelatihan tetapi penting dalam mengidentifikasi kesenjangan dan kesenjangan yang harus diatasi sebelum sebuah insiden. Dengan adanya retorika dalam pelatihan maka akan mengubah prilaku seseorang dan pada akhirnya akan melahirkan sikap yang positif. (Holing, 1996).
Melibatkan media sebelum bencana sangat penting. Media bertanggung jawab memberikan kesiapsiagaan pada masyarakat serta perencanaan dan tanggap bencana yang telah dilakukan.
Bencana dapat menarik perhatian media dan tindakan para pimpinan akan dinilai tidak hanya berdasarkan hasil dari upaya mitigasi bencana tetapi juga persepsi yang disampaikan oleh media. Undang-undang negara Republik Indonesia telah menjamin kebebasan pers dan keberadaan media sehingga dipercaya oleh masyarakat, serta menjadikannya salah satu mitra terpenting suatu bangsa sebelum, saat, dan setelah bencana.
Sebagian besar perwakilan media ingin mendukung kesiapsiagaan masyarakat dan menyumbangkan informasi bermanfaat apa pun yang mereka bisa selama krisis. Media adalah salah satu sekutu terpenting bagi negara untuk menyampaikan pesan kesiapsiagaan individu, serta pesan kesiapsiagaan khusus untuk ancaman musiman seperti gempa bumi dan tsunami.
C. Mendefinisikan Kesiapan Individu
Kesiapan individu dan tempat tinggal adalah landasan untuk menghadirkan komunitas yang tahan bencana. Minat masyarakat indonesia dalam kesiapsiagaan melonjak setelah serangan teroris
tahun 2002 dan tsunami di Aceh tahun 2004. Namun, masih ada kebingungan tentang apa yang dimaksud dengan kesiapan. Perlu waktu yang singkat, data yang akurat dan informasi yang tepat dari pemerintah dan LSM untuk memobilisasi sumber daya agar mengerahkan bantuan sosial, biasanya dibutuhkan sekitar 3 hari.
Ukuran dan tingkat keparahan situasi akan menentukan apakah akan memakan waktu lebih atau kurang dari 3 hari.
Mengumpulkan dalam beberapa hari persediaan logistik dan obat- obatan serta alat kesehatan akan mengurangi beban masyarakat yang terdampak. Masalah yang ada hanya pada distribusi ke daerah bencana. Buruknya akses dan wilayah geografis dapat mempengaruhi pengiriman bantuan sosial dan alat kesehatan pada daerah bencana. Masyarakat yang tidak memiliki bahan pokok akan kesulitan untuk terhindar dari penyakit dan akan cendrung memperburuk situasi.
Kesiapsiagaan individu dan rumah dimulai dengan rencana tertulis. Rencana tersebut perlu mempertimbangkan berbagai skenario. Pertimbangkan apa yang perlu dilakukan untuk mempertahankan diri di tempat tinggal selama beberapa hari tanpa utilitas atau komunikasi.
Jika rumah mengalami kerusakan maka tim SAR atau pemerintah setempat harus menetapkan lokasi penampungan sementara yang terdekat dan teraman yang dapat diidentifikasi di mana semua orang dalam keluarga dapat bertemu. Bergitu pula pada para pekerja, anak sekolah, atau karyawan di tempat lain, perlu mengidentifikasi lokasi regional atau titik kumpul yang aman.
Pemerintah daerah perlu mengidentifikasi lokasi evakuasi luar kota dan koordinasi dengan pihak luar kota. Selama bencana, sering kali sulit untuk melakukan panggilan di dalam area yang terkena bencana, tetapi masih memungkinkan untuk melakukan panggilan di luar kota. Kontak luar kota yang umum harus dibagikan di antara para masyarakat dengan instruksi untuk memberi tahu mereka bagaimana dan di mana berada. Informasi penting lainnya seperti asuransi, informasi medis, dan kartu
sederhana ini dapat memiliki manfaat yang luar biasa setelah bencana dengan memfasilitasi koordinasi dan komunikasi. Ini tidak hanya akan memberikan ketenangan pikiran pada seluruh masyarakat, tetapi juga dapat membantu mengidentifikasi siapa yang mungkin hilang dan membutuhkan bantuan darurat, maupun ganti rugi biaya kontruksi rumah yang rusak akibat bencana.
BAB II PANDEMI
andemi merupakan bagian dari sejarah. Jauh sebelum masehi (430 BC) pandemi demam tipoid yang terjadi di Yunani telah menewaskan dua pertiga populasi saat itu.
Tingkat kematian kasus untuk sebagian besar pandemi influenza umumnya kurang dari 0,1%. Namun, strain influenza 1918 memiliki tingkat kematian kasus diperkirakan lebih besar dari 2,5% (Marks dan Beatty, 1976). Akibatnya, perkiraan jumlah kematian global dari pandemi ini adalah sekitar 50 juta (Johnson
& Mueller, 2002). Pandemi influenza melanda setiap benua dan menyebabkan penyakit yang menghancurkan bahkan di daerah yang paling terpencil sekalipun. Kematian masyarakat akibat flu semacam ini dapat terjadi jutaan kali di seluruh dunia pada tahun 1918 dan 1919 dan meninggalkan warisan penderitaan yang tak terhitung jumlahnya, serta besar dampaknya tidak akan pernah diketahui sepenuhnya. Wabah tersebut terjadi di Indonesia saat masih bernama Hindia Belanda dimana 1,5 juta orang Hindia Belanda meninggal akibat kasus ini. Laporan dari Dinas Kesehatan Sipil Hindia Belanda melaporkan bahwa tak ada wilayah kolonial yang terbebas dan aman dari flu spanyol ini.
P
Korban sebagian besar terjadi karena keterlambatan respons dan pengabaian risiko oleh pemerintah Belanda. Ada tiga pandemi flu pada abad ke-20 di samping flu Spanyol, yaitu flu Asia (1957) dan flu Hongkong (1968). Sedangkan 2 pandemi terakhir berasal dari China yaitu SARS (2009) dan flu babi (2009). Hal tersebut yang menyebabkan kematian lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia.
Covid-19 adalah pandemi ke-3 yang muncul di abad ke 21.
Indonesia dalam menghadapi covid-19 seakan mengalami siklus berulang saat pandemi flu spanyol. Keterlambatan menutup penerbangan dan beberapa narasi antisains yang terus dibangun telah menggerogoti kesiapsiagaan dan memicu pendapat pro- kontra masyarakat.
Wabah global pandemi COVID-19 telah menyebar ke seluruh dunia, mempengaruhi hampir semua negara dan wilayah. Wabah ini pertama kali diidentifikasi pada Desember 2019 di Wuhan, China. Negara-negara di seluruh dunia telah memperingatkan masyarakat untuk berhati-hati. Mencuci tangan, physical distancing, memakai masker, dan menghindari pertemuan dan pertemuan massal merupakan bagian dari strategi pelayanan publik. Strategi penguncian dan tinggal di rumah telah dilakukan sebagai tindakan yang diperlukan untuk mengendalikan penularan penyakit dan meratakan kurva (Sintema, 2020).
Keterbatasan tes akan menyebabkan jumlah kasus harian dan tingkat kematian yang terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia dipastikan tidak akan setinggi India. Namun, kolapsnya rumah sakit di Jawa saat ini tak akan bisa menutupi fakta bahwa situasi bisa seburuk India, bahkan bisa lebih buruk kalau kita tak segera melakukan upaya serius menghentikan penularan.
Varian Delta, salah satu turunan SARS-CoV-2 yang paling menular ini, pernah meluluhlantakkan India, dengan penambahan lebih dari 400.000 kasus dan kematian 4.800 orang per hari pada bulan Mei 2021. Tingginya angka kasus Covid-19 yang ditemukan di India saat itu karena jumlah tes yang dilakukan sangat masif.
Jumlah kasus serta kematian Covid-19 akan meningkat drastis
dalam beberapa minggu. Masyarakat panik akibat penyebaran infeksi yang sangat cepat serta minimnya cadangan oksigen, ventilator dan alat medis lainnya. Jepang juga mengalami hal sama yang mereka mengalami gelombang keempat (fourth wave).
Jumlah kasus melebihi kasus puncak bulan Januari 2020. Apa yang tampak dari fenomena di atas adalah bahwa morbiditas dan mortalitas rendah tak menjamin sebuah negara telah terbebas dari pandemi. Pemburukan Covid-19 dapat terjadi setiap waktu.
Tambahan gelombang, mulai dari second wave hingga fourth wave, tetap berpotensi muncul.
Fenomena tinggi rendahnya kasus ini telah dikonfirmasi dalam berbagai studi. Salah satunya adalah studi yang menelisik perkembangan Covid-19 di 25 negara. Hasilnya, ditemukan hubungan bermakna antara derajat penatalaksanaan dan kecepatan dengan tingkat perkembangan infeksi yang diukur dengan reproduction number (Ro). Dengan menggunakan indeks skor yang menggabungkan berbagai faktor, studi ini menegaskan bahwa semakin awal, lama dan ketatnya sebuah penatalaksanaan dilakukan, semakin kecil nilai Ro. Dari banyak faktor, dua faktor berperan sangat penting, yaitu superspreading event dan cakupan vaksinasi. Perburukan pandemi terjadi apabila minimnya cakupan vaksinasi, timbul superspreading event, atau kombinasi kedua faktor ini.
Kejadian penyebaran yang cepat adalah kondisi yang memungkinkan Covid-19 merebak lebih cepat dan luas. Biasanya muncul saat terjadi pengumpulan orang dalam jumlah cukup besar seperti kegiatan-kegiatan keagamaan, pada pertemuan dalam ruangan, termasuk acara perkawinan, sosialisasi dan kekeluargaan. Cakupan vaksinasi Covid-19 juga sangat penting dalam pengontrolan pandemi. Bahkan, sejumlah ahli menganggap faktor ini sebagai syarat mutlak pengontrolan pandemi. Tanpa kekebalan komunitas (herd immunity), transmisi infeksi terus berlangsung. Artinya, tanpa kekebalan komunitas, efek penatalaksanaan bersifat temporer. Bila penatalaksanaan baik
memburuk. Hal ini akan berlangsung terus hingga 70-80 persen orang dalam populasi telah memperoleh imunitas. Inilah prinsip herd immunity.
Di India, lonjakan kasus dipicu oleh kombinasi cakupan vaksinasi yang rendah serta superspreading event. Beberapa bulan lalu, pemerintah india mengizinkan pelaksanaan festival keagamaan Kumbh Mela. Saat itu, lima juta orang yang kebanyakan tanpa masker dan social distancing, berkumpul bersama pada satu waktu. Pada saat bersamaan, India juga menggelar kampanye politik di berbagai daerah. Ribuan orang berkumpul tanpa prokes di Kerala, Tamil Nadu, Puducherry dan negara bagian lainnya. Pemerintah juga membuka tempat-tempat umum dan melonggarkan restriksi. Akibat kombinasi momen ini, India sempat mencatat penambahan 350.000 kasus dalam satu hari. Ironisnya, ini terjadi saat cakupan vaksinasi masih rendah.
Saat ini, baru 3,2 persen penduduk dapat vaksinasi penuh dan 9,8 persen satu dosis vaksin. Masih sangat jauh dari target herd immunity, yaitu cakupan 70-80 persen. Jadi kasus India merupakan gabungan superspreading event dan cakupan vaksinasi yang rendah.
Di Jepang, empat kota besar yaitu Tokyo, Osaka, Hyogo dan Kyoto saat ini telah dideklarasikan sebagai state of emergency akibat peningkatan kasus. Kegiatan bisnis dan publik dibatasi.
Pembatasan ini bertepatan dengan Golden Day, salah satu hari libur terbesar di mana banyak orang melakukan liburan dan perjalanan. Sebelumnya, Jepang belum pernah melakukan pembatasan seketat ini. Penyebab utama peningkatan kasus adalah penyebaran cepat penyakit akibat varian Covid-19; 80 persen kasus baru di Osaka dan Hyogo akibat mutasi virus varian Inggris dan varian lain. Selain faktor mutasi virus, cakupan vaksinasi Jepang termasuk terendah di G-7. Saat ini, baru 3,1 persen penduduk memperoleh vaksinasi lengkap dan 6,1 persen memperoleh satu dosis vaksinasi. Masih jauh dari herd immunity
Di Malaysia, saat ini pemerintah melakukan lockdown.
Perjalanan antar-daerah distop dan kegiatan publik dihentikan.
Penyebabnya, jumlah kasus dan kematian sangat melonjak.
Sebelumnya, dengan program Conditional Movement Control Order dan Recovery Movement Control Order, Malaysia dianggap sukses menangani pandemi. Sayangnya, setelah melihat perbaikan tren epidemiologis, pemerintah melonggarkan program penatalaksanaanya.
Sekolah, pusat hiburan dan bisnis dibuka. Acara perkawinan, sosialita dan keagamaan merebak. Muncullah berbagai superspreading event. Ujung-ujungnya, terjadi lonjakan kasus dan kematian. Ro meningkat dari 1,03 ke 1,17 hanya dalam lima hari.
Saat bersamaan, cakupan vaksinasi di negeri itu masih rendah.
Baru 3,5 persen penduduk tervaksinasi penuh dan 3,6 persen tervaksinasi parsial.
Apalagi bila protokol kesehatan (prokes) diabaikan. Satu superspreading event dapat menularkan infeksi kepada puluhan, ratusan dan bahkan ribuan orang. Di sini berlaku rule 80/20, artinya 80 persen kasus baru disebabkan oleh 20 persen orang yang terinfeksi. Semakin banyak dan besar superspreading event, semakin besar potensi penyebaran virus. Dalam superspreading event, aspek faktor manusia dalam prokes, seperti jaga jarak, penggunaan masker dan mencuci tangan, bisa dengan mudah terabaikan.
Pengalaman India, Malaysia, dan Jepang menjadi pelajaran bahwa morbiditas dan mortalitas rendah tak menjamin terbebasnya negara dari pandemi. Gelombang-gelombang pandemi tetap mengancam dan dapat muncul setiap saat. Apalagi, saat ini sejumlah varian Covid-19 telah terdeteksi di Indonesia, seperti varian B117, B1351, dan B1617.
Efek superspreading event biasanya terlihat 2-4 minggu setelah event berlalu. Saat itu, lebaran telah berlalu hampir sebulan. Efek morbiditas dan mortalitas Lebaran mestinya sudah
sejumlah ahli. Beberapa parameter epidemiologis memang menunjukkan peningkatan, namun tak seburuk yang diprediksi para ahli. Parameter lain justru membaik. Artinya, kenyataan yang ada saat ini tak seserius efek pasca-Lebaran yang diprediksi sejumlah ahli. Hal ini menggembirakan. Dengan catatan, bahwa data Covid-19 yang disajikan pemerintah benar dan valid. Namun kondisi ini jangan sampai menimbulkan euforia, apalagi membuat masyarakat dan pemerintah mulai melonggarkan prokes.
Para ahli sependapat, paling tidak hingga telah tercapainya kekebalan komunitas, yaitu 70-80 persen masyarakat telah memperoleh antibodi, baik karena telah terkena penyakit atau telah mendapat vaksinasi. Tanpa itu, transmisi penyakit masih akan terus terjadi dan potensi pemburukan tetap mengancam.
Saat prokes ditingkatkan dan diperketat, morbiditas dan mortalitas akan menurun. Sebaliknya, bila dilonggarkan, morbiditas dan mortalitas meningkat. Fenomena yoyo ini akan terus berlangsung hingga dicapai herd immunity. Dan ini menjadi alasan mengapa Indonesia mesti tetap stay alert. Artinya, apabila masyarakat dan pemerintah mengabaikan prokes saat herd immunity belum tercapai, kita mesti bersiap-siap menghadapi peningkatan kasus dan kematian akibat Covid-19. Ini bukan estimasi tanpa alasan.
Kasus India, Malaysia, dan Jepang membuktikan itu.
A. Dampak Ekonomi dan Sosial
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan hilangnya nyawa manusia secara dramatis di seluruh dunia dan menghadirkan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi kesehatan masyarakat, sistem pangan, dan dunia kerja. Gangguan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pandemi ini sangat menghancurkan: puluhan juta orang berisiko jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, sementara jumlah orang yang kekurangan gizi, saat ini diperkirakan hampir 690 juta, dapat meningkat hingga 132 juta pada akhirnya. di tahun ini.
Jutaan perusahaan menghadapi ancaman eksistensial.
Hampir setengah dari 3,3 miliar tenaga kerja dunia berisiko kehilangan mata pencaharian. Pekerja ekonomi informal sangat rentan karena sebagian besar tidak memiliki perlindungan sosial dan akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas dan kehilangan akses ke aset produktif. Tanpa sarana untuk mendapatkan penghasilan selama penguncian, banyak yang tidak dapat memberi makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Bagi kebanyakan orang, tidak ada pendapatan berarti tidak ada makanan, atau, lebih sedikit makanan dan makanan yang kurang bergizi.
Pandemi telah mempengaruhi seluruh sistem pangan dan memperlihatkan kerapuhannya. Penutupan perbatasan, pembatasan perdagangan dan tindakan pengurungan telah mencegah petani mengakses pasar, termasuk untuk membeli input dan menjual produk mereka, dan pekerja pertanian dari memanen tanaman, sehingga mengganggu rantai pasokan makanan domestik dan internasional dan mengurangi akses ke makanan yang sehat, aman dan beragam. Pandemi telah menghancurkan pekerjaan dan menempatkan jutaan mata pencaharian dalam bahaya. Ketika pencari nafkah kehilangan pekerjaan, jatuh sakit dan mati, ketahanan pangan dan gizi jutaan anak perempuan dan laki-laki berada di bawah ancaman, dengan mereka yang berada di negara-negara berpenghasilan rendah, terutama populasi yang paling terpinggirkan, yang meliputi petani skala kecil dan masyarakat adat akan mendapatkan pukulan terberat.
Jutaan pekerja pertanian akan menghadapi tingkat kemiskinan kerja yang tinggi, kekurangan gizi dan kesehatan yang buruk, dan menderita karena kurangnya keselamatan dan perlindungan tenaga kerja serta jenis-jenis pelecehan lainnya.
Dengan pendapatan yang rendah dan tidak teratur serta kurangnya dukungan sosial, banyak dari mereka terdorong untuk terus bekerja, seringkali dalam kondisi yang tidak aman, sehingga
tambahan. Selanjutnya, ketika mengalami kehilangan pendapatan, mereka mungkin menggunakan strategi penjualan aset, pinjaman uang, atau memperkerjakan anak. Pekerja pertanian migran sangat rentan, karena mereka menghadapi risiko dalam transportasi, kondisi kerja dan kehidupan mereka dan berjuang untuk mengakses langkah-langkah dukungan yang diberlakukan oleh pemerintah. Menjamin keselamatan dan kesehatan semua pekerja pertanian pangan serta pendapatan dan perlindungan yang lebih baik, akan sangat penting untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi kesehatan masyarakat, penghidupan masyarakat dan ketahanan pangan.
Dalam krisis COVID-19, ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, dan masalah ketenagakerjaan dan tenaga kerja, khususnya kesehatan dan keselamatan pekerja, bertemu.
Mematuhi praktik keselamatan dan kesehatan kerja dan memastikan akses ke pekerjaan yang layak dan perlindungan hak- hak pekerja di semua industri akan menjadi sangat penting dalam menangani dimensi manusia dari krisis. Tindakan segera dan bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian harus mencakup perluasan perlindungan sosial menuju cakupan kesehatan universal dan dukungan pendapatan bagi mereka yang paling terkena dampak. Ini termasuk pekerja di ekonomi informal dan dalam pekerjaan yang kurang terlindungi dan bergaji rendah, termasuk pemuda, pekerja yang lebih tua, dan migran. Perhatian khusus harus diberikan pada situasi perempuan, yang terlalu terwakili dalam pekerjaan bergaji rendah dan peran perawatan.
Berbagai bentuk dukungan adalah kuncinya, termasuk bantuan tunai, tunjangan anak dan makanan sekolah yang sehat, inisiatif bantuan tempat tinggal dan makanan, dukungan untuk retensi dan pemulihan pekerjaan, dan bantuan keuangan untuk bisnis, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah. Dalam merancang dan menerapkan langkah-langkah tersebut, penting bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan pengusaha dan pekerja.
B. Dampak pada Anak
Selama masa pandemi beberapa layanan untuk anak terganggu mulai dari layanan kesehatan pendidikan hingga perlindungan anak. Layanan pendidikan terganggu karena sekolah ditutup anak- anak tidak bisa menjalani kebiasaan Baru belajar dalam rumah karena pemerintah melarang sekolah dibuka untuk menekan penyebaran covid-19. Hal ini menyebabkan resiko muncul kekerasan pada anak dan anak-anak dapat terpapar konten negatif dari internet meskipun sebagian anak lainnya tidak dapat mengakses internet. Menurut Survey Save The Children, selama masa pandemi, 1 dari 5 orang tua memberikan kekerasan pada anak. Hal ini dapat meningkat karena orang tua melakukan pengasuhan yang negatif. Beberapa diantaranya karena kurang sabar, sering berteriak, lebih agresif, dan memberikan hukuman fisik. Kondisi ini terjadi pada orang tua yang anaknya berusia diatas 10 tahun. Disamping itu sebanyak 1 dari 4 melaporkan kasus mekerasan pada keluarga terjadi karena pengurangan pendapatan dan naik menjadi 40% pada keluarga yang kehilangan pendapatan. Beberapa anak dibebani tugas rumah ketika sekolah terganggu serta anak-anak rentan eksploitasi menjadi pekerja bahkan menjadi korban perkawinan anak.
Save the children Indonesia memetakan 7 resiko utama yang akan dihadapi anak-anak di Indonesia semenjak pandemi berlangsung. Ke-7 resiko tersebut adalah anak yang kehilangan orang tua karena covid-19, anak yang orang tuanya kehilangan mata pencaharian, sulit mengakses layanan pendidikan yang berkualitas, rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi, sulit mengakses layanan kesehatan dasar dan gizi anak yang tinggal di kawasan bencana serta rawan bencana dan atasnya dukungan bagi anak dengan disabilitas. Dari sisi kesehatan dan nutrisi, anak- anak pada umumnya juga mengalami kondisi yang memprihatinkan misalnya asupan gizi yang terganggu dan layanan vaksinasi pada anak terhambat karena kecemasan orang tua.
Di Amerika Serikat dampak lockdown menyebabkan banyak alat habiskan waktu dengan bermain game dan media sosial peningkatan penggunaan gawai kerap dikaitkan dengan kecemasan, depresi, obesitas, sikap agresif sekaligus kecanduan pada medium itu. Situasi ini akan memberikan kecemasan kepada orangtua dan juga para ahli. Penyakit ini menyerang semua umur, termasuk bayi, anak dan remaja serta orang dewasa dan usia lanjut. Meskipun gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dibandingkan orang dewasa, namun ada sebagian kecil anak penderita Covid-19 dengan manifestasi klinis berat atau kritis yang dapat menimbulkan kematian.
Gejala klinis pada anak meliputi panas, batuk, sesak napas dan lemas. Gangguan pencernaan seperti muntah, diare dan sakit perut ditemukan pada 8-10 persen kasus Covid-19 anak. Ini perlu diketahui dan diwaspadai oleh tenaga medis maupun orangtua dan anggota keluarga. Gejala klinis pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa yang secara teori bisa diterangkan karena lebih rendahnya jumlah reseptor ACE2 tempat terikatnya virus SARS-CoV-2. Klasifikasi atau pembagian berat ringannya penyakit ini pada anak ada beberapa tingkatan. Mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), ringan dengan gejala demam, batuk, lemas, sedang berupa pneumonia dan sesak, berat yang meliputi panas, batuk dan sesak napas serta kelihatan biru karena penurunan kadar oksigen dalam darah sampai kurang dari 92 persen; kemudian kelompok yang kritis, ditandai gagal napas dengan komplikasi pembekuan darah dalam pembuluh darah, syok gagal jantung atau gagal ginjal.
Secara global, prevalensi Covid-19 pada anak lebih rendah secara bermakna dibandingkan orang dewasa. Di China dilaporkan oleh Wu dan McGoogan terdapat 1,2 persen kasus berumur kurang dari 19 tahun: 0,9 persen berumur kurang dari 10 tahun dan 1,3 persen berumur 10-19 tahun. Umumnya di banyak negara proporsi kasus Covid 19 pada anak dan remaja 1-5 persen. Di Italia, hanya 1,2 persen dari sekitar 22.500 kasus. Di Australia 1 persen dari semua kasus berumur kurang dari 10 tahun dan 3
persen berumur 10-19 tahun. Namun di Indonesia, Satgas Covid- 19 IDAI melaporkan proporsi Covid-19 pada anak kurang dari 18 tahun 12,4 persen dari seluruh kasus yang berjumlah lebih dari 1,6 juta kasus. Ini berarti terdapat sekitar 200.000 anak dan remaja di Indonesia terinfeksi Covid-19 dengan angka kematian 0,9 persen atau 45 kali lebih tinggi dari Amerika Serikat yang angka kematiannya hanya 0,02 persen.
Seperti pada orang dewasa, anak yang terinfeksi Covid-19 akan punya risiko menjadi berat bila terdapat penyakit penyerta (komorbiditas) seperti diabetes, penyakit paru kronik, kelainan jantung dan beberapa komorbiditas lain seperti penyakit ginjal, hipertensi serta penyakit paru osbtruktif termasuk asma.
Penelitian yang dipublikasi Shekerdemian et al., (2020) menunjukkan anak dengan komorbiditas, khususnya kelainan jantung yang kompleks, berisiko tinggi untuk menjadi kritis. Sekitar sepertiga anak dengan penyakit penyerta saluran cerna memerlukan operasi lambung (gastrostomi) dan operasi usus halus. Obesitas pada anak seperti juga pada orang dewasa, berhubungan dengan beratnya kondisi anak yang terinfeksi Covid- 19.
C. Peningkatan Gangguan Mental
Risiko kejadian gangguan mental dan kasus bunuh diri berpotensi meningkat di masa pandemi. Beberapa studi di luar negeri menunjukkan tingkat kecemasan dan stres meningkat selama pandemi Covid-19, baik itu di kalangan masyarakat umum maupun pada tenaga kesehatan yang setiap hari berjibaku mengatasi serangan virus. Salah satunya studi dari Huang & Zhao (2020) yang menyebutkan pada masyarakat umum di China, tingkat kecemasan dan depresi dialami oleh 20,1-35,1 persen responden. Sementara pada tenaga kesehatan, kecemasan dan depresi dialami oleh 19,8-35,6 persen.
Dalam situasi pandemi sekarang ini, setidaknya terdapat empat gelombang dampak yang mungkin dihadapi yang dapat
meningkatkan kecemasan, stres, bahkan depresi. Pertama adalah dampak langsung atau aktual dari pandemi, yaitu beban kesehatan dan konsekuensi ekonomi. Di belahan negara mana pun dan di lapisan masyarakat apa pun kondisi ini tak terhindarkan. Kedua, adanya penundaan terhadap pelayanan kesehatan untuk jenis penyakit yang lain, terutama penyakit kronis, karena pergerakan orang dibatasi. Orang menghindari datang ke rumah sakit karena takut tertular virus korona baru sehingga tidak mendapatkan layanan sebagaimana seharusnya atau serutin biasanya. Ketiga, ada konsekuensi dari penanganan Covid-19. Orang yang sembuh dari Covid-19, kondisi tubuh dan kesehatannya tidak lagi sama seperti sebelumnya. Tidak diketahui apa dampak jangka panjang terhadap kesehata. Terakhir, terkait munculnya gangguan mental yang sifatnya jangka panjang, seperti kecemasan yang kronis, kondisi stres pasca-kejadian yang traumatik (PTSD), perasaan kehilangan, atau sindrom pasca- perawatan yang intensif (PICS).
Sesungguhnya, kondisi yang dihadapi selama pandemi bisa berbeda pada setiap orang dan tidak selamanya negatif. Pada sebagian orang, menjalani pembatasan sosial, karantina, atau lockdown bisa jadi bermakna positif jika ia punya kontrol yang baik terhadap segala situasi yang dihadapi.
Pembatasan sosial bisa berarti tersedianya waktu yang cukup banyak (ekstra) untuk melakukan kegiatan yang mendukung kesehatan tubuh dan rohani, seperti tidur yang cukup, makan lebih sehat, cukup berolahraga, mengurangi rokok dan alkohol, atau melakukan kontemplasi. Bisa juga berarti tersedia waktu yang berkualitas bersama keluarga atau orang terdekat. Bagi orang yang sering mengalami gangguan kecemasan, pembatasan sosial juga bisa berarti pengalaman yang menyenangkan. Ia justru merasa aman karena bisa terhindar dari kondisi eksternal yang selama ini memunculkan kecemasan dalam dirinya. Terdapat juga fakta yang menunjukkan menguatnya kohesi dan koneksi sosial masyarakat. Terbangun rasa komunal dan kekompakan di tengah
masyarakat untuk bersatu mengatasi penyebaran virus. Kondisi fisik dari perawatan intensif selama menderita Covid-19.
D. Faktor Risiko
Di awal pandemi covid 19 alergi asma dan penyakit paru obstruktif kronis dianggap sebagai faktor risiko karena cenderung memburuk jika terjadi infeksi pernafasan. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa resiko terkena covid 19 tidak memperburuk gejala bahkan resiko penderita asma sedikit lebih rendah dibandingkan populasi pada umumnya. Asma merupakan penyakit kronis yang tidak menular yang menyebabkan saluran pernafasan meradang, penderita sesak nafas dan batuk saat menghembuskan nafas. Pengurangan resiko infeksi covid19 terjadi antara lain karena penderita asma memiliki kadar sel T2 yaitu sel darah putih yang berperan penting dalam kekebalan seluler dan memiliki reseptor enzim yang mengubah anti otensin 2 lebih rendah. Kalaupun terinfeksi gejalanya tidak parah karena adanya kadar interferon yaitu protein yang diproduksi tubuh sebagai respon melawan senyawa berbahaya. Adapun peningkatan risiko rawat inap akibat covid19 pada pasien asma sebagian besar hanya terkait pada usia dan penyakit penyerta lainnya. Adanya kasus kematian umumnya terjadi pada pasien lanjut usia.
Dari 358 anak yang meninggal karena covid-19 sebanyak 50% adalah balita dan 30% anak usia 10 sampai 18 tahun.
Diperlukan upaya agar masyarakat berhati-hati menjaga kedua kelompok ini. Anak balita memiliki daya tahan tubuh yang masih rendah mereka umumnya terhambat dibawa ke rumah sakit karena gejala yang sangat biasa dengan batuk pilek biasa sedangkan anak umur 10 sampai 14 tahun, berpotensi memiliki viral-load yang lebih tinggi karena lebih sering beraktivitas di luar rumah berbeda dengan anak umur 6 sampai 10 tahun yang lebih gampang dijaga dan tidak pergi kemana-mana.
Sebelum ledakan wabah pada bulan Mei 2021, India sebenarnya sudah hampir berhasil mengendalikan pandemi.
Keberhasilan itu di antaranya melalui tes masif, hingga sejuta orang diperiksa dalam sehari. Mereka juga mengerahkan sukarelawan lacak hingga ke rumah-rumah warga.
Dengan upaya itu, pada awal Maret 2021 mereka berhasil menurunkan kasus hingga 12.000 per hari, padahal pada September 2020 kasus harian mencapai 96.000 per hari. Setelah terjadi penurunan itu, mereka membuka kembali bisnis, menyelenggarakan pemilihan umum, dan mengizinkan ritual yang melibatkan jutaan orang dengan mengabaikan protokol kesehatan. India juga menurunkan tes menjadi 700.000 dalam sehari. Padahal, vaksin mereka masih sangat terbatas saat itu dan pada saat yang sama muncul varian Delta atau B.1.617 yang jauh lebih menular. Dari sisi tes dan lacak, India jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Indonesia sejauh ini belum pernah mencapai positivity rate di bawah 5 persen. Bahkan, positivity rate dengan polimerase rantai ganda (PCR) secara nasional mencapai 42,25 persen.
Selain menandakan tingginya tingkat penularan di komunitas, positivity rate ini juga menunjukkan kurangnya tes dan lacak kita.
Kalau mau meniru India, dengan jumlah penduduk mereka yang empat kali lipat Indonesia, Indonesia saat ini minimal harus melakukan 500.000 tes, masih sangat jauh dari kapasitas tes kita saat ini yang dengan PCR hanya 48.000 per hari dan jika ditambah dengan antigen sekitar 80.000 per hari.
E. Fasilitas dan Tenaga Kesehatan
Kecerobohan pengambil kebijakan dan kelalaian masyarakat ini seperti kita ketahui telah menyebabkan tragedi di India. Fasilitas kesehatan mereka kolaps sehingga menyebabkan orang-orang yang butuh pertolongan segera meninggal di rumah dan jalan.
Bahkan, di puncak wabah, tempat pembakaran mayat pun kewalahan.
Kini, kolapsnya rumah sakit juga telah terjadi di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. LaporCovid-19 menyebutkan, selama 24-27 Juni telah menerima laporan sembilan pasien Covid-19 yang meninggal karena tak mendapatkan fasilitas kesehatan. Jumlah korban ini bisa dipastikan sebagai fenomena gunung es jika melihat laporan berbagai media, dan terutama di media sosial, mengenai sulitnya mencari fasilitas kesehatan. Bahkan, berulang kali muncul permintaan bantuan menguburkan anggota keluarganya yang meninggal di rumah.
Jumlah tempat tidur, ketersediaan obat, sumber daya manusia, alat pelindung diri, serta oksigen masih belum memadai.
Dari 82.000 tempat tidur yang tersedia secara nasional, 57.000 tempat tidur sudah terisi. Penambahan tempat tidur terus dilakukan, terutama di daerah dengan tingkat keterisian tinggi, seperti DKI Jakarta. Sejumlah rumah sakit pun dikonsentrasikan untuk menangani pasien Covid-19. Namun, di tengah tingginya laju penularan Covid-19 seperti saat itu, penambahan fasilitas kesehatan tanpa ada upaya serius menekan mobilitas penduduk di hulu ibarat menampung air bah dengan ember. Apalagi, sumber daya tenaga kesehatan kita sangat terbatas dan terus berguguran.
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia belum mencukupi standar pelayanan kesehatan dan sebarannya cenderung tidak merata. Sebagai perbandingan Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10000 penduduk artinya satu dokter melayani 2500 penduduk. Hari ini menjadikan Indonesia sebagai negara ke- 2 di Asia Tenggara dengan rasio ketersediaan dokter yang paling rendah. Jumlah ini tentu jauh lebih rendah dari Singapura yang memiliki rasio 23 per 10000 penduduk dan Malaysia 15 dokter per 10000 penduduk. Sedangkan di dunia Indonesia menempati urutan 115 dengan jumlah tenaga kesehatan 67 per 10000 penduduk. Kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia, dan 5 besar di seluruh dunia. Bahkan,
dokter meninggal dunia akibat terinfeksi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Brazil, Amerika Serikat dan Meksiko memiliki angka kematian perawat yang cukup tinggi namun jumlah tersebut diperkirakan masih lebih rendah dibanding dengan keadaan yang sebenarnya.
Bergugurannya perawat dan tenaga kesehatan lainnya menimbulkan masalah baru yang bisa merembet menjadi persoalan besar saat ini ada fase perawat-perawat di seluruh dunia mengalami trauma akibat ketidak berdayaan mengenai banding 16 tugas perawat bukan hanya membantu kesembuhan pasien covid-19 melainkan juga menjaga dirinya dan keluarganya sendiri agar tidak terinfeksi penyakit itu. Hal ini akan menjadi lebih buruk jika melihat koleganya gugur satu demi satu. Para pemangku kepentingan perlu bertindak untuk mengantisipasi dampak negatif dari pandemi ini untuk mempertahankan kecukupan tenaga kerja di sektor kesehatan. Harus ada perlindungan fisik dan mental bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk membangun resiliensi kesehatan. Apresiasi terhadap kerja dan dedikasi tenaga kesehatan tidak boleh berhenti pada sekedar retorika. Pemerintah harus berkomitmen memenuhi hak keuangan dan insentif serta pertumbuhan fisik dan mental pada tenaga kesehatan.
Risiko besar yang dihadapi tenaga kesehatan di antaranya adalah beban kelelahan yang dirasakan. Risiko terpapar covid 19 juga sangat tinggi karena tenaga kesehatan bukan hanya merawat pasien covid 19 melainkan juga menangani pasien lainnya.
F. Infodemik
Di era yang serba digital, kini semua pribadi bisa dengan mudah membuat konten dan menyebarluaskannya sendiri. Implikasinya berita tidak benar atau fake news dan berita bohong atau hoaks pun menyebar luas bak pandemi. Berbagai informasi palsu dan tidak benar disebarkan cepat melalui aplikasi pesan. Hal ini terjadi karena untuk pertama kalinya dalam sejarah orang bisa mengikuti
perkembangan pandemi setiap saat berkat kemajuan teknologi.
Kabar hoaks ini merajalela karena diperparah dengan keharusan warga untuk menjaga jarak sosial. Ada konsekuensi pada kejiwaan warga dan tujuan itu bisa sedikit dicegah dengan menjaga komunikasi dengan dunia luar agar saling menguatkan. Hoaks itu tersebar di berbagai platform media sosial. Total 1.260 kasus.
Paling banyak di Facebook (885), Twitter (356), Instagram (11 konten), dan Youtube (8 konten) (Kompas, Rabu 22/4/2020).
Data lain menyebutkan penyebaran hoaks di Facebook 81 persen dan Whatsapp 56-58 persen. Kabar bohong yang beredar luas, misalnya, menjelaskan orang yang tidak pernah ke luar negeri tidak akan terinfeksi Covid-19. Banyak juga yang mengaitkannya dengan isu politik, suku, agama, ras, dan antar-golongan. Kondisi ini tentu memprihatinkan dan tidak boleh dianggap remeh.
Tingkat literasi Indonesia terendah kedua di dunia dan 65 persen masyarakat memercayai hoaks. Kabar bohong akan mengarahkan publik pada tindakan yang salah, membahayakan kesehatan, bahkan ketahanan nasional. Soal ini menjadi pekerjaan rumah tambahan pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika ataupun aparat penegak hukum.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengingkaran realitas ancaman virus dan manfaat vaksinasi diakibatkan karena pelanggaran protokol kesehatan sebagai intervensi non medis atau menolak vaksinasi yang merugikan masyarakat yang luas.
Diperkirakan setengah kematian akibat covid 19 di Amerika Serikat pada awal pandemi seharusnya dapat dicegah Jika saja intervensi non medis dilaksanakan pada penderita 1 pekan sebelumnya sebelum disinformasi melanda masyarakat
Tidak bisa dipungkiri, akibat meledaknya informasi terkait pandemi banyak orang yang merasa bingung, gunda, cemas bahkan stres. Selain itu masyarakat juga harga mengalami fenomena info obesity alias kelebihan beban informasi hal ini terjadi karena jutaan informasi menyeruak ke gawai setiap saat situasinya diperparah oleh munculnya sejumlah orang yang
ketinggalan informasi dan ingin tampil sehingga terburu-buru menyebarkan informasi yang diterima tanpa menyaring nya lebih dulu. Seringkali terus organisasinya disinformasi diperkuat oleh teknologi yang di otomatisasi agar mudah merebak luas. Hal ini diperparah dengan timbulnya kecemasan yang menyebabkan kita susah memahami perkara yang ada dan sulit mengambil keputusan apalagi informasi tersebut rumit, kompleks dan saling kontradiksi yang menyebabkan kualitas keputusan menurun.
G. Upaya Pencegahan
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, perlu menjadikan sejarah kejadian pandemi flu spanyol pada 1918-1920 sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan menangani Covid-19 saat ini.
Kunci dari pengendalian endemi dan pandemi adalah informasi yang terbuka dan akurat serta penguatan kajian dari berbagai sudut pandang.
Sejak awal abad ke-19, sejumlah surat kabar telah berulang kali melaporkan wilayah Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda sudah mengalami serangan pandemi, mulai dari kolera, tikus, hingga cacar air. Pada Desember 1918, koran Shin Po yang merupakan harian terbesar saat itu juga sempat memublikasikan artikel terkait dengan sejarah pandemi influenza di dunia. Penyebaran flu spanyol di Hindia Belanda terjadi dalam dua gelombang utama. Gelombang pertama terjadi pada Juli- September 1918 dan gelombang yang lebih masif terjadi pada tahap kedua Oktober-Desember 1918. Di beberapa wilayah di timur Hindia Belanda dilaporkan virus masih menyebar hingga awal 1919.
Pandemi flu spanyol yang muncul saat Perang Dunia Pertama (PD I) ini disebabkan oleh virus H1N1 dan diduga kuat menginfeksi lebih dari 500 juta penduduk atau sepertiga populasi dunia saat itu. Tingkat kematian pandemi flu spanyol mencapai 20 persen dari total penduduk yang terinfeksi. Para peneliti ataupun sejarawan memprediksi angka kematian akibat flu spanyol lebih
banyak dibandingkan dengan korban PD I. PD I diduga kuat berkontribusi menyebarkan virus penyebab flu spanyol dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski perang tersebut terjadi di Eropa, banyak terdapat tentara rekrutan yang berasal dari negara-negara di Asia. Tingginya mobilitas tentara membuat flu spanyol cepat menyebar ke negara-negara lain. Sikap antisains kerap muncul saat pandemi. Hal ini juga ditunjukkan pada pandemi flu spanyol ketika masyarakat saat itu lebih mengaitkan kejadian supranatural atau mistis dalam menyikapi suatu penyakit.
Banyak penelitian yang telah menekankan pentingnya pencegahan terhadap infeksi Covid-19 pada anak termasuk anak penyandang penyakit jantung. Deteksi dini dan skrining terhadap SARS-CoV-2 yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun orangtua merupakan kunci untuk terhindar dari penyakit yang mengancam jiwa ini. Bersamaan dengan itu anak dan remaja penyandang PJB harus memperoleh edukasi yang cukup untuk mengenali gejala dan tanda Covid-19. Juga penting mematuhi protokol kesehatan yang meliputi menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker serta menghindari kerumunan, terutama ketika nanti mereka kembali ke lingkungan sekolah. Kerja sama antara guru dan orangtua serta pihak lainnya mutlak diperlukan.
Anak-anak dan remaja di negeri ini adalah aset bangsa yang perlu perhatian dan dijaga kesehatannya.
Terdapat beberapa faktor yang bisa melindungi diri dari gangguan mental dan bunuh diri, seperti dengan memperoleh dan memahami informasi mengenai Covid-19 yang akurat untuk mengatasi kecemasan tertular penyakit, resiliensi, melanjutkan pekerjaan, olahraga secara berkala, dan memiliki akses ke ruang terbuka di luar rumah. Perlu pula mengurangi paparan media sosial yang dapat memengaruhi kesehatan mental. Bagi yang sebelumnya sudah memiliki masalah gangguan mental supaya tetap melanjutkan pengobatan atau penanganan. Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa bunuh diri adalah masalah kesehatan mental publik yang utama, meskipun ada tabu di
membicarakannya. Mengembangkan panduan pertolongan pertama pada bunuh diri bagi anggota masyarakat dan memberikan pelatihan terkait hal tersebut akan berperan mengubah cara pandang dan sikap masyarakat terhadap tindakan bunuh diri dan orang yang berkeinginan untuk bunuh diri.
Pembatasan Sosial
Sebelum pandemi terjadi, manusia bebas bergerak dan menggelar pertemuan. Kegiatan bisnis, pendidikan, pameran seni, dan perhelatan budaya memenuhi jadwal harian manusia. Urusan bisnis yang mengharuskan kehadiran pemimpin perusahaan dapat dengan mudah dilakukan. Pagi seorang CEO berada di Singapura dan keesokan harinya ia sudah dapat menghadiri pertemuan bisnis di belahan Eropa. Jepang saat ini masih melarang perjalanan ke 159 teritori dan negara. Bulan depan, menurut rencana, larangan perjalanan ke China serta 11 negara dan teritori lain, seperti Taiwan, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, dan Malaysia, akan dicabut. Jepang juga mempertimbangkan untuk menghapus kewajiban karantina bagi pelawat urusan pekerjaan dari luar negeri. Sebelumnya, setiap pelawat dari luar negeri wajib mengarantina diri sekurangnya 14 hari setelah tiba di Jepang.
Pencabutan karantina tersebut berlaku baik pada warga Jepang maupun asing yang mempunyai izin tinggal sementara di negara itu. Pelawat yang datang tak lagi wajib dikarantina selama dua pekan. Selain aspek kepentingan bisnis, penentuan negara tujuan yang mendapat pelonggaran itu tentu mempertimbangkan tingkat penularan Covid-19 di wilayah bersangkutan. Kian terkontrol penularan di sebuah negara, semakin besar peluangnya untuk mendapat pelonggaran oleh Tokyo.
Hal ini menunjukkan, penanganan pandemi oleh sebuah negara menjadi kunci bagi menggeliatnya kembali perekonomian di negara tersebut. Arus perjalanan yang lebih longgar akan menggerakkan berbagai bisnis, terutama transportasi udara.
Langkah Jepang melonggarkan arus perjalanan baik keluar
maupun masuk ke negara itu mengingatkan kembali betapa penting pertama-tama mengendalikan penularan Covid-19 sebaik mungkin.
Mempercepat heard immunity
Konsep herd immunity sebenarnya bukan lahir dari ilmu medis dan kesehatan publik, melainkan dari bidang kedokteran hewan.
Dalam artikel yang dimuat di Journal of the American Veterinary Medical Association tahun 1916, George Potter memperkenalkan konsep herd immunity.
Kata herd di sini merujuk pada kawanan hewan. Seperti kutipan di atas, herd immunity terbentuk ketika dalam satu peternakan terdapat sejumlah hewan ternak yang memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu yang akan melindungi hewan ternak yang rentan.
Istilah herd immunity mulai dipakai di dunia kedokteran ketika Sheldon Duddley, profesor ilmu penyakit di Royal Naval Medical School di Greenwich, menerapkan prinsip herd immunity kepada manusia. Dalam artikel di jurnal The Lancet tahun 1924, ia menggunakan model herd immunity untuk mengamati pola penyebaran penyakit di kalangan mahasiswa tempat dia mengajar.
Seratus tahun kemudian, herd immunity menjadi diksi sehari-hari.
Mungkin tidak ada yang lebih populer dari istilah herd immunity saat ini. Ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, semua negara berlomba-lomba mencapai herd immunity atau kekebalan bersama/kekebalan kawanan seakan-akan ini adalah garis akhir untuk keluar dari pandemi. Termasuk di Indonesia, yang pemerintahnya sedang mengerahkan segala tenaga dan upaya mencapai titik kekebalan bersama lewat program vaksinasi. Dua hal penting mengenai kekebalan bersama perlu kita garis bawahi, yakni faktor sosial dan faktor patogen. Dalam faktor sosial, konsep kekebalan bersama sering disalahartikan semata-mata sebagai angka batas ambang jumlah orang yang memiliki kekebalan.