4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan
Berkaitan dengan evaluasi karakteristik hidrologi DAS yang mendukung suplai air untuk irigasi maka wilayah DAS Citarum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1). wilayah di atas Waduk Jatiluhur, merupakan daerah perlindungan yang berperan terhadap hasil air (water yield) DAS, dan 2). Daerah hilir yang termasuk dalam wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatuluhur dan berperan terhadap penyediaan lahan pertanian terutama untuk areal persawahan. Evaluasi penggunaan lahan dan penutupan lahan DAS Citarum diarahkan untuk melihat kondisi pada bagian pertama yakni wilayah DAS di atas waduk Jatiluhur (yang selanjutnya akan disebut DAS Citarum). Berdasarkan interpretasi citra digital menggunakan bantuan program Arcview 3.3 diperoleh hasil untuk penutupan lahan pada Tahun 2002 dan 2008 yang disajikan pada lampiran 1, matriks perubahannya tiap tipe penutupan lahan disajikan pada lampiran 2, sedangkan Peta penutupan lahan DAS Citarum pada Tahun 2002 disajikan pada Gambar 4 dan tahun 2008 pada Gambar 5.
Gambar 4. Peta Penutupan Lahan DAS Citarum di atas Waduk Jatiluhur, Tahun 2002
Gambar 5. Peta Penutupan Lahan DAS Citarum di atas Waduk Jatiluhur, Tahun 2008
Penutupan Lahan DAS Citarum berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh BPDAS Citarum-Ciliwung terbagi atas 11 tipe penggunaan yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, sawah, semak/belukar, lahan terbuka, perumahan, dan lain-lain.
Budiyanto (2001) memberikan gambaran bahwa kemampuan sistem informasi geografis dalam melakukan analisis dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu sistem informasi dan pemantauan penggunaan lahan. Sesuai dengan fungsinya sebagai alat bantu, maka dalam sistem informasi geografis perlu disusun sebuah model yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Analisis pada dasarnya merupakan proses pemberian makna dari sekumpulan data.
Analisis dalam sistem informasi geografis dapat dilakukan melalui suatu perhitungan, komputasi statistik, pembentukan model pada serangkaian nilai data atau proses operasi lainnya.
Analisis data citra merupakan suatu bentuk kegiatan dari pemanfaatan sistem informasi geografis yang dimaksudkan untuk memberikan informasi dasar mengenai penutupan lahan yang ada, sedangkan untuk memperoleh data yang akurat maka perlu dilakukan kegiatan lanjutan berupa survei lapangan.
Perubahan penggunaan lahan dari Tahun 2002 sampai 2008 berdasarkan tabulasi sederhana yang dilakukan terhadap hasil analisis penutupan lahan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisis Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas Waduk Jatiluhur, tahun 2002 dan tahun 2008.
Kawasan Luas Tahun 2002 Luas tahun 2008 Selisih luas 2008- 2002
Ha % Ha % Ha %
Vegetasi Permanen 121,418 26.94 82,420 18.29 -38,998 -8.65
Pertanian 269,308 59.76 317,808 70.52 48,500 10.76
Terbuka 11,083 2.46 6,107 1.36 -4,977 -1.10
Kawasan terbangun 48,839 10.84 44,314 9.83 -4,525 -1.00
Total 450.649 100.00 450,649 100.00
Keterangan: - = penurunan luas
Hasil tabulasi luas penggunaan lahan seperti pada Tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk kawasan hutan pada tahun 2002 sebesar 26.94% namun mengalami penurunan menjadi 18.29% pada tahun 2008 (berkurang 8.65%), kondisi ini secara teoritis menandakan bahwa DAS Citarum di atas waduk Jatiluhur berada pada kondisi rusak. Kawasan pertanian (pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, dan sawah) mendominasi penggunaan lahan pada tahun 2002 sebesar 59.76% dan terus meningkat menjadi 70.52% pada tahun 2008. Penggunaan lahan lainnya (semak/belukar, tanah terbuka, pemukiman, dan lain-lain) menjadi bagian terkecil dalam penggunaan DAS yaitu sebesar 13.30% pada tahun 2002 kemudian berkurang menjadi 11.19% pada tahun 2008.
Wilayah hutan dari tahun 2002 sampai tahun 2008 lebih banyak dikonversi menjadi kawasan pertanian dengan luas perubahan 59,693 hektar atau 13.23%
dari luas DAS, sedangkan yang dikonversi menjadi kawasan terbuka/terbangun seluas 1,660 ha atau 0.37% dari luas DAS. Pertambahan penduduk telah mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan pangan yang diiringi pula oleh desakan ekonomi rumah tangga sehingga konversi lahan hutan menjadi areal pertanian tidak dapat diatasi lagi. Informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa penduduk Jawa barat pada tahun 2000 sebanyak 35,724.1 ribu meningkat menjadi 43,021.8 pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 7297.7 ribu jiwa dengan laju peningkatan 729,77 ribu per tahun selama sepuluh tahun terakhir.
Rendahnya konversi lahan wilayah hutan menjadi areal terbangun karena wilayah hutan yang tersebar pada daerah berlereng sedangkan kawasan lainnya
sudah dijadikan kawasan lindung. Gejala perubahan penggunaan lahan dan kondisinya sampai tahun 2008 memberikan pemahaman bahwa konversi lahan menjadi kawasan terbangun dan areal budidaya pertanian tidak dapat lagi dilakukan dalam luasan yang besar karena hutan yang tersisa sangat sedikit dan berada pada kelerengan >45%.
4.2. Pengaruh Perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air
Hasil air suatu DAS sangat ditentukan oleh curah hujan yang jatuh di atasnya dan penggunaan lahan pada DAS tersebut dalam kaitannya dengan siklus hidrologi DAS sehingga perlu kajian secara seksama mengenai keberadaan dari ketiga faktor ini. Curah hujan dan hasil air biasanya sejalan dalam pengertian bahwa jika terjadi peningkatan curah hujan maka hasil airpun akan meningkat, demikian pula sebaliknya.
4.2.1. Curah Hujan
Hasil analisis curah hujan wilayah berdasarkan olah data program Arcview 3.3 disajikan pada lampiran 3 dengan gambaran umum rerata tahunan curah hujan wilayah DAS Citarum adalah 2176 mm/th yang sesuai dengan ciri curah hujan di wilayah Jawa Barat antara 2000–3000 mm/th. Berkaitan dengan penyediaan air irigasi maka perlu dipahami dampak iklim global terhadap curah hujan di Indonesia khususnya di DAS Citarum berupa anomali iklim El Nino dan La Nina.
Irawan (2006) menyatakan bahwa kejadian El Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan kejadian La Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan normal. Kedua Anomali iklim tersebut tidak menguntungkan bagi produksi pertanian karena penurunan drastis curah hujan akibat El Nino dapat menimbulkan kegagalan panen akibat kekeringan, sedangkan kenaikan curah hujan akibat La Nina dapat menimbulkan banjir dan merangsang peningkatan gangguan organism pengganggu tanaman. Umur tanaman pangan umumnya relatif pendek, maka kedua anomali iklim tersebut biasanya menimbulkan dampak lebih besar terhadap produksi tanaman pangan daripada produksi tanaman tahunan seperti perkebunan.
Dampak El Nino pada DAS Citarum dapat terlihat pada rendahnya curah hujan pada tahun 2006 sebesar 1462 mm dengan 7 bulan kering (5 bulan kering
berturut-turut) dan menyisahkan 2 bulan basah, mengakibatkan sebagian petani di daerah hulu tidak dapat mengusahakan sawahnya sehingga areal persawahan dialihfungsikan sementara untuk tanaman pertanian lahan kering lainnya.
Anomali La Nina terakhir di Indonesia pada tahun 1999.
Adanya anomali iklim tersebut memberikan suatu peringatan agar pengelolaan DAS Citarum harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan karena kondisi saat ini yang lebih didominasi oleh kawasan pertanian akan sangat mudah mengalami degradasi apalgi jika kegiatan pertanian dilakukan tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Wilayah DAS yang telah mengalami degradasi akan sangat peka terhadap penyimpangan iklim yang terjadi pada wilayah tersebut.
Curah hujan bulanan terendah yang terjadi pada DAS Citarum adalah 0 mm sedangkan curah hujan tertinggi 554 mm, sedangkan berdasarkan rerata bulanan dari tahun 2002-2009, curah hujan terendah pada bulan agustus sebesar 26 mm dan tertinggi pada bulan maret sebesar 308 mm. Hasil ini menunjukkan ciri umum dari gejala curah hujan di Indonesia yang termasuk dalam Zona Iklim tropis dengan ciri variasi musiman dimana curah hujan sangat tinggi saat musim hujan dan sangat rendah saat musim kemarau. Nilai Koefisien varian dari rerata bulanan curah hujan DAS Citarum adalah 62.74 dengan nilai rata-ratanya sebesar 181.25 mm.
Menurut Metode Oldeman (1975) dalam Tjasyono (2004) bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan sekurang- kurangnya 200 mm, sedangkan bulan kering didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm. Pembagian bulan basah dan bulan kering menurut Oldeman (1975) didasarkan pada asumsi bahwa untuk pertumbuhan tanaman palawija diperlukan curah hujan sekurang-kurangnya 100 mm tiap bulan sedangkan jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah.
Nilai rerata bulanan curah hujan DAS Citarum selama 8 tahun diperoleh 6 bulan basah yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, April, November, dan Desember), 4 bulan kering yaitu bulan Juni, Juli, Agustus,dan September, dan 2 bulan lembab yakni bulan Mei (peralihan bulan basah ke bulan kering) dan bulan Oktober (peralihan bulan kering ke bulan basah). Kelebihan air pada bulan basah jika dapat ditampung (pemanenan hujan) maka dampak kekurangan air yang akan dihadapi pada bulan-bulan kering dapat di atasi. Hal ini tergambar dari nilai
rata-rata curah hujan untuk seluruh bulan sebesar 181 mm/bln. Selain itu, untuk mengatasi kekeringan yang panjang dapat puladitempuh dengan alternatif hujan buatan namun memerlukan biaya yang tinggi.
Irawan (2006) mengemukakan bahwa dalam rangka mengantisipasi fenomena iklim terutama El Nino, diperlukan kebijakan penanggulangan yang bersifat menyeluruh dan melibatkan banyak pihak yang relevan mengingat fenomena anomali iklim dan konsekwensinya meliputi berbagai spek yang luas.
Pada intinya kebijakan penanggulangan anomali iklim perlu menempuh beberapa upaya yaitu: (1) mengembangkan system deteksi dini anomali iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat anomali, potensi dampak terhadap ketersediaan air dan produksi pangan, dan sebaran wilayah rawan, (2) mengembangkan sistem diseminasi informasi anomali iklim secara cepat dengan jangkauan yang luas kepada petani dan berbagai pihak serta instansi terkait, dan (3) mengembangkan, mendiseminasikan dan memfasilitasi petani untuk dapat menerapkan teknik budidaya tanaman yang adaptif terhadap situasi kekeringan, misalnya dengan mengatur pola tanam padi-padi-padi untuk kasus La Nina dan pola tanam palawija-padi-palawija untuk kasus El Nino. Disamping itu perlu ditingkatkan pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi serta mengembangkan teknik pemanenan curah hujan misalnya melalui pembuatan embung air.
4.2.2. Curah hujan dan hasil air
Curah hujan merupakan suatu fenomena alam yang sulit dikendalikan sehingga dikategorikan sebagai suatu variabel bebas, sedangkan hasil air merupakan variabel tidak bebas yang ditentukan oleh curah hujan dan siklus hidrologi yang terjadi pada suatu DAS yang ditentukan oleh karakteristik DAS tersebut. Penggunaan lahan merupakan karakteristik DAS yang selalu berubah dalam jangka waktu yang cepat sedangkan karakteristik lainnya akan mengalami perubahan pada waktu yang lama sehingga untuk melihat pengaruh perubahan karakteristik DAS terhadap hasil air digunakan pendekatan dengan melihat kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Uraian ini memberikan suatu kerangka analisis bahwa perubahan hasil air pada DAS secara umum dipengaruhi oleh curah hujan dan perubahan penggunaan lahan.
Curah hujan dan hasil air selalu berbanding lurus dimana setiap peningkatan curah hujan akan berakibat pada peningkatan hasil air. Sebelum melihat peranan
perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air, terlebih dahulu dilakukan evaluasi untuk melihat nilai hubungan yang terjadi antara curah hujan dan hasil air dan analisis regresi linier sederhana digunakan untuk melihat hubungan ini.
Kondisi yang terjadi pada DAS Citarum dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tentang hubungan antara rata-rata curah hujan dan hasil air bulanan disajikan pada Gambar 6 sedangkan data bulanannya dari tahun 2002-2009 disajikan pada lampiran 4 dan lampiran 5.
Gambar 6. Rata-rata curah hujan wilayah (juta m3/bln) dan hasil air bulanan (juta m3/bln) pada DAS Citarum untuk data dari tahun 2002-2009
Grafik pada Gambar 6 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan dan hasil air bulanan tertinggi berada pada bulan Maret sedangkan terendah pada bulan Agustus. Pergerakan nilai rata-rata bulanan curah hujan dan hasil air seperti pada Gambar 6 sangat jelas menunjukkan pengaruh musiman antara musim hujan dan musim kemarau. Hasil air tahunan terus meningkat dengan bertambahnya curah hujan tahunan mengikuti persamaan regresi yi=26.87+0.48xi; (xi=curah hujan dalam juta m3/bln, yi=hasil air dalam juta m3/bln) dengan nilai korelasi 0.87 sedangkan Uji t-student menunjukkan nilai t-stat 2.42 (t-tab 2.11) pada taraf kepercayaan 95%. Hubungan secara statistik ini dapat memberikan pemahaman bahwa terjadi suatu hubungan korelasi yang sangat kuat antara curah hujan dan hasil air namun kondisi biofisik DAS masih memegang peranan penting dalam mengatur siklus air yang dibuktikan oleh hasil analisis t-student dengan perbedaan yang nyata antara curah hujan dan hasil air.
Fluktuasi curah hujan tidak hanya terjadi pada nilai bulanan tetapi juga pada siklus tahunan, seperti disajikan pada Gambar 7.
Jan Feb Mar Ap Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
curah hujan 1243. 1376. 1386. 1250. 508.3 340.0 222.4 117.7 251.5 632.1 1194. 1284.
hasil air 581.1 716.2 762.8 708.5 429.8 238.1 131.8 75.11 98.22 195.9 405.5 641.3 200.000.00
400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 1600.00 Juta
m3/bln
Gambar 7. Curah hujan dan hasil air tahunan DAS Citarum dari tahun 2002-2009
Grafik pada gambar 7 menunjukkan bahwa pada terjadi siklus tahunan pada curah hujan yang berdampak pada siklus hasil air tahunan. Hubungan antara curah hujan dan hasil air tahunan dinyatakan dalam persamaan regresi yn=0.41xn+978.94 (xn=curah hujan dalam juta m3/th, yn=hasil air dalam juta m3/bln) dengan nilai korelasi 0.96 sedangkan berdasarkan uji t-student menunjukkan hasil t-stat sebesar 7.76 (t-tab 2.26) pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil ini memberikan gambaran yang sama dengan data bulanan sehingga secara umum dikatakan bahwa perubahan hasil air akan sejalan dengan perubahan curah hujan baik untuk hasil bulanan maupun hasil tahunan, sedangkan perbedaan nyata berdasarkan uji t-student memberikan bukti bahwa masih terlihat adanya pengaruh dari DAS Citarum terhadap keberadaan hasil air.
Parameter lainnya yang digunakan untuk melihat hubungan kedua variabel tersebut adalah koefisien variansinya (CV). Koefisien variansi merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk melihat penyebaran dari sekelompok data apakah menyebar homogen di sekitar nilai reratanya atau tidak. Distribusi bulanan curah hujan maupun hasil air selalu tidak homogen atau terdistribusi secara tidak merata dari nilai tengahnya, kondisi ini akan berdampak pada ketersediaan air bulanan yang tidak merata pula sehingga seringkali terjadi kelebihan air yang sangat tinggi juga kekurangan air yang begitu nyata.
Koefisien variansi yang rendah akan memberikan indikasi distribusi curah hujan yang merata tiap bulannya begitu pula sebaliknya jika koefisen variansinya tinggi maka dapat dikatakan bahwa jumlah curah hujan bulanan pada musim
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
curah hujan 11068.8443 8559.36 9384.94 11174.92 6589.32 9870.75 10430.34 11385.47 hasil air 5540.19 4294.46 4743.05 5749.09 3785.83 5109.41 5120.80 5535.64
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
juta m3/th
kering sangat rendah dan saat musim hujan sangat tinggi. Hasil analisis koefisien variansi dari curah hujan tahunan disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Koefisien variansi curah hujan dan hasil air dari tahun 2002-2009 Berdasarkan gambar 8 terlihat bahwa koefisien variansi curah hujan dan hasil air menunjukkan gerak yang searah dengan nilai korelasi 0.84 sedangkan uji t-student menunjukkan nilai t-stat sebesar 0.78 (t-tab = 2.17). Hasil ini memberikan gambaran bahwa terjadi hubungan sangat kuat dan positif antara curah hujan dan hasil air, sedangkan koefisien varian hasil air tidak berbeda nyata dengan CV curah hujan sehingga dapat dikatakan bahwa DAS tidak dapat berfungsi dengan baik untuk mengatasi variasi musiman yang terjadi pada curah hujan, ini merupakan ciri-ciri dari DAS yang sudah mengalami gangguan yang sangat parah.
Nilai koefisien varian curah hujan berkisar antara 56.69-110.67 sedangkan koefisien varian hasil air berada pada kisaran 57.90-91.89, sehingga member penjelasan bahwa distribusi curah hujan bulanan dan hasil air bulanan masih tergolong tinggi. Distribusi yang tidak homogen ini menyebabkan berbagai potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan semakin tinggi, seperti:
banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit,sedangkan pada kondisi curah hujan yang mengecil dapat terjadi potensi bencana seperti:
kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang mungkin timbul, seperti monopoli air (WWF, 2007).
4.2.3. Trend Perubahan Hasil Air Tahunan
Evaluasi mengenai keberadaan sumber air pada DAS Citarum lebih terfokus pada hasil air bulanan dan tahunan dengan asumsi bahwa keberadaan waduk Jatiluhur telah memperhitungkan gejolak tersebut. Waduk Jatiluhur sebagai
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 curah hujan 89.93 62.71 79.08 56.69 110.67 81.00 70.77 71.94 hasil air 81.78 66.90 69.61 59.76 91.89 70.96 78.94 57.90
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 Juta m3/th
penampung hasil dari DAS Citarum secara umum dapat menyeimbangkan fluktuasi air yang terjadi dalam sebulan, namun tidak dapat mengatasi fluktuasi dalam setahun karena kapasitas waduk yang terbatas.
Curah hujan berpengaruh terhadap hasil air sehingga fluktuasi siklik tidak dapat dihindari dari data hasil air tahunan. Kenyataan ini akan sangat menyulitkan untuk mengetahui arah pergerakan dari perubahan hasil air sehingga perlu untuk melakukan isolasi terhadap pengaruh curah hujan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan asumsi bahwa pada kondisi DAS yang normal selisih curah hujan dan hasil air akan selalu tetap. Berkaitan dengan evaluasi yang dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002 sampai tahun 2008, maka nilai normal selisih curah hujan dan hasil air (disimbolkan: H-A) adalah nilai selisih pada tahun 2002. Berdasarkan tabulasi sederhana diperoleh nilai perubahan hasil air tahunan yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan hasil air DAS Citarum dari tahun 2002-2009
Tahun Curah hujan (juta m3/th)
a
Hasil air i (juta m3/th)
b
a-b (juta m3/th)
c
H-A normal (juta m3/th)
d
Hasil air normal (juta m3/th)
d
Perubahan hasil air (juta m3/th)
e
2002 11068.84 5540.19 5528.65 5528.65 5540.19 0.00
2003 8559.36 4294.46 4264.90 5528.65 3030.71 1263.75
2004 9384.94 4743.05 4641.89 5528.65 3856.29 886.77
2005 11174.92 5749.09 5425.83 5528.65 5646.27 102.82
2006 6589.32 3785.83 2803.49 5528.65 1060.67 2725.16
2007 9870.75 5109.41 4761.34 5528.65 4342.10 767.31
2008 10430.34 5120.80 5309.54 5528.65 4901.69 219.11
2009 11385.47 5535.64 5849.84 5528.65 5856.82 -321.18
Keterangan: a= curah hujan tahunan; b= hasil air tahunan; c=curah hujan-hasil air; d= selisih H-A normal berdasarkan data H-A tahun 2002; e= curah hujan normal dikurangi H-A normal; f= hasil air pengamatan-hasil air normal
Perubahan hasil air seperti pada Tabel 7 kolom (e) dapat diringkas dalam bentuk persamaan regresi yj= -61.99xj + 984.44 (xj= penambahan tahun dengan xj=1 untuk tahun 2002; yj= perubahan hasil air dalam juta m3/th) yang menandakan bahwa telah terjadi penurunan hasil air dari tahun 2002-2009 sebesar 433.93 juta m3/tahun dengan laju penurunannya sebesar 61.99 juta namun tingginya curah hujan menyebabkan hasil air terlihat masih tinggi dibanding kondisi awal pada tahun 2002. Penurunan yang sedang terjadi namun tidak dirasakan karena tingginya curah hujan jika dibiarkan berlanjut terus akan berdampak buruk terhadap ketersediaan air pada DAS Citarum. Penurunan hasil air secara umum terjadi pada saat musim kemarau diduga karena berkurangnya kawasan hutan sehingga evapotranspirasi meningkat pada musim kemarau,
serta pengambilan air tanah yang berlebihan saat musim kemarau untuk berbagai keperluan.
Perubahan penggunan lahan akan memberikan pengaruh terhadap perubahan hasil air namun besarnya pengaruh yang diberikan berbeda antara penggunaan lahan yang satu dan lainnya. Kenyataan yang terjadi pada DAS Citarum sangat jelas terlihat bahwa telah terjadi penurunan luas kawasan hutan yang diiringi dengan peningkatan luas kawasan pertanian sedangkan kawasan terbangun/terbuka perubahanya relatif kecil.Keberadaan tiap tipe penggunaan lahan serta nilai parameter hasil air yang diperoleh dari persamaan regresi y= - 61.99x + 984.44 (xj= penambahan tahun dengan xj=1 untuk tahun 2002; yj= perubahan hasil air dalam juta m3/th) disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai-nilai penting untuk analisis hubungan penggunaan lahan dan parameter hasil air, tahun 2002-2008
Tahun Perubahan hasil air (juta m3/th)
Luas kawasan Vegetasi Permanen
(ha)
Luas kawasan Pertanian
(ha)
Luas kawasan
terbuka (ha)
Luas kawasan Terbangun
(ha)
2002 922.45 121,418 269,308 11,083 48,839
2008 550.51 82,420 317,808 6,107 44,314
Berdasarkan nilai-nilai penting pada Tabel 8, dibangun suatu hubungan regresi linier sederhana untuk melihat pengaruh tiap tipe penutupan lahan terhadap peningkatan hasil air. Variabel bebas dalam analisis regresi ini adalah tipe penggunaan lahan masing-masing: kawasan hutan (x1), kawasan pertanian (x2), kawasan terbangun (x3), dan kawasan terbuka (x4) sedangkan hasil air sebagai variabel tidak bebas yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Persamaan regresi yang terbentuk adalah ym=2987.74-0.00766887x2 (x2 merupakan luas kawasan pertanian dalam ha; ym adalah hasil air dalam juta m3/th) yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada DAS Citarum dari tahun 2002-2008 turut berperan dalam penurunan hasil air tahunan dengan peran utama berada pada kawasan pertanian yang memberikan pengaruh sangat nyata terhadap keadaan ini. Penurunan luas kawasan hutan dan kawasan lainnya turut mendukung penurunan hasil air namun pengaruhnya tidak nyata pada persamaan regresi. Kawasan pertanian yang mendominasi DAS Citarum saat ini memberikan penurunan hasil air tahunan dengan laju penurunan sebesar 7669.03 m3/th.
Penelitian mengenai hubungan antara perubahan Vegetasi dan hasil air pernah dilakukan pada DAS Nakambe, Afrika Barat yang memberikan hasil bahwa dari tahun 1965 sampai tahun 1995 terjadi penurunan luas kawasan vegetasi dari 43% sampai 13%, kawasan budidaya meningkat dari 53% sampai 76%, dan areal terbuka meningkat hampir tiga kali lipat dari 4% menjadi 11%, mengakibatkan penurunan kapasitas menahan air dengan kisaran penurunan antara 33% sampai 62% sehingga mengakibatkan peningkatan yang nyata pada debit aliran sungai (Mahe G., et.al., 2005).
4.3. Hubungan antara Hasil Air dan Suplai Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi merupakan jumlah air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman pada suatu periode pertumbuhan tertentu sehingga tanaman dapat tumbuh dengan normal dan memberikan produksi yang optimal. Wilayah pantai Utara Jawa Barat memperoleh pasokan air irigasi dari dua sumber yaitu dari sungai lokal (sumber setempat) dan sungai Citarum melalui waduk jatiluhur. Pengairan irigasi terbagi pada 3 tarum yakni tarum barat, tarum utara, dan tarum timur. Pasokan air pada tarum barat berasal dari 3 sungai besar yakni sungai bekasi (tertampung di bendung Bekasi), sungai Cikarang (bendung Cikarang), dan sungai Cibeet (bendung Cibeet). Tarum utara sepenuhnya bergantung pada pasokan air dari DAS Citarum melalui bendung Walahar. Sungai lokal pada tarum timur, masing-masing: Sungai Cilamaya/Ciherang yang dibendung di Bendung Barugbug, Sungai Ciasem yang dibendung di Bendung Jengkol dan Bendung Macan, Sungai Cigadung yang dibendung di Bendung Gadung dan Sungai Cipunegara/Cilamatan yang dibendung di Bendung Salamdarma. Pasokan air dari waduk Jatiluhur akan terkontrol di bendung Curug yang bertugas sebagai pembagi air ke tiga wilayah pengairan yang ada.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan air irigasi yang berasal dari dua sumber utama maka dalam uraian selanjutnya kebutuhan irigasi ini akan terbagi dalam dua bagian besar yaitu kebutuhan irigasi Potensial dan kebutuhan irigasi Aktual. Kebutuhan irigasi potensial merupakan kebutuhan irigasi yang direncanakan untuk seluruh areal persawahan yang termasuk dalam wilayah otorita Perum Jasa Tirta II, sedangkan kebutuhan irigasi actual merupakan kebutuhan irigasi yang harus dipenuhi dari Waduk jatiluhur setelah kebutuhan potensial tersebut dikurangi dengan persediaan air dari sumber lokal.
Menurut Masjhudi (2001) penyediaan air untuk irigasi sangat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: letak sumber air, kondisi prasarana dan sarana pengairan, dan ketepatan waktu pemanfaatannya. Kehilangan air (water losses) yang harus diperhitungkan antara lain: penguapan secara alam (evaporation), rembesan tanggul (seepage), bocoran pintu atau bangunan (leakage), penyiapan tanah (land preparation) dan pelaksanaan tanam.
Berdasarkan metoda perhitungan kebutuhan air (Biro-EPL PJT II) dapat terlihat bahwa kebutuhan air dari Bendung Curug (sumber air) adalah kebutuhan air irigasi di petak sawah ditambah kehilangan air di saluran sebesar 35%. Ini belum diperhitungkan andaikata petani karena berbagai hal terlambat mengolah tanah atau terlambat menanam. Rencana pemberian air setiap tahun umumnya dibagi ke dalam empat atau lima golongan pemberian air, tetapi pada kenyataannya seringkali penggolongan ini mundur menjadi enam bahkan pernah tercapai 13 golongan pemberian air. Secara umum kebutuhan air irigasi per bulannya disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Kebutuhan Irigasi untuk Areal persawahan yang termasuk dalam wilayah Otorita Perum jasa Tirta II Jatiluhur, tahun 2002-2009.
Bulan Kebutuhan air irigasi (juta m3/bulan) untuk tiap tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 555.52 466.78 474.57 469.48 477.81 469.20 471.06 467.88 Feb 430.67 387.06 409.48 394.73 400.21 392.37 407.18 402.68 Mar 485.69 444.50 453.95 443.62 456.00 448.61 450.62 450.86 Apr 564.63 531.15 527.04 507.67 514.51 504.71 506.55 501.34 Mei 644.82 628.84 628.91 644.54 656.10 649.21 651.23 642.04 Jun 627.06 644.12 602.60 642.97 653.42 648.16 653.13 644.63 Jul 556.94 559.27 543.52 591.05 597.12 591.76 594.08 586.20 Ags 385.13 332.23 342.58 364.95 374.69 373.23 375.17 369.85 Sep 282.20 198.62 201.00 205.17 210.07 204.17 206.12 178.16 Okt 384.81 493.14 492.26 410.57 401.13 433.44 415.56 416.37 Nov 557.32 601.18 599.50 542.08 534.92 541.99 538.72 536.38 Des 558.03 545.25 558.33 566.86 560.37 562.09 557.33 555.89 Total 6032.82 5832.14 5833.75 5783.69 5836.35 5818.94 5826.76 5752.28
Kebutuhan air irigasi selalu merata setiap bulannya dan hal ini bertentangan dengan distribusi hujan yang tidak merata sehingga seringkali menjadi kendala karena hasil air DAS juga berfluktuasi dengan tingkatan yang terkadang sangat tinggi. Pemenuhan terhadap kebutuhan irigasi berasal dari dua sumber yaitu dari sungai-sungai lokal (sumber setempat) dan dari Waduk Jatiluhur. Persentase
pemenuhan dari sumber lokal seperti pada Tabel 10 sedangkan pemenuhan air irigasi bulanannya disajikan pada lampiran 6.
Tabel 10. Persentase Pemenuhan kebutuhan air dari sungai-sungai lokal
Bulan Kebutuhan air irigasi (juta m3/bulan) untuk tiap tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 37.43 31.78 46.98 44.01 54.99 34.64 40.18 43.06
Feb 50.30 44.64 40.46 46.39 53.09 40.69 32.09 46.13
Mar 42.20 44.96 44.45 44.19 36.00 37.25 35.43 42.38
Apr 39.00 32.89 40.53 32.99 31.83 38.36 41.73 42.08
Mei 24.91 25.79 34.66 23.39 30.62 29.48 27.10 35.22
Jun 16.21 9.73 23.06 24.49 17.52 26.68 9.64 31.43
Jul 20.67 4.97 15.13 28.61 8.59 17.05 4.56 15.08
Ags 15.17 5.54 7.17 26.81 6.77 9.81 6.09 15.05
Sep 9.08 23.68 12.10 40.12 5.50 14.71 8.56 32.17
Okt 7.84 23.32 12.44 38.09 3.30 13.52 22.74 28.48
Nov 16.84 25.82 21.89 33.83 7.74 32.37 36.96 32.26
Des 33.23 33.07 33.79 41.87 36.18 35.22 38.78 38.67
Hasil pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dari sumber lokal pada musim hujan dapat mencapai 54.99% sedangkan pada musim kemarau dapat mencapai 4.56% saja. Hal ini menandakan bahwa pengelolaan daerah aliran sungai pada sumber setempat belum dilakukan dengan baik yang terlihat dari rendahnya jumlah air yang dapat disumbangkan untuk kebutuhan irigasi saat musim kemarau. Berdasarkan ketentuan dalam sistem pengairan Jatiluhur, sumber setempat seharusnya dapat memberikan pasokan air sebesar 70% saat musim hujan dan 30% saat musim kemarau, namun kenyataan yang terjadi selalu berkekurangan untuk kedua musim tersebut sedangkan curah huja pada daerah hilir termasuk cukup tinggi.
Permintaan untuk Kebutuhan air irigasi yang harus dipenuhi dari DAS Citarum melalui waduk Jatiluhur masih cukup tinggi berkisar antara 45.11%
sampai 95,46% yang berfluktuasi menurut musim. Hal ini memberikan indikasi bahwa ketergantungan petani terhadap pasokan air dari waduk Jatiluhur masih sangat tinggi sehingga perlu pengelolaan yang baik untuk mengatasi kebutuhan ini. Jumlah kebutuhan tersebut seperti pada Tabel 11 yang merupakan nilai sisa dari rencana kebutuhan irigasi setelah dikurangi pasokan air dari sumber setempat.
Tabel 11. Permintaan air untuk kebutuhan irigasi dari waduk Jatiluhur
Bulan Kebutuhan air irigasi (juta m3/bulan) untuk tiap tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 347.60 318.42 251.63 262.88 215.09 306.64 281.78 266.41
Feb 214.06 214.28 243.79 211.63 187.75 232.70 276.53 216.92
Mar 280.74 244.66 252.16 247.60 291.83 281.49 290.96 259.80
Apr 344.42 356.45 313.41 340.19 350.72 311.12 295.18 290.36
Mei 484.17 466.69 410.96 493.81 455.18 457.82 474.74 415.91
Jun 525.40 581.46 463.67 485.51 538.93 475.24 590.19 442.03
Jul 441.81 531.47 461.27 421.97 545.85 490.87 566.97 497.83
Ags 326.72 313.83 318.01 267.11 349.33 336.62 352.33 314.17
Sep 256.57 151.59 176.67 122.85 198.52 174.14 188.46 120.84
Okt 354.64 378.13 431.01 254.17 387.89 374.85 321.05 297.77
Nov 463.49 445.98 468.24 358.71 493.50 366.56 339.62 363.35
Des 372.61 364.92 369.70 329.53 357.63 364.13 341.18 340.91
Jml 4412.23 4367.88 4160.53 3795.94 4372.24 4172.18 4319.00 3826.28
Kebutuhan air irigasi yang dibutuhkan dari DAS Citarum melalui waduk Jatiluhur menunjukkan jumlah yang sangat tinggi karena sungai-sungai lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan ini sesuai dengan yang diharapkan yakni ±70%
saat musim hujan dan ±30% pada musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengelolaan daerah aliran sungai dari sungai-sungai lokal dan fasilitas penampung air yang kurang dalam segi jumlah maupun kapasitasnya.
Kebutuhan air irigasi aktual kemudian diuraikan cara pemenuhannya menjadi dua pendekatan yakni pemenuhan langsung dari DAS Citarum (asumsi tanpa adanya waduk) dan pemenuhan dari waduk, yang tujuannya untuk melihat efisiensi waduk.
Evaluasi pemenuhan kebutuhan irigasi berikut mengikuti skenario DAS tanpa waduk sehingga semua kebutuhan langsung dipenuhi dari sungai Citarum.
Penyediaan air dari DAS sangat berlebih saat musim hujan sedangkan pada musim kemarau mengalami kekurangan yang disebabkan oleh kapasitas menahan air yang rendah pada skala DAS terutama disebabkan oleh berkurangnya kawasan bervegetasi permanen yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya serap air. Kenyataan ini semakin dipertegas oleh penggunaan lahan pada daerah lereng untuk kegiatan pertanian tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Hasil analisis Indeks Penggunaan Air kebutuhan irigasi berdasarkan pemenuhan dari DAS Citarum disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Indeks Penggunaan Air (IPA) irigasi dengan sumber air langsung dari DAS Citarum, tahun 2002-2009
Tahun Kebutuhan irigasi (juta m3/th)
Penyediaan air dari DAS (juta m3/th)
IPA DAS
2002 4412.23 2760.49 1.60
2003 4367.88 2950.46 1.48
2004 4160.53 2691.05 1.55
2005 3795.94 3240.85 1.17
2006 4372.24 2131.08 2.05
2007 4172.18 3023.75 1.38
2008 4319.00 2696.38 1.60
2009 3826.28 3178.57 1.20
Nilai Indeks penggunaan air irigasi seperti pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dari tahun 2002-2009 nilai permintaan air irigasi lebih tinggi dibanding ketersediaannya pada skala bulanan. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat musim hujan banyak air yang terbuang dan tidak dapat dimanfaatkan kembali saat musim kemarau. Gambaran umum mengenai kelebihan air pada musim hujan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Surplus Air DAS Citarum, tahun 2002-2009
Bulan Kebutuhan air irigasi (juta m3/bulan) untuk tiap tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 716.59 31.68 361.29 376.24 498.53 0 187.71 263.57
Feb 536.98 496.00 367.00 761.57 564.38 526.85 123.38 556.08
Mar 695.49 485.98 522.64 667.02 68.96 247.89 655.10 610.72
Apr 538.54 42.72 328.57 409.16 239.34 610.36 464.96 433.06
Mei 273.03 192.28
Jun 5.92
Jul Ags
Sep 60.67
Okt 42.76
Nov 250.46 567.58 134.94
Des 292.11 244.87 199.46 233.57 283.55 450.10 425.69 160.48 Surp 2779.70 1344.00 2052.00 2508.23 1654.75 2085.66 2424.42 2357.07
Gambaran pada Tabel 13 menunjukkan tingginya potensi air DAS Citarum yang tidak termanfaatkan dengan baik atau terbuang ke laut sedangkan fluktuasi musiman yang tidak dapat dihindari telah memberikan indikasi akan kurangnya pasokan air pada saat musim kemarau. Kenyataan ini dapat terlihat dari defisit air DAS Citarum yang disajikan pada Tabel 14 dengan asumsi yang digunakan
untuk mendapatkan nilai ini adalah ketika hasil air DAS lebih kecil dari kebutuhan irigasi.
Tabel 14. Defisit air DAS Citarum, tahun 2002-2009
Bulan Kebutuhan air irigasi (juta m3/bulan) untuk tiap tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan -36.66
Feb Mar Apr
Mei -178.11 -80.49 -124.35 -104.93 -27.37 -170.54
Jun -339.37 -483.23 -310.15 -51.89 -404.47 -155.73 -458.35
Jul -190.63 -481.76 -334.77 -184.64 -482.70 -364.32 -504.48 -360.11 Ags -228.24 -257.99 -274.43 -121.16 -314.94 -282.71 -256.91 -240.87
Sep -181.53 -1.65 -47.90 -173.22 -126.39 -112.23 -21.63
Okt -274.28 -326.18 -27.74 -345.88 -155.26 -120.11 -25.10
Nov -259.58 -112.31 -176.05 -45.31 -415.02 Des
Informasi pada Tabel 14 menunjukkan bahwa defisit air umumnya terjadi pada bulan Mei sampai November. Pengelolaan terhadap sumber daya air secara seksama sangatlah diperlukan untuk mengatasi angka defisit ini sehingga tidak menimbulkan penurunan nilai produksi hasil pertanian pada tingkat petani.
Berkaitan dengan kondisi ini maka peranan waduk sangat diperlukan untuk menjadi penyeimbang antara kelebihan air pada saat musim hujan dan kekurangan air saat musim kemarau.
Menurut Sinukaban (2008) kekeringan sebenarnya tak ada hubungannya dengan curah hujan. Definisi kekeringan adalah kekurangan air sedemikian rupa di suatu tempat dalam waktu yang cukup lama sehingga merusak kehidupan tanaman atau hewan serta terganggunya suplai air minum. Itu berarti, kekurangan air hujan tak selalu mengindikasikan kekeringan di suatu tempat apabila aliran sungai atau air bawah tanah di tempat itu mencukupi. Kemarau saat ini hanya sedikit di bawah normal, namun menurunnya simpanan air bawah tanah sudah mengakibatkan aliran air pada musim kemarau menjadi rendah.
Penyebab utama terjadinya penurunan pengisian cadangan air bawah tanah itu adalah menurunnya laju infiltrasi (peresapan) air hujan di daerah tangkapan air.
Penyebab penurunan infiltrasi tersebut adalah perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian atau menjadi permukiman, dari pertanian atau
perkebunan menjadi daerah permukiman atau industri. Akibatnya turunnya laju infiltrasi terjadi secara substansial.
Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum di Jawa Barat memiliki posisi dan peranan yang sangat penting serta strategis karena dihuni hampir 60% (23 juta) penduduk, memiliki potensi air per tahun 12,95 miliar m3, dengan Sungai Citarum sepanjang 300 km (Tampubolon dkk., 2007). Terkait dengan keberadaan tiga waduk besar yang tersusun secara seri (cascade), maka dampak perubahan lahan pada bagian hulu sungai dapat diminimalisir dengan pengaturan tata masuk dan keluar air secara berkala pada ketiga waduk tersebut saat musim hujan dan musim kemarau.
Waduk Jatiluhur yang menempati bagian terakhir dari rangkaian cascade tersebut, memiliki peran yang amat penting untuk mengalirkan kelebihan air ke laut pada musim hujan sehingga dapat meminimalisir resiko meluapnya air pada waduk-waduk diatasnya maupun pada Waduk Jatiluhur sendiri. Selain itu, Waduk Jatiluhur berperan penting dalam mengairi areal persawahan di bagian Pantai Utara, penyuplai air baku air minum, dan pemasok energi listrik.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan diperoleh kenyataan bahwa ± 90%
pasokan air dari Waduk diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan irigasi, Sehingga bahasan selanjutnya akan lebih terfokus pada kebutuhan air irigasi yang dianggap sudah dapat mewakili semua kebutuhan pada skala waduk Jatiluhur. Kebutuhan air irigasi aktual yang harus dipenuhi dari Waduk Jatiluhur dan indeks penggunaan air (IPA) per tahunnya disajikan pada Tabel 15 sedangkan data bulanannya disajikan pada Lampiran 7.
Tabel 15. Indeks Penggunaan Air (IPA) Irigasi dari Waduk Jatiluhur, tahun 2002- 2009
Tahun Kebt. Air actual
(juta m3/th)
Pemenuhan air irigasi dari waduk (juta m3/th)
IPA
2002 4412.23 4329.90 1.02
2003 4367.88 3787.23 1.15
2004 4160.53 4010.18 1.04
2005 3795.94 3704.35 1.02
2006 4372.24 3947.39 1.11
2007 4172.18 3797.97 1.10
2008 4319.00 4035.00 1.07
2009 3826.28 3878.95 0.99
Nilai IPA air dari waduk masih diatas 1.0 yang menandakan bahwa dari tahun 2002-2009 masih terjadi defisit dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi di daerah hilir. Semakin tinggi nilai IPA akan mengakibatkan terjadinya konflik
pamakaian air untuk berbagai keperluan, antara daerah hulu dan hilir, serta antara para pemakai air di daerah hilir sendiri. Defisit air pada skala waduk bukan berarti waduk Jatiluhur tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik tetapi semata-mata disebabkan oleh tingginya fluktuasi musiman yang dibuktikan dengan tingginya nilai koefisien variansi dari hasil air.
Berdasarkan penilaian trend perubahan menggunakan analisis regresi linier sederhana menunjukkan menurunnya nilai IPA waduk seiring dengan bertambahnya waktu mengikuti persamaan regresi y=-0.004x+1.080 (y= nilai IPA waduk, tanpa satuan; x= pertambahan waktu, dengan nilai x=1 pada tahun 2002). Kenyataan ini memberi arti mengenai perubahan penggunaan lahan yang lebih didominasi oleh kawasan pertanian telah menurunkan hasil air tahunan namun curah hujan yang terus meningkat turut membantu mengurangi pengaruh buruk dari perubahan penggunaan lahan sehingga pemenuhan kebutuhan irigasi dari waduk Jatiluhur masih berjalan dengan baik. Gambaran umum mengenai kondisi dimana persediaan air dari waduk tidak dapat mencukupi kebutuhan irigasi disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Defisit air irigasi dari waduk Jatiluhur, tahun 2002-2009
Bulan Kebutuhan air irigasi (juta m3/bulan) untuk tiap tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan -2.99 -17.41
Feb -31.75 -7.01 -51.97 -46.01
Mar -21.63 -45.07
Apr -12.36 -28.60 -22.82 -20.92
Mei -20.16 -95.50 -60.70 -44.61 -41.12 -99.20 -58.20 -3.15
Jun -6.51 -125.14 -66.67 -24.16 -104.79 -69.01 -128.34 -16.25
Jul -106.33 -4.80 -70.88 -44.91 -75.35 -15.49
Ags Sep
Okt -84.15 -36.99
Nov -11.56 -131.62 -11.18 -171.07 -63.58
Des -9.30
Kekurangan air yang terjadi pada waduk Jatiluhur (Tabel 16) terlihat lebih rendah dibandingkan dengan kekurangan yang terjadi jika pemenuhan kebutuhan irigasi langsung dilakukan dari DAS Citarum tanpa adanya waduk.
Kenyataan ini semakin mempertegas arti penting dari keberadaan waduk Jatiluhur sebagai penyeimbang kondisi air pada saat musim hujan dan kemarau.
Budidaya pertanian terutama sawah sangat bergantung pada persediaan air
yang merata sepanjang musim sehingga kekurangan akan air sangat berdampak terhadap peningkatan produksi tanaman pertanian bahkan tanaman tidak dapat berproduksi saat musim kemarau yang panjang. Terlihat bahwa kekurangan air sekalipun ada waduk terjadi pada bulan-bulan kering yakni bulan Mei, Juni, dan Juli. Kenyataan ini dapat dijelaskan dengan kejadian hujan pada bulan Mei sampai Juli yang merupakan bulan dengan curah hujan terendah seperti pada Gambar 6. Defisit air irigasi pada Tahun 2007 dengan kekurangan air yang terjadi pada bulan januari sampai juli diduga karena dampak El Nino yang terjadi pada tahun 2006 dan terus berlanjut sampai tahun 2007.
Berkaitan dengan kondisi tampungan waduk maka berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbangtek SDA tahun 2000 memberikaninformasi bahwa kolam waduk pada TMA ±107 m. dpl memiliki luas genangan 8020 ha dengan volume tampungan 2448 juta m3 sehingga dengan kapasitas tampungan waduk Jatiluhur yang terbatas tidak semua potensi air dari DAS Citarum dapat ditampung terutama saat musim hujan. Antisipasi dini untuk mempertahankan kapasitas waduk perlu dilakukan juga terutama dalam mengatasi damapk sedimentasi akibat erosi yang terjadi pada DAS Citarum.
Penilaian terhadap kemampuan waduk dalam mengantisipasi kekurangan air jika penyediaannya harus dilakukan langsung dari DAS Citarum dapat dilihat dari Hasil tabulasi terhadap efisiensi waduk Jatiluhur yang disajikan pada Tabel 17.
Tabel17. Efisiensi Waduk dan Potensi Air DAS
Tahun Defisit air (juta m3/th) Efisiensi Waduk (%)
Surplus air DAS (juta m3/th)
Surplus air– Defisit air DAS (juta m3/th)
DAS WADUK
2002 -1651.74 -82.33 95.02 1210.29 1127.96
2003 -1417.42 -580.65 59.03 507.23 -73.42
2004 -1469.48 -150.36 89.77 732.88 582.52
2005 -555.09 -91.59 83.50 2044.73 1953.14
2006 -2241.16 -424.85 81.04 -161.56 -586.41
2007 -1148.43 -374.21 67.42 1311.44 937.23
2008 -1622.62 -370.39 77.17 1172.19 801.8
2009 -647.71 -34.89 94.61 1744.25 1709.36
Waduk Jatiluhur telah berperan dengan baik sebagai mediator suplai air DAS yang terlihat pada Tabel 17 dimana nilai efisiensi waduk dalam mengatasi kekurangan pada skala DAS adalah 59.03-95.02% walaupun belum dapat memenuhi kebutuhan air irigasi secara total. berdasarkan trend linier
menunjukkan peningkatan dalam efisiensi waduk, hal ini didukung oleh penurunan nilai IPA dari waduk Jatiluhur.
Nilai defisit dan surplus air pada skala DAS terlihat cukup tinggi yang menandakan fluktuasi musiman yang sangat besar, hal ini disebabkan karena kondisi DAS Citarum yang sudah kritis sehingga tidak dapat menjadi mediator untuk menampung air hujan dan mengalirkan secara bertahap. Surplus air DAS yang tinggi merupakan pertanda dari tingginya aliran permukaan yang disebabkan oleh kapasitas menahan air yang rendah pada DAS Citarum yang disebabkan oleh rendahnya persentase luas hutan. Kelebihan air (surplus) dari DAS jika dimanfaatkan dengan baik dapat memenuhi kebutuhan air di daerah hilirnya. Nilai air bulanan untuk kebutuhan irigasi aktual, hasil air DAS Citarum, dan suplai air irigasi waduk, disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik kebutuhan air irigasi aktual dan ketersediaan air pada DAS Citarum, tahun 2002-2009
Berdasarkan nilai rata-rata bulanan hasil air dari tahun 2002 sampai tahun 2009 seperti pada gambar 9 menunjukkan bahwa peran waduk dalam memenuhi kekurangan air dari DAS Citarum sangat nyata pada bulan mei sampai November disaat pasokan air dari DAS mengalami defisit. Kekurangan ini disebabkan oleh kapasitas menahan air yang rendah pada DAS Citarum dan keragaman pada distribusi bulanan yang tinggi pula. Saat musim hujan banyak air yang menjadi run off dan sedikit yang tertahan sehingga pasokan air DAS saat musim kemarau menjadi rendah. Kenyataan akan kekurangan ini semakin
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kebt-Sbr st4 281. 224. 268. 325. 457. 512. 494. 322. 173. 349. 412. 355.
Hasil air DAS 581. 716. 762. 708. 429. 238. 131. 75.1 98.2 195. 405. 641.
Air Waduk 342. 248. 293. 337. 404. 445. 459. 444. 354. 400. 383. 405.
0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 900.00
Juta m3/bln
disempurnakan oleh daya tampung waduk Jatiluhur yang terbatas dan berdampak pada keterbatasan suplai air pada musim kemarau. Kelebihan air dari DAS Citarum yang dialirkan ke laut jika dapat ditampung atau disimpan pada danau buatan/bendung-bendung akan mampu menutupi kekurangan air irigasi yang terjadi.
4.4. Perubahan Luas Areal Persawahan
Perubahan luas areal persawahan yang diairi dari waduk Jatiluhur dari tahun 2002 sampai tahun 2009, disajikan pada Gambar 10 sedangkan penyebaran luasan lahan per tarum disajikan pada lampiran 8.
Gambar 10. Total luas areal persawahan (ha) yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II dari tahun 2002 sampai 2009.
Grafik pada Gambar 10 menunjukkan bahwa luas areal persawahan semakin mengalami penurunan saat musim hujan maupun untuk musim kemarau. Penurunan luas dari tahun 2002 sampai 2009 untuk musim hujan sebesar 9,355 ha sedangkan untuk musim kemarau sebesar 10,170 ha.
Identifikasi luas lahan per tarum menunjukkan bahwa 93,77% penurunan luas dari total luas areal persawahan di wilayah pantai utara Jabar terkonversi di wilayah Tarum barat dan 6,33% pada Tarum Timur. Luas areal persawahan pada Tarum Utara cenderung tetap dari tahun 2002 sampai 2009. Penurunan luas areal persawahan pada Tarum barat diduga karena pergeseran pusat perkotaan dan alih fungsi lahan untuk kawasan industri serta aktivitas lainnya. Kekurangan air memiliki peluang yang sangat kecil untuk memicu perubahan luas areal persawahan karena kenyataan membuktikan bahwa pada tarum timur dan utara tidak mengalami penurunan luas areal persawahan.
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Musim Hujan (Rendeng) 238133 237023 236986 232675 232573 231475 231303 228778 Musim Kemarau (Gadu) 229689 226958 226405 223405 223802 223030 222858 219519
215000 220000 225000 230000 235000 240000
luas areal persawahan
(ha)
4.5. Evaluasi umum
Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan kebutuhan akan pangan meningkat sehingga pemanfaatan lahan untuk pertanian akan tetap tinggi.
Mengantisipasi permasalahan yang terjadi, maka beberapa alternatif pengelolaan DAS perlu dilakukan sehingga tidak memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan manusia khususnya untuk pemenuhan kebutuhan irigasi.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan penerapan teknik pertanian menggunakan metode konservasi tanah dan air, dengan terus dilakukan rehabilitasi lahan-lahan kritis dan reboisasi. Penyelamatan waduk harus terus dilakukan dengan mengurangi sedimentasi sehingga kapasitas waduk tetap stabil. Berkaitan dengan potensi air DAS yang terbuang agar dapat diusahakan penambahan sarana penampung air seperti bendung atau danau buatan.
Sungai-sungai lokal perlu dikelola dengan baik sehingga dapat memberi pasokan air yang memadai, selain itu perlunya diusahakan untuk menambah bendung pada sungai-sungai lokal. Pada skala petani, agar terus dilakukan upaya penghematan air terutama pada musim kemarau. Sedangkan pada jaringan irigasi, perlu dilakukan pengawasan yang baik terhadap fungsi jaringan seperti perbaikan sarana yang sudah rusak dan meminimalisir kehilangan air pada tingkat petani akibat kebocoran saluran secara sengaja maupun tidak sengaja.
Sadeghi H., Kh. Jalili, dan D. Nikami (2009) mengemukakan bahwa pengelolaan DAS untuk memuaskan permintaan penduduk adalah tugas yang sulit jika kita harus mempertahankan keseimbangan antara arus lingkungan yang biasanya saling bertentangan. Solusi mengenai pemecahan isu-isu rumit ini memerlukan penggunaan teknik matematik untuk mempertimbangkan tujuan yang bertentangan tersebut. Optimalisasi penggunaan lahan perlu dilakukan agar dapat meminimalkan erosi dan meningkatkan manfaat atau hasil.