• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahabat Senandika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sahabat Senandika"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sahabat Senandika

Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Yayasan Spiritia

No. 21, Agustus 2004

Daftar Isi

Pengalaman... 1

Laporan Program ARV di Afrika Selatan 1

Pengetahuan adalah Kekuatan 3

Infeksi HIV yang Tidak Diobati Melaju Lebih Cepat ke AIDS di Thailand 3 Jus Buah-Buahan Tropis dan Interaksi

Obat 4

Tips... 5

Tips orang dengan HIV 5

Pojok Info 5

Peserta Pelatihan “Membangun Kepemimpinan Positif, Pendidikan Pengobatan HIV/AIDS dan Pelatihan Advokasi se-Asia Tenggara” 5

Konsultasi 6

Tanya jawab 6

Positif Fund 6

Laporan Keuangan Positif Fund 6

Laporan Program ARV di

Afrika Selatan

Oleh Keith Alcorn, 27 April 2004

Para peneliti dari Afrika Selatan sudah

menerbitkan laporan perincian pertama mengenai hasil klinis program pengobatan antiretroviral (ARV). Program perintis ini yang dilakukan oleh MSF berpusat pada klinik perawatan primer di kota Khayelitsha. Laporan diterbitkan di jurnal AIDS edisi 9 April 2004.

Seleksi pasien

MSF memberi terapi ARV (ART) untuk 287 pasien yang dipilih berdasarkan kriteria klinis dan sosial. Kriteria klinis adalah penyakit HIV bergejala (WHO tahap 3 atau 4) dan jumlah CD4 di bawah 200. Kriteria sosial dibentuk untuk meyakinkan bahwa para pasien mempunyai kemampuan untuk tetap patuh terhadap terapi. Kriteria ini termasuk: •Bukti tinggal di Khayelitsha

•Bukti sudah mengungkapkan status HIV-nya sedikitnya pada satu orang

•Seorang ‘pembantu pengobatan’ ditunjuk untuk mendukung kepatuhan

•Kunjungan ke rumah untuk meninjau suasana keluarga

•Kehadiran tepat dengan jadwal pada tiga perjanjian di klinik selama empat bulan

Kriteria sosial dibahas oleh panitia seleksi komunitas secara anonim (tanpa nama) sebelum pasien disetujui untuk diberikan terapi.

Ciri-ciri awal - penyakit HIV tahap lanjut Jumlah CD4 rata-rata pada awal adalah 43 (13-94) dan 52 persen sudah terdiagnosis dengan penyakit yang mendefinisikan AIDS. 55 persen mulai pengobatan dengan jumlah CD4 di bawah 50.

Pasien mempunyai viral load yang tinggi saat mulai terapi (rata-rata kurang lebih 150.000). Hampir dua pertiga (60 persen) mulai terapi dengan AZT/3TC/

efavirenz dengan sisanya memakai AZT/3TC/ nevirapine. d4T tidak dipakai pada kelompok ini, dan pengalaman dengan kombinasi tiga obat dosis tetap (fixed dose combination) Triomune (d4T/ 3TC/nevirapine) tidak dilaporkan.

Bertahan hidup – penyakit HIV tahap sangat lanjut menimbulkan masalah

Setelah jangka waktu pemantauan rata-rata 13,9 bulan, 38 pasien meninggal (71 persen kurang dari tiga bulan setelah mulai ART) dan diperkirakan 86,3 persen akan tetap hidup pada 24 bulan berdasarkan plot Kaplan-Meier. Perkiraan ini juga menunjukkan bahwa orang yang mulai ART dengan jumlah CD4 di atas 50 lebih mungkin tetap hidup pada 24 bulan (91,4 vs 81,8 persen). Namun penting dicatat bahwa perkiraan Kaplan-Meier berdasarkan 34 orang yang dipantau selama 24 bulan, 54 selama 21 bulan, 74 selama 18 bulan, 123 selama 15 bulan dan 168 selama 12 bulan. 257 dari 287 pasien sudah menerima ART selama sedikitnya tiga bulan pada saat laporan ini ditulis di Februari 2004.

Risiko kematian lebih tinggi secara bermakna pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 50 dan diagnosis sarkoma Kaposi (KS) sebelumnya. 20

(2)

dari 38 kematian terjadi pada bulan pertama terapi (rata-rata 21 hari) karena penyakit HIV pada tahap sangat lanjut (jumlah CD4 rata-rata 7). Kematian kemudian disebabkan oleh TB (tiga, waktu berbeda-beda), KS (tiga dalam tiga bulan setelah mulai ART), dan kolitis CMV (satu kasus setelah tiga setengah bulan, dengan tidak menanggapi ART). Semua kematian terjadi pada tahun pertama pengobatan.

Sisa kematian diperkirakan disebabkan oleh kurang kepatuhan atau penghentian pengobatan sementara yang mengarahkan pada perkembangan penyakit. Satu kematian yang disebabkan kanker paru dan satu akibat stroke tidak dikaitkan dengan infeksi HIV. Tidak ada kematian terkait dengan efek samping ART.

Para penulis mencatat bahwa secara luas, angka bertahan hidup yang diperkirakan serupa dengan perkiraan pada kelompok pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah yang dilaporkan di AS dan Kanada. Lagi pula analisis risiko kematian dengan batas lebih rendah mungkin dapat menawarkan alat yang lebih mampu membedakan untuk menilai pasien dengan risiko kematian yang sangat tinggi walaupun menerima ART.

“Perbedaan dalam angka bertahan hidup di kelompok Khayelitsha antara mereka yang mulai ART dengan jumlah CD4 50 ke atas dibandingkan dengan mereka dengan CD4 di bawah 50, memberi kesan bahwa salah satu tantangan utama dalam keadaan seperti di Khayelitsha adalah untuk meyakinkan keseimbangan yang adil antara pemberian ART pada mereka dengan penyakit sangat lanjut, sementara menahan kesempatan untuk prognosis (harapan pengobatan) yang lebih baik untuk mereka yang diketahui terinfeksi lebih dini.”

Penambahan berat badan

Berat badan pasien menambah rata-rata 5kg setelah enam bulan ART dan 9kg setelah 12 bulan. Berat badan disarankan sebagai tanda keberhasilan ART walaupun belum jelas apakah tanda ini cukup peka terhadap perbedaan antara pemulihan kekebalan, jumlah makanan atau penekanan virus. Penekanan virus

89 persen pasien yang mendapatkan pengobatan selama enam bulan mempunyai viral load di bawah 400 pada saat itu dibandingkan dengan 84,2 persen pada bulan 12 (n=165). Pada bulan 24, proporsi dengan viral load di bawah 400 turun menjadi 69,7 persen (n=34), dengan tiga di antaranya menerima regimen ART lini kedua.

Adalah penting dicatat bahwa analisis dalam pengobatan (on-treatment) tidak dapat dibandingkan dengan laporan dari uji klinis di negara maju, dan bahwa kelompok AS/Kanada yang dipakai sebagai pembanding untuk angka bertahan hidup tidak melaporkan angka penekanan virus dalam kelompok serupa.

Peningkatan dalam jumlah CD4

Pasien yang mendapatkan pengobatan selama enam bulan memperoleh peningkatan CD4 rata-rata 134, sedangkan mereka yang mendapatkan pengobatan selama 24 bulan memperoleh peningkatan rata-rata 288.

Perubahan pengobatan – toleransi nevirapine dan AZT

Nevirapine adalah obat yang paling sering harus diganti akibat toksisitas; 8,8 persen (n=10) pasien menggantinya dengan efavirenz dalam rata-rata 20 hari sedangkan hanya 1,2 persen (n=2) mengganti efavirenz dengan nevirapine (biasanya pada minggu pertama pengobatan). Sepuluh pasien tambahan menggantikan nevirapine dengan efavirenz akibat diagnosis TB setelah mulai terapi sedangkan tiga perempuan mengganti efavirenz dengan nevirapine akibat kehamilan.

12 pasien menggantikan AZT dengan d4T setelah rata-rata 53 hari.

12 pasien menggantikan regimen keseluruhan akibat kegagalan pengobatan sampai dengan bulan 24.

Tidak disediakan data lain tentang dampak buruk. Kesimpulan

Data ini adalah pertama yang bermakna yang dilaporkan dalam jurnal tinjauan sebaya (peer-reviewed) dari program pengobatan yang sudah mengubah peraturan untuk pemberian ART, dan menunjukkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemberi layanan pengobatan. Data ini juga menunjukkan sukses yang luar biasa yang dapat dicapai dengan ART pada pasien dengan penyakit HIV yang sangat lanjut.

“Persiapan pasien secara hati-hati adalah esensial... bersama dengan pengobatan pada rangkaian perawatan primer,” para penulis mencatat.

(3)

maupun sebagaimana kelompok menjadi lebih besar akan menjadi bukti penting untuk

meyakinkan orang yang merasa ragu-ragu bahwa intervensi sederhana dapat memberi pengobatan yang sangat efektif dalam rangkaian sumber daya terbatas.

Salah satu keraguan lain adalah bahwa sebagian besar pasien dalam kelompok ini diobati dengan efavirenz. Triomune (kombinasi dosis tetap d4T/ 3TC/nevirapine) baru mulai dipakai pada akhir waktu yang dilaporkan, jadi bukti tentang kegunaan klinisnya tidak dapat ditentukan dari data yang diterbitkan pada laporan ini.

Referensi: Coetzee D et al. Outcomes after two years of providing antiretroviral treatment in Khayelitsha, South Africa. AIDS 18: 887-895, 2004.

URL: http://www.aidsmap.com/news/ newsdisplay2.asp?newsId=2674

Pengetahuan

adalah Kekuatan

Infeksi HIV yang Tidak

Diobati Melaju Lebih Cepat

ke AIDS di Thailand

Oleh Keith Alcorn, 28 April 2004

Lajunya infeksi HIV menjadi AIDS dan kematian akibat AIDS adalah lebih cepat pada laki-laki muda di Thailand terinfeksi dengan HIV-1 subtipe E yang tidak diobati, dibandingkan dengan orang di Amerika dan Eropa yang terinfeksi dengan HIV-1 subtipe B. Ini menurut peneliti dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Armed Forces Research Institute of Medical Sciences dan Chiang Mai University di Thailand.

Para peneliti memantau jangka waktu antara infeksi HIV dan AIDS di antara laki-laki muda Thailand. Mereka juga meneliti angka kematian antara laki-laki 5-7 tahun setelah terinfeksi HIV, yang ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang serupa di negara maju. Penelitian ini

diterbitkan di Journal of Acquired Immune Deficiency Syndrome terbitan 1 May 2004.

Dr. Kenrad E. Nelson, rekan penulis dan profesor di Fakultas Epidemiologi mengatakan, “Penelitian ini penting karena menunjukkan angka bertahan hidup dan lajunya HIV/AIDS dari saat terinfeksi di suatu negara berkembang, serta mendokumentasikan bahwa lajunya lebih cepat

serokonversi (membentuk antibodi terhadap HIV) dalan jangka waktu enam bulan selama wajib militer dua tahun di Angkatan Darat Kerajaan Thailand dari 1991 hingga 1995. Semua laki-laki tersebut dipanggil wajib militer pada usia 21 tahun. Setelah lima hingga tujuh tahun, 156 masih hidup, 77 sudah meninggal dan dua tidak dapat ditemukan. Angka bertahan hidup selama lima tahun di antara peserta penelitian adalah 82 persen.

Jangka waktu rata-rata dari serokonversi hingga AIDS klinis pada peserta penelitian Thailand ini adalah 7,4 tahun. Sebuah penelitian pada 2000, yang disebut sebagai CASCADE, dilakukan oleh

Collaborative Group on AIDS Incubation and HIV Survival, yang menyertakan lebih dari 13.000 orang yang mengetahui saat terinfeksi HIV, menemukan jangka waktu rata-rata setelah infeksi HIV hingga perkembangan AIDS untuk orang di Eropa, Amerika Utara dan Australia adalah 11 tahun untuk peserta yang berusia 15-24 tahun.

Angka kematian laki-laki Thailand adalah 56,3 kematian per 1000 orang-tahun, atau 18 persen lima tahun setelah terinfeksi HIV, dibandingkan dengan angka kematian 9 persen di antara orang di negara maju di Barat.

Menurut Dr. Nelson, “ Data ini akan sangat berguna sebagaimana pengobatan untuk HIV dan infeksi oportunistik menjadi lebih terjangkau di negara berkembang. Kami akan mampu mengukur dampak pengobatan dalam perkembangannya dan bertahan hidup setelah infeksi HIV.”

97,8 persen laki-laki terinfeksi dengan HIV-1 subtipe E. Oleh karena ini, penelitian ini tidak dapat memberikan bukti tentang dampak relatif subtipe HIV-1 yang berbeda pada lajunya penyakit HIV.

Para penulis mencatat bahwa viral load rata-rata dalam enam bulan setelah serokonsversi (74.000 kopi) adalah agak tinggi dibandingkan dengan penelitian di Barat terhadap pengguna narkoba suntikan dan penderita hemofilia, dan juga dibandingkan dengan orang di Multicenter AIDS Cohort Study (MACS) di AS, yang terinfeksi melalui hubungan seks.

Mereka juga mencatat jumlah CD4 pada laki-laki muda yang HIV-negatif lebih rendah dibandingkan laki-laki HIV-negatif di kelompok MACS di AS (746 vs. 988), dan penulis memberi kesan bahwa jumlah CD4 yang lebih rendah pada awal mungkin satu alasan untuk berkembangnya penyakit yang lebih cepat.

(4)

Jus Buah-Buahan Tropis

dan Interaksi Obat

Banyak obat mempunyai potensi saling

berinteraksi, berpengaruh terhadap penyerapannya sampai pada tingkat masing-masing dalam darah. Beberapa interaksi, misalnya antara ritonavir dan

protease inhibitor (PI) lain (atazanavir, lopinavir dan saquinavir) dipahami dengan baik oleh peneliti dan dapat dimanfaatkan oleh yang memakainya. Ritonavir sering dipakai dalam kombinasi dengan PI lain ini karena obat ini dapat meningkatkan (‘boost’) penyerapan obat tersebut dan

memperpanjang waktunya obat ini tetap ada di darah. Oleh karena efek ini, kombinasi ini yang di-‘boost’ oleh ritonavir dapat dipakai hanya sekali atau dua kali sehari. Namun interaksi lain dapat berdampak negatif, dengan menyebabkan tingkat obat dalam darah menjadi lebih rendah.

Bukan hanya obat yang menyebabkan interaksi ini. Pada akhir 1980-an, para peneliti menemukan bahwa jus grapefruit (semacam jeruk besar serupa dengan jeruk Bali) mengganggu sebuah enzim yang disebut sebagai CYP3A4. Enzim ini ditemukan pada usus dan hati orang. Banyak obat yang dipakai oleh manusia diuraikan oleh enzim ini. Bila kegiatan enzim CYP3A4 ini bertambah cepat, obat tersebut semakin cepat diuraikan dan dibuang dari tubuh. Bila kegiatan enzim ini menjadi lebih pelan, tingkat obat dapat meningkat.

Adalah penting untuk meneliti zat yang dapat mempengaruhi tingkat obat dalam darah. Bila tingkat ARV turun menjadi terlalu rendah, HIV dapat mengembangkan resistansi terhadap obat yang dipakai. Dan bila tingkat obat menjadi terlalu tinggi, efek samping dapat terjadi atau efek samping yang ada dapat menjadi lebih parah.

Apakah jus buah lain berinteraksi? Jus jeruk juga pernah ditelitikan dan tidak mempengaruhi enzim itu. Karena enzim dalam usus dan hati menguraikan beberapa macam ARV, misalnya PI, adalah penting menguji jus buah lain dan jus tanaman tropis untuk menentukan apakah mereka mempengaruhi enzim tersebut (dan oleh karena itu, kemampuannya untuk mempengaruhi tingkat obat dalam darah).

Rincian penelitian

Peneliti di Jepang sudah melangkah awal dalam arah ini. Mereka melakukan penelitian laboratorium

dengan sel hati manusia dan obat tidur midazolam. Obat ini dipilih karena diuraikan oleh CYP3A4. Mereka memakai jus buah yang berikut: •papaya

•‘dragon fruit’ (buah naga?) •buah kiwi

•mangga •markisa •buah delima •rambutan •belimbing •grapefruit putih •jeruk Valensia Hasil

Dari semua macam buah yang diuji, jus belimbing adalah penghalang terbesar CYP3A4. Para peneliti menguji belimbing dari berbagai tempat, dan menyiapkan jus pada waktu yang berbeda, namun hasilnya sama. Pengaruh jus belimbing pada enzim ini serupa dengan jus grapefruit.

Berdasarkan hasilnya, para ilmuwan Jepang ini menganggap bahwa jus belimbing dapat

berinteraksi dengan obat lain yang diuraikan oleh CYP3A4. Untuk menyakinkan, penelitian antara jus belimbing dan obat harus dilakukan pada manusia untuk menilai apakah ada interaksi.

Garis Dasar

Penelitian lain sudah menemukan bahwa jus grapefruit dapat mempengaruhi tingkat beberapa obat, termasuk ARV, dalam darah, jadi adalah masuk akal untuk menghindari jus grapefruit waktu memakai obat. Berdasarkan hasil penelitian ini, tampaknya juga masuk akal untuk menghindari jus atau buah belimbing.

Referensi: Hidaka M, Fujita K, Ogikubo T, et al. Potent inhibition by star fruit of human cytochrome P450 3A (CYP3A) activity. Drug Metabolism and Distribution 2004; 32(6):581-583.

Sumber: CATIE TreatmentUpdate 143, July 2004

(5)

Tips orang dengan HIV

Orang dengan HIV mengalami dua penyakit tulang yaitu osteoporosis (tulang keropos) dan osteonekrosis (kematian tulang) dengan angka yang luar biasa tinggi. Kita belum tahu apakah HIV sendiri atau obat-obatan antiretroviral yang bertanggung jawab. Kita dapat membantu mencegah osteoporosis dengan:

•Memakai zat kalsium atau suplemen vitamin D, •Berhenti merokok,

•Mengurangi penggunaan alkohol dan kafein, •Jika tidak ada rasa sakit pada sendi, olahraga angkat beban juga dapat membantu.

Diperlukan tes khusus untuk mengetahui apakah kita osteoporosis. Namun, rasa sakit pada sendi, terutama didaerah punggung mungkin tanda osteonekrosis. Jika kita mengalami rasa sakit pada sendi, sebaiknya kita bicara dengan dokter sebelum meningkatkan program olahraga kita.

Tips...

mempengaruhi atau tidak.

Untuk NNRTI, masa paronya sangat panjang, dan kemungkin ini akan memperkecil dampak bila ada. Namun bila kita ragu-ragu, mungkin sebaiknya kita menghindari minum jus buah-buahan satu jam sebelum dan setelah minum obat. Apakah ada yang mempunyai pendapat lain? Yang jelas, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai interaksi obat dengan berbagai zat, termasuk makanan dan minuman yang mungkin khas negara tropis—dan juga dengan narkoba yang semakin marak.

Pojok Info

Peserta Pelatihan

“Membangun

Kepemimpinan Positif,

Pendidikan Pengobatan

HIV/AIDS dan Pelatihan

Advokasi se-Asia

Tenggara”

Pattaya-Thailand, 20-25 September

2004

Setelah melalui seleksi yang ketat, berikut ini adalah nama-nama wakil dari Indonesia yang akan menjadi peserta pelatihan “Membangun

Kepemimpinan Positif, Pendidikan Pengobatan HIV/AIDS dan Advokasi se-Asia Tenggara” yang diadakan pada tanggal 20-25 September 2004 di Pattaya, Thailand, yaitu:

•Bayu dari Spiritia, Jakarta. •Ayi dari JOY, Yogyakarta.

•Rico Alba dari Pontianak Plus, Pontianak. •Syaiful Harahap dari Kespro, Jakarta. •Muh. Juharto di FHI ASA, Jakarta.

•Aditya A. Putra dari YAKITA, Bali sebagai interpreter dan

•Frika dari Spiritia sebagai Steering Committee. Selamat bekerja dan jangan lupa oleh-oleh informasi untuk kita….

(6)

Sahabat Senandika

Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia

dengan dukungan

T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D

FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON

Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130

Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521

E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:

Hertin Setyowati

Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar

untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

Tanya jawab

T: Saya seorang Odha, akhir-akhir ini mempunyai masalah dengan penglihatan saya. Apakah masalah ini terkait dengan HIV/AIDS?

J: Sebagian besar Odha tidak mengalami masalah terkait HIV yang mempengaruhi matanya. Namun, sebagian orang dengan AIDS tahap lanjut

mengembangkan penyakit mata yang parah. Penyakit ini dapat menyebabkan kebutaan jika tidak segera diobati.

Penyakit mata yang paling parah disebabkan oleh virus sitomegalia (CMV-lihat lembar inforamsi (LI) 501). Jika kadar CD4 kita dibawah 50-75 atau pernah di bawah angka itu, CMV dapat menyebabkan retinitas atau kerusakan sel pada retina bagian belakang mata yang peka pada cahaya.

Infeksi lain yang dapat mempengaruhi mata kita termasuk infeksi oportunistik, misalnya virus herpes (virus varisela zoster – (lihat LI 514) dan Toksoplasmosis (LI 517) atau infeksi biasa seperti virus herpes simpleks) dan sifilis.

Gejala Penyakit Mata:

Gejala awal retinitas CMV dapat termasuk: •Penglihatan yang kabur

•‘Floater’ (katung-katung) baru – titik hitam yang sangat kecil yang bergerak-gerak pada ruang penglihatan.

•Titik buta

•Kilasan cahaya terang

Jika kadar CD4 kita adalah atau pernah rendah, kita harus menganggap gejala ini sebagai sangat penting. Kita sebaiknya segera periksa ke dokter, karena semakin cepat CMV diobati, semakin kecil kerusakannya. Jika kadar CD4 lebih tinggi, kemungkinan masalah tidak disebabkan CMV, namun sebaiknya kita segera ke dokter.

Uveitis (radang pada lapisan dalam mata)

menyebabkan kemerahan, rasa sakit pada mata dan penglihatan kabur. Ini dapat disebabkan oleh toksoplasmosis atau rifabutin (obat anti-MAC), terutama jika kita pakai obat lain yang

meningkatkan tingkat rifabutin dalam aliran darah.

Konsultasi

Positif Fund

Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia

Periode A gustus 2004

Saldo aw al 1 A gustus 2004 6,433,675 Penerimaan di bulan A gustus 2004

300,000 __________+

Total penerimaan 6,733,675

Pengeluaran selama bulan A gustus :

Item Jumlah

Pengobatan 1,073,000

Transportasi 137,000

Komunikasi 0

Peralatan / Pemeliharaan 93,225

Modal Usaha 0

___________+

Total pengeluaran 1,303,225

Saldo akhir Positive Fund

Referensi

Dokumen terkait

setiap persoalan yang terjadi dalam proses pemerintahan desa tidak bisa hanya di pecahkan oleh pemerintah desa semata. Oleh karena itu pemerintah desa

Seleksi tanaman yang memiliki bobot gabah isi yang tinggi dan panjang malai pada anakan primer dan sekunder diharapkan akan menghasil- kan tanaman yang memiliki

Hasil pengujian didasarkan pada hasil uji dengan menggunakan Crosstabs (tabel silang) serta melihat hasil uji Pearson Chi- Square yang dibandingkan dengan nilai

Pembahasan dua model pesantren diatas yang difokuskan pada pola manajemen kurikulum bahasa arab, akan diteliti dengan model studi komparasi, sehingga terbentuklah

Untuk mencapai hal tersebut, Strategi Nasional Peningkatan Pemberian ASI dan MP-ASI merekomendasikan pemberian makanan yang baik dan tepat bagi bayi dan anak 0 - 24

Dari dalam negeri, IHSG kemarin ditutup menguat dengan masuknya dana asing senilai Rp 887 miliar seiring dengan sentimen positif dari Moody’s yang menaikkan outlook surat

Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian meliputi; identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional

Disamping yang dikelola oleh Lembaga Pemerintah seperti Pos Bantuan Hukum (PosBaKum) yang berada di Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang merupakan bukti konkret