PROPOSAL
PENELITIAN PASCASARJANA
DANA ITS 2020
PENGEMBANGAN MODEL MULTI-CRITERIA SORTING
PROBLEM PADA AKUISISI CORE DALAM SISTEM
REMANUFAKTUR
Tim Peneliti:
Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M.Eng.Sc.
Nani Kurniati, S.T., M.T., Ph.D.
Mohamad Imron Mustajib, S.T, M.T.
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2020
i Halaman Pengesahan
Program Penelitian Dana Mandiri Tahun 2020
1 Judul Penelitian : Pengembangan Model Multi-Criteria Sorting Problem pada Akuisisi Core dalam Sistem Remanufaktur
2 Ketua tim :
a. Nama : Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M.Eng.Sc b. NIP/NIDN : 195903181987011001 / 0018035905
c. Pangkat/golongan : IVE/Pembina Utama d. Jabatan Fungsional : Guru Besar
e. Departemen : Teknik Sistem dan Industri
f. Fakultas : Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem g. Laboratorium : Sistem Manufaktur
h. Alamat kantor : Kampus ITS- Keputih, Sukolilo i. Telp/Fax : 031-5939361/031-5939362 3 Jumlah anggota : 2 orang
4 Jumlah mahasiswa pasca-sarjana yang terlibat
: 2 orang
5 Besaran dana : Rp 50.000.000,00
Menyetujui,
Kepala Departemen Teknik Sistem dan Industri
Nurhadi siswanto, ST, MSIE Ph.D NIP. 197005231996011001
Surabaya, 6 Maret 2020 Ketua Tim Peneliti,
Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M.Eng.Sc NIP. 195903181987011001
Mengesahakan, Direktur DRPM ITS
Agus Muhammad Hatta, S.T., M.Si., Ph.D NIP 197809022003121002
ii
Daftar Isi
Halaman Pengesahan ... i
Daftar Isi ... ii
Daftar Gambar ... iii
Daftar Tabel ... iv
Daftar Lampiran ... v
BAB 1 RINGKASAN ... 1
BAB 2 LATAR BELAKANG... 2
2.1 Latar Belakang ... 2
2.2 Rumusan Masalah ... 6
2.3 Tujuan Penelitian ... 7
2.4 Asumsi Model ... 7
2.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Pembatasan ... 7
2.6 Urgensi Penelitian ... 7
BAB 3 KAJIAN PUSTAKA ... 9
3.1 Sistem Remanufaktur ... 9
3.2 Manajemen Akuisisi Core ... 10
3.3 Ketidakpastian dalam Remanufaktur ... 13
3.4 Pengendalian Kualitas dalam Remanufaktur ... 14
3.5 Model kebijakan sortir dalam remanufacturing planning ... 15
3.6 Roadmap Penelitian ... 20
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 21
4.1 Identifikasi Masalah ... 21
4.2 Tahapan Penelitian ... 22
4.3 Konseptual model multi-kriteria sorting problem untuk penerimaan incoming core 25 BAB 5 ORGANISASI TIM, JADWAL DAN RANCANGAN PENELITIAN ... 29
5.1 Organisasi Tim Peneliti ... 29
5.2 Jadwal Penelitian ... 30
5.3 Anggaran ... 30
DAFTAR PUSTAKA ... 32
iii Daftar Gambar
Gambar 2.1 Tren pertumbuhan sampah global yang berwujud municipal solid waste (MSW) per kapita per kawasan ... 3 Gambar 3.1 Model tiga level remanufaktur... 9 Gambar 3.2 Mekanisme dan fungsi akuisi core: ... 11 Gambar 3.3 Aktifitas manajemen akusisi core dan dampaknya terhadap ketidakpastian ... 13 Gambar 3.4 Klasifikasi level kualitas core ... 14 Gambar 3.5 Roadmap penelitian ... 20 Gambar 4.1 Fish bone diagram untuk menganalisis permasalahan dalam sistem
remanufaktur ... 22 Gambar 4.2 Diagram alir penelitian ... 24 Gambar 4.5 Proses sortir dengan limiting profile ... 28
iv
Daftar Tabel
Tabel 3.1 Klasifikasi literatur berdasarkan kriteria pada penelitian terdahulu, kriteria yang diusulkan pada penilitian ini (warna kuning) ... 19 Tabel 5.1Susunan Tim Peneliti ... 29 Tabel 5.2 Timeline Penelitian ... 30
v Daftar Lampiran
1 BAB 1
RINGKASAN
Remanufaktur merupakan salah satu strategi recovery produk yang sangat penting untuk mengembalikan fungsi-fungsi produk yang telah berada pada fase end of life menjadi produk dengan satus useful life, sehingga kualitasnya dapat disetarakan dengan produk baru. Praktik remanufaktur tidak hanya dapat memberikan manfaat bagi perusahaan, tetapi juga bagi konsumen, dan lingkungan sekitar. Bagi perusahaan remanufaktur, proses yang dilakukan dapat membantu mengurangi penggunaan virgin material dan konsumsi energi. Oleh sebab itu, praktek remanufaktur dapat mengurangi biaya dan dapat meningkatkan profit bagi perusahaan. Sementara itu, dari sisi lingkungan praktek remanufaktur juga dapat mengurangi polusi dan emisi. Adapun dari sudut pandang konsumen, produk remanufaktur mampu diperoleh dengan harga yang terjangkau. Meskipun demikian, bagi sebagian konsumen kualitas produk remanufaktur masih dipandang rendah, dan tidak sama dengan produk baru. Hal ini disebabkan input material produk remanufaktur berasal dari produk bekas yang level kualitasnya diasumsikan lebih rendah dari material baru atau virgin material.
Input dari proses remanufaktur adalah produk bekas atau core, yang diterima pada aktifitas akuisisi core. Kualitas incoming core yang diterima oleh sistem remanufaktur kondisinya cenderung bervariasi karena faktor penggunaan produk selama di tangan konsumen. Selain itu, faktor teknologi produk dan kondisi fisik produk itu sendiri juga ikut berpengaruh. Ketiga faktor tersebut menjadi penyebab ketidakkpastian kualitas core yang menjadikan sistem remanufaktur perlu melakukan pengendalian kualitas pada saat aktifitas akuisi core
Sorting dan grading merupakan pengendalian kualitas pada level operasional remanufaktur
yang merupakan solusi langsung sehingg dapat memitigasi adanya ketidakpastian kualitas
incoming core. Meskipun telah banyak penelitian yang membahas tentang pengendalian
kualitas pada aktifitas akuisi core, tetapi ukuran performansi yang diusulkan untuk mengklasifikasikan kulitas incoming core lebih banyak berorientasi pada single criteria, yaitu aspek ekonomi. Adapun kriteria-kriteria kualitas untuk penerimaan incoming core belum diperhatikan. Karena kriteria ekonomi saja tidak selalu cocok untuk diterapkan pada produk yang komplek.
Berdasarkan research gap di atas, maka penelitian ini mengusulkan pengendalian kualitas pada aktifitas akuisi core diusulkan dengan membangun model multi criteria sorting
problem pada tahapan akuisisi core dengan memperhatikan kondisi teknologi, fisik, dan
penggunaan.
2
BAB 2
LATAR BELAKANG
Bab ini akan menguraian hal hal penting yang melatarbelakangi gagasan penelitian melalui deskripsi pentingnya penelitian di area topik remanufaktur beserta isu-isu mendasar yang berkembang hingga saat ini, termasuk munculnya indikasi yang menunjukan adanya pertanyaan riset . Pada sub bab berikutnya akan dibahas rumusan masalah, ruang lingkup dan batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat, dan kontribusi penelitian. Selanjutnya pada akhir bab ini akan ditutup dengan urgensi penulisan laporan penelitian
2.1 Latar Belakang
Remanufaktur memainkan peran yang sangat penting dalam berkontribusi di era
circular economy dengan cara memperpanjang siklus hidup sutau produk. Pada ekonomi
sirkular, remanufaktur peran penting ini ditandai denga kemampuanya untuk mewujudkan closed-loop production system. Sehingga, melalui sistem produksi loop tertutup tersebut, produk bekas yang telah sampai fase akhir siklus hidupnya (End of life) dapat diperpanjang dengan menggunakan proses pemulihan menjadi produk remanufaktur yang memiliki nilai tambah. Peran penting remanufaktur semakin terlihat nyata pada saat industri manufaktur secara global tidak hanya dihadapkan pada persolan efisiensi biaya, energi dan material. Tetapi juga pada persoalan yang terkait dengan masalah lingkungan dan sosial yang terkait dengan tenaga kerja dan penciptaan lapangan pekerjaaan baru. Misalnya masalah lingkungan tersebut selain terkait isu global warming adalah isu sampah produk bekas (worn out product) yang terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada gambar 1.1.
3 Gambar 2.1 Tren pertumbuhan sampah global yang berwujud municipal solid waste
(MSW) per kapita per kawasan (Wilson et al., 2015)
Fakta ini memberikan deskripsi bahwa peningkatan sampah produk bekas adalah masalah krusial yang mendesak untuk ditangani. Sehingga sampah dalam wujud used product dapat dikelola dengan tepat yang dapat berkontribusi terhadap penggunaan sumber daya secara efisien (resource efficient). Efisiensi ini akan dapat berjalan baik jika penanganan sampah yang dilakukan tidak lagi menganut pola berpikir waste mangament dan linear
economy dengan prinsip kumpul, angkut, dan buang, yang berhenti pada aktifitas waste disposal. Tetapi akan lebih tepat jika berdasarkan prinsip resource mangament dan
bersifat circular economy. Karena pada dasarnya dalam prinsip circular economy, sampah atau limbah adalah sebuah sumberdaya yang dapat dipulihkan dan diolah kembali secara berkelanjutan melalui proses recovery menjadi material ataupun dalam bentuk produk yang memiliki nilai tambah.
Upaya dalam pemanfaataan sumberdaya secara efisien dan penanganan masalah sampah produk telah menggerakkan terjadinya evolusi strategi manufaktur, khususnya pengembangan-pengembangan metode dan teknologi yang mampu menciptakan, mempertahankan, hingga memulihkan (recovery) produk produk bekas yang masih memiliki nilai tambah. Strategi untuk menghadapi keterbatasan sumberdaya yang non
renewable dan dampak lingkungan adalah mempraktekkan metode 6R dalam sistem
manufaktur berkelanjutan, yaitu (Jawahir et al., 2006; Jayal et al., 2010; Badurdeen dan Jawahir, 2017) : reuse, recycle, recovery, redesign, remanufacture dan reduce.
Remanufaktur memiliki peran yang sangat krusial dalam strategi manufaktur yang berkelanjutan. Dalam hal ini, remanufaktur sebagi bagian penting dari strategi manufaktur yang berkelanjutan telah mendapatkan perhatian yang sangat luas di kalangan praktisi industri maupun akademisi, khususnya berkaitan dengan produk-produk elektronik, peralatan rumah tangga, otomotif dan permesinan (Wang et al., 2016). Alasan yang mendasari adalah kemampuan remanufaktur untuk memulihkan produk-produk bekas (worn out product) menjadi produk remanufatur (remanufactured product) yang dapat beroperasi kembali sesuai dengan fungsi orisinalnya. Dengan demikian, proses remanufaktur mampu melakukan penyelamatan nilai tambah produk yang tersisa (salvaged value) pada produk bekas sehingga dapat digunakan lagi dalam siklus hidup produk berikutnya.
4
Remanufaktur sebagai strategi untuk melakukan recovery pada used product memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka mewujudkan industri manufaktur yang sustainable, baik dalam dimensi ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Meskipun praktek remanufaktur yang telah diklaim oleh banyak peneliti terbukti mampu memberikan banyak manfaat secara ekonomi, lingkungan, dan sosial, pada kenyataannya masih menyisakan tantangan dalam pengembangan dan penerapan remanufaktur. Tantangan yang pertama dari sisi suplai material adalah kesulitan dan biaya tinggi tatkala proses akuisisi produk used product/core, baik itu yang berada di tangan konsumen maupun di pihak kolektor (Matsumoto dan Nasr, 2016), karena remanufaktur melibatkan sistem reverse logistic yang komplek. Kompleksitas ini disebabkan used
product mengalir dalam sistem reverse logistic dengan melibatkan banyak pihak
(stakehoders), seperti factory, retailer, costumer, collector/broker, recycled center,
service center dan distribution center yang membentuk sebuah jaringan. Tantangan lain
yang banyak dihadapi pada saat akuisisi core oleh perusahaan remanufaktur adalah adanya ketidakpastian (uncertainty) pada kualitas dan volume core atau used product, maupun waktu kedatangannya (Wei et al., 2015a; Kurilova-palisaitiene et al., 2018). Adanya ketidakpastian kualitas incoming core tidak hanya berpengaruh siknifikan pada performansi produk remanufaktur itu sendiri (Diallo et al., 2016), juga menimbulkan kompleksitas dalam perencanaan sumberdaya, dan resiko-resiko yang terkait dengan biaya kualitas dan biaya operasional remanufaktur maupun waktu proses yang bervariasi (Aras et al., 2004; Wei et al., 2015a).
Penyortiran dan penilaian kualitas incoming core pada industri remanufaktur adalah praktek yang umum dilakukan untuk mengendalikan kualitas incoming core. Sorting dan
grading merupakan pengendalian kualitas pada level operasional remanufaktur
merupakan solusi langsung yang dilakukan untuk memitigasi adanya ketidakpastian kualitas incoming core. Proses sortir bersifat labour intensive, sehingga membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman. Meskipun proses ini dapat digantikan dengan teknologi sensor maupun bar code untuk menjadikan operasi sortir menjadi terotomasi, pada prakteknya penggunanan teknologi tersebut tidak selalu menjamin manfaat bagi perusahaan nremanufaktur. Karena menurut Errington dan Childe (2013) teknologi ini hanya berguna bagi perusahaan remanufaktur asli pembuat produk (original equipment remanufacturer) atau perusahaan yang memiliki kontrol atas desain atas used produc, dan menggunakan teknologi tersebut untuk investasi untuk long-term
5 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya keperluan suatu metode atau model yang dapat digunakan untuk pengendalian terhadap ketidakpastian kualitas di sisi suplai, yaitu pada tahapan akuisi core. Model pengendalian kualitas
incoming core yang sudah ada saat ini lebih banyak berorientasi pada aspek ekonomi
(single criteria) yaitu pada upaya menekan biaya, terutama biaya remanufaktur. Sementara itu, aspek lain seperti aspek teknis belum banyak mendapatkan perhatian. Misalnya pada level taktis, pengendalian kualitas remanufaktur yang dilakukan dengan mengklasifikasikan kondisi kualitas core masih jarang yang mempertimbangkan aspek feasibility yang melibatkan kondisi fsisk, teknologi, pengguna. Pengklasifikasian kualitas
incoming core pada level operasional merupakan aspek yang vital pada remanufacturing planning karena pada tahapan selanjutnya akan ikut menentukan kebutuhan proses
remanufaktur beserta biayanya. Selain itu, ketidaktepatan klasifikasi kualitas core akan menyebakan quality over-estimation yang berdampak tingginya biaya akuisi, sedangkan
quality under-estimation akan meningkatkan volume waste of core (Wei et al., 2015).
Dampak atas ketidakpastian dapat diminimalkan, apabila model pengklasifikasian kualitas core berbasis kriteria teknis maupun ekonomi dengan memperhatikan ketidapastian informasi yang ada.
Meskipun dalam studi literatur telah ditemukan beberapa usulan strategi untuk menghadapi ketidakpastian kualitas incoming core, namun pada kenyataannya masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan wawasan pengetahuan atas kesenjangan (gap) yang belum terjawab dari gejala-gejala (symptoms) yang muncul berikut ini:
a. Gap yang pertama adalah kriteria penerimaan yang belum jelas tentang kondisi kualitas incoming core. Dalam hal yang demikian, ketidakjelasan ini diindikasikan dari penelitian-penilitian terdahulu yang tidak menguraikan dan menyusun secara hirarki beberapa elemen pokok yang menjadi dimensi kualitas
core. Penyusunan dimensi itu adalah penting untuk mengelompokkan kualitas core berdasarkan kondisi kualitasnya, karena perbedaan kondisi core akan
berdampak terhadap biaya dan proses remanufaktur yang diperlukan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipandang perlu dilakukan penyusunan kriteria-kriteria penerimaan kondisi kualitas incoming core untuk bahan operasionalisasi dalam pengambilan keputusan perusahaan remanufaktur ketika menghadapi kualitas incoming core yang tidak menentu.
6
b. Berikutnya setelah memunculkan beberapa kriteria tersebut, maka diperlukan metode atau model penyortiran dan penilaian kualitas incoming core untuk mengendalikan kualitas incoming core bagi pengambil keputusan.
Uraian beberapa gap di atas memberikan gambaran bahwa hingga saat ini masih dibutuhkan studi yang mendalam tentang multi-criteria sorting problem pada akuisisi
core dalam sisitem remanufaktur untuk menghadapi ketidakpastian kualitas incoming core. Fokus utama pada penelitian ini adalah menyusun model yang terkait gap pada dua
poin seperti di atas. Dengan demikian, model yang akan dibangun pada penelitian ini adalah model multi-kriteria untuk permasalahan sortir dan klasifikasi kualitas incoming
core.
2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sub bab latar belakang, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang memerlukan kajian secara mendalam pada penelitian ini, yaitu:
1. Kriteria apa saja yang dapat digunakan untuk penerimaan incoming core dengan
kondisi kualitas yang beragam.
Kualitas incoming core yang beragam membutuhkan strategi pengendalian kualitas yang dapat menentukan feasibility kualitas core sehingga dapat diproses pada tahapan operasi remanufaktur. Meskipun telah banyak strategi pengendalian kualitas yang diusulkan pada penelitian sebelumnya yang bertujuan untuk mengendalikan kualitas core, tetapi kriteria kondisi penerimaan core (core
acceptance condition) dalam tahapan akuisi core belum jelas. Ketidakjelasan
tersebut dapat diuraikan dengan menyusun secara hirarki beberapa elemen pokok yang menjadi dimensi kualitas core, dan selanjutnya mensintesis pertimbangan secara relatif tingkat kepentingan elemen-elemen dimensi kualitas core tersebut pada setiap tingkat hirarki ke dalam seperangkat prioritas keseluruhan. Sehingga dapat mengklasifikasikan kualitas core menjadi beberapa level (grade) kualitas. 2. Bagaimana model multi-kriteria sortir kualitas dengan kondisi kualitas incoming
core yang beragam
Dengan adanya core yang terklasifikasi dapat mengurangi ongkos biaya kualitas dan biaya remanufaktur. Oleh karena itu, penyortiran kualitas memainkan peran penting dalam sistem remanufaktur untuk menangani variabilitas incoming core. Pertama, untuk mengidentifikasi kondisi kualitas: fisik, penggunaan, dan teknologi
7
incoming core sebelum proses remanufaktur. Kedua, operasi sortir ini adalah solusi
langsung untuk mengurangi kondisi ketidakpastian kualitas dalam akuisisi core.
2.3 Tujuan Penelitian
1. Menyusun secara hirarki kriteria-kriteria dimensi kualitas core untuk pengambilan keputusan penerimaan core pada aktifitas akuisi
2. Mengembangkan model multi-kriteria sortir kualitas dengan kondisi kualitas
incoming core yang beragam
2.4 Asumsi Model
1. Model multi-kriteria sudah mencakup sorting dan grading 2. Hubungan antar kriteria bersifat independen
3. Core yang terdapat dalam interval kelas kualitas yang sama memiliki nilai kualitas yang sama (biaya remanufaktur sama).
2.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Pembatasan
1. Penelitian dilalukan pada salah aktifitas utama remanufaktur, yaitu core
acquisition.
2. Karakteristik sistem remanufaktur adalah independen, yaitu perusahaan yang memberikan layanan proses remanufaktur kepada pihak lain maupun perusahaan yang bertipe melakukan pembelian (akuisi) core kemudian menjalankan aktifitas direct resale terhadap produk remanufaktur
2.6 Urgensi Penelitian
1. Model yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai alat bantu pengambilan keputusan untuk menyelesaikan sorting problem untuk incoming core dengan kualitas yang beragam.
2. Model yang dibangun diharapkan dapat menjadi referensi bagi perusahaan remanufaktur untuk menyusun remanufacturing planning yang menghadapi ketidakpastian kualitas.
3. Melalui cara pandang sistem, model yang dibangun berasal dari „komponen-komponen‟ yang disintesis dari literature review maka dapat menjadi emergent
9 BAB 3
KAJIAN PUSTAKA
Penulisan bab 2 ini bertujuan membahas teori dan penelitian terdahulu yang melandasi penelitian ini. Pembahasan dimulai dari pengertian, kemudian dibahas tentang konsep-konsep penting yang berkaitan dengan topik penelitian.
3.1 Sistem Remanufaktur
Kurilova-palisaitiene et al. (2018) memandang bahwa remanufaktur tidak hanya sekedar sebuah metode recovery produk semata. Tetapi lebih dari itu, remanufaktur dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang komplek dengan beberapa komponen dan melibatkan ketidakpastian eksternal (tantangan eksternal perusahaan) dan internal (tantangan internal proses). Selanjutnya, dengan cara pandang sistem (system view) Kurilova-palisaitiene et al. (2018) membagi hirarki remanufaktur menjadi tiga level persektif (gambar 3.1): 1. Proses (terkait aspek operasional); 2. Sistem (terkait siklus hidup produk); 3. Industri (terkait aspek ekonomi, lingkungan dan politik).
System Sustainable approach Process Ugrade Costs Product Opera-tions Core Life-cycle persepec-tive Design for remanufac-turing Material flow Information & knowledge Supply & demand Marketing strategy Company identity Business model Legislation & Environmental regulations Customer preferences Technological chnages Industry
10
Pada level proses, remanufaktur berkaitan dengan sudut pandang internal perusahaan terhadap aktifitas aktifitas (inspeksi, disassembly, cleaning, assembly, testing) untuk mentransformasikan input menjadi output. Pada level ini, remanufaktur dihadapkan pada persoalan operasional yang perlu dikelola agar efisien. Pada level sistem, remanufaktur terkait sudut pandang dari para pemangku kepentingan dalam siklus hidup produk. Pemangku kepentingan pada level ini adalah perancang produk, pemanufaktur, konsumen, service/maintenance, remanufacturer dan recycler. Adapun pada level industri, remanufaktur terkait dengan sudut pandang ekonomi, lingkungan dan politik. Dengan begitu pengelompokan/pemeringkatan ini tersirat bahwa adanya perbedaan pengamatan oleh stakeholders sebagai problem owner maupun problem user dalam memandang remanufaktur sebagai sebuah sistem untuk keperluan pengambilan keputusan.
Sistem remanufaktur berbeda dengan sistem manufaktur konvensional. Ditinjau dari tahapan proses produksi pada sistem manufaktur melibatkan rangkaian tahapan yang lebih panjang dibandingkan dengan sistem remanufaktur. Karena pada sistem manufaktur dimulai dari tahapan desain, manajemen material, produksi, pengendalian kualitas dan proses assembly. Tahapan produksi pada sistem manufaktur konvensional melibat aktifitas untuk melakukan perubahan secara fisik untuk raw material menjadi produk jadi. Adapun pada sistem remanufaktur tahapan produksi dimulai dari proses
disassembly, sorting, inspection, cleaning, refurbishment, dan reassembly. Perbedaan
tahapan proses inilah yang kemudian menyebabkan lead time dari sistem remanufaktur menjadi lebih singkat dibandingkan dengan sistem manufaktur konvesional. Tetapi waktu prosesnya untuk setiap tahapan seringkali dalam sistem remanufaktur lebih bervariasi karena tergantung dari kualitas input yang cenderung bervariasi dari sisi kualitas dan kuantitasnya.
3.2 Manajemen Akuisisi Core
Tahapan awal yang krusial pada sistem remanufaktur adalah mendapatkan produk bekas pakai (used product) atau core dari tangan konsumen, kolektor atau third party
collector adalah proses akuisisi. Guide dan Jayaraman (2000) mendefinisikan
manajemen akuisi sebagai:
“a complex set of activities that requires careful coordination to avoid the uncontrolled accumulation of core inventory, or unacceptable levels of customer service insufficient cores to meet demand”
11 Berdasarkan definisi tersebut, tersirat bahwa perusahaan remanufaktur perlu secara aktif melakukan tindakan-tindakan pengendalian terhadap permasalahan, dalam upaya untuk mengurangi ketidakpastian volume, waktu dan kualitas. Aktifitas core acquisition merupakan ujung tombak dan kunci sukses proses bisnis remanufaktur untuk meraih sukses dalam memenuhi permintaan pasar. Karena pada aktifitas ini, core menjadi material input dalam proses remanufaktur, seperti halnya input raw material dalam proses manufaktur. Penggunaan core yang berasal dari porduk habis pakai untuk proses
remanufacturing oleh beberapa penelitian (Shah, 2005; Ijomah, 2010; Ilgin dan Gupta,
2012; Shakourloo, 2016) diklaim mampu meningkatkan penghematan material, konsumsi energi dan efisiensi tenaga kerja.
r(p) r0 p r0 r0 r(p) r(p) p p
a. Passive return b. Linear relation c. Non linear relation
Gambar 3.2 Mekanisme dan fungsi akuisi core: hubungan effort (p) dengan volume atau kualitas (Wei et al., 2015)
Terdapat dua macam mekanisme akuisi core dalam sistem remanufaktur, yaitu:
waste steam driven dan market driven, seperti yang diilustrasikan pada gambar 3.2.
Mekanisme yang pertama, apabila menggunakan sistem waste stream driven maka perusahaan remanufaktur akan menerima core secara pasif berdasarkan aliran produk bekas (waste stream), sehingga peran manajemen akuisi pada perusahaan remanufaktur menjadi sangat minimal. Oleh sebab itu, fungsi akuisi mekanisme waste steam driven dari dapat dideskripsikan dengan gambar 3.2.a dengan fungsi ( ) , dimana return
rate ( ) bersifat konstan karena tidak ada usaha oleh perusahaan remanufaktur untuk
mempengaruhi volume dan kualitas core, atau dengan kata lain effort (p) tetap. Pada situasi ini manajemen tidak mengambil tindakan tertentu secara proaktif untuk mengendalikan kualitas dan volume core yang diterima. Proses yang dilakukan dalam sistem ini lebih menekankan pada minimisasi biaya dan aktifitas sorting dan grading. Kemudian Guide dan Wassenhove (2001) menganalisis dampak operasional dari sistem
12
waste steam driven adalah tingginya inventori, banyaknya disposal, waktu proses dan lead time yang lebih lama, serta utilisasi rendah dan routing proses yang komplek.
Mekanisme yang kedua, adalah sistem market driven yang memberikan insentif finansial, yang berupa sistem deposit, kredit untuk unit baru dan pembayaran tunai untuk produk terpakai kondisi level kualitas tertentu (Guide dan Wassenhove, 2001) kepada end user untuk mengembalikan produk yang telah berada pada fase end of life, sehingga sistem
market driven bersifat proaktif dan cenderung berorientasi pada perolehan profit yang
maksimal. Melalui sistem yang kedua ini perusahaan remanufaktur dapat melakukan kendali terhadap volume dan kualitas core yang diakuisi. Hubungan linier tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7.b dan secara matematis dapat dinyatakan dengan fungsi (Cai et al., 2014): ( ) ( ) dimana harga akuisi minimum dan koefisien sensistifitas harga. Dalam hal ini kualitas incoming core dapat dipengaruhi oleh perusahaan remanufaktur melalui keputusan harga akuisisi, biaya akuisi maupun insentif akuisi, dengan memberikan harga optimal pada core yang memiliki kualitas terbaik (Flieschmann et al. dalam Guide dan Wassenhove, 2010; Wei et al., 2015). Selain dinyatakan dalam fungsi yang linier, return rate dalam mekanisme market driven juga dapat dinyatakan dengan fungsi concave, seperti yang diperlihatkan oleh gambar 3.2.c. Secara umum manfaat sistem market driven antara lain berupa work in process (WIP) dan inventori yang rendah sebab core sudah disortir terlebih dahulu sebelum diterima oleh perusahaan remanufaktur.
Dua jenis mekanisme akuisi core yang berbeda tersebut memiliki konsekuensi yang bebeda pula pada perolehan kualitas incoming core. Konsekuensi dengan mekanisme
market driven adalah terdapat kecenderungan bahwa kualitas incoming core dapat
dipengaruhi oleh penetapan harga akuisi core. Fenomena ini dimodelkan oleh Bakal dan Akcali (2006) dengan membagi level kualitas core menjadi dua kategori menggunakan threshold yang sederhana, yang mana item di bawah threshold bersifat remanufacturable, sedangkan di atas threshold adalah scrapped item. Variabel keputusan model ini adalah untuk harga yang optimal untuk akuisi core. Berdasarkan hasil optimasi model diketahui bahwa setiap probabilitas remanufacturable core dapat meningkatkan harga core. Adapun Guide et al. (2003) memandang fenomena ini sebagai permasalahan
quality-dependent pricing yang menekankan pentingya kemampuan perusahaan remanufaktur
mempengaruhi kualitas dan kuantitas core melalui penawaran harga akuisi core. Dalam kondisi seperti itu level kualitas core dapat dinyatakan beberapa variabel diskrit, meskipun menurut Ray et al. (2005) juga dapat dinyatakan sebagai variable kontinyu.
13 Konsekuensi berikutnya adalah mekanisme waste steam driven terdapat kecenderungan bahwa kualitas incoming core dapat dikendalikan dengan penetapan harga akuisi core, sehingga perusahaan remanufaktur perlu melakukan sortasi dan grading secara mandiri setelah proses akuisisi. Pada proses grading tersebut pengelompakan remanufacturable
core dapat dinyatakan single class quality level (Zikopoulos dan Tagaras, 2007) maupun muliti class quality level dengan variabel diskrit atau variabel kontinyu.
3.3 Ketidakpastian dalam Remanufaktur
Aspek ketidakpastian dalam akuisisi core pada sistem remanufaktur berhubungan erat dengan ketidakpastian volume pengembalian, waktu pengembalian dan kualitas core. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan sisi suplai dan demand pada sistem remanufaktur. Ketidakpastian ini terjadi pada saat akuisisi core, yang dipengaruhi oleh (Wei et al., 2015a): acquisition control, return forecast, return strategies, reverse chanel
design.
Acquisition control Return forecast Return strategies Reverse channel design
Quality Classification
Volume uncertainty
Timing uncertainty
Quality uncertainty
Gambar 3.3 Aktifitas manajemen akusisi core dan dampaknya terhadap ketidakpastian (Wei et al., 2015a)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap ketidakpastian kualitas adalah klasifikasi kualitas (quality classification), seperti yang terlihat pada Gambar 3.3. Faktor technical
obsolescence, physical condtion dan usage condition pada core yang diakuisi, merupakan
faktor lain yang ikut memberikan pengaruh terhadap ketidakpastian kualitas core yang diperoleh. Kemudian kondisi kualitas core akan berdampak pada kompleksitas dalam perencanaan sumberdaya, biaya produksi dan waktu proses (Aras et al., 2004; Wei et al., 2015a).
Salah satu indikasi ketidakpastian kualitas incoming core adalah ditandai dengan adanya ketidakpastian level kualitas apakah kondisi incoming core dapat diremanufaktur atau tidak. Untuk itu perlu dilakukan quality assessment untuk menilai kondisi kualitas
14
quality assessment yang umum dipraktekkan dalam industri remanufaktur. Pendekatan
pertama adalah inspeksi secara fisik terhadap core, yang memerlukan proses disassembly secara total, namun metode ini menjadi kurang ekonomis. Pendekatan yang kedua adalah
nominal quality grading, yang dilakukan dengan melihat penampakan fisik core dan
fungsi-fungsi dasarnya.
Level kualitas core (q) (Best)
(Worst)
0 q0 q1 1
Grade 1 Grade 2 Grade 3
Gambar 3.4 Klasifikasi level kualitas core
Level kualitas yang bervariasi ini menyebabkan ketergantungan biaya remanufaktur. Hal ini dikarenakan core dengan level kualitas yang rendah akan membutuhkan banyak operasi remanufaktur, dan sebaliknya. Premis tersebut dikemukakan oleh Ferguson et al. (2006) dan Galbreth dan Blackburn (2006).
3.4 Pengendalian Kualitas dalam Remanufaktur
Pengertian kualitas dalam area sistem manufaktur maupun remanufaktur menurut Montgomery (2009) adalah berbanding terbalik dengan variabilitas, serta sebagai variasi minimum dalam proses (Taguchi et al., 2005). Selanjutnya pengendalian kualitas adalah sebagai sebuah sistem yang dapat digunakan untuk menjaga level kualitas yang diinginkan (Mitra, 2016). Pengendalian kualitas dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu: off-line quality control dan on-line quality control. Pengendalian kualitas secara off-line adalah aktifitas pada fase perencanaan produk, desain, dan rekayasa produksi. Aktifitas ini juga disebut dengan rekayasa kualitas (quality
engineering), yang biasa dilaksanakan oleh departemen engineering. Adapun
pengendalian kualitas secara on-line merupakan aktifitas pengendalian kualitas berdasarkan kondisi yang sebenarnya saat proses produksi sedang berjalan.
Perusahaan remanufaktur memiliki peran yang sangat vital dalam melakukan pengendalian kualitas core. Menurut Sundin et al. (2008) tingkat pengendalian yang lebih tinggi oleh perusaahan remanufaktur terhadap core dapat diperoleh, jika terdapat informasi yang rinci pada saat akuisi, sehingga dapat menurunkan ketidakpastian pada
15 level kualitas incoming core. Selanjutnya kualitas core yang diakuisisi (incoming core) berdampak pada biaya dan keandalan produk remanufaktur (Diallo et al., 2016).
Berbagai strategi perbaikan kualitas dan pengendalian kualitas untuk mengurangi ketidakpastian kualitas telah banyak diusulkan oleh penelitian terdahulu. Pengendalian itu dapat dilakukan dalam rentang waktu yang berjangka pendek (short term) maupun jangka panjang (long term). Pada pengendalian kualitas core jangka pendek dapat dilakukan dengan proses inspeksi (Robotis et al., 2012; Korugan et al., 2013; Errington dan Childe, 2013; Ridley dan Ijomah, 2015; Mashadi dan Behdad, 2017). Selain itu, juga dapat dilakukan dengan proses sorting (Galbreth dan Blackburn, 2006; Zikopoulos dan Tagaras, 2007; Galbreth dan Blackburn, 2010; Nenes et al., 2013; Errington dan Childe, 2013), ataupun proses grading (Aras et al., 2004; Ferguson et al., 2006; Ferguson et al., 2009; Denizel et al., 2010; Bhattacharya dan Kaur 2015; Iwao dan Kusukawa, 2014). Sedangkan pengendalian kualitas core dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan mengintegrasikan fungsi-fungsi core acqustion dan marketing melalui kebijakan pemberian insentif (Guide dan Jayaraman , 2000; Guide dan Wassenhove, 2001; Guide et al., 2003; Aras dan Aksen, 2008; Aksen et al., 2009; Kaya, 2010; Matsumoto dan Umeda, 2011). Selain itu strategi tukar tambah (trade in) dan leasing (Guide dan Jayaraman, 2000; Ferguson et al, 2009; Zhao et al. 2010; Yalabik et al., 2014; Iskandar et al., 2017; Steeneck dan Sarin, 2018) juga dapat membantu mereduksi ketidapatsian
core dalam jangka panjang.
3.5 Model kebijakan sortir dalam remanufacturing planning
Galbreth dan Blackburn (2006) mengembangkan model optimisasi untuk menentukan jumlah akuisisi core dan kebijakan sortir yang optimal untuk mengurangi ketidakpastian dalam kualitas menggunakan algoritma stokastik. Dalam kasus ini terdapat satu periode perencanaan pada sistem remanufaktur independen dengan kasus level kualitas yang kontinyu dan distribusi kualitas yang pasti. Premis utama yang dikemukakan adalah bahwa biaya remanufaktur akan turun jika hanya core dengan kualitas yang lebih baik yang diremanufaktur
Deskripsi sistem yang dibahas dalam penelitian ini adalah perusahaan perusahaan remanufaktur menerima core dari pihak ketiga dengan kondisi core yang bervariasi. Selanjutnya perusahan remanufaktur melakukan penyortiran core tersebut untuk memilah menjadi kelompok core yang dapat diremanufaktur dan kelompok scrap. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pengembangan model ini mengadopsi asumsi yang dipakai
16
oleh Guide et al. (2003). Asumsi lain yang ditambahkan adalah adanya perfect testing yang dilakukan pada saat sortasi. Galbreth dan Blackburn (2006) memodelkan distribusi kualitas core dengan distribusi probabilitas ( ) dan ( )adalah fungsi padat probabilitas untuk biaya remanufaktur. Salah satu kelemahan asumsi ini adalah tentunya hanya dapat berlaku jika kuantitas akuisisi cukup banyak sehingga syarat distribusi probabilitas statistik terpenuhi. Biaya akuisi per unit adalah model ini diasumsikan fixed, sedangkan biaya remanufaktur cenderung turun karena semakin banyak jumlah akuisi
core ( ) maka semakin tinggi kesesuaian kualitas core yang diperoleh.
Zikopoulos dan Tagaras (2008) menggunakan perangkat elektronik sederhana untuk merekam data kondisi penggunaan dalam produk, sehingga perangkat ini dapat menggantikan peran inspeksi 100% yang biasa dilakukan secara manual. Selanjutnya dilakukan analisis prosedur sorting sederhana sebelum proses remanufaktur dengan mempertimbangkan dua kelas kualitas yaitu: remanufacturable dan not remanufacturable. Berdasarkan analisis perilaku model diketahui bahwa kesalahan sorting (error) berpengaruh siknifikan terhadap performansi profit dalam sistem dan
proses sorting yang dilakukan sebelum disassembly akan economically preferable daripada tanpa melakukan sorting sama sekali. Hal ini berarti bahwa kinerja sistem tersebut bergantung pada keakuratan proses penyortiran dan expected yield pada core.
Galbreth dan Blackburn (2010) memperluas model Galbreth dan Blackburn (2006) dengan kasus dimana ada ketidakpastian dalam kondisi used product yang berdistribusi uniform, dengan ( ), dimana menyatakan kondisi item yang bernilai 0 (worst) atau 1(best). Pengembangan model ini dimaksudkan untuk mencari tradeoff biaya akuisi dan scrap terhadap biaya remanufaktur yang optimal. Oleh sebab itu, ekspektasi total biaya diformulasikan dengan fungsi (Galbreth dan Blackburn, 2010): Keterbatasan dari model ini adalah pada studi kasus yang dilakukan asumsi yang digunakan kondisi core hanya berdistribusi uniform. Pada kasus yang lain dimungkinkan kondisi kualitas tidak hanya berdistribusi uniform sehingga akan lebih mendekati kondisi permasalahan riil dan kompleksitas model yang dikembangkan.
Teunter dan Flapper (2011) membangun model model untuk memutuskan kebijakan terkait kuantitas akuisisi core dan remanufaktur yang optimal pada situasi terdapat ketidakpastian kualitas yang dikelompokkan dengan multiple quality classes dengan demand yang determenistik maupun tidak pasti. Ketidakpastian kualitas core dinyatakan dengan distribusi statistik multinomial yang dikomodasi dalam model yang dibangun.
17 Nenes et al. (2013) mengusulkan model analitis untuk pemilihan threshold disposisi core yang optimal dan kuantitas remanufaktur dalam kasus demand yang deterministik maupun stokastik pada sistem remanufaktur hybrid dengan memperhatikan
quality assessment yang tepat waktu (cepat) tetapi tidak sempurna. Threshold ditetapkan
berdasarkan usage condition, sedangkan ketidaksempurnaan quality assessment diindikasikan dengan kesalahan menolak core yang berkualitas baik dan menerima yang berkualitas jelek. Ketidaksempurnaan ini timbul sebagai konsekuensi pilihan quality
assessment yang menggunakan kriteria usage condition daripada atribut produk. Dalam
hal yang demikian, usage condition dicontohkan sebagai jumlah kertas yang telah dicetak dari suatu printer. Pengelompokan kualitas dilakukan dengan mengklasifikasikan core menjadi beberapa kelas yang berbedaKebijakan sortir terhadap core lazimnya didasarkan pada kriteria eksternal dan internal (Mashhadi dan Behdad, 2017). Faktor eksternal yang banyak diperhatikan pada banyak penelitian adalah berupa: tren market, kebijakan perusahaan, dan kondisi quality assessment terhadap core secara fisik. Sementara itu, faktor eksternal yang masih jarang diperhatikan melibatkan aspek reusability, data identitas produk, status “kesehatan” produk. Oleh sebab itu Mashhadi dan Behdad (2017) mengusulkan sebuah pendekatan untuk pengambilan keputusan dalam operasi remanufaktur dengan mengintegrasikan informasi life cycle produk dan data penggunaan produk untuk menentukan kebijakan sortir dan keputusan recovery produk pada fase end
of life. Langkah awalnya adalah menyusun indeks reusability, yang didasarkan pada
informasi penggunaan produk melalui perangkat Self Monitoring Analysis and Reporting
Technology (SMART) kemudian menggunakan indeks tersebut sebagai ukuran kualitas core yang akan menentukan pilihan recovery produk. Indeks reusability berguna untuk
menentukan reusability level atas suatu komponen. Pada langkah selanjutnya algoritma
clustering digunakan untuk mengelompokkan produk yang memiliki reusability level
yang sama sebagai satu kelompok quality grade.
Zhou et al. (2018) membangun model optimisasi kebijakan akuisi dan remanufaktur optimal yang mempertimbangkan efek ketidakpastian kualitas pada emisi karbon pada sistem remanufaktur independen. Model yang diusulkan merupakan pengembangan dari Model Galbreth dan Blackburn (2006), dimana permasalahan yang diakomodasi dalam Model Zhou et al. (2018) adalah kondisi kualitas core yang bervariasi berdampak pada kebutuhan waktu proses remanufaktur yang berbeda pula. Sehingga emisi karbon yang dihasilkan dari proses remanufaktur tersebut juga berbeda beda. Dalam kondisi yang demikian, proses pemecahan masalah dibagi menjadi dua;
18
permasalahan sorting dan permasalahan remanufaktur. Pada permasalahan sorting solusi yang dicari adalah memperoleh optimal threshold waktu proses remanufaktur untuk membuat keputusan disposisi apakah core diperlakukan sebagai scrap atau diproses remanufaktur lebih lanjut, sedangkan kuantitas akuisisi dan kuantitas remanufaktur merupakan solusi yang dicari pada permasalahan remanufaktur. Selanjutnya biaya-biaya yang dibebankan kepada perusahaan remanufaktur adalah biaya inspeksi dan akuisisi, biaya scrap, biaya remanufaktur, dan biaya emisi karbon. Solusi optimal pada model ini didapatkan secara analitik dengan pengembangan metode bisection untuk mendapatkan kebijakan akuisisi dan remanufaktur yang optimal. Efek ketidakpastian kualitas emisi karbon pada keputusan remanufaktur dieksplorasi secara mendalam dengan contoh numerik untuk menganalisis dengan kasus varied case dan fixed case dan memvalidasi efektivitas metode yang diusulkan. Hasil yang diperoleh memberikan gambaran bahwa dengan membedakan peralatan mesin dan distribusi kualitas core, perusahaan remanufaktur dapat menyesuaikan kebijakan akuisisi dan remanufaktur dengan lebih baik, sehingga dapat mengurangi biaya yang disebabkan oleh emisi karbon.
19 Tabel 3.1 Klasifikasi literatur berdasarkan kriteria pada penelitian terdahulu, kriteria yang diusulkan pada penilitian ini (warna kuning)
E c o n o mi c f e a s ib il ity L if e c y c le c o s t O v e rh e a d s A c q u is iti o n c o s t R e c y c li n g c o s t Co s t o f c le a n in g Co s t o f p u rc h a s in g s p a re p a rt R e c o v e ry c o s t R e ma n u fa c tu ri n g c o s t P ro c e s s Co s t R e ma n u fa c tu ri n g v a lu e R e c y c le a b il ity In s p e c ti o n f e a s ib il ity Cl e a n in g f e a s ib il ity D is a s s e mb ly T e s ti n g f e a s ib il ity R e c o n d iti o n in g f e a s ib il ity R e p la c e a b il ity f e a s ib il ity R e p a ir a n d u p g ra d e R e a s s e mb ly f e a s e a b il ity R e c o v e ra b il ity P ro c e s s in g c o mp le x ity S e rv ic e o f li fe A ir / W a te r e mi s s io n M a te ri a l s a v in g E n e rg y c o n s u mp ti o n / s a v in g P o ll u ti o n i n d e x / re d u c ti o n W a s te r e d u c ti o n M a te ri a l re p ro d u c ib il ity H u ma n a s p e c t S o c ie ta l a s p e c t Co mp o n e n t s a lv a g e r a te E q u ip me n t u ti li z a ti o n O b s o le s c e n c e U p g ra d a b il ity L e n g th o f li fe c y c le D is a s s e mb ly c a p a b il ity In s id e d e fe c t G e o me tr ic tol e ra n c e Imp o rta n t d ime n s io n S u b o rd in a te d ime n s io n S u rf a c e r o u g h n e s s S u rf a c e d a ma g e D a ma g e l e v e l Co mp le te n e s s o f c o mp o n e n t T ra c e a b il ity o f id e n ti ty D ime n s io n a l tol e ra n c e U s e o f fr e q u e n c y H o u r o f o p e ra ti o n R e ma in in g u s e fu l o f li fe M a in te n a n c e h is tor y A g e 1 Du et al. (2012) √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2 Zou et al. (2012) √ √ √ √ √ √ 3 Goodall et al. (2014) √ √ √ √ 4 Shi et al. (2015) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 5 Shakorloo (2016) √ √ √ √ √ 6 Geng et al. (2016)
7 Karaulova dan Bashkite (2016) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
8 Omwando et al. (2018) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
9 Ding et al. (2018) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
10 Penelitian ini (2019) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Referensi No
Remanufacturing Feasibility Factors
Environmental Social Physical Condition Usage Condition
Quality Evaluation Technical
Economic Resource
Technological Condition
20
3.6 Roadmap Penelitian
Aktifiatas Utama Dalam Sistem Remanufaktur
2021
2018-2019 2020
2016-2017 2020
Studi Literatur
1. Menentukan topik 2. Membuat critical review 3. Mengidentifikasi gap penelitian 4. Menuliskan research question Intl. Conference: APIEMS 2017 (published)
Intl. Journal (Q3 Scopus): IJASE 2019 (published)
Tahun Penel i t i an
Demand Modelling
Pemodelan demand sebagai fungsi dari: quality
level, grenness level, price Pengembangan
Framework
1. Mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpastian kualitas pada sistem
remanufaktur
2. Mengidentifikasi faktor yang menjadi strategi pengendali ketidakpastian kualitas remanufaktur 3. Mengklasifikasikan 4. Mendeskripsikan hubungan antar faktor 5. Memetakan dalam bentuk framework Model Optimasi Perencanaan Remanufaktur dengan memperhatikan ketidakpastian kualitas Pengembangan model optimasi perencanaan remanufaktur dengan memperhatikan grade kualitas incoming core yang memininmasi biaya
Model Multi-kriteria untuk sortir dan klasifikasi kualitas
incoming core
Penentuan metode klasifikasi kualitas core pada sistem remanufaktur dengan Multicriteria
Decision Making:
1. Identifikasi kriteria & alternatif 2. Pembobotan kriteria 3. Penentuan prioritas alternatif 4. Sintesis hasil Penelitian lanjutan Penelitian yang diusulkan
dalam proposal ini
Intl. Journal (Q3 Scopus): JAMT 2020 (under review)
Akusisi Core Operasi
Remanufaktur Remarketing
21 BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan jelaskan identifikasi masalah yang memunculkan gejala, penyebab, akar masalah dan research question. Selanjutnya diuraikan langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode ilmiah untuk mencapai tujuan penelitian yang diharapkan, sehingga research question tersebut dapat terjawab. Penjelasan mengenai kerangka pikir penelitian dan pengembangan model merupakan bagian penting dalam bab 3 ini, yaitu model pengambilan keputusan dengan kriteria majemuk (multi-criteria
decision making) untuk penentuan klasifikasi kualitas core dan model optimasi perencanaan
remanufaktur
4.1 Identifikasi Masalah
Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi berdasarkan studi literatur terhadap adanya gejala (symptoms) yang muncul sebagai pertanda adanya masalah. Selanjutnya dilakukan analisis penyebab (causes), dan akar penyebab (root
causes). Analisis sistematis untuk mengungkap gejala, penyebab, dan akar penyebab dalam
penelitian ini dilakukan menggunakan fish bone diagram sebagai tool, seperti terlihat pada gambar 4.1.
22
Low consumer interest.
Since the quality perception is not the same as original equipment Quality uncertainty Remanufactured product s competitiveness Quality uncertainty of returned product Volume uncertainty of returns Time uncertainty of returns Complicated reverse logistics system No standards and specification core Consumer preferences Market Supply Chain &
Reverse Logistics
Remanufacturing Operations Core Acquisition
High variance of products High cost of transportation
and inventory Dimensional uncertainty License Use of frequency Miantenance history Remaining
useful life Hour of operation Wear corrosion Damage level Technology outdate Upgradability Length of product life cycle
Processing time variability Legal restrictions
Age Physical condition
Gambar 4.1 Fish bone diagram untuk menganalisis permasalahan dalam sistem remanufaktur Gejala utama sebagai kondisi awal yang memberikan tanda adanya suatu masalah dalam sistem remanufaktur adalah masih lemahnya daya saing produk remanufaktur terhadap produk baru. Hal ini juga terkait dengan persepsi konsumen terhadap produk remanufaktur yang masih beranggapan bahwa kualitasnya tidak sama dengan produk baru. Faktor penyebabnya berasal dari aktifitas dalam sistem remanufaktur, yaitu: core acquisition,
remanufacturing operations, dan (re)marketing, serta rantai pasokan. Pada aktifitas core acquisition munculya ketidakpastian kualitas karena pengaruh aspek pola penggunaan,
kondisi teknologi, dan kondisi fisik pada fase product end of life. Kondisi-kondisi tersebut memicu beragamnya level kualitas incoming core dan bersifat tidak pasti. Beragamanya kualitas incoming core selanjutnya menimbulkan kebutuhan operasi remanufaktur yang berbeda untuk setiap level kualitas core. Sehingga menimbulkan kompleksitas dalam perencanaan remanufaktur.
4.2 Tahapan Penelitian
Langkah-langkah secara sistematis yang diusulkan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini diperlihatkan secara terstruktur menggunakan diagram alir penelitian dalam gambar 4.2. Secara umum proses penelitian dibagi menjadi tiga bagian yaitu pada
23 bagian awal adalah tahap pendahuluan, selanjutnya bagian pengembangan model, serta pada bagian akhir adalah penyajian hasil, pembahasan dan simpulan penelitian.
Pada bagian awal aktifitas dalam penelitian ini dimulai dengan melakukan literature
review. Kemudian dengan literature review tersebut dicari penelitian-penelitian yang sudah
pernah dilakukan terkait isu ketidakpastian kualitas pada incoming core sistem remanufaktur, lalu dilakukan perbandingan secara kritis antar penelitian tersebut, sehingga dapat ditemukan
gap penelitian yang dapat memberikan kontribusi ilmiah (novelity) dan wawasan keilmuan
yang penting.
Pada bagian kedua adalah pengembangan model. Model yang dikembangkan adalah model multi-kriteria untuk klasifikasi kualitas penerimaan core. Kriteria yang menjadi faktor penilaian kualitas yang disusulkan dalam penelitian ini adalah kondisi teknologi, kondisi fisik, dan kondisi penggunaan. Masing-masing faktor tersebut mempunyai sub kriteria yang berkaitan dengan setiap faktor kondisi core. Maka, prioritas secara keselurahan untuk grade kualitas incoming core akan mencerminkan relatif pentingnya faktor-faktor tersebut.
24
Mulai
Literature Review
Menelaah perkembangan penelitian terbaru yang terkait dengan isu kualitas dalam sistem remanufaktur:
Sisi supply material (input sistem): Ketidakpastian kualitas dalam sistem remanufaktur pada incoming core
Sisi demand (output sistem): preferensi konsumen terhadap produk remanufaktur mencakup aspek quality, price, dan green
Pengendalian kualitas secara langsung (in short term) core remanufakturdibutuhkan untuk menghadapi ketidakpastian kualitas
Research Gap
Menemukan celah penelitian yang dapat memberikan kontribusi ilmiah dan wawasan keilmuan yang baru serta penting untuk diteliti: faktor- faktor yang berkontribusi terhadap ketidakpastian kualitas incoming core belum didefinisikan dengan jelas dan terstruktur dalam bentuk model multi-kriteria untuk proses sortir incoming core
Rumusan Masalah
Merumuskan permasalahan dalam bentuk statement of the problem dan research
question (RQ):
1. Faktor atau kriteria kualitas apa saja yang dapat digunakan untuk penerimaan incoming core dengan kondisi kualitas yang beragam (RQ1). 2.Bagaimana model multi-kriteria proses sortir pada tahapan akuisi dengan kondisi kualitas incoming core yang beragam (RQ2).
Tujuan Penelitian
Menetapkan tujuan dan ruang lingkup penelitian yang selaras dengan rumusan masalah dan latar belakang penelitian: menyusun secara hirarki kriteria-kriteria dimensi kualitas incoming core untuk model pengambilan keputusan sorting core pada aktifitas akuisi P en d ah u lu an P en gem b an ga n Mo d e l
Membangun model multi-kriteria untuk sorting problem kualitas penerimaan core
1. Membangun struktur hirarki pengambilan keputusan untuk penerimaan
core berdasarkan kriteria kualitas: technical, physical, usage condition
2. Menetapkan jumlah quality grade (class)
3. Menetapkan profile pada setiap grade
Hasil dan Pembahasan
Interpretasi atas model yang dibangun serta analisis kualitatif atas hasilnya
Implikasi manajerial
Simpulan dan Saran
Selesai Pengumpulan Data
Memperoleh Expert judgement untuk membangun matrik berpasangan melalui studi
kasus di perusahaan remanufaktur
Pengolahan Data: Proses Evaluasi
1. Membangun matrik pairewise comparison di antara kriteria kulitas core 2. Menghitung bobot kepentingan relatif pada matrik
3. Memeriksa konsistensi matrik
Sintesis Hasil:
Menentukan Prioritas dan Penugasan Menghitung bobot preferensi dan memperoleh
prioritas faktor dan sub faktor kualitas core
Menyusun peringkat global kualitas incoming core
Penugasan pada setiap grade kualitas
A n al isi s H asi l P en el iti an d an Si m p u la n Model Dasar: 1. Ishizaka et al. (2012), 2. Ishizaka et al. (2019)
25 Pada bagian akhir penelitian ini adalah menyajikan analisis hasil-hasil penelitian dan simpulan atas temuan penting dalam penelitian. Pembahasan pada bagian ini mencakup interpretasi atas model yang dibangun serta analisis kualitatif atas hasilnya dan implikasi manajerial. Pada tahap ini juga dikemukakan simpulan yang diperoleh dari penelitian serta peluang untuk melanjutkan penelitian.
4.3 Konseptual model multi-kriteria sorting problem untuk penerimaan incoming core
Pengembangan model multi-kriteria untuk penentuan klasifikasi kualitas ini dilatarbelakangi penelitian terdahulu yang menggunakan asumsi bahwa klasifikasi telah ditentukan sebelumnya (predetermined) seperti yang diungkapkan oleh Wei et al. (2015), sehingga dengan penggunaan asumsi tersebut menyebabkan tidak adanya uraian terstruktur yang mudah dipahami tentang bagaimana proses penentuan klasifikasi tersebut dipilih dan kriteria apa yang digunakan. Dengan begitu, pada penelitian ini digunakan metode AHPsort (Ishizaka et., 2012) untuk mengakomodasi kriteria pengambilan keputusan penetapan metode klasifikasi kualitas incoming core. Deskripsi mekanisme
sorting problem pada tahapan akuisi core ditunjukkan pada Gambar 4.3. Keunggulan
sorting ini adalah berbasis metodologi Analytical Hierarchy Process (AHP) sehingga mampu mengakomodasi aspek kualitatif dan kuantitatif; aspek kualitatif terkait pendefinisian persolan dan hirarkinya, sedangkan kuantitatif menyatakan penilaian dan preferensi secara ringkas (Saaty, 1993).
Incoming cores
(uncertain quality condition)
Sorting & grading
(using AHPSort)
Quality grade 1:
Set of qualified cores
Quality grade j:
Set of qualified cores
Quality grade J:
Set of qualified cores
Quality limit between grades
Quality limit between grades
Gambar 4.3 Deskripsi mekanisme sorting problem pada tahapan akuisi core
Informasi tentang kondisi kualitas incoming core yang diakuisi sangat penting bagi proses pengambilan keputusan dalam operasi remanufaktur. Secara umum, kualitas riil
26
dari produk yang digunakan dapat diketahui hanya setelah proses disassembly dari level produk ke level komponen, sehingga proses ini tidak hanya membutuhkan waktu tapi biaya (Gu dan Tagaras, 2014). Dengan demikian, akan sangat berguna dan penting untuk mengakomodasi ketidakakuratan informasi mengenai kualitas core tersebut pada proses pengambilan keputusan dalam penentuan strategi pengendalian kualitas.
Selanjutnya langkah-langkah untuk menyusun model pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan untuk pengembangan model pengambilan keputusan dengan metode AHP ini adalah berupa pendapat pakar atau expert judgement pada perusahaan remanufaktur, misalnya manajer produksi atau manajer kualitas. Salah satu kelemahan yang mungkin dari pengumpulan data dari para ahli ini adalah kemungkinan munculnya subyektifitas dan sifat ambigu dari pendapat atau pilihan yang diberikan.
b. Hirarki Pengambilan Keputusan
Pada tahap yang pertama dalam metode AHP adalah menentukan tujuan atau obyektif. Kemudiann proses penyusunan struktur hirarki dilakukan dengan mengidentifikasi faktor faktor penting yang dapat mempengaruhi hasil keputusan untuk memilih suatu alternatif core. Selanjutnya berdasarkan tujuan ini ditetapkan faktor atau kriteria dan sub kriteria yang terdiri atas beberapa alternatif dalam struktur hirarki pengambilan keputusan. Konseptual model pengambilan keputusan untuk penyortiran kualitas incoming core menggunakan AHPSort ditunjukkan pada Gambar 4.6.
a. Pendefinisian tujuan
Tujuan model pengambilan keputusan ini adalah penentuan prioritas (pemilihan) incoming core pada aktifitas akuisi core dalam sistem remanufaktur. Mengelola ketidakpastian kualitas produk bekas adalah masalah penting dalam sistem remanufaktur. Core yang berkualitas tinggi memerlukan sedikit rekondisi (biaya remanufaktur dan biaya kualitas yang lebih rendah), sedangkan produk bekas yang berkualitas lebih rendah akan memerlukan pemrosesan ulang yang luas (biaya remanufaktur dan biaya kualitas yang lebih tinggi).
27
Definisikan tujuan & bangun
framework AHP
Kriteria (cr), r=1,...R
Alternatif (as), s=1,..S
Definisikan kelas (Cj)
j=1,...J, j: jumlah kelas
Definisikan profil setiap kelas
Limiting profile (lpjr), or
Local central profile (cpjr)
Evaluasi secara berpasangan atas
kepentingan setiap kriteria (cr), dan
tetapkan bobot (wr)
Tentukan limiting profiles
Pairwise compare the points
Tentukan prioritas lokal untuk setiap alternatif
pada kriteria tunggal (psr) untuk alternatif (as),
dan local priority (pjr) dari limiting profile (lpjr),
atau local central profile (cpjr)
Evaluasi prioritas pada kriteria
Tentukan bobot global setiap kriteria
Tentukan representative
points
Bandingkan matrik berpasangan
alternatif tunggal (as) dengan
limiting profile (lpjr), atau local
central profile (cpjr)
Tentukan prioritas global dari alternatif-alternatif yang ada (ps)
Tentukan prioritas global untuk limiting profile (lpj), and (cpj)
Tugaskan kepada kelas-kelas
Pendefinisian masalah
Proses evaluasi
Penugasan kepada kelas
Gambar 4.4 Konseptual model AHPSort untuk klasifikasi kualitas incoming core
Untuk itu, perhatian kondisi kualitas core sejak awal penerimaan harus diperhatikan, karena selanjutnya akan berdampak pada aktifitas operasi remanufaktur
b. Penetapan kriteria kualitas core
Penyusunan hirarki pada tahap kedua adalah menguraikan dimensi kualitas core dengan beberapa kondisi. Kondisi kualitas core dapat dinilai berdasarkan kondisi penggunaan (usage condition), kondisi fisik
core, kondisi teknologi core. Kondisi penggunan dipengaruhi oleh
frekuensi penggunaan, jam operasi, maupun umur. Sedangkan kondisi fisik dapat mengindikasikan damage level, misalnya: wear, crack, maupun wear corrsosion (Jiang et al., 2019).
Technological condition, adalah kondisi dimana teknologi used
product menunjukkan tingkat kedaluwarsa, karena umur produk lebih
28
teknologi baru (Kwak dan Kim, 2012; Zhou & Gupta, 2018; Gao et al. 2018; Zhou & Gupta, 2019)
Physical condition, adalah kondisi fisik yang merupakan sifat yang menunjukkan penampilan core dan fungsi dasar untuk memenuhi persyaratan fungsionalnya (Kwak et al., 2012; Gao et al., 2018; Raihanian et al, 2017; Kosacka, 2018). Misalnya, penampakan kerusakan, kelengkapan komponen, identitas produk, dan toleransi dimensi.
Usage condition, adalah kondisi penggunaan yang merupakan karakteristik yang ditimbulkan oleh perilaku pengguna saat menggunakan produk (Gao et al., 2018; Gavidel & Rickli 2017). Misalnya: frekuensi penggunaan, jam operasi, jarak tempuh
c. Proses Evaluasi
Proses merupakan bagian poko dari metode AHPSort yang terdiri atas dua bagian, menentukan bobot kriteria dan mengevaluasi alternative, sepertiyang dideskripsikan pada Gambar 4.4.
d. Penugasan terhadap kelas-kelas diperlihatkan pada Gambar 4.5
cp 5 cp 1 cp 2 cp 3 cp 4 ps ditugaskan ke kelas Cj yang memiliki cpj terdekat cp 6 Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
29 BAB 5
ORGANISASI TIM, JADWAL DAN RANCANGAN PENELITIAN
5.1 Organisasi Tim Peneliti
Berikut Tabel 5.1 adalah susunan tim peneliti berdasarkan kompetensi dan tanggung jawab pada penelitian ini.
Tabel 5.1Susunan Tim Peneliti No
.
Nama Jabatan Kompetensi Tanggung Jawab
1. Prof. Dr. Ir. Udisubakti Ciptomulyo, M.Eng.Sc. Ketua Peniliti (Promotor) Green Manufacturi ng, Multi-Criteria Decision Making 1. Mengkoordinasi dan
mensupervisi seluruh aktivitas penelitian
2. Membimbing pengembangan model dan analisis model 3. Penulisan artikel ilmiah 4. Laporan penelitian 2. Nani Kurniati, S.T., M.T., Ph.D. Anggota Peneliti (Ko-Promotor) Quality Engineering , Reliablity, Manufacturi ng System 1. Membimbing pengembangan model dan analisis model 2. Analisis hasil penelitian 3. Penulisan artikel ilmiah 3. M. Imron Mustajib, S.T., M.T. Anggota Peneliti (Mahasiswa S3) Green Manufacturi ng, Quality Engineering ,
1. Pengembangan model dan analisis model
2. Melaksanakan proses pengolahan data
3. Membantu penulisan artikel ilmiah
4. Membantu menyusun laporan penelitian 4 Riza Kurniawan (NIP : 02411640000136) Pembantu Penelitian (Mahasiswa S1)
1. Membantu pengumpulan dan pengolahan data
2. Membantu proses pengolahan data 3. Membantu menyusun laporan
penelitian 5 Ridwan Taofiq Firdaus (NIP:024116000010 3) Pembantu Penelitian (Mahasiswa S1)
1.Membantu pengumpulan dan pengolahan data
2. Membantu proses pengolahan data
3.Membantu menyusun laporan penelitian
30
5.2 Jadwal Penelitian
Usulan penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan dan jadwal sebagaimana pada Tabel 5.2 berikut:
Tabel 5.2 Timeline Penelitian
No Aktivitas Bulan ke –, Thn 2020
4 5 6 7 8 9 10 11 1 Identifikasi Masalah
2 Observasi lapangan dan studi literatur 3 Pengumpulan data
4 Pemodelan
5 Validasi dan verifikasi model 6 Pengolahan data
7 Menyusun laporan kemajuan 8 Seminar internasional
9 Analisis hasil
10 Penulisan draf artikel jurnal internasional
11 Submission artikel jurnal internasional
12 Pelaporan laporan hasil akhir penelitian
5.3 Anggaran
Usulan penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan anggaran penelitian yang diuraikan pada Tabel 5.3 berikut: