• Tidak ada hasil yang ditemukan

METABAHASA Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METABAHASA Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

METABAHASA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

METABAHASA: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Journal homepage: http://journal.stkipyasika.ac.id/index.php/metabahasa

Journal Email: metabahasayasika@gmail.com PISSN: 2656-5315 EISSN: 2656-5579

PENGGUNAAN IMPLIKATUR

DAN PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA

DALAM PERCAKAPAN MASYARAKAT DI PULAU TIDUNG

KEPULAUAN SERIBU

Siti Pitrianti

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka E-mail: sitipitrianti01@gmail.com

ABSTRACT

This paper contains the results of pragmatic research relating to the use of implicatures and violations of the cooperative principle in public conversation on Tidung Island, Thousand Islands. In the results of this study, it is explained 1) the form of violation of the cooperative principle in conversation 2) the form of implicature that is present for violating the cooperative principle 3) factors that influence the occurrence of violations of the cooperative principle in conversation. The method used in this study is a qualitative descriptive method. The research site on Tidung Island, Thousand Islands. The source of research data is respondents who are native to Tidung Island. Data obtained using in-depth interview techniques. Researchers and respondents try each other to build cooperative conversations. In some parts, implicature is found, which means violating the principle of cooperation. This form of violation of cooperation is investigated further to find the factors that influence the violation.

Keywords: Conversation, Implicature, The Cooperative Principle.

ABSTRAK

Tulisan ini memuat hasil penelitian pragmatik berkaitan dengan penggunaan implikatur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam percakapan masyarakat di Pulau Tidung Kepulauan Seribu. Dalam hasil penelitian ini dijelaskan 1) wujud pelanggaran prinsip kerjasama dalam percakapan 2) bentuk implikatur yang hadir atas pelanggaran prinsip kerja sama 3) faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama dalam percakapan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Tempat penelitian di Pulau Tidung Kepulauan Seribu. Sumber data penelitian adalah responden yang merupakan penduduk asli Pulau Tidung. Data

Article Received: 01 Desember 2018, Review process: 06 Desember 2018, Accepted: 05 Januari 2018, Article published: 30 Januari 2018

(2)

diperoleh menggunakan teknik wawancara mendalam. Peneliti dan responden saling berusaha untuk membangun percakapan yang kooperatif. Dalam beberapa bagian ditemukan implikatur yang berarti melanggar prinsip kerja sama. Bentuk pelanggaran kerja sama ini diteliti lebih jauh agar dapat ditemukan faktor-faktor yang memengaruhi pelanggaran tersebut.

Kata kunci: Percakapan, Implikatur, Prinsip kerja sama

PENDAHULUAN

Komunikasi merupakan salah satu cara yang dilakukan manusia untuk saling bersosialisasi. Latar belakang budaya seseorang akan memengaruhinya dalam berkomunikasi. Dalam proses komunikasi tersebut, terkadang informasi yang dituturkan oleh penutur memiliki maksud tersirat. Oleh karena itu, manusia sebagai pelaku komunikasi harus secara benar memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Bukan hanya sekadar memahami ujaran, tetapi juga konteks yang digunakan dalam ujaran tersebut.

Pragmatik adalah sebuah cabang ilmu yang mengkaji tuturan penutur dikaitkan dengan konteksnya. Konteks ialah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian (penutur berkata kepada siapa, apa yang dibicarakan, kapan dibicarakan serta dalam situasi yang bagaimana ujaran itu dituturkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana seseorang dapat bekerja sama dengan mitra tuturnya dalam membangun sebuah percakapan yang kooperatif.

Pendekatan yang dikembangkan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah Prinsip Kerja Sama (PKS). Grice dalam Grundy (2008) menyatakan bahwa untuk membangun sebuah komunikasi menjadi kooperatif diperlukan pematuhan PKS. Maksudnya adalah memberikan kontribusi yang secukupnya dalam percakapan yang diikuti sesuai arah dan tujuan percakapan yang telah disepakati. Sulistyowati (2016) mengungkapkan bahwa prinsip kerja sama mengatur apa yang harus dilakukan oleh peserta percakapan (penutur dan petutur) agar percakapan itu terdengar koheren penutur yang tak memberikan kontribusi terhadap koherensi percakapan sama dengan tidak mengikuti prinsip kerja sama.

Adakalanya penutur dan mitra tutur melanggar PKS tersebut baik sengaja ataupun tidak sengaja, dengan tujuan yang berbeda pula. Ada atau tidaknya pelanggaran ditentukan oleh mitra tutur. Ketika terjadi pelanggaran pada maksim, maka lahirlah implikatur yakni makna tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Penutur tidak mengungkapkan maksudnya secara langsung, bisa

(3)

disembunyikan ataupun diucapkan secara tidak langsung. Apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang sebenarnya dimaksudkannya. Menurut Setyorini (2017) Kajian implikatur dalam percakapan erat hubungannya dengan adanya konteks. Konteks sangat penting karena dapat membantu untuk menjelaskan maksud implisit dari ujaran yang disampaikan oleh penulis. Ketidakterlibatan konteks ketika digunakannya suatu bahasa yang konotatif dan bukan denotatif, akan menyulitkan pemaknaan bahasa tersebut. Gejala seperti ini biasanya banyak dijumpai pada tataran wacana dalam bentuk percakapan (Hira, T. dkk, 2017).

Prinsip kerja sama direalisasikan ke dalam empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. (1) Maksim

Kuantitas, pemberian kontribusi yang secukupnya dalam percakapan (tidak kurang

dan tidak lebih) adalah cara pematuhan maksim ini. Contoh jika X bertanya “Apakah

toko ini selalu tutup pada hari Minggu?” maka ketika Y menjawab “Iya Pak, soalnya pemilik toko meliburkan karyawannya untuk sekadar liburan pada hari itu. Saya juga beruntung sekali bekerja di toko ini. “ di sini terdapat pelanggaran maksim kuantitas.

X hanya menanyakan apakah toko yang dikunjungi selalu tutup hari minggu atau tidak, Y berimplikatur dengan menjawab iya disertai alasan mengapa toko ini tutup jika hari Minggu, padahal X tidak bertanya alasan mengapa toko itu tutup. Tujuannya dari tuturan X tersebut bahwa ia ingin menjelaskan bahwa majikannya baik, sehingga X merasa betah bekerja. (2) Maksim Kualitas, informasi yang diberikan haruslah berkualitas, artinya benar dengan tidak mengatakan suatu yang diyakini bahwa itu tidak benar dan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Contoh ketika seorang guru X kesal sekali dengan perbuatan muridnya Y di kelas yang asyik sekali facebookan ketika belajar, sehingga dia mengeluarkan pernyataan yang sesungguhnya kebalikan dari pernyataan yang dikemukakannnya tersebut. X berimplikatur dengan mengatakan “Silakan buka kembali facebooknya dan kamu

saya kasih nilai 100”. Informasi yang diberikan X tersebut tidak berkualitas karena

tidak diyakini kebenarannya Maksud dari implikatur guru adalah kalau muridnya menggunakan facebook lagi ketika belajar, maka nilainya akan jelek. Tujuan dari penggunaan implikatur tersebut adalah menegur muridnya dengan cara menyindir agar tegurannya lebih mengena. (3) Maksim Relevansi, tuturan yang kita ungkapkan jangan menyimpang dari arah pembicaraan (relevan). Contoh: A: Mampir

dulu saja ke rumahku! B: Kereta terakhir berangkat jam 7 malam. A mengajak B

(4)

Menurut prinsip relevansi, ini merupakan suatu bentuk pelanggaran. Jawaban B tidak sesuai dengan ajakan A. Maksud dari implikatur tersebut yaitu jika A singgah dulu ke rumah B, takutnya A tidak akan bisa pulang karena kereta terakhir berangkat jam 7 malam. Tujuan pelanggaran maksim ini adalah menolak tawaran disertai cara yang halus dengan menjelaskan alasannya secara langsung. (4) Maksim Cara. Maksim cara menginginkan bahwa sebuah tuturan harus jelas dan tidak berbelit-belit. Contoh (i) X: Ada apa Mbak kesini pagi-pagi benar? Y: Saya mau pinjem uang Mbak. Tuturan Y tersebut memenuhi maksim cara karena dia mengungkapkan sesuatu dengan jelas. Kita lihat percakapan (ii) X: Ada apa Mbak kesini pagi-pagi benar?

Y:Aduh iya nih, maaf ya Bu, pagi-pagi sudah mengganggu. Rajin benar Bu, jam segini rumahnya sudah beres. Saya boro-boro. Oh iya, tadi saya lewat tukang gorengan, lumayan ini buat Ibu. Maksud saya kesini, mau minjem uang Bu. Pada

tuturan 2, Y mengatakan maksudnya dengan berbelit-belit. Tujuannya adalah untuk basa-basi pembuka karena dia ingin meminjam uang.

Berdasarkan keempat maksim di atas, tidak semua maksim kerja sama dapat diterapkan dalam suatu masyarakat bahasa (Keenan dalam Leech: 2011), hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang mereka miliki. Contoh penggunaan bahasa yang melanggar maksim cara yakini berbicara yang terkesan panjang dan basa-basi lebih banyak digunakan oleh penutur bahasa Sunda dibandingkan bahasa yang lugas dan singkat. Dalam realisasi tutur, PKS saja tidak cukup karena prinsip kesopanan juga perlu diperhatikan agar maksud dan tujuan komunikasi tercapai. Menurut Leech (2011), ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada PKS. Prinsip kesopanan ini berkaitan dengan penyelamatan wajah seseorang, karena dalam situasi dan konteks tertentu, implikatur atau tuturan yang diungkapkan secara tidak langsung dirasakan lebih sopan dibandingkan menggunakan tuturan langsung.

METODOLOGI

Sumber data penelitian adalah responden yang merupakan penduduk asli Pulau Tidung. Penelitian dilaksanakan di Pulau Tidung Kecamatan Pulau Seribu Provinsi DKI Jakarta. Data diperoleh menggunakan teknik wawancara mendalam. Proses wawancara tersebut direkam kemudian diterapkan metode simak dengan teknik catat, yakni menyimak hasil rekaman tersebut kemudian mencatat

(5)

tuturan-tuturan yang digolongkan sebagai bentuk pelanggaran kerja sama dan menganalisis satu per satu. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar wawancara dan dokumentasi. Daftar pertanyaan dalam wawancara ini digunakan oleh peneliti untuk melihat keadaan responden, mencari data tentang variabel latar belakang responden, keadaan responden saat ini, perhatian, dan sikap terhadap sesuatu. Proses wawancara tersebut didokumentasikan yakni dokumentasi berupa foto, rekaman suara, dan catatan-catatan lain selama proses wawancara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis data dilakukan dengan mengidentifikasi kerangka deskriptif wawancara dengan responden untuk mengetahui 1) bentuk pelanggaran prinsip kerja sama, 2) bentuk implikatur yang hadir atas pelanggaran prinsip kerja sama, dan 3) tujuan pelanggaran prinsip kerja sama. Dalam uraian selanjutnya P melambangkan tuturan peneliti dan R melambangkan tuturan responden.

Konteks tuturan: Peneliti baru sampai ke rumah responden dan memohon maaf atas kedatangan yang mengganggu ketika responden sedang membersihkan rumah.

P: Maaf sekali lagi Bu, pagi-pagi sudah mengganggu waktunya.

R: Ya, tidak apa-apa, tapi maaf kalau lantainya masih kotor. Saya baru beres nyapu, ini juga tadi dari belakang habis nyuci, keburu datang tamu. Heheheu..

P: Aduh bu, saya jadi ga enak, cuciannya tapi udah dijemur kan Bu?

R: Belum, gak apa-apa saya jemur dulu? Tidak lama kok, jemurnya juga di atas P: Oiya Bu, silakan.

Tuturan di atas merupakan contoh pelanggaran PKS maksim kuantitas. Sebenarnya R cukup mengatakan “ya, tidak apa-apa”. Tapi ternyata R malah balik meminta maaf atas keadaan rumahnya. Secara rasional, R bisa saja berkata kalau memang dia merasa terganggu dan tidak perlu meminta maaf, R menerapkan prinsip kesopanan sehingga dalam empirisnya bertutur “ya, tidak apa-apa”.

Selain itu, R juga berimplikatur bahwa R ingin keadaan rumahnya diterima sebagai bentuk kewajaran karena peneliti datang terlalu pagi yaitu di waktu bersih-bersih rumah dan menyebabkannya sulit untuk melanjutkan pekerjaan. P mengerti atas implikatur tersebut bahwa R belum mengepel, belum menjemur pakaian, dan belum melakukan pekerjaan rumah lainnya selain menyapu dan mencuci, sehingga

(6)

P merasa kurang enak dan bertanya lanjut tentang cucian, dan memang benar R belum menjemur pakaiannya. Pelanggaran maksim ini sengaja dilakukan R untuk memperjelas informasi kepada mitra tuturnya.

Konteks tuturan: Peneliti bertanya tentang alamat responden yakni Pulau Tidung untuk mengetahui latar belakang tempat asal dan tempat tinggal responden

(1) P: Tidung itu kabupaten atau kecamatan?

R: Kecamatan atau kabupaten ya? Kecamatan mungkin ya. Eh, Bapak itu yang ngerti kecamatan atau kabupaten ya?

(2) P: Tidung masih masuk provinsi DKI Jakarta?

R: Iya, masih masuk, provinsi Jakarta Kecamatan Pulau Seribu, iya..kecamatan

Di awal tuturan, R memberikan informasi yang sebenarnya dia juga belum yakin kebenarannya (melanggar maksim kualitas). Implikaturnya bahwa R tidak tahu dengan jelas alamat tempat tinggalnya. Pelanggaran maksim ini terjadi karena minimnya pengetahuan yang dimiliki R tentang tempat tinggalnya. Hal ini mengimplisitkan pemerintah setempat kurang berupaya memberikan pengarahan dan pengetahuan yang berkaitan dengan wilayah yang mereka tinggali. Namun, pertanyaan P (2) memberikan penegasan pertanyaan (1) sehingga R bisa meraba dan menerawang letak geografis Pulau Tidung dengan lebih jelas menggunakan kata kunci DKI Jakarta. Terjadi pembatalan implikatur pada percakapan di atas dan tuturan R (2) memberikan informasi yang dapat dimengerti.

Konteks tuturan: Peneliti bertanya perbedaan cara bicara orang Tidung dengan orang Jakarta.

P: Apa ada perbedaan antara cara berbicara orang Tidung dengan orang Jakarta? R: Nggak tau juga sih..menurut saya sama-sama aja sih

R memberikan jawaban yang sebenrnya dia sendiri pun belum yakin atas kebenaran jawaban itu, ditandai dengan pernyataan “nggak tahu juga sih”. Informasi yang diberikan tidak berkualitas sehingga melanggar maksim kualitas. Implikatur yang terkandung di balik ucapan R adalah dia ragu atas perbedaan cara bicara orang Tidung dan orang Jakarta, di sana terdapat dua jawaban yang bertentangan yaitu tidak tahu (ngga tahu juga sih) dan tahu (menurut saya sama-sama aja sih).

(7)

Faktor ketidaktahuan ini didukung dengan jarangnya R pergi ke Jakarta dan jarang pula memerhatikan cara berbicara orang Jakarta.

Konteks tuturan: Peneliti bertanya tentang pengalaman responden jika berbicara dengan pendatang, responden dapat menebak atau tidak asal pendatang itu dilihat dari cara bicara pendatang tersebut.

(1) P: Ibu kalau bicara sama pendatang, Ibu bisa ga menebak asal pendatang itu darimana diliat dari cara bicaranya?

R: Ngga, saya ga paham. Terus terang aja kalau ga ngerti, bilang ga ngerti. Suka ada juga yang ngomong Jawa, tapi saya gak ngerti. Kan banyak tukang pakaian di sini suka keliling, ada perantau dari Cirebon. Tapi kalau dia ngomong Jawa saya gak ngerti.

(2) P: Tapi Ibu tahu asal dia itu darimana pas dia ngomong sama Ibu?

R: Nggak tahu dia asalnya darimana kalau dia ngomong bahasa Indonesia, kecuali kalau dia ngomongnya Jawa, baru saya tahu dia orang Jawa.

Percakapan P dan R tidak searah disebabkan R yang kurang paham atas pertanyaan P. Maksud tuturan (1) adalah R tidak bisa mengerti bahasa Jawa padahal pertanyaan P (1) adalah pengetahuan R dalam menebak asal seseorang dilihat dari cara berbicaranya. Pada tuturan (2), R baru paham atas pertanyaan P bahwa dia bisa menebak seseorang berasal dari Jawa kalau dia berbicara bahasa Jawa. Meskipun R tidak bisa bahasa Jawa (lihat tuturan 1) tapi dia tahu kalau itu bahasa Jawa karena di Pulau Tidung banyak pendatang dari Jawa. Secara implisit, R menerangkan bahwa di Pulau Tidung banyak pendatang yang berbagai wilayah. Maksim relevansi telah dilanggar dengan tujuan yang tidak disengaja, karena R tidak paham dengan arah pertanyaan P.

Konteks tuturan: Peneliti bertanya tentang pekerjaan suami responden. Pertanyaan ini memiliki tujuan untuk mengetahui latar belakang keluarga responden.

(1) P: Suami Ibu pekerjaannya apa ya?

R: Ya begitu aja suami saya mah, ga ada kerjaannya, ya begitu. Maka dibilang ama dia pengacara, ya pengangguran banyak acara, ya begitu aja suami saya, ga ada kerjaannya. Pengangguran begitu.

(8)

Dalam tuturan di atas, terdapat pelanggaran dua maksim, yakni maksim cara dan maksim relevansi. R menyatakan sesuatu yang berbelit-belit untuk mengungkapkan bahwa suaminya pengangguran. Tuturan tersebut akan bersinergi dengan tuturan di bawah, yakni saat peneliti bertanya tentang pulau-pulau yang terdapat di Kepualauan Seribu.

Konteks tuturan: Setelah diselingi beberapa tuturan percakapan, peneliti bertanya tentang pulau-pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Tuturan responden di bawah ini berkaitan dengan tuturan responden di atas.

(2) P: Ibu pernah mengunjungi satu-satu semuanya?

R: Nggak, Ibu juga kalau ke Pulau Putri belum pernah kalau suami mah suka pernah juga, dia kan pengurus RW, suka gantiin Pak RW gak ada, suka ke Pulau Putri rapat.

Akan tetapi, di tuturan selanjutnya, jarak waktu antar tuturan itu berjauhan, R menyatakan bahwa suaminya adalah pengurus RW.

Konteks tuturan: dan ada suatu peristiwa dimana suami responden memberikan kartu namanya sebagai agen travel. Konteks yang sebelumnya terjadi adalah suami responden sedang berada di pekarangan rumah dan proses wawancara dilakukan di dalam rumah dengan keadaan pintu terbuka yang memungkinkan suami R mendengarkan percakapan.

(3) Suami R: (menyerahkan kartu nama), kartu namanya Mbak, ini suaminya.

Tuturan ketiga ini mendukung bahwa telah terjadi perubahan status profesi suami R, dari keadaan suaminya yang pengangguran menjadi keadaan suami yang ternyata mempunyai pekerjaan, yakni sebagai pengurus RW dan juga mempunyai agen wisata perjalanan Pulau Tidung. Tuturan 1, 2, dan 3 di atas membuktikan arah pembicaraan R menyimpang (tidak relevan). R bermaksud humor saja saat mengatakan suaminya pengangguran. Selain itu, mungkin saja R menganggap bahwa agen wisata itu tidak hanya diurus dan menjadi pekerjaan suaminya, tapi R pun sebagai istri ikut mengurusi agen wisata, sehingga itu tidak dapat digologkan menjadi profesi suami. Menjadi pengurus pemerintahan RW pun tidak R anggap sebagai suatu profesi, dalam tuturan di atas mengindikasikan bahwa suami R

(9)

sebagai pengurus RW adalah kesibukan sampingan dan hanya dibutuhkan ketika Ketua RW nya berhalangan. Dengan hadirnya pertanyaan dari P (2) dan juga tuturan Suami R (3), R membatalkan implikatur pada tuturannya yang nomor (1).

SIMPULAN

Setelah melakukan penelitian dan melakukan pengolahan data hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa simpulan (1) bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat pada percakapan terjadi pada semua maksim (kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara) yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak (2) implikatur yang lahir berupa pernyataan deklaratif atas pertanyaan ataupun pernyataan peneliti (3) faktor pelanggaran prinsip kerja sama tersebut di antaranya faktor kesantunan, faktor humor, dan faktor latar belakang sosial kemasyarakatan. Melihat bebagai bentuk pelanggaran prinsip kerja sama di atas membuktikan bahwa dalam suatu komunikasi tidak semua pernyataan akan sesuai dengan rasional (pikiran umum). Tuturan yang benar-benar hadir (empiris) tersebut yang diterima dan dipahami sebaik-baiknya oleh penutur maupun mitra tutur.

DAFTAR PUSTAKA

Grundy, P.R. (2008). Doing Pragmatics: Third Edition. London: Hodder Education. Hira, T. dkk. (2017). Penggunaaan Implikatur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama

dalam Acara Sentilan Sentilun di Metro Tv: Tinjauan Pragmatik. [Tesis]. Diunduh

20 Juli 2019 dari

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/c0347b5c0f5a9d97243a0adee98b2bf1.pdf Leech, G. (2011). Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Setyorini, R. (2017). Deskripsi Implikatur Fenomena Meme di Instagram dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Teks Anekdot. Jurnal Bahtera Volume 4 (8).

Diunduh 12 Juli 2019 dari

ejournal.umpwr.ac.id/index.php/bahtera/article/download/4159/3900

Sulistyowati, W. (2016). Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan dalam Film Petualangan Sherina Karya Riri Riza. Diunduh 12 Juli 2019 dari http://www.journal.unair.ac.id

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap evaluasi penelitian ini, dilakukan beberapa perbandingan hasil temu kembali pada kueri uji berdasarkan metode pembobotan TF- IDF, TF-RIDF dan TF-F1. Kueri yang

Metode Penelitian: Desain penelitian observasional analitik dengan cross sectional dan teknik quasi eksperimental one group pre and post test design. Alat ukur

Proses pembelajaran mingguan dalam perkuliahan TAKSONOMI TUMBUHAN TINGKAT RENDAH yang telah dirancang pada poin B.7 diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk

Padahal sekretaris adalah pekerjaan yang longtime (terus menerus) dan beban kerjanya bisa dikatakan berat tetapi upah yang diterima oleh sekretaris di Bank Syariah

Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Riwayat Cedera Kepala Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa responden penelitian pada kelompok kasus memiliki hasil yang berbeda dengan

Maka dalam penulisan tugas akhir ini Jembatan Kali Pepe direncanakan ulang sebagai jembatan cable stayed asimetris dengan meggunakan box girder beton

SMA Cenderawasih II adalah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Untuk pencatatan pembayaran siswa pada tiap bulannya, baik yang sudah terjadwal maupun tidak oleh Bagian

Hasil sosialisasi dan pelatihan dapat menambah pengetahuan para kader desa untuk menyampaikan kembali ke masyarakat secara lebih luas baik pembuatan sanitizer