• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Make a Match

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pembelajaran Make a Match"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Pemanfaatan CD Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa melalui

Pembelajaran Make a Match

Nila Ubaidah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Email:nilaubaidah@unissula.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tentang pemanfaatan CD pembelajaran melalui pembelajaran make a match apakah dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa? Untuk menjawab masalah ini, penelitian ini dirancang dengan rancangan penelitian tindakan kelas serta dilaksanakan pada siswa kelas X SMA N 1 Rowosari Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal. Penelitian ini menggunakan observasi, angket, hasil tes belajar siswa sebagai instrumen dalam pengumpulan data.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa (1) penerapan langkah-langkah make a match dengan memanfaatkan CD pembelajaran dalam pembelajaran matematika dapat membantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Hal ini dapat dilihat pada rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Pada siklus I, rata-rata hasil yang dicapai yaitu 68, 43. Pada siklus II, rata-rata hasil belajar yang dicapai yaitu 72,31. Rata- rata ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus I yaitu 66,67% dan pada siklus II yaitu 86,67%. Rata-rata kinerja guru pada siklus I sebesar 2,65 dan pada siklus II sebesar 3,35 juga mengalami peningkatan sebesar 0,7. Rata-rata kinerja siswa pada siklus I sebesar 2,7 dan pada siklus II sebesar 3,2. (2) Karena kinerja guru dan kinerja siswa, aktivitas siswa dalam proses pembelajaran termasuk dalam kategori efektif, respon siswa terhadap pembelajaran adalah positip dan ketuntasan secara klasikal tercapai maka melalui pembelajaran make a match dengan memanfaatkan CD pembelajaran efektif digunakan di dalam pembelajaran.

Berdasarkan temuan penelitian ini, diberikan beberapa saran sebagai berikut; (1) bagi guru mata pelajaran matematika agar menerapkan pembelajaran make a match dengan memanfaatkan CD pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. (2) Guru hendaknya menciptakan suasana pembelajaran matematika yang menyenangkan, dialogis dan demokratis.

Kata kunci : komunikasi matematis, make a match, CD pembelajaran.

1. Pendahuluan

Pendidikan termasuk salah satu aspek kehidupan yang memegang peranan penting. Suatu negara dikatakan maju, jika kualitas pendidikan negara tersebut baik. Sebaliknya, suatu negara dikatakan tidak maju dalam teknologinya, jika kualitas pendidikan di negara tersebut tidak baik (Hariyanti, 2010).

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah memerlukan metode–metode pembelajaran yang efektif agar kemampuan

(2)

komunikasi matematis siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Pembelajaran Make a Match merupakan suatu metode pembelajaran mencari pasangan. Siswa harus mencari pasangan kartu soal yang dimiliki sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Dalam menentukan kartu jawaban siswa dituntut untuk menentukan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang. Disinilah terjadi interaksi antara kelompok dan interaksi antara siswa di dalam kelompok untuk membahas kembali soal dan jawaban sehingga dengan Make a Match berbantuan CD pembelajaran dapat memupuk kerjasama dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokan kartu yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan keaktifan sangan dituntut untuk mencari pasangan kartunya masing – masing.

Belum adanya penggunaan CD pembelajaran yang memadai dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa merupakan hambatan bagi guru matematika dalam menerapkan pembelajaran di sekolah. CD pembelajaran dipilih karena media ini memiliki ciri-ciri yang mampu meningkatkan keaktifan siswa untuk belajar yaitu antara lain bentuk dan warna menarik, membuat siswa tertarik untuk mempelajarinya serta yang paling penting dapat memperjelas konsep bagi siswa.

Komunikasi adalah kegiatan manusia dalam menyampaikan pesan, baik secara lisan maupun tulisan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Setidaknya kita harus menguasai empat jenis keterampilan dasar berkomunikasi, yaitu menulis, mambaca (bahasa tulisan), dan mendengar, serta berbicara (bahasa lisan) (Stephen, 2011: 25). Pada pembelajaran matematika, komunikasi sangat dibutuhkan mengingat matematika dalam proses pembelajaran tidak lepas dari bahasa-bahasa simbol. Kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication) dalam pembelajaran matematika sangat perlu untuk dikembangkan. Hal ini karena melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan.

Berdasarkan kurikulum matematika, salah satu fungsi matematika adalah sebagai

(3)

wahana untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol.

Sejalan dengan hal itu, menurut Wahid (2012) dengan komunikasi matematis siswa juga dapat memberikan respon yang tepat antar siswa dan media dalam proses pembelajaran. Mengingat pentingnya komunikasi matematis bagi siswa, guru diharapkan mampu menjelaskan materi dan membuat aktifitas belajar siswa mengarah pada pengembangan komunikasi matematis. Salah satu indikator kemampuan komunikasi matematis yang dikemukakan oleh Sumarmo (2007) yaitu menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan/tulisan dengan benda nyata, grafik, dan diagram serta mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika.

Kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah dalam pembelajaran, khususnya untuk pelajaran matematika yang abstrak. Berdasarkan pengalaman peneliti dan hasil wawancara dengan beberapa guru matematika SMA dalam studi pendahuluan menjelaskan bahwa ”sikap siswa yaitu motivasi belajar matematika kurang dan cenderung malas belajar matematika di kelas” atau cepat merasa bosan dengan metode pembelajaran yang diterapkan, sehingga komunikasi matematis siswa menjadi berkurang, karena pembelajaran tidak berjalan secara efektif. Hal ini berdampak pada menurunnya prestasi belajar siswa baik secara individu maupun klasikal. Penurunan tersebut diakibatkan pada keaktifan siswa yang kurang terhadap pembelajaran yang berlangsung. Selain itu siswa disana cenderung bersikap individualis tetapi memiliki kemampuan akademik yang baik, sehingga sikap belajar siswa terhadap pembelajaran kurang. Penggunaan metode pembelajaran ini, diharapkan peneliti dapat menemukan pola yang lebih efektif untuk mengetahui berbagai kelebihan dan kekuatan dari metode pembelajaran ini, sehingga hasilnya dapat diterapkan pada kondisi pembelajaran yang lain.

1.1 Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match a. Pengertian pembelajaran Make a Match

Metode pembelajaran kooperatif dibedakan menjadi empat, antara lain metode STAD (Student Teams Achivement Divisions), metode Jigsaw, metode GI (Group Investigasion) dan metode struktural. Berdasarkan beberapa metode di atas Make a Match merupakan bagian dari metode struktural yang

(4)

menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa. Struktur-struktur tersebut memiliki tujuan umum diantaranya untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan mengajarkan keterampilan sosial (Sugiyanto, 2010: 44-48).

Metode Make a Match adalah teknik mencari pasangan, siswa di gabung suruh mencari pasangan dari kartu yang mereka pegang. Keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Lorna Curran dalam Miftahul Huda, 2011: 113). Proses pembelajaran yang efisien ialah pembelajaran yang di dalamnya terdapat proses belajar dan hasil belajar, dengan adanya profesionalisme dan kemampuan guru yang memadai. Profesional terlihat pada kemampuan dalam mengelola kelas dan mengajar secara efektif dan efisien, dalam arti mampu membelajarkan siswa untuk menguasai bahan pelajaran yang diberikan sesuai dengan tuntutan kurikulum.

b. Langkah –langkah pembelajaran Make a Match

Suasana pembelajaran dalam model pembelajaran make a match sangat asik dan menyenangkan. Salah satu keunggulan pendekatan pembelajaran kooperatif dengan model make a match atau mencari pasangan yang dikembangkan oleh Lorna Curran (1994) adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

Langkah-langkah penerapan model make a match yang di gunakan oleh Mira Lestina (2013: 4) sebagai berikut :

1) Guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok yang heterogen (beragam). Tiap kelompok terdiri atas 4-6 siswa.

2) Guru membagikan bahan ajar untuk didiskusikan oleh kelompok.

3) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya adalah kartu jawaban.

4) Pecahkan siswa menjadi dua kelompok, misalnya menjadi kelompok A dan kelompok B.

(5)

5) Bagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban kepada kelompok B.

6) Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal dan jawaban.

7) Tiap siswa yang mendapatkan kartu soal memikirkan jawaban dari kartu yang dipegangnya.

8) Siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartu yang dimilikinya.

9) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu, akan diberi poin.

10) Setelah satu babak, kartu dikocok kembali dan setiap siswa bergantian peran.

Siswa yang semula berperan sebagai pembawa kartu soal menjadi pembawa kartu jawaban di babak berikutnya.

11) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok.

Langkah-langkah pembelajaran make a match menurut Agus Suprijono (2009 : 94-96) sebagai berikut:

1. Hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan make a match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainya berisi jawaban dari pertanyaan tersebut.

2. Langkah berikutnya adalah guru membagi komunitas menjadi 3 kelompok.

3. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa karu-kartu berisi pertanyaan-pertanyaan. Kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu- kartu berisi jawaban-jawaban. Kelompok ketiga adalah kelompok penilai.

Aturlah posisi kelompok-kelompok tersebut berbentuk huruf U. Upayakan kelompok pertama dan kedua berjajar saling berhadapan.

4. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi yang telahditentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama maupun kelompok kedua saling bergerak mereka bertemu, mencari pasangan pertanyaan-jawaban yang cocok. Berikan kesempatan kepada mereka untuk berdiskusi. Ketika mereka diskusi alangkah baiknya jika ada musik instrumentalia yang lembut mengiringi aktivitas belajar mereka. Hasil

(6)

diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban.

5. Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan pertanyaanjawaban kepada kelompok penilai. Kelompok ini kemudian membaca apakah pasangan pertanyaan-jawaban itu cocok. Setelah penilaian dilakukan, aturlah sedemikian rupa kelompok pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memosisikan dirinya menjadi kelompok penilai.

Sementara, kelompok penilai pada sesi pertama tersebut diatas dipecah menjadi dua, sebagian anggota memegang kartu pertanyaan sebagian lainnya memegang kartu jawaban. Posisikan mereka dalam bentuk huruf U. Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok pemegang kartu pertanyaan dan jawaban bergerak untuk mencari, mencocokkan, dan mendiskusikan pertanyaan-jawaban. Berikutnya adalah masing-masing pasangan pertanyaan-jawaban menunjukkan hasil kerjanya kepada penilai.

6. Perlu diketahui bahwa tidak semua siswa baik yang berperan sebagai pemegang kartu pertanyaan, pemegang kartu jawaban, maupun penilai mengetahui dan memahami secara pasti apakah betul kartu pertanyaan- jawaban yang mereka pasangkan sudah cocok. Demikian halnya bagi siswa kelompok penilai. Mereka juga belum mengetahui pasti apakah penilaian mereka benar atas pasangan pertanyaan-jawaban. Berdasarkan kondisi inilah guru memfasilitasi diskusi untuk memberikan kesempatan kepada seluruh siswa mengonfirmasikan hal-hal yang mereka telah lakukan yaitu memasangkan pertanyaan jawaban dan melaksanakan penilaian

Make a Match dapat memupuk kerjasama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan menjawab pertanyaan dengan mencocokan kartu yang ada ditangan mereka, aktifitas belajar siswa akan lebih menarik karena proses pembelajaran disusun secara baik. Dalam meningkatkan komunikasi matematis dapat dilihat dari keaktifan siswa dan hasil belajar yang dicapai sisiwa. Dengan teknik ini diharapkan guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban paling tepat, selain itu teknik yang terdapat didalamnya juga mendorong siswa untuk aktif di dalam kelas.

(7)

c. Keunggulan Make a Match

Pembelajaran dengan Make a Match mempunyai kelebihan yaitu secara kognitif contohnya hasil belajar siswa meningkat, dari segi fisik siswa dapat bekerja kelompok dengan baik. Pembelajaran lebih menyenangkan karena adanya unsur permainan yang membuat siswa merasa senang dengan pembelajaran tersebut, dengan adanya kerjasama yang saling membantu memahami materi sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari.siswa yang bekerja dalam satu kelompok dapat memberikan semangat dalam menyelesaikan tugas sehingga motivasi belajar siswa yang mula-mula rendah akan dapat meningkat.

Sedangkan menurut Agus Suprijono (2009: 94) beberapa kelebihan yang dimiliki jika guru/pengajar melakukan metode pembelajaran dengan cara Make a Match diantaranya: (1) Siswa terlibat langsung dalam menjawab soal yang disampaikan kepadanya melalui kartu. (2) Meningkatkan kreatifitas belajar para siswa. (3) Menghindari kejenuhan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar. (4) Pembelajaran lebih menyenangkan karena melibatkan media pembelajaran yang dibuat oleh guru.

Berdasarkan penjelasan teori di atas dapat disimpulkan dengan menerapkan model Cooperative Learning tipe Make a Match siswa diajak untuk belajar sambil bermain, dengan cara saling menjodohkan kartu yang dimilikinya.

Aktifitas belajar matematika akan menjadi lebih menarik, siswa dapat menyukai pembelajaran matematika, siswa lebih mudah memahami isi materi yang di sampaikan oleh guru sehingga hasil belajar siswa akan meningkat.

1.2 Teori Yang Melandasi Model Pembelajaran Make A Match a. Teori Vygotski

Karya Vygotski didasarkan pada tiga ide utama : (1) bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka telah ketahui (2) bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual; (3) peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa (Nur, 2000 : 10). Hal terpenting dari teorinya adalah pentingnya interaksi antara

(8)

aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek lingkungan sosial pembelajaran. Vygotski yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development).

Secara terperinci, dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan “zona per-kembangan proksima” adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potesial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan rekan sebaya yang lebih mampu. Dengan demikian, maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran kooperatif. Ide penting lain dari Vygotski adalah scaffolding. Scaffolding adalah pemberian sejumlah kemampuan oleh guru kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu (Slavin, 2000: 94). Kemampuan yang diberikan dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh sendiri (Slavin, 2000: 95). Jelas bahwa scaffolding merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran kooperatif.

Jadi kesimpulannya dalam teori Vygotski menurut peneliti bahwa ada hubungan secara langsung antara domain kognitif dengan sosio budaya. Kualitas berfikir siswa dibina dan aktivitas sosial siswa dikembangkan dalam bentuk kerjasama antara siswa dengan siswa lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa dan guru.

b. Teori Behaviorisme

Menurut teori ini, belajar merupakan perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap belajar bila menunjukkan perubahan tingkah laku yang terjadi pada dirinya. Misalnya, seorang siswa belum bisa berhitung maka sekeras apapun gurunya berusaha mengajar bila siswa itu gagal mendemonstrasikan kemampuannya dalam berhitung, maka siswa itu belum bisa dikatakan belajar. Ia

(9)

dikatakan telah belajar apabila ia menunjukkan suatu perubahan dalam tingkah laku (dari tidak bisa menjadi bisa berhitung). Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.

Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Dengan demikian peneliti ini mengacu pada teori belajar Vygotski dan Behaviorisme yang menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku, seseorang dianggap belajar sesuatu bila ada menunjukkan perubahan tingkah laku. Hal ini dapat dikembangkan dalam bentuk kerjasama antara siswa dengan siswa lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa dan guru. Sehingga kualitas berfikir dan aktivitas siswa dapat lebih

1.3 CD pembelajaran

Kita perlu menyadari pula bahwa pada umumnya siswa berpikir dari hal-hal yang bersifat abstrak. Untuk menjembatani seorang guru seyogyanya memikirkan cara-cara penyampaian yang efektif agar sesuatu yang disampaikan itu dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Untuk pemikiran inilah maka diperlukan alat bantu lain berupa “media atau alat peraga” (Zaenuddin, 2010). Zaenuddin (2010) juga menuturkan beberapa peranan alat peraga dalam pembelajaran bila ditinjau dari peranannya alat peraga dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika yang dikategorikan dalam tiga hal utama yaitu untuk membantu proses pemahaman siswa, membantu mengaitkan daya ingat siswa tentang konsep

(10)

yang dipelajari, dan meningkatkan minat serta apresiasi siswa terhadap konsep yang dipelajarinya.

Salah satu usaha untuk memberikan variasi dalam hal pembelajaran matematika adalah dengan menggunakan media pembelajaran matematika. Media (merupakan jamak dari kata medium) adalah suatu saluran untuk komunikasi.

Diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “antara”. Istilah ini merujuk kepada sesuatu yang membawa informasi dari pengirim informasi ke penerima informasi.

Masuk di dalamnya antara lain: film, televisi, diagram, materi cetakan, komputer, dan instruktur (Suherman dkk, 2003:238).

Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar \mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual dan verbal.

Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran (Arsyad, 2011: 4).

Media merupakan salah satu unsur dalam pembelajaran yang memegang peranan penting. Hal ini tidak terlepas dari kegiatan inti pembelajaran yang berupa proses belajar dari siswa dan penerapan strategi pengajaran dengan penggunaan alat bantu pembelajaran oleh guru yang saling berinteraksi dalam suatu lingkungan belajar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Malik (2008: 571) dalam penelitiannya bahwa penggunaan media dalam pembelajaran, khususnya teknologi dapat mengembangkan keterampilan berpikir kreatif siswa.

Menurut Wibawanto (2004: 12) CD adalah salah satu bentuk multimedia yang merupakan kombinasi antara beberapa media teks, gambar, video, dan suara sekaligus dalam satu tayangan tunggal. Interaktif artinya bersifat saling melakukan aksi, antar hubungan, saling aktif (Alwi, 2003: 438). Jadi, CD pembelajaran merupakan salah satu multimedia berupa keping CD yang berisi teks/angka, gambar, dan suara, sehingga dapat memberikan aksi/respons, dikemas dan dioperasikan dengan komputer, kemudian dapat digunakan dalam proses pembelajaran yang didalamnya melibatkan siswa secara aktif untuk menggunakan CD tersebut. Kelebihan CD pembelajaran antara lain penggunanya bisa berinteraksi dengan program komputer, menambah pengetahuan. Pengetahuan

(11)

yang dimaksud adalah materi pelajaran yang disajikan CD pembelajaran, serta tampilan audio visual yang menarik (Beni, 2008: 1). Penelitian ini menggunakan media CD pembelajaran dalam proses pembelajaran. Dengan demikian dapat menciptakan suasana yang menyenangkan di kelas sehingga membuat siswa mampu menangkap konsep materi yang disampaikan guru dengan baik dan siswa tidak hanya membayangkan konsep-konsep materi yang mereka pelajari. Guru menyesuaikan dengan model pembelajaran yang dipakai serta materi yang akan disampaikan sehingga dapat meningkatkan respons siswa serta interaksinya dalam proses pembelajaran sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis.

1.4 Kemampuan Komunikasi Matematis a. Komunikasi Matematis

Komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata yang berarti sama. Maka komunikasi akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dibicarakan. Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan, maupun melalui media (Herdian, 2010). Oleh sebab itu saat berkomunikasi harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan kepada orang lain dapat dengan mudah dipahami. Menurut Elida (2012: 180) berpendapat bahwa komnikasi dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, siswa dapat dibimbing dalam berkomunikasi dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.

Komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika. Siswa mampu mengekspresikan ide-ide matematika yang berasal dari argumennya kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan. Komunikasi matematik juga merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika dan menjadi salah satu standar kompetensi lulusan siswa sekolah dari pendidikan dasar sampai menengah. Sebagaimana

(12)

tercantum dalam Undang-Undang SISDIKNAS no.22 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan dalam bidang matematika yang secara lengkap sebagai berikut:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

Menurut Eliot dan Kenney (Sumarmo, 2013: 35) bahwa kemampuan komunikasi matematika antara lain meliputi proses-proses matematika berikut: (1) Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk gambar, diagram, bahasa atau simbol matematik, atau model matematik. (2) Menjelaskan suatu idea matematik dengan gambar, ekspresi, atau bahasa sendiri secara lisan atau tulisan. (3) Membuat suat cerita bedasarkan gambar, diagram, atau model matematik yang diberikan. (4) Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.

Sedangkan NCTM (Wijaya, 2012: 72) merumuskan standar komunikasi (communication Standard) untuk menjamin kegiatan pembelajaran matematika yang mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam belajar matematika adalah sebagai berikut :

1. Menyusun dan memadukan pemikiran matematika melalui komunikasi.

2. Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan sitematis kepada semua siswa, kepada guru, maupun orang lain.

3. Menganalisis dan mengevaluasi perkiran dan strategis matematis orang lain.

(13)

4. Menggunakan bahasa matematika untuk megekspresikan ide matematika secara tepat.

b. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

Untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis diperlukan beberapa indikator. Sumarmo (2012: 6) menuliskan kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematis di antaranya adalah:

1. Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematik.

2. Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan.

3. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika

4. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis.

5. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.

Adapun kemampuan komunikasi matematis siswa menurut NCTM (dalam Fachrurazi: 2011) dapat dilihat dari: (1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model- model situasi.

Dari ketiga indikator tersebut dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu indikator kemampuan komunikasi matematika lisan dan tertulis. Indikator kemampuan komunikasi lisan sebagai berikut:

1. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual; adapun sub- sub indikator 1 adalah (a) Siswa mampu mengajukan pertanyaan, (b) Siswa memberikan gagasan, (c) Siswa mampumemberikan solusi, (d) Siswa mampu menyelesaikan permasalahan.

2. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis secara lisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; adapun sub-sub

(14)

indikator 2 adalah (a) Siswa mampu memahami pertanyaan (b) Siswa mampu menjawab pertanyaan, (c) Siswa mampu memberikan sanggahan, (d) Siswa mampu menemukan solusi

3. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi; adapun sub-sub indicator 3 adalah (a) Siswa mampu menyebutkan istilah-istilah matematika, (b) Siswa mampu memberikan solusi yang berbeda, (c) Siswa mampu menggunakan notasi-notasi matematis, (d) Siswa mampu menyimpulkan.

Sedangkan indikator kemampuan komunikasi matematika tertulis sebagai berikut:

a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.

b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis secara tertulis, maupun dalam bentuk visual lainnya.

c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.

2. Metode Penelitian

Penelitian tindakan kelas yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Make a Match Berbantuan CD Pembelajaran” ini dilaksanakan di SMA N 1 Rowosari Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-4 SMA N 1 Rowosari Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal.

Jenis data meliputi: data mengenai hasil belajar, data mengenai kinerja guru dalam pembelajaran, data mengenai kinerja siswa dalam pembelajaran dan data mengenai aktivitas siswa dalam diskusi kelompok. Alat Pengumpulan Data meliputi: lembar Tes Formatif, Lembar obsevasi guru, Lembar observasi siswa, dan Lembar observasi aktivitas diskusi kelompok

Penelitian ini merupakan Penelitian Tidakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus, masing-masing siklus dilaksanakan dalam 4

(15)

(empat) tahap, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Prosedur kerja tersebut secara garis besar dapat dijelaskan pada bagan di bawah ini.

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian

3. Pembahasan

Pembahasan siklus 1 dan siklus 2

Pembahasan dalam penelitian ini meliputi pembahasan tentang pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X-4 SMA N 1 Rowosari Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal tahun 2014/2015 melalui Make a Match berbantuan CD pembelajaran.

Berdasarkan hasil tes formatif pada siklus 1 dan 2 yaitu pada siklus 1 diperoleh rata-rata siswa sebesar 68,43. Banyaknya siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70 (70) atau dapat dikatakan tuntas sebanyak 20 siswa atau 66,67%. Jumlah tersebut belum mencapai target dalam peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa, jadi perlu diadakan siklus 2 untuk mencapai target yang diinginkan. Berdasarkan hasil tes siklus 2, diperoleh rata-rata siswa sebesar 72,31. Banyaknya siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70 (70) atau dapat dikatakan tuntas sebanyak 26 siswa atau 86,67%. Jumlah tersebut telah mencapai target dari indikator keberhasilan pembelajaran yaitu banyaknya siswa yang yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70 (70) atau dapat dikatakan tuntas minimal 75% dari banyaknya siswa kelas X-4 dan tidak perlu diadakan tindakan lebih lanjut.

Revisi Perencanaan Perencanaan

Refleksi Tindakan

Refleksi

Pengamatan

Tindakan Pengamatan

(16)

Berdasarkan hasil observasi kinerja guru pada siklus 1 dan 2, yaitu pada siklus 1 hasil penilaian observasi terhadap kinerja guru diperoleh skor rata-rata 2,65 dengan kriteria kinerja guru dalam pembelajaran baik. Hasil penilaian tersebut belum mencapai target, jadi perlu diadakan siklus 2 untuk mencapai target yang diinginkan. Berdasarkan hasil observasi kinerja guru pada siklus 2, hasil penilaian observasi terhadap kinerja guru diperoleh skor rata-rata 3,35 dengan kriteria kinerja guru dalam pembelajaran sangat baik. Hasil penilaian tersebut telah mencapai target dari indikator keberhasilan pembelajaran jadi dapat dikatakan tuntas dan tidak perlu diadakan tindakan lebih lanjut.

Berdasarkan hasil observasi kinerja siswa pada siklus 1 dan 2 yaitu pada siklus 1 hasil penilaian observasi terhadap kinerja siswa diperoleh skor rata-rata 2,7 dengan kriteria kinerja siswa dalam pembelajaran baik. Hasil penilaian tersebut belum mencapai target, jadi perlu diadakan siklus 2 untuk mencapai target yang diinginkan. Berdasarkan hasil observasi kinerja siswa pada siklus 2 hasil penilaian observasi terhadap kinerja siswa diperoleh skor rata-rata 3,2 dengan kriteria kinerja siswa dalam pembelajaran sangat baik. Hasil penilaian tersebut telah mencapai target dari indikator keberhasilan pembelajaran jadi dapat dikatakan tuntas dan tidak perlu diadakan tindakan lebih lanjut.

Berdasarkan hasil observasi aktivitas dikusi kelompok pada siklus 1 dan 2, yaitu pada siklus 1 hasil penilaian observasi terhadap aktivitas diskusi kelompok diperoleh skor rata-rata 2,50 dengan kriteria aktivitas diskusi kelompok cukup baik. Hasil penilaian tersebut belum mencapai target, jadi perlu diadakan siklus 2 untuk mencapai target yang diinginkan. Berdasarkan hasil observasi aktivitas diskusi kelompok pada siklus 2, hasil penilaian observasi terhadap aktivitas diskusi kelompok diperoleh skor rata-rata 3,10 dengan kriteria aktivitas diskusi kelompok baik. Hasil penilaian tersebut telah mencapai target dari indikator keberhasilan pembelajaran jadi dapat dikatakan tuntas dan tidak perlu diadakan tindakan lebih lanjut.

Secara umum proses pembelajaran yang berlangsung pada setiap siklus sudah berjalan dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan semua tahapan yang ada dalam pembelajaran melalui make a match sudah dilaksanakan dengan baik.

(17)

Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa indikator keberhasilan telah tercapai. Ada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam kegiatan belajar melalui make a match berbantuan CD pembelajaran siswa kelas X-4 SMA N 1 Rowosari Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal.

4. Simpulan dan Saran

4.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang disajikan sebelumnya, dapat ditarik simpulan bahwa melalui make a match berbantuan CD pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas X-4 SMA N 1 Rowosari Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal.

4.2 Saran

Berdasarkan simpulan disarankan bagi guru mata pelajaran matematika agar menerapkan make a match berbantuan CD pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, serta Guru hendaknya menciptakan suasana pembelajaran matematika yang menyenangkan, dialogis dan demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Beni, D. M. 2008. Perkembangan Multimedia dan CD Interaktif. Tersedia di http:// deskomers01.com/?p=187 (diunduh 30 september 2011).

Depdiknas. 2005. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Direktorat Jendral.

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pendidikan Dasar dan Menengah Umum.

Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Malik, S. 2008. Perception of University Students on Self-Directed Learning through Learning Technology. European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.24 No.4 (2008), pp.567-574© EuroJournals Publishing, Inc. 2008. http://www.eurojournals.com/ejsr_24_4_ 13.pdf (diunduh 3 Oktober 2011).

Nasution, S. 1982. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

(18)

. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta:

Bumi Aksara.

Nurhadi, 2000. Kontekstual dan Penerapan dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Semarang.

Romadhina, Dian. 2007. Pengaruh Kemampuan Penalaran dan Kemampuan Komunikasi Matematik terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung Siswa Kelas IX SMP Negeri 29 Semarang melalui Model Pembelajaran Pemecahan Masalah.

http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASHf1de/c0fe599 f.dir/doc.pdf, diakses tanggal 12 Maret 2015.

Silver and Smith. 1996. “Celebrating 50 Years of Reflective Practice: Versions of Creative Problem Solving”. Journal of Creative Behavior, Volume 38 No.2.

Hal. 1-27. ISSN 0022-0175.

Sugandi, A., dkk. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES.

Sugiyanto. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 1997. Metodologi Penelitian Administrasi. Yogyakarta: BPFE-VII Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E., dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung: JICA IMSTEP Universitas Pendidikan Indonesia.

Supridjono, A.2009. Matematika Gemar Berhitung 3B. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Suyitno, A. 2004. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1.

Semarang: UNNES.

Tri Anni, C. dkk. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK Universitas Negeri Semarang.

Wibawanto, H. 2004. Multimedia untuk Presentasi. Semarang: Laboratorium Komputer Pascasarjana Unnes.

Zaenuddin. 2010. Penggunaan Balok Garis pada Operasi Hitung Bilangan Bulat Bilangan Jurnal Pendidikan Batang Barkembang. http://redaksi jurnalpendidikan.blogspot.com/2010/03/penggunaan-balok-garis-bilangan- pada-bilangan-bulat.htm (diunduh 22Agustus 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam buku ini, pembahasan difokuskan pada 25 program Government to Person (G2P), yang masuk dalam kategori: (i) bantuan pemerintah yang ditujukan untuk

Status hukum anak berkaitan erat dengan status hukum perkawinan dari orang tuanya, dalam arti kata, jika perkawinan sah menurut hukum maka anak hasil perkawinan

[r]

Pada dasarnya suatu permukiman terdiri atas ”isi’ yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat, dan ”wadah” yaitu lingkungan fisik permukiman

Slično idućem alatu, Clone Stamp Tool, i HB alat radi kopiranje određenog dijela slike.. Vodi računa o bojama te osvjetljenju na

Dari kedua partikel tersebut memiliki sifat-sifat yang sangat bertolak belakang , sehinggga keduanya sulit disatukan.Usaha penyatuan medan boson dan medan fermion

Pengadilan Negeri Klas I A Padang maka untuk mengatasi kendala dalam penerapan pidana denda terhadap anak sebagai pelaku berkaitan dengan perlindungan hukum

A lassú- vagy más szóval kézi korongolt techni- kával készült edények esetében szinte kizáró- lagos soványító anyag a marosi homok, amely néha apró kaviccsal (2