• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB VI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNITAS

DIBO-DIBO

SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada dua bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa komunitas karakter sosial dan juga karakter ekonomi memiliki hubungan yang erat. Keterhubungan antara karakter sosial dan ekonomi sangat ditandai oleh aktivitas ekonomis yang dilakukan dibo-dibo setiap hari. Dan aktivitas ini yang menjadi ciri khas mereka.

Dengan ciri khas di atas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik motivasi sosial maupun motivasi ekonomis, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar sebagai akibat dari persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, baik dalam lingkup jaringan maupun antar sesama jaringan dalam komunitas yang lebih luas. Persamaan tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe mereka ini adalah community of interest. Mereka ini disebut sebagai community of interest karena tidak hidup dalam tempat yang sama, tetapi memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah yang mendasari seluruh aktivitas mereka sehari-hari.

(2)

dengan komunitas dibo-dibo, persamaan tujuan merupakan kemauan bersama yang melandasi keberadaan komunitas dibo-dibo.

Ciri khas mereka yang berlandaskan pada kepentingan, telah membuat mereka bisa melampaui identitas dan kebiasaan kultural yang membungkus masyarakat. Pola hidup sebagai orang Sahu dan orang Ternate, akan menjadi kabur sebagai akibat dari pertemuan- pertemuan dan komunikasi yang intensif di antara mereka. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dibo-dibo yang berasal dari Sahu, atau dibo-dibo yang berasal dari Jailolo (mengingat kedua suku ini memiliki pola yang berbeda.

Selain itu, persamaan kepentingan tersebut juga mengkondisikan solidaritas yang kuat di antara sesama jaringan. Sebagaimana dalam bahasa Durkheim (1964) bahwa solidaritas, khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian dari kesadaran kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut merupakan kesetiakawanan yang didasarkan pada pembagian porsi peran dalam menopang sebuah sistem.

Dari titik ini, kesetiakawanan organik yang melandasi aktivitas dibo-dibo dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam pandangan Durkheim (1964), sebagai solidaritas organik. Fungsi masing-masing dibo-dibo dalam jaringan mereka menggambarkan fungsi masing-masing unsur dalam menopang sebuah sistem, yakni alur distribusi hasil kebun dari Sahu ke Ternate. Masyarakat suku Sahu sebagai penghasil yang berfungsi sebagai penyuplai, tidak akan

(3)

di Ternate. kesatuan dari fungsi tersebut berdasarkan kedudukan, merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam konteks semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus fungsional.

Kaitannya dengan aras fungsional semacam di atas, terlihat bahwa ada linking di antar sesama anggota. Dalam lingking tersebut ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal balik ini kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan yang tercipta pada komunitas dibo-dibo. yang bisa dilihat sebagai trust dalam komunitas dibo-dibo.

Trust sebagai penyokong modal sosial, menjadi signifikan dalam kaitannya dengan negosiasi harapan dengan tindakan

setiap individu (Möllering, 2001). Kata „negosiasi‟ yang dipakai pada pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawar-menawar pada setiap individu antara tindakan dengan harapan diri sendiri maupun orang lain terhadap hasil dari tindakan tersebut. Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari pengaruh variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang.

Berangkat dari pemahaman di atas, jika dikaitkan dengan pola trust pada komunitas dibo-dibo, dapat dilihat kesesuaian. Kesesuaian tersebut tergambar pada proses negosiasi tindakan yang sering terjadi pada anggota dalam sebuah jaringan pada komunitas dibo-dibo. negosiasi tindakan akan muncul dengan sendirinya ketika seorang anggota tidak bisa memenuhi kebutuhan stok hasil kebun. Negosiasi dilakukan dalam upaya untuk menjaga kesepakatan relasi dalam jaringan. Di samping itu juga, hal ini dilakukan dalam kerangka menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan dalam menjaga keutuhan jaringan sosial dalam komunitas.

(4)

komunitas. Kesesuaian tindakan dan kejujuran merupakan dua indikator utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Seok-Eon Kim (2005). Walaupun dirinya lebih mengaplikasikan unsur-unsur tersebut dalam manajemen organisasi publik, akan tetapi bahwa unsur-unsur yang diidentifikasi oleh Seok-Eon Kim (2005), dengan jelas juga berlaku bagi komunitas dibo-dibo. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa unsur-unsur trust merupakan nilai-nilai yang berlaku secara universal.

Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo merupakan salah satu kondisi yang sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewey (1927) bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan. Terlihat bahwa Dewey (1927) menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada hubungan interpersonal. Dari titik berangkat komunikasi antar pribadi yang intens, yang sering dilakukan dalam bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada sesama dibo-dibo.

(5)

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa modal sosial akan berkaitan dengan aliran norma timbal balik. Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian dikonstruksikan menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang berada dalam komunitas dibo-dibo, diketahui bahwa bentuk sanksi yang berlaku di antara sesama anggota jaringan dalam komunitas dibo-dibo merupakan abstraksi dari norma timbal balik antar sesama anggota jaringan dalam komunitas.

Untuk melihat sanksi-sanksi sosial tersebut di atas, harus diketengahkan dalam kedudukan dan fungsinya dalam jaringan sosial. Dalam komunitas dibo-dibo, jaringan merupakan salah satu modal utama dalam mendistribusikan hasil kebun masyarakat atau hasil kebun sendiri ke Ternate. khusus untuk hubungan dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu, dalam hal ini penyuplai mereka, terlihat bahwa kebanyakan dibo-dibo menjadikan keluarga mereka sebagai penyuplai. Pertimbangan utama dari pilihan tersebut adalah ketergantungan yang aktif antara sesama mereka. Artinya bahwa hubungan kekerabatan menjamin dibo-dibo untuk memperoleh hubungan dan komunikasi yang lebih intens serta trust. Selain itu pula, konsistensi tanggung jawab pun akan lebih bisa dijamin.

Dengan memerhatikan pola tanggung jawab pada Gambar 4.2. diketahui bahwa alur tanggung jawab dalam anggota jaringan dibo-dibo memiliki konsekuensi sanksi. Dari sinilah dibangun pola jaringan, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam 4 (empat) pola. Yang mana pola jaringan tersebut memiliki dimensi tanggung jawab, yang kemudian bermuara pada kesepakatan sanksi yang mengikat mereka. Dengan demikian, sanksi yang diberlakukan secara lisan tersebut akan dimaknai dalam dimensi tanggung jawab berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam jaringan.

(6)

berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota komunitas. Kesadaran tersebut menurut Maturana dan Varella (1996) muncul karena setiap individu terlibat dalam jaringan makna (mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan relasi tersebut juga dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab individu dalam jaringan sosial.

Agak berbeda dengan pandangan di atas, bagi Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) bahwa individu tidak menjadi bagian yang satu dengan sistem seperti masyarakat atau komunitas. Individu dalam dirinya merupakan bagian dari lingkungan itu sendiri, akan tetapi tidak menjadi bagian yang utuh dengan sistem. Berangkat dari penekanan Parson tentang sistem yang fungsional, Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) menegaskan bahwa Parson dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan sistem untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini, Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) walaupun menggunakan autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup. Dalam arti bahwa sistem tersebut tidak bersangkut paut dengan liangkungan. Katerhubungan antara lingkungan dengan sistem hanyalah relasi pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan.

(7)

dibo-dibo. Dalam pengertian bahwa jaringan-jaringan yang terbentuk dalam komunitas ini adalah bagian dari ekspresi sistem komunitas ini dalam mempertahankan eksistensi mereka.

Namun begitu, hasil penelitian ini lebih memilih untuk menolak ketertutupan sistem sebagai autopoetic versi Luhman dan menerima penegasan: Capra (1996) yang mengatakan bahwa jaringan sosial akan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya. Keterbukaan komunitas dibo-dibo juga sangat dikondisikan oleh kerterbukaan masyarakat suku Sahu. Adapun simbol keterbukaan tersebut adalah bahwa rumah adat (sasadu) dibangun dengan tidak dikelilingi oleh pagar. Di samping itu pula, rumah penduduk pun tidak dibatasi oleh pagar-pagar masing-masing keluarga.17 Simbolisasi tersebut sangat mendukung karakter dibo-dibo yang terbuka. Karena bagaimana pun juga, walaupun dibo-dibo (bisa saja berasal dari daerah lain), akan tetapi mereka terus berkomunikasi dan berinteraksi secara intens dengan masyarakat suku Sahu. Tatap muka semacam inilah yang kemudian berpengaruh secara signifikan terhadap keterbukaan jaringan dibo-dibo.18 Adapun

gambaran mengenai pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 6.1 di bawah ini:

17 Karakter yang terbuka sebagaimana diapresiasikan dengan tidak adanya pembatas

pagar pada rumah kampung merupakan fenomena umum yang dapat juga dijumpai di daerah lain. Symbol tersebut masih melekat pada masyarakat yang hidup di pedesaan. Kenyataan semacam ini akan terbalik jika dibandingkan dengan konteks kehidupan masyarakat kota.

18 Diakui bahwa jaringan dibo-dibo tidak selamanya berasal dari suku Sahu.

(8)

Gambar 6.1. Autopoetic Komunitas Dibo-dibo

Dengan Gambar 6.1., dapat dilihat bahwa komunitas dibo- dibo dengan sistemnya (tergambarkan dalam pola tanggung jawab antar individu dalam jaringan), tidak hanya melibatkan individu sebagai dibo-dibo, melainkan juga kesadaran, pengalaman, strategi, bahasa pengetahuan dan budaya. Keterlibatan unsur-unsur tersebut di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kognitif individu.

Gambar

Gambar 6.1. Autopoetic Komunitas Dibo-dibo

Referensi

Dokumen terkait

Mind Mapping sudah menunjukkan adanya peningkatan, pada skor tes dan distribusi ketuntasan belajar pada pembelajaran yang dilakukan didalam kelas hanya men-

[r]

Secara tidak resmi Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo menjadi pusat tempat berkumpulnya Tentara Pelajar SA/CSA dari Kompi I yang meliputi Seksi I yang bermarkas di

Pembobotan elemen-elemen yang terdapat dalam perancangan pengukuran kinerja dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Proses (AHP) dengan bantuan perhitungan

Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 252/PMK.05/2014 tentang Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, dengan ini kami mengajukan permohonan

Hasil penelitian ialah bahwa ritual ibadah kebaktian adalah kegiatan ibadah rutin setiap Selasa malam, dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang

Persyaratan peserta sebagaimana tercantum dalam dokumen kualifikasi yang dapat diperoleh dengan mengakses aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) pada

Kapasitas pabrik bioetanol minimal yang ada di dunia adalah 10.000 kL/tahun sehingga produksi minimal yang dirancang lebih besar dari kapasitas tersebut yaitu 60.000 kL/tahun.. Dasar