• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kebudayaan, Volume 16, Nomor 1/2021. : /jk.v16i1.388

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Kebudayaan, Volume 16, Nomor 1/2021. : /jk.v16i1.388"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tari Srimpi Pandhèlori merupakan tari klasik yang berasal dari Yogyakarta. Tari Srimpi Pandhèlori merupakan salah satu bentuk tari Srimpi yang cukup dikenal di kalangan masyarakat. Tari Srimpi Pandhèlori dari masa ke masa diduga mengalami perubahan kepemilikan. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI, kemudian berkembang kembali di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono selanjutnya. Kondisi sosial dan politik dalam lingkungan keraton menyebabkan perubahan dalam tari Srimpi Pandhelori. Proses transit terjadi di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Akhir pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX adalah proses transisi tari Srimpi Pandhèlori. Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana Tari Srimpi Pandhèlori bisa tetap eksis meskipun melewati berbagai ruang dan waktu? Tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi pada tari Srimpi Pandhelori. Penelitian menggunakan metode etnokoreologi, ditunjang dengan teori transit, transisi, dan transformasi yang dikemukakan oleh Svasek. Dari penelitian ini ditemukan bahwa proses transit, transisi, dan transformasi pada tari Srimpi Pandhèlori mengalami perubahan terutama dalam hal kepemilikan.

Kata kunci: tari Srimpi Pandhèlori, keraton Yogyakarta, etnokoreologi, transformasi tari,

Sultan Hamengkubuwono

ABSTRACT

The Srimpi Pandhèlori Dance is a classic dance from Yogyakarta. It is one of the more well-known Srimpi dance to the public. The Srimpi Pandhèlori dance from time to time is thought to have changed ownership. It is first created in the reign of Sultan Hamengku Buwono VI. It, then developed again during the reign of the next Sultan Hamengkubuwono. The social and political conditions within the palace led to changes in Srimpi Pandhelori’s dance. The transit process occurred during the reign of Sultan Hamengku Buwono VIII until the beginning of the reign of Sultan Hamengku Buwono IX. The end of the reign of Sultan Hamengkubuwono IX was the transition process for the Srimpi Pandhèlori dance. The problem raised in this paper is how the Srimpi Pandhèlori Dance continue to persevere through many various spaces and times? The aim of the research is to reveal the changes that occur in the Srimpi Pandhelori dance. This research uses ethnocoreological methods, supported by the theory of transit, transition, and transformation proposed by Svasek. It was found that through the process of transit, transition and transformation, the Srimpi Pandhèlori dance underwent changes, especially in terms of ownership.

Key words: the Srimpi Pandhèlori Dance, Yogyakarta Palace, etnochoreology, dance

transformation, Sultan Hamengkubuwono Naskah diterima: 7 November 2020; direvisi akhir: 10 Juni 2021; disetujui: 10 Juni 2021 Volume 16 Nomor 1/2021

JURNAL

KEBUDAYAAN

TRANSIT, TRANSISI, DAN TRANSFORMASI TARI

SRIMPI PANDHÈLORI GAYA YOGYAKARTA

TRANSIT, TRANSITION, AND TRANSFORMATION

OF THE SRIMPI PANDHÈLORI DANCE FROM

YOGYAKARTA

Sulistiani

Program Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

sulistiani.sulistia@gmail.com

(2)

PENDAHULUAN

T

ari Srimpi merupakan tari yang berkembang di keraton-keraton penerus dinasti Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta. Di Keraton Yogyakarta, tarian ini dikategorikan sebagai salah satu pelembagaan tari yang masuk ke dalam pelembagaan tari Srimpi dan Bedhaya. Pelembagaan ini sudah dilakukan sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Tari ini juga dituliskan dalam naskah-naskah yang tersimpan di Perpustakaan Krida Mardhawa, Keraton Yogyakarta. Naskah tersebut berisi teks narasi, petunjuk singkat, lirik vokal, musik dan daftar gerakan-gerakan tari Bedhaya dan Srimpi.

Pelembagaan tari yang dilakukan masing-masing Sultan dari Keraton Yogyakarta saat memerintah, semata-mata bukan hanya sebagai kepentingan pertunjukan saja, namun sebagai pengukuhan kewibawaan, dan lebih kepada kepentingan ritual. Menurut Serat Babad Nitik, Keraton Yogyakarta sekitar tahun 1855, Sultan Hamengku Buwono VI pernah menciptakan suatu pelembagaan tari Bedhaya dan tari Srimpi yang disebut Bedhaya Gandrungmanis, Bedhaya Kuwung-kuwung, Srimpi Putri Cina, Srimpi Pandhèlori, dan Srimpi Rênggawati (Hadi, 2007b:35).

Tari Srimpi yang menjadi objek penelitian pada jurnal ini adalah tari Srimpi Pandhèlori. Alasan pemilihan tari ini karena tari Srimpi Pandhèlori merupakan salah satu bentuk tari Srimpi yang cukup dikenal di kalangan masyarakat. Krida Beksa Wirama, organisasi tari pertama yang mengajarkan tari-tari keraton di luar keraton, memilih Srimpi Pandhèlori sebagai bahan ajar dalam organisasi tersebut (Listiyani 1990:18). Krida Beksa Wirama berdiri pada tanggal 17 Agustus 1918. Pada masa-masa awal dibukanya Krida Beksa Wirama, banyak orang mengatakan segala macam tari putri dengan istilah Srimpi, namun bila menyebut tari Srimpi itu sendiri, mereka sebut Pandhèlori, sekalipun itu bukan Srimpi Pandhèlori (Listiyani 1990:19). Hal ini membuktikan, begitu dikenalnya Srimpi Pandhèlori pada masa awal berdirinya Krida Beksa Wirama.

Selain berkembang di luar keraton, tari Srimpi Pandhèlori tetap dilestarikan dan dijaga di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Tari Srimpi Pandhèlori menjadi materi latihan wajib

pelembagaan tari di Keraton Yogyakarta sejak tahun 1977 (Hughes, 2008: 91).

Nama Srimpi Pandhèlori memiliki makna tersendiri. Di dalam Baoesastra Djawa atau Kamus Bahasa Jawa, Srimpi adalah lêlangên jogéd sing njogéd wong wadon cacahé papat. Artinya, tari yang dilakukan oleh perempuan berjumlah empat orang (Poerwadarminta, 1939). Nama Srimpi Pandhèlori diambil dari nama gending utama yang digunakan untuk pengiringnya yaitu Gêndhing Pandhèlori Pelog Barang. Properti yang digunakan pada Srimpi Pandhèlori saat ini adalah keris.

Tari Srimpi Pandhèlori diciptakan saat pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI sekitar tahun 1855-1877. Di awal penciptaan (pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI tari Srimpi Pandhèlori belum memiliki tema (Listiyani, 1990: 20). Tari Srimpi Pandhèlori terus berkembang pada periodisasi Sultan yang selanjutnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII, tari Srimpi Pandhèlori diberi tema berupa peperangan antara Dewi Kadarwati dan Umyum Madikin, yang diambil dari cerita Ménak.1 Cerita tersebut mengandung makna sifat kontradiktif atau keadaan yang serba dua namun pada hakikatnya adalah satu. Sifat tersebut saling menekan, saling menguasai dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam mewujudkan harmoni dan stabilitas kehidupan manusia dan alam semesta raya. Oleh sebab itu, salah satunya akan kalah namun tidak terbunuh (Listiyani, 1990: 28).

Dalam serat kandha2 dikatakan bahwa tari

Srimpi Pandhèlori ditampilkan saat jumênêng Sultan Hamengku Buwono VII dan Sultan Hamengku Buwono VIII. Pada masa Sultan Hamengku Buwono VII pula Srimpi Pandhèlori mulai berkembang di luar Keraton Yogyakarta, seiring dengan berdirinya organisasi Tari Krida Beksa Wirama pada tahun 1918 (Pringgobroto, 1959: 16). Tari Srimpi Pandhèlori menjadi salah satu materi wajib latihan di organisasi Tari Krida Beksa Wirama. Catatan koreografi dari tari Srimpi

1 Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi Kode Koleksi K 138 / B/S 17, di perpustakaan Krida Mardawa, Kera-ton Yogyakarta.

2 Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi. Kode Koleksi K 138 / B/S 17. Perpustakaan Krida Mardawa, Keraton Yogyakarta.

(3)

Pandhèlori yang dipelajari di organisasi Tari Krida Beksa Wirama ditulis dalam manuskrip berjudul Péngétan Bêksan Warna Warni Gandhanipun Kridha Bêksa Wirama pada tanggal 29 Agustus 1939 (Lindsay, 1990: 37).

Selanjutnya Srimpi Pandhèlori ini digubah kembali oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, sekitar tahun 1921-1939 (Listiyani, 1990: 19). Di masa ini, perkembangan tari Srimpi Pandhèlori semakin meluas ke luar Yogyakarta. Pada tahun 1935 G.R.Ay. Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani dan beberapa kerabatnya dari Pura Pakualaman mempelajari tari ini di Krida Beksa Wirama (Prabowo, dkk., 2007: 43). Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, pelembagaan tari di lingkungan keraton mengalami tiga periodisasi (Hadi, 2007b: 47). Hal ini membawa pengaruh tersendiri terhadap perkembangan tari Srimpi Pandhèlori. Periode pertama antara tahun 1940-1950 Sultan meminta para abdi dalem berhenti bekerja karena pihak keraton tidak mampu menggaji termasuk membuat seni pertunjukan yang terlalu mahal disederhanakan (Hadi, 2007a: 50). Periode kedua terjadi kevakuman kegiatan pelembagaan tari yang ada di dalam keraton, antara tahun 1950-1973. Pada periode ini, pentas dan latihan tari dilakukan di Dalem Purwodiningratan dengan nama Lembaga Bebadan Among Beksa (Hadi, 2007b: 50). Sejak tanggal 12 Mei 1952 lembaga ini secara resmi membuat paguyuban dengan nama Siswa Among Beksa yang didirikan oleh B.P.H Yudonegoro (Penyediaan dan Penyajian Informasi Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 19).

Pada periode kedua pula, tepatnya tahun 1951 R.R. Sasmintadipura menciptakan sendiri Srimpi Pandhèlori (Astuti, 1999:33). R. R. Sasmintadipura adalah salah satu tokoh penting dalam tari Jawa gaya Yogyakarta. Beliau adalah pendiri organisasi Mardawa Budaya dan seorang koreografer yang mengembangkan tari-tari keraton di kalangan masyarakat luas.

Periode ketiga tahun 1973-1989 atas perintah atau restu Sultan Hamengku Buwono IX, melalui Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa yang saat itu dipimpin oleh Pangeran Benawa (adik Sultan), sejak tahun 1973 digiatkan kembali latihan tari di dalam Cepuri Keraton (Hadi, 2007a: 59).

Selanjutnya pada masa Sultan Hamengku Buwono IX tari Srimpi Pandhèlori mulai memasuki dunia akademis. Atas perintah Sultan Hamengku Buwono IX, pada tanggal 18 Desember 1986 Fakultas Kesenian, Institut Seni Indonesia Yogyakarta merekonstruksi ulang Srimpi Pandhèlori gubahan Sultan Hamengku Buwono VIII (Listiyani, 1990: 17). Berdasarkan hasil rekonstruksi tersebut, tari Srimpi Pandhèlori yang awalnya menggunakan keris kemudian beralih menggunakan pistol. Bentuk pergelaran berdasarkan hasil rekonstruksi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX berbeda dengan bentuk pergelaran masa Sultan Hamengku Buwono VIII berdasarkan manuskrip yang ditulis dengan judul Pangêtan Bêksan Warna Warni Gadhanipun Kridha Bêksa Wirama di Perpustakaan Krida Mardawa, Keraton Yogyakarta. Meskipun rekonstruksi tari Srimpi Pandhèlori yang dilakukan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta atas perintah Sultan Hamengku Buwono IX, akan tetapi hasil rekonstruksi tersebut tidak lagi ditampilkan di wilayah Keraton Yogyakarta.3

Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X memiliki kondisi politik yang berbeda dengan masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Akan tetapi menurut Hadi pelembagaan seni tari pada masa awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X mengikuti pelembagaan yang telah dilakukan pada masa akhir pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX (Hadi, 2007b: 63).

Pada masa Sultan Hamengku Buwono X, Yogyakarta telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia sehingga tari Srimpi Pandhèlori bukan hanya menjadi milik Kraton Yogyakarta. Tari Srimpi Pandhèlori menjadi pergelaran yang dibawa ke luar Indonesia sebagai alat diplomasi budaya. Salah satu contohnya pada awal tahun 2018, keraton Yogyakarta bersama tim keseniannya membawa tari Srimpi Pandhèlori untuk misi budaya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.4

3 Wawancara dengan Bambang Pujasworo pada tanggal 4 September 2019 di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

4 Misi Kraton Yogyakarta Mengenalkan Kebudayaan di Abu Dhabi. http://jogja.tribunnews.com/2018/02/10/

misi-kraton-yogyakarta-mengenalkan-kebu-dayaan-di-abu-dhabi?page=1. diakses 19 Februari 2019.

(4)

Melihat pola penciptaan dan perkembangan tari Srimpi Pandhèlori yang berkaitan dengan legitimasi raja, konsep kekuasaan seorang raja tentu terkandung dalam hal tersebut. Hal ini menjadi peran tersendiri dalam perubahan yang terjadi pada tari Srimpi Pandhèlori. Perubahan-perubahan tersebut menjadi bahasan menarik untuk dijadikan bahan penelitian.

Penelitian mengenai perubahan tari dapat membuktikan bahwa setiap tari tradisi tidak ada yang pasti dan senantiasa mengalami perubahan. Perubahan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Penelitian ini juga dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya dan menjadi sumbangan penelitian tambahan Mengenai Tari Srimpi Pandhèlori Sebagai Warisan Budaya.

Perubahan atau transformasi merupakan hal yang wajar dalam produk kebudayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Kayam (1991:326) Transformasi sebagai suatu proses perubahan selalu menghendaki hasil akhir yang bersifat persetujuan sementara. Persetujuan ini disesuaikan dengan kondisi produk kebudayaan tersebut tumbuh. Mengenai perubahan dalam kesenian dikemukakan pula oleh Ahimsa (2000:32) kecenderungan untuk melakukan perubahan pada suatu bagian atau unsur tertentu dari sebuah kesenian, merupakan perubahan yang dibimbing oleh nilai-nilai dalam masyarakat modern, yang isinya antara lain adalah kesukaan dan penghargaan pada realisme, efektivitas, efisiensi, dan kebaruan.

Tari Srimpi Pandhèlori yang telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI dan tetap eksis hingga masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X telah melewati berbagai ruang dan waktu. Perjalanan waktu tersebut menyebabkan banyak perubahan karena kondisi sosial dan politik yang juga berbeda. Tentu saja nilai-nilai, kesukaan, penghargaan, efektivitas, dan efisiensi membawa kebaruan terus menerus. Dengan demikian, permasalahan dalam tulisan ini adalah Bagaimana Tari Srimpi Pandhèlori bisa tetap eksis meskipun melewati berbagai ruang dan waktu? Adapun tujuan tulisan ini adalah untuk mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi pada tari Srimpi Pandhelori menggunakan

Penelitian yang secara khusus membahas tari Srimpi Pandhèlori ditulis oleh Gita Purwaning Tyas dalam bentuk tesis berjudul

Nilai Pendidikan Karakter dalam Ragam Gerak Tari Srimpi Pandelori di Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardhawa Kraton Yogyakarta tahun 2018. Menurut Tyas, tari Srimpi Pandhèlori memiliki makna dan nilai pendidikan yang tercermin dalam ragam gerak ditinjau berdasarkan teori makna dari Semiotika Pierce. Untuk menganalisis makna tersebut, Tyas membedah ragam gerak dan membuat catatan koreografi tari Srimpi Pandhèlori (Tyas, 2018). Catatan koreografi tersebut yang kemudian dapat menjadi rujukan penelitian ini untuk melihat bentuk koreografi Srimpi Pandhèlori pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X. Berdasarkan tulisan Gita Purwaning Tyas, dapat dilihat bentuk-bentuk koreografi tari Srimpi Pandhèlori pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X

Tari Srimpi Pandhèlori juga sempat disinggung dalam Laporan Penelitiani Percepatan Guru Besar (Pramutomo, 2019). Penelitian tersebut menyoroti tiga tari Srimpi yang berangkat dari cerita Menak Antara lain Srimpi Pandelori (Pandhelori), Srimpi Muncar, dan Srimpi Menak Lare. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan mengenai sumber penciptaan tari Srimpi Pandhèlori. Meskipun ada perbedaan dalam hal cerita peperangan, akan tetapi masuknya Serat Menak ke dalam tari Srimpi Pandhèlori dapat ditelusuri melalui penelitian Pramutomo. Dalam penelitian Pramutomo dikatakan bahwa perselisihan yang diangkat dalam tari Srimpi Pandhèlori adalah peperangan Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli. Akan tetapi dalam penelitian ini berdasarkan sumber-sumber lain yang juga relevan peperangan yang terjadi adalah Dewi Suradewati dengan Ngumyun Madikin (Pramutomo, 2010)

Makalah yang menuliskan mengenai perubahan tari klasik di Keraton Yogyakarta, telah ditulis oleh Kuswarsantya (KRT Condrowaseso) (Kuswarsantya, 2019). Dalam makalah tersebut disampaikan sejarah hingga perubahan yang terjadi dalam Beksan Lawung Ageng. Awalnya Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono, fungsi Beksan Lawung Ageng untuk simbol kekuatan bernuansa militeristik, namun sejak tahun 1766 hingga 1969 sebagai kelengkapan upacara ritual pernikahan putra-putri Sultan. Perubahan dan penambahan komponen dalam penyajian Lawung Ageng terjadi karena inovasi. Hal ini sejalan dengan perubahan yang terjadi pada tari Srimpi

(5)

Pandhèlori dari masa ke masa yang akan diteliti pada penelitian ini.

Perubahan mengenai tari keraton di Yogyakarta ditulis oleh Felicia Hughes. Buku tersebut mengupas tari keraton dalam konteks modernitas pasca-kolonial. Hughes menyoroti perubahan tersebut sebagai sebagai suatu hal yang bertransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui dimensi tekstual dan kontekstual. Perubahan tersebut tentunya berdampak pula pada perubahan tari Srimpi Pandhèlori (Hughes, 2008:368). Hasil paparan perubahan tari dalam buku ini dapat mendukung analisis perubahan bentuk pergelaran dalam tari Srimpi Pandhèlori.

Penelitian mengenai transit dan transisi dalam seni pertunjukan ditulis oleh Mei Artanto dalam tesis berjudul From Music Text to Performance: Studi Kasus Aransemen Musik Nyanyian Negeriku Karya Singgih Sanjaya pada tahun 2015. Konsep Transit dalam tesis tersebut terletak pada perpindahan sembilan lagu daerah ke dalam bentuk baru dan dengan nilai yang baru. Sembilan lagu daerah tersebut telah berpindah dari masing-masing daerahnya melewati batas geografis dan sosial. Perpindahan tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Oleh sebab itu perubahan makna dan nilai tersebut menghasilkan bentuk baru yang memiliki peran dan fungsi berbeda dengan lagu asalnya. Hal ini yang dianggap sebagai proses transisi sesuai pandangan Svasek (Artanto, 2015). Proses analisis transit dan transisi yang dilakukan oleh Artanto kemudian akan dilakukan pula untuk membedah transformasi pada tari Srimpi Pandhèlori pada penelitian ini.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan penelitian mengenai perubahan-perubahan pada tari keraton Yogyakarta sudah dibahas oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Akan tetapi penelitian secara khusus mengenai perubahan teks dan konteks yang dalam hal ini berkaitan pula dengan perubahan bentuk pergelaran pada tari Srimpi Pandhèlori belum dibahas. Adapun penelitian mengenai tari Srimpi Pandhèlori yang pernah dibahas masih berupa teks hasil rekonstruksi pada masa era Sri Sultan Hamengku Buwono IX berdasarkan gubahan akhir dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Perubahan pada masa selanjutnya belum ditemukan penelitiannya. Menganalisis perubahan dan penyebabnya dapat dilakukan

melalui teori transformasi yang juga digunakan dalam bentuk tari atau seni pertunjukan lain. Dalam hal ini, penelitian Artanto menjadi rujukan dalam pembedahan teori (lihat Artanto, 2015). METODE PENELITIAN

Untuk menelaah transit, transisi, dan transformasi yang terjadi pada tari Srimpi Pandhèlori maka digunakan metode etnokoreologi. Menurut Ahimsa-Putra (2007: 102), etnokoreologi adalah cabang dari disiplin koreologi atau cabang dari disiplin antropologi. Dalam etnokoreologi, penelitian mengenai tari tidak hanya dilihat dari tekstual saja, namun juga konteks. Kajian mengenai subtansi dalam etnokoreologi meliputi segala analisis teknis berkenaan dengan gerak tari, kemudian juga tradisi mengenai pemaknaan gerak, baik sebagai kode ‘bahasa’ maupun sebagai penanda gaya, karakter dan genre pertunjukan. Sedyawati juga menambahkan di luar dari teknik tari terdapat berbagai fungsi tari dalam kehidupan manusia (Sedyawati, 2014: 158).

Metode etnokoreologi relevan untuk diaplikasikan karena dapat menerapkan teori-teori dari berbagai disiplin. Hal ini sejalan dengan pendapat Soedarsono bahwa etnokoreologi mengombinasikan penelitian tekstual berupa analisis geraknya dan kontekstual seperti aspek kesejarahan, ritual, psikologi, pshisiognomi (fisiognomi), filologi, dan linguistik (Soedarsono, 2000). Dalam penelitian ini, etnokoreologi dipandang perlu digunakan, karena selain melibatkan penelitian antropologi juga melibatkan penelitian sejarah dan filologi untuk menggali data. Oleh sebab itu, maka langkah-langkah yang akan ditempuh sebagai berikut. 1. Observasi

Usaha pengumpulan data secara observasi dilakukan di wilayah Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Data yang dicari dapat berupa teks, pertunjukan, maupun tradisi lisan. Dalam observasi (pengamatan) selain melibatkan penglihatan, peneliti juga harus mencari pengalaman melalui kepekaan indra lainnya seperti pendengaran, penciuman, dan rasa. Mengalami senantiasa mengalir menuju kesadaran yang menubuh (emboidied cognition), yang mengikutsertakan proses mental

(6)

mengingat, memikirkan dan membayangkan (Simatupang, 2013: 75). Hal tersebut bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan terlibat (participant observation). Pengamatan terlibat dilakukan peneliti dengan mengikuti proses latihan dan pertunjukan.

2. Wawancara

Pada tahap ini pencarian data didapatkan melalui narasumber yang telah ditentukan dan berperan di lokasi penelitian. Data diperoleh dengan mengajukan beberapa pertanyaan menyangkut berbagai hal yang diperlukan sebagai data penelitian.

Tahap wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mendapat data berupa periode perubahan bentuk pergelaran yang belum ditulis pada penelitian-penelitian atau tulisan-tulisan sebelumnya. Selain itu, wawancara juga diperlukan untuk menggali sumber lisan menganai latar belakang perubahan tersebut. Wawancara yang dilakukan terdapat dua macam, yaitu wawancara tidak terarah dan terarah. Wawancara yang tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas santai, dan memberikan informan kesempatan sebesar-besarnya untuk memberikan keterangan yang ditanyakan. Wawancara semacam ini penting pada tahap pertama penelitian karena dapat memberikan keterangan umum dan seringkali juga keterangan-keterangan yang tidak terduga-duga, yang tidak akan dapat kita ketahui jika menanyakannya dengan wawancara terarah. Wawancara tidak terarah dilakukan untuk mendapat gambaran singkat mengenai tari Srimpi khususnya Srimpi Pandhélori yang berkembang di Yogyakarta.

Pada tahap berikutnya setelah kita mendapatkan gambaran umum mengenai bentuk tari yang hendak kita teliti, kita baru menggunakan wawancara terarah. Wawancara terarah adalah wawancara yang dilakukan secara terencana. Peneliti cenderung sudah menyiapkan daftar pertanyaan dan wawancara dilakukan secara sistematis. Wawancara terarah dilakukan pada penari-penari Srimpi Pandhélori yang sudah terdaftar sebagai abdi dalem golongan penari. 3. Studi Pustaka

Studi Pustaka cukup berkaitan erat dengan observasi. Pada langkah ini, dikumpulkan berbagai data informasi objek material baik dari hasil dokumentasi berupa visual, audio, audio visual maupun catatan-catatan yang menunjang. Catatan yang menunjang dapat berupa hasil-hasil penelitian dan catatan-catatan yang tersimpan dalam manuskrip kuno.

Manuskrip adalah naskah, baik tulisan tangan (dengan pena, pensil) maupun ketikan (bukan cetakan).5 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pada Bab III Pasal 5 disebutkan bahwa sebuah manuskrip dapat dikatakan kuno apabila minimal sudah berusia 50 tahun dan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan (Republik Indonesia, 2010). Dalam penelitian ini peneliti akan membaca dan mentranslitrasi manuskrip-manuskrip kuno yang berkaitan dengan tari Srimpi Pandhèlori di Perpustakaan Kridha Mardawa, Keraton Yogyakarta.

Kemudian studi pustaka mengenai dokumentasi audio visual didapatkan dari media-media sosial Keraton Yogyakarta yang menampilkan tari Srimpi Pandhèlori. Hal ini berguna untuk melihat bentuk gerak dan pola lantai secara lebih jelas. 4. Analisis Data

Selanjutnya untuk lebih mempertegas data pengamatan maka akan ditunjang dengan analisis teori transit dan transisi yang dikemukakan oleh Svasek. Transit menggambarkan perubahan lingkungan sosial, budaya, dan objek spasial yang dibentuk oleh individu sebelum dan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain (Svasek, 2012: 2). Dalam kasus ini, tari Srimpi Pandhèlori sebagai objek spasial mengalami perubahan melalui transit yang melibatkan individu-individu, baik dari segi pencipta, pelatih, penari, dan orang-orang yang berpengaruh di dalamnya. Mobilitas atau ‘transit’ adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai proses ketika orang-orang dan komponen-komponen objek menyeberang batas geografis, sosial, budaya yang bergerak melalui waktu dan ruang (Svasek, 2012:1).

Transisi mengidentifikasikan perubahan terkait

5 Manuskrip. https://kbbi.web.id/manuskrip. Diakses 3 Desember 2020.

(7)

transit dalam arti, nilai, dan keadaan emosional objek sebagai gambaran perubahan lokasi atau kepemilikannya (Svasek, 2012:5). Tari Srimpi Pandhélori sejak awal diciptakan hingga tahun 2021 mengalami banyak perubahan mulai dari bentuk gerak, lokasi pementasan, kostum, dan rias, hingga kepemilikan tari tersebut diduga mengalami perubahan pula. Perubahan ruang pementasan termasuk lokasi geografis dan kondisi sosial budaya menyebabkan perubahan pula dalam hal nilai, arti, dan keadaan emosional. Berdasarkan penelusuran melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka, batasan yang paling memungkinkan untuk menganalisis transit, transisi, dan transformasi tari Srimpi Pandhèlori adalah masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga Sultan Hamengku Buwono X. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk tari Srimpi Pandhèlori pada masa sebelum pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII belum ditemukan dokumentasinya sehingga ada keterbatasan dalam mencari data. Dokumentasi mengenai keberadaan tari Srimpi Pandhèlori pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI dan Sultan Hamengku Buwono VII sebatas penjelasan mengenai sejarah terbentuknya, sehingga narasi ini depan menjadi landasan dasar untuk menganalisis masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga Sultan Hamengku Buwono X.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bentuk Tari Srimpi Pandhèlori

Tari Srimpi Pandhèlori menjadi salah satu tari penyambutan apabila ada tamu keraton Yogyakarta. Pada tahun 1935, Sultan Hamengku Buwono VIII menghormati Gubernur Bijdvelt dengan tari Srimpi Pandhèlori yang ditampilkan di Bangsal Kencana dan Rumah Dinas Gubernur Yogyakarta (Pramutomo, 2010: 118).

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII tari Srimpi Pandhèlori mulai memiliki tema. Ada dua pendapat mengenai tema pada tari Srimpi Pandhèlori. Pendapat pertama menceritakan peperangan antara Dewi Kadarwati dan Umyum Madikin.6 Pendapat kedua mengatakan bahwa Srimpi Pandhèlori

6 Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi Kode Koleksi K 138 / B/S 17, di perpustakaan Krida Mardawa, Kera-ton Yogyakarta.

menceritakan peperangan antara Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli (Pramutomo, 2019:20). Pramutomo mengatakan bahwa Srimpi Pandhèlori menceritakan peperangan antara Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli berdasarkan Manuscript 407 (t.t.) dari K.H.P. Kridha Mardawa. Akan tetapi berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, penelitian ini menggunakan pendapat yang pertama.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tari Srimpi Pandhèlori antara lain gerak, properti, musik pengiring, tata rias, dan busana. Hal-hal tersebut selain dipengaruhi oleh kondisi penari, dipengaruhi pula oleh sudut pandang penonton pergelaran. Saling memeengaruhi ini yang kemudian menjadi suatu interaksi antara penyaji dan penonton. Interaksi lain dapat dilihat pula pada tempat pementasan.

a. Gerak

Seperti halnya kelompok tari putri baik bedhaya maupun srimpi lainnya, tari Srimpi Pandhèlori memiliki dua bagian utama yang dibingkai dengan kapang-kapang.

Bagian pertama pada tari putri baik Srimpi maupun Bedhaya merupakan abstrak yang mengandung makna moral dan filosofi. Bagian kedua juga abstrak namun diiringi oleh lagu dari suatu narasi, seringnya Serat Menak. Hampir semua tarian pada bagian kedua merupakan perang keris antara dua penari utama, meskipun kadang-kadang juga dipakai busur dan anak panah (Hughes, 2008: 55).

Pada tari Srimpi Pandhèlori perang keris dilakukan oleh keempat penari atau yang biasa disebut sebagai satu rakit dibagi menjadi dua bagian. Masing-masing bagian terdiri dari dua orang (sepasang penari) yang melakukan gerakan perangan. Bagian-bagian tersebut dapat dilihat dari ragam gerak yang dilakukan penari.

Secara umum, tari Srimpi Pandhèlori memiliki desain lantai yang tidak jauh berbeda dengan desain lantai tari Srimpi pada umumnya. Menurut Widaryanto (2019: 54), dalam tari Srimpi, interaksi tubuh menuju ke cardinal point (empat arah mata angin). Hal ini merepresentasikan posisi sultan yang melindungi dirinya dengan fenomena cardinal point dengan pancer (pusatnya) berada di Keraton Yogyakarta. Masing-masing penari sebagai pusat cardinal

(8)

point juga beberapa kali melengkapi arah hadap tubuhnya untuk memperoleh keseimbangan relasi antara Sultan sebagai Dewaraja dan lingkungan yang pada hakikatnya adalah hubungan antar manusia dan bumi.

b. Properti

Pada salah satu manuskrip yang berisi catatan koreografi tari Srimpi Pandhèlori, disebutkan bahwa properti yang digunakan oleh tari Srimpi Pandhèlori adalah dhuwung (keris) dan jemparing. Dhuwung adalah padanan kata dari kata keris. Kata dhuwung umumnya dianggap lebih halus dan lebih sopan dibanding dengan kata keris (Hasrinuksmo, 1988:67).

Naskah yang berisi catatan koreografi tari Srimpi Pandhèlori merupakan catatan dari sekolah tari Pakempalan Kridha Beksa Wirama pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII. Menurut Lindsay, dkk. (1990:37) pada sampul naskah tertulis 29 Agustus 1939. Penggunaan dhuwung dituliskan di salah satu ragam dalam catatan tersebut, yaitu Gong sadhawah, mongkèk ngunus dhuwung. Selain itu disebutkan pula penggunaan jemparing pada ragam yang ditulis Ongkèk trus mlampah ngembat jemparing.7

Selain dhuwung dan jemparing properti yang pada Tari Srimpi Pandhèlori digunakan pula jebeng (tameng) dan pistol (Lindsay, dkk, 1990: 37). Penggunaan pistol pada tari Srimpi Pandhèlori dapat dilihat di hasil rekonstruksi Fakultas Kesenian, Institut Seni Indonesia pada tanggal 18 Desember 1986. Menurut Listyani (1990:37) rekonstruksi tersebut berdasarkan pada gubahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Akan tetapi setelah hasil rekontruksi tersebut dipentaskan, sudah tidak lagi terlihat tari Srimpi Pandhèlori yang menggunakan properti pistol terutama di kalangan Keraton Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, properti yang senantiasa digunakan adalah keris atau dhuwung. Akan tetapi pada tanggal 23 Maret 2020, Keraton Yogyakarta mengadakan Uyon-Uyon Hadiluhung yang menampilkan tari Srimpi Pandhèlori. Pada pergelaran tersebut, properti yang digunakan adalah keris dan jêbêng. Keris dan jêbêng

7 Pengetan Beksan Warna Warni Gadhahanipin Kridha Beksa Wirama, kode K. 149 / B/S 28, Perpustakaan Krida Mardawa Keraton Yogyakarta, 25-29.

digunakan saat bagian perangan. Selama dua properti tersebut tidak digunakan, keris disimpan dengan cara diselipkan di pinggang penari dan jêbêng dibawa oleh empat orang penari cilik yang disebut dhudhuk.

Dari masa ke masa, properti yang digunakan selalu keris. Meskipun penggunaan keris cukup lumrah dalam beberapa tari Srimpi, namun pada tari Srimpi Pandhèlori hal ini cukup relevan dengan makna Pandhèlori. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa di dalam kamus bahasa Jawa, pandhè mengandung arti pandai besi dan lori mengandung arti gada berukuran kecil. Penggunaan keris dan berbagai senjata yang digunakan pada tari Srimpi Pandhèlori dilakukan saat beksan perangan.

c. Musik Pengiring

Tari Srimpi Pandhèlori diiringi oleh seperangkat gamelan laras pelog dengan iringan Gendhing Pandhèlori. Disebutkan oleh Kusumaningrum (2015:8) dalam Laporan Tugas Akhir ISI Yogyakarta, Gendhing Pandhèlori adalah gending yang termasuk ke dalam gendhing tengahan. Gendhing tengahan merupakan salah satu jenis gending dalam karawitan Jawa. Dalam karawitan Jawa, Sumarsam (2003:101) mengatakan, gending dibedakan menjadi tiga berdasarkan irama kendangnya antara lain Gendhing Ageng (besar), Gendhing Madya (tengahan), Gendhing Alit (kecil).

Selain iringan gamelan dalam tari Srimpi Pandhèlori, terdapat pula iringan musik Eropa seperti terompet. Slompret (terompet) dan tambur adalah alat musik Eropa yang biasa disebut musikan, suatu istilah yang berasal dari kata bahasa Belanda muzikant (musikus, musisi, pemusik, yang secara spesifik mengacu pada rombongan keliling musik Eropa) (Sumarsam, 2016: 101). Suatu jenis komposisi gamelan yang memadukan instrumen musik Eropa ke dalam gamelan dinamakan Gendhing Mares (dari kata Belanda mars). Selanjutnya, Sumarsam juga mengatakan Gendhing Mares muncul sebagai akibat ketertarikan musisi-musisi keraton Yogyakarta untuk memadukan elemen Eropa dalam gamelan. Gendhing Mares biasa dimainkan dengan tempo lambat untuk mengiringi masuk dan keluarnya tari putri keraton yang paling halus, yaitu Bedhaya dan Serimpi (Srimpi). Penggunaan Gendhing Mares pada tari Srimpi

(9)

Pandhèlori ditulis dalam manuskrip berjudul Serat Kandha Bedhaya Srimpi.8

“Punika pémut lampahipun kalangênan Dalêm srimpi kadarwati, ingkang rumiyin lagon barang sawilêt, nuntên gêndhing marén [marés] pêngantén mungêl, srimpi miyos, sarêng sampun wontên Ngarsa Dalêm, ingkang gêndhing suwuk, tumuntên lagon barang, sak dumugénipun ing wilêt, lajêng kawin sêkar mégatruh kalih pada”. Artinya: “Ini sebuah catatan langkah-langkah Pagelaran Klangenan Dalem Srimpi Kadarwati, yang pertama dimulai dengan Lagon Barang Sawilet. Kemudian disusul Gending Maren [Mares] Penganten, Srimpi Miyos. Setelah berada di hadapan Ngarsa Dalem, gending berhenti, suwuk, dilanjutkan lagon Barang sampai selesai, disambung dengan kawin sekar Megatruh dua bait”.

“Gongsa nuntên suwuk, amawi lagon barang sak wilet, ingkang srimpi tumuntên mundur, gêndhing marés kumêncar, sarêng ingkang gêndhing kondél, mawi lagon sak dumugénipun ing wilêt”.

Artinya: “Ketika gamelan berhenti, suwuk, disambung dengan lagon Barang sampai selesai. Srimpi kemudian kondur, gending yang mengiringnya Mares Kumencar. Setelah gending berhenti, diteruskan lagon sampai selesai satu wilet”.

d. Tata Rias dan Busana

Dalam laman resmi Keraton Yogyakarta ditulis, penari Srimpi Pandhèlori menggunakan rias jahitan dengan sanggul gelung sinyong yang diberi motif hiasan bunga melati. Rias jahitan merupakan istilah jenis rias mata pada tata rias tradisional Yogyakarta. Jahitan dibentuk sedemikian rupa sehingga bentuk mata terlihat lebih tajam, dan sangat jelas terlihat jika melirik ke kanan atau ke kiri. Dengan riasan seperti itu memaksa orang untuk bersikap tenang, berpandangan lurus ke depan (Sunaryadi, 2013:

8 Serat Kandha Bedhaya Srimpi, Kode W.8 B/S 50, Koleksi Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yog-yakarta, (Alih Aksara dan Alih Bahasa oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016).

274). Rias jahitan ini mirip dengan rias jahitan yang digunakan oleh pengantin Yogyakarta. Dalam rias pengantin Yogyakarta rias jahitan sebagai simbol untuk memperjelas mata agar berfungsi sebagai penyaring dalam penglihatan. Sri Rahayu dan Yohanes Hanan Pamungkas mengatakan, mata menjadi sorotan karena diharapkan mampu membedakan hal yang baik dan yang buruk, kemudian dinalar dengan akal pikiran dan dapat dijadikan pegangan yang kuat selama hidup (Rahayu dan Pamungkas, 2014). Busana pada tari Srimpi Pandhèlori sama seperti tari Srimpi gaya Yogyakarta lain pada umumnya. Busana tersebut terdiri dari baju rompi dan kain panjang dengan motif batik khas Yogyakarta. Supriyanti (1997) mengatakan penggunaan rompi pada tari Srimpi dimulai pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Busana semacam ini yang masih digunakan saat menampilkan tari Srimpi Pandhèlori hingga saat ini.

Membahas mengenai busana, tentu tidak dapat lepas dari aksesori pendukung. Aksesori pendukung tari Srimpi Pandhèlori dipakai pada beberapa anggota tubuh, seperti kepala, leher, dan lengan tangan. Penggunaan aksesori selain menambah nilai estetika juga mengandung makna filosofi tertentu. Aksesori tersebut antara lain, jamang, kelat bahu, kalung sungsun, dan gelang.

Aksesori penari Srimpi Pandhèlori pada bagian kepala berupa jamang. Rambut penari akan ditata menggunakan gelung sinyong. Gelung sinyong berbentuk persegi empat yang dibuat dari bahan tipis berwarna hitam kemudian diisi dengan dakron. Sepintas bentuk gelung sinyong mirip dengan bentuk bantal versi sangat kecil. Sama seperti halnya penggunaan rompi, penggunaan jamang yang dilengkapi dengan bulu terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII.

Selain bulu, pelengkap lain pada penggunaan jamang di aksesori kepala adalah cundhuk mentul, godhék, sumping ron, pethat, dan giwang. Cundhuk mentul adalah aksesori terbuat dari kuningan berornamen bunga dipasang di atas sanggul. Di dalam Baoesastra Jawa dikatakan bahwa godhég adalah rambut yang ada di pipi. Godhég selain sebagai aksesori juga berfungsi sebagai pelengkap tata rias. Menurut Arifiana (2011:63) godhég berbentuk mangot atau pangot (nama sejenis pisau ujungnya

(10)

melengkung ke bawah). Rambut penari tidak memungkinkan untuk dibentuk seperti pangot, sehingga dibutuhkan aksesori tambahan untuk menunjang tata rias agar seolah-olah rambut penari terlihat membentuk pangot. Sumping Ron adalah hiasan telinga dengan ornamen berbentuk daun (Soedarsono, 2007: 455). Biasanya sumping ron terbuat dari kuningan atau kulit.

Pada bagian leher penari, menggunakan kalung yang bersusun tiga (sangsangan sungsun). Bentuk dari kalung tersebut berupa tanggalan atau bulan sabit. Susunan tiga ini merupakan lambang dari tiga tingkatan kehidupan manusia, dari lahir, kawin, dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara, dan alam fana, atau antara jagad cilik, jagad gedhe, dan jagad gumelar (Sunaryadi, 2013: 274).

Aksesori yang digunakan oleh penari Srimpi Pandhèlori pada bagian pinggang adalah sondhèr (selendang) motif cindhe dan slepe. Sondhèr bukan hanya sebagai penambah keindahan dalam busana tari Srimpi Pandhèlori namun juga sebagai pelengkap gerak. Sondhèr digunakan dengan diikat di pinggang kemudian ditambahkan slèpè setelahnya. Slépé adalah ikat pinggang yang terbuat dari kulit atau kuningan berwarna kuning keemasan.

Pada bagian lengan penari Srimpi Pandhèlori digunakan kelat bahu yang ujungnya membentuk replika kepala naga. Di dalam buku cetakan lama yang berjudul Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Wibowo (1913:166) mengatakan kelat bahu ini disebut Nagamangsa (naga makan). Menurut pengertian orang Jawa naga merupakan lambang kemakmuran. Naga adalah makhluk mitologi yang diyakini memiliki tempat tersendiri di Keraton Yogyakarta. Naga juga merupakan simbol berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun 1755 Masehi (Jawa: 1682) yang dilukiskan dalam sengkalan memet berbentuk dua ekor ular naga berwarna hijau (sebagai simbol ketenangan dan ketenteraman) yang saling berlilitan ekornya (dwi naga rasa tunggal) (Sunaryadi, 2013: 274).

Di bagian pergelangan tangan, aksesori yang dipakai oleh penari Srimpi Pandhèlori adalah sepasang gelang yang disebut juga kana. Kata kana berasal dari kanaka. Seperti yang ditulis dalam Baoesastra Jawa, kanaka artinya emas. Gelang kana berbentuk melingkar tanpa batas

ujung pangkalnya mempunyai makna keabadian dan kesetiaan (Sunaryadi, 2013: 274).

2. Transit, Transisi, Transformasi Tari Srimpi Pandhèlori

Tari Srimpi Pandhèlori, yang tergolong sebagai tari tradisi senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam hal ini tradisi dapat diartikan sebagai produk seni yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Selaras dengan pendapat Simatupang (2013: 13), tradisi dipakai untuk menunjuk pada hal-hal yang keberadaannya diyakini telah diturunkan dari generasi ke generasi, biasanya tiga generasi. Tari Srimpi Pandhèlori diciptakan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI. Kemudian tari ini dilestarikan di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII. Setelah melewati masa pemerintahan yang berbeda-beda dan waktu panjang yang dilalui. Tari Srimpi Pandhèlori mengalami banyak perubahan pula. Dari semula yang tidak memiliki tema menjadi memiliki tema. Kemudian terjadi perubahan terhadap busana, tempat pementasan dan durasi tarian. Dalam hal ini dapat dimaklumi karena di dalam seni pertunjukan khususnya tari, transformasi atau perubahan memiliki sifat sementara. Jika digambarkan dalam diagram maka struktur kerjanya sebagai berikut.

Gambar 1. Proses Transit, Transisi, dan Transformasi Tari Srimpi Pandhelori Keterangan:

Tari Srimpi Pandhèlori mengalami transit dan transisi. Transit dan transisi adalah dua hal yang saling berkaitan. Keduanya menghasilkan

(11)

transformasi bentuk pergelaran tari Srimpi Pandhèlori.

Pandangan mengenai transit, transisi, dan transformasi pada Tari Srimpi Pandhèlori dapat dilihat mulai dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII. Untuk mempermudah penelusuran perhatikan tabel 1.

Tabel 1. Sejarah perkembangan Tari Srimpi Pandhèlori

Masa

Pemerintahan Keterangan

HB VIII (1921-1939) 1. Tema yang digunakan masih mengikuti masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII berupa cerita peperangan antara Dewi Kadarwati dan Umyum Madikin.

2. Digubah oleh HB VIII menjadi lebih singkat. 3. Tempat Pertunjukan

dilakukan di pendhapa. 4. Ditampilkan saat

Jumenengan Sultan dan penyambutan tamu besar di Yogyakarta. 5. Properti yang digunakan

berupa keris dan

jemparing.

HB IX (1940-1988) 1. Tema yang digunakan masih mengikuti pada masa pemerintahan sebelumnya.

2. Direkonstruksi oleh Fakultas Kesenian ISI pada tanggal 18 Desember 1986, memakan waktu 45 menit.

3. Pertunjukan dilakukan di

pendhapa dan panggung proscenium.

4. Ditampilkan saat penyambutan tamu dan misi budaya.

5. Properti yang digunakan berupa pistol. Selain pistol terdapat empat buah meja yang digunakan sebagai tempat meletakkan empat buah pistol yang dibawa oleh penari.

Masa

Pemerintahan Keterangan

HB X (1989-saat

ini) 1. Tema yang digunakan masih mengikuti pada masa pemerintahan sebelumnya.

2. Direkonstruksi dan ditampilkan oleh KHP Krida Mardawa, Keraton Yogyakarta pada 22 Maret 2021

3. Pertunjukan dilakukan di

pendhapa dan panggung proscenium.

4. Ditampilkan saat penyambutan tamu, Misi Budaya ke luar negeri, paket Pariwisata Keraton Yogyakarta, dan panggung hiburan rakyat seperti Festival Kesenian Yogyakarta.

5. Properti yang digunakan berupa keris dan

jemparing.

Analisis mengenai transit menurut Svasek berkaitan dengan waktu dan ruang. Pergerakan waktu dan ruang pada Srimpi Pandhèlori dapat dilihat dari keberadaannya yang melewati berbagai masa mulai dari pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga Sultan Hamengku Buwono X. Waktu juga dapat diidentifikasikan dengan durasi pergelaran. Durasi tari yang semula dilakukan sepanjang 50 menit kemudian berkurang menjadi 20 menit bahkan di situasi tertentu ada yang hanya 10 menit. Hal ini berkaitan dengan ruang yang melingkupi tari tersebut. Dalam pergelaran, waktu, ruang, suara, cahaya, gerak, ucapan, benda, dan hal-hal lain yang hadir dalam peristiwa pergelaran diatur sedemikian rupa sebagai sarana pembentuk ketidakbiasaan (Simatupang, 2013: 65).

Ruang dalam hal ini dapat dikatakan pula dengan tempat dan lokasi pementasan. Pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII pementasan tari Srimpi Pandhèlori terbatas di lingkungan keraton dan tempat penting pemerintahan Yogyakarta. Latar ruang yang digunakan saat membawakan tari Srimpi Pandhèlori adalah pendhapa dengan empat tiang penyangga. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX tari Srimpi Pandhèlori sempat dibawakan di luar Indonesia untuk misi budaya. Hal ini berlangsung

(12)

pula hingga masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X. Sejauh itu pementasan tari Srimpi Pandhèlori dapat dikatakan selalu dilakukan di tempat-tempat elit dan ditonton oleh orang-orang dengan pangkat tertentu. Ruang dalam hal ini dapat pula diidentifikasikan dengan lokasi. Perubahan lokasi secara otomatis mengubah pula letak geografis pergelaran tari Srimpi Pandhèlori.

Perbedaan lokasi seperti ini yang menyebabkan durasi pementasan tari Srimpi Pandhèlori juga berbeda-beda. Contohnya pada durasi gerak kapang-kapang. Luas lokasi pementasan dan jarak pintu masuk menentukan seberapa lama kapang-kapang dilakukan. Semakin jauh jaraknya maka akan semakin lama durasi kapang-kapang. Kemudian pada bagian pembacaan kandha juga sangat memengaruhi durasi pementasan. Pembacaan kandha yang biasanya memakan waktu lebih dari sepuluh menit tidak dilakukan pada beberapa lokasi pementasan. Hal-hal seperti ini berkaitan pula dengan penonton yang menyaksikan.

Svašek (2012) berpendapat bahwa berkaitan dengan transit, dinamika emosional adalah bagian tak terpisahkan dari proses transit. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga Sultan Hamengku Buwono X mengalami kondisi politik yang berbeda sehingga mempengaruhi dinamika emosional individu-individunya. Hal ini mempengaruhi pula kepemilikan tari Srimpi Pandhèlori. Simatupang (2013: 68) mengatakan terbangun atau runtuhnya peristiwa pergelaran juga ditentukan oleh keterlibatan partisipan pergelaran selain penyaji. Melihat hal tersebut, pemerintah baik di dalam keraton maupun lembaga kenegaraan sebagai partisipan selain penyaji pergelaran menjadi salah satu penentu terbangun atau runtuhnya termasuk perubahan yang terjadi pada tari Srimpi Pandhèlori.

Jika dilihat dari perjalanannya, maka transit tari Srimpi Pandhèlori terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Ketika masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII tari Srimpi Pandhèlori telah mengalami perkembangan yang signifikan terutama dalam hal penyebarannya di lingkungan luar Keraton Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwon VIII pula sistem pencatatan tari Srimpi Pandhèlori telah dilakukan. Catatan tersebut digunakan oleh

Krida Beksa Wirama sebagai tuntunan gerakan tari Srimpi Pandhèlori.

Tari Srimpi Pandhèlori mengalami perubahan besar-besaran pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Perubahan tersebut terdiri dari durasi pementasan dan kostum yang digunakan. Sebelumnya tata busana dan riasan penari Srimpi Pandhèlori awalnya mengacu pada busana paès ageng seperti yang diterapkan pada pengantin putri lengkap dengan gelung bokor dan paès prada. Kemudian busana tersebut mulai berubah menjadi berupa baju rompi dengan sulam bordir keemasan, ditambah dengan aksesoris berupa jamang dengan hiasan bulu burung kasuari, kelat bahu, sabuk, dan sinjang pola seredan. Penari menggunakan rias jahitan dengan sanggul gelung sinyong yang diberi motif hiasan bunga melati.9

Setelah berkembang di masyarakat luar keraton, perkembangan tari Srimpi Pandhèlori masa Sultan Hamengku Buwono VIII semakin meluas ke luar Yogyakarta. Pada tahun 1935 G.R.Ay. Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani dan beberapa kerabatnya dari Pura Pakualaman mempelajari tari ini di Krida Beksa Wirama (Prabowo, dkk. 2007: 47).

Hingga masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII tari Srimpi Pandhèlori terus-menerus mengalami perubahan dan perkembangan. Demikian pula pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988), seni pertunjukan keraton kembali mengalami banyak perubahan termasuk tari Srimpi Pandhèlori yang semula digelar dengan durasi waktu lebih dari satu jam dipadatkan hingga 30 menit.10

Perubahan-perubahan situasi yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX juga membawa perubahan pada pelembagaan di dalam keraton sendiri, termasuk pelembagaan seni tari. Menurut Hadi (2007b) pelembagaan seni tari pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX dibagi menjadi tiga periode.

Periode pertama antara tahun 1940-1950,

9 Srimpi Pandhelori. https://www.kratonjogja.id/ kagungan-dalem/24/srimpi-pandhelori. diakses 1 Januari 2020

10 Srimpi Pandhelori https://www.kratonjogja.id/ kagungan-dalem/24/srimpi-pandhelori. diakses 1 Januari 2020

(13)

ditandai dengan keterlibatan peristiwa perjanjian politik antara Sultan dengan pihak Belanda akibat Perang Dunia II (Hadi, 2007b: 47). Sultan Hamengku Buwono VIII disinyalir mendukung pendudukan Belanda dan mewariskan perjanjian politik dengan pihak Belanda. Hal ini mengakibatkan tekanan-tekanan di dalam keraton pada awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Saat itu keadaan ekonomi keraton memburuk. Hadi (2007b) juga mengatakan pada saat itu Sultan meminta para abdi dalem berhenti bekerja karena pihak keraton tidak mampu menggaji termasuk membuat seni pertunjukan yang terlalu mahal disederhanakan. Pada periode ini, disinyalir kekuasaan keraton sesungguhnya ada di tangan pejabat Belanda. Segala kebijakan yang diambil oleh Sultan Hamengku Buwono VIII ada di bawah bayang-bayang Belanda.

Periode kedua terjadi kevakuman kegiatan pelembagaan tari yang ada di dalam keraton, antara tahun 1950-1973. Pada periode tersebut, setahun setelah penarikan mundur tentara Belanda dari Kota Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX masih dibebani tanggung jawab oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam Kabinet Hatta II dan Kabiner RIS Sultan Hamengku Buwono IX sempat menjadi Menteri Pertahanan. Wakil Perdana Menteri, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri Koordinator Pembangunan, dan kemudian Menteri Ekonomi, Keuangan dan Industri, hingga Wakil Presiden R.I. periode tahun 1973-1978 (Hadi, 2007b: 56).

Hadi (2007a) juga menambahkan jika pada periode kedua pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, kegiatan tari atas nama keraton seperti tingalan dalem atau ulang tahun raja, adeging negari dalem atau memperingati berdirinya keraton diselenggarakan di Dalem Purwodiningratan. Tempat tersebut merupakan rumah milik salah satu menantu Sultan Hamengku Buwono VIII bernama K.R.T. Purwodiningratan. Kegiatan tersebut dikelola oleh organisasi atau pelembagaan tari yang dibentuk oleh keraton bernama Bebadan Among Beksa Keraton Yogyakarta. Pelembagaan tari ini semenjak tahun 1978 berubah nama menjadi Yayasan Siswo Among Bekso (Wibowo, 1981: 127).

Pada periode ini proses transisi tari Srimpi Pandhèlori Terjadi. Transisi mengidentifikasikan perubahan terkait transit dalam arti, nilai, dan

keadaan emosional objek sebagai gambaran perubahan lokasi atau kepemilikiannya (Svasek, 2012: 5). Kegiatan tari di luar keraton ini cukup berarti bagi masyarakat luas, karena secara umum masyarakat lebih terbuka atau bebas mendapatkan kesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan tari berupa latihan-latihan maupun pentas, tanpa harus terlibat sebagai abdi dalem di dalam keraton (Hadi, 2007: 57). Pada periode ini dapat dikatakan hampir tidak ada kegiatan pelembagaan pertunjukan tari di dalam keraton. Artinya dalam hal ini, kepemilikan tari Srimpi Pandhelori bukan hanya di dalam lingkup keraton saja.

Selain Bebadan Among Beksa Keraton Yogyakarta, pelembagaan tari di luar keraton Yogyakarta yang menyelenggarakan pendidikan tari klasik gaya Yogyakarta adalah organisasi Mardawa Budaya. Menurut Suharto (1988) organisasi tersebut dibentuk pada tahun 1960. Penggagasnya adalah R.R. Sasmintadipura, salah satu tokoh penting dalam tari Jawa gaya Yogyakarta. Astuti (1999) mengatakan sebelum membentuk organisasi Mardawa Budaya, pada tahun 1951, R.R. Sasmintadipura menciptakan sendiri tari Srimpi Pandhèlori. Siti Sutiyah Sasmintadipura berpendapat bahwa tari Srimpi Pandhelori yang digagas oleh R.R. Sasmintadipura adalah tari Srimpi Pandhèlori yang masih kerap dilestarikan dan ditarikan di lingkungan Keraton Yogyakarta.11

Periode ketiga tahun 1973-1989 atas perintah atau restu Sultan Hamengku Buwono IX, melalui Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa yang saat itu dipimpin oleh Pangeran Benawa (adik Sultan), sejak tahun 1973 digiatkan kembali latihan tari di dalam Cepuri Keraton (Hadi, 2007: 59). Usaha penyebarluasan atau pemasyarakatan kesenian keraton tidak terbatas di lingkungan wilayah Yogyakarta saja, tetapi mulai dikenalkan ke kawasan Nusantara bahkan Mancanegara. Pada tahun 1971, Sultan mengirim misi kesenian ke negara-negara di Eropa, tahun 1973 ke Hongkong dan Jepang, kemudian tahun 1975 kembali ke negara-negara Eropa terutama ke Belanda. Mulai masa ini bentuk-bentuk produknya disesuaikan dengan kebutuhan pasar, seperti waktu, tempat, jumlah pendukung maupun jenis-jenis nomor pertunjukannya.

11 Hasil wawancara dengan Siti Sutiyah R.R. Sasmintadi-pura pada 1 Maret 2019

(14)

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Srimpi Pandhèlori mengalami interpretasi ulang dan digunakan sebagai salah satu materi pembelajaran tari putri di K.H.P. Kridhomardowo Keraton Yogyakarta (Hadi, 2007:59). Di dalam lingkup keraton sendiri, belum ditemukan pencatatan tari dan dokumentasi tari Srimpi Pandhélori pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX.

Di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X tradisi pelembagaan tari di lingkungan keraton Yogyakarta mengikuti pelembagaan tari pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Keraton sudah menemukan unsur penting yang menjadi identitas tari Srimpi Pandhèlori gaya Yogyakarta. Tari Srimpi Pandhèlori menjadi materi wajib latihan tari yang dilaksanakan hari Minggu pagi di Bangsal Ksatrian, Keraton Yogyakarta. Tari Srimpi Pandhèlori juga bebas dipentaskan di berbagai acara.

Meskipun pada tahun 2001 pelatihan tari di Bangsal Ksatrian sempat berhenti namun Paguyuban Kridha Mardawa sebagai salah satu lembaga kesenian milik Keraton Yogyakarta kembali membuka kelas pelatihan tari Yogyakarta klasik untuk umum mulai 3 Maret 2013 setelah vakum selama 12 tahun.12 Dapat dikatakan bahwa dalam rentang tahun 2001 hingga tahun 2013 terjadi transisi kembali pada tari Srimpi Pandhelori. Pembukaan kelas ini merupakan inisiatif keraton khususnya setelah Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta disahkan.13

Di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X setelah tahun 2013 dipastikan tari Srimpi Pandhèlori sudah tidak lagi menjadi tontonan kalangan tertentu. Terbukti pada tahun 2016 tari Srimpi Pandhèlori ditampilkan di Festival Kesenian Yogyakarta dengan penonton masyarakat Yogyakarta secara umum. Lokasi ruang pementasannya juga berbeda, yaitu di Tebing Breksi, salah satu tempat pariwisata di Provinsi D. I. Yogyakarta.

Proses transit pada tari Srimpi Pandhèlori terjadi

12 Keraton Yogya Buka Lagi Kelas Tari Klasik. https:// travel.tempo.co/read/464860/keraton-yogya-bu-ka-lagi-kelas-tari-klasik/full&view=ok. diakses pada 3 Desember 2020.

13 Keraton Yogya Buka Lagi Kelas Tari Klasik. https:// travel.tempo.co/read/464860/keraton-yogya-buka-la-gi-kelas-tari-klasik/full&view=ok. Diakses 3 Desember 2020.

pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga awal masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Hal ini ditandai dengan perubahan pementasan dan lokasi latihan dari Yogyakarta ke luar Yogyakarta. Tentu saja apabila perubahan lokasi pementasan ini membawa perubahan pula pada perubahan ruang.

Di masa pertengahan kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX terdapat transisi yang ditandai dengan vakumnya lembaga tari di dalam Keraton Yogyakarta. Pada proses transisi, analisis proses perubahan terkait transit dalam hal makna, nilai, dan status objek tersebut, serta bagaimana orang mengalaminya yang diubah oleh proses tersebut. (Svasek. 2007:4) Pada masa ini makna dan nilai tari Srimpi Pandhèlori sudah tidak seeksklusif masa sebelumnya. Semenjak Yogyakarta menjadi satu dengan Republik Indonesia, maka tari Srimpi Pandhèlori sudah bukan lagi ekslusif milik keraton Yogyakarta atau sebatas masyarakat Yogyakarta, namun juga menjadi milik negara. Hal ini dibentuk oleh orang-orang yang mengalaminya, yaitu penyaji dan penonton.

Svasek (2012:5) mengatakan konsep transformasi merujuk pada respon emosional pada subjek manusianya sebagai akibat dari perubahan transit dan transisi, khususnya dalam hal status, pembentukan identitasm dan subjektifitas emosional pemilik budaya. Tari Srimpi Pandhèlori bertransformasi dan menemukan identitasnya pada masa akhir pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX hingga saat ini.

Hal ini semakin dilegitimasi dengan tercatatnya karya budaya Tari Srimpi Pandhèlori sebagai warisan budaya tak benda Indonesia di laman Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019. Kemudian pada tahun 2020 tari Srimpi Pandhèlori diajukan penetapan warisan budaya di tempat yang sama. Apabila penetapan tersebut sudah diterima ada kemungkinan tari Srimpi Pandhèlori diajukan menjadi bagian dari ICH UNESCO.

KESIMPULAN

Tari Srimpi Pandhèlori merupakan tari klasik yang berasal dari Yogyakarta. Tari ini merupakan salah satu dari sekian banyak genre tari Srimpi yang berkembang di keraton-keraton penerus

(15)

dinasti Mataram. Berdasarkan pengamatan, tari Srimpi Pandhèlori mengalami transformasi atau perubahan. Transformasi tari Srimpi Pandhèlori kemudian dijabarkan lagi menggunakan teori transit, transisi, dan transformasi yang dikemukakan oleh Svasek.

Transit pada tari Srimpi Pandhèlori terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Di masa pertengahan kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX terdapat transisi yang ditandai dengan vakumnya lembaga tari di dalam Keraton Yogyakarta. Kemudian bertransformasi dan menemukan identitasnya pada masa akhir pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX hingga saat ini.

Tari Srimpi Pandhèlori dari masa ke masa diduga mengalami perubahan kepemilikan. Lokasi penampilan tari Srimpi Pandhèlori pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII hingga Sultan Hamengku Buwono X dilakukan di berbagai tempat, mulai dari keraton hingga mancanegara.

Tari Srimpi Pandhèlori yang awalnya hanya milik keraton Yogyakarta berubah kepemilikan menjadi milik masyarakat Yogyakarta secara umum. Seiring dengan pencatatan tari Srimpi Pandhèlori di laman Warisan Budaya Tak Benda tari ini juga menjadi milik masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Apabila penetapan sebagai warisan budaya tak benda telah diterima maka ada kemungkinan diajukan ke ICH UNESCO. Dengan demikian kepemilikan tari Srimpi Pandhèlori menjadi warisan budaya milik masyarakat dunia yang berasal dari Yogyakarta. SARAN

Bentuk tari Srimpi Pandhèlori yang ada pada saat ini belum tentu mutlak dan tidak berubah di kemudian hari. Melihat sejarahnya, peran pemerintah dan kekuasaan memungkinkan perubahan kembali pada bentuk pergelaran tari Srimpi Pandhèlori. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lanjutan untuk semakin memperkuat status tari Srimpi Pandhèlori sebagai warisan budaya tak benda.

PUSTAKA ACUAN

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2000). Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press. _______. (2007). Etnosains untuk Etnokoreologi

Nusantara. dalam Etnokoreoogi Nusantara (Batasan Kajian, Sistematika, Dan Aplikasi Keilmuannya). Surakarta: ISI Press.

Arifiana, Deny. 2011. Busana Tari Srimpi Renggawati pada Masa Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dalam Konteks Ritual di Keraton Yogyakarta. Tesis Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Artanto, Mei. (2015). From Music Text to Performance: Studi Kasus Aransemen Musik Nyanyian Negeriku Karya Singgih Sanjaya. Tesis. Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Astuti, Budi. (1999). Karya Tari K.R.T. Sasmintadipura, dalam Rama Sas Pribadi, Idealisme, dan Tekadnya, Yogyakarta: Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa.

Hadi, Y. Sumandiyo. (2007a). Kajian Tari Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. ________. (2007b). Pasang Surut Pelembagaan

Tari Klasik Yogyakarta. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Hasrinuksmo, Bambang. (1988). Ensiklopedi Budaya Nasional Keris dan Senjata Tradisional Indonesia lainnya. Jakarta: Cipta Adi Pustaka.

Hughes-Freeland, Felicia. (2008). Komunitas yang Mewujud Tari Tradisi dan Perubahan di Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kayam, Umar. (1991). Kebudayaan Nasional,

Kebudayaan Baru. Dalam Kongres Kebudayaan 1991. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Keraton Yogya Buka Lagi Kelas Tari Klasik. https://travel.tempo.co/read/464860/ keraton-yogya-buka-lagi-kelas-tari-klasik/ full&view=ok. diakses 3 Desember 2020 Kusumaningrum, Harlina. (2015). Laporan

Peneitian: Transkipsi Gendhing Pandhelori Pada Gamelan Kanjeng Kyai Madukusumo

(16)

Ke Dalam Notasi Musik Diatonik. Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

Kuswarsantya. 2019. Beksan Lawung Ageng Karya Sri Sultan Hamengku Buwono I. Makalah, disampaikan pada Proceeding International Symposium on Javanese Study and Manuscripts of Keraton Yogyakarta, 2019.

Lindsay, Jennifer, dkk. (1990). Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid: 2 Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Djambatan.

Listiyani, Ugin. (1990). Studi Analisis Koreografis Serimpi Pandhelori Gaya Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: lnstitut Seni Indonesia Yogyakarta.

Manuskrip. https://kbbi.web.id/manuskrip. Diakses 3 Desember 2020

Misi- Kraton-Yogyakar ta- Mengenalkan-Kebudayaan-Di-Abu-Dhabi. http://jogja. tribunnews.com/2018/02/10/misi-kraton- yogyakarta-mengenalkan-kebudayaan-di-abu-dhabi?page=1. diakses 19 Februari 2019.

Pengetan Beksan Warna Warni Gadhahanipin Kridha Beksa Wirama, kode K. 149 / B/S 28, Perpustakaan Krida Mardawa Keraton Yogyakarta, 25-29

Penyediaan dan Penyajian Informasi Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Tari Klasik Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pandidikan dan Kebudayaan.

Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: Uitgevers Maatschappij. Pramutomo, R.M. (2010). Tari, Seremoni, dan

Politik Kolonial II. Surakarta: Institut Seni Indonesia Press.

_______. (2019). Respon Estetis pada Teks Sastra Serat Menak sebagai Dasar Inovasi Penciptaan Tari Srimpi. Laporan Penelitian. Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta. Prabowo, Wahyu Santoso, dkk. (2007). Sejarah Tari Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunegaran. Surakarta: ISI Press.

Pringgobroto, Sudharso. (1959). Perkembangan Methode Mengajar Seni Tari Jawa. Dalam R.M. Koentjaraningrat (ed.). Tari dan Kesusasteran. Buku Peringatan Ulang Tahun ke-VIII Indonesian Tunggal Irama.

Yogyakarta: Pertjetakan Taman Siswa. Rahayu, Sri dan Yohanes Hanan Pamungkas.

(2014). Arti Simbolis Paes Ageng Masa Hamengkubuwono IX Tahun 1940-1988. dalam Jurnal Avatra, e-journal Pendidikan Sejarah, Volume 2 No.3, Oktober 2014.

Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jakarta: Sekretariat Negara.

Sedyawati, Edi. (2014). Mengembangkan Etnokoreologi dalam Rangka Kajian Wilayah Nusantara, dalam Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-tor sampai Industri Budaya, Depok: Komunitas Bambu.

Serat Kandha Bedhaya Srimpi, Kode W.8 B/S 50, Koleksi Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. (Alih Aksara dan Alih Bahasa oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016. Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi. Kode Koleksi K 138 / B/S 17. Yogyakarta: Perpustakaan Krida Mardawa, Keraton Yogyakarta.

Simatupang, Lono. (2013). Pergelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Soedarsono, R.M. (2000). Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. _______. (2007). Wayang Wong Drama Tari

Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suharto, Decirius. (1988). Peranan Mardawa

Budaya sebagai Wadah Pengembangan Tari Jawa Gaya Yogyakarta. Tugas Akhir. Yogyakarta: Balai Penelitian Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Srimpi Pandhelori https://www.kratonjogja.id/ kagungan-dalem/24/srimpi-pandhelori. . diakses 1 Januari 2020

Sumarsam, (2003). Gamelan Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunaryadi. (2013). Aksiologi Tari Bedhaya Kraton Yogyakarta. Jurnal Kawistara, Volume 3 No. 3, 22 Desember 2013. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Supriyanti. (1997). Pengaruh Barat pada Tari Klasik

(17)

Gadjah Mada.

Svašek, Maruška. (2007). Anthropology, Art and Cultural Production. London: Pluto Press _______. (2012). “Affective Moves: Transit,

Transition, and Transformation”, introduction dalam Moving Subjects, Moving Objects: Transnationalism, Cultural Production and Emotions, Maruška Svašek (ed). New York and Oxford: Berghahn Books.

Tyas, Gita Purwaning. (2018). Nilai Pendidikan Karakter dalam Ragam Gerak Tari Srimpi Pandelori di Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardhawa Kraton Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Wibowo, Anggono Kusumo. (2013). Dari Relief

Candi Menuju Karya Tari: Sebuah Catatan Kreatif. Greget: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Tari. Vol. 12, No. 2 tahun 2013. Surakarta: Institus Seni Indonesia Surakarta. Wibowo, Fred, ed. 1981. Mengenal Tari Klasik

Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Yogyakarta.

Widaryanto, F.X. (2019). Menyoal Ketubuhan dan Nilai Performatifnya. Dance and Theatre Review volume 2, November 2019. Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

NARASUMBER:

1. Bambang Pujasworo, Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 4 September 2019 2. Siti Sutiyah R.R. Sasmintadipura, organisasi

(18)

Gambar

Gambar 1. Proses Transit, Transisi, dan  Transformasi Tari Srimpi Pandhelori
Tabel 1. Sejarah perkembangan Tari Srimpi  Pandhèlori

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah meneliti faktor internal dan eksternal berupa tekanan waktu, tekanan ketaatan, lokus kendali eksternal dan komitmen profesional auditor pada

Sarana dan prasarana memiliki arti yang berbeda tetapi saling berkaitan yang dimana keduanya saling melengkapi dalam melakukan perannya masing-masing dan juga berguna

Dari hasil pengolahan data pada dimensi tanggapan mengenai eksekusi iklan ( Ad Excetuion Thoughts) memperoleh jumlah rata-rata persentase sebesar 77%, dalam persentase tersebut

Pembandingan dilakukan dengan cara mengukur intensitas cahaya terhadap waktu pengukuran yang berbeda, besarnya daya lampu yang berbeda, posisi sensor yang berbeda,

Kuntapäättäjät pohtivat itsehallinnollisten maakuntien tuomia mahdollisuuksia. Esimerkiksi kunnal- listen palveluiden tuottamis- ja toteuttamismahdollisuudet lisääntyisivät

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI Unit

Terdapat beberapa faktor yang turut menyumbangkan kurang efektifnya penyeleggaraan pemerintahan kampung sehingga dapat diidentifikasikan sebagai faktor-faktor

Perancangan buku etnofotografi kesenian Tari Kiprah Glipang, bertujuan sebagai dokumentasi visual yang lengkap tentang proses akulturasi kebudayaan Jawa dan Madura