• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA ADAT DALAM MENDUKUNG EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI PROVINSI BALI. Laporan ke-1 dari rencana 2 tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA ADAT DALAM MENDUKUNG EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI PROVINSI BALI. Laporan ke-1 dari rencana 2 tahun"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

1 LAPORAN TERAKHIR

PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA ADAT DALAM MENDUKUNG EKSISTENSI

LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI PROVINSI BALI

Laporan ke-1 dari rencana 2 tahun

TIM PENELITI

1. Prof. Dr. I Ketut Sudibia, SE, SU (0031124819) 2. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE.,MP (0006076003) 3. Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE., M.Si (0001085201)

UNIVERSITAS UDAYANA OKTOBER 2016

Dibiayai oleh

Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian

Nomor : 486.38/UN14.2/PNL.01.03.00/2016, tanggal 16 Mei 2016

(2)

2

(3)

3 DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...1

HALAMAN PENGESAHAN ...2

DAFTAR ISI ...3

PRAKATA ...4

RINGKASAN ...5

DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB 1 PENDAHULUAN...7

1.1. Latar Belakang ...7

1.2. Rumusan Masalah ...12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...13

2.1. Konsep Pemberdayaan ...13

2.2. Organisasi Sosial Masyarakat ...16

2.3. Jaringan Sosial ...17

2.4. Modal Sosial ...18

2.5. Lembaga Keuangan Mikro ...19

2.5. Profil Lembaga Adat ...21

2.6. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) ...23

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...26

3.1. Tujuan Penelitian ...26

3.2. Manfaat Penelitian ...26

BAB 4 METODE PENELITIAN ...27

4.1. Lokasi Penelitian ...27

4.2. Jenis dan Sumber Data ...27

4.3. Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ...28

4.4. Instrumen Penelitian...28

4.5. Metode Pengumpulan Data ...29

4.6. Metode Analisis Data ...30

BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ...31

5.1. Karakteristik Responden ...31

5.2. Kondisi Keluarga dan Lingkungan Tempat Tinggal ...38

5.3. Deskripsi Variabel Penelitian ...42

5.4. Hasil Analisis Jalur ...55

5.5. Pembahasan ...60

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... ...64

6.1. Simpulan ...64

6.2. Saran-saran ...65

DAFTAR PUSTAKA ...66

LAMPIRAN (Bukti luaran yang didapatkan) ...69

- Instrumen

- Personalia tenaga pelaksana beserta kualifikasinya - Artikel ilmiah (draft)

(4)

4 PRAKATA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widi Wasa, karena berkat rahmatNya, penelitian dengan judul ” Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat Dalam Mendukung Eksistensi Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali”, dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Penelitian ini memperoleh dukungan dana dari Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dengan skim penelitian Hibah Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2016.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitasitas Udayana, yang telah memfasilitasi pelaksanaan hibah penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para Pengurus (Ketua, Sekretaris dan Bendahara) pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, yang telah memberikan data dan informasi yang sangat berharga untuk penelitian ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki keterbatasan, namun kami tetap berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang berkepentingan.

Denpasar, Oktober 2016

Tim Peneliti

(5)

5 RINGKASAN

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah lembaga keuangan mikro yang spesifik ada di Provinsi Bali, memiliki peran untuk menjaga eksistensi lembaga tradisional desa adat yang menjadi benteng terakhir budaya Bali. Terkenalnya Bali di seantero dunia adalah karena keunikan budayanya. Oleh karena itu perlu dijaga kelestarian dan keberlanjutannya.

Keberadaan LPD yang didukung oleh warga masyarakat desa adat (krama desa) memiliki fungsi yang sangat strategis, yaitu untuk memacu pembangunan ekonomi pedesaan, menghindarkan petani dari jeratan ijon dari para tengkulak atau rentenir, dan sekaligus menjaga kearifran lokal desa adat.

Sejak munculnya ide mendirikan LPD oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra tahun 1984, hingga saat ini (tahun 2010) sudah didirikan sekitar 1.400 buah LPD di Provinsi Bali. Ini berarti bahwa hampir setiap desa adat yang ada di Provinsi Bali sudah memiliki sebuah LPD. Namun demikian di dalam perjalanannya tidak semua LPD tersebut meraih sukses seperti yang diharapkan. Data menunjukkan bahwa selama periode 2009-2010 terjadi peningkatan persentase LPD yang tergolong kurang sehat, tidak sehat, dan macet yaitu dari 15,95 persen tahun 2009 menjadi 17,86 persen tahun 2010. Untuk mendongkrak keberhasilan LPD, warga masyarakat (krama desa) menduduki peran sentral karena krama desa memiliki beberapa jenis peran, yaitu sebagai anggota, pengurus/pengelola, dan pengawas. Berkaitan dengan kondisi LPD seperti di atas maka mendesak untuk dilakukan penelitian dengan pokok permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah pemberdayaan krama desa yang optimal dalam mendukung eksistensi LPD di Provinsi Bali? (2) Bagaimanakah peran pengurus/pengelola LPD yang dibutuhkan dalam mendukung eksistensi LPD di Provinsi Bali? (3) Bagaimanakah peran pengawas dalam mendukung eksistensi LPD di Provinsi Bali?

Penelitian ini akan dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali, dengan

alasan bahwa di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali semuanya telah memiliki LPD

yang perlu diteliti atau dievaluasi keberhasilan atau ketidakberhasilannya. Dari sekitar

1.400 LPD yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali, jumlah LPD yang

akan diteliti ditentukan dengan kuota sebanyak 10 LPD untuk setiap kabupaten/kota. Atau

secara keseluruhan akan diambil sampel sebanyak 90 LPD, yang pemilihannya dilakukan

secara purposive dengan mempertimbangkan LPD berhasil dan LPD tidak berhasil. Di

setiap LPD terpilih akan diteliti masing-masing 1 orang pengurus, anggota LPD, dan

pengawas. Dengan demikian jumlah seluruh responden dalam penelitian ini adalah 270

responden, yang mencakup 90 orang responden pengurus, 90 orang anggota LPD, dan 90

orang pengawas. Metode pengambilan sampel baik untuk responden yaitu krama desa yang

bertugas sebagai pengurus, anggota LPD, dan pengawas LPD akan dipilih dengan

menggunakan non probability sampling yaitu accidental sampling. Pengumpulan data

dilakukan dengan metode observasi, wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam

(indepth interview). Data yang telah dikumpulkan diolah dengan program SPSS dan

selanjutnya dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif dan teknik analisis jalur (path

analysis).

(6)

6 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan krama desa sebagai komunitas LPD di Bali berpengaruh positip dan signifikan terhadap eksistensi LPD, yang dapat diartikan bahwa semakin baik pemberdayaan krama desa, dalam hal ini masyarakat sebagai pengurus, pengawas dan sebagai nasabah LPD, maka semakin kuat eksistensi LPD di Bali.

Modal sosial juga terbukti berpengaruh signifikan terhadap pemberdayaan krama desa,

yang memberi arti bahwa semakin baik atau semakin kuat modal sosial yang berkembang

di lingkungan desa pekraman di Bali maka pemberdayaan krama desa juga semakin baik

atau semakin kuat. Dilihat dari keterkaitan modal sosial dengan ekistensi LPD, terbukti

dalam penelitian ini, yaitu modal sosial berpengaruh positip dan signifikan terhadap

eksistensi LPD. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin baik modal sosial maka

eksistensi LPD juga semakin baik atau semakin eksis. Dari hasil pengujian mediasi terbukti

pemberdayaan krama desa sebagai komunitas LPD (pengurus, pengawas, dan anggota

LPD), secara signifikan memediasi pengaruh modal sosial terhadap eksistensi LPD di

Provinsi Bali.

(7)

7 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, di Provinsi Bali dikenal adanya dua jenis desa, yaitu desa dinas dan desa adat. Desa dinas merupakan unit pemerintahan satu tingkat di bawah kecamatan. Sementara itu, desa adat adalah lembaga sosial religius yang bersifat Hinduistis, atau lembaga sosial dan keagamaan Hindu di tingkat desa yang berfungsi menata, mengatur dan membina kehidupan sosial warga desanya, yang meliputi tattwa, kesusilaan agama, dan upacara agama (Surpha, 2004).

Memperhatikan fungsi-fungsi yang dikemukakan di atas dapat disebutkan bahwa desa adat memiliki sifat yang otonom pada berbagai bidang seperti organisasi, ekonomi, sosial budaya, dan pengaturan keamanan.

Dari berbagai bidang yang menjadi otonomi dari desa adat, yang akan disoroti lebih jauh dalam studi ini adalah otonomi di bidang ekonomi. Selama ini belum ada bentuk usaha yang jelas terkait dengan otonomi desa adat di bidang ekonomi, padahal hal itu sangat penting untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan taraf hidup krama desa (warga masyarakat desa adat). Kondisi inilah yang menginsprasi Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, yang kala itu menjabat Gubernur Provinsi Bali menggagas pembentukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) pada tahun 1984. Berbeda dengan lembaga perbankan lainnya, LPD merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan mikro berbasis kearifan lokal desa adat.

Peranan LPD sangat strategis, karena turut berkontribusi dalam menjaga eksistensi desa adat yang menjadi benteng terakhir budaya Bali. Secara resmi LPD dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 972 Tahun 1984, tanggal 1 Nopember 1984.

Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) tidak hanya dimaksudkan untuk memacu

pembangunan ekonomi pedesaan, namun juga untuk menghindarkan petani dari jeratan ijon

dari para tengkulak atau rentenir. Pembangunan ekonomi pedesaan memiliki tujuan ganda,

antara lain untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara daerah kota dengan

pedesaan, penciptaan kesempatan kerja, penciptaan kesempatan berusaha, dan peningkatan

pendapatan krama desa atau warga masyarakat desa adat.

(8)

8 Peranan LPD dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah pedesaan seperti digambarkan di atas tampaknya sejalan dengan visi dan misi yang diemban oleh LPD. Visi LPD adalah terwujudnya industri LPD yang sehat, kuat, produktif, dan dipercaya sebagai lembaga keuangan mikro untuk mendukung pembangunan pedesaan, serta pelestarian adat dan kebudayaan daerah Bali berlandaskan Tri Hita Karana dalam rangka memperkaya khasanah budaya bangsa. Selanjutnya, misi LPD adalah menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendorong peningkatan kinerja LPD dan pelayanan keuangan yang berkelanjutan kepada warga desa adat atau desa pakraman untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan krama desa di wilayah Bali (Sadiartha, 2011).

Di samping visi dan misi di atas, berikut ini dikemukakan pula fungsi dan tujuan LPD, yaitu untuk (1) memberikan kesempatan berusaha bagi para warga desa (krama desa) setempat; (2) menampung tenaga kerja yang berasal dari krama desa; (3) melancarkan lalu lintas pembayaran; (4) menghapuskan keberadaan lintah darat (Suartana, 2009).

Memperhatikan beberapa tujuan di atas, secara tidak langsung pengembangan LPD di setiap desa adat akan dapat mengurangi pengangguran dan sekaligus turut menanggulangi kemiskinan yang dialami oleh para krama desa. Krama desa yang dimaksudkan di sini adalah seluruh warga desa adat yang secara otomatis menopang kegiatan LPD.

Sebagai tindak lanjut dari Surat Keputusan Gubernur Bali No. 972 Tahun 1984,

maka pada tahun 1985 didirikanlah sebuah LPD di setiap kabupaten di Bali. Oleh karena

pada waktu itu Provinsi Bali hanya terdiri atas 8 wilayah kabupaten, maka jumlah LPD

pada tahun 1985 mencakup 8 unit (Agung, 2012). Perkembangan selanjutnya

menunjukkan, bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (1985-1990) jumlah LPD meningkat dari

8 unit menjadi 24 unit, atau bertambah rata-rata 3 unit per tahun. Pada tahun 1995 jumlah

LPD di Provinsi Bali sudah mencapai 341 unit, yaitu bertambah rata-rata 63 unit setiap

tahun selama periode 1990-1995. Perkembangan yang lebih menarik adalah peningkatan

jumlah LPD selama periode 1995-2000, yaitu dari 341 unit pada tahun 1995 menjadi 930

unit pada tahun 2000. Meskipun pada periode tersebut terjadi krisis moneter, namun jumlah

LPD terus bertambah rata-rata 118 unit per tahun. Besarnya peningkatan jumlah LPD pada

periode di atas, tampaknya disebabkan oleh tingginya minat masyarakat untuk mendirikan

LPD, karena dianggap membantu masyarakat pedesaan, baik untuk tujuan produktif

(9)

9 maupun konsumtif. Pertambahan jumlah LPD pada periode 2000-2005 tampaknya tidak sebanyak periode sebelumnya, karena jumlah LPD pada periode ini hanya bertambah rata- rata 75 unit per tahun. Pada periode ini Bali diguncang bom dua kali yaitu pada tahun 2002 dan 2005, yang menyebabkan semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat Bali.

Sampai dengan bulan Juli 2009 jumlah LPD di Provinsi Bali mencapai 1.339 unit, yang berarti bertambah rata-rata sekitar 9 unit per tahun. Kecilnya pertambahan jumlah LPD pada periode terakhir (2005-2009) adalah karena dari 1405 jumlah desa adat yang ada di Provinsi Bali, sebagian besar sudah memiliki LPD (Suartana, 2009; Sadiartha, 2011).

Gambaran tentang jumlah LPD dan desa adat menurut kabupaten/ kota di Provinsi Bali pada tahun 2009 dapat diikuti pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Distribusi Jumlah LPD dan Desa Adat Dirinci Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali per Juli 2009

Kabupaten/Kota Jumlah LPD (Unit) Jumlah Desa Adat Persentase*)

1. Jembrana 35 35 100,0

2. Tabanan 299 341 87,7

3. Badung 119 119 100,0

4. Gianyar 267 276 96,7

5. Klungkung 99 106 93,4

6. Bangli 156 158 98,7

7. Karangasem 163 169 96,4

8. Buleleng 166 166 100,0

9. Denpasar 35 35 100,0

Seluruhnya 1.339 1405 95,3

Sumber: Suartana (2009);

*) Persentase dihitung dari data pada kolom 2 dan kolom 3.

Dari Tabel 1.1 terungkap bahwa secara keseluruhan proporsi LPD terhadap jumlah

desa adat di Provinsi Bali mencapai 95,4 persen. Dengan perkataan lain bahwa persentase

desa adat yang belum memiliki LPD per Juli 2009 kurang dari 5 persen. Lebih jauh jika

ditelusuri menurut kabupaten/kota ditemukan bahwa kurang dari separuh kabupaten/kota di

Provinsi Bali menunjukkan bahwa semua desa adat yang ada di wilayahnya sudah

memiliki LPD. Kabupaten/kota dimaksud adalah Kabupaten Jembrana, Badung, Buleleng,

dan Kota Denpasar. Sementara itu, kabupaten/kota yang pencapaiannya kurang dari 95

(10)

10 persen per Juli 2009 adalah Kabupaten Tabanan (87,7 persen), dan Klungkung (93,4 persen).

Selanjutnya, berdasarkan Laporan Tahunan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali 2010 (diakses tanggal 24 Mei 2013), diperoleh bahwa jumlah LPD di Provinsi Bali pada akhir 2009 adalah 1379 buah dan pada akhir tahun 2010 meningkat lagi menjadi 1405 buah. Dengan perkataan lain bahwa selama periode 2009-2010 jumlah LPD bertambah sebanyak 26 buah.

Meskipun jumlah LPD di Provinsi Bali menunjukkan perkembangan yang sangat pesat seperti digambarkan di atas, namun dalam perjalanannya tidak semua LPD tersebut berhasil meraih kemajuan sesuai dengan yang diharapkan. Pada tahun 2009 jumlah LPD yang tergolong sehat dan cukup sehat adalah sebanyak 1.159 buah dan pada tahun 2010 sebanyak 1.154 buah. Sebaliknya LPD yang tergolong kurang sehat, tidak sehat, dan macet berturut-turut adalah 220 buah pada tahun 2009 dan 251 buah pada tahun 2010. Jika dikaitkan dengan jumlah keseluruhan LPD pada tahun yang bersangkutan, maka LPD yang berstatus kurang sehat, tidak sehat, dan macet meningkat dari 15,95 persen pada tahun 2009 menjadi 17,86 persen pada tahun 2010 (Laporan Tahunan Bank BPD Bali, 2010).

Keberhasilan sebuah organisasi seperti LPD juga tidak terlepas dari penerapan fungsi kontrol atau pengawasan. Salah satu lembaga yang berperan dalam pengawasan terhadap LPD adalah desa adat, yang diatur melalui awig-awig desa adat. Awig-awig desa adat memuat tentang sanksi sosial terhadap krama desa yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati terkait dengan kegiatan LPD. Meskipun mekanisme dan tata cara pengawasan LPD sudah tertuang dalam awig-awig desa adat, namun dalam pelaksanaannya sangat ditentukan oleh faktor manusianya yang berperan sebagai pengawas. Oleh karena itu perlu pula dikaji pemberdayaan krama desa sebagai pengawas untuk mendukung eksistensi LPD.

Desa adat atau yang sering pula disebut desa pakraman adalah sebuah lembaga

tradisional dalam masyarakat Bali yang berfungsi menata, mengatur dan membina

kehidupan sosial warga desanya, yang meliputi tattwa, kesusilaan agama, dan upacara

agama. Untuk menjaga kelancaran roda organisasi desa adat, maka kehadiran LPD

memiliki posisi yang sangat strategis karena tidak hanya berperan untuk meningkatkan

(11)

11 pembangunan ekonomi pedesaan namun juga turut menjaga benteng budaya Bali.

Peningkatan pembangunan ekonomi pedesaan dicerminkan oleh derap dan laju pertumbuhan ekonomi pedesaan, bertambahnya kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja lebih banyak, serta meningkatnya taraf hidup masyarakat pedesaan.

Di sisi lain, desa adat yang menjadi benteng budaya Bali memang harus dijaga kelestariannya. Kegiatan-kegiatan desa adat seperti tattwa, kesusilaan agama, upacara adat dan agama semuanya bertujuan untuk mewujudkan tercapainya harmoni kehidupan dalam masyarakat desa adat, atau yang lebih dikenal dengan konsep tri hita karana. Konsep tri hita karana mengandung pengertian tiga keseimbangan dalam kehidupan yang menyebabkan tercapainya kemakmuran dalam masyarakat. Tiga keseimbangan dalam kehidupan ini adalah keseimbangan antara sesama manusia, keseimbangan dengan alam dan lingkungan, dan keseimbangan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kemasyhuran Bali di seantero dunia adalah karena keunikan budayanya, dan hal ini pula yang menjadi modal utama sektor kepariwisataan Bali. Karena itu pula kelestarian budaya Bali harus dijaga keberlanjutannya. Dalam kaitan inilah pentingnya memacu perkembangan LPD agar menjadi LPD yang berhasil, karena secara langsung hal ini akan turut menjaga keberlanjutan budaya Bali.

Keberhasilan LPD sebagai lembaga keuangan mikro berbasis kearifan lokal ditentukan oleh berbagai faktor, tidak hanya dari partisipasi masyarakat desa (krama desa) sebagai anggota, namun juga dalam perannya sebagai pengurus/pengelola, dan pengawas LPD. Hal ini penting untuk dipahami, karena seluruh krama desa dalam sebuah desa adat secara otomatis menjadi anggota LPD sehingga secara moral semua krama desa turut menopang kemajuan sebuah LPD.

Di satu sisi, peran LPD di dalam menjaga eksistensi desa adat, sebagai sarana

strategis dalam menopang otonomi desa adat sangatlah penting. Di sisi lain kondisi LPD

yang masih ada dalam kondisi kurang sehat, tidak sehat, dan macet, maka sangat mendesak

untuk dilakukan sebuah kajian yang mendalam. Dalam penelitian ini, kajian dilakukan baik

terhadap LPD yang tergolong sehat dan cukup sehat maupun LPD yang kurang sehat, tidak

sehat, dan macet untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif. Berdasarkan

kenyataan tersebut, maka harus ada usaha untuk mengatasinya, tentunya melalui

(12)

12 keterlibatan semua komponen krama desa penentu keberhasilan LPD. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak hanya difokuskan untuk mendalami salah satu komponen saja, melainkan ketiga komponen krama desa (pengurus, pengawas dan anggota), dikaji secara komprehensif mengingat ketiganya harus bersinergi dalam mendukung eksistensi LPD di Provinsi Bali.

Rumusan Masalah

1) Bagaimana kondisi pemberdayaan krama desa yang berperan dalam mendukung eksistensi LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali?

2) Bagaimana kondisi modal sosial yang berperan dalam mendukung eksistensi LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali?

3) Bagaimana peran modal sosial dalam pemberdayan krama desa pendukung LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali?

4) Apakah pemberdayaan krama desa pendukung eksistensi LPD memediasi

pengaruh modal sosial terhadap eksistensi LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali?

(13)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment), mengandung makna kata yaitu Power yang dapat diartikan sebagai kekuasaan (seperti dalam executive power), atau kekuatan (seperti pushing power), atau daya (seperti horse power). Dengan pemahaman tersebut bahwa untuk memajukan secara nyata mereka yang tertinggal, berada di lapisan paling bawah dalam suatu kondisi ketimpangan, berupaya dibangkitkan keberdayaan mereka, sehingga memiliki bagian dari power, yang memungkinkan memperbaiki kehidupannya di atas kekuatannya sendiri. lnilah konsep empowerment atau pemberdayaan yang bertujuan untuk melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan (Kartasasmita, 1996).

Lebih lanjut dijelaskan, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.

Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru

(14)

14 akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya. Ia tidak lagi harus menyerah kepada nasib, bahwa kemiskinan adalah bukan takdir yang tidak dapat diatasi. Pemberdayaan masyarakat akan membawa masyarakat ke dalam zaman baru memasuki kehidupan modern. la akan meninggalkan kebiasaan dan nilai-nilai lama (nilai-nilai tradisional) yang tidak relevan dan menghambat kemajuan kehidupannya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, disiplin, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok upaya pemberdayaan ini.

Pemberdayaan masyarakat membuka pintu pada proses akulturasi, yaitu perpaduan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang menggambarkan jati diri. Nilai lama yang relevan dapat tetap dipertahankan, karena diyakini tidak perlu mengganggu proses modernisasi yang berlangsung dalam dirinya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu warga masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya. Melalui proses budaya itu pula keberdayaan masyarakat akan diperkuat dan diperkaya, dan dengan demikian akan makin kuat pula aksesnya kepada sumber power. Melaui proses spiral itu, maka akan tercipta masyarakat yang berkeadilan, karena konstelasi kekuasaan sudah dibangun di atas landasan pemerataan (Kartasasmita, 1996).

Kapitsa (2008) mengemukakan, bahwa pemberdayaan seringkali dipandang sebagai

alat untuk mencapai tujuan tertentu dan sebagai tujuan itu sendiri. Pemberdayaan

mempunyai dua dimensi saling berhubungan yaitu: sumber daya dan agensi. Sumber daya

nampak meliputi material dan aset keuangan dan sumber daya tak nampak meliputi

keahlian, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana halnya keanggotaan dan partisipasi

dalam jaringan politik dan/atau sosial terorganisasi (modal sosial). Sumber daya diperoleh

melalui bermacam-macam hubungan sosial yang dilakukan pada bermacam-macam

domain institusional: pribadi (keluarga), pasar, dan publik (komunitas dan/atau masyarakat

pada umumnya). Akses terhadap sumber daya tersebut akan mencerminkan aturan dan

(15)

15 norma yang mengatur pertukaran dan distribusi sumber daya. Sebaliknya, agensi mengacu kepada kemampuan orang-orang untuk mendefinisikan tujuan, sasaran mereka dan bertindak terhadapnya. Karena signifikansi kepercayaan dan nilai dalam legitimasi menghasilkan ketimpangan dan bias institusional, maka agensi dalam konteks pemberdayaan mengimplikasikan aksi yang menentang hubungan kekuasaan. Ini melibatkan perubahan dari dalam dan kemampuan, kapasitas orang-orang untuk bertindak dan menegakkan klaim (Kapitsa, 2008).

Elmes et al. (2005), mendefinisikan empowerment sebagai peningkatan kekuasaan sehingga memungkinkan pekerja mencapai tujuan institusional dengan efektivitas dan efisiensi yang lebih besar. Efisiensi lebih besar yang dimaksudkan adalah dengan pengurangan biaya dan lebih sedikit waktu. Efektivitas lebih besar yang dimaksudkan adalah kualitas lebih baik dan level kepuasan konsumen yang lebih tinggi. Dengan redistribusi kekuasaan dalam cara yang memungkinkan pekerja mencapai sasaran institusional secara lebih efisien dan lebih efektif. Empowerment merasionalisasi sistem dengan membuang atau meminimkan rintangan organisasional dan memberi pegawai alat- alat (informasi, kekuasaan, otoritas) sehingga mereka dapat mencapai sasaran institusional secara lebih efektif dan efisien. Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan. Kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan material dan immaterial bagi masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Setiap generasi yang berdaya harus bisa mewarisi nilai- nilai pembebasan dari keterbelakangan dan kemiskinan. Ketidakberdayaan dalam berbagai istilah mengacu pada ketidakmampuan untuk mengakses kebutuhan masyarakat menurut ukuran tertentu. Ketidakberdayaan hampir selalu berkonsekuensi pada aspek ekonomi, seperti pendapatan (Mawardi, 2007).

Pemberdayaan masyarakat bila dihubungkan dengan pembangunan, merupakan

upaya untuk meningkatkan, memandirikan, keswadayaan dan keberdayaan masyarakat

sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara utuh dan komprehensif guna meningkatkan

harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu

melepaskan diri dari kesenjangan dan keterbelakangan, menjadi upaya memampukan dan

(16)

16 memandirikan masyarakat. Kemandirian adalah kemampuan mengakomodasi sifat-sifat baik manusia untuk ditampilkan di dalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu. Individu yang memiliki kemandirian akan memiliki dan menunjukkan sifat dan sikap rajin, senang bekerja, sanggup bekerja keras, tekun, berdisiplin, berani berebut kesempatan, jujur, mampu bersaing dan bekerjasama, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, tidak mudah putus asa dan berusaha mengenali kelemahan dan kekurangannya serta berusaha menolong dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Ningtias, 2009).

Roebyantho et al. (2007) merujuk pendapat Sumodiningrat (2000) bahwa pemberdayaan adalah memberi energi agar yang bersangkutan mampu untuk bergerak secara mandiri. Pemberdayaan pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan kemandirian jangka panjang bagi kepentingan ekonomi secara keseluruhan dan masyarakat (Prawirokusumo, 2001). Pemberdayaan diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha yang kondusif, pembinaan serta pengembangan yang di dalamnya berupa bimbingan dan bantuan perkuatan.

2.2 Organisasi Sosial Masyarakat

Organisasi sosial masyarakat mengacu kepada ‘kemampuan struktur masyarakat untuk merealisasikan nilai umum dari penduduknya dan mempertahankan kontrol sosial yang efektif. Aplikasi kumpulan sumber daya dibutuhkan masyarakat untuk merealisasikan keunggulan kolektif melalui aktivitas interlocking dari sekumpulan jaringan formal dan informal, institusi dan organisasi secara local (Voydanoff, 2001).

Konseptualisasi dan penggunaan organisasi sosial masyarakat dapat dibandingkan

dengan organisasi sosial dalam keluarga dan pekerjaan. Organisasi sosial mengacu kepada

pola dan fungsi interaksi di antara individual dan kelompok serta hubungan struktural di

antara individual dan kelompok dalam posisi berbeda. Hubungan mesosystem antar

organisasi sosial masyarakat dan keluarga secara khusus kuat karena keluarga dan anak-

anak terkait dalam jaringan sosial dan masyarakat lokal, beberapa ikatan asosiasi informal

berakar kepada jaringan kebaikan, dan satu fungsi penting dari organisasi sosial masyarakat

(17)

17 adalah memantau dan mengatur perilaku anak-anak dan remaja. Lembaga adat dalam penelitian ini dapat dikatakan sebagai organisasi sosial masyarakat, yang mengacu kepada kemampuan struktur masyarakat adat untuk merealisasikan nilai umum dari masyarakatnya dilakukan dengan jalan tetap mempertahankan kontrol sosial yang efektif’.

2.3 Jaringan Sosial

Konsep jaringan sosial berhubungan erat dengan organisasi sosial masyarakat.

Konseptualisasi Freudenberg (1986) dalam Voydanoff (2001) tentang kepadatan persahabatan pada level masyarakat, sementara dikembangkan dalam kerangka kerja organisasi sosial masyarakat, adalah serupa dengan keragaman jaringan seperti yang diformulasikan dalam teori jaringan sosial. Konsep jaringan sosial menekankan kepada elemen-elemen struktural, sementara organisasi sosial masyarakat berfokus kepada proses kolektif seperti pencapaian nilai masyarakat dan kriteria relasional, sementara organisasi sosial masyarakat menggunakan sebuah kerangka referensi teritorial.

Sebuah jaringan adalah sekumpulan hubungan spesifik di antara sekumpulan orang- orang tertentu. Analisis jaringan sosial dimulai dengan sekumpulan anggota jaringan dan ikatan yang menghubungkan anggota satu dengan anggota lainnya. Struktur sosial dipandang sebagai pola jaringan organisasi anggota dan hubungan mereka (Wellman, 1999 dalam Voydanoff, 2001). Dalam cara ini, analisis jaringan dapat mengkaji bagaimana jaringan dihubungkan kepada institusi tunggal dan bagaimana divisi tenaga kerja skala besar mempengaruhi organisasi dan isi dari ikatan interpersonal.

Konseptualisasi dan analisis jaringan sosial mempunyai hubungan penting dengan

pekerjaan dan keluarga karena keluarga dan rekan kerja adalah anggota penting dari

jaringan sosial. Jaringan sosial merupakan sekumpulan hubungan spesifik di antara orang-

orang tertentu sebagai anggota jaringan dan ikatan yang menghubungkan anggota satu

dengan anggota lainnya dalam ikatan lembaga adat, secara struktur sosial dipandang

sebagai pola jaringan organisasi anggota dalam menjalin hubungan diantara mereka.

(18)

18 2.4 Modal Sosial

Modal sosial merupakan entitas yang mencakup multi aspek dari struktur sosial.

Modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu pelaku, baik individu maupun organisasi/perusahaan di dalam struktur tersebut. Coleman (1988), mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya. Dari perspektif ini, modal sosial, sama halnya dengan modal lainnya, bersifat produktif, yaitu membuat pencapaian tertentu yang tidak mungkin dicapai bila eksistensinya tidak ada.

Menurut Woolcock, 1998 dalam Voydanoff (2001), modal sosial adalah informasi, kepercayaan, dan norma dari timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial. Sementara, Putnam (1993:167) dalam Sembiring dan Berutu (2004) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan- jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Lebih lanjut dikatakan Putman bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga.

Woolcock, 1998 dalam Voydanoff (2001) juga mengeaskan bahwa modal sosial mengacu pada ciri-ciri organisasi sosial seperti jaringan, norma, dan kepercayaan yang memudahkan koordinasi dan kerjasama saling menguntungkan. Modal sosial juga menambahkan elemen-elemen subyektif, proses budaya seperti kepercayaan dan norma dari timbal balik yang memfasilitasi aksi sosial. Perbedaan ini menunjukkan hubungan timbal balik di antara modal sosial, organisasi sosial masyarakat, dan jaringan sosial. Jaringan sosial dan organisasi sosial masyarakat memberikan sumber daya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi aksi. Modal sosial pada gilirannya menghasilkan sumber daya lebih lanjut yang memberikan kontribusi kepada organisasi sosial masyarakat dan sumber daya jaringan sosial.

Modal sosial tidak sepenuhnya dapat dijelaskan, sama halnya dengan modal fisik dan modal manusia, namun secara spesifik dapat diidentifikasi pada aktivitas tertentu.

Coleman (1988) menjelaskan, bahwa modal sosial melekat pada struktur hubungan antara

pelaku atau aktor dan di antara aktor. Modal sosial, sejalan dengan konsep modal keuangan,

(19)

19 modal fisik dan modal manusia, akan tetapi membentuk hubungan di antara orang-orang.

Hal ini adalah bagian strategi teoritis yang melibatkan penggunaan paradigma aksi rasional, tetapi tanpa asumsi elemen-elemen atomistis yang ada dalam hubungan sosial. Dalam menjelaskan konsep modal sosial, terdapat tiga bentuk yang diidentifikasi, yaitu: kewajiban dan harapan, yang mana tergantung pada kepercayaan lingkungan sosial, kapabilitas aliran informasi dari struktur sosial, dan norma disertai oleh sangsi.

2.4 Lembaga Keuangan Mikro

Kecenderuangn pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankkan di Indonesia tertuju pada suatu usaha yang memiliki aset besar. Untuk penyaluran kreit pada usaha kecil dan menengah dianggap merupakan tugas bagi bank yang berskala kecil. Ketika fakta menunjukkan bahwa usaha kecil dan menengah ternyata lebih tahan terhadap krisis, maka fenomena ini mulai bergeser (Daruri, 2007). Beberapa pengarang juga telah menghubungkan tekanan keuangan kepada keahlian manajerial buruk. Tidak bisa mengakses pasar membuat perusahaan-perusahaan kecil menanggung level hutang tinggi (Hasweed dan Holmes, 1989, Van Auken, 2001 dalam Akyuz et al. 2006). Sebagaimana penjelasan Akyuz yang dikutip dari Timmons (1997), Barton dan Matthews (1989) bahwa, karakteristik usaha kecil dan menengah telah mempunyai dampak penting terhadap kemampuan mereka mengumpulkan modal. Faktor-faktor seperti tahap perkembangan produk, resiko, ketersediaan modal, tipe perusahaan, struktur kepemilikan dan jumlah modal adalah paling tepat diperhatikan. Preferensi gaya hidup mungkin sama pentingnya dengan maksimisasi kekayaan pada keputusan pemilik untuk mencari dan mendapatkan modal. Kemampuan entrepreneur untuk mendapatkan modal di luar sumber-sumber dana tradisional seringkali mengidentifikasi karakter entrepreneurial dari pemilik bisnis baru.

Teori menyatakan bahwa ada sekumpulan faktor kompleks yang mempengaruhi keputusan-

keputusan pendanaan owner/manajer. Faktor tersebut antara lain sikap pemilik perusahaan

terhadap utilitas hutang seperti bentuk pendanaan dimoderasi oleh kondisi lingkungan

eksternal (misalnya keuangan dan pertimbangan pasar). Perusahaan-perusahaan baru, mulai

secara khusus mengetahui ekuitas pribadi, teman dan saudara, dan pinjaman dari lembaga

keuangan (Akyuz et al. 2006).

(20)

20 Peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sampai saat ini dirasakan sangat bermanfaat dalam upaya pertahanan eksistensi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Peranan LKM sangat dirasakan manakala upaya untuk menyediakan sumber daya keuangan bagi perbankan komersial tidak dapat dijangkau oleh usaha kecil dan menengah. Keberadaan lembaga ini diharapkan mampu untuk berperan sebagai institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin, serta sebagai institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangan. Walaupun berperanan sebagai institusi sosial, LKM dapat berperanan sebagai institusi komersial dengan cara meminimalkan biaya transaksi dan dengan bantuan kelompok swadaya masyarakat dalam mengkoordinir anggotanya (Syahyuti, 2002).

Lembaga keuangan mikro dirasakan sudah lama berperan sebagai sarana yang efektif dalam upaya untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil. Keberadaannya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan modal bagi ekonomi rakyat yang terbiasa menggunakan sumber modal komersial. Dengan berperanannya lembaga keuangan mikro ini nantinya diharapkan mampu sebagai pendekatan terbaik dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Lembaga ini mampu menyediakan berbagai jasa keuangan, baik untuk kegiatan produktif maupun untuk kegiatan komersial bagi masyarakat. Lembaga keuangan mikro yang terkenal di Bali adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD), sebagai salah satu pranata lembaga adat dalam bidang permodalan, salah satu misinya untuk mengembangkan industri kecil dan menengah di wilayah desa adat.

Budaya lokal dianggap sebagai penghambat besar pertumbuhan ekonomi karena nilainya bertentangan dengan rasionalitas ekonomi kapitalis. Namun demikian, dari sisi yang lain budaya bisa menjadi kunci keberhasilan sebuah organisasi ekonomi. Kasus ini terjadi pada lembaga keuangan tradisional di Bali. Penelitian Wibisana dkk membuktikan dengan tegas ada perbedaan kinerja keuangan antara BPR modern dengan BPR tradisional.

Dilihat dari indikator manapun, LPD (BPR tradisional) memiliki kinerja keuangan yang

jauh lebih baik dari pada BPR modern. Ini merupakan fenomena yang tidak umum dan

sangat mengagetkan, yaitu lembaga keuangan tradisional memilki kinerja yang jauh lebih

baik (Ismail, 2003).

(21)

21 Sebuah lingkungan institusional yang dibangun dengan baik adalah prasyarat untuk pembentukan sistem kepercayaan. Dalam kepercayaan personal, dua aspek hubungan sosial, satu komunikasi yang memungkinkan koordinasi di antara norma dan kedua kewajiban dan harapan yang menimbulkan biaya sansaksi, adalah mekanisme penting untuk menghasilkan sanksi efektif (Coleman, 1990 dalam Tan et al. 2009).

2.5 Profil Lembaga Adat

Perda Tingkat I Bali Nomor 06 tahun 1986 menetapkan tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan darma pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Semua desa adat mempunyai awig-awig. Awig-awig dimaksud ada yang sudah tertuang dalam bentuk awig-awig tertulis dan belum tertulis. Khusus di kabupaten sebagian besar sudah mempunyai awig-awig tertulis. Desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi: (a) Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, (b) Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya, (c) Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kemasyarakatan dan keagamaan, (d) Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali khususnya berdasarkan paras-paros selunglung sebayantaka, (e) Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.

Program Pemberdayaan Masyarakat Adat di Indonesia dilakukan untuk lebih

melestarikan keberadaan suatu lembaga adat. Program yang dilaksanakan ini berlangsung

di 5 propinsi di Indonesia yaitu dilakukan di: Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bali, Nusa

Tenggara Timur, dan Kalimantan Barat, yang diselenggarakan oleh Institute for Research

and Empowerment (IRE) Yogyakarta. Rangkaian kegiatan program tersebut telah dilakukan

sejak Mei 2002 di 5 wilayah tersebut antara lain dengan melakukan Need Assessment,

Diskusi Pakar, Diskusi Lokal dan Regional, Diskusi Nasional, Training for Trainers

(22)

22 (TOT), penerbitan edisi khusus masyarakat adat dalam Bulletin IRE Flamma, rekrutmen peneliiti lokal, organizer lokal, dan pendamping lokal. Berdasarkan bahan-bahan dan masukan dari rangkaian kegiatan tersebut telah disusun dalam beberapa tema dan modul pelatihan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan program tersebut, terutama tindak lanjut dari TOT yang dilaksanakan bulan Oktober 2002 lalu, maka pada bulan Januari 2003 dilaksanakan Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Adat di lima lokasi program, termasuk di wilayah Kabupaten Gianyar, Bali (Proceeding Traning Masyarakat Adat, 2003). Melalui pengorganisasian dan penguatan organisasi, masyarakat adat dapat mengenali kekuatan/potensi dan kelemahan, peluang/kesempatan dan tantangan yang mereka hadapi, serta mengasah kemampuan analisis tentang situasi dan kondisi yang mereka hadapi untuk secara kritis mempertanyakan setiap peristiwa dan secara sadar melakukan berbagai upaya kritis secara bersama dan mandiri serta dapat mengurangi sifat ketergantungan terhadap pihak lain.

Rambu (2003), menjelaskan bahwa Pengorganisasian dan Penguatan Organisasi Masyarakat Adat dapat berjuang menuntut apa yang menjadi hak mereka. Hasil akhir dari suatu pengorganiasasian adalah menghasilkan sumber daya manusia yang kritis dalam melihat setiap persoalan kemudian mengorganisir diri dalam suatu organisasi yang mandiri dan independen sekaligus menjadi organisasi yang memiliki kekuatan kontrol terhadap pengambil kebijakan. Membangun ekonomi masyarakat adat berarti juga membantu organisasi masyarakat adat menjalin relasi dengan partai‑partai politik atau organisasi nasional dan intemasional yang mempunyai platform kesejahteraan rakyat sehingga dapat menyalurkan aspirasi masyarakat adat. Singkatnya, organisasi masyarakat adat harus memiliki akses untuk ambil bagian dalam penyelenggaraan negara.

Sebagaimana telah diketahui bahwa banyak pendapat yang menyebutkan pentingnya keberadaan lembaga yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan di Propinsi Bali. Peranan lembaga adat cukup besar dan sangat menonjol, terlebih lagi sumbangan yang dapat diberikan kepada nusa dan bangsa yang sedang membangun.

Pembinaan desa adat (Contoh Kabupaten Gianyar), dilaksanakan dengan pola ceramah-

ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa adat pada setiap

tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai tri sukerta yaitu: Sukerta tata

(23)

23 agama, sukerta tata pawongan dan sukerta tata palemahan yang pada hakekatnya semua bertujuan untuk dapat melestarikan Tri Hita Karana, yaitu Parhyangan, Palemahan dan Pawongan. Sedangkan adat istiadat dilandasi oleh Catur dresta yaitu purwadresta, lokadresta, desadresta dan sastradresta. Di dalam Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab kesejahteraan masyarakat, terlihat adanya tiga wujud hubungan manusia. Parhyangan, hubungan manusia dengan penciptanya yaitu Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Palemahan mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya dan Pawongan mewujudkan hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaanTuhan (Lembaga Adat, 2009).

Selain Desa Adat, lembaga adat lainnya adalah subak. Subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius, secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat usaha tani. Subak sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi petani sawah dan tegalan melandasi diri pada adat dan agama.

Walaupun pemerintah menetapkan aturan tata air dengan peraturan pemerintah No. 11 tahun 1982 tentang pengairan yang dilengkapi dengan PP No. 23 tahun 1982 tentang irigasi dan peraturan daerah No. 2 tahun 1972 tentang irigasi Bali, Subak tetap berperan di jaringan irigasi secara otonom di atur sendiri oleh subak yang bersangkutan. Sedangkat lembaga yang bergerak di bidang keuangan adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

2.6 Lembaga Perkreditan Desa ( LPD)

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang berada pada setiap desa adat adalah bentuk

lembaga keuangan tradisional di Provinsi Bali. Keberadaan desa adat di Provinsi Bali

masih tetap bertahan dan bisa bersanding dengan desa administratif bentukan UU

Pemerintahan Desa. Upaya Provinsi Bali untuk tetap mempertahankan pemerintahan asli

yang digali dari identitas kultur daerah tersebut tidak hanya melalui Perda No. 6 Tahun

1986, tetapi juga melalui Perda Provinsi Dati I Bali No. 2 Tahun 1988 Tentang Lembaga

Perkreditan Desa (LPD), untuk mengembangkan usaha ekonomi yang bergerak di bidang

simpan pinjam. LPD dimaksudkan untuk melestarikan dan meningkatkan kemandirian desa

adat dengan segala aspeknya sehingga dipandang perlu mengadakan usaha-usaha

memperkuat kedudukan keuangan desa sebagai sarana penunjangnya. Untuk mencapai

(24)

24 tujuan pendirian itu, LPD melaksanakan usaha-usaha: (1) menerima simpanan uang dari warga masyarakat desanya dalam bentuk tabungan dan simpanan berjangka; (2) memberikan pinjaman untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif pada sektor pertanian, industri/kerajinan kecil, perdagangan, dan usaha-usaha lain yang dipandang perlu; (3) usaha-usaha lainnya yang bersifat pengerahan dana desa; (4) penyertaan modal pada usaha-usaha lainnya; dan (5) menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan.

Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali pertama kali dilandasi oleh Perda Tingkat I Bali No. 06, Tahun 1986. LPD memiliki beberapa tujuan (Mantra,1998), yaitu sebagai berikut. 1) mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif. 2) memberantas sistem ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang bisa disamakan dengan itu di daerah pedesaan. 3) menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan. 4) menciptakan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa. Landasan operasional LPD berpijak pada awig-awig desa adat, yang mengedepankan ikatan kekeluargaan dan semangat gotong royong antar warga desa adat. Guna lebih memantapkan kelembagaan LPD di seluruh Bali, Pemerintah Daerah Provinsi Bali kembali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 8, Tahun 2002 disertai Keputusan Gubernur yang mengatur pendirian, lapangan usaha, modal, organisasi, rencana kerja dan anggaran, pelaporan dan pengawasan, serta pembinaan LPD (Ramantha, 2006).

Sejak LPD didirikan sampai saat ini telah memberikan warna tersendiri bagi pembangunan desa pekraman (Desa Adat), dan masyarakat desa adat. Keberadaan LPD terbukti mampu memberikan manfaat yang sangat signifikan bagi kesejahteraan masyarakat dan memberikan dampak yang saling menguntungkan bagi LPD, desa pekraman dan krama (masyarakat) desa itu sendiri. Contoh paling nyata adalah manfaat LPD bagi desa pekraman karena adanya pembagian keuntungan (laba bersih) LPD sebesar 20 persen bagi pembangunan desa pekraman. Manfaat yang dirasakan bagi masyarakat desa adalah berkurangnya beban urunan bagi pembangunan fisik desa, serta urunan dalam hal upakara keagamaan (misalnya piodalan ) di desa pekraman tersebut (Mulya, 2008).

LPD Pecatu misalnya telah meluncurkan banyak program atau produk yang

ditawarkan kepada masyarakat desa adat. Dengan mengikuti program-program yang ada di

(25)

25 LPD Pecatu dapat diartikan nasabah atau warga telah berpartisipasi dalam pembangunan desa dan melestarikan adat di desa adat tersebut. Jika menabung di LPD, kelebihan yang didapatkan adalah nasabah mendapat santunan kematian. Ini merupakan langkah nyata LPD untuk selalu berbenah diri demi memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabah.

Manfaat lain yang dirasakan oleh masyarakat desa adat Pecatu tehadap keberadaan LPD tersebut adalah, ringannya beban yang ditanggung oleh masyarakat adat terutama biaya dan iuran yang terkait dengan kegiatan adat, karena sudah ditanggung oleh LPD dari sisa keuntungan yang disisihkan, sehingga beban warga tersebut menjadi lebih ringan.

Perkembangan LPD di Provinsi Bali, sesuai dengan sejarah berdirinya tidak lepas dari peran pemerintah yang berupaya untuk memberdayakan desa adat. Setiap LPD pada awal berdirinya diberikan bantuan modal oleh pemerintah sebesar Rp. 5 juta. Dana tersebut kemudian dikembangkan oleh desa adat melalui kegiatan simpan pinjam. Kemajuan setiap LPD sangat dipengaruhi oleh kemampuan para pengelola di masing-masing desa adat.

Ada LPD yang perkembangannya cepat, ada pula yang lambat, malahan tidak sedikit yang jalan di tempat. Kehadiran LPD yang sudah mengakar di lingkungan masyarakat Bali, khususnya di perdesaan, dapat dijakan mitra kerja bagi lembaga keuangan lainnya terutama lembaga keuangan milik pemerintah. Sedangkan lembaga keuangan non pemerintah misalnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat menjadi pesaing, terutama untuk pembiayaan usaha mikro. Lembaga keuangan yang selama ini bertindak sebagai pembina teknis LPD adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali. Untuk perkembangan LPD supaya dapat bersaing dengan lembaga keuangan lainnya tentu sangat dibutuhkan peran yang lebih riil dari pemerintah daerah untuk memberdayakan masyarakat di perdesaan.

Walaupun ruang lingkup operasinal dari LPD selama ini sesuai dengan tujuan utama

pendiriannya adalah untuk memberdayakan desa adat, hanya mencakup wilayah desa adat

tersebut, namun satu hal yang positif, dapat dipahami adalah LPD benar-benar menjadi

milik masyarakat. Dengan adanya rasa memiliki itu telah menimbulkan loyalitas yang

tinggi serta tanggung jawab untuk ikut menjaga kelangsungannya. Oleh karena sebagian

dari keuntungan yang diperoleh akan kembali pada masyarakat adat itu sendiri, sehingga

proses pembangunan dapat dijaga keberlangsungannya.

(26)

26 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Keberhasilan LPD di Bali sebagai lembaga keuangan berbasis kearifan lokal milik desa pekraman, ditentukan oleh dukungan masyarakat desa (krama desa) sebagai anggota, pengurus/pengelola, dan pengawas LPD. Hal ini penting untuk dipahami, karena seluruh krama desa dalam sebuah desa adat secara otomatis menjadi anggota LPD sehingga secara moral semua krama desa turut menopang kemajuan sebuah LPD. Berkaitan dengan rumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pemberdayaan SDM, dalam hal ini masyarakat desa adat (krama desa) dalam mendukung eksistensi LPD di Provinsi Bali.

Selanjutnya, secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Menganalisis kondisi pemberdayaan krama desa yang berperan dalam mendukung eksistensi LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali

2) Menganalisis kondisi modal sosial yang berperan dalam mendukung eksistensi LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali

3) Menganalisis peran modal social dalam pemberdayan krama desa pendukung LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali.

4) Menganalisis pemberdayaan krama desa pendukung eksistensi LPD yang memediasi pengaruh modal sosial terhadap eksistensi LPD di kabupaten/kota Provinsi Bali.

3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara

teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya kasanah ilmu pengetahuan khususnya

berkaitan dengan kajian kerarikan lokal tentang LPD, sebagai lembaga keuangan milik desa

pekraman di Bali. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi berharga bagi

pemerintah kehususnya bagi Lembaga Pemberdayaan LPD di tingkat kabupaten/kota dan

provinsi, dalam mengambil kebijakan terkait dengan eksistensi LPD sebagai lembaga

keuangan yang menopang pembangunan sosial ekonomi di desa pekraman di Bali.

(27)

27 BAB IV

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali. Lokasi ini dipilih dengan alasan bahwa di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali semuanya telah memiliki LPD yang sangat perlu diteliti atau di evaluasi keberhasilan atau ketidakberhasilannya. Informasi yang diperoleh akan dapat digunakan untuk merancang kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kondisi LPD, dan bagi LPD yang gagal atau bermasalah dapat dicarikan jalan keluar dan bercermin pada LPD-LPD yang telah berhasil.

Di setiap kabupaten/kota akan diambil LPD yang berhasil dalam usahanya maupun yang tidak/kurang berhasil.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ada 2 yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka seperti jumlah LPD yang ada di setiap kabupaten/kota di Provinsi Bali, jumlah pengurus di setiap LPD, jumlah anggota LPD dan sebagainya. Selain data kuantitatif dalam penelitian ini juga akan dikumpulkan data kualitatif, terutama yang diperoleh melalui hasil wawancara mendalam dengan para informan. Data kualitatif yang akan dikumpulkan antara lain berkaitan dengan persepsi mengenai eksistensi LPD sebagai lembaga keuangan non bank yang dapat dimanfaatkan oleh warga adat dalam menunjang usaha dan partisipasi lainnya demi kemajuan LPD.

Demikian pula informasi dari para informan lainnya seperti dari pemuka desa adat dan pemuka agama mengenai partisipasi mereka dalam mendukung keberhasilan LPD di masing-masing wilayah.

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data

sekunder. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan instansi terkait

lainnya seperti dari Badan Kerja Sama (BKS) LPD seperti data mengenai LPD yang

tergolong berhasil dan yang kurang/tidak berhasil, jumlah LPD menurut kabupaten/kota,

jumlah anggota LPD dan sebagainya. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui

wawancara dengan responden, maupun dari wawancara mendalam dengan para informan.

(28)

28 3.3 Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah LPD yang ada di seluruh Bali yang berjumlah 1418 buah LPD yang tersebar di kabupaten/kota. Pada masing-masing LPD yang akan diteliti adalah krama desa selaku pengurus, krama desa selaku anggota LPD, dan krama desa selaku pengawas LPD. Jumlah LPD yang akan diteliti di setiap kabupaten/kota ditentukan dengan kuota tertentu yaitu sebanyak 10 LPD sehingga terdapat 90 LPD yang akan diteliti, dan yang akan ditentukan atau dipilih dengan purposive sampling dengan mempertimbangkan jumlah LPD yang tergolong berhasil dan kurang/tidak berhasil di masing-masing kabupaten/kota. Di setiap LPD akan diteliti masing-masing 1 orang pengurus, anggota LPD, dan pengawas. Dengan demikian jumlah seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 270 responden, yang masing-masing 90 orang responden pengurus, anggota LPD, dan pengawas. Metode pengambilan sampel baik untuk responden yaitu krama desa yang bertugas sebagai pengurus, anggota LPD, dan pengawas LPD akan dipilih dengan menggunakan non probability sampling yaitu accidental sampling. Dengan demikian dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah kombinasi antara purposive sampling dan accidental sampling baik untuk 3 jenis responden tersebut maupun informan yang dibutuhkan guna melengkapi informasi yang dibutuhkan.

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan. Instrumen

penelitian yang digunakan ada 3 jenis yaitu untuk responden pengurus LPD, krama selaku

anggota LPD, dan pengawas LPD . Ketiga jenis instrument tersebut berbeda satu dengan

yang lainnya sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Alat atau instrumen

penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data yang berupa kuesioner atau daftar

pertanyaan, informasi atau jawabannya dicarikan dari responden. Pengujian validitas dan

reliabilitas dari instrumen tersebut terlebih dahulu dilakukan sebelum kuesioner digunakan

untuk mengumpulkan data. Jika instrumen sudah valid dan reliabel, maka barulah akan

digunakan untuk pengumpulan data. Uji validitas yang akan digunakan adalah validitas isi,

dan validitas konstruk, sedangkan uji reliabilitas akan menggunakan internal consistency

dengan menggunakan alpha cronbach.

(29)

29 3.5 Metode Pengumpulan Data

Peneliti dapat menggunakan berbagai teknik pengumpulan data yang cocok dengan data yang dibutuhkan. Seperti yang dinyatakan oleh Jogiyanto (2004) dalam penelitian sosial terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan oleh peneliti. Teknik observasi, wawancara, eksperimen, dan teknik survey adalah beberapa cara yang dapat digunakan peneliti dalam penelitiannya. Data primer dalam penelitian ini yang dibutuhkan pada saat awal maupun nanti pada saat akhir penyusunan laporan adalah teknik observasi. Teknik observasi ini ada 2 yaitu metode atau teknik observasi non perilaku maupun observasi perilaku (Cooper & Emory, 1997). Teknik observasi merupakan teknik atau pendekatan untuk mendapatkan data primer dengan cara mengamati langsung objek datanya (Jogiyanto, 2004). Dalam pengumpulan data sekunder juga digunakan teknik observasi khususnya observasi non perilaku, antara lain observasi terhadap beberapa dokumen seperti buku, atau laporan-laporan yang relevan. Dalam mengumpulkan data primer selain metode observasi, juga ada beberapa metode lainnya seperti metode wawancara atau interview yang merupakan komunikasi dua arah untuk mendapatkan data dari responden (Jogiyanto, 2004), dan dalam penelitian ini metode tersebut juga digunakan. Selain itu pada penelitian ini juga akan dilakukan wawancara mendalam (indepth interview) informan di masing-masing bidang. Metode pengumpulan data yang berupa indepth interview juga digunakan untuk melengkapi data yang sangat diperlukan.

Dengan wawancara mendalam kepada informan, peneliti dapat mengetahui alasan

sebenarnya dari responden tentang suatu hal (Mantra, 2004), tanpa wawancara mendalam

peneliti tidak akan dapat mengetahui alasan-alasan tersebut , jika hanya didasarkan atas

hasil observasi. Indepth interview dalam penelitian ini juga akan dilakukan, yaitu kepada

pengurus, pengawas, anggota LPD sebagai krama banjar adat, pemuka masyarakat, dan

pemuka adat/agama. Dalam penelitian ini juga direncanakan menggunakan metode

pengumpulan data FGD (Diskusi Kelompok Fokus) yaitu untuk memberikan masukan atau

pandangan-pandangan dari para peserta diskusi tentang pola integrasi yang paling cocok

dan paling dapat diterapkan di masyarakat. Anggota FGD antara lain pengurus, pengawas,

anggota LPD sebagai krama banjar adat, pemuka masyarakat, dan pemuka adat/agama, dan

juga dari instansi pemerintah yang relevan. Bungin (2003) menyatakan FGD merupakan

(30)

30 teknik pengumpulan data yang umumnya digunakan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Metode ini lebih menekankan pada pemaknaan yang didapatkan dari hasil diskusi yang utamanya digunakan dalam FGD tersebut. Metode FGD ini sangat cocok pada penelitian ini untuk memperoleh pemahaman dan kesepakatan dalam menentukan pola integrasinya.

3.6 Metode Analisis Data

Dalam melakukan analisis hubungan antar variabel digunakan teknik Analisis Jalur (Path Analysis). Sebelum pemaparan hasil analisis jalur, terlebih dahulu dilakukan analisis deskriptif. Analisis diskriptif didasarkan atas statistik deskriptif untuk menjelaskan secara lebih mendalam karakteristik responden dan mendeskripsikan masing-masing variabel penelitian, yaitu pemberdayaan krama desa sebagai komunitas LPD, Modal sosial dan Eksistensi.

Adapun model diagram jalur hubungan antar variabel penelitian adalah seperti berikut.

Model tersebut bila dinyatakan dalam bentuk persamaan struktural atau sistem persamaan simultan, seperti berikut:

a. M = α0 + α1X + ε1 b. Y = β0 + β1 X+ β2M+ ε2

Pengujian hubungan antar variabel dilakukan dengan uji statistik t (t- test). Bila dalam pengujian diperoleh p-value < α (0,05), berarti pengujian signifikan, sebaliknya bila p-value > 0,05, berarti tidak signifikan. Tingkat signifikansi peran mediasi dianalisis melalui Sobel test.

Modal sosial (X)

Pemberdayaan krama desa (M)

Eksistensi LPD (Y) P2

P1

P3

(31)

31 BAB V

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Karakteristik Responden

Seperti telah diuraikan pada Bab Metode Penelitian bahwa ruang lingkup penelitian

“Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat Dalam Mendukung Eksistensi Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali” adalah di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali. Besarnya sampel penelitian adalah sebanyak 93 unit Lembaga Perkreditan Desa (LPD), dengan rincian sebagai berikut: (1) 4 unit di Kabupaten Jembrana; (2) 20 unit di Kabupaten Tabanan; (3) 8 unit di Kabupaten Badung; (4) 18 unit di Kabupaten Gianyar; (5) 7 unit di Kabupaten Klungkung; (6) 10 unit di Kabupaten Bangli; (7) 12 unit di Kabupaten Karangasem; (8) 11 unit di Kabupaten Buleleng; dan (9) 3 unit di Kota Denpasar. Di setiap unit LPD yang terpilih sebagai sampel diambil tiga orang responden dengan rincian 1 orang pengelola. 1 orang pengawas, dan 1 orang anggota LPD. Dengan demikian seluruh responden penelitian berjumlah 279 orang, terdiri atas (1) 93 orang pengelola; (2) 93 orang pengawas; dan (3) 93 orang anggota LPD.

Selanjutnya, secara umum karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anak masih hidup, umur anak terakhir, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, dan penghasilan. Gambaran lebih rinci dari masing-masing karakteristik responden di atas akan dipaparkan berturut-turut berikut ini.

5.1.1 Karakteristik responden menurut umur

Dari sudut pandang ekonomi, umur dapat memberikan gambaran tentang kondisi responden, apakah responden penelitian sebagian besar tergolong penduduk usia produktif ataukah sebaliknya tergolong penduduk usia tidak produktif. Namun demikian, yang jelas respondennya adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun ke atas. Jika usianya berkisar antara 15-64 tahun, maka digolongkan penduduk usia produktif, sedangkan apabila usianya sudah mencapai 65 tahun ke atas, maka mereka digolongkan penduduk usia tidak produktif.

Rincian tentang komposisi umur responden dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 5.1.

Terdapat tiga kelompok umur yang menonjol dalam penelitian ini, yaitu umur 40-44 tahun,

(32)

32 45-49 tahun, dan 50-54 tahun yang mencakup lebih dari 60 persen responden. Besarnya proporsi responden pada kelompok-kelompok umur yang dikemukakan di atas, karena kelompok umur tersebut merupakan usia puncak, yaitu usia yang umumnya menggambarkan tingkat produktivitas paling tinggi. Pada kelompok-kelompok umur berikutnya, tingkat produktivitas akan mulai menurun dan terus turun sejalan dengan bertambahnya umur responden. Secara demografis, berdasarkan komposisi umur tersebut juga dapat diketahui bahwa pada umumnya responden penelitian ini adalah orang dewasa.

Tabel 5.1 Komposisi Umur Responden, Pada Penelitian “Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat Dalam Mendukung Eksistensi Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali”

No. Kelompok Umur (Tahun)

Jumlah Responden

Orang Persen

1. < 30 13 4,7

2. 30-34 16 5,7

3. 35-39 26 9,3

4. 40-44 47 16,8

5. 45-49 77 27,6

6. 50-54 46 16,5

7. 55-59 26 9,3

8. 60-64 17 8,1

9. 65+ 11 3,9

Jumlah Seluruhnya: 279 100,0

Sumber: Data Primer 2016.

Selain menurut umur, responden juga dapat digambarkan menurut komposisi jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Pada penelitian ini terungkap bahwa jumlah responden laki-laki lebih banyak daripada responden perempuan. Jumlah laki-laki mencapai 217 orang, sedangkan responden perempuan hanya mencakup 62 orang. Atau dengan perkataan lain bahwa proporsi responden laki-laki mencapai sekitar 78 persen, sedangkan responden perempuan hanya sebanyak 22 persen.

5.1.2 Karakteristik responden menurut status perkawinan

Selanjutnya, gambaran tentang status perkawinan responden dapat dibedakan

menjadi (1) kawin; (2) belum kawin; dan (3) janda/duda/cerai. Secara keseluruhan

Gambar

Tabel 5.1   Komposisi Umur Responden, Pada Penelitian “Pemberdayaan Masyarakat Desa  Adat  Dalam  Mendukung  Eksistensi  Lembaga  Perkreditan  Desa  di  Provinsi  Bali”
Tabel  5.2  Distribusi  Responden  Menurut  Status  Perkawinan,  Pada  Penelitian
Tabel  5.4  Distribusi  Responden  Menurut  Umur  Anak  Terakhir  Pada  Penelitian
Tabel 5.5 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan  Pada Penelitian “Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat Dalam Mendukung Eksistensi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di akord F minor pada birama 14 menggunakan pendekatan improvisasi dengan modus F Aeolian dan terdapat chromatic approach nada E di motif melodi terakhir yang dimana

Data primer adalah data yang diperoleh dengan cara penelitian dilapangan, yaitu data diperoleh dari para pegawai Kantor Dinas Perhubungan Provinsi Jambi dengan

Tujuan penelitian adalah mengetahui kesesuaian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan petunjuk BSNP; mengetahui muatan keterampilan berbahasa dalam penyusunan

Hilirisasi pengolahan pasir zirkon menjadi micronized zircon mampu menyerap tena- ga kerja lebih banyak, pendapatan negera, nilai tambah dan keuntungan perusahaan lebih besar

Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh konformitas yang terjadi pada remaja putri di lakukan hanya karena perilaku individu didasarkan pada harapan kelompok atau

Variabel komponen manajemen modal kerja yang digunakan dalam penelitian ini dan berpengaruh paling negatif dan signifikan terhadap profitabilitas ( Gross Profit ) adalah variabel

Dengan arah koefisien positif, dengan demikian diperoleh bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa variabel Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan Orientasi Kerja secara

Hasil penelitian untuk variabel ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Parerung (2014) berjudul disiplin, kompensasi,dan pengembangan karir pengaruhnya