• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT

Oleh

Ambarwati, D. Sugandi

*)

, D. Sungkawa

**)

Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UniversitasPendidikan Indonesia

Email

ambarw866@gmail.com , dedesugandi@upi.edu , dadangsungkawa@upi.edu

ABSTRAK

Kecamatan Tambora memiliki luas wilayah539, 84 Ha, dengan jumlah penduduk 267. 273 jiwa dan 95.222 KK. Kecamatan ini rentan terhadap masalah sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk tingkat kekumuhan di Kecamatan Tambora. Metode yang digunakan deskriptif dan pengambilan data dengan teknik survey. Populasi manusia dan wilayah meliputi seluruh warga Kecamatan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 88 responden dari 11 Kelurahan. Analisis menggunakan presentase dan pembobotan berdasarkan kriteria tingkat kekumuhan DisTarCip Tahun 2002. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi fisik bangunan, sanitasi, sistem drainase, ruang terbuka masih rendah. Kondisi sosial-ekonomi seperti kesehatan terbilang cukup baik. Berdasarkan pembobotan tingkat kekumuhan, Kecamatan Tambora berada pada kategori sedang yaitu 2,9. Faktor yang menjadikan Kecamatan Tambora menjadi kumuh adalah faktor lokasi, kondisi bangunan, kondisi sarana dan prasarana dan kesejahteraan penduduk.

ABSTRACT

Tambora is a housing area which has the most crowd in. Tambora had around 267.273 people and 95.222 households. People in this area faced some problem like; low income, low education, potential firetrap, and high poverty. Those social problems made some people to do a research there. Method of this research was descriptive research by using survey for getting data. The subject of this research were population of the people and area in Tambora. The data of this research was analized by using percentage and measurement based on slum level criteria DisTarCip 2002. Result of this research showed that physical building and public facilities, like clean water, sanitation, drainage, open area are low in Tambora. In the other side, social-economies were good, like society, health and economic growth. Based on the slum level criteria, Tambora was in average level which was 2,9.

Key words: slum, physical condition, social condition, slum level

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan perkembangan kota yang begitu pesat telah mengakibatkan berbagai macam persoalan serius diantaranya adalah permasalahan perumahan. Di Indonesia, khususnya

diperkotaan perkembangan perumahan dan

permukiman tidak terlepas dari laju

pertumbuhan penduduk. Urbanisasi

menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan meningkatnya laju

pertumbuhan penduduk di kota. Keadaan

(2)

daerah perdesaan yang serba kekurangan mendorong penduduk desa untuk melakukan urbanisasi ke kota-kota besar.

Jakarta sebagai ibukota Negara memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk daerah. Selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini mendorong penduduk daerah untuk melakukan urbanisasi. Mereka berasal dari latarbelakang dari sosial ekonomi yang berbeda-beda dan sebagian dating tanpa rencana yang jelas (Kurniasih, 2007, hlm.

5).

Kondisi permukiman di Jakarta masih belum tertata dan belum sesuai dengan perencanaan tata ruang kota. Selain itu kelangkaan tanah dan tingginya harga tanah menjadi kendala yang harus dihadapi pemerintah kota dalam pengadaan rumah tinggal. Ketersediaan lahan yang terbatas menyebabkan tingginya harga lahan di Jakarta. Hal ini mendorong penduduk yang berekonomi rendah memilih tinggal di daerah tanpa memperhatikan kualitas lingkungan perumahan.

Kecamatan Tambora merupakan salah satu kecamatan di wilayah administrasi Jakarta Barat. Kecamatan Tambora merupakan sebuah kawasan permukiman dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di provinsi DKI Jakarta yakni 495 jiwa /Ha.

Bentukkan fisik permukiman yang tidak didasari dengan pola dan proses perencanaan yang sesuai aturan tentunya akan menyebabkan permasalahan di kemudian hari. Seiring berjalannya waktu, kawasan Kecamatan Tambora tumbuh semakin tidak teratur. Hal ini dapat ditinjau dari tingkat kerapatan antarbangunan yang sangat tinggi, penggunaan lahan yang tidak teratur, lebar jalan yang semakin menyempit, dan sanitasi yang buruk.

Selain permasalahan kepadatan penduduk, Kecamatan Tambora juga rentan terhadap masalah sosial seperti rendahnya angka pendidikan, rawan terhadap bencana kebakaran, bentrokan antar kelompok warga serta tingginya angka kemiskinan.

METODOLOGI

Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif analisis. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan hasil wawancara dengan responden mengenai kondisi fisik dan sosial serta tingkat kekumuhan permukiman di Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Sedangkan survey digunakan untuk mengumpulkan sejumlah data dengan cara wawancara, dokumentasi dan observasi. Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu kondisi fisik dan kondisi sosial-ekonomi.

Populasi dalam penelitian ini adalahseluruh penduduk yang berada di Kecamatan Tambora. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Random Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 88 penduduk dengan mengunakan rumus Dixion dan B. Leach.

Setelah data didapatkan dari lapangan, data dianalisis dengan menggunakan perhitungan menurut Dirjen Ciptakarya 2002 dan analisis persentase. Untuk menghitung nilai tingkat kekumuhan digunakan rumus berikut :

Keterangan = Tingkat Kekumuhan

nk = nilai kekumuhan,

diperoleh dari nilai masing- masing indikator yang dikonversikan.

Bobot = persen untuk masing- masing indikator yang ditetapkan

Tabel 1.1

Nilai Tingkat kekumuhan

No Nilai Kekumuhan

Tingkat Kekumuhan 1 1, 0-1, 4 Tidak Kumuh 2 1, 5-2, 4 Kumuh Ringan 3 2, 5-3, 4 Kumuh Sedang 4 3, 5-4, 4 Kumuh Berat 5 4, 5-5, 0 Sangat Berat

Sumber: Dirjen Perumahan dan Permukiman 2002

TK = ∑nk x bobot

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Kondisi fisik dengan Permukiman Kumuh di Kecamatan Tambora

Kondisi fisik yang dimaksud disini bukan berbicara tentang kondisi alam Kecamatan Tambora, melainkan berbicara tentang lokasi, kondisi banguan serta kondisi sarana dan prasarana di Kecamatan Tambora.

a. Legalitas tanah

Secara keseluruhan kepemilikan lahan di Kecamatan Tambora sangat rendah. Sebagian besar lahan yang ditempati adalah milik orang lain namun tidak jarang pula yang menempati tanah milik pemerintah di sepanjang rel kereta api. Kepemilikan lahan yang rendah ini disebabkan oleh tingginya harga lahan di lokasi penelitian.

b. Status kepemilikan bangunan

Kepemilikan bangunan di lokasi penelitian cukup beragam. Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian menyewa atau mengontrak bangunan dengan biaya sewa rata-rata Rp. 5.000.000/tahun dengan kondisi bangunan yang sempit dan seadanya.

c. Frekuensi kebencanaan

Frekuensi kebencanaan di daerah penelitian cukup tinggi. Bencana kebakaran paling sering terjadi. Dalam satu tahun terjadi 3-4 kali kebakaran di daerah penelitian. Faktor yang menyebabkan sering terjadinya bencana akebakaran adalah adanya korsleting listrik. Material bangunan dan padatnya jarak antarbangunan menyebabkan api mudah menyebar. Sedangkan untuk bencana banjir terbilang 1-2 kali terjadi tiap tahunnya ketika musim penghujan. Sementara untuk bencana longsor tidak pernah terjadi di daerah penelitian.

d. Tingkat kualitas bangunan

Bangunan berstatus semi permanen banyak dijumpai di lokasi penelitian.

Mayoritas rumah-rumah di kecamatan Tambora beratapkan asbes karna dinilai lebih murah dari pada genteng. Untuk

dinding mayoritas memakai bahan meterial semen/beton, triplek ataupun campuran dari kedua bahan tersebut. Sedangkan untuk lantai mereka sudah banyak yang memakai keramik dan ubin.

e. Tingkat kepadatan bangunan

Tingkat kepadatan di lokasi penelitian dapat dikategorikan sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan tata permukiman menjadi semerawut dan tidak teratur. Selain itu ketidakmampuan dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap permukiman layak huni memperburuk kondisi lingkungan.

f. Tingkat kelayakan bangunan

Hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyak dijumpainya bangunan yang tidak layak huni di Kecamatan Tambora.

Tidak layak disini dilihat dari luas kamar yang dimiliki tidak sebanding jumlah penghuni kamar yang ada.

g. Tingkat penggunaan luas lantai Penataan ruang dalam rumah di permukiman kumuh biasanya tidak jelas (Suparlan, 1995, hal. 4-5). Penggunaan ruang tamu, kamar tidur dan dapur dalam suatu rumah sering disatukan. Sedangkan untuk dapur penduduk biasanya di luar bangunan rumah karena terlalu sempitnya bangunan. Berdasarkan penelitian penggunaan luas lantai responden adalah 3,2 m2/orang.

h. Tingkat pelayanan air bersih

Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, warga permukiman kumuh biasanya mendapatkan pelayanan air bersih dari PDAM dan sebagian lagi membeli dari pedagang air keliling. Air bersih ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan air minum.

Sedangkan untuk kegiatan mandi dan mencuci biasanya warga memakai wc umum berbayar yang tersedia.

i. Kondisi sanitasi lingkungan

Kepemilikan MCK pribadi di lokasi penelitian dapat dikatakan cukup tinggi meskipun dengan kondisi yang seadanya.

Namun tidak sedikit pula yang

(4)

menggunakan wc umum untuk kegiatan MCK sehari-hari. Pembuangan limbah MCK sendiri warga biasanya langsung membuangnya langsung ke selokan yang nantinya mengalir ke sungai-sungai sekitar.

j. Kondisi persampahan

Masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya sudah mendapatkan pelayanan jasa pengangkutan sampah. Namun sampah-sampah tersebut tidak langsung diangkut oleh petugas, melainkan dibiarkan menumpuk hingga menggunung di bak-bak pembuangan sampah disekitar.

k. Kondisi drainase

Kebiasaan masyarakat di permukiman kumuh yang membuang limbah di selokan menyebabkan kondisi saluran drainase mengalami penurunan.

Banyak saluran drainase di lokasi penelitian dalam kondisi rusak. Tak jarang ketika hujan turun air meluap karena sempitnya drainase dan sedimentasi oleh sampah rumah tangga.

l. Kondisi jalan

Prasarana jalan di kawasan kumuh Kecamatan Tambora sudah menggunakan aspal, semen ataupun beton. Jalanan ini menghubungkan antara jalan kota dengan jalan antar RT dan RW di lokasi penelitian.

Lebar jalan yang menghubungkan dengan jalan kota adalah 3 meter sehingga dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat, sedangkan jalan yang menghubungkan antar RT dan RW berukuran sempit sehingga hanya bisa dilalui oleh kendaraan beroda dua.

m. Ruang terbuka

Keterbatasan lahan di permukiman kumuh membuat warga kurang memperhatikan ketersediaan ruang terbuka atau open space di lingkungan perumahan.

Selain sebagai daerah resapan air, keberadaan area ruang terbuka juga berfungsi sebagai arena bermain anak dan sebagai sarana rekreasi warga. Karena terbatasnya area ruang terbuka, anak-anak kekurangan lahan untuk bermain sehingga tak jarang mereka bermain di areal rel kereta api yang membahayakan keselamatan mereka.

Dari hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kondisi fisik dengan permukiman kumuh di lokasi penelitian. Semakin tinggi status penguasaan lahan dan bangunan, semakin rendah frekuensi kebencanaan, semakin baik kondisi bangunan dan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana maka kondisi fisik permukiman dapat dikatakan baik.

Dengan kondisi fisik permukiman yang baik maka diharapkan dapat terwujudnya lingkungan perumahan yang sehat bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Mengacu pada analisa dan pendapat tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa dengan semakin baik nilai tiap indikatornya, maka semakin baik kondisi fisik permukiman. Semakin baik kondisi fisik permukimannya maka lingkungan akan jauh dari kesan kumuh. Dengan demikian kondisi fisik mempengaruhi kekumuhan permukiman karena menggambarkan penampilan fisik lingkungan secara visual yang akan berdampak pada kesan kumuh yang timbul.

Hubungan Kondisi sosial-ekonomi dengan Permukiman Kumuh di Kecamatan Tambora

a. Tingkat kepadatan penduduk

Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Tambora dikategorikan sangat tinggi.

Kondisi ini menyebabkan tata letak permukiman menjadi tidak teratur sehingga menimbulkan kesan kumuh dan tidak enak dipandang.

b. Rata-rata anggota rumah tangga Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata anggota rumah tangga di lokasi penelitian cukup beragam. Dalam satu rumah biasanya terdapat 5-10 anggota keluarga dengan luas rumah <20m

2

. Rata- rata jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi luas penggunaan lantai tiap.

Semakin banyak anggota rumah tangga maka semakin sempit penggunaan luas lantainya.

c. Jumlah kepala keluarga per rumah

(5)

Jumlah KK dalam satu rumah akan mempengaruhi nilai kekumuhannya. Hal ini dikarenakan akan menumpuknya anggota keluarga dalam satu rumah, sehingga kebutuhan ruang dalam satu rumah akan semakin tinggi dan pemanfaatan ruang gerak semakin sempit.

Pada lokasi penelitian banyak dijumpai satu KK per rumah dengan luas bangunan

<20m

2

, namun tak jarang dijumpai tiga KK per rumah.

d. Tingkat pertumbuhan penduduk Tingkat pertumbuhan dihitung dari jumlah angka kelahiran dikurangi oleh jumlah angka kematian. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa Kelurahan Jembatan Lima merupaka kelurahan dengan angka pertumbuhan tertinggi.

e. Angka kematian kasar

Data statistika Kecamatan tambora menunjukan bahwa angka kematian kasar di daerah tersebut terbilang cukup rendah karena masyarakatnya mulai sadar dengan kesehatan, apalagi dengan adanya program Kartu Jakarta Sehat oleh pemerintah Jakarta.

f. Status gizi

Status gizi di daerah penelitian terbilang cukup rendah meskipun tergolong kawasan kumuh. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk menekan angka gizi buruk di daerah DKI Jakarta sendiri.

g. Angka kesakitan diare, DBD dan malaria

Diare, DBD dan malaria adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh kotornya lingkungan sehingga masyarakatnya rentan terhadap penyakit tersebut. Tingginya angka kesakitan diare di lokasi penelitian disebabkan oleh kurang higienisnya makanan yang mereka konsumsi, sedangkan untuk angka kesakitan DBD dan malaria disebabkan oleh banyaknya genangan air di daerah penelitian.

h. Tingkat kemiskinan

Angka kemiskinan di lokasi penelitian berbeda tiap kelurahannya. Hal ini disebabkan oleh tidak meratanya area bisnis di Kecamatan Tambora. Angka kemiskinan tertinggi berada di Kelurahan

Angke, sedangkan terendah berada di daerah Roa Malaka.

i. Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian warganya. Jenis mata pencaharian di kawasan kumuh Kecamatan Tambora bergerak pada sektor informal seperti pedagang, penjual jasa dan buruh pabrik. Sebagian besar warganya berpenghasilan dibawah UMP DKI Jakarta, yaitu dibawah Rp. 3.100.000 dengan rata- rata jumlah tanggungan tiap keluarga adalah 4 orang. Dengan penghasilan sebesar itu digunakan untuk membayar sewa rumah bagi yang mengontrak sebesar Rp. 5.000.000/tahun, biaya pelayanan air ledeng sebesar Rp. 7.500/m3 dan Rp.

3000/jerigen bagi yang tidak mendapatkan pelayanan air ledeng, biaya listrik, biaya pendidikan anak dan kebutuhan sehari-hari.

Penghasilan yang tidak sesuai dengan pengeluaran ini membuat mereka tidak mampu menyewa rumah di lingkungan yang lebih baik sehingga mereka memilih bertahan dengan kondisinya sekarang.

j. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan responden dapat dikategorikan cukup tinggi meskipun tidak melanjutkan sampai perguruan tinggi namun sebagian besar dari mereka menamatkan pendidikan dasar 9 tahun.

Mereka juga peduli dengan pendidikan anak mereka. Pola pikir mereka sudah berkembang, namun keterbatasan ekonomi dan rasa nyaman membuat mereka bertahan di rumah mereka saat ini.

k. Tingkat kerawanan sosial

Tingkat kerawanan sosial di lokasi penelitian termasuk tinggi. Dalam satu tahun terjadi 43 kasus kejahatan baik itu pencurian ataupun perkelahian. Hal ini didorong oleh mental yang terbentuk maupun dorongan ekonomi.

Dari hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kondisi sosial-ekonomi dengan permukiman kumuh di lokasi penelitian.

Mengacu pada analisa dan pendapat

(6)

tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa dengan semakin baik nilai tiap indikatornya, maka semakin baik kondisi fsosial-ekonomi masyarakatnya. Semakin baik kondisi sosial-ekonomi maka lingkungan akan jauh dari kesan kumuh.

Dengan demikian kondisi sosial-ekonomi mempengaruhi kekumuhan permukiman karena menggambarkan kehidupan masyarakatnya.

Tingkat Kekumuhan Permukiman Kecamatan Tambora

Dari hasil perhitungan pembobotan tingkat kekumuhan yang telah dilakukan diperoleh nilai kekumuhan yakni 2,9.

Berdasarkan kriteria kekumuhan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Ciptakarya 2002 maka Kecamatan Tambora termasuk kriteria kumuh sedang. Indikator yang menjadikan Kecamatan Tambora menjadi kumuh adalah rendahnya kepemilikan lahan dan bangunan yakni 60,2% milik orang lain atau mengontrak, frekuensi bencana kebakaran yang tinggi yaitu 3-4 kali dalam satu tahun dan banjir sebanyak 2 kali dalam satu tahun, terdapatnya bangunan yang tidak layak huni sebanyak 40,9%, tingginya kepadatan bangunan yaitu 1468,3 bangunan/Ha, banyaknya bangunan yang bersifat tidak permanen 46,5%, rendahnya penggunaan luas lantai yaitu hanya 3,2 m2/orang, tingkat pelayanan air bersih yang belum mencapai 100%, sanitasi dan drainase yang buruk, kondisi jalan yang sempit, pembuang sampah yang tidak

terpadu, minimnya ruang terbuka, tingginya kepadatan penduduk, angka kesakitan DBD 11,6%, malaria dan diare yang tinggi, tingkat kemiskinan yang tinggi, 76,1% penduduk pendapatan dibawah UMP, dan angka kejadian kriminalitas yang terjadi yaitu sebanyak 43 kasus.

KESIMPULAN

Kecamatan Tambora termasuk kriteria kumuh sedang. Indikator yang menjadikan Kecamatan Tambora menjadi kumuh adalah rendahnya kepemilikan lahan dan bangunan yakni 60,2% milik orang lain atau mengontrak, frekuensi bencana kebakaran yang tinggiyaitu 3-4 kali dalam satu tahun dan banjir sebanyak 2 kali dalam satu tahun, terdapatnya bangunan yang tidak layak huni sebanyak 40,9%, tingginya kepadatan bangunan yaitu 1468,3 bangunan/Ha, banyaknya bangunan yang bersifat tidak permanen 46,5%, rendahnya penggunaan luas lantai yaitu hanya 3,2 m2/orang, tingkat pelayanan air bersih yang belum mencapai 100%, sanitasi dan drainase yang buruk, kondisi jalan yang sempit, pembuang sampah yang tidak terpadu, minimnya ruang terbuka, tingginya kepadatan penduduk, angka kesakitan DBD 103 kasus, malaria 159 kasus dan diare yang tinggi yaitu 1.468 kasus, tingkat kemiskinan yang tinggi, 76,1% penduduk pendapatan dibawah UMP, dan angka kejadian kriminalitas yang terjadi yaitu sebanyak 43 kasus.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Cipta Karya. (2002). Pedoman Identifikasi Kawasan Permukiman

Kumuh Penyangga Kota

Metropolitan.

Kurniasih, S. (2007). Penelitian : Usaha Perbaikan Permukiman Kumuh di Petukangan Utara Jakarta.

Khomarudin. (1997). Menelusuri Pembangunan Perumahan dan

Permukiman, Jakarta:Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta.

Suparlan, S. (1995). Kemiskinan di

Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan analisis skoring dengan 7 indikator yaitu kondisi bangunan, kondisi jalan, kondisi air minum, kondisi drainase,

Metode yang digunakan di penelitian ini metode skoring dalam melakukan identifikasi Kawasan permukiman kumuh dengan menggunakan tujuh indikator kekumuhan dari

Selanjutnya kondisi ke dua pada variabel dan indikator terdapat pada variabel kondisi pengelolaan persampahan yaitu pada prasarana dan sarana persampahan tidak sesuai

Keberadaan fasilitas sosial di rumah susun didasarkan oleh kebutuhan penghuni rumah susun yang disesuaikan dengan jumlah penduduk pendukung, luas lahan yang tersedia, dan standar

1) Pada permukiman kumuh ringan, keberadaan kegiatan ekonomi yang berada disekitarnya turut mempengaruhi karakter yang dimiliki oleh permukiman tersebut,seperti misalnya dalam

Gambar 6. Peta lokasi penelitian permukiman danau di Jawa Timur.. pihak serta biaya yang besar, seperti misalnya membongkar bangunan permanen dan membebaskan lahan milik

Sedangkan faktor prioritas yang mempengaruhi keberadaan kawasan permukiman kumuh sepanjang rel kereta api adalah faktor status kepemilikan bangunan, faktor ekonomi

Faktor yang mempengaruhi persebaran kualitas permukiman kumuh dengan kelas kumuh berat adalah kesesuaian dengan tata ruang yang tidak sesuai, kondisi jalan dan lingkungan yang