• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN PADA SAP I PERAH DAN KEPENTINGANNYA DALAM PENGElOlAAN REPRODUKSI SAPI PERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN PADA SAP I PERAH DAN KEPENTINGANNYA DALAM PENGElOlAAN REPRODUKSI SAPI PERAH"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PENGElOlAAN REPRODUKSI SAPI PERAH

..

S K R I P S I

oleh

BENNY LlLII{ ERNAWATI B. 160496

FAKUL.TAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

BENNY LILIK ERNAWATI. Pemeriksaan Kebuntingan Pada Sapi Perah Dan Kepentingannya Dalam Pengelolaan ReprQ duksi Sapi Perah (dibawah perobimbing utama SOEBADI PARTODlHARDJO dan perobimbing pembantu BAMBANG PURWAN-TARA) •

Ternouth (1983) dan Arthur (1975) menyatakan, bahwa pemeriksaan kebuntingan pada sapi adalah digunakan untuk mengetahui dan memperoleh keterangan tentang status repro-duksi pada seekor sapi at au sekuropulan ternak sapi. Meto-de terbaik yang digunakan didalaro pelaksanaan pemeriksaan kebuntingan pada sapi perah adalah eksplorasi manual mela-lui rektal.

Salisbury and VanDemark (1961) roengeroukakan suatu pe~ dapat, bahwa didalam usaha pengelolaan reproduksi sapi pe-rah, met ode peroeriksaan kebuntingan per rektal merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk roendiagnosa ter hadap kemungkinan adanya penyakit penyebab infertilitas dan sterilitas secara cepat dan teliti. Peroeriksaan keburr tingan per rektal juga sangat roerobantu dalam evaluasi kebe£ hasilan pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IE).

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Parsonson (1961), kasus gangguan reproduksi yang pernah ditemukan pa-da sebuah perusahaan sapi perah meliputi 262 kasus penderi-ta sispenderi-ta folikel dan sispenderi-ta luteal, 345 kasus adalah pende-rita endometritis dan pyometra. Dari hasil pemeriksaan ini

(3)

(1970) menambahkan. kasus kemajiran yang lain adalah per-tumbuhan uterus yang abnormal. sista pada dinding vagina. hipoplasia ovarium dan kadang-kadang ditemukan tumor ova~ rium.

(4)

DALAM PENGELOLAAN REPRODUKSI ~il.PI PERil.H

SKRIPSI

oleh

EBNNY LILIK ERNAWATI

B. 16 0496

Sarjana Kedokteran Hewan

SKRIPSI INI TELAE DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH

Prof. Dr. Soebadi Partodihardjo Pembimbing Utama

Drh. Bam1'l ng Purwantar Pembimbing Pembantu

(5)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogar

}'AKULTAS IU;DOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Ayahnda. ibunda Berta kakak dan adik-adikku yang tercinta.

(7)

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepa-da penulis, sehingga penulis kepa-dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini diajukan sebagai syarat bagi Sarjana Kedok teran Hewan untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakul-. tas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Kami menya-dari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh ka-renanya segala kritik dan saran yang membangun sangat diha-rapkan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Soebadi Partodihardjo yang telah membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini, demikian pula kepada Sdr. Drh. Bambang Purwantara.

Disamping itu, rasa terima kasih juga penulis sampai-kan kepada segenap staf perpustakaan FKH-IPB, BPPH-Bogor, dan BFT Ciawi-Bogor yang telah menyediakan perpustak8angy~,

dan rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu menye-lesaikan skripsi ini, semoga amal baik yang telah dilimpah-kan pada kami mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.

Mudah-mudahan skripsi ini ada manfaatnya sebagai karya ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Bogor, Desember 1984 Penulis

(8)

Judul

...

i Ringkasan ... i i Kata Pengantar ... iv Da:ftar lsi ..

..

..

.. ..

.. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..

.. ..

.. .. .. ..

..

..

.. ..

..

.. ..

.. ..

..

.. ..

.. .. ..

.. .. .. ..

..

Da:ftar Tabel

..

.. ..

..

..

..

..

.. ..

..

.. ..

..

..

..

..

.. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..

..

..

..

Da:ftar Gambar ..

..

..

..

..

.. ..

.. .. ..

.. .. ..

..

..

.. ..

..

..

..

.. .. ..

.. .. .. .. .. .. .. .. .. ..

..

.. .. .. .. ..

..

Bab

I.

II. III. IV. V. Pendahuluan

.. .. .. ..

..

.. .. .. .. ..

..

..

..

..

.. .. .. .. ..

..

..

..

..

..

.

..

.

..

.. ..

..

Siklus Reproduksi Pada Sapi Perah Betina • •

1 • Puoertas ..

..

..

.

. .

..

.

..

.

..

..

.

..

..

.

.

..

..

.

..

.

..

.

..

.

..

..

. .

2. Siklus Berahi

.

..

.. ..

..

.

..

.

.

..

..

..

. . .

..

..

..

.

..

.

..

.

..

..

Fertilisasi

..

..

..

.

..

..

..

..

.. ..

.

. .

.. ..

.

..

.

.

.. ..

.. ..

..

.

..

.

4. Kebuntingan

..

.

..

. .

..

.

.

. .

. .

..

. . .

.. ..

. .

..

.

..

.

..

..

.

Tehnik Pemeriksaan Kebuntingan

.

.. ..

..

.

..

.

.. ..

..

.. ..

1 • Anatomi Alat Reproduksi Sapi Betina •••

2. Metode Pemeriksaan Kebuntingan

...

Pemeriksaan Kebuntingan Dalam Pengelolaan

Reproduksi Sapi Perah ••.••••.••.••.•••••••

1 •

2.

Pemeriksaan Kebuntingan dalam Pelaksa naan Program Inseminasi Buatan ••••• :-~. Palpasi per-rektal dalam Pengawasan Penyakit Penyebab Infertilitas Dan ste

rilitas . . . -:-.

Kesimpulan • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Daftar Pus taka

v v vi vii 1 3 3 4 8 13 19 19 22 30 30 39 48

(9)

T.abel 1. Lamanya berbagai periode siklus berahi dan jarak post partum pada sapi perah Tabel 2. Umur kebuntingan pada berbagai jenis

• • • • • • • 7

sapi perah ••••••••.•...•••....•...••..•••• 18

Tabel 3. Karakteristik perkembangan uterus pada

sapi bunting 35 - 91 hari ••••••••••••••• ~ ••• 35 Tabel 4. Karakteristik perkembangan uterus pada

sapi bunting 3 - 9 bulan •••••••••••••••••••• 36

(10)

1. Reaksi akrosom spermatozoa dan penetrasi

sper-matozoa ke dalam ovum ••....•...•..•...•...• 12

2. Anatomi organ reproduksi sapi betina •••••••••••••• 20 3. Diagram sistem pembuluh darah arterial pada

saluran reproduksi sapi betina ••••••....•••••••••• 21

4. Diagram tulang pelvis sapi betina, dan

cara-cara palpasi per rektal . . . • . 26

5. Hubungan antara kadar progesteron dalam susu pada sa pi laktasi dengan waktu setelah

dila-kukan inseminasi . . . • . . . • . • . • • • 28

6. Uterus sapi bunting 70 hari

.

.

. .

. . . .

.

.

. . .

.

. .

. .

. .

.

31

7. Uterus sapi bunting 90 hari • • • • • • • • 32

8. Uterus sapi bunting 110 hari • • • • • • • • • • • 33

9. Uterus sapi menjelang akhir kebuntingan • • • • • • • • • • 34

10. Macam-macam pertumbuhan abnormal pada alat

reproduksi sapi betina . . . . • . . • . . . • . . • . . . • • 43

(11)

Di Indonesia susu merupakan salah satu sumber protein hewani dengan skala produksi 'yang masih rendah, dibawah k~ butuhan yang diperlukan. Dengan sernakin rneningkatnya kes~ daran rnasyarakat terhadap pentingnya gizi serta kebutuhan sebagai bahan baku industri pengolahan susu dan rnengingat produksi susu dalarn negeri hanya rnencapai

±

17,5% dari se-luruh kebutuhan, maka perlu adanya pemikiran terhadap usa-ha penambausa-han jumlah sapi perah untuk rneningkatkan produk-si susu.

Sehubungan dengan usaha rneningkatkan produksi susu, rnaka diperlukan suatu cara dan keahlian tertentu untuk rne-nanggulangi terjadinya penurunan jumlah populasi ternak s~ pi perah sebagai akibat serangan berbagai macam penyakit reproduksi, baik yang bersifat infeksius atau non-infeksius berupa gangguan fungsi fisiologis yang pad a umumnya masih banyak merupakan masalah di Indonesia.

Perneriksaan kebuntingan adalah salah satu cara dengan menggunakan metode khusus untuk menentukan keadaan hewan bunting atau tidak. Selain itu perneriksaan kebuntingan dapat digunakan untuk rnembantu dalam pelaksanaan program Inserninasi Buatan (IB) dan untuk mendiagnosa terhadap ke-mungkinan adanya kelainan dalam saluran reproduksi hewan.

Hafez, 1974 (dikutip dari Zernjanis 1970) menyatakan, bahwa met ode yang dapat digunakan untuk mendiagnosa kebun-tingan pada sapi meliputi perneriksaan melalui palpasi

(12)

rek-tal, harmon assay dan penentuan karakteristik kimia fisik daripada sekresi vagina dan serviks. Dari beberapa meto-de tersebut, metometo-de pemeriksaan kebuntingan melalui palpa-si rektal merupakan met ode yang umum dan praktis digunakan disamping metode pengukuran kadar hormon progesyeron dalam susu yang pernah dicoba untuk mendiagnosa kebuntingan pada perusahaan sapi perah (Laing, 1970 dalam Hafez 1980).

Pemeriksaan kebuntingan didalam pengelolaan reproduk-si sapi perah selain mempunyai kegunaan untuk membantu da-lam pelaksanaan program Inseminasi Buatan, juga berg una d~

lam pengawasan terhadap penyakit penyebab infertilitas dan sterilitas yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan reproduksi sapi perah. Penggunaan metode pemeriksaan ke-buntingan melalui palpasi rektal selain cepat dan mempunyai ketepatan yang tinggi. juga dapat digunakan untuk mendiag nosa dengan segera dan kemungkinan untuk dilakukan pemeri~ saan secara lengkap terhadap organ reproduksi (Hafez 1980).

Dengan demikian melalui cara pemeriksaan kebuntingan diharapkan dapat membantu usaha peningkatan jumlah populasi ternak. khususnya dalam usaha pengembangan ternak sapi pe-rah yang sekaligus menjamin peningkatan produksi susu.

(13)

Siklus reproduksi adalah serangkaian kejadian biologik ke1amin yang me1iputi proses reproduksi da1am tubuh dari s~

atu makh1uk hidup, yang berlangsung secara sarnbung menyarn-bung hingga terlahir generasi baru (Partodihardjo, 1980).

Arthur (1975) menyatakan, bahwa siklus reproduksi dia-tur oleh adanya pengaruh timbal balik antara sistem syaraf pusat dengan kelenjar pituitary anterior dan ovarium.

Partodihardjo (1980) mengernukakan pendapatnya, bahwa secara garis besar proses reproduksi meliputi periode pube£ tas, siklus berahi, fertilisasi dan kebuntingan.

1. Pubertas

Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980) menjelaskan, bahwa pubertas atau dewasa kelamin adalah periode dalam pertumbuh an yang ditandai dengan mulai berfungsinya garnet untuk mem-produksi benih. Selain itu juga dijelaskan, bahwa pubertas pacla 5api betina ditandai dengan keadaan sa pi yang sudah 5i ap menerima pejantan. Kadang-kadang disertai dengan ovula-5i spontan.

Menurut pendapat Morrow et a1 (dalam Hafez 1980), pu-bertas pada anak sapi perah ditunjukkan oleh kebiasaan es-trus beberapa minggu sebelum terjadinya ovulasi pertama. Cole and Cupps (1969) menyatakan, bahwa saat pubertas dite-tapkan sebagai umur hewan untuk memulai aktivitas reproduk-sinya.

(14)

Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980) menjelaskan, bah-wa pubertas terjadi pada umur yang berbeda-beda. Perbeda-an tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama fak-tor genetik, pertumbuhan dan makanan. Pendapat ini diper-jelas oleh Fincher et al (1956) yang mengatakan, bahwa de-ngan pemberian makanan yang sangat baik pada anak sapi pe-rah, pubertas kadang-kadang dapat dicapai lebih awal dan pada umur 6 - 8 bulan mulai rnenunjukkan gejala berahi. Partodihardjo (1980) menambahkan, bahwa pubertas juga dipe-ngaruhi oleh faktor sosial.

Selain itu Cole and Cupps (1969) menjelaskan, bahwa pada sapi Friesian Holstein (FE) pubertas rata-rata terja-di pada umur 9 - 18 bulan dengan berat badan mencapai seki-tar 260 kg.

Menurut pendapat Stewart (1979), pubertas pada sapi

FE terjadi pada umur 13,2 bulan dan untuk sapi Shorthorn terjadi pada umur 11,1 bulan, sedangkan sapi Jersey menca-pai pubertas pada umur 11,9 bulan. Selain itu dijelaskan juga, bahwa umur pubertas dipengaruhi juga oleh kesehatan lingkungan.

2. Siklus Berahi

Satu siklus berahi adalah jarak antara berahi yang sa-tu sampai dengan berahi berikutnya (Partodihardjo 1980).

Arthur (1975) menjelaskan, bahwa terjadinya siklus rahi berhubungan dengan keadaan ovarium, yang sebagian

(15)

be-sar pada rnamalia rnencapai puncak berahi pada saat terjadi pelepasan satu atau lebih ovum. Ternouth (1983) menyata-kan, bahwa panjang siklus berahi pada sapi dibedakan anta-ra sikIus pendek yang terjadi kuanta-rang dari 18 hari, dan si-klus panjang yang berkisar antara 25 - 48 hari. Sedangkan pada sapi perah siklus berahi berkisar antara 17 - 24 hari, dengan rata-rata 21 hari (Hawk and Bellows dalam Hafez,

1980).

Toelihere (1981) membagi siklus berahi dalam dua ta-hap, yaitu tahap folikuler yang meliputi proestrus dan es-trus; dan tahap luteal yang meliputi metestrus dan dies-trus. Sedangkan Arthur (1975) dan Fincher ~ ~ (1956)

membagi siklus berahi dalam lima tahap, yaitu tahap proes-trus, esproes-trus, metesproes-trus, diestrus dan anestrus. Selain \ itu Ternouth (1983), Partodihardjo (1980) dan 20elihere

(1981) juga menyatakan, bahwa secara umum sikIus berahi m~

liputi tahap proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus adalah tahap sebelum estrus, dimana folikel de Graaf bertumbuh (Toelihere 1981). Pertumbuhan folikel tersebut terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating Hormo-ne (FSH) , dengan menghasilkan sejumlah estradiol yang se~ kin bertambah (Baker dalam Ternouth, 1983). Pada tahap

ini keadaan uterus meluas, mukosa uterus padat dan udema-tUB, dan kelenjar menjadi aktif (Arthur 1975). Disamping itu vagina menjadi hiperemis, serviks mulai mengalami re-laksasi dan sekresi serviks menjadi lebih cair dan berle-bihan (Baker dalam Ternouth, 1983). Pada tahap ini hewan

(16)

rnulai rnenampakkan gejala berahi, walaupun belum mau IDeneri IDa pejantan untuk mengadakan kopulasi (Partodihardjo 1980).

Estrus sering diartikan sebagai tahap penerimaan pe-jantan (Arthur 1975). Pada tahap ini serviks dalam keada-an relaksasi, vagina meluas, vulva merah dkeada-an bengkak (Ba-ker dalam Ternouth, 1983 dan Partodihardjo 1980). Ditam-bahkan oleh Arthur (1975), bahwa kelenjar serviks dan ke-len jar uterus banyak mengeluarkan cairan ke-lendir yang ken-tal. Dengan palpasi rektal terhadap ovarium diternukan ada nya folikel yang matang. Ovarium terasa sedikit menonjol, licin dan halus pada salah satu permukaannya. Pada sapi perah estrus terjadi selama 12 - 24 jam, dan ovulasi terj~

di 10 - 11 jam setelah akhir estrus, sedangkan estrus per-tama setelah partus terjadi sesudah 32 - 69 hari. Menurut pendapat Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980), estrus pada sapi perah terjadi selama 13 - 17 jam dan ovulasi terjadi 25 - 32 jam setelah mulai estrus, sedangkan jarak estrus pertama dengan kelahiran berkisar antara 20 - 70 hari.

Metestrus adalah tahap segera setelah estrus, dimana korpus luteum tumbuh secara cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah (Arthur 1975 dan Toelihere 1981). Tahap metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh ho~

mon progesteron yang dihasilkan pleh korpus luteum (Toe li-here 1981). Selain itu Partodihardjo (1980) menambahkan, bahwa pada tahap ini sapi telah menolak pejantan untuk ak-tivitas kopulasi. Ditambahkan juga oleh Arthur (1975), bah wa Ilada tahap ini pembuluh darah dan kelenjar mukosa uterus

(17)

menjadi sangat aktif, sedangkan sekresi dari vagina menja-di berkurang. Serviks mulai menutup, kadang-kadang diser-tai dengan sedikit perdarahan yang mengalir dari uterus ke vagina (Partodihardjo 1980). Pendapat ini diperkuat oleh Baker (.dalam Ternouth 1983) yang menyatakan, bahwa dalam tahap ini

30%

kejadian yang menunjukkan terjadinya perda-rahan pada sapi. Toelihere (1981) menambahkan, bahwa ta-hap ini berlangsung selama 3 - 5 hari.

rabel 1. Lamanya berbagai periode siklus berahi dan jarak postpartum pada sapi perah.

No. Periode

1. estrus (jam)

2. ovulasi setelah awal estrus (jam)

3. panjang siklus estrus (bari)

4. proses kelahiran dengan ovulasi pertama (hari) 5. proses kelahiran dengan

estrus pertama (hari) 6. proses kelahiran dengan

involusi uterus (hari)

Lama Selang 13 - 17 25 - 32 17 - 24 10 - 40 20 - 70 32 - 50 Ra"Ga-rata 15 29 21 20 34 45

Sumber: Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animal. Lea and Febiger. Philadelphia, U.S.A.

(18)

Diestrus adalah tahap terakhir dan terlama dalam si-klus berahi pada ternak mamalia (Toelihere 1981). Korpus luteum menjadi matang dan bertambah aktif untuk menghasil kan progesteron (Baker dalam Ternouth 1983). Selain itu dijelaskan juga oleh Arthur (1975); dalam fase ini uterus dalam keadaan relax dan serviks menutup, sedangkan lendir vagina berkurang dan lengket juga mukosa vagina menjadi p~

cat. Fase ini berlangsung selama 13 hari, dan pada fase ini mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan sekunder yang akhirnya kembali ke fase proestrus (Toelihe-re 1981).

3. Fertilisasi

Austin, 1957 (dikutip oleh Salisbury and VanDemark 1961) mengatakan, bahwa fertilisasi adalah peristiwa bert~

munya ovum dan spermatozoa yang diikuti dengan proses ber-satunya kedua jenis sel tersebut. Anderson (dalam Cole and Cupps 1977) dan Swenson (1970) menjelaskan, bahwa proses fertilisasi secara umum meliputi tahap kapasitasi spermatQ zoa di dalam saluran reproduksi betina dan tahap penetrasi spermatozoa ke dalam ovum.

3.1. Kapasitasi Spermatozoa Dalam Saluran Reproduksi Bet.ina

Menurut Swenson (1970), kapasitasi spermatozoa m~

rupakan salah satu perjalanan spermatozoa di dalam sa-luran reproduksi betina untuk memperoleh kemampuan di

(19)

dalam usaha membuahi ovum.

Proses kapasitasi spermatozoa terjadi di dalam uterus dan oviduct, yang berlangsung dalam dua

meka-nisme yaitu mekanisme pembuangan faktor dekapasitasi dari sel spermatozoa dan pengaktifan enzim akrosom

(reaks1 akrosom) (Anderson dalam Cole and Cupps,

1977).

Anderson (dalam Cole and Cupps

1977)

juga menje-laskan, bahwa faktor dekapasitasi ada di dalam plasma seminal yang menyelimuti spermatozoa. Penghilangan faktor dekapasitasi mungkin hasil pengaktifan satu atau lebih enzim akrosom, yang meliputi akrosin dan ne uraminidaselike. Kemudian diikut1 dengan reaksi pele-bUran membran plasma dan membran akrosom sebelah luar dari sel spermatozoa, sehingga terjadi pembebasan en-zim yang membantu spermatozoa untuk menembus kumulus oophorus dan korona radiata.

Partodihardjo

(1980)

menambahkan, bahwa reaksi akrosom yang berupa perubahan membran spermatozoa (~ langnya akrosom) terjadi pada batas pertemuan istmus dan ampula atau "Ampula-Isthmus Junction" (ll IJ).

Menurut hasil pengamatan Anderson (dalam Cole and Cupps

1977),

kapasitasi spermatozoa normal terjadi di-bawah pengaruh kadar estrogen yang tinggi. Kapasitasi di dalam uterus lebih responsif terhadap pengaruh hor-mon daripada kapasitasi yang terjadi di dalam oviduct. 3.2. Penetrasi Spermatozoa Ke Dalam Ovum

(20)

Menurut pendapat Austin and Bishop, 1957 (~­

tip oleh Salisbury and VanDemark 1961), proses pene-trasi spermatozoa ke dalam ovum yang terjadi di bagi-an ampula dari oviduct, meliputi penembusbagi-an terhadap lapis sel granulosa, zona pellucida dan membran vitel lin yang merupakan dinding sel ovum.

Mann, 1944 and Meyer, 1967 (dikutip oleh Salis-bury and" VanDemark 1961); dan Cole and Cupps (1977) menjelaskan, bahwa enzim hyaluronidase yang dihasilkan selama reaksi akrosom berfungsi mencairkan a5am hialu-ronik yang merupakan perekat sel-sel granulosa. Kemu-dian spermatozoa dapat dengan mudah menyusup ke dalam-nya dan berusaha untuk menembus zona pellucida.

Austin, 1957 (dalam Salisbury and VanDemark 1961) menjelaskan, bahwa dengan posisi kepala menyentuh dan menusuk, spermatozoa berusaha menembus zona pellucida. Disamping itu Cole and Cupps (1977) menambahkan, bah-wa dengan adanya enzim proteolitik akrosoma termasuk akrosin yang disebut juga dengan trypsinlike enzyme atau acrosomal proteinase, spermatozoa dapat menembus zona pellucida.

Diikuti oleh pendapat Jamane, 1956 (dikutip oleh Salisbury and VanDemark 1961), bahwa setelah spermato-zoa menembus zona pellucida, segera masuk ke dalam ru-ang perivitellin yru-ang kemudian dengan posisi kepala s~

(21)

gai akibatnya terjadilah aktivitas ovum dengan membtuk tonjolan keeil, yang disebabkan oleh pengaruh en-zim yang dibawa spermatozoa ke dalam ovum terhadap a-sam hialuronik dalam ovum. Diikuti oleh pendapat Aus-tin, 1957 (dalam Salisbury and VanDemark 1961), bahwa dengan terbentuknya tonjolan tersebut spermatozoa da-pat lebih mudah menyusup ke dalam sitoplasma sel ov,urn. Kemudian kepala spermatozoa putus dan mengembang, se-hinggga tampak tidak berbentukj inti sel memudar dan nukleoli jelas, dengan membran disekelilingnya, yang bersifat basofilik. Diikuti dengan peristiwa terurai-nya kromosom inti sel spermatozoa dan ovum, kemudian berpasangan dan membentuk inti baru (Zamboni et al 1970

-dikutip oleh Cole and Cupps, 1977; dan Partodihardjo. 1980).

Menurut Austin, 1957 (dikutip oleh Salisbury and VanDemark 1961), bahwa setelah tubuh spermatozoa masuk ke sitoplasma ovum, kepala spermatozoa melebur kemudi-an pronuklei jkemudi-an tkemudi-an dkemudi-an bet ina saling menyatu dkemudi-an mem-bentuk inti baru yang kemudian berkembang hingga terben

.

-tuk makhluk baru. Waktu yang di'butuhkan mulai dari pel!! bentukan pronuklei sampai terjadi pembelahan pertama di perkirakan berkisar antara 12 - 20 jam.

Menurut Toelihere (1981). waktu yang dibutuhkan m,!;!; lai dari penetrasi spermatozoa sampai pembelahan perta-ma kemungkinan tidak melebihi 24 jam.

(22)

Gambar 1. Reaksi akrosom spermatozoa dan penetrasi sper-matozoa kedalam ovum.

-membran aorosom

sebelah dalam

//~

Cumulus Oophorus

00rona. Radiata (A) (8)

-(e)

, dp

\

rnembran plasma membran acrosom sebelah luar membran aerosom .,<-"'/J h . 1 ." Pellucida , telluB i

lJ.:::~:~!peri v:i tellin!

<:

Vi telin

I

~~HB~

I

Menembus Cumulus Oophorus

sebela (le. amJ:'~"" .'.1'./

"~ .~e;dembune

Q~~

~ue.torie.l

Segment membran aero scm sebelah dal.E.m Spermatozoa da~am Corona Radiata Pellucida ; i

,

I I I.

II

I'

; I

, I I

; I

, I i I

,.

I

Keterangan: A. Keadaan spermatozoa yang mengalami kapa-sitasi (kiri), dan penetrasi kedalam

ku-mulus oophorus (kanan).

B. Reaksi akrosom (kiri). dan penetrasi ko-rona radiata.

C. Keadaan spermatozoa yang berreaksi (kiri), dan penetrasi kedalam zona pellucida.

Sumber: Cole, H.H. and P.T. Cupps. 1977. Reproduction in Domestic Animals. Academic Press, London.

(23)

.

.

4. Kebuntingan ,

.' Salisbury and VanDemark (1961) dan Partodihardjo (1980)

mengatakan, bahwa periode kebuntingan adalah peri ode yang dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadi kelahir-an normal; dan di dalam masa pertumbuhan kebuntingan meli-puti periode ovum, periode embrio, dan periode fetus.

4.1. Periode Ovum

Partodihardjo (1980) berpendapat, bahwa periode ovum adalah periode yang dimulai dari terjadinya fer-tilisasi sampai dengan terjadinya implantasi. Menurut Salisbury and VanDemark (1961), periode ovum pada sapi adalah jarak dari mulai terjadinya fertilisasi sampai sekitar 12 hari umur kebuntingan.

Salisbury and VanDemark (1961) juga menjelaskan, bahwa pada periode ini sel telur yang berhasil dibuahi

(zygote) mulai turun secara perlahan menuju ke uterus. Pendapat ini diperjelas oleh Arthur (1975) yang menga-takan, bahwa pergerakan zygote menuju uterus terjadi sebagai hasil kontraksi peristaltik dan gerak silia di dalam oviduct.

Winters ~ aI, 1942 (dikutip oleh Asdell 1955)

dan Arthur (1975) menambahkan, bahwa pergerakan zygote ke uterus terjadi setelah 90 jam, dan pada tahap ini zygote terdiri dari 16 sel yang akan membelah lagi mea jadi 32 6el setelah 114 jam. Setelah mencapai umur

(24)

130 - 140 jam merupakan tahap morula dalam zygote sa-pi (Salisbury and VanDemark 1961).

Patten, 1948 (dikutip oleh Salisbury and VanDemark 1961) mengatakan, bahwa sekitar umur 7 hari zygote pa-da sapi mulai membentuk lekukan bulat yang disebut de-ngan blastocyt. Diikuti oleh pendapat Arthur (1975), bahwa setelah 9 hari blastocyt dengan cepat memanjang dan pada sapi hampir memenuhi seluruh tanduk kornua yang bunting.

Winters, 1942 dan Hamilton and Laing, 1946 (~­ tip oleh Salisbury and VanDemark 1961) dan Greenstein and Foley, 1958 (dikutip oleh Swenson 1970) menambah-kant bahwa blastocyt telah ditemukan sekitar 8 - 12 ha ri setelah pembuahan. Implantasi zygote di dalam ute-rus sapi terjadi antara 2 - 5 minggu umur kebuntingan

(Chang 1952 dan Wimsatt 1975 dikutip oleh Cole and Cupps 1977).

Menurut pendapat Winters et al (dalam Asdell 1955) dan Greenstein and Foley, 1958 (dalam Swenson 1970), i~ plantasi zygote pada sapi terjadi antara 30 - 35 hari umur kebuntingan.

Salisbury and VanDemark (1961) berpendapat, bahwa setelah umur 6 hari zona pellucida mulai memisah dan sel menekan keluar, kemudian membentuk lapisan sel dan dari lapisan ini tumbuh membran. Pada hari ke dua belas zy-gote mulai menempel di permukaan dinding uterus. Asdell

(1955) menarnbahkan, bahwa proses pernbelahan sel terjadi selama satu minggu setelah pembuahan.

(25)

4.2. Periode Embrio

Greenstein and Foley, 1958 (dikutip oleh Swenson 1970) menjelaskan, bahwa setelah terjadi proses imp laB tasi embrio membentuk hubungan yang tetap dengan endo-metrium dan terjadi proses pertumbuhan plasenta. Win-ters, 1942 (dikutip oleh 0alisbury and VanDemark 1961) dan Asdell (1955) menambahkan, bahwa periode embrio ~

da sapi terjadi pada umur kebuntingan 13 - 45 hari, yang dicirikan dengan mulai terbentuknya sebagian be-sar organ tubuh.

Menurut pendapat Partodihardjo (1980), periode em brio adalah peri ode yang dimulai dari implantasi sam-pai dimulainya pembentukan alat-alat tubuh bag ian da-lam. Pendapat ini diperjelas oleh Salisbury and VanDe mark (1961) yang mengatakan, bahwa selama peri ode per-tumbuhan embrio mulai terbentuk organ tubuh yang meli-puti organ hati, paru-paru, jantung, pankreas, sistem syaraf, sistem saluran pencernaan, sistem kerangka,

dan saluran urogenital. Disamping itu Greenstein (1958) dan Grimes et al (dikutip oleh Salisbury and VanDemark 1961) menambahkan, bahwa jantung mulai berdenyut pada umur kebuntingan sekitar 21 - 22 hari.

Greenstein, 1958 (dikutip oleh Salisbury and Van Demark 1961) dan Cole and Cupps (1977) juga mengatakan, bahwa pada periode embrio juga terjadi pertumbuhan pla-senta dan membran ekstra embrionik yang meliputi yolk

(26)

tumbuh bebas sampai umur kebuntingan mencapai 180 -210 hari pada peri ode fetus (Swett ~ al dalam Asdell, 1955).

Foley and Reece (1953) dan Melton ~~, 1951 (di kutip oleh Salisbury and VanDemark 1961) menjelaskan, bahwa pada saat embryo mencapai umur 30 - 35 hari kho rion mulai mengikatkan pada kotiledon di uterus induk. Pada umur 35 - 45 hari perlekatan semakin kuat. Jum-lah kotiledon pada sa pi yang berfungsi rata-rata ber-kisar 100 - 120 buah (Arthur 1975).

Asdell (1955) menjelaskan, bahwa pada periode e~ bryo makanan diperoleh dari induk melalui khorionnya dengan melalui tali umbilicus disalurkan ke embryo.

Disamping ~tu Asdell (1955) juga menjelaskan, ba~ wa pada umur kebuntingan 35 hari kornua yang bunting mulai menggelembung, karena terjadi perluasan ruang khorio-allantois yang penuh berisi cairan sehingga ut~

rus meluas dan mudah untuk dilakukan diagnosa kebun-tingan. Salisbury and VanDemark,(1961) menambahkan, bahwa pada peri ode embryo yang berumur 45 hari mempu-nyai ukuran panjang 3,3 em dan berat sekitar 2,5 gram. 4.3. Periode Fetus

Swenson (1970) dan Partodihardjo (1980) mengata-kan, bahwa periode fetus merupakan kelanjutan dari pe-riode pertumbuhan embryo.

(27)

periode fetus adalah periode yang dimulai dari 46 he

ri setelah perkawinan sampai terjadi kelahiran nor-mal. Dijelaskan juga, bahwa pada periode ini diciri kan oleh terjadinya perubahan ukuran fetus, pembagi-an pertumbuhpembagi-an ypembagi-ang meliputi pertulpembagi-angpembagi-an dpembagi-an pemben-tukan rambut serta perubahan lain yang meliputi ter-bentuknya kelopak mata dan anggota badan.

Foley and Reece (1953), Melton and Butler (1951); Swett and Fohrman (1948) dan Winters and Comstock

(1942) (dikutip oleh Salisbury and VanDemark 1961) m~

negaskan. bahwa folikel rambut mulai terlihat pada mur kebuntingan 90 hari dan pewarnaan terjadi pada u-mur 110 hari. Sedangkan pertumbuhan rambut pada seki tar moncong dan mata mulai kelihatan pada umur 150 he

ri dan pada umur 230 hari mulai menutupi tubuh.

Disamping itu Cole and Cupps (1977) dan Salisbu-ry and VanDemark (1.961) menjelaskan, bahwa pada mula-nya ukuran berat fetus bertambah secara lambat sekali. Lebih dari setengah pertambahan berat fetus terjadi se lama 2 - 3 bulan terakhir kebuntingan.

Salisbury and VanDemark (1961) menambahkan, bah-wa berat total uterus bisa mencapai sekitar 75 kg ter-gantung pada keturunan, umur dan ukuran sapi.

Disamping itu Salisbury and VanDemark (1961) ju-ga menjelaskan, bahwa berat total akhir kebuntinju-gan me liputi 60% berat fetus, 10% berat membran fetus dan ka dang-kadang bisa lebih, sedangkan 25% adalah berat

(28)

cairan amniotik. Dijelaskan juga, bahwa setelah 40

-60 hari umur kebuntingan pada sa pi dapat diperiksa se cara klinis, karena adanya pertumbuhan korpus luteum pada ovari.

Asdell (1955) dan Salisbury and VanDemark (1961) menjelaskan, bahwa urour kebuntingan pada sapi perah untuk semua jenis sa pi perah berkisar antara 278 - 284 hari, kecuali Brown Swiss kebuntingan berakhir pada s~

kitar 290 hari.

Tabel 2.Umur kebuntingan pada jenis sapi perah.

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

8. Jenis Aberdeen Angus Ayrshire Brown Swiss Guernsey Holstein Friesian Jersey t>!ilking Shorthorn Swedish Red and White:

Hari 281 279 290 283 279 279 282 284

Sumber : Asdell, S.A. 1955. Cattle Fertility and Sterility. Little, Brown and Co. Toronto,

(29)

Jainudeen and Hafez (dalam Hafez 1980) mengemukakan pendapatnya, bahwa salah satu tujuan pemeriksaan kebuntin~

an pada sapi adalah memungkinkan untuk mengetahui sedini mung kin bahwa sapi tidak bunting, supaya kehilangan waktu produksi sebagai hasil kegagalan pembuahan dapat diperpen-dek dengan memilih pengobatan yang tepat. Kemudian diiku-ti oleh pendapat Baker (dalam ~ernouth 1983), bahwa penge;!: tian tentang anatomi alat reproduksi dan fisiologi siklus reproduksi pada sapi dan pemilihan tehnik pemeriksaan yang tepat. adalah penting sebagai pengetahuan dasar petugas p.§. meriksa kebuntingan.

1. Anatomi Alat Reproduksi Sapi Betina

Asdell (1955) dan Partodihardjo (1980) menggambarkan, bahwa secara anatomik alat reproduksi sapi betina terdir.i dari : ovarium, saluran reproduksi yang t.erbagi menjadi ovi duct atau tuba fallapii, uterus, vagina; dan alat kelamin luar yang terdiri dari vulva dan klitaris.

Ovarium merupakan bag ian alat kelamin sapi betina yang utama, dengan fungsinya sebagai pengbasil ova (telur) (Par-todihardjo, 1980). Disamping itu Asdell (1955) juga menga-takan. bahwa pada sa pi juga berfungsi menghasilkan harmon yang berfungsi mengantral pubertas. pertumbuhan dan pemeli-haraan saluran reproduksi. Dikatakan juga. bahwa ovarium terletak di belakang ginjal, yang mempunyai ukuran 3,5

(30)

-Keteraggan • b. Vesica urinaria. m. Kelenjar susu. r. Rektum. t. Tuba fallopii. u. uterus. v. Vagina. x. Serviks. y. Ovarium.

Gambar 2. Anatomi organ reproduksi sapi betina.

Sumber: Rafez, E.S.E.

1980.

Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger. Phila-delphia, U.S.A.

4 cm dengan bentuk oval dan permukaan yang agak kasar. P

a

da sapi dewasa masing-masing ovarium beratnya mencapai 15-20 gram, meskipun sebelah kanan biasanya lebih besar dari-pada sebelah kiri dan lebih aktif melepaskan telur.

Oviduct atau tuba fallopii pada sapi mempunyai ukur-an pukur-anjukur-ang 20 - 25 em, dengukur-an membentuk corong yukur-ang besar pada ujungnya yang disebut dengan infundibulum. Bagian ovl duct ini akan menegang pada saat terjadi ovulasi dan ber-fungsi menerima telur yang dilepaskan oleh ovarium (Asdell,

1955) •

Hafez

(1980)

menjelaskan, bahwa uterus pada sapi ada-lah tipe bipartitus yang terdiri dari dua tanduk uterus

(cornua), korpus, dan serviks uteri. Kedua sisi uterus di lekatkan oleh ligamentum pada pelvis dan dinding abdomen.

(31)

Pendapat ini diperjelas oleh Asdell (1955). bahwa kornua pada sapi dewasa panjangnya meneapai 35 - 40 em. dan

pan-jang serviks meneapai 9 - 10 em dengan diameter 4 em. Se-dangkan pada sapi muda (anak sapi) panjang serviks menea-pai 6 em dengan diameter 2 em. Pada permukaan lapisan d!.. lam uterus (endometrium) ~erdapat karunkula yang berjumlah

.:!:. 100 buah. dengan diameter masing-masing 15 mm dan tersu-sun secara tidak beraturan.

Dijelaskan juga oleh Asdell (1955), bahwa vagina pada sapi mempunyai ukuran panjang 20 - 30 em. dan terletak di-antara rektum. vesica urinaria dan urethra. Sedangkan vu.l va mempunyai ukuran panjang kedalam .:!:.. 10 em. dan klitoris sebagian besar dalam keadaan tersembunyi.

Sistem peredaran darah arterial adalah sebagai pele~ kap anatomi organ reproduksi pada sapi bet ina yang juga perlu diketahui sehubungan dengan pemeriksaan kebuntingan. Gambar 3. Diagram sistem pembuluh darah arterial pada

sa-lUran reproduksi sapi betina.

Sumber: Hafez. E.S.E. 1980. Reproduction in

Farm Animals. Lea and Febiger. Phila-delphia, U.S.A.

(32)

Dijelaskan oleh Hafez (1980), bahwa

!.

uterina media ada-lah saada-lah satu cabang dari

!.

iliaca interna atau

!.

~ ~ externa, yang dengan melalui cabang-cabangnya darah di-alirkan ke seluruh bagian organ reproduksi. Pada uterus yang merupakan daerah pertumbuhan fetus, arteri ini akan mengalir semakin deras sesuai dengan bertambahnya umur ke-buntingan.

2. Metode Pemeriksaan Kebuntingan

Jainudeen and Hafez (dalam Hafez 1980) mengatakan, bah wa diagnosa kebuntingan pada sapi perah dapat dilakukan de-ngan menggunakan met ode klinik atau metode laboratorium. Penggunaan kedua metode ini tergantung dari jenis hewan, umur kebuntingan, beaya, ketelitian dan kecepatan untuk me~

diagnosa. Berdasarkan beberapa pertimbangan terse but dia-tas, metode yang biasa digunakan adalah metode klinik de-ngan cara palpasi rektal dan pengukuran kadar hormonal sa-lah satu met ode laboratorium. Pendapat ini diperkuat oleh Ternouth (1983) dan Arthur (1975) yang mengatakan, bahwa palpasi rektal adalah cara terbaik untuk digunakan dalam pe meriksaan kebuntingan pada sapi. yang dapat memberikan ba~

nyak sekali keterangan secara cepat tentang penyebab terja dinya infertilitas dan mengetahui sedini mungkin status re-produktif pada sapi.

2.1. Palpasi Rektal

(33)

tujuan mendiagnosa kebuntingan pada sapi dengan cara palpasi rektal adalah untuk mendeteksi adanya pembe-saran uterus yang terjadi sesuai dengan umur kebun-tingan hewan, dengan melalui eksplorasi manual terha dap uterus. Gara ini mempunyai ketelitian yang tinE.. gi, yang dapat digunakan untuk mendiagnosa umur ke-buntingan muda (~ 45 bari), dan status kebuntingan-nya dapat diketahui dengan segera.

Cara melakukannya dijelaskan oleh Arthur (1975), bahwa sebelum pemeriksaan dimulai operator gendaknya mengenakan sepatu karet tinggi, baju panjang yang bersifat melindungi dengan lengan baju yang pendek. Tangan yang akan digunakan untuk mengeksplorasi dicu ci lebih dahulu, kemudian diberi pelicin dengan me~

gunakan air dan sabun sampai batas lengan. Dalam k~

adaan sudah siap operator berdiri di belakang sapi yang akan diperiksa, dan operator diusahakan dapat berdiri pada dataran yang samadengan tempat sapi yang akan diperiksa. Ternak diusahakan dalam posisi berdi ri tegak dan dalam keadaan yang tenang, bila perlu ada asisten yang membantu menahan sapi yang diperik-sa. Untuk mengurangi ketegangan, dapat dilakukan de-ngan cara menjepit bagian belakang sapi yang diperik-sa. Pendapat ini diperkua" oleh Ternouth (1983) yang mengatakan, bahwa dalam pemeriksaan salah satu tangan operator memegang ekor kemudian dengan posisi agak mi ring, tangan operator dengan membentuk contong

(34)

(keru-cut) secara perlahan-lahan ditekankan melalui anus masuk ke dalam rektum. Dengan perlahan-lahan dan p~ nuh perasaan. di sepanjang permukaan bawah rektum ta

ngan didorong masuk sampai mencapai posisi lantai pelvis dan menemukan serviks. Pada sapi Bos Indicus, serviks cenderung meluas dan letaknya sering lebih ke pinggir pelvis pada abdomen.

Disamping itu Jainudeen and Hafez (dalam Hafez 1980) mengatakan, bahwa setelah operator memasukkan salah sa.u tangannya ke dalam rektum sapi, kemudian dilakukan eksplorasi manual terhadap uterus untuk m~n

deteksi adanya pembesaran uterin yang terjadi karena kebuntingan.

Ternouth (1.983) menambahkan, bahwa jika banyak ditemukan feces dalam rektum, hendaknya dibersihkan lebih dahulu untuk mempermudah masuknya tangan lebih jauh ke dalam.

Zemjanis (dalam Ternouth 1983) menjelaskan, bah wa untuk dapat mencapai uterus eksplorasi dilakukan dengan menggerakkan tangan dalam posisi tertutup ke bawah dan lebih ke permukaan atas tanduk uterin sam-pai tercasam-pai percabangan tanduk uterine Setelah men capai kornua, dengan menggunakan jari telunjuk dite-kankan pada permukaan at as secara lebih menyamping dan kemudian diperkirakan ukuran masing-masing kor-nua berdasarkan adanya pembesaran dan kepadatan yang terjadi. Pendapat ini diperkuat oleh Arthur (1975)

(35)

yar~ mengatakan, bahwa tangan diulurkan ke bag ian d~

pan melebihi lekukan (bifureatio) bag ian dorsal, ke-mudian uterus ditarik ke belakang dan masing-masing bag ian bebas kornua dipalpasi kemudian diperkirakan keadaannya.

Arthur (1975) menjelaskan, bahwa tidak jarang ditemui uterus dalam keadaan terangkat keatas atau kesalah satu sisi yang disebabkan oleh tekanan kan-tong urin yang terisi penuh urin. Dalam keadaan ini hendaknya diusahakan organ kembali ke posisi semula

(posisi normal).

Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan

palpa-si kedua ovarium. Dijelaskan juga oleh Arthur (1975), bahwa pada sapi muda dalam keadaan tidak bunting atau bunting muda, letak ovarium berada dipinggir pelvis yang terletak pada setiap sisi dan sedikit dibawah

pereabangan kornua. Sedangkan pada sapi tua ovarium terletak di dalam cavum abdominal kira-kira

5 -

8 em di depan pelvis.

Arthur (1975) selanjutnya menyatakan, bahwa ta-ngan didorong terus ke depan sampai melebihi batas siku. Pada kebuntingan lebih dari 3~ bulan fetus da lam keadaan terapung, dan dengan menggunakan telapak tangan dan jari tang an fetus akan teraba yang eende-rung tenggelam bila disentuh. Apabila fetus tidak teraba, diagnosa dapat dilakukan dengan eara manga~

(36)

se-cara perlahan-lahan 8 - 10 cro ke depan pinggir

pel-vis.

Jainudeen and Hafez (dalam Hafez 1980) menyata-kan, bahwa dengan eksplorasi manual melalui palpasi rektal dapat juga dilakukan perabaan terhadap pulsus A. uterina media yang terletak pada sisi kornua yang

bunting. Arteri ini dapat dicapai melalui dinding rektal dan dapat dirasakan adanya desiran (fremitus) dari arteria terse but. Pada pertengahan umur kebun-tingan keadaan arteri ini lebih mengarah ke samping dan sedikit ke depan lubang illium (Arthur 1975). Gambar 4. Diagram tulang pelvis sapi, dan cara-cara

palpasi per-rektal.

Su pi clara kosong

cara menarik uterus mengkait ligamenta intercomual Meraba ovariurn Meneari fremitus - --,----I

cara menentukan fluktuasi I

Sumber: Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Re produksi Hewan. Mutiara, Jakarta.

(37)

2.2. Pengukuran Kadar Progesteron

Robertson and Sarda (dalam Rafez 1980) menjelas~

kan, bahwa kadar progesteron pada sapi tidak bunting akan berkurang sesuai dengan keadaan korpus luteum yang akan mengalami regresi. Sedangkan pad a sapi bun ting kadar progesteron tidak berkurang bahkan akan me ningkat karena korpus luteum menjadi persisten atau berkembang. Dengan adanya perbedaan ini, maka pengu-kuran kadar progesteron dapat dipergunakan sebagai d~ sar untuk mendiagnosa kebuntingan pada sapi terutama untuk umur kebuntingan muda.

Menurut hasil pengamatan Hafez (1980) dinyatakan, bahwa metode pengukuran kadar progesteron penggunaan-nya lebih mengarah jika digunakan untuk mendiagnosa

sapi yang tidak bunting.

Pope ~ ~ (dalam Hafez 1980) menjelaskan, bahwa ada hubungan tertutup antara kadar progesteron dalam plasma darah dengan kadar di dalam susu pada sapi pe-rah laktasi. Bishop et ~; Dobson and Fitzpatrick; Heap ~ all Pennington .!U all Pope et al (dalam Hafez

1980) memperjelas, bahwa kadar progesteron dalam susu

kira-kira dua kali kadar progesteron dalam plasma

da-rah pada umur kebuntingan muda. Pengukuran kadar pro

gesteron dalam susu kemungkinan besar dapat membantu untuk mendiagnosa kebuntingan pada sapi perah yang me ngalami laktasi. Lamming and Bulman (1978) juga

(38)

men-jelaskan, bahwa analisa progesteron dalam susu meru-pakan met ode yang baik sekali untuk memonitor aktivi tas ovarium pada sejumlah sapi perah, dan mempelajari keadaan abnormal sekresi progesteron. Kadar progeste ron dalam susu sapi tidak bunting(2 ng!ml susu, yang diambil pada 21 hari setelah inseminasi (Hafez 1980). Gambar 5. Hubungan antara kadar progesteron dalam BU

flU pada sapi laktasi, dengan waktu setelah

dilakukan inseminasi.

--E

... 12

0> c:

-Q)

8

r-c:

o

...

Q)

..-II) Q) 0>

o

...

4r-/I

e.

II

0

t

estrus

I

15

I : ... I

,

20

25

30

t

','}a~: tu (lHU'i)

Bf.)-estrus

telch iI~SGl~lina.si •

Sumber: Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in

Farm Animals. Lea and Febiger. Phila-delphia, U.S.A.

Heap ~ ~ (dalam Hafez 1980) membuktikan kebena~

an met ode tersebut dengan mengambil sejumlah contoh B~

BU sa pi yang telah diinseminasi setelah 21, 24, dan 42

(39)

berkisar antara 77.5% - 8596 untuk sapi bunting, dan 85.796 - 10ryh untuk sapi tidak bunting.

Bulman and Lamming (1978) menjelaskan, bahwa yang dilakukan dalam metode pengukuran kadar progesteron adalah men cat at dan mengumpulkan data dari setiap

sa-pi yang akan diperiksa mengenai kadar progesteron pa-da saat estrus pertama pa-dan beberapa hari setelah dila kukan inseminasi.

Fu= (dalam Bulman and Lamming 1978) menambahkan. bahwa bahan yang diperlukan dalam met ode analisa pro-gesteron adalah antiserum BF 456 no.6.

(40)

REPRODUKS I SAPr PERAH

Kruif and Brand (1978) mengemukakan pendapatnya, bah-wa keuntungan memiliki perusahaan sapi perah ditentukan

0-leh jumlah susu yang dihasilkan dan sejumlah anak sapi yang dilahirkan.

Salisbury and VanDemark (1961) menjelaskan, bahwa me-ngetahui dengan pasti status reproduksi sapi betina adalah besar kegunaannya didalam pengelolaan reproduksi sapi perah. Pemeriksaan kebuntingan merupakan salah satu cara untuk me-ngatasi sedini mungkin terhadap kemungkinan adanya penyakit penyebab infertilitas dan sterilitas yang bersifat merugi-kane Disamping itu pemeriksaan kebuntingan juga dapat di-gunakan untuk membantu pelaksanaan program lnseminasi Buat-an (IB).

1. PRE Dalam Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan

1.1. Diagnosa Kebuntingan

Ternouth (1983) menyatakan, bahwa pemeriksaan ke-buntingan merupakan salah sa.u cara untuk memonitor dan membuktikan basil Inseminasi Buatan secara cepat dan la yak. Dengan melalui palpasi rektal dapat diketahui se-cara pasti sapi dalam keadaan bunting dan dari hasil pe ngamatan tidak menunjukkan estrus kembali selama satu siklus berahi. Pendapat ini diperjelas oleh Salisbury

(41)

and VanDemark, 1961 ( dikutip oleh Ternouth 1983), bah wa satu siklus berahi yang dipergunakan sebagai dasar diagnosa hasil IB adalah berkisar antara 28 - 35 hari. Menurut pendapat Anderson, 1965 (dikutip oleh Ternouth 1983), interval waktu yang digunakan sebagai dasar di-agnosa hasil IB adalah 30 - 60 hari.

Ternouth (1983) menjelaskan, bahwa mendiagnosa k~

buntingan melalui palpasi rektal pada umur kebuntingan muda dapat ditemukan beberapa perubahan di dalam ute-rus yang meliputi penipisan dinding uteute-rus, pengumpul-an cairpengumpul-an allpengumpul-antois di dalam kedua tpengumpul-anduk kornua ypengumpul-ang mulai dapat ditemukan pacta umur kebuntingan 8 minggu, dan hilangnya bagian runcing di ujung tanduk kornua. Gambar 6. uterus sapi bunting 70 hari.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. tion and Obstetrics. London.

veterinary Reproduc Bailliere ~indall-;

Disamping itu Ternouth (1983) juga menjelaskan, bahwa pada sapi dara fremitus dalam A. uterina media mulai dapat dideteksi pada umur kebuntingan 13 minggu.

(42)

Kotiledon mulai dapat ditemukan pada umur kebuntingan 13 - 16 minggu.

Gambar 7. Uterus sapi bunting 90 hari.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. tion and Obstetrics. London.

Veterinary Reprodue Bailliere Tindal17

Menurut pendapat Arthur (1975), kotiledon pertama kali dapat dikenali melalui palpasi rektal pada umur kebun-tingan antara

3t - 4

bulan, dengan cara meraba garis tengah sepanjang 8 - 10 em di depan agak ke bawah pin£ gir pelvis. Menurut Salisoury and VanDemark (1961) dan Ternouth (1983), bahwa ketrampilan seseorang untuk dapat melldiagnosa kebuntingan seeara tepat hanyalah mungkin BGtelah umur kebuntingan mencapai 60 hari atau lebih.

Wisconsin (dalam Salisbury and VanDemark 1961) m~

ngatakan, bahwa metode klinik sangat memuaskan untuk mendiagnosa kebuntingan apabila dalam palpasi dapat di-temukan kantong amnion di dalam uterus. Diperkuat oleh

(43)

Ternouth

(1983),

bahwa kantong amnion dapat dipalpasi pada umur kebuntingan 5 minggu dan cara ini telah di-gunakan oleh beberapa operator dalam mendeteksi kebun tingan dan menentukan umur kebuntingan.

Ternouth

(1983)

juga mengemukakan pendapatnya te~

tang perubahan yang terjadi di dalam uterus pada umur kebuntingan diatas tiga bulan, bahwa serviks dalam ke-adaan tertarik ke arah pinggir pelvis dan sementara ka rena berat turun ke lantai pelvis. Fetus mencapai ab-domen pada umur kebuntingan antara 5 - 7 bulan.

Menurut pendapat Arthur

(1975),

bahwa ~etus dapat dipalpasi pada umur kebuntingan 120 - 160 hari dan da-lam prakteknya lebih dari 50% dapat dilakukan, walau-pun dalam kasus lain mungkin £etu8 tidak dapat dipalpa

si.

Gambar 8. Uterus sapi bunting 110 hari.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. tion and Obstetrics. London.

veterinary Reproduc Bailliere Tindall:

(44)

Gambar

9.

Uterus sapi menjelang akhir kebuntingan.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. tion and Obstetrics. London.

Veterinary Reprodue Bailliere ~indall~

Ternouth (1983) menegaskan, bahwa diagnosa kebun-tingan dapat dipastikan bila dapat dipalpasi fetus, ko-tiledon atau fremitus. Fada umur kebuntlngan tiga bulan diameter arteri pada sisl kornua bunting 0,3 cm dengan fremitus redup; dan pada umur kebuntingan empat bulan diameter arteri menjadi dua kali lipat dengan fremitus jelaS, sedangkan pada umur kebuntingan delapan bulan di ameter arteri mencapai 1,3 em dengan fremitus sangat j~ las.

(45)

Tabel 3.

I

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN UfERUS PADA SAPI BUNTING

35 - 91 liARI UMUR PANJANG (liARI) FETUS

tCm)

35 + 1.0 42 2.5 49 + 3.75 56 5.0 59 :!:. 6.0 63 7.3 70 10.0 77 + 11.0

84

:!:. 14.0 91 + 15.0

VOLUME TOTAL UKURAN KO CAlRAN Fh~AL TlLEDON

(ml) (Cm) 150 !. 150 112 190 475 855 760 870 2.5x1.3 CIRI-CIRI LAIN

Kantong amnion ber

1

bentuk bola denga diameter 3.2 cm. Kantong amnion 0-val berukuran 5.1 x 3.8 cm. Diameter kornua bunting 5.1-&.4cm Diameter kornua bunting 7.6-8.9cm, kadang-kadang ada :fremitus.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. Veterinary Reproduct~on and Obstetrics. Bailliere Tindall, London.

Ternouth, J.H. 1983. Dairy Cattle Research Teh-niques. Brisbane, Australia.

(46)

Tabel 4.

IUl'iU'RTPOSlS1: FErUS ANJAN(

(BULAh) FETUS 3 4 5 6 7 8 9

I

(Gm) Dekat ke ba-wah pinggir pelvis. 15 Tengah ven- 28 tral dinding bawah pinggir pelvis. Di bawah dan

I

40 lebih kekanan dari garis t~ ngah. Pada lantai ab 52 domen lebih kk kanan dari gal ris tengah. 'Dibawah men-capai garis tengah. 70 Kaki depan/kal 80 ki belakang mendekat pinE.

I

gir pelvis @ da garis te-ngah. Kepala dan

k~1

90 ki depan!kaki I belakang dalarr ruang pelvis.

KAP~KT~RISTIK PERKEMBANGAN UTERUS PADA SAPI BUNnNG 3 - 9 BULAN.

F· R EWT'[ U S

CilIRAN FETA L1illON

1m

CURNOA GRA VID CORNUA NON-GRAVID

VOLUME TOT~Il~fE· KlfRJIN KOTr:..

(ml) (Cm) 870 2.5x1.3 3080 3.8x1.9 3905 4.5x2.5 ~ 6680 5.1x3.2 ~ 8640 5.7x3.2 ~ 8160 6.4x3.8 !13920 6.4x3.8 DIAMETER ARTERI (Gm) 0.3 0.6 0.9 1 •. 3 1.3 1.3 1.3 FREMITUS

I

DIA1'lliTlill ART£RI {C!ll~ Redup Jelas Jelas Sangat jelas Sangat jelas Sangat jelas sangat jelas 0.3 0.3 0.6 0.9 0.9 1.3 1.3 FREJ>1ITUS Tidak ada Tidak ada ~idak ada Tidak ada Redup Jelas Sangat jelas

Sumber:- Arthur, G~H. 1975. Veterinary Reproduction Arid O-bstetric. TailliereT-ind-all, New York.

1983. Dairy Cattle Research Techniques. Brisbane,

Ternouth, J .R. Australia.

,,,"

GIRl-GIRl LAIN

Fetus sebesar tikus besar.

Lekukan pada uterus dapat

diten-tukan. .i<'etus sebesar kucing

ke-cil.

Jika fetus dapat dipalpasi, akar terasa pindah tempat bila terse,! tuh.

Fetus sebesar anjing kecil.

Fetus sebesar anjing sedang.

Fetus sebesar anjing besar.

(47)

juga merupakan salah satu kriteria daripada diagnosa

kebuntingan. Pendapat ini diperjelas oleh Arthur (1975), bahwa di permukaan ovarium pada sapi bunting dapat dit~

mukan tonjolan yaitu korpus luteum verum (graviditatum) yang bertahan sepanjang periode kebuntingan. Korpus l~

teum graviditatum mempunyai ukuran yang lebih besar da-ripada korpus luteum dalam siklus berahi. Beratnya be£ kisar antara 3,9 - 7,5 kg dengan warna berkisar antara kuning - orange - kecoklatan. Apabila dipalpasi terasa tumpul di bagian jaringan lutealnya dan terasa keras.

1.2. Diferensial Diagnosa

Arthur (1975) dan Ternouth (1983) mengatakan, bah-wa keadaan sapi bunting sering diasalahkan dengan kasus

pyometra. Menurut pengamatan Arthur (1975) dan Soulsby,

1968 (dikutip oleh Stewart 1979), kejadian pyometra

da-lam sekumpulan ternak sering disebabkan oleh infeksi Trichomonas fetus, yang ditandai dengan adanya perluas-an uterus dperluas-an korpus luteum yperluas-ang bertahperluas-an seperti pada sapi bunting.

Soulsby, 1968 (dikutip oleh Stewart 1979) dan Ter-nouth (1983) juga menerangkan, bahwa pada kasus pyome-tra keadaan dinding uterus menebal, kemudian jika dipal

paSi tidak ditemukan kotiledon dan fremitus. Pada ka~

sus lain misal: mumifikasio fetus, dapat dirasakan ada-nya krepitasi tulang akibat terjadiada-nya penyerapan

(48)

cair-Dari hasil pengamatan Arthur (1975) terhadap ba-nyak kasus infeksi oleh

1.

fetus, kematian fetus banyak terjadi pada umur kebuntingan antara 5 - 6 bulan, teta-pi korpus luteum tetap bertahan. Penyerapan fetus ter-jadi secara bertahap mulai dari membran fetus, kemudian cairan fetus dan jaringan lunak sehingga fetus menge-ring dan berkerut (parsonson 1962 dan Arthur 1975).

Disamping itu Ternouth (1983) juga menjelaskan, bahwa kebuntingan dapat dibedakan dari sejumlah keadaan lain yang meliputi kandung kemih, endometritis, resolu-si uteri yang dini, resoluresolu-si uteri yang lambat. Pada perabaan kandung kemih tidak dirasa adanya bagian an~£ kornua, dan leher kandung kemih sejajar dengan serviks. Demikian juga tidak teraba adanya fetus dan kotiledon. Pada keadaan resolusi uteri yang dini tidak ditemukan kotiledon dan fremitus, walaupun fremitus dapat ditemE kan pada lima hari pertama. Serviks jelas meluas dan tanda-tanda trauma sering ada, tetapi keadaan tubuh dan perkembangan ambing sering memberi kesan sapi baru saja melahirkan. Pada keadaan resolusi uteri yang lambat di temukan keadaan dinding uterus menebal dan serviks melu as. Korpus luteum ada pada salah satu ovari, tetapi ja rang ditemukan.

Parsonson (1962) menjelaskan, bahwa pada kasus en-dometritis terlihat mengalir jonjot-jonjot mukopurulen dengan warna darah sedikit orange dari vulva. Pada saat

(49)

dipalpasi teraba dinding kornua melembek dan meruncing ke bagian ujung tanduk kornua yang sedikit bergelung dan tidak ditemukan adanya cairan fetal yang mengisi kornua (Ternouth 1983).

Ternouth (1983) juga menambahkan, bahwa pada kea-daan mumilikasi fetus tidak ditemukan cairan alantois, kotiledon dan fremitus seperti pada sapi bunting. Da-lam keadaan ini fetus mengeras seperti batu dan krepi-tasi sering jelas teraba.

2. Palpasi per-rektal dalam Pengawasan Penyakit Penyebab Infertilitas dan Sterilitas

2.1. Etiologi

Parsonson (1962) mengatakan, bahwa kemajiran pada perusahaan peternakan sapi perah bukan hanya problem dalam masalah pengelolaan reproduksi, tetapi juga me-nyangkut masalah produksi susu yang dihasilkan. Dengan demikian kasus kemajiran baik yang bersifat permanen ataupun temp~rer adalah faktor penting dalam usaha pe-ternakan sapi perah.

Disamping itu Parsonson (1962) juga mengatakan ber dasarkan hasil pengamatannya, bahwa kasus reproduksi yang ditemukan pada sebuah perusahaan peternakan sapi perah meliputi 262 kasus penderita sista folikel dan sista luteal, 345 kasus endometritis dan pyometra dan 108 kasus abortus. Abortus tersebut terjadi pada umur kebuntingan 3 -

7

bulan. Menurut hasil pemeriksaan

(50)

27,7% dari jumlah kasus abortus tersebut disebabkan

0-leh infeksi Brucella abortus.

Laing (1970) menjelaskan. bahwa penyebab kasus ke majiran digolongkan dalam bentuk infeksius dan non-~ feksius. Non-infeksius meliputi keadaan inaktif fung-si ovari, degenerafung-si fung-sista pada folikel de Graaf, per-tumbuhan abnormal yang meliputi perper-tumbuhan abnormal uterus. sista pada dinding vaginal. sista pada mesosal pinx. hipoplasia ovarium dan neoplasma pada alat kela-min. Sedangkan bentuk infeksius yang sering ditemukan meliputi kasus endometritis dan kasus abortus.

Menurut pendapat Stewart (1979), penyebab kasus kemajiran dibedakan dalam lima golongan yang meliputi faktor genetik, ketidakse1mbangan kelenjar endokrin, faktor kesehatan lingkungan, hubungan faktor genetik dengan kesehatan lingkungan, dan faktor infeksi penya-b~

Lagerlof, 1934 dan Eriksson (dalam Laing 1970) dan Stewart (1979) menjelaskan, bahwa kasus hipoplasia ov~ rium pada sapi perah dipengaruhi oleh faktor genetik. Pendapat ini oleh Settergren, 1954 dan 1961 (dalam

la-ing 1970) dibuktikan, bahwa kasus hipoplasia ovarium banyak terjadi pada sapi jenis Swedish Highland yang pu

tih.

Menurut hasil penelitian Summers ~~, 1974 (da-lam Stewart 1979), bahwa pada sekumpulan ternak sapi pe rah ditemukan 18,8% jumlah sapi majir yang menunjukkan

(51)

menderita kasus hipoplasia ovarium dan

7,1%

dari sekum pulan ternak sapi perah jenis Shorthorn menderita hip~

plasia kedua ovariumnya. Laing

(1970)

dan Stewart

(1979)

mengemukakan pendapatnya, bahwa faktor kesehatan Iing-kungan yang meliputi iklirn, nutrisi (energi, protein, mineral, vitamin) dan manage men mempunyai pengaruh ter-hadap perkernbangan fungsi ovarium. Disamping itu Garm,

1949

(dikutip oleh Stewart

1979)

juga menjelaskan, bah wa faktor keseimbangan kelenjar endokrin berpeng~ruh

terhadap terjadinya sista folikel.

Ternouth

(1983)

mengatakan, bahwa mempernatikan dan mengamati secara teliti terhadap kesehatan hewan da lam sekelompok ternak adalah penting sebagai us aha ter-hadap pencegahan penyebaran kasus kemajiran yang bersi-fat infeksius. Pendapat ini diperjelas oleh Stewart

(1979),

bahwa penyebab kasus kernajiran yang bersifat in feksius dapat terjadi oleh infeksi bakteri termasuk chlamydia, infeksi protozoa, infeksi virus dan intekei

jamur. Parsonson

(1962),

Laing

(1970)

dan Stewart

(1979)

menambahkan, bahwa kasus kemajiran yang bersifat infek-sius pada umumnya menyebabkan kematian fetus, endometri tis dan pyometra.

Laing

(1970)

juga menambahkan, bahwa infeksi oleh bakteri ke dalam uterus menyebabkan terbentuknya toxin yang kemudian menginfeksi ovarium dan akhirnya dapat me nyebabkan degenerasi sistik pada folikel de Graaf. Ke-adaan ini diternukan pada sapi perah jenis Swedish Red

(52)

dan Friesian, akibat gangguan fungsi kelenjar

pituita-E1

anterior karena laktasi yang tinggi (Garm dalam

la-ing, 1970). 2.2. Diagnosa

Mylrea (1962) menjelaskan, bahwa pemeriksaan organ kelamin sapi betina melalui palpasi per-rektal dilaku-kan setiap minggu sampai didiagnosa dalam keadaan

bun-ting atau dalam keadaan yang infertil. Kemudian dilaku kan pemeriksaan yang lebih teliti bila sapi menunjukkan ada perkembangan yang abnormal.

Parsonson (1969) dan Laing (1970) menambahkan, bah wa dengan melalui pemeriksaan per-rektal dapat dipalpa-si adanya kelainan dalam alat reprodukdipalpa-si , berupa per-turobuhan abnormal, keadaan sista ovariuro dan hipoplasia ovarium.

Clark, 1971 (dalam Stewart 1979) dan Campbell and Trueman (dalam stewart 1979) menjelaskan, bahwa untuk kasus kemajiran yang bersifat infeksiwselain dilakukan palpasi rektal terhadap pembentukan sista luteal, diag-nosa dapat diperkuat dengan uji serologis terhadap in-feksi Leptospirosis, VibrioSiS, dan Brucellosis.

Dennet, 1976 (dalam Stewart 1979); Mellick et ~, 1965, Dufty, 196'1, Philpott, 1968 (dalam Clark 1971) ju ga menjelaskan, bahwa untuk memperkuat diagnosa terha-dap infeksi olah Trichomoniasis dan Vibriosis terha-dapat di

(53)

Gambar 10. Macam-macam pertumbuhan abnormal pada alat reproduksi sapi betina.

Sumber: Laing, J.A. 1970. Fertility and Infertility in The Domestic Animals.

Bailliere Tindall and Cassell, London.

1. Sista pada mesosalpinx.

(54)

3. Hipoplasia kompleta pada ovarium kiri.

5. Sista pada dinding vaginal. 2.3. Penanggulangan

4. Macam-macam sista ovarium.

Laing (1970) menjelaskan. bahwa pada kasus fungsi ovarium yang tidak aktif pengobatan dapat dilakukan a~

(55)

tara lain dengan dua kali penyuntikan PI{lS dosis 1500 -2000 IoU dengan in-~erval 7 - 10 hari; Stilboestrol de , ngan dosis 20 mg I.M; enukleasi dilakukan pada sista luteal yang berumur 8 - 12 hari. Apabila ovulasi su-dah terjadi, inseminasi kedua dilakukan setelah 24 jam atau lebih.

Disamping itu Laing (1970) juga menjelaskan, bah-wa pengobatan terhadap sista ovarium dapat dilakukan dengan cara manual per-rektum (enukleasi) atau dengan pemberian khorioni~ gonadotropin dosis 1000 - 16000 I.U secara

I.VIS.c.

Dapat pula diberikan khorionic gonado-tropin 3000 I.U dan progesteron 125 mg secara

I.V.

S~

dangkan pengobatan terhadap pertumbuhan abnormal alat reproduksi tidak mung kin dilakukan. Mengenai pengaruh nya terhadap proses pembuahan belum diketahui jelas te tapi adanya sista pada dinding vaginal dapat mencegah atau menghalangi perjalanan ovum.

Stewart (1979); Amatredjo and Campbell, 1975 dan Szatalowicz et aI, 1969 (dikutip oleh Hafez 1980); dan Hathaway (1981) juga mengemukakan, bahwa pengobatan te~

hadap kasus Leptospirosis dapat digunakan Streptomycin dan Tetracyclin; Sedangkan untuk pencegahan dapat di~

lakukan vaksinasi. Diperjelas oleh Asdell (1955), bah-wa vaksinasi dilakukan pada sapi umur 9 - 12 bulan.

Pencegahan terhadap kasus infeksi Brucellosis de-ngan cara vaksinasi Strain-19, dan untuk sapi dara di-lakukan pada umur 4 - 6 bulan dengan resistensi 7 tahun

(56)

atau lebih (Meyer 1966 dikutip oleh Hafez, 1980; Ste-wart, 1 979) •

Menurut Stewart (1979) dan Hafez (1980), bahwa p~ ngobatan terhadap infeksi Vibriosis dapat dilakukan de ngan menggunakan gabungan Penicillin dan Stre.ptomycin atau Streptomycin saja. Pencegahan dapat dilakukan d~

ngan cara vaksinasi menggunakan ovine vaccine, dan me-laksanakan program Inseminasi Buatan (IB),dengan baik untuk menghindarkan penularan Vibriosis yang bersifat venereal disease. Asdell (1955) menambahkan, bahwa d~ pat juga dilakukan dengan cara mencampurkan 500 - 1000 microgram Streptomycin per mililiter semen, untuk men-cegsh perkembangan vibriosis terhadap penggunaan semen dari sapi jantan yang terin:teksi. Dijelaskan juga, bah wa pengobatan terhadap kasus ini dapat dilakukan

mela-lui infus intra uterine

Pengobatan terhadap in:teksi Trichomonas dapat di .. berikan kombinasi acriflavin, bovoflavin dan Sodium Jo dide atau diberikan dimetridazole dengan dosis 50 mg/kg

berat badan selama lima hari (Clark 1971 dikutip oleh Stewart, 1979; dan Hafez, 1980). Dijelaskan juga oleh Hafez (1980), bahwa pencegahan terhadap kasus Trichomo-niasis dapat dilakukan dengan cara melaksanakan program Inseminasi Buatan dengan baik untuk menghindarkan penu-laran Trichomonas yang bersifat venereal disease.

Kendrick, Gillespie and McEntee, 1958, Kendrick and Straub, 1967, McKercher and \~ada, 1964 (dikutip

(57)

oleh Hafez 1980) juga menerangkan, bahwa pencegahan terhadap infeksi Bovine Rhinotracheitis (IBR) dapat di lakukan dengan cara vaksinasi rutin. Hal ini dilaku-kan terutama pada umur 6 bulan sarnpai dengan urnur siap dikawinkan.

Gambar

Gambar  1.  Reaksi  akrosom  spermatozoa  dan  penetrasi  sper- sper-matozoa  kedalam  ovum
Tabel  2.Umur  kebuntingan  pada  jenis  sapi  perah.
Gambar  2.  Anatomi  organ  reproduksi  sapi  betina.
Gambar  3.  Diagram  sistem  pembuluh  darah  arterial  pada  sa- sa-lUran  reproduksi  sapi  betina
+7

Referensi

Dokumen terkait