• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTRUMEN PENGKAJIAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Ajar Keperawatan HIV-AIDS Dosen Pembimbing: Cucu Rokayah, M. Kep., Ns.Sp.Kep.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "INSTRUMEN PENGKAJIAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Ajar Keperawatan HIV-AIDS Dosen Pembimbing: Cucu Rokayah, M. Kep., Ns.Sp.Kep."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

INSTRUMEN PENGKAJIAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Ajar Keperawatan HIV-AIDS Dosen Pembimbing:

Cucu Rokayah, M. Kep., Ns.Sp.Kep.J

Disusun oleh :

Pria Angga Nusanggara (191FK03007)

Neneng Andini Fujiyanti (191FK03009)

Regi Bayu A (191FK03018)

Sinta Bella (191FK030015)

Farah Nabila Nofitriani (191FK03023)

Tika Sari Santika (191FK03031)

Sinta Nursari (191FK03038)

Kamaliyah (191FK03136)

Kelas 3A Kelompok 2

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2021

(2)

A. Instrumen Pengkajian Aspek Psikologis

1. Respon Psikologis (Penerimaan Diri) Terhadap Penyakit

Kubler ‘Ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu sebagai berikut.

a. Pengingkaran (denial)

Pada tahap pertama, pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosis. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.

Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien misalnya, “saya di sini hanya istirahat”. Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai kesalahan alat pemeriksaan, kesalahan laporan laboratorium, atau mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan penghambat untuk menerima kondisi yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999)

Tindakan yang dibutuhkan dalam masalah ini yaitu : - Mengidentifikasi terhadap penyakit pasien

- Mendorong pasien untuk mengekpresikan perasaaan takut menghadapi kematian dan mengeluarkan keluh kesahnya

b. Kemarahan (anger)

Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Sasaran utama atas kemarahan pasien adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat

(3)

marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian, dan iri hati. Jika keluarga menginjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresifan (Hudak dan Gallo, 1996).

Tindakan yang dibutuhkan dalam masalah ini yaitu : - Memberikan kesempatan mengekspresikan marahnya - Memahami kemarahan pasien

c. Sikap Tawar-menawar (bargaining)

Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berpikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalah dan mulai membina hubungan dengan Tuhan. Ciri yang jelas yaitu pasien meminta dan menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).

Tindakan yang dibutuhkan dalam masalah ini yaitu :

- Mendorong pasien agar mau mendiskusikan perasaan kehilangan dan takut menghadapi penyakit pasien

- Mendorong pasien untuk menggunakan kelebihan (positif) yang ada pada dirinya.

d. Depresi

Selama fase ini pasien sedih/berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi berduka secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).

Tindakan yang dibutuhkan dalam masalah ini yaitu : - Memberikan dukungan dan perhatian

- Mendorong pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kondisi.

(4)

- Membantu menghilangkan rasa bersalah, bila perlu mendatangkan pemuka agama.

e. Penerimaan dan Partisipasi

Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradaptasi perasaan berduka mulai berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada oranglain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak dan Gallo, 1996).

Tindakan yang dibutuhkan dalam masalah ini yaitu :

- Memotivasi pasien untuk mau berdoa dan sembahyang - Memberikan bimbingan keagamaan sesuai keyakinan pasien

Proses ingatan jangka Panjang yang terjadi pada keadaan stress yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk saat merasakan stress, dalam teori adaptasi Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

B. Instrumen Pengkajian Aspek Sosial

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.

Terjadinya penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor. Salah satu factor penting yang menjadi perhatian tenaga Kesehatan adalah stressor psikososial. Reaksi pertama yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak (denial) dan syok (disbelief). Mereka beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan merupakan penderitaan sepanjang hidupnya.

(5)

Respon Adaptif Sosial

Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu sebagai berikut.

1. Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negative tentang harga diri pasien.

2. Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi Kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obatan narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan sosial.

Hal ini akan memperparah stress pasien.

3. Lama terjadinya respons psikologis, mulai dari penolakan, marah-marah, tawar-menawar, dan depresi, berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stress yang dialami.

Respon adaptif sosial dikembangkan peneliti berdasarkan konsep dari Pearlin dan Aneshense (1986), yaitu sebagai berikut.

1. Emosi 2. Cemas

3. Interaksi sosial Dukungan sosial:

1. Dukungan emosional, agar pasien merasa nyaman, dihargai, dicintai dan diperhatikan.

2. Dukungan informasi, untuk meningkatkan pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya

3. Dukungan material, untuk bantuan/kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien.

C. Instrumen Pengkajian Aspek Spiritual a. Pengkajian Spiritual

Pengkajian spiritualitas dalam setting paliatif merupakan isu utama dalam berbagai budaya.

Spiritual telah di identifikasi sebagai sumber yang penting untuk seseorang, yang mana dengan spiritual tersebut dapat membantu seseorang mengatasi berbagai distress disaat mengalami dan menderita sakit.

(6)

Metode pengkajian spiritual untuk pasien paliatif yang dikembangkan oleh Carlo Leget tahun 2003 dikenal dengan istilah the Ars Moriendi Model (AMM). Lebih lanjut, model pengkajian AMM dimodifikasi menjadi:

1. Oneself - the other

Apakah anda memiliki kesempatan untuk menjadi diri anda sendiri, apakah anda saat meninggalkan dunia ini sudah sesuai dengan harapan anda

2. Doing – undergoing

Bagaiman anda mempertahankannya, apakah anda menginginkan kami untuk melakukan sesuatu untuk anda

3. Holding on – letting go

Apakah yang menjadikan anda lebih kuat/tegar, siapa/apa yang menginspirasi anda, siapa yang anda ingin pertahankan untuk bersama anda, siapkah anda meninggalkan kehidupan ini

4. Forgiving – forgetting

Jika anda melihat kebelakang/kisah hidup anda, apa yang anda rasakan. Adakah sesuatu hal yang penting untuk anda sampaikan atau diskusikan.

5. Knowing – believing

6. Apa makna kematian menurut anda. Apakah anda merasakan adanya dukungan dari keyakinan atau kepercayaan yang anda anut.

b. Instrumen Pengkajian Spiritual 1. Kebutuhan Spiritual

Kebutuhan spiritual sebagai faktor yang penting untuk mempertahankan atau memelihara hubungan pribadi yang dinamis dari seseorang dengan Tuhan dan hubungan berkaitan dengan pengampunan, cinta, harapan, kepercayaan dan makna serta tujuan dalam hidup.

Kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan yang meliputi penemuan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang sakit, dan kematian, serta merealisasikan harapan.

2. Pengkajian Kebutuhan Spiritual

Pengkajian kebutuhan spiritual pasien dapat menunjukkan kesempatan yang dimiliki perawat dalam mendukung atau menguatkan spiritualitas pasien. Pengkajian itu sendiri dapat menjadi terapeutik karena pengkajian tersebut menunjukkan tingkat perawatan dan dukungan yang diberikan.

(7)

3. Persiapan Penilaian Spiritual

a) Penilaian spiritual atas diri sendiri

Sebelum melaksanakan penilaian spiritual terhadap pasien, perawat mempunyai pemahaman yang mendalam akan kepercayaan, nilai, dan prasangka yang dihayatinya.

b) Membangun relasi positif antara perawat dan pasien

Perawat perlu meluangkan waktu untuk berbicara dengan pasien tentang spiritualitasnya, karena spiritualitas mempengaruhi kesehatan atau penyakit pasien, sehingga proses perawatan dapat berjalan dengan efektif.

c) Menentukan waktu yang tepat untuk membicarakan Spiritualitas

Hierarki Maslow menyatakan bahwa manusia cenderung mengejar pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman terlebih dahulu dan kemudian baru memperhatikan kebutuhan mental dan spiritual. Pembicaraan tentang spiritualitas tidaklah tepat dilakukan ketika pasien ada ditempat yang hanya memungkinkan interaksi singkat atau terbatas, seperti ketika ia menderita penyakit akut atau dalam keadaan gawat darurat. Waktu yang tepat adalah ketika pasien memiliki rentang waktu yang lebih panjang pada saat menjalani rawat inap yang panjang, perawatan yang berkelanjutan, atau tinggal di tempat rehabilitasi. Keadaan sakit parah, pengkajian spiritual bisa ditunda hingga saat yang tepat.

4. Tehnik Pengkajian Spiritual

Pertanyaan spiritual harus disesuaikan dengan latar belakang kultural dan pendidikan.

Pertanyaan dapat berbentuk pertanyaan terbuka, open ended question, merupakan pertanyaan yang paling efektif, karena membantu perawat mengkaji pribadi yang komplek dan unik. Penggunaan pertanyaan terbuka dan tehnik mendengarkan secara aktif serta pengamatan terhadap tanda non verbal (misalnya ekspresi wajah) memungkinkan pemerolehan informasi tentang rasa takut, keraguan, depresi atau keputusasaan (semua merupakan indikasi distress spiritual) yang mungkin sedang dialami pasien.

Bentuk pertanyaan lainnya dapat diterapkan seperti pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup atau close ended question, dapat digunakan dengan tepat apabila waktu yang tersedia bagi perawat tidak banyak atau perawat kurang berpengalaman dalam melakukan pengkajian secara menyeluruh.

(8)

5. Model- Model Pengkajian Spiritual (Instrumen Pengkajian) Beberapa instrumen pengkajian spiritual terdiri dari:

a) Pengkajian informal

Dilakukan setiap waktu selama pasien dapat dijumpai. Pasien sering menggunakan bahasa simbolis atau metafora ketika mereka mengekspresikan pemikiran mereka tentang spiritualitas, sehingga perawat harus aktif menggunakan ketrampilan mendengarkan dengan seksama, agar mampu menafsirkan apa yang sebenarnya diungkapkan oleh pasien. Penggunaan pertanyaan terbuka dan pertanyaan terbimbing tentang spiritualitas dapat memberi banyak sekali informasi bagi pendengar yang mampumemahami apa yang dikatakan pasien. Unsur-unsur pengkajian spiritual informal mencakup denominasi/kelompok keagamaan, kepercayaan, dan praktik spiritual.

b) Penilaian formal

Penilaian formal mencakup penyampaian pertanyaan selama proses wawancara untuk menentukan bagaimana peran kepercayaan dan praktik spiritual selama pasien mengalami sakit atau penyembuhan. Pertanyaan menyangkut kebutuhan apa dan sumber spiritual apa yang dapat diperoleh pasien, dan bagaimana kepercayaan dan praktik spritual mempengaruhi rencana perawatan pasien. Alat penilaian formal harus memenuhi syarat yaitu mudah dipergunakan, fleksibel dan memakan waktu singkat, tidak menyakiti hati dan menggunakan kata-kata yang mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam proses. Penilaian tidak menginterogasi, mengasingkan, atau mendikriminasikan antara berbagai agama. Penilaian harus dilaksanakan dengan cara tanpa paksaan dan tanpa prasangka.

Alat pengkajian formal merupakan instrument yang didesain untuk mengukur spiritualitas pasien. Skala pengkajian spiritualitas dari Howden merupakan instrumen yang didesain untuk mengukur spiritualitas yang dipahami sebagai dimensi yang mengintegrasikan atau menyatukan keberadaan manusia. Skala ini mencakup empat ranah khusus yaitu tujuan dan makna hidup, jati diri dan sumber batiniah, rasa saling berhubungan dan transendensi.

(9)

c) Penilaian spiritual kualitatif

Penilaian ini terdiri dari dua bagian yaitu kerangka kerja naratif awal, berisi beberapa pertanyaan antara lain; tentang tradisi keagamaan, pengalaman dan praktik spiritul, serta orientasi religius dan spiritual saat ini dan kerangka kerja antropologis interpretatif, mencakup pertanyaan meliputi enam ranah yaitu : pengaruh spiritual terhadap hidup pasien; perilaku, cara pasien mempraktikkan spiritualitasnya;

pemahaman, kepercayaan yang mempengaruhi pasien saat ini; persatuan dengan Tuhan, pengalaman pasien dengan Tuhan; suara hati, bagaimana spiritualitas mempengaruhi pasien dalam menentukan benar dan salah, nilai-nilai utama dalam hidup, serta membantu mengatasi rasa salah dan dosa; intuisi, petunjuk spiritual yang mempengaruhi hidup pasien.

D. Instrumen Pengkajian Aspek Kultural

Aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku seksual seseorang, budaya juga dapat mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan tersebut dapat berdampak positif yang menguntungkan setiap anggota dari budaya tersebut dan dapat juga berdampak negatif yang dapat mengrugikan anggota tersebut.

Perkembangan penyakit HIV/AIDS disumatera Utara , khususnya di kabupaten Karo sudah mengalami peningkatan, sehingga dulunya masyarakat sangat takut terhadap ODHA sekarang ini sudah cukup familiar dengan penderita HIV/AIDS ini.

Budaya patriarkat masyarakat Karo Pada budaya masyarakat Batak Karo mereka menganut sistem patriarkat, yang mana menetapkan laki -laki sebagai sosok otoritas utama pada kelompok sosial dan selalu sebagai pengambil keputusan. Sistem ini bertujuan sebagai pembagian kekuasaan Bagar setiap ada kegiatan dapat berjalan dengan baik dan tidak tumpang tindih dengan adanya percampuran laki-laki dan perempuan, dan pada rumah tangga sendiri.

Melihat dari setiap contoh perilaku yang dilakukan para laki-laki tersebut dan dihubungkan dengan penyakit HIV/AIDS adalah perilaku laki-laki yang bertindak sesuka hati dengan kekuasaan yang dimilikinya, membuka peluang untuk mereka mendapatkan kepuasan seksual dari perempuan seks komersial (PSK) ditempat lokalisasi. Setalah laki- laki mendapatkan kepuasan dilokalisasi tersebut membawanya ke rumah secara tidak

(10)

langsung akan menularkan kepada istrinya . Perempuan yang sebenarnya mengetahui perilaku laki-laki yang tidak adil tersebut, tidak dapat berbuat banyak karena budaya sistem patriarkat tersebut, yang mengharuskan mereka tunduk pada peraturan laki-laki dan memikirkan dampak-dampak sosial yang harus perempuan terima apabila melawan laki-laki, dimana perempuan sebagai pihak yang lemah dari budaya tersebut keberadaan nya semakin dikucilkan lagi dalam suatu tatanan budaya. Selanjutnya lagi perempuan semakin tidak berani mengusulkan untuk memeriksa keadaan kesehatan seksual pasangan nya dan semakin sulit untuk membicarakan masalah seks dengan pasangannya

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, dkk. 2018. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika.

Nelson-Becker, H., Ai, A. L., Hopp, F. P., McCormick, T. R., Schlueter, J. O., & Camp, J. K. (2015). Spirituality and religion in end-of-life care ethics:

the challenge of interfaith and crossgenerational matters. British Journal of Social Work, 45(1), 104-119

Khoiriyati, Azizah. 2016. Perawatan Spiritual dalam Keperawatan: Sebuah pendekatan Sistematik.

http://journal.umy.ac.id/index.php/mm/article/download/1654/1 699. Diakses pada tanggal 8 Juli 2019.

Ninuk Dian Kurniawati, S.Kep. Ns, dkk.2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Ed 1. Jakarta: Salemba Medika

Referensi

Dokumen terkait

proporsi 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk daerah yang kemudian oleh daerah dialokasikan kembali 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil,

Jika dibandingkan dengan jenis TV lainnya, LCD TV akan menghasilkan kualitas gambar dan kontras yang kurang baik apabila dilihat dari sudut yang lebih lebar.. Flat screen dan

Untuk mempercepat proses penyembuhan luka, dibutuhkan suatu teknik dan prosedur perawatan yang optimal dengan memanfaatkan berbagai faktor-faktor yang terlibat dalam

Sari Husada, maka akan lebih mengenalkan dan mendekatkan mahasiswa pada lingkungan kerja yang sebenarnya, hal ini sesuai dengan Program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Body fuel pump upper 21.Ring plate Bolt no.1 pump to head cylinder 2.. Body fuel pump

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas enam sekolah dasar di Kota Denpasar, Bali yang berjumlah 12.268 siswa (DepDikNas Propinsi Bali, 2012). Denpasar dipilih

Ilmu ekonomi berperan dalam rasionalisasi pemilihan dan pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, terutama yang

kontribusi pajak dan retribusi daerah terhadap PAD, elastisitas PAD terhadap PDRB, derajat desentralisasi fiskal, dan rasio efektivitas PAD, (2) Untuk menge- tahui kinerja efisiensi