• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN BAHAN PAKAN UNGGAS NASIONAL 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN BAHAN PAKAN UNGGAS NASIONAL 1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING

INDUSTRI SAWIT UNTUK MENINGKATKAN

KETERSEDIAAN BAHAN PAKAN

UNGGAS NASIONAL

1)

Arnold Parlindungan Sinurat

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor 16151, Telp. (0251) 8322183, 8328383, 8322138, Faks. (0251) 8328382

e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 24 Januari 2012; Disetujui: 17 Maret 2012

1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2010 di

Bogor.

ABSTRAK

Biaya pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam industri peternakan unggas. Berbagai upaya telah dilakukan agar industri ini lebih efisien dan menguntungkan. Salah satu di antaranya adalah pemanfaatan bahan pakan inkonvensional berupa hasil samping industri sawit, seperti bungkil inti sawit, lumpur sawit (solid decanter), dan solid heavy phase (SHP). Pada tahun 2007, Indonesia menghasilkan bungkil inti sawit 2 juta ton, lumpur sawit kering 2 juta ton, dan SHP kering 4 juta ton. Beberapa teknologi telah dihasilkan untuk meningkatkan nilai gizi dan mengurangi faktor pembatas penggunaan hasil samping industri sawit, seperti biofermentasi dan proses enzimatis. Biofermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein dan energi metabolis serta menurunkan kandungan serat kasar. Produk hasil fermentasi tersebut sudah diuji penggunaannya dalam ransum ayam broiler, ayam ras petelur, ayam kampung maupun itik. Teknologi enzimatis dapat meningkatkan kecernaan gizi SHP maupun bungkil inti sawit sehingga dapat digunakan dalam jumlah yang lebih banyak. Teknologi ini perlu dikembangkan dan diterapkan agar ketersediaan bahan pakan unggas di dalam negeri meningkat sehingga mengurangi ketergantungan pada bahan pakan impor. Diperlukan kebijakan yang harmonis antara lembaga penelitian dengan industri dalam penerapan teknologi yang sudah dihasilkan. Pemerintah perlu mendorong pihak industri sawit agar ikut berperan dalam penyediaan bahan pakan dengan meningkatkan kualitas hasil samping industri sawit.

Kata kunci: Unggas, pengolahan pakan, hasil samping industri sawit

ABSTRACT

Technology on the Utilization of Palm Oil Industry By-Products to Increase Availability of National Poultry Feed Ingredients

Feed contributes the major portion of cost in the poultry industry. Therefore, many efforts were carried out to increase the profit by improving the efficiency on feed utilization. One of them is by utilization of inconventional feed ingredients such as by-products of palm oil industry, i.e. palm kernel cake,

(2)

PENDAHULUAN

Protein hewani berperan penting dalam kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Salah satu studi menyimpulkan bahwa masyarakat yang kaya mengonsumsi lebih banyak produk peternakan dibandingkan dengan masyarakat miskin (Maltsoglou 2007). Data FAO (2009) juga menunjuk-kan bahwa konsumsi daging di negara maju pada tahun 2007 mencapai rata-rata 82,4 kg/kapita/tahun, sedangkan di negara berkembang hanya 30,5 kg/kapita/ tahun.

Protein hewani dipenuhi dari konsumsi daging, susu, telur, dan ikan. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi, produk peter-nakan disukai oleh masyarakat karena rasanya enak dan banyak digunakan dalam acara sosial dan adat. Daging yang banyak dikonsumsi masyarakat berasal dari unggas. Pada tahun 2007, konsumsi daging unggas mencapai 4,42 kg/kapita/tahun atau 86% dari konsumsi daging sebesar 5,13 kg/kapita/tahun (Ditjennak 2009b). Dibandingkan dengan negara maju, bah-kan dengan negara tetangga Malaysia, konsumsi produk peternakan di Indonesia

masih sangat rendah. Konsumsi daging unggas di Malaysia pada tahun 2005 mencapai 35,8 kg/kapita/tahun, sedangkan Indonesia baru 4,5 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur di Indonesia juga rendah, hanya 67 butir atau setara 4,2 kg/kapita/ tahun, sedangkan di Malaysia mencapai 12 kg/kapita/tahun (Warr et al. 2008).

Peningkatan produksi ternak unggas menghadapi beberapa masalah, seperti ketergantungan pada impor bibit ayam (ras), bahan pakan (termasuk pelengkap dan imbuhan pakan), peralatan, dan obat-obatan. Dalam industri peternakan unggas, pakan merupakan komponen produksi yang memerlukan biaya terbesar, mencapai 70%. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menekan biaya pakan agar industri peternakan unggas lebih efisien dan menguntungkan pelaku bis-nis. Dari aspek nutrisi, upaya yang telah dilakukan meliputi pemanfaatan bahan pakan inkonvensional sebagai sumber energi dan atau protein (Sinurat 1999) serta penggunaan imbuhan pakan untuk meningkatkan kecernaan gizi bahan pa-kan, seperti antibiotik, enzim, probiotik, prebiotik, asam organik, dan zat aktif

palm oil sludge, and solid heavy phase. In 2007, Indonesia produced approximately 2 million tons palm kernel cake, 2 million tons dried palm oil sludge, and 4 million tons dried solid heavy phase. Few technologies have been discovered to reduce the constrictions, i.e. biofermentation and enzymatic process. Biofermentation by using Aspergillus niger as inoculant, increased the protein and metabolizable energy and reduced the crude fiber contents. The fermented products have been used in feeding trial on broilers, laying hens, native chickens and ducks. Enzymatic technology improved the digestibility of nutrients (dry matter, energy, and protein) of palm kernel cake and palm oil sludge, hence the by-products could be included in the broilers and laying hens feed in a higher proportion. This technology needs to be developed to increase the availability of local poultry feed ingredients nationally, to reduce import of feed ingredients, and to minimize pollution in palm oil industry or to achieve zero waste program. Therefore, there is a need for a policy to harmonize the collaboration between the research institute with the industry in applying the technology. Furthermore, the government needs to encourage the palm oil industry to be involved in producing animal feed by improving the quality of palm oil industry by-products.

(3)

tanaman (Walton 1977; Sinurat et al. 2002, 2003, 2008; Sacranie 2008; Luckstadt 2009). Makalah ini membahas pemanfaatan salah satu bahan pakan inkonvensional, yaitu hasil samping industri sawit sebagai upaya meningkatkan penyediaan bahan pakan lokal, dengan harapan dapat me-ngurangi ketergantungan pada bahan pakan impor.

POTENSI HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN

PAKAN UNGGAS Bahan Pakan Unggas

Bahan pakan yang umum digunakan dalam formulasi ransum unggas secara komersial di Indonesia yaitu jagung, dedak, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang (MBM), tepung ikan, corn gluten meal, produk samping bioetanol (DDGS), tepung kapur, minyak sawit (CPO), bungkil kelapa, asam amino DL-metionin, asam amino L-lisin, campuran vitamin, campuran mineral mik-ro, dikalsium fosfat, garam, dan imbuhan pakan. Dari bahan tersebut, jagung, tepung ikan, kalsium fosfat, dan asam amino sebagian masih diimpor. Bungkil kedelai, tepung daging dan tulang, corn gluten

meal, dan produk samping bioetanol

semuanya masih diimpor.

Indonesia mengimpor bahan pakan jagung 480.000 ton, bungkil kedelai 1.880.000 ton, MBM 280.000 ton, dan tepung ikan 10.000 ton pada tahun 2007 (Ditjennak 2009a). Kecuali jagung, volume impor bahan pakan lain terus meningkat. Ketergantungan pada bahan pakan impor akan membuat industri peternakan nasional sulit mandiri sehingga akan mengganggu ketahanan pangan. Ter-jadinya perubahan politik, nilai tukar uang,

wabah penyakit, dan gangguan alam di negara asal bahan pakan impor dapat mengganggu industri peternakan unggas di dalam negeri. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan pakan impor harus terus dilakukan. Salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan pada bahan pakan impor adalah dengan menggunakan bahan pakan yang jumlahnya melimpah di dalam negeri, seperti hasil samping industri sawit, yaitu bungkil inti sawit, lumpur sawit atau solid

decanter, dan solid heavy phase (SHP).

Bungkil inti sawit merupakan sisa padatan setelah pemerasan inti sawit untuk men-dapatkan minyak inti sawit. Lumpur sawit merupakan limbah dari proses pemerasan buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO), yang diperoleh dengan cara mensentrifusi limbah cair dengan menggunakan alat yang disebut decanter. SHP adalah padatan dari limbah cair setelah pengutipan lumpur sawit. Ketiga bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk unggas, meskipun belum lazim.

Potensi Produksi dan Kandungan Gizi Hasil Samping Industri Sawit

Ditinjau dari segi perkembangan luas area pertanaman dan produksi minyak sawit Indonesia maka potensi ketiga bahan pakan tersebut dinilai cukup besar. Bila pada tahun 2007 Indonesia menghasilkan 16,9 juta ton CPO (BPS 2008) maka potensi hasil samping yang diperoleh meliputi 2 juta ton bungkil inti sawit, 2 juta ton lumpur sawit kering, dan 4 juta ton SHP kering (Sinurat dan Manurung 2005) atau 8 juta ton bahan kering. Namun, pada saat ini potensi tersebut belum dimanfaatkan seluruhnya.

(4)

Kandungan gizi ketiga bahan hasil samping industri sawit tersebut telah diteliti (Hutagalung 1978; Pasaribu et al. 1998; Sinurat 2003; Sinurat et al. 2006). Lumpur sawit kering mengandung protein kasar 11,94%, metionin 0,14%, lisin 0,31%, lemak kasar 10-14%, dan energi metabolis (TME) 1.593 kkal/kg. SHP kering mengan-dung protein kasar 9-11,8%, metionin 0,07%, lisin 0,17%, lemak kasar 15%, dan energi metabolis (AME) 2.403-3.271 kkal/ kg. Bungkil inti sawit mengandung protein 14,19%, metionin 0,41%, lisin 0,49%, dan energi metabolis 2.087 kkal/kg. Berda-sarkan potensi produksi seperti diuraikan di atas maka potensi zat gizi yang dapat dimanfaatkan dari ketiga bahan pakan tersebut adalah 862.000 ton protein kasar atau setara dengan protein 1.873.913 ton bungkil kedelai, 16.986.000.000 Mkal energi metabolis atau setara dengan energi metabolis 4.995.000 ton jagung, 23.200 ton lisin atau setara dengan 802.768 ton bungkil kedelai, dan 17.400 ton metionin atau setara dengan 3.107.143 ton bungkil kedelai.

FAKTOR PEMBATAS PENGGUNAAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN

PAKAN UNGGAS

Meskipun potensi gizi hasil samping industri sawit sangat besar, tidak semua zat gizi tersebut dapat dimanfaatkan oleh unggas karena adanya faktor pembatas dalam bahan tersebut.

Lumpur Sawit

Proses pengolahan minyak sawit (CPO) menghasilkan limbah cair sekitar 2,5 m3/ton.

Limbah ini mengandung bahan pencemar

(padatan) yang tinggi, yaitu BOD 20.000-60.000 mg/l (Wenten 2004). Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%, sehingga disebut lumpur sawit. Sifat fisik lumpur sawit yang demikian menimbulkan masalah dalam pengangkutan dan penyimpanan sehingga harus dikeringkan terlebih dahulu. Bila dikeringkan, lumpur sawit akan berwarna kecoklatan dan teksturnya kasar dan keras.

Lumpur sawit masih belum banyak dimanfaatkan secara ekonomi. Di area perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang, bahkan sering dibuang sembarangan sehingga menim-bulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan (Yeong 1982; Medan Pos 1998). Kandungan air yang cukup tinggi menjadi salah satu faktor pembatas dalam pemanfaatan bahan ini karena mem-butuhkan upaya pengeringan. Faktor pembatas lain dari penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas adalah tingginya kadar serat kasar (29,76%) dan kecernaan asam amino yang rendah (Hutagalung 1978). Kandungan gizi lum-pur sawit juga sangat bervariasi (Sinurat 2003). Hal ini bergantung pada banyak hal, termasuk perbedaan proses pemisahan-nya dari mipemisahan-nyak sawit. Meskipun demikian, penelitian telah dilakukan untuk meman-faatkan lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas.

Penelitian di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) menunjukkan bahwa lumpur sa-wit kering dapat digunakan sebanyak 5% dalam ransum ayam pedaging (Sinurat et

al. 2000). Pemberian pada taraf yang lebih

tinggi dapat menurunkan performa ayam (penurunan konsumsi ransum dan per-tumbuhan lebih lambat). Penurunan performa disebabkan oleh meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum

(5)

sejalan dengan makin tingginya kadar lumpur sawit.

Penggunaan lumpur sawit kering dalam ransum ayam ras petelur hingga 20% tidak mengganggu produksi telur, bobot telur, efisiensi penggunaan pakan, dan kualitas (HU) telur (Yeong dan Azizah 1987). Angka ini dianggap cukup aman bagi ayam ras petelur, tetapi lumpur sawit yang digu-nakan mengandung serat kasar yang rendah (16,8%) dan protein yang tinggi (13,0%) dibandingkan dengan kadar serat kasar dan protein lumpur sawit yang umum dilaporkan.

Di Nigeria, lumpur sawit juga diguna-kan untuk padiguna-kan ayam yang berkeliaran dengan saran komposisi penggunaan 10-30% dalam ransum (Sonaiya 1995). Sebaliknya, penelitian di dalam negeri (Karo-karo et al. 1994) menunjukkan bahwa pemberian lumpur sawit kering di atas 10% dalam ransum ayam buras pada periode pertumbuhan menurunkan bobot badan ayam dan konsumsi ransum. Penggunaan lumpur sawit kering dalam ransum itik hingga 15% tidak menimbulkan gangguan pertumbuhan, konsumsi ransum, maupun persentase karkas (Sinurat et al. 2001a).

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa lumpur sawit kering dapat digunakan dalam ransum ayam potong dengan takar-an 5%, ayam ras petelur 15-20%, ayam kampung 10%, dan itik 15%.

Solid Heavy Phase

Solid heavy phase (SHP) belum lazim

dihasilkan dalam industri pengolahan sawit. Bahan ini dapat dihasilkan dengan bantuan alat khusus berupa filter membran keramik untuk mengambil padatan dari cairan limbah sawit setelah pengutipan lumpur sawit, dengan maksud

meminimal-kan polusi limbah cair dari industri sawit atau penerapan program zero waste (Wenten 2004). Potensi jumlah SHP diper-kirakan dua kali lebih banyak diban-dingkan dengan lumpur sawit (Sitompul

et al. 2005).

SHP berbentuk pasta dengan kadar air sekitar 90%, berwarna kecoklatan. Sama halnya dengan lumpur sawit, kadar air dan serat kasar yang tinggi (21,45%) merupakan faktor pembatas dalam peman-faatan SHP sebagai bahan pakan unggas (Sinurat et al. 2006, 2007). Beberapa pe-nelitian penggunaan SHP sebagai pakan unggas telah dilakukan. Dalam suatu percobaan singkat, SHP digunakan dalam ransum ayam petelur sebagai pengganti jagung hingga 30% tanpa menyebabkan penurunan produksi telur, efisiensi penggunaan pakan maupun kualitas telur (Sinurat et al. 2005). Penelitian selanjutnya selama 5 bulan produksi menunjukkan bahwa SHP dapat menggantikan jagung hingga 25% dalam ransum ayam petelur tanpa menurunkan produksi telur, efisien-si penggunaan pakan maupun kualitas telur (Sinurat et al. 2007). Namun, penggunaan SHP kering hanya dapat menggantikan 10% jagung dalam ransum ayam broiler (Sinurat et al. 2006) tanpa menurunkan performa ayam. Agar SHP dapat menggantikan jagung dalam ran-sum maka kandungan gizi ranran-sum harus mencukupi kebutuhan gizi ternak.

Bungkil Inti Sawit

Bungkil inti sawit merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit atau

palm kernel. Proses pemerasan minyak

secara mekanis menyebabkan jumlah minyak yang tertinggal masih cukup banyak (sekitar 9,6%). Hal ini

(6)

menye-babkan bungkil inti sawit cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih cukup tinggi tersebut. Bungkil inti sawit biasanya terkontaminasi dengan pecahan cangkang sawit dengan jumlah 9,1-22,8% (Chin 2002; Sinurat et al. 2009). Pecahan cangkang mempunyai tekstur yang keras dan tajam. Hal ini menyebabkan bahan ini kurang disukai ternak (kurang palatable) dan dikhawatirkan dapat merusak dinding saluran pencernaan ternak muda.

Bungkil inti sawit dapat digunakan untuk pakan ternak (Devendra 1978; Swick dan Tan 1995) sebagai sumber energi atau protein. Namun, penggunaannya untuk pakan unggas terbatas karena tingginya kadar serat kasar (21,7%), termasuk hemi-selulosa (mannan dan galaktomanan), serta rendahnya kadar dan kecernaan asam amino. Batas penggunaan bungkil inti sawit dalam campuran pakan unggas bervariasi, yaitu antara 5-10% pada ransum ayam broiler dan bisa digunakan hingga 20-25% dalam ransum ayam petelur (Chong

et al. 2008; Sinurat et al. 2009).

TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI GIZI HASIL SAMPING INDUSTRI

SAWIT DAN PENGGUNAANNYA DALAM RANSUM UNGGAS

Adanya faktor pembatas dalam bahan pakan, termasuk hasil samping industri sawit, merupakan pertimbangan penting bagi ahli gizi dalam menggunakan bahan tersebut dalam formulasi ransum. Oleh karena itu, beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi hasil samping industri sawit, sekaligus mengu-rangi faktor pembatas dalam bahan tersebut. Beberapa teknologi yang dikem-bangkan di Balitnak diuraikan berikut ini.

Teknologi Biofermentasi untuk Meningkatkan Nilai Gizi

Pada prinsipnya, teknologi biofermentasi adalah membiakkan mikroorganisme terpilih pada media dengan kondisi tertentu sehingga dapat berkembang dan mengubah komposisi kimia media tersebut menjadi bernilai gizi lebih baik. Teknologi ini sudah dikembangkan untuk mening-katkan nilai gizi hasil samping industri sawit (bungkil inti sawit, lumpur sawit, dan SHP).

Penelitian di Malaysia menunjuk-kan lumpur sawit yang difermentasi secara

anaerobic thermo-acidophilic

mengan-dung protein kasar 16,8% dan serat kasar 21,5% (Yeong dan Azizah 1987). Dari serangkaian penelitian di Balitnak disim-pulkan bahwa fermentasi lumpur sawit paling efektif bila menggunakan

Asper-gillus niger, dengan suhu ruang fermentasi

38oC selama tiga hari dan dilanjutkan

dengan proses enzimatis selama dua hari (Pasaribu et al. 1998; Sinurat et al. 1998). Proses ini dapat meningkatkan nilai gizi lumpur sawit seperti protein kasar dari 11,9% menjadi 22,7%, protein sejati dari 10,4% menjadi 17,1%, energi metabolis (TME) dari 1.593 kkal menjadi 1.717 kkal/ kg, asam amino metionin dari 0,14% menjadi 0,16%, lisin dari 0,31% menjadi 0,36%, serta menurunkan serat kasar dari 29,8% menjadi 18,6%, ADF dari 44,3% menjadi 33,9%, dan NDF dari 62,8% menjadi 54,0% (Pasaribu et al. 1998; Sinurat et al. 1998; Purwadaria et al. 1999; Bintang et al. 2000).

Peningkatan nilai gizi tersebut merupa-kan hasil perombamerupa-kan akibat pertumbuhan kapang A. niger, sekaligus akibat enzim pemecah serat yang dihasilkan selama proses fermentasi (Sinurat et al. 1998; Purwadaria et al. 1999; Pasaribu et al. 2001).

(7)

Kualitas produk fermentasi sangat di-pengaruhi oleh suhu ruang fermentasi, strain kapang yang digunakan, cara pengeringan, serta lama dan proses fermentasi (Sinurat et al. 1998; Purwadaria

et al. 1998, 1999; Pasaribu et al. 2001).

Produk fermentasi ini bila dikeringkan dapat disimpan pada suhu kamar selama 12 minggu tanpa mengalami perubahan nilai gizi yang berarti (Pasaribu et al. 2001). Penemuan ini sudah didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Inte-lektual dan mendapat sertifikat paten No. P-002001 01023 pada tanggal 27 Desember 2007, dengan judul invensi “Proses Pembuatan Bahan Pakan Ternak Hasil Fermentasi Lumpur Sawit”. Proses fermentasi seperti yang dilakukan pada lumpur sawit dapat menurunkan kadar serat kasar SHP dari 21,5% menjadi 16,2%, meningkatkan energi metabolis dari 2.403 menjadi 2.642 kkal/kg, meningkatkan protein kasar dari 11,8% menjadi 27,4%, serta meningkatkan asam amino metionin, lisin, arginin, dan treonin (Sinurat et al. 2007).

Teknik biofermentasi untuk meningkat-kan nilai gizi bungkil inti sawit juga sudah dilakukan beberapa peneliti lain. Fermen-tasi dengan menggunakan Trichoderma

viride selama 14 hari dapat meningkatkan

kandungan protein bungkil inti sawit 32%, menurunkan serat kasar 36,5%, dan meningkatkan energi metabolis 9% (Iyayi dan Aderolu 2004). Demikian pula fermen-tasi bungkil inti sawit dengan kapang pelapuk putih atau Phanerochaete

chrysosporium selama 4 hari, dapat

meningkatkan energi metabolis dan daya cerna protein, serta menurunkan kadar serat kasar (Sembiring 2006).

Teknologi biofermentasi bungkil inti sawit dengan menggunakan A. niger telah dikembangkan di Balitnak (Supriyati et al.

1998). Proses ini meningkatkan kandungan protein kasar dari 14,2% menjadi 36,4%, protein sejati dari 13,6% menjadi 25,1%, menurunkan serat kasar dari 21,7% men-jadi 19,8%, serta meningkatkan kecernaan bahan kering dari 40,7% menjadi 51,5%, kecernaan protein dari 63,9% menjadi 71,3%, dan energi metabolis dari 2.087 menjadi 2.413 kkal/kg (Supriyati et al. 1998; Bintang et al. 1999).

Pengujian pemanfaatan lumpur sawit yang difermentasi sebagai pakan unggas telah dilakukan. Produk fermentasi yang dihasilkan Balitnak dapat digunakan sekitar 10% dalam ransum ayam broiler (Sinurat et al. 2000) maupun ransum ayam buras yang sedang tumbuh (Sinurat et al. 2001c). Pemberian produk fermentasi yang lebih banyak (15%) dapat menurunkan pertumbuhan karena banyaknya asam ribo nukleat (RNA) yang dikonsumsi yang berasal dari sel mikroorgasnisme dalam produk terfermentasi (Sinurat et al. 2000). Berbeda dengan ayam, pemberian produk fermentasi lumpur sawit dalam ransum itik yang sedang tumbuh hingga 15% tidak menyebabkan gangguan terhadap pertum-buhan maupun persentase karkas (Sinurat

et al. 2001b).

Cara pemberian produk fermentasi lumpur sawit dalam ransum unggas perlu diperhatikan. Pemberian produk fermen-tasi dalam bentuk kering menghasilkan performa ayam broiler (Sinurat et al. 2001a) maupun ayam buras (Sinurat et al. 2001b) yang lebih baik dibandingkan dengan bila diberikan dalam bentuk basah. Pencampuran produk fermentasi dalam bentuk basah menimbulkan gumpalan sehingga tidak dapat tercampur secara merata dengan bahan pakan lainnya.

Penggunaan produk fermentasi SHP untuk menggantikan 25% jagung dalam ransum menyebabkan penurunan

(8)

pro-duksi ayam petelur (Sinurat et al. 2007). Hal ini erat kaitannya dengan kandungan RNA dari sel mikroba, seperti umumnya bahan pakan yang berasal dari sel tunggal (Karasawa 1998).

Produk fermentasi bungkil inti sawit dengan menggunakan T. viride dapat digunakan untuk menggantikan 50% jagung dalam ransum ayam petelur (Iyayi dan Aderolu 2004). Produk fermentasi bungkil inti sawit juga dapat meng-gantikan 50% protein bungkil kedelai dalam ransum ayam petelur (Dairo dan Fasuyi 2008). Demikian pula produk fer-mentasi bungkil inti sawit dengan kapang pelapuk putih atau P. chrysosporium, dapat digunakan hingga 30% dalam ran-sum ayam broiler tanpa mengganggu pertumbuhan ayam (Sembiring 2006). Produk fermentasi bungkil inti sawit yang menggunakan A. niger dapat digunakan 5% dalam ransum ayam pedaging (Ketaren

et al. 1999) dan 15% dalam ransum itik

yang sedang tumbuh (Bintang et al. 1999).

Proses Enzimatis untuk Meningkatkan Kecernaan

Zat Gizi

Enzim merupakan molekul organik (pro-tein) yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan berfungsi sebagai katalis atau mem-percepat reaksi kimia tertentu. Dalam praktik ilmu nutrisi masa kini, enzim di-produksi dengan bantuan mikroorganisme terseleksi. Enzim yang diproduksi ini (exogenous enzyme) ditambahkan ke dalam pakan atau bahan pakan untuk meningkatkan kecernaan gizi melalui pemecahan struktur molekul yang kom-pleks menjadi struktur molekul yang lebih sederhana, misalnya dari polisakarida

menjadi di- atau monosakarida atau dari protein menjadi asam amino.

Penggunaan beberapa jenis enzim untuk meningkatkan nilai gizi SHP sudah dilaporkan (Sinurat et al. 2008a, 2008b). Enzim produksi Balitnak (BS4) yang merupakan crude enzyme atau enzim multi yang belum dimurnikan, dapat meningkatkan energi metabolis SHP dari 2.403 menjadi 2.638-2.748 kkal/kg, ber-gantung pada jumlah atau aktivitas enzim yang ditambahkan. Demikian pula enzim tunggal (mannanase) komersial, dapat meningkatkan energi metabolis SHP menjadi 2.765 kkal/kg dan dengan enzim multi komersial menjadi 2.633 kkal/kg (Sinurat et al. 2008b). Selain meningkatkan nilai energi metabolis SHP, enzim produksi Balitnak dan enzim multi komersial juga meningkatkan kecernaan protein, sedang-kan enzim tunggal komersial tidak dapat meningkatkan kecernaan protein SHP (Sinurat et al. 2008a). SHP yang telah ditambah enzim, bila digunakan dalam ransum ayam petelur dapat menggantikan jagung hingga 25% tanpa menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur (Sinurat et al. 2007, 2008a).

Khusus untuk bungkil inti sawit, proses untuk mengurangi cemaran cang-kang perlu dilakukan sebelum ditambahkan enzim. Teknik sederhana dengan mela-kukan penyaringan atau pengayakan dapat mengurangi cemaran cangkang dalam bungkil inti sawit hingga 50% atau dari 15% menjadi 7% (Chin 2002) atau dari 22,8% menjadi 9,92% (Sinurat et al. 2009). Pengurangan cemaran cangkang melalui penyaringan secara langsung dapat meningkatkan nilai gizi bungkil inti sawit melalui penurunan serat kasar dari 17,6% menjadi 13,3%, peningkatan protein kasar dari 14,5% menjadi 15,0%, peningkatan kadar lemak dari 16,1% menjadi 18,6%,

(9)

peningkatan energi metabolis dari 2.051 menjadi 2.091 kkal/kg, peningkatan kecernaan protein dari 29,3% menjadi 34,7%, serta peningkatan kadar asam amino (Sinurat et al. 2009).

Penambahan enzim produksi Balitnak maupun enzim multi komersial pada bungkil inti sawit yang sudah disaring dapat meningkatkan energi metabolis menjadi 2.317 kkal/kg dan kecernaan protein menjadi 51,3% (Sinurat et al. 2009). Penambahan enzim tunggal mannanase atau enzim multi komersial (selulose, glukanase, xylanase, dan fitase) dalam ransum yang mengandung bungkil inti sawit meningkatkan kecernaan protein, lemak, abu, dan energi metabolis ransum (Sundu et al. 2004; Iyayi dan Davies 2005; Chong et al. 2008; Sekoni et al. 2008).

Dengan penambahan enzim, bungkil inti sawit dapat digunakan dalam ransum ayam broiler sampai 30% atau menyamai performa ayam yang diberi ransum stan-dar (jagung-bungkil kedelai), asalkan formulasi ransum dilakukan berdasarkan asam amino tercerna (Sundu dan Dingle 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahan ini hingga 20% menghasilkan performa (produksi telur dan efisiensi penggunaan pakan) yang sama atau lebih baik dari ransum kontrol atau ransum yang tidak mengandung bungkil inti sawit (Sinurat et al. 2009).

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN BAHAN PAKAN

ASAL INDUSTRI SAWIT Arah Pengembangan

Dengan penerapan teknologi, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan pakan. Untuk itu, perlu

dikembangkan sistem produksi bahan pakan lokal yang berasal dari hasil samping industri sawit. Pihak industri sawit perlu mengetahui bahwa bungkil inti sawit, lumpur sawit, dan SHP dapat diolah menjadi bahan pakan yang bernilai ekonomi. Di samping itu, penerapan tekno-logi ini sangat relevan untuk mengurangi polusi dalam industri sawit atau untuk mencapai program zero waste dan men-ciptakan industri yang berwawasan lingkungan.

Strategi Pengembangan

Sampai saat ini, penggunaan bahan pakan yang berasal dari hasil samping industri sawit masih sedikit. Oleh karena itu, diperlukan strategi agar bahan ini dapat digunakan lebih luas dengan menyebar-kan pengetahuan kepada pihak industri sawit, industri pakan, dan peternak tentang penggunaan hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan dan teknologi pemanfaatannya. Selain itu, karena hasil samping industri sawit diproduksi jauh dari lokasi industri pakan dan mempunyai beberapa faktor pembatas, perlu dilakukan penerapan teknologi pengolahan untuk mengurangi faktor pembatas dan mening-katkan nilai gizinya di areal produksi (pabrik sawit).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Produksi hasil samping industri sawit, ditinjau dari segi jumlah dan kandungan gizinya, sangat potensial untuk dijadikan bahan pakan ternak unggas. Lumpur sawit,

(10)

meskipun sudah umum diproduksi, belum banyak digunakan sebagai bahan pakan unggas. SHP belum umum diproduksi dalam industri pengolahan sawit, namun potensinya cukup besar. Demikian pula bungkil inti sawit, belum banyak digu-nakan sebagai bahan pakan unggas secara komersial karena adanya beberapa faktor pembatas dalam ketiga bahan tersebut.

Teknologi untuk meningkatkan nilai gizi ketiga bahan pakan tersebut meliputi teknologi biofermentasi dan penambahan enzim. Khusus untuk bungkil inti sawit, perlu disaring untuk mengurangi cemaran cangkang sebelum dilakukan fermentasi atau penambahan enzim. Teknologi bio-fermentasi dapat meningkatkan protein kasar, protein sejati, asam amino, dan energi metabolis serta menurunkan kadar serat kasar ketiga bahan tersebut. Proses enzimatis dapat meningkatkan kecernaan gizi (bahan kering, energi metabolis, dan kecernaan protein) ketiga bahan tersebut. Penerapan teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan bahan pakan untuk ternak unggas di Indonesia se-hingga dapat mengurangi ketergantungan pada bahan pakan impor.

Implikasi Kebijakan

Meskipun hasil penelitian menunjukkan hasil samping industri sawit dapat di-gunakan sebagai bahan pakan unggas dan sudah ditemukan teknologi yang dapat meningkatkan nilai gizi bahan tersebut, masih diperlukan upaya agar teknologi ini diterapkan di tingkat industri pakan. Keengganan atau keraguan pihak industri dalam menerapkan hasil penelitian sering kali karena materi yang digunakan dalam penelitian kurang sesuai dengan kondisi di lapangan (jumlah ternak sedikit,

ma-najemen pemeliharaan terkontrol). Oleh karena itu, perlu kebijakan yang dapat menciptakan kerja sama yang harmonis antara lembaga penelitian dan industri dalam penerapan teknologi yang sudah dihasilkan. Kerja sama seperti ini sudah dilakukan di negara maju karena meng-untungkan kedua belah pihak. Pemerintah juga perlu mendorong pihak industri sawit agar ikut berperan dalam menyediakan bahan pakan dengan memerhatikan kualitas hasil samping industri sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Bintang, I.A.K., A.P. Sinurat, T. Murtisari, T. Pasaribu, dan T. Purwadaria. 1999. Penggunaan bungkil inti sawit dan produk fermentasinya dalam ransum itik sedang bertumbuh. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(3): 179-184. Bintang, I.A.K., A.P. Sinurat, T. Purwadaria,

dan T. Pasaribu. 2000. Nilai gizi lumpur kelapa sawit hasil fermentasi pada berbagai proses inkubasi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(1): 7-11. BPS (Badan Pusat Statistik). 2008. Statistik

Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 653 hlm.

Chin, F.Y. 2002. Utilization of palm kernel cake as feed in Malaysia. Asian Live-stock 26(4): 19-26.

Chong, C.H., I. Zulkifli, and R. Blair. 2008. Effects of dietary inclusion of palm kernel cake and palm oil, and enzyme supplementation on performance of laying hens. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 21(7): 1053-1058.

Dairo, F.A.S. and A.O. Fasuyi. 2008. Evaluation of fermented palm kernel meal and fermented copra meal proteins as substitute for soybean meal protein

(11)

in laying hens diets. J. Central Eur. Agric. 9(1): 35-44.

Devendra, C. 1978. The utilization of feeding stuffs from the oil palm plant. p. 116-131. Proceedings of Symposium on Feeding stuffs for Livestock in South East Asia, Kuala Lumpur, 17-19 October 1977.

Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009a. Roadmap Pengembangan Pa-kan Unggas Menuju Ketahanan PaPa-kan Nasional. Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009b. Statistik Peternakan 2008. Ditjennak, Jakarta.

FAO (Food Agricultural Organization). 2009. Meat Consumption. http:// www.fao.org/ag/againfo/themes/en/ meat/. [14 April 2009].

Hutagalung, R.I. 1978. Non-traditional feeding stuffs for livestock. In C. Devendra and R.I. Hutagalung (Eds.). Feeding Stuffs for Livestock in Southeast Asia. Malaysian Society of Animal Production, Serdang, Malaysia. Iyayi, E.A. and Z.A. Aderolu. 2004. Enhancement of the feeding value of some agroindustrial by-products for laying hens after their solid state fermentation with Trichoderma viride. Afr. J. Biotechnol. 3(3): 182-185. Iyayi, E.A. and B.I. Davies. 2005. Effect of

enzyme supplementation of palm kernel meal and Brewer’s dried grain on the performance of broilers. Int. J. Poult. Sci. 4(2): 76-80.

Karo-karo, S., S. Elieser, A. Misniwaty, dan J. Sianipar. 1994. Penelitian sistem usaha tani ternak ayam buras di lahan pekarangan petani tanaman pangan. Laporan Akhir Penelitian. Subbalai Penelitian Ternak Sei Putih dan Proyek

Pengembangan Penelitian Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Karasawa, Y. 1998. Adverse effects

observed when cell proteins are fed to chickens. p. 94-99. Proceedings of 6th Asian Pacific Poultry Congress.

Japan Poultry Science Association, Nagoya.

Ketaren, P.P., A.P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadaria, dan I P. Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(2): 107-112.

Luckstadt, C. 2009. Benefits of an acidifier on gut microbiota in broilers. Asian Poult. April: 56-57.

Maltsoglou, I. 2007. Household Expen-diture on Food of Animal Origin: A Comparison of Uganda, Vietnam and Peru. PPLPI Working Paper No. 43. FAO, Rome. http://www.fao.org/ag/ pplpi.html. [27 March 2009].

Medan Pos. 1998. Limbah pabrik kelapa sawit resahkan penduduk. Harian Medan Pos, 2 Januari 1998.

Pasaribu, T., A.P. Sinurat, T. Purwadaria, Supriyati, dan H. Hamid. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses enzimatis. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 237- 242.

Pasaribu, T., T. Purwadaria, A.P. Sinurat, J. Rosida, dan D.O.D. Saputra. 2001. Evaluasi nilai gizi lumpur sawit hasil fermentasi dengan Aspergillus niger pada berbagai perlakuan penyimpanan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(4): 233-238.

Purwadaria, T., A.P. Sinurat, T. Haryati, I. Sutikno, Supriyati, dan J. Darma. 1998. Korelasi antara aktivitas enzim

(12)

mana-nase dan selulase terhadap kadar serat lumpur sawit hasil fermentasi dengan

Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak

dan Veteriner 3(4): 230-236.

Purwadaria, T., A.P. Sinurat, Supriyati, H. Hamid, dan I.A.K. Bintang. 1999. Evaluasi nilai gizi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger setelah proses pengeringan dengan pemanasan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(4): 257-263.

Sacranie, A. 2008. Nutritional strategies to improve poultry health and per-formance. Int. Poult. Prod. 16: 11-17. Sekoni, A.A., J.J. Omage, G.S. Bawa, and

P.M. Esuga. 2008. Evaluation of enzyme Maxigrain®) treatment of graded levels of palm kernel meal (PKM) on nutrient retention. Pakistan J. Nutr. 7(4): 614-619.

Sembiring, P. 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti sawit dengan

Phanerochaete chrysosporium dan

Impilkasinya terhadap Performans Ayam Broiler. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sinurat, A.P.,T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid, dan I P. Kom-piang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 225-229.

Sinurat, A.P. 1999. Recent development on poultry nutrition and feed technology and suggestions for topics of re-searches. Indones. Agric. Res. Dev. J. 21(3): 37-45.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, P. Ketaren, D. Zainuddin, dan I P. Kompiang. 2000. Pemanfatan lumpur sawit untuk ran-sum unggas: Lumpur sawit kering dan produk fermentasinya sebagai bahan

pakan ayam broiler. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(2): 107-112.

Sinurat, A.P., I.A.K. Bintang, T. Purwadaria, dan T. Pasaribu. 2001a. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ransum unggas: Lumpur sawit kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan itik jantan yang sedang tumbuh. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(1): 28-33. Sinurat, A.P., T. Purwadaria, T. Pasaribu, J.

Darma, I.A.K. Bintang, dan M.H. Togatorop. 2001b. Pemanfaatan lumpur sawit untuk ransum unggas: Penggu-naan produk fermentasi lumpur sawit sebelum dan setelah dikeringkan dalam ransum ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): 107-112. Sinurat, A.P., T. Purwadaria, T. Pasaribu, J.

Darma, I.A.K. Bintang, dan M.H. Togatorop. 2001c. Pemanfaatan lum-pur sawit untuk ransum unggas: Peng-gunaan produk fermentasi lumpur sawit sebelum dan setelah dikeringkan dalam ransum ayam kampung sedang tumbuh. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(4): 213-219.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, M.H. Toga-torop, T. Pasaribu, I.A.K. Bintang, S. Sitompul, dan J. Rosida. 2002. Respons ayam pedaging terhadap penambahan bioaktif tanaman lidah buaya dalam ransum: Pengaruh berbagai bentuk dan dosis bioaktif lidah buaya ter-hadap performan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(3): 69-75.

Sinurat, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas. Wartazoa 13(2): 9-47.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, M.H. Togatorop, dan T. Pasaribu. 2003. Pemanfaatan bioaktif tanaman sebagai “feed additive” pada ternak unggas: Pengaruh pemberian gel lidah buaya

(13)

atau ekstraknya dalam ransum ter-hadap penampilan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(3): 139-145.

Sinurat, A.P. dan B.P. Manurung. 2005. Pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit untuk pakan ternak dan apli-kasinya di PT Agricinal-Bengkulu. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005, 19-20 April 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Sinurat, A.P., T. Purwadaria, I W. Mathius,

Tyasno, H. Hamid, dan B.P. Manurung. 2005. Pengembangan teknologi fer-mentasi limbah sawit (ferlawit) untuk pakan ternak skala produksi komersil. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama antara Balai Penelitian Ternak, Bogor, dan PT Agricinal, Bengkulu.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, I.A.K. Bintang, dan T. Pasaribu. 2006. Evaluasi nilai gizi solid heavy phase sebagai peng-ganti jagung dalam ransum broiler. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3): 167-174.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, T. Pasaribu, P. Ketaren, H. Hamid, Emmi, E. Fredrick, Tyasno, Udjianto, dan Haryono. 2007. Optimalisasi penggunaan solid heavy

phase (SHP) hasil bioproses sebagai

bahan pakan ayam petelur. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor .

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, D. Zainuddin, N. Bermawie, M. Rizal, and M. Raharjo. 2008. Utilization of plant bioactives as feed additives for laying hens. p. 283-286. Proceedings of the 1st International

Symposium on Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb). Biopharmaca

Research Center, Bogor Agricultural University, Bogor.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, I.A.K. Bintang, T. Pasaribu, B.P. Manurung, and N.

Manurung. 2008a. Substitution of corn with enzymes treated palm oil sludge in laying hens diet. Proceedings of XXIII World’s Poultry Science Congress, Brisbane, Australia. Sinurat, A.P., T. Purwadaria, T. Pasaribu, P.

Ketaren, H. Hamid, Emmi, E. Fredrick, Tyasno, Udjianto, dan Haryono. 2008b. Optimalisasi penggunaan solid heavy

phase (SHP) hasil bioproses sebagai

bahan pakan ayam petelur. Laporan Penelitian, Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, T. Pasaribu, P. Ketaren, H. Hamid, Emmi, E. Fredrick, Udjianto, dan Haryono. 2009. Proses Pengolahan Bungkil Inti Sawit dan Evaluasi Biologis pada Ayam. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Sitompul, D., Rusman, dan B.P. Manurung. 2005. Peningkatan produktivitas kelapa sawit melalui pemanfaatan limbah PKS (pabrik kelapa sawit): Pengalaman PT Agricinal. hlm. 152-160. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Sonaiya, E.B. 1995. Feed resources for smallholder poultry in Nigeria. World Anim. Rev. 82: 25-33.

Sundu, B. and J. Dingle. 2003. Use of enzymes to improve the nutritional value of palm kernel meal and copra meal. Proceedings of Queensland Poultry Science Symposium, the University of Queensland, Australia. 11: 1-15.

Sundu, B., A. Kumar, dan J.G. Dingle. 2004. Perbandingan dua produk enzim ko-mersial pencerna beta-mannan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang berbeda. hlm. 19-25. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Sumber

(14)

Daya Hayati Berkelanjutan. Tadulako University Press, Palu, Indonesia.

Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A. Sinurat. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(3): 165-170. Swick, R.A. and P.H. Tan. 1995. Con-siderations in using common Asian protein meals. ASA Tech. Bull. 95: 025.

Walton, J.R. 1977. A mechanism of growth promotion: Non-lethal feed antibiotic induced cell wall lesions in enteric bacteria. p. 259-264. In M. Woodbine (Ed.). Antibiotics and Antibiosis. Butterworths, London.

Warr, S., G. Rodriguez, and J. Penm. 2008. Changing food consumption and imports in Malaysia. Opportunities for Australian Agricultural Export. Research Report 08. Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics, Canberra.

Wenten, I.G. 2004. Solusi terpadu program zero waste effluent dan integrasi kebun-ternak dalam industri CPO.

Dalam B. Haryanto, I W. Mathius, B.R.

Prawiradiputra, D. Lubis, A. Priyanti dan A. Djajanegara (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal System Research Network (CASREN), Bogor.

Yeong, S.W. 1982. The nutritive value of palm oil by-products for poultry. p. 217-222. In M.R. Jainudeen and A.R. Omar (Eds.). Animal Production and Health in the Tropics. Penerbit Universiti Pertanian Malaysia, Selangor. Yeong, S.W. and A. Azizah. 1987. Effect

of processing on feeding values of palm oil mill effluent (POME) in non-ruminants. p. 302-306. Proceedings of 10th Annual Conference of MSAP.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh langsung good corporate governance komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit , karakteristik perusahaan ukuran perusahaan dan

Dalam pengurusan dan pelaksanaan sesuatu projek, memerlukan tenaga kerja yang mencukupi untuk menyiapkan sesuatu projek.. Projek mungkin tidak akan dilaksanakan tanpa

Hasil pengujian aplikasi P fluorescens P60 terhadap penyakit layu bakteri pada tanaman kentang menunjukkan tidak berbeda nyata untuk masa inkubasi, serta kepadatan patogen

Berdasarkan hasil analisis data dan temuan yang diperoleh dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh metode SAS terhadap kemampuan membaca

Metode yang dilakukan adalah analisa mikrobiologi (jumlah total bakteri dan kapang ; identifikasi bakteri dan kapang.), kekerasan dan sensoris Hasil penelitian

Tiga elemen utama tersebut, kemudian dapat diperluas sehingga yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu place -nya adalah lingkungan batik di desa Gumelem, actor -nya adalah

Berdasarkan jawaban S03 pada soal nomor 2 terlihat bahwa S03 tidak menuliskan rumus dengan tepat yaitu rumus keliling lingkaran, selain itu juga siswa salah dalam