• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENTUKAN BUDAYA SADAR KESEHATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBENTUKAN BUDAYA SADAR KESEHATAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENTUKAN BUDAYA SADAR KESEHATAN

Ira Chandra Puspita, S.H.I., M.A.B., M.H.

Budaya hukum yang dibangun melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Secara definitif, budaya hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Elemen budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people's attitudes toward law and the legal system, yakni their beliefs, values, ideas, and expectations1. Istilah budaya hukum (legal culture) digunakan Lawrence M. Friedman dalam tulisannya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective (1975) untuk menjelaskan salah satu komponen dalam suatu sistem hukum, selain materi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure).

Menurut Friedman, budaya hukum adalah kekuatan sosial yang bersifat konstan berupa perilaku dan nilai-nilai sosial yang akan menghidupkan mesin suatu sistem hukum untuk bergerak maju atau sebaliknya berhenti. Konsekuensinya, sekalipun materi hukum berupa segala macam peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah ataupun putusan hakim serta struktur hukum yang berupa organisasi, sarana dan prasarana serta aparatur hukum dalam suatu sistem hukum terbilang baik, tetapi bila tidak disertai dengan budaya hukum yang baik maka sistem hukum tersebut tidak akan mampu bergerak.2 Dengan demikian, legal culture merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used"3. Oleh karena itu, tidak salah bila penegakan hukum akan berhasil bila disertai dengan penguatan budaya hukum terlebih dahulu.

Pembangunan Nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Hal ini dijabarkan melalui tahap-tahap pembangunan yang dimulai dari tahap perencanaan, yang dilaksanakan

oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.4 Untuk

mencapai target pembangunan nasional dilakukan koordinasi teknis pembangunan

antara kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dan Daerah5.

Pembangunan daerah merupakan perwujudan dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang telah diserahkan ke Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, yang dilaksanakan dengan tujuan untuk peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, lapangan berusaha,

meningkatkan akses dan kualitas pelayanan publik dan daya saing Daerah6. Dalam

pembangunan daerah, penyelenggara Pemerintahan Daerah melibatkan peran serta

1 Elsa Elya. Budaya Hukum, Seni Hukum Dan Sistem Hukum (Online).

http://www.academia.edu/26520286/BUDAYA_HUKUM_SENI_HUKUM_DAN_SISTEM_HUKUM diakses pada 4 Maret 2019

2 Moh. Mahfud MD, dkk. Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan, Cetakan Pertama. Editor : Imran dan

Festy Rahma Hidayati (Jakarta : Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia ,2019) hlm.v.

3 Elsa Elya, Ibid.

4 Pengaturan lebih lengkap, lihat dalam ketentuan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Pembangunan Nasional.

5 Lihat ketentuan Pasal 259 ayat (1) UU Pemda

(2)

masyarakat dan sektor swasta7. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,

Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat8.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Pemda, Kesehatan merupakan urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Dengan diterapkannya asas otonomi daerah, maka dilakukan desentralisasi. Dalam pelaksanaan Desentralisasi tersebut, dilakukan penataan Daerah yang ditujukan untuk:

1. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 2. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat;

3. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; 4. meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan;

5. meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah; dan

6. memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah.9

Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan indikasi adanya peningkatan indeks pembangunan manusia yang ditandai dengan peningkatan

kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat10.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, budaya hukum tidak hanya berkaitan dengan peran serta masyarakat, tetapi segala sesuatu yang menjadikan suatu aturan hukum berjalan efektif atau tidak, sehingga hal ini berkaitan dengan seluruh komponen pelaksana yang dilibatkan dalam suatu sistem hukum. Dalam pelaksanaan UU Kesehatan, budaya hukum tentunya tidak hanya berkaitan dengan peran serta masyarakat saja, tetapi juga bagaimana para pihak melaksanakan perannya sesuai ketentuan yang ada di bidang kesehatan.

Pembentukan kesadaran dan perilaku hidup sehat

Indonesia tidak mungkin terhindar dari dampak perubahan lingkungan global disamping itu Indonesia juga menghadapi masalah lingkungan yang bersifat lokal seperti dampak proses industrialisasi dan urbanisasi, dampak pemukaan hutan untuk pemukiman dan pertanian, hilangnya hutan hujan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Yang tidak kalah penting adalah masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dnegan kondisi lingkungan geografis, iklim tropik serta perilaku budaya setempat (cultural bound public health), yang semuanya berpengaruh terhadap program

peningkatan derajat kesehatan masyarakat.11 Kesadaran mengandung pengertian

mengetahui sesuatu atau tahu bersikap seharusnya, yang timbul karena dukungan

persepsi dan informasi12. Sikap kesadaran akan kesehatan ini perlu terus dibina secara

luas dan berkesinambungan, selain itu penegakan hukum juga harus dilakukan.

7 Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 278 ayat (1) UU Pemda 8 Lihat ketentuan Pasal 354 UU Pemda

9 Hal ini diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda 10 Penjelasan Pasal 31 ayat (2) UU Pemda

11 Johan S. Masjhur. Manusia, Kesehatan dan Lingkungan dalam Johan S. Masjhur, dkk. Manusia,

Kesehatan dan Lingkungan, Kualitas Hidup Dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global, editor. Kudswiratri Setiono, dkk. (Bandung, Alumni, 1998) hlm. 13

12 Febri Hirnawan. Kesadaran Lingkungan dalam Pembangunan dalam Johan S. Masjhur, dkk. Manusia,

Kesehatan dan Lingkungan, Kualitas Hidup Dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global, editor.

(3)

Mengingat tujuan yang ingin dicapai dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang RPJP Nasional Tahun 2005–2025 adalah untuk: (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan nasional, (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah, (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan, (d) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,

berkeadilan dan berkelanjutan, dan (e) mengoptimalkan partisipasi masyarakat13.

Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta

kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional14, hal ini

senada dengan pengaturan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945. Definisi

pembangunan berkelanjutan sendiri dapat ditemukan dalam UU PPLH15.

Para sosiolog dan antropolog mempunyai pendapat yang berbeda mengenai perubahan sosial diantaranya16 :

1) Gillin dan Gillin, mengartikan perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, dan ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat 2) Larson dan Rogers, mengemukakan pengertian tentang perubahan sosial yang

dikaitan dengan adopsi teknologi yaitu perubahan sosial merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam suatu bentangan waktu tertentu. Pemakaian teknologi tertentu oleh suatu warga masyarakat akan membawa suatu perubahan sosial yang dapat diobservasi lewat perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan.

3) Soerjono Soekanto, mendefinisikan perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyara katan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.

Perubahan sosial mempunyai tiga dimensi, yaitu: struktural, kultural, dan interaksional. Pertama, dimensi struktural mengacu pada perubahan-perubahan dalam bentuk struktur masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial, dan perubahan dalam lembaga sosial. Kedua, dimensi kultural mengacu pada perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan ini meliputi: (1) inovasi kebudayaan, merupakan komponen internal dalam suatu masyarakat, seperti munculnya teknologi baru. Kebutuhan

13 Lihat Penjelasan Umum dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional Tahun 2005 – 2025

14 Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 15 Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.”

16 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Keempat. (Jakarta: Rajawali Pers, 1990) hlm

(4)

masyarakat yang semakin kompleks memaksa individu untuk berpikir kreatif dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. (2) difusi, merupakan komponen eksternal yang mampu menggerakkan terjadinya perubahan sosial. Sebuah kebudayaan mendapatkan pengaruh dari budaya lain, kemudian memicu perubahan kebudayaan dalam masyarakat yang “menerima” unsur-unsur budaya tersebut. (3) integrasi, merupakan wujud perubahan budaya yang “relatif lebih halus”. Hal ini disebabkan dalam proses ini terjadi penyatuan unsur-unsur kebudayaan yang saling bertemu untuk kemudian memunculkan kebudayaan baru sebagai hasil penyatuan berbagai

unsur-unsur budaya tersebut17. Ketiga, dimensi interaksional mengacu pada adanya

perubahan hubungan sosial dalam masyarakat. Dimensi ini meliputi18 :

a. Perubahan dalam frekuensi.

Perkembangan teknologi telah menyebabkan berkurangnya frekuensi individu untuk saling bertatap muka. Semua kebutuhan untuk berinteraksi dapat dipenuhi dengan memanfaatkan teknologi.

b. Perubahan dalam jarak sosial.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser fungsi “tatap muka” dalam proses interaksi.

c. Perubahan perantara.

Mekanisme kerja individu dalam masyarakat modern banyak bersifat serba “online”, menyebabkan individu tidak banyak membutuhkan “orang lain” dalam proses pengiriman informasi.

d. Perubahan dari aturan atau pola-pola.

Banyak aturan serta pola-pola hubungan yang mengalami perubahan seiring perkembangan masyarakat. Kemudahan-kemudahan yang dihadirkan oleh teknologi mempengaruhi pola perilaku masyarakat, termasuk dalam perilaku konsumsinya.

Penyakit kronik modern muncul sebagai konsekwensi dari perubahan gaya hidup yang berupa kebiasaan dan rutinitas yang merugikan dengan akibat keruakan

kesehatan.19 Bagi negara maju, meskipun penyakit kronis modern menjadi penyebab

kematian tertinggi, namun angka tersebut dapat ditekan dengan meningkatnya pengetahuan, kesadaran dan perubahan gaya hidup serta dukungan teknologi yang sudah maju. Sedangkan di negara dengan penghasilan perkapita menengah kebawah, angka kesakitan dan kematian karena penyakit kronis semakin meningkat. Hal ini diakibatkan masyarakat yang meniru gaya hidup masyarakat negara maju yang justru mulai ditinggalkan. Upaya kuratif tidak lebih baik daripada upaya promotif-preventif. Sejak tiga dekade terakhir khususnya setelah deklarasi Alma Ata (1976), Pertemuan Mexico (1990) dan Saltama (1991), perhatian para ahli kesehatan dan pembuat kebijakan secara bertahap beralih dari orientasi sakit ke orientasi sehat, dari paradigma

17 Nanang Martono. Sosiologi perubahan sosial: perspektif klasik, modern, postmodern, dan postkolonial.

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012) hlm 6

18 Ibid. hlm 7-8

19 J. B. Suharjo B. Cahyono. Perubahan Gaya Hidup dan Penyakit Kronis Modern dalam J. B. Suharjo B.

(5)

sakit menjadi paradigma sehat. Secara keuangan, biaya upaya preventif lebih murah daripada upaya kuratif20.

Penekanan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dalam upaya pembangunan kesehatan terdapat pada ketentuan Pasal 3, Pasal 11, Pasal 141 ayat (2) huruf b, Pasal 143, Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 158 ayat (2) UU Kesehatan. Pembentukan perilaku hidup sehat berkaitan dengan kesadaran dan kemauan individu untuk menjaga dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya untuk tetap sehat. Stimulus-stimulus dalam membangun kesadaran untuk hidup sehat tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah melalui beberapa kegiatan yang telah diatur dasar hukumnya diantaranya dalam penyelenggaraan olahraga, penyelenggaraan pendidikan dan penyampaian informasi kesehatan secara luas. Hal ini berkaitan dengan upaya promotif dan preventif yang diatur dalam UU Kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan

dan pencegahan penyakit21 merupakan proses pemberdayaan masyarakat yang

berorientasi pada perubahan perilaku dan sikap perorangan. Pendekatan yang dilakukan dalam upaya promosi kesehatan meliputi pendekatan medik, pendekatan pendidikan, perubahan perilaku, pendekatan berorientasi pada klien dan perubahan sosial.22

Adanya kegiatan olahraga yang selain mengacu pada pengaturan dalam UU Kesehatan, juga mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Ketentuan Pasal 4 UU SKN mengatur bahwa keolahragaan nasional bertujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Penekanan pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan kebugaran pada ketentuan tersebut berkaitan erat

dengan implementasi tujuan dari UU Kesehatan23. Tidak semua orang berolahraga

untuk mengikuti suatu kompetisi dan memperoleh medali, sehingga pengaturan dalam UU SKN mengatur adanya olah raga rekreasi yang merupakan kegiatan olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan. Bahkan pengaturan olahraga dalam UU SKN

juga mewadahi kepentingan olahraga penyandang disabilitas24.

20 Ibid. Hlm. 22

21 Definisi lengkap mengenai pelayanan kesehatan promotif dan pelayanan kesehatan preventif dapat

ditemukan pada ketentuan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 UU Kesehatan

22 Ewles dan Simnett (1994) dalam Heri D.J. Maulana. Promosi Kesehatan. (Jakarta : Penerbit Buku

Kesehatan EGC, 2007) hlm. 43. Penjelasan lebih lengkap mengenai pendekatan-pendekatan dalam promosi kesehatan dapat ditemukan di halaman 43-46.

23 Tujuan pembangunan kesehatan diatur dalam Pasal 3 UU Kesehatan yang menyatakan “Pembangunan

kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.”

24 Dalam Pasal 13 UU SKN diatur mengenai kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan olahraga yakni :

(1) Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional.

(6)

Pentingnya menjaga kesehatan dan upaya membangun kesadaran masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan dirinya juga ditanamkan melalui pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum pendidikan di satuan pendidikan dasar dan menengah mengatur adanya pendidikan jasmani dan olahraga sebagai bagian dari komponen

wajib25. Edukasi kesehatan terhadap masyarakat tidak hanya dilakukan melalui

pendidikan di bangku sekolah, tetapi dalam sarana/media yang luas dan mudah diakses oleh masyarakat. Dalam dunia kerja, ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja26. Selain itu diatur pula hak tenaga

kerja atas perlindungan keselamatan kerja.27

Gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat juga mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan gizi dilakukan melalui asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Pemenuhan yang sesuai kebutuhan gizi tubuh akan menjadikan tubuh sehat, sebaliknya apabila pemenuhan tersebut kurang atau berlebih dari takaran yang dibutuhkan oleh tubuh maka akan merusak kesehatan. Beragam pilihan makanan dan minuman yang terdapat di pasaran sering kali justru menjadikan masyarakat tidak memilih dengan bijak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tubuhnya.

Salah satu faktor determinan status gizi masyarakat adalah faktor kebiasaan makan (food habit) penduduk atau masyarakat setempat. Kebiasaan makan adalah suatu tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersipat positif ataupun bersipat negatif. Sikap negatif atau positif pada makanan bersumber pada nilai-nilai “Affective” yang berasal dari lingkungan dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian pula halnya dengan kepercayaan terhadap makanan selalu berkaitan dengan kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik. Dan pemilihan adalah proses untuk memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya Program perbaikan gizi jangka panjang ditujukan pada peningkatan kesadaran gizi yang tinggi dalam masyarakat, antara laian tercermin dari pola komsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam dan mengandung gizi seimbang. Salah satu faktor penting dan mendasar menurunnya status gizi adalah adanya perilaku komsumsi makan yang salah oleh individu, keluarga atau masyarakat yang tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmu gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, penggarapan aspek perilaku komsumsi ke arah penyadaran gizi masyarakat perlu ditingkatkan strateginya sedemikian rupa sehingga pada gilirannya masyarat tahu, dan mampu memecahkan perbaikan status gizi ke arah yang lebih baik.

(2) Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan di daerah.

25 Lihat ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU Sisdiknas

26 Pasal 35 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(7)

Makanan modern yang merupakan produk dari berbagai olahan makanan, seperti hot dog, burger, pizza, fried chicken, ice cream dari berbagai merek dagang sangat gencar diiklankan melalui media massa, baik media cetak maupun media elektronik dan mudah didapat serta pengaruhnya berdampak sampai ke pelosok desa. Golongan remaja pada umumnya baik di kota besar maupu yang ada di kota kabupaten merupakan sasaran strategis para pengusah makanan olahan. Makanan modern memiliki daya pikat tersendiri karena lebih praktis, cepat dalam penyajian (instan) dan mengandung gensi bagi sebagian golongan masyarakat. Di sisi lain, makanan moderen mengandung zat lemak, protein, hidrat arang dan garam yang relatip tinggi dan jika sering dikomsumsi secara berkesinambungan dan berkelebihan dapat mengakibatkan masalah gizi lebih (over malnutrition) dengan kemungkinan konsekwensi seperti :

obesitas, hipertensi gangguan jantung koroner, penyakit kencing manis28.

Produk makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari juga merupakan suatu hal yang diatur dalam UU Pangan. Penyelenggaraan Pangan menurut

UU Pangan bertujuan untuk29:

a meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri;

b menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat;

c mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat;

d mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi;

e meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri;

f meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat;

g meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan; dan

h melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.

Pengaturan dalam UU Pangan terkait pengawasan obat tercantum dalam ketentuan

Pasal 10830. Dalam peraturan perundang-undangan diatur penyelenggaraan pangan

28 Djoko Pekik Irianto. Panduan Gizi Lengkap Keluarga Dan Olahraga. (Yogyakarta : Ardi, 2007) dalam

Abd. Kadir A, Kebiasaan Makan Dan Gangguan Pola Makan Serta Pengaruhnya Terhadap Status Gizi

Remaja. Jurnal Publikasi Pendidikan, Volume VI No 1 Januari 2016. Diakses melalui

ojs.unm.ac.id/pubpend/article/download/1795/806 pada 6 Maret 2019

29 Lihat ketentuan Pasal 4 UU Pangan

30 Ketentuan dalam Pasal 108 UU Pangan menyatakan :

(1) Dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pangan, Pemerintah berwenang melakukan pengawasan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan:

a ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat; dan

b persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan serta persyaratan label dan iklan Pangan.

(8)

adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan Pangan dengan

melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu31. Dalam rangka

menjaga kesehatan masyarakat dan pemenuhan gizi masyarakat, Pemerintah

mengawasi mutu pangan32 yang beredar dalam masyarakat. Namun apabila kesadaran

masyarakat akan kesehatan masih rendah, maka upaya kesehatan promotif dan preventif tidak akan berhasil.

Hasil PSG tahun 2016 menunjukkan data informasi status gizi balita sebagai berikut :

1. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita, terdapat 3,4% Balita dengan gizi buruk dan 14,4% gizi kurang. Masalah gizi burukkurang pada Balita di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori sedang (Indikator WHO diketahui masalah gizi buruk-kurang sebesar 17,8%).

2. Prevalensi Balita pendek cenderung tinggi, dimana terdapat 8,5% Balita sangat pendek dan 19,0% Balita pendek. Masalah Balita pendek di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat masuk dalam kategori masalah kronis (berdasarkan WHO masalah Balita pendek sebesar 27,5%).

3. Prevalensi Balita kurus cukup tinggi dimana terdapat 3,1% balita yang sangat kurus dan 8,0% Balita yang kurus. Masalah Balita kurus di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori akut (berdasarkan WHO diketahui masalah Balita kurus sebesar 11,1%.

4. Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada 38,9% Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah gizi, terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan (pendek – normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan mengalami kegemukan.

Sedangkan informasi capaian indikator pembinaan gizi dan konsumsi zat gizi pada ibu hamil adalah sebagai berikut :

a Ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan;

b persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan label dan iklan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, untuk Pangan Olahan, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan; dan

c persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan label dan iklan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, untuk Pangan Segar, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan.

(4) Pemerintah menyelenggarakan program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Peredaran Pangan oleh Pelaku Usaha Pangan.

31 Pasal 1 angka 14 UU Pangan

32 Pasal 1 angka 35 UU Pangan mengatur bahwa Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar

(9)

1. Hasil pemeriksaan garam berdasarkan kandungan Iodium di rumah tangga menunjukkan hasil yang baik, dimana 90,8% garam yang digunakan di rumah tangga mengandung iodium.

2. Persentase Balita yang datang dan ditimbang di posyandu minimal 4 kali dalam 6 bulan terakhir cukup baik yaitu 72,4%. Balita yang memiliki KMS atau buku KIA sebesar 88,3%.

3. Persentase Ibu yang sama sekali tidak melakukan IMD masih cukup besar yaitu 48,2%.

4. Persentase konsumsi hanya ASI saja pada bayi 0-5 bulan hanya 29,5%. Dan

terdapat 71,5% bayi 0-5 bulan yang telah diberi makanan lain selain ASI. 33

Salah satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia terutama masalah pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita serta masalah anemia dan kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil ini dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan kekurangan gizi pada balita. Bidang kesehatan menjadi salah satu sektor negara yang sangat mendasar untuk bisa berkompetisi dengan negara lain. Permasalahan gizi buruk menjadi salah satu faktor penghambat yang seharusnya dapat diselesaikan dan dicegah.

Isu kesehatan merupakan isu yang multidimensi karena dipengaruhi dan memberikan efek pada ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan dan perilaku kehidupan. Hal ini menuntut adanya perubahan paradigma pembangunan kesehatan yang telah ada. Menurut Siagian (2002) perubahan paradigma pembangunan kesehatan

dalam rangka desentralisasi dapat digambarkan sebagai berikut34 :

Pembangunan Paradigma Kesehatan

Paradigma Lama Paradigma Baru

33 Bagus Satrio Utomo. Gizi Menjadi Penentu Masa Depan Bangsa dalam Warta Kesmas Edisi 02 Tahun

2017, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (online).

http://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Warta-Kesmas-Edisi-02-2017_898.pdf diakses pada 6 Maret 2019

34 Siagian (2002) dalam Wiku Adisasmito. Sistem Kesehatan, Edisi kedua, Cet. Kelima. (Depok : PT.

RajaGrafindo Persada,2014) hlm 226

Program dan Kebijakan yang

Bottom-Up

Mentalitas Proaktif

Pemberdayaan Sumber Daya Lokal

Pembangunan Kesehatan Berbasis Masyarakat Sistem Prabayar Pelayanan Kesehatan

Pembangunan Kesehatan Multisektor

Program kebijakan yang

Top-Down

Mentalitas Nrimo

Meninabobokan Potensi Lokal Pembanguan Kesehatan Berbasis Pemerintah Sistem Purna Bayar Pelayanan Kesehatan Pembangunan Kesehatan Sektoral

(10)

Gambar x. Pembangunan Paradigma Kesehatan

Terkait dengan upaya pembangunan kesadaran atas kesehatan juga dilakukan dengan pemberian informasi kesehatan. Pengaturan dalam PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mengenai label rokok diatur pewajiban bagi orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau berupa Rokok untuk mencantumkan informasi kandungan kadar Nikotin dan Tar sesuai hasil pengujian pada Label setiap Kemasan dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca. Penempatan informasi tersebut diatur wajib ditempatkan pada sisi samping setiap Kemasan Produk Tembakau, dibuat kotak dengan garis pinggir 1 mm (satu milimeter), warna kontras antara warna dasar dan tulisan, ukuran tulisan paling sedikit 3 mm (tiga milimeter), sehingga dapat terlihat

dengan jelas dan mudah dibaca.35

Upaya pelayanan kesehatan saat ini sering kali dipahami sebagai upaya kuratif dan rehabilitatif dan tidak mengedepankan upaya kesehatan promotif dan preventif, namun hal tersebut tidaklah benar. Dilihat dari peran dan fungsi tenaga medis dan fasilitas kesehatan berikut adanya program jaminan kesehatan yang lebih mengedepankan pengobatan dan pemulihan kondisi penderita penyakit, tentu upaya promotif dan upaya preventif tampak dikesampingkan. Perlu dipahami bahwa kesehatan berkaitan luas dengan banyak unsur dan kesehatan tidak semata-mata berkaitan dengan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan maupun obat-obatan.

Promosi kesehatan yang dilakukan melalui berbagai media yang diantaranya

himbauan untuk mengkonsumsi produk-produk berlabel BPOM, SNI36 dan Halal,

himbauan larangan merokok dan cara mencuci tangan dengan sabun merupakan bentuk edukasi dan informasi kepada masyarakat, yang dikategorikan sebagai upaya pelayanan promotif. Selain itu, adanya upaya perlindungan masyarakat dengan pengawasan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat melalui pengaturan UU Pangan dan UU Perlindungan Konsumen dan adanya upaya meningkatkan kebugaran dan kesehatan masyarakat melalui kegiatan olahraga merupakan bagian dari upaya preventif di bidang kesehatan. Dengan kondisi dan gaya hidup masyarakat dewasa ini yang kurang memberikan perhatian kepada kesehatannya sendiri maka pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat lebih banyak berkontribusi dengan upaya-upaya kuratif dan rehabilitatif. Meski demikian, berdasarkan pendekatan medis, promosi kesehatan tetap dilakukan dengan upaya menjaga kondisi pasca penanganan penyakit agar tetap dalam kondisi sehat dan dapat beraktifitas.

Peningkatan kesadaran masyarakat yang merupakan tujuan utama pelaksanaan pelayanan kesehatan promotif dan preventif sejauh ini dapat dikatakan belum berhasil dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan masih tingginya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan dikarenakan perilaku atau

35 Ketentuan terdapat pada Pasal 19 dan 20 PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang

Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

36 Ketentuan SNI ini mengacu pada pengatudan dalam UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi Dan

(11)

gaya hidup yang tidak mengedepankan kesehatan. Wiku Adisasmoto dalam bukunya

yang berjudul Sistem Kesehatan37 menyebutkan tantangan dalam pelaksanaan program

pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam kesehatan adalah :

1. Pemberdayaan masyarakat atau peran serta masyarakat secara individu yang berakibat pada kader kesehatan yang terus berganti ganti dan jarangnya kader yang bersifat lestari. Adanya kader kesehatan ini berdasarkan masukan dari

Universitas Syiah Kuala dapat diisi oleh social worker38, sebagaimana di negara

negara maju. Namun adanya social worker di Indonesia masih dirasa sulit mengingat social worker didasari oleh tiga kompetensi penting, yakni kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keahlian (body of skill), dan kerangka nilai (body of value). Pentingnya kader-kader di bidang kesehatan ini, terkait dengan pemenuhan kebutuhan darah PMI mengupayakan adanya program pelestarian donor melalui donor lestari, bagi donar darah rutin.

2. Pemberdayaan masyarakat dan peran serta masyarakat dalam hal pendanaan, yang dikarenakan terbiasa dengan adanya bantuan dari Pemerintah maka pemberdayaan masyarakat menjadi tidak berjalan. Adanya program BPJS Kesehatan dan Kartu Indonesia Sehat dianggap kurang memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat mengandalkan adanya bantuan biaya atau subsidi dari Pemerintah.

3. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang penyelenggaraan Posyandu. Pengawasan pelayanan kesehatan tradisional dan obat tradisional

Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, Pemerintah dan Pemerintah daerah perlu menertibkan pendirian layanan kesehatan, khususnya layanan kesehatan tradisional. Layanan kesehatan tradisional sering kali dianggap sebagai alternatif layanan kesehatan medis yang mahal. Selain itu, layanan kesehatan tradisional dianggap lebih dikenal masyarakat karena merupakan bagian dari budaya masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan yang terdapat dalam masyarakat. Pengaturan mengenai peran Pemerintah dan Pemerintah daerah terkait perijinan layanan kesehatan tradisional belum diatur dalam UU Pemda yang merupakan UU sektoral terkait pembagian

37 Wiku Adisasmoto. Sistem Kesehatan, Edisi kedua, Cet. Kelima. (Depok : PT. RajaGrafindo Persada,2014)

hlm 178-179.

38 Menurut International Federation Of Social Worker (ISFM), pekerjaan sosial (social worker) adalah

sebuah profesi yang mendorong perubahan sosial, memecahkan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, memberdayakan, dan membebaskan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pekerjaan sosial adalah aktivitas professional, untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. Tan dan Envall mendefinisikan Pekerjaan sosial sebagai berikut “profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teoriteori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial.

(12)

kewenangan dalam pelaksanaan urusan pemerintahan39. Namun demikian, pengaturan turunan dari UU Kesehatan terkait layanan kesehatan tradisional telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional telah mengatur mengenai ragam pelayanan pelayanan kesehatan tradisional yang terdiri atas40 Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris41, Pelayanan

Kesehatan Tradisional Komplementer42, dan Pelayanan Kesehatan Tradisional

Integrasi43, yang diatur lebih lanjut dalam Permenkes Nomor 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, Permenkes Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi, dan Permenkes Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional juga mengatur mengenai pembagian kewenangan dalam pelaksanaan urusan pemerintahan terkait dengan pelayanan kesehatan tradisional. Pembagian kewenangan tersebut adalah sebagai berikut :

Pembagian Kewenangan Manajemen Pelayanan Kesehatan Tradisional dalam PP Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional

Kewenangan Pemerintah Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota a membuat kebijakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional tingkat nasional termasuk metodologi, saintifikasi, a membuat kebijakan

daerah dalam pelayanan

kesehatan tradisional

daerah provinsi yang mengacu pada kebijakan nasional; a membuat kebijakan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional daerah

39 Lihat lampiran UU Pemda huruf b terkait pembagian urusan pemerintah di bidang kesehatan.

40 Lihat ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan

Tradisional. Dalam pelaksanaannya, Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris diberikan oleh penyehat tradisional dalam rangka upaya promotif dan preventif (Pasal 17 ayat (1)), Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer diberikan oleh tenaga kesehatan tradisional dalam rangka upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Pasal 19 ayat (1)), dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi merupakan pelayanan kesehatan yang mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer (Pasal 14 ayat (1)).

41 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan

Tradisional mendefinisikan Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris.

42 Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer adalah penerapan kesehatan tradisional yang

memanfaatkan ilmu biomedis dan biokultural dalam penjelasannya serta manfaat dan keamanannya terbukti secara ilmiah. Definisi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, Pasal 1 angka 2.

43 Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang

mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer, baik bersifat sebagai pelengkap atau pengganti. Definisi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, Pasal 1 angka 3.

(13)

dan jejaring Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tradisional untuk kepentingan penelitian dan pendidikan; b melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pelayanan kesehatan tradisional; c mendorong penerapan, penelitian, dan pengembangan pelayanan kesehatan tradisional; d melakukan pengelolaan, pemantauan, penapisan, kemitraan dan evaluasi,

pelayanan kesehatan tradisional skala nasional; e membuat sistem pelaporan pelayanan kesehatan tradisional; f meningkatkan mutu penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional; g menjamin keamanan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan bahan

dan/atau alat kesehatan tradisional; dan

h menyusun norma,

standar, prosedur, dan

kriteria pelayanan

kesehatan tradisional.

b mengusulkan pengkajian terhadap jenis pelayanan

kesehatan tradisional

yang spesifik daerah (local spesific) kepada Pemerintah untuk dapat

diteliti, dikembangkan, dan diterapkan; c melakukan pelaporan pelayanan kesehatan tradisional skala provinsi; dan d. mendayagunakan tenaga kesehatan tradisional. kabupaten/kota yang mengacu pada kebijakan provinsi dan kebijakan nasional; b mengusulkan pengkajian terhadap jenis pelayanan kesehatan tradisional yang spesifik daerah (local spesific) kepada Pemerintah melalui pemerintah daerah provinsi; c melakukan pelaporan pelayanan kesehatan tradisional skala kabupaten/kota; d memberikan perizinan bagi tenaga kesehatan tradisional di kabupaten/kota; dan e mendayagunakan penyehat tradisional dalam rangka pelayanan kesehatan promotif dan preventif.

Tabel x. Pembagian kewenangan manajemen pelayanan kesehatan tradisional dalam PP Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional

Dalam upaya pengembangan layanan kesehatan tradisional, Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional menyampaikan bahwa pihaknya telah bekerjasama

(14)

dengan beberapa layanan kesehatan dengan melakukan integrasi pengobatan antara pengobatan medis dengan pengobatan tradisional baik dalam upaya preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif. Meski dalam jumlah yang terbatas, pengembangan kerja sama tersebut terus dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Selain itu, Kementerian Kesehatan telah memiliki satu unit griya sehat yang memberikan pelayanan kesehatan tradisional yang akan terus diupayakan peningkatan dan pengembangannya.

Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional menyatakan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tradisional tergolong tinggi karena pelayanan kesehatan tradisional sudah ada jauh dari dahulu. Menyikapi hal ini, kementerian kesehatan membentuk pokjanas kestrad, alternatif dan komplementer melalui Kepmenkes Nomor 299/MENKES/SK/VIII/2013 tentang Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif Dan Komplementer yang bertugas

a memberikan rekomendasi atas metode pelayanan kesehatan tradisional, alternatif, dan komplementer yang dapat dikembangkan;

b mediasi dan advokasi stakeholders terkait untuk kepastian integrasi pelayanan kesehatan tradisional, alternatif, dan komplementer di fasilitas pelayanan kesehatan;

c memberikan rekomendasi atas komitmen internasional dan kerjasama luar negeri;

d pengembangan jaringan informasi dan dokumentasi pelayanan kesehatan tradisional, alternatif, dan komplementer;

e memberi masukan pengembangan model-model inovasi penerapan pengobatan tradisional;

f memberi masukan untuk strategi pengawasan dan pembinaan pengobatan tradisional termasuk asing;

g memberi masukan untuk pengembangan standar pendidikan dalam mencapai kompetensi sumber daya manusia penyelenggara pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer;

h memberi masukan mengenai standar pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer;

i memberi masukan mengenai usulan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atas bahan, teknologi, dan produk pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer; dan

j memberi masukan mengenai penyelesaian masalah/konflik dalam pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer.

Adanya pengaturan mengenai pelayanan kesehatan tradisional yang mengatur mengenai jenis, tata cara pelayanan kesehatan tradisional, sumber daya pelayanan kesehatan tradisional yang juga mencakup registrasi dan perizinan tenaga kesehatan tradisional dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan tradisional telah menunjukkan Pemerintah memiliki perhatian terhadap pengembangan pelayanan kesehatan tradisional dan perlindungannya meskipun dalam pelaksanaannya masih belum optimal dikarenakan luasnya cakupan kerja kementerian kesehatan dan

(15)

beragamnya permasalahan kesehatan yang berkembang dalam masyarakat yang juga menuntut perhatian pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu, peran serta masyarakat dalam pengembangan pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan sesuai dengan ketentuan hukum masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Pengembangan obat-obatan tradisional juga menjadi konsen pemerintah, pemerintah daerah dan para peneliti di bidang kesehatan. Obat racik tradisional maupun obat-obatan tradisional yang telah diolah secara modern dapat ditemukan dengan mudah di pasaran. Namun demikian, sebaiknya masyarakat bersikap cerdas dalam memilih obat-obatan tradisional untuk dikonsumsi, dengan memperhatikan label pada kemasan obat tradisional tersebut. Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam mengkonsumsi produk-produk olahan, BPOM telah membentuk konsorsium untuk obat tradisional agar semua produk herbal ataupun obat-obatan tradisional harus mempunyai izin dari BPOM, dengan mengecualikan jamu tradisional yang dihasilkan dari resep turun temurun. Dalam lampiran UU Pemda pembagian urusan pemerintah di bidang kesehatan terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman diatur bahwa pembagian urusan pemerintahnya sebagai berikut :

➢ Pemerintah Pusat :

a Penyediaan obat, vaksin, alat kesehatan, dan suplemen kesehatan program nasional.

b Pengawasan ketersediaan pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan.

c Pembinaan dan pengawasan industri, sarana produksi dan sarana distribusi sediaan farmasi, obat tradisional, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT), bahan obat, bahan baku alam yang terkait dengan kesehatan.

d Pengawasan pre-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman.

e Pengawasan post-market obat, obat tradisional, kosmetika, alat kesehatan, PKRT, dan makanan minuman

➢ Pemerintah Daerah Provinsi :

a Penerbitan pengakuan pedagang besar farmasi (PBF) cabang dan cabang penyalur alat kesehatan (PAK) .

b Penerbitan izin usaha kecil obat tradisional (UKOT).

➢ Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota :

a Penerbitan izin apotek, toko obat, toko alat kesehatan dan optikal. b Penerbitan izin usaha mikro obat tradisional (UMOT).

c Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan kelas 1 (satu) tertentu dan PKRT kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga.

d Penerbitan izin produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga. e Pengawasan post-market produk makanan minuman industri rumah tangga.

(16)

Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan masyarakat dalam pelayanan kesehatan

Dalam upaya perlindungan terhadap tenaga kesehatan, yang merupakan

komponen sumber daya di bidang kesehatan44, sebagai pelaksana pelayanan kesehatan

kepada masyarakat diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU Kesehatan. Perlindungan hukum sebagai hak yang diberikan kepada tenaga kesehatan tentunya tidak diberikan kepada tenaga kesehatan yang tidak memenuhi ketentuan kualifikasi tenaga kesehatan yang bekerja berdasarkan prosedur pelayanan yang diatur dalam

ketentuan perundang-undangan di bidang kesehatan45. Dalam hal ini, prosedur

pelayanan kesehatan harus dipahami tidak hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga oleh masyarakat pengguna jasa layanan kesehatan.

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled), khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima

(acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran.46

Permasalahan hukum sering kali dialami oleh dokter, perawat dan bidan. Dalam suatu pelayanan kesehatan, khususnya penanganan penyakit perlu dipahami tentang adanya resiko medis. Pemahaman ini tentu menuntut kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada kondisi kesehatannya dan pemberian edukasi serta penyampaian informasi yang tuntas oleh pemerintah, pemerintah daerah dan tenaga kesehatan. Beragam penyakit yang muncul dan berkembang dalam masyarakat, tidak semuanya dikenal dan dapat diperoleh informasinya oleh masyarakat sehingga disinilah peran pemerintah, pemerintah daerah dan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi

kepada masyarakat. Sebagai contoh adalah penanganan kasus Steve Johnson Syndrome47

yang dianggap sebagai tindakan malpraktik. Permasalahan ini diakibatkan masyarakat

44 Ketentuan dalam UU Kesehatan memasukkan Tenaga Kesehatan sebaga bagian dari pengaturan dalam

Bab V tentang sumber daya di bidang kesehatan.

45 Pengaturan mengenai sanksi pidana dalam UU Kesehatan, tepatnya pada Pasal 190-Pasal 199 dan Pasal

201, dikenakan kepada tenaga kesehatan berkaitan dengan pemenuhan kualifikasi dan perijinan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan.

46 Tim Penyusunan Kompendium Hukum Kesehatan. Kompendium Hukum Bidang Kesehatan (online).

https://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-6.pdf , hlm 102-103 diakses pada 6 Maret 2019.

47 Sindrom Steven-Johnson (SJS) termasuk penyakit yang cukup jarang di Indonesia, namun merupakan

kondisi yang serius. Penyakit ini menyebabkan kulit penderitanya gatal-gatal, melepuh, bahkan sampai mengelupas akibat dari reaksi berlebihan terhadap obat dan infeksi tertentu. Penyakit ini juga dapat mengakibatkan kematian apabila tidak ditangani secara cepat dan serius.

(17)

hanya mengetahui penyakit tersebut merupakan penyakit kulit yang biasa dialami sehingga penanganannya tidak disegerakan.

Adanya resiko penanganan medis terhadap pasien perlu disampaikan oleh tenaga kesehatan, selain itu pihak pasien juga harus terbuka terhadap tenaga kesehatan sehingga tidak tejadi kesalahan penanganan pasien dan resiko medis yang terjadi dapat diminimalisir48. Hal ini juga perlu disosialisasikan terhadap masyarakat dan tenaga kesehatan mengingat masalah kesehatan ini adalah masalah yang tidak bisa dianggap sepele. Selain itu, ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU Praktik Kedokteran mengatur keharusan adanya persetujuan dari pihak yang berhak memberikan persetujuan

sebelum dilakukan penanganan medis yang beresiko tinggi49.

Kriminalisasi tenaga kesehatan masih kerap terjadi. Ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan mengatur bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Pengaturan ini dikuatkan dengan pengaturan dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan ini belum terlaksana secara optimal mengingat sering kali permasalahan pelayanan medis dianggap sebagai tindakan malpraktik yang harus ditangani di ranah pidana yang sebenarnya merupakan resiko medis yang tidak bisa dihindari.

Penutup

Meskipun dalam teori hukum menurut Roscoe Pound yang diikuti oleh Mochtar Kusumaatmaja dinyatakan law is a tool of social engineering yang digunakan untuk membentuk masyarakat, namun apabila masyarakat tidak menerima hokum tersebut, maka hokum tidak akan dapat berpengaruh terhadap masyarakat dan menjadi suatu

produk yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum dikatakan sebagai sarana penggerak

apabila hukum mampu diterima sebagai suatu sistem yang hidup dan berkembang pada masyarakat. Demikian pula upaya pembentukan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan tidak akan optimal apabila kesadaran tersebut tidak timbul dari masyarakat itu sendiri.

48 Pasal 50 huruf c UU Praktik Kedokteran mengatur “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai hak : ... c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; ...”

49 Ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU Praktik Kedokteran menyatakan : “Setiap tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”.

Gambar

Tabel  x.  Pembagian  kewenangan  manajemen pelayanan  kesehatan  tradisional  dalam  PP Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional

Referensi

Dokumen terkait

Kedua bencana tersebut tidak hanya menghancurkan  sik gedung, akan tetapi juga sistem di masyarakat (infrastruktur lunak), seperti hancurnya gedung Pusat Dokumentasi

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemberian Tugas Belajar dan Izin Belajar bagi Pegawai Negeri

[4.9] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 1angka12, Pasal 35 ayat (1) huruf d dan huruf g, pasal 36 ayat (1), Pasal 37 UU KIP juncto Pasal 1 angka 8 , Pasal 30 ayat (1) huruf c

SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG TELAH TERDAFTAR

Dengan membayar uang muka pendaftaran Biaya Tour, Anda dianggap telah memahami dan menerima syarat & kondisi di atas.. Kondisi Tour selengkapnya berlaku sesuai dengan yang

3.9 Menghubungkan sifat fisika dan kimia tanah, organisme yang hidup dalam tanah, dengan pentingnya tanah untuk keberlanjutan kehidupan  Peranan tanah untuk keberlanjuta

Dalam penelitiannya, Stump (Sulistyorini, 2006) membuktikan bahwa tes isian rumpang dan dikte merupakan dua bentuk pengetesan yang mampu memprediksi skor inteligensi dan

Dalam regresi sederhana angka R ini menunjukkan korelasi sederhana (korelasi pearson) antara variabel X terhadap Y. Angka R didapat 0,720, artinya korelasi antara variabel “UU