• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Organ yang paling bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Organ yang paling bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Organ yang paling bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan adalah Direksi. Dalam Pasal 1 Ayat (5) dinyatakan bahwa Direksi adalah organ yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.1

Tugas dan tanggung jawab Direksi tersebut tidak terlepas dari hakekat Perseroan Terbatas sebagai badan hukum dan merupakan wadah perwujudan kerjasama para pemegang saham, dimana perwujudan kerjasama para pemegang saham ini membutuhkan organ-organ yang dapat berfungsi untuk menjaga kelangsungan keberadaan Perseroan Terbatas tersebut. Organ-organ perseroan itu terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris.2 Kehadiran ketiga unsur tersebut bersifat organisasi, artinya ketiganya harus senantiasa ada dalam setiap Perseroan Terbatas, baik lingkungan jabatannya (ambtensfeer) maupun pejabatnya (ambtsdrager).3

1

Pasal 1 angka 5, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).

2

Pasal 1 angka 2 UUPT

3

(2)

Sebagai organ Perseroan Terbatas, Direksi mempunyai kedudukan, kewenangan, atau memiliki kapasitas dan kewajiban seperti:4

1. Direksi berfungsi menjalankan pengeloaan perseroan, meliputi; a. Pelaksanaan pengelolaan sehari-hari; dan

b. Kewenangan Direksi menjalankan pengelolaan. 2. Direksi memiliki kapasitas mewakili perseroan, terdiri dari;

a. kualitas kewenangan Direksi mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat;

b. Setiap Direksi berwenang mewakili perseroan; dan

c. Dalam hal tertentu Direksi tidak berwenang mewakili perseroan. Sehubungan dengan tersebut di atas, amanah dalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) terhadap Direksi memiliki posisi dan kekuasaan besar untuk urusan perseroan. Oleh sebab itu, maka salah satu unsur terpenting yang diatur dalam regulasi perusahaan adalah bagaimana mengontrol perilaku dari Direksi yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur dalam menentukan kebijakan-kebijakannya.5

Di samping itu, harus pula diatur bagaimana menentukan Direksi dapat dikategorikan melakukan pengelolaan perseroan yang baik dan salah. Mengingat

Manajemen, Investor dan Profesi Akuntan, di Fakutas Ekonomi UNPAR Bandung, tanggal 2 Desember 1995, hal. 18.

4

M. Yahya Harahap., Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 345.

5

Bismar Nasution (I)., “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan,” diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008, hal. 6.

(3)

Direksi hanya dapat diminta pertanggungjawabannya dalam pengelolaan perseroan apabila mereka telah dikategorikan melakukan pengelolaan yang salah.

Direksi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, harus memperhatikan tatakelola perusahaan yang baik atau dalam bahasa lain sering disebut dengan Good Corporate Governance. Prinsip-prinsip ini, sangat berhubungan erat dengan unsur itikad baik Direksi. Dengan adanya unsur itikad baik Direksi dalam mengelola perusahaan, mencerminkan eksistensi perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para stakeholders perusahaan.6

6

http://businessenvironment.wordpress.com/2007/04/30/membangun-tatakelola-perusahaan-menurut-prinsip-prinsip-gcg/, diakses terakhir tanggal 1 April 2010. Prinsip-prinsip GCG ini telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip dimaksud adalah Prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Akuntabilitas (accountability). Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh Direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan

stakeholders lainnya. Direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan

dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.

b. Pertanggungan-jawab (responsibility). Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab. Sebagai pengelola perusahaan hendaknya dihindari segala biaya transaksi yang berpotensi merugikan pihak ketiga maupun pihak lain di luar ketentuan yang telah disepakati, seperti tersirat pada undang-undang, regulasi, kontrak maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.

c. Keterbukaan (transparancy). Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.

d. Kewajaran (fairness). Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain. Setiap direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan.

e. Kemandirian (independency). Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara mandiri sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku.

(4)

Group Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coperation and Development (OECD) menetapkan empat prinsip umum good corporate governance, yaitu prinsip keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), tanggungjawab (accountability) dan pertanggungjawaban (responsibilty). Berkaitan dengan prinsip-prinsip good corporate governance, maka terhadap Direksi dalam mengelola perusahaan perlu memperhatikan prinsip-prinsip GCG tersebut untuk mencapai tujuan perusahaan sebagai bisnis yang mencari keuntungan.7

Dalam melakukan pengelolaan perusahaan yang baik, maka peran Direksi sebagai ujung tombak perusahaan merupakan faktor penentu maju atau mundurnya perusahaan. Komisaris dan Direksi adalah sebagai pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Komisaris dan Direksi menempati posisi sebagai fiducia dalam pengelolaan perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Menurut sistem hukum common law hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty. Berkenaan dengan itu, Bismar Nasution, menyebutkan bahwa:8

Fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan orang lain, dimana kepentingan pribadi orang

terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.

7

Bismar Nasution (II)., ”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Penyalahgunaan Kredit” Makalah, Disampaikan pada “Seminar Hukum Perkreditan,” PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan, tanggal 12-13 Maret 2002, hal. 1.

8

Bismar Nasution (I)., Op. cit., hal. 4-5. Di negara-negara common law dimana khususnya di negara Amerika yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu disarkan pada standar

duty of loyality dan duty of care dalam pertanggungjawaban direksi pada Perseroan Terbatas

didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori yang belakangan merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya.

(5)

lain yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan dan bawahan dalam sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship) tersebut, sistem hukum common law mengakui bahwa orang yang memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu, hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar perilaku yang tinggi.9

Direksi dalam melakukan pengelolaan perseroan tersebut, wajib melaksanakan dengan itikad baik (good faith) bukan berdasarkan itikad buruk (bad faith). Itikad baik yang dimasud dapat meliputi:10

1. Wajib dipercaya;

2. Wajib melaksanakan pengelolaan untuk tujuan yang wajar (duty to act for a profer purpose);

3. Wajib patuh menaati peraturan perundang-undangan (statutory duty); 4. Wajib loyal terhadap perseroan (loyality duty); dan

5. Wajib menghindari benturan kepentingan (avoid conflict of interest).

Pasal 1 angka (5) sebagaimana telah disebutkan di atas, mengamanahkan tanggung jawab penuh kepada Direksi dalam mengelola perseroan (Perseroan

9

Bismar Nasution (I)., Op. cit, hal. 5.

(6)

selanjutnya disebut PT). Hal ini mengisyaratkan kekuasaan besar dalam perseroan itu, ada di tangan Direksi. Berdasarkan hal itu, Direksi bisa saja bertindak di luar daripada ketentuan dalam UUPT atau dalam hal mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat membawa kepada kerugian perseroan.

Sehubungan dengan itu, amanah itikad baik dalam melaksanakan tanggung jawab penuh bagi Direksi dimaksudkan karena Direksi dalam melaksanakan pengelolaan perseroan dapat berkemungkinan Direksi melakukan kelalaian dan kesalahan, maka dalam Pasal 97 Ayat (2) UUPT menetapkan bahwa, “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 97 Ayat (2) UUPT tersebut di atas, dapat dipahami bahwa bagi setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam mengelola Perseroan. Dengan demikian, direksi dalam menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan dibenarkan dalam undang-undang untuk mengurus perseroan dengan itikad baik. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.

Perlu ditekankan bahwa itikad baik itu merupakan suatu kewajiban Direksi. Kewajiban utama Direksi ditujukan kepada perusahaan itu sendiri secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok,11 sesuai dengan posisi Direksi sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini

11

(7)

mengharuskan seorang Direksi untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya atau kewajiban berhati-hati (duty of care).12 M. Yahya Harahap mempergunakan istilah duty care.13

Kewajiban berhati-hati ini merupakan alasan yang tepat yang harus dilakukan Direksi untuk melakukan pengelolaan perseroan dengan itikad baik. Selain itu, dalam melakukan tugasnya tersebut, Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dari perusahaan (duty of loyality).14

Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty berhubungan erat dengan unsur itikad baik yang dimiliki Direksi perusahaan. Sehingga dapat menyebabkan Direksi dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.15 Namun, bila diamati pula dalam sistim common law Direksi dapat berlindung atas tuntutan yang dianggap tidak memenuhi kewajibannya menjalankan pengelolaan perseroan yang baik melalui ketentuan keputusan bisnis (Business Judment Rule). Dalam hal ini maka dibuatlah pengecualian Business Judment Rule, misalnya dalam hal para Direksi berada pada posisi yang tidak terlindungi (exposed position), maka Direksi wajib bertanggung jawab secara pribadi terhadap akibat-akibat hukum atas perbuatannya.16

12

Denis Keenan., dan Josephine Biscare., Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1999, hal. 317.

13

M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 379.

14

Joel Seligman., Corporations Cases and Materials, (Boston &Toronto: Little, Brown and Company, 1995), hal. 230.

15

Bismar Nasution (I)., Op. cit., hal. 4.

(8)

Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai Business Judgement Rules adalah tidak benar dan tidak wajar bahkan merupakan kontradiksi apabila mewajibkan dengan menghukum Direksi karena tidak bisa menghasilkan laba. Hal ini bertentangan dengan hakikat bisnis yang tidak menjamin suatu bisnis akan menghasilkan laba. Direksi yang telah melakukan pengelolaan dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini mempertegas bahwa apabila Direksi telah menjalankan fiduciary duty, duty of care, dilligence and prudence secara benar dan dapat dibuktikan serta didokumentasikan dengan baik tentunya Direksi akan terhindar dari tuntutan dan sanksi hukum, terutama sanksi pidana korupsi. Itikad baik Direksi itu, wajib dilakukan dalam Business Judgment Rule (BJR).17

Pertanggungjawaban Direksi dalam pengelolaan perseroan sangat diperlukan. Hal ini, karena perusahaan adalah (risk taker) yang bertujuan untuk mencari keuntungan dimana Direksi sebagai organ perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang bertendensi untuk mengalami kerugian.

Oleh karena itu sangat penting itikad baik Direski agar dalam laporan pertanggungjawabannya dapat dilihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan Direksi itu sendiri. Tanpa itikad baik Direksi,

17

http://www.komiteaudit.org/informasi_displayartikel.asp?idi=97, diakses terakhir tangal 14 April 2010.

(9)

dikhawatirkan Direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker. Berdasarkan paparan di atas, peneliti memilih judul dalam penelitian ini adalah, ”Unsur Itikad Baik Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi”.

B. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, dirumuskan 3 (tiga) permasalahan yang menjadi inti penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tanggung jawab Direksi atas kerugian perseroan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

2. Bagaimanakah standar itikad baik dalam pengelolaan perseroan oleh Direksi? 3. Bagaimanakah doktrin business judgment rule untuk pembelaan Direksi dan

kaitannya dengan itikad baik dalam undang-undang perseroan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian mengenai judul di atas, adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendalami tanggung jawab Direksi atas kerugian perseroan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

(10)

2. Untuk mengetahui dan mendalami standar itikad baik dalam pengelolaan perusahaan oleh Direksi.

3. Untuk mengetahui dan mendalami pemanfaatan business judgment rule oleh Direksi dalam kaitannya dengan pelaksanaan itikad baik dalam pengelolaan perusahaan.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini, dapat memberikan sejumlah manfaat bagi semua pihak. Manfaat tersebut, dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu secara teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis.

Manfaat secara teoritis adalah dapat memberikan sejumlah manfaat yakni sebagai bahan kajian penelitian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta dapat memberi manfaat menambah khasanah ilmu hukum perusahaan khususnya mengenai itikad baik Direksi dalam pengelolaan perusahaan.

2. Secara praktis.

Sedangkan secara praktis, penelitian ini bermanfaat terhadap kinerja Direksi dalam mengelola perusahaan untuk mencari laba. Di samping itu, selain Direksi juga dapat memberikan manfaat bagi setiap pengelola usaha baik berbentuk privat maupun publik dengan menerapkan unsur itikad baik tersebut. Dalam pengelolaan perusahaan berdasarkan itikad baik ini, semakin mempertajam pelaksanaan Business Judgment Rule dan hubunganya dengan Good Corporate Governance.

(11)

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan pemeriksaan terhadap tesis yang sama dengan judul “Unsur Itikad Baik Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi”. Dalam pemeriksaan di Perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara serta di perpustakaan di luar dari pada Kampus Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa tidak ada judul yang persis sama dengan judul di dalam penelitian ini.

Memang dalam pemeriksaan judul tesis, ada ditemukan beberapa judul tesis yang berkaitan dengan tanggung jawab Direksi yakni:

1. Edi Yunara, judul, “Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindak Pidana Korupsi”, penelitian ini khusus meneliti di bidang tindak pidana korupsi oleh Direksi dan pertanggungjawabannya;

2. Jujur Hutabarat, judul, “Analisis Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi Badan Hukum Milik Negara Dalam Pengurusan Perseroan”, pembahasan dalam penelitian ini dikhususkan pada Direksi di BUMN;

3. Kusmono, judul, “Tanggung Jawab Direksi Persero Pada Pengelolaan Penyertaan Modal Negara Dalam Hal Terjadi Kerugian”, pembahasan tesis ini dikhususkan pada tanggung jawab Direksi pada penyertaan modal negara termasuk seperti Direksi BUMN;

(12)

4. Rudi Dogar Harahap, judul, “Penerapan Business Judgment Rule Dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank Yang Berbadan Hukum Perseroan Terbatas”, dikhususkan pembahasannya pada BJR Direksi pada Bank;

5. Juli Agung P., judulnya, “Pertanggungjawaban Direksi Perusahaan Terbatas Dalam Kaitannya Dengan Pelanggaran Merek”, dikhususkan pembahasannya pada merek;

6. Ya’ti, judulnya, “Prinsip Fiduciary Duty Terhadap Pertanggungjawaban Direksi Bank Dalam Pembayaran Letter of Credit”, pembahasan dikhususkan pada L/C di bank oleh Direksi; dan lain-lain.

Judul-judul tesis di atas jelas sekali perbedaan dalam pembahasannya dengan judul, Unsur Itikad Baik Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi”. Yakni pembahasannya dikhususkan kepada unsur itikad baik Direksi. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian, dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif dan terbuka. Hal ini sesuai dengan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Salah satu yang mengakibatkan runtuhnya perekonomian Indonesia disebabkan oleh karena tidak adanya GCG di dalam pengelolaan perusahaan. Kajian

(13)

Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1998 menunjukkan bahwa indeks GCG Indonesia dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Singapura dan Jepang adalah yang paling rendah. Dalam kajian yang sama ditemukan bahwa indeks efisiensi hukum dan peradilan juga paling rendah. Sama dengan penelitian Mc Kinsey tahun 1999, menunjukkan bahwa persepsi investor mengenai praktik GCG pada perusahaan-perusahaan Indonesia juga adalah paling rendah.18

Lemahnya penerapan GCG merupakan faktor yang menentukan parahnya krisis di Asia. Kelemahan tersebut antara lain terlihat dari minimnya pelaporan kinerja keuangan dan kewajiban-kewajiban perusahaan, kurangnya pengawasan atas aktivitas manajemen oleh Komisaris dan Auditor, serta kurangnya insentif untuk mendorong terciptanya efisiensi di perusahaan melalui mekanisme persaingan yang fair.19

Berpedoman kepada prinsip-prisnip GCG, maka Direksi wajib melaksanakan pengelolaan perseroan yang berdasarkan kepada unsur itikad baik. UUPT dalam Penjelasan Umumnya mengidealkan PT tidak semata-mata sebagai alat yang dipergunakan untuk memenuhi tujuan pribadi Direksi, melainkan berfungsi sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional yang memiliki value added bagi masyarakat, mengingat kemampuan PT untuk memberikan pendapatan berupa pajak, penyedia kesempatan kerja dan ekspor impor.

18

Sofyan A. Djalil., “Good Corporate Governance”, Makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 2.

(14)

Dalam doktrin Common Law, prinsip tanggung jawab dalam perusahaan dikenal sebagai konsep “Piercing The Corporate Veil” yakni, “… the separation of the company’s rights and liabilities from those of its members and in particular the fact that the members of a company will usually have no liability for the company’s debts and liabilities.”20

Dalam hal ini Direksi bertanggung jawab secara mutlak terhadap semua kebijakan-kebijakannya. Namun, Prinsip tanggung jawab Direksi berlaku secara tidak mutlak dalam hal-hal tertentu. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari tanggung jawab Direksi, yang disebut dengan tanggung jawab tidak terbatas. Dalam hukum perusahaan di Indonesia, kemungkinan untuk mengecualikan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan dalam hal-hal sebagai berikut:21

Pasal 97 Ayat (5) UUPT disebutkan, bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Tanggung jawab Direksi disebutkan dalam Pasal 97 Ayat (1) yaitu, “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”, namun, dalam Pasal 97 Ayat (5) sebagaimana telah disebutkan di atas

20

Gower LCB., Principles Of Modern Company Law, (London: Sweet & Maxwell, 1992), hal. xxxii.

21

http://mhugm.wikidot.com/artikel:008, diakses terakhir tanggal 14 April 2010. lihat juga Pasal 97 Ayat (3) UUPT 2007.

(15)

menunjukkan bahwa prinsip tanggung jawab terbatas Direksi tidak berlaku mutlak. Di dalam UUPT, kemungkinan untuk mengecualikan prinsip tanggung jawab tersebut sangat dimungkinkan dalam hal-hal tertentu.22

Sebagai perbandingan dengan ketentuan UUPT, yurisprudensi Common Law menyimpulkan adanya tiga doktrin umum bagi kemungkinan dapat dilanggarnya prinsip tanggung jawab terbatas atau dimungkinkannya Piercing The Corporate Veil, yakni doktrin “Instrumentality”, yang pendekatannya mengacu pada 3 (tiga) faktor sebagai berikut:23

1. Adanya kontrol/pengendalian atas perseroan, sehingga perseroan tidak mempunyai eksistensi yang mandiri;

2. Pengendalian tersebut berpengaruh atas dilakukannya tindakan melalaikan kewajiban;

3. Atas tindakan lalai tersebut menimbulkan kerugian.

Permasalahan lain yang mungkin timbul, yang pada gilirannya menghambat pelaksanaan GCG berkenaan dengan pengaturan tanggung jawab Direksi. Sebagaimana pengertian yang diberikan UUPT, Direksi dituntut untuk menjadi organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan PT serta mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan..24 Selanjutnya UUPT menetapkan kewajiban bagi setiap Direksi untuk dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan

22

Ibid.

23

James D. Cox., Thomas Lee Hazen & F Hodge O’Neal., Corporations, Aspen Law &

Business, (New York: 1997), hal. 112-113.

(16)

dan usaha perseroan. Direksi dapat digugat ke Pengadilan Negeri bilamana atas dasar kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada PT.

Terdapat tambahan ketentuan bahwa atas unsur itikad buruk, dapat dituntut pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam hal kepailitan yang terjadi karena itikad buruk Direksi dan kekayaan PT tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian dimaksud. Namun, untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip GCG, ketentuan-ketentuan yang dimuat UUPT tersebut masih jauh untuk menjadi ketentuan yang aplikatif. Ketentuan UUPT dimaksud baru menjelaskan tanggung jawab Direksi secara umum, yang secara teoritis lahir dari hubungan antara Perseroan dengan Direksi yang merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan (Fiduciary of Relationship). Bilamana dirinci lebih lanjut, Fiduciary of Relationship dimaksud mengandung tiga faktor penting, yaitu:25

1. Prinsip yang menunjuk kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (Duty of Skill and Care);

2. Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan (Duty of Loyalty).

Sehubungan dengan itu, The Supreme Court of Utah menyatakan berkenaan dengan Duty of Loyalty adalah, “Director and officers are obliged to use their ineguity, influence, and energy, and to employ all the resources of the corporation, to

25

(17)

preserveand enhance the property and earning power of the corporation, even if the interests of the corporation are in conflict eith their own personal interests.”26

Prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu opportunity yang sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (No Secret Profit Rule Doctrine of Corporate Opportunity).

Tanggung jawab Direksi dalam melaksanakan pengelolaan Perseroan Terbatas, tidak cukup hanya dilakukan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar (AD). Akan tetapi pengelolaan itu wajib dilaksanakan pula bagi Direksi dengan itikad baik (goeder trouw atau good faith) dan penuh tanggung jawab.27

Bila hanya berpegang pada ketentuan UUPT, akan merupakan persoalan yang tidak mudah untuk menentukan kapan dan bagaimana Direksi dianggap telah melanggar prinsip-prinsip tersebut. Hal ini mengingat adanya justifikasi dan fleksibilitas yang diberikan kepada Direksi yang secara konseptual dikenal sebagai Business Judgement Rule, yang merupakan prinsip penyeimbang prinsip di atas. Dengan Business Judgement Rule, Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi sekalipun tindakannya mengakibatkan kerugian pada PT, baik karena salah perhitungan atau hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari tindakan tersebut, asalkan tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka keputusan

26

Douglas M. Branson, Corporate Governance, (Virginia: The Michie Company, 1993), hal. 395.

(18)

bisnis yang tulus dan dibuat berdasarkan itikad baik (honest business decisions made in good faith).

Direksi perusahaan adalah pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Hal itu sejalan dengan teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil.

Komisaris dan Direksi memiliki posisi fiducia dalam pengelolaan perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Menurut sistem hukum common law hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty. Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candour).28

28

Henry Champbell Black., Black's Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hal. 625. Dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and

confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan

keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.

(19)

Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship) tersebut, common law mengakui bahwa orang yang memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar yang tinggi.29

Dalam common law penipuan telah dikontruksikan secara lebih luas dalam gugatan melawan orang-orang yang memegang kepercayaan (fiduciaries) dibandingkan dengan gugatan terhadap individu-individu. Karena dalam hubungan kepercayaan dan kerahasiaan, pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin “constructive fraud” untuk pelanggaran fiduciary duty.30

Dalam konteks Direksi, sangat penting untuk mengontrol perilaku Direksi yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direksi berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.31

Menurut Pasal 1 ayat (5) UUPT dan Pasal 92 Ayat (2) pengelolaan Perseroan dipercayakan kepada Direksi. Lebih jelasnya Pasal 1 Ayat (5) UUPT menyatakan, bahwa Direksi adalah organ yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas

29

Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989), hal. 291.

30

Bismar Nasution (III)., Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001), hal. 72.

(20)

pengelolaan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di laur pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Selanjutya dalam Pasal 92 Ayat (1) disebutkan bahwa, “Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”.

Pasal 97 Ayat (1) menegaskan bahwa, “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 Ayat (1)”. Tentang masalah pengurusan perseroan yang digariskan dalam Pasal 92 Ayat (1) dan Ayat (2), sudah dijelaskan, yang dapat diringkas sebagai berikut:

a. Wajib menjalankan pengurusan untuk kepentingan Perseroan. Maksud menjalankan pengurusan untuk kepentingan Perseroan adalah:

1) Pengurusan perseroan yang dilaksanakan anggota Direksi harus sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; dan 2) Pelaksanaan pengurusan, meliputi pengurusan sehari-hari.

b. Wajib menjalankan pengurusan sesuai kebijakan yang dianggap tepat. Dalam menjalankan pengurusan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan dalan Anggaran Dasar, anggota Direksi harus menjalankan pengurusan sehari-hari sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, yaitu:

1) Segala kebijakan yang dilakukan dalam melaksanakan pengurusan perseroan, harus kebijakan yang dianggap tepat; dan

(21)

2) Suatu kebijakan atau Direksi yang dianggap tepat menurut hukum adalah kebijakan pengurusan yang mesti berada dalam batas-batas yang ditentukan UUPT dan Anggaran Dasar.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 Ayat (2), yang diwajibkan melaksanakan pengurusan perseroan adalah:

1. Setiap anggota Direksi perseroan; dan

2. Oleh karena itu, setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan pengurusan perseroan.

Ketentuan ini sejalan dengan apa yang digariskan pada Pasal 98 Ayat (2), setiap anggota Direksi berwenang mewakili perseroan, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar.

Di negara-negara common law khususnya di negara Amerika yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah Direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care dalam pertanggungjawaban Direksi pada Perseroan.

Perlu ditekankan bahwa kewajiban utama Direksi adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.32

Pelanggaran terhadap prinsip duty of loyality dan duty of care dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi untuk dimintai

(22)

pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya. baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.33

Dalam melakukan pengelolaan Perseroan Terbatas berdasarkan itikad baik tersebut, Direksi dengan secara bathiniah, melakukan tanggung jawab yang didasarkan kepada tanggung jawab hukum dan moral.34 Sebab tujuan pengelolaan Perseroan sesuai dengan AD dimana bahwa AD Perseroan Tersebut tidak terlepas dari ketentuan di dalam UUPT.

Untuk mencapai tujuan tersebut, secara berkelanjutan dalam Perseroan, di samping, berdasarkan itikad baik Direksi terhadap eksistensinya sebagai pimpinan perusahaan juga menciptakan suasana hubungan Perseroan dengan masyarakat umum khususnya masyarakat bisnis sehingga kepercayaan masyarakat semakin meningkat dalam perkembangan selanjutnya.35 Tentunya akan membawa keuntungan bagi Perseroan Terbatas itu sendiri.

Perkembangan selanjutnya bahwa penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan

33

Bismar Nasution (I)., Op. cit., hal. 5.

34

Theo Huijbers., Filsafat Hukum., (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 63.

35

Satjipto Rahardjo., Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hal. 225.

(23)

perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik.

Di samping itu, terdapat doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi Direksi sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. 36

Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.37

36

Dennis J. Block., Nancy R. Barton., dan Stephen A. Radin., The Business judgement Rule

Fiduciary Duties of Corporate Directors, (Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal. 4.

Teori Business Judgment Rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829.

37

Detlev F. Vagts., Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New York: The Foundation Press Inc. 1989), hal. 212. Bahwa Business Judgement Rule adalah “ a presumption that

(24)

Lebih lanjut dapat diamati dari konteks pertanggungjawaban Direksi dilihat dari pendekatan teori Salomon.38 Menurut teori ini, dalam pembentukan Perseroan Terbatas tersimpul bahwa perusahaan menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau menjalakannya.39

Pada awalnya teori Solomon sering disalahgunakan oleh para pemilik atau Direksi yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Dalam hal ini maka dibuatlah pengecualian terhadap teori ini, misalnya dalam hal para pemilik dan Direksi berada pada posisi yang tidak terlindungi (exposed position) maka mereka bertanggung jawab secara pribadi kepada akibat-akibat hukum dari perbuatan mereka.40

Oleh sebab itu, Direksi harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya kepada perusahaan untuk menghindari hal di atas. Hal ini berkaitan dengan prinsip tanggung jawab direksi atau yang sering disebut dengan fiduciary duty.41 Prinsip ini meletakkan direksi sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care dan duty of

38

Ibid.

39

Christopher L. Ryan., Company Directors, Liabilities, Rights and Duties, (CCH Editions Limited, Third Edition, 1990) , hal. 215.

40

Ibid. hal. 216

41

Robert R. Pennington., Directors’ Personal Liability, (Collin: Professional Books, 1997), hal. 33. Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang aset atau menjalankan fungsi dalam kapitasnya sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten melindungi kepentingan dari orang yang diwakilinya.

(25)

loyality), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).42 Prinsip ini memberikan perlindungan penting dari hak pemegang saham perusahaan, karena Direksi mempunyai kewajiban untuk melindungi kepentingan pemegang saham dari tindakan sewenang-wenang pemegang saham mayoritas.

Perlu ditekankan bahwa kewajiban utama Direksi adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.43 Sesuai dengan posisi Direksi sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan Direksi untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care)44.

Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyality).45 Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan Direksi dapat dimintai pertanggung jawaban hukumnya

42

Munir Fuady., Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81.

43

Bismar Nasution (I)., Loc. cit., hal. 7.

44

Denis Keenan & Josephine Biscare., Op. cit, hal. 317. Dikatakan bahwa ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang direktur yaitu: (1) kewajiban untuk secara optimal memupuk keuntungan bagi perusahaan dan tidak mengambil keuntungan pribadi bagi perusahaan dengan pihak lain. Direktur tidak boleh membuat apa yang disebut dengan secret profitand benefits

from office. Dalam kaitannya ini harus dihindari terjadinya conflict of interest. (2) irektur harus

menggunakan kewenangannya untuk tujuan yang seharusnya (propher purpose). (3) Direktur sebuah perusahaan dalam melaksanakan fungsinya termasuk pula memperhatikan kepentingan pegawai. (4) Direktur sebuah perusahaan dalam melaksanakan fungsinya juga harus memperhatikan kepentingan pemegang saham. (5) Direktur sebuah perusahaan harus memperhatikan kepentingan para kreditor.

45

Joel Seligman., Op. cit, hal 415. Selanjutnya dalam halman ini dinyatakan bahwa pelanggaran duty of loyality muncul apabila ada kepentingan pribadi yang mungkin terjadi karena: (1) seorang direktur melakukan transaksi dengan perusahaannya sendiri (2) dua perusahaan yang mempunyai satu orang direktur yang sama melakukan perjanjian (3) sebuah induk perusahaan

(26)

secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya. baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.46

Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, direksi tersebut melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik.

Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul teori business judgement rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khusunya bagi Direksi sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. 47

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional atau konstruksi secara internal pada pembaca untuk mendapat stimulasi atau dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan.

46

Bismar Nasution (I)., Loc. cit., hal. 6. Pemegang saham dapat melakukan suatu gugatan derivative untuk kepentingan perseroan kepada direktur yang dianggap melakukan pelanggaran prinsip

Fiduciary Duty. Beberapa tindakan ganti rugi yang dapat dituntut antara lain: (1) ganti rugi atau

kompenasasi (2) Pengembalian keuntungan yang diperoleh oleh direktur tersebut sebagai akibat dari tindakan yang menguntungkan dirinya secara tidak sah (3) permohonan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh direktur tersebut. (4) pengembalian harta kekayaan yang diperoleh direktur tersebut.

47

Denis Keenan & Josephine Biscare., Op. cit, hal. 4. Teori Business Judgement Rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829.

(27)

Landasan konsepsional ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT 2007 serta peraturan pelaksanaannya.48

b. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.49

c. Itikad baik (good faith) adalah penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan.50

d. Pengelolaan perseroan adalah mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik, seperti juga audit juga kerja dari pasar untuk mengkontrol perusahaan. Istilah itu dapat juga mengacu pada praktik

48

Pasal 1 Ayat (1) UUPT.

49

Pasal 1 angka 5, UUPT.

50

(28)

audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktipan pemegang saham.51

e. Fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat.52

f. Duty of care adalah prinsip pengelolaan perseroan yang mengharuskan Direksi untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya.53

g. Duty of loyality adalah prinsip dalam pengelolaan perseroan dalam melakukan tugasnya Direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan.54

h. Konflik kepentingan atau conflict of interest adalah suatu perbuatan atau tindakan dalam mengambil keputusan dimana terdapat unsur benturan kepentingan antara para pihak dalam pengambilan keputusan atas perseroan.55

i. Good Corporate Governance adalah tata kelola perusahaan yang baik dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip: Akuntabilitas (accountability), Kemandirian

51

Holly J. Gregory., dan Marshal E. Simms., “Pengelolaan Perusahaan (Corporate

Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” Makalah disampaikan pada “Lokakarya

Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 3-4.

52

Henry Champbell Black., Op. cit, hal. 624.

53

Denis Keenan & Josephine Biscare, Op. cit, hal. 317.

54

Joel Seligman., Op. cit, hal. 231.

55

(29)

(independency), Keterbukaan (transparancy), Kewajaran (fairness), dan tanggung jawab (responsibility).56

j. Business judgement rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.57

k. Tanggung jawab pribadi adalah prinsip tanggung jawab yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian atau pelanggaran, maka tanggung jawab hukumnya hanya dipikulkan kepada anggota Direksi yang melakukan kesalahan itu. Tidak dilibatkan anggota Direksi yang lain secara tanggung renteng.58

l. Tanggung jawab renteng adalah tanggung jawab yang dibebankan kepada setiap pribadi anggota Direksi.59

56

Yusuf Wibisono., Membedah Konsep & Aplikasi CSR, (Gresik: Fascho Publishing, 2007), hal. 121. lihat juga, Bapepam., Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, (Jakarta: Bapepem, 1999), hal.17.

57

Denis Keenan & Josephine Biscare., Op. cit, hal. 2. Bahwa Business Judgement Rule

adalah “ a presumption that in making a business decision, the derictor of corporation acted on an informed basis in good faith and in the the honest belief that the action was taken in the best interest of the company”.

58

Pasal 95 Ayat (5), UUPT.

59

Pasal 14 Ayat (1), Pasal 37 Ayat (3), Pasal 69 Ayat (3), Pasal 97 Ayat (4), Pasal 104 Ayat (2), Pasal 114 Ayat (4), Pasal 115 Ayat (1), Pasal 142 Ayat (5), UUPT. Dalam pasal-pasal ini tidak dijelaskan defenisi mengenai tanggung jawab secara renteng akan tetapi konsep yang digunakan di atas, dibuat oleh peneliti sendiri sebagai terjemahan maksud dan tujuan secara tersirat dalam

(30)

undang-m. Tanggung jawab Direksi adalah mengurus perseroan (daden van beheer) untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan antara lain dalam pengurusan sehari-hari perseroan.60

n. Kerugian perseroan adalah keadaan pendapatan/keuntungan (profit) perseroan dimana bahwa keuntungan yang diperoleh mengalami penurunan yang signifikan baik terhadap pemegang saham maupun terhadap perseroan itu sendiri.61

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.62 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.63 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.64 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

60

Bismar Nasution (VI)., Op. cit., hal. 2-3.

61

M. Yahya Harahap., Op. cit., hal. 382.

62

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

63

Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan

Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

64

(31)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.65 Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.66

Aalasan penggunaan penelitian hukum normatif ini adalah didasarkan pada analisis kualitatif dimana terdapat paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.67 Penelitian hukum normatif dimaksud adalah yang bersifat kualitatif.68

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan

65

Peter Muhammad Marzuki., Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 96.

66

Bismar Nasution (IV)., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

67

William J. Filstead., Qualitative Methods: A Needed Perspective in Evaluation Research, dalam Thomas D. Cook dan Charles S. Reichardt, ed, Qualitative and Quantitative Methods in Evaluation Research, (London: Sage Publications, 1979), hal. 38.

68

(32)

dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:69

a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT);

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini; c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar, artikel bebas dari internet, dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPT yang berisi

69

Ronny Hanitijo Soemitro., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.

(33)

kaedah-kaedah hukum kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.70

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan permasalahan. Membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

70

Referensi

Dokumen terkait

Spektrum ultralembayung adalah suatu gambaran antara panjang gelombang atau frekuensi radiasi terhadap intensitas absorbsi (transmisi = T), absorbs (A), yang

Asuhan kehamilan mengutamakan kesinambungan pelayanan (continuity of care) Sangat penting bagi wanita untuk mendapatkan pelayanan dari seorang profesional yang

Berdasarkan hasil rata-rata dan presentase 10 desain tersebut, menunjukkan bahwa keseluruhan desain telah menerapkan 4 kriteria yaitu : 1) unsur desain, Hal ini

Menggunakan aplikasi INSYSPRO pengelolaan perusahaan klien dapat dilakukan hanya oleh beberapa orang SDM, karena sistem INSYSPRO ERP bersifat fleksibel dalam

Schipani mencatat bahwa ada lima prinsip utama Freire untuk pendidikan orang dewasa: (1) pendidikan tidak pernah netral, (2) isi harus mencerminkan pengalaman dan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) Bagaimanakah peningkatan keaktifan pada siswa kelas VII A

Hasil penelitian dalam uji path menunjukkan bahwa karakteristik biografis tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui motivasi; dan kepemimpinan berpengaruh

(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua