• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia. 1, 2,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia. 1, 2,"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODEL VCT BERLANDASKAN KONSEP TRI KAYA

PARISUDHA TERHADAP HASIL BELAJAR RANAH AFEKTIF

SISWA KELAS V DI SD GUGUS III KECAMATAN SERIRIT

KABUPATEN BULELENG TAHUN PELAJARAN

2013/2014

A.A Istri Rai Marta Dewi

1

, I Nym. Murda

2

, I Md Tegeh

3

1,2

Jurusan PGSD,

3

Jurusan TP, FIP

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: agunk_martha@yahoo.com

1

, murdanyoman@yahoo.co.id

2

,

imadetegehderana@yahoo.com

3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar ranah afektif siswa kelas V antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pengajaran langsung (direct instruction) di SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 129 orang. Sampel penelitian ini yaitu siswa kelas V SDN 1 Seririt dengan jumlah 24 orang sebagai kelompok eksperimen dan siswa kelas V SDN 3 Seririt dengan jumlah 29 orang sebagai kelompok kontrol. Data tentang hasil belajar ranah afektif dikumpulkan dengan menggunakan angket/kuisioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial yaitu uji-t. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar ranah afektif siswa kelas V antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pengajaran langsung (direct instruction). Hal ini ditunjukkan oleh t hitung > ttabel, t hitung = 6,602, dan ttabel = 1,671 dan

didukung oleh perbedaan skor rata-rata yang diperoleh siswa yang dibelajarkan menggunakan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha, yaitu 121 yang berada pada kategori tinggi dan model pengajaran langsung (direct instruction), yaitu 109,12 yang berada pada kategori sedang.

Kata kunci: VCT, tri kaya parisudha, hasil belajar afektif Abstract

This study aimed to investigate the difference on the affective of students’ learning outcomes of the fifth grade elementary school students between a group of students who were taught by VCT Model with the base of Tri Kaya Parisudha and a group of students who were taught by using Direct Instruction Model in Gugus III in Seririt district in Buleleng Regency. This study was designed as a quasi-experimental research. The population of this study were 129 fifth grade elementary school students Gugus III in Seririt disctrict, Buleleng regency in academic year 2013/2014. The samples of this study were 24 fith grade students in SDN 1 Seririt as the experimental group, while the 29 students as the control group. The data in the form of affective learning outcomes was collected by using questionnare. The data collection was analyzed by descriptive statistic analysis technique and inferential statistics (t-test). The result of the study showed that there was difference on the students’ affective leaning outcomes of the fifth grade elementary school students between a group of students taught by using VCT Model with the base of Tri Kaya Parisudha and a group of students who were taught by using Direct Instruction Model. It was shown by to, > tcv. to = 6,602 and tcv = 1,671

(2)

VCT Model with the base of Tri Kaya Parisudha was 121 in the high level, while Direct Instruction Model was 109,12 in the medium level.

Keywords: VCT, Tri kaya parisudha, affective learning outcomes

PENDAHULUAN

Pendidikan memiliki posisi strategis dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Menurut Degeng (2001), SDM yang berkualitas adalah manusia yang kompetitif, cerdas, dan siap menghadapi perubahan. SDM yang siap menghadapi perubahan artinya SDM yang siap bersaing di era globalisasi. Persaingan di era globalisasi membawa banyak dampak, salah satunya membawa pengaruh terhadap tatanan nilai yang dianut suatu bangsa. Salah satu implikasi pada tata nilai adalah globalisasi semakin membuka lebar hadirnya nilai materialisme, konsumerisme, hedonisme, penggunaan kekerasan, dan narkoba yang dapat merusak moral bangsa khususnya generasi muda. Salah satu upaya untuk menanggulangi implikasi tersebut adalah dengan memaksimalkan peran pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan saat ini hendaknya diarahkan pada kesadaran nilai dan moral melalui pendidikan nilai sebagai cara terbaik untuk dapat membentuk manusia yang seutuhnya.

Pendidikan nilai merupakan inti dari proses pendidikan dengan tujuan untuk membentuk manusia yang seutuhnya. Tujuan pendidikan nilai tersebut sejalan dengan salah satu mata pelajaran yang ada di sekolah, yaitu pelajaran PKn. Fungsi pendidikan nilai dalam pelajaran PKn sesuai dengan tujuan PKn dalam Kurikulum SD (2006), yaitu untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, moral, etika, dan keterampilan dasar yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang berguna bagi diri peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam bermasyarakat serta sebagai bekal dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, kondisi pendidikan saat ini masih belum mampu mewujudkan tujuan pendidikan nilai seperti yang diharapkan. Beberapa faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya pendidikan nilai pada jenjang sekolah, yaitu 1) lebih diutamakannya

aspek kognitif sebagai tolok ukur keberhasilan pembelajaran dengan mengesampingkan aspek afektif dan psikomotor siswa, contohnya pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan siswa dari jenjang SD hingga SMA, 2) prioritas pada ranah kognitif membentuk siswa yang cerdas secara intelektual namun tidak diimbangi dengan kecerdasan emosional dan spiritual, sehingga siswa kurang memahami pentingnya sistem nilai dalam hidupnya, dan 3) pembelajaran PKn yang seharusnya menjadi pembelajaran afektif, pada kenyataannya malah lebih banyak mengacu pada keberhasilan kognitif siswa.

Akibat belum terwujudnya tujuan pendidikan nilai, maka akibat yang timbul adalah munculnya krisis nilai di berbagai kalangan masyarakat. Salah satu bentuk krisis nilai yang dialami oleh kalangan pelajar, terlihat dari masih maraknya kebiasaan tawuran pelajar di kota-kota besar di Indonesia. Kasus tawuran antarpelajar menjadi salah satu permasalahan serius dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Penyebab kebiasaan tawuran, salah satunya adalah perkembangan intelektual peserta didik tidak diimbangi dengan pembentukan dan penanaman nilai moral yang baik pada siswa. Selain itu, pemahaman nilai yang salah dan belum maksimalnya pendidikan nilai di setiap jenjang pendidikan akan sangat mempengaruhi sikap dan prilaku siswa. Prilaku siswa yang demikian juga akan mempengaruhi prilaku peserta didik di masyarakat. Selain di lingkungan pelajar, krisis nilai juga banyak terjadi di kalangan masyarakat. Salah satu contoh krisis nilai yang kini banyak dialami masyarakat adalah seringnya terjadi bentrokan antarwarga masyarakat. Salah satu kasus yang cukup memprihatinkan dan menimbulkan kerugian adalah bentrokan yang terjadi antara masyarakat Budaga dengan masyarakat Kemoning di Kabupaten Klungkung. Kasus tersebut diketahui dipicu oleh perebutan tempat suci yang akhirnya malah merenggut 1 nyawa

(3)

dan beberapa orang harus mengalami luka-luka serius. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat pemicu masalah tersebut adalah tempat suci yang seharusnya menjadi simbol keyakinan terhadap Tuhan.

Selain kedua kasus tersebut, masih banyak kasus-kasus amoral lainnya yang terjadi akibat krisis nilai dalam dunia pendidikan dan masyarakat, yang pada dasarnya diakibatkan oleh kurangnya penanaman nilai sejak dini. Hal ini didukung oleh hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng, yang terdiri dari 5 SD, yaitu SDN 1 Seririt, SDN 2 Seririt, SDN 3 Seririt, SDN 1 Pengastulan, dan SDN 3 Pengastulan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru PKn pada kelima sekolah tersebut diperoleh beberapa informasi terkait dengan pelaksanaan pendidikan nilai di masing-masing sekolah. Para guru di lima SD tersebut memaparkan bahwa walaupun pendidikan nilai sudah diupayakan dilakukan pada proses pembelajaran PKn, namun orientasi terhadap hasil belajar kognitif siswa masih menjadi prioritas. Ini dikarenakan pendidikan nilai dan penanaman sikap sudah secara khusus dilakukan dalam pembelajaran budi pekerti, sehingga guru tersebut tidak terlalu menekankan pada pendidikan nilai. Selain itu dalam penilaian raport, aspek kognitif sudah disatukan dengan aspek-aspek lainnya, sehingga penilaian yang dijadikan acuan oleh guru adalah penilaian kognitif berupa tes, sedangkan aspek afektif dan psikomotor hanya dilihat dari sikap dan prilaku siswa sehari-hari. Hasil wawancara tersebut juga didukung oleh hasil observasi di kelas saat pembelajaran berlangsung. Pada saat proses pembelajaran berlangsung, terlihat bahwa cara guru mengelola pembelajaran masih terpusat pada pengembangan aspek kognitif siswa saja dengan cara penyampaian berupa ceramah. Hal ini terlihat dari penggunaan model dan metode pembelajaran yang lebih banyak mengarahkan siswa untuk penguasaan materi dan penyelesaian soal. Guru-guru di SD tersebut juga lebih banyak menggunakan model pembelajaran yang masih didominasi oleh ceramah bervariasi,

seperti model pengajaran langsung atau direct instruction (DI).

Merujuk pada kondisi tersebut, pembelajaran PKn yang merupakan pembelajaran untuk membina sikap dan karakter siswa sudah bergeser dan tergantikan oleh pembelajaran yang mengacu pada pemahaman materi saja tanpa diimbangi penyampaian pesan-pesan moral. Dengan kondisi pembelajaran yang demikian, maka masalah yang kemudian timbul adalah sikap siswa yang kurang baik saat di kelas, yaitu: siswa ribut di kelas, mengganggu teman, dan tidak memperhatikan guru. Akibat lain dari kondisi belajar yang kurang kondusif tersebut adalah siswa kurang dapat memaknai pembelajaran dan memahami pesan nilai dan moral yang ada dalam setiap materi yang dipelajarinya. Dengan demikian, maka pendidikan nilai yang diharapkan dapat dilakukan melalui pembelajaran PKn saat pembelajaran di kelas menjadi kurang maksimal.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam pendidikan nilai adalah kurangnya inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga pesan moral dan nilai yang diharapkan sampai pada siswa tidak tersampaikan, dan pada akhirnya tidak membuat perubahan sikap siswa ke arah yang lebih baik. Dengan adanya permasalahan tersebut maka perlu adanya inovasi-inovasi baru dalam pelaksanaan pembelajaran PKn yang mampu meningkatkan kesadaran nilai yang nantinya dapat membentuk sikap siswa ke arah yang lebih baik. Salah satu bentuk inovasi yang ditawarkan adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan nilai dan pembentukan sikap siswa. Model pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pendidikan nilai dan pembentukan sikap siswa adalah model VCT yang berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha.

“Model VCT yang diperkenalkan oleh Jarolimek pada tahun 1974 ini adalah salah satu model pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pendidikan nilai” (Aptama, 2010:396). Jarolimek (dalam Kertawisastra, 1980), juga menyebutkan bahwa, VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut

(4)

anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. Tujuan model VCT adalah melatih siswa untuk menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan begitu, ketika anak didik memiliki kelemahan dalam mengapresiasikan nilai, pengetahuan tentang VCT dapat menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah (Mulyana, 2004:95). Apabila siswa mampu menerima nilai-nilai baru yang dianggapnya baik dan sesuai dengan nilai yang ada dalam dirinya melalui penyelesaian suatu masalah, maka siswa akan dapat bersikap sesuai dengan nilai yang diyakininya tanpa adanya keraguan.

Pendidikan nilai tidak dapat lepas dari adanya kebutuhan akan prinsip-prinsip belajar yang menyertakan nilai ilmiah, moral, dan agama secara harmonis (Mulyana, 2004:177). Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka pendidikan nilai yang dibelajarkan dengan model VCT, pada dasarnya sejalan dengan ajaran setiap agama yang menekankan pada nilai-nilai kebaikan yang pada akhirnya diharapkan mampu melahirkan manusia dengan etika yang baik. Salah satu konsep dalam ajaran etika agama Hindu yang sesuai dengan tujuan pelaksanaan pendidikan nilai dan model VCT adalah konsep Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha adalah tiga dasar perilaku manusia yang harus disucikan, yang mencakup manacika (pikiran), wacika (perkataan), dan kayika (perbuatan) (Sudharta, 2001). Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa Tri Kaya Parisudha merupakan pembelajaran tentang dasar cara berperilaku yang baik, dari adanya pikiran yang baik, maka akan menimbulkan perkataan yang baik, dan pada akhirnya akan mengarah pada perbuatan yang baik pula. Apabila dikaitkan dengan pembelajaran PKn, maka konsep

Tri Kaya Parisudha mengarah pada pembentukan nilai, moral, dan sikap yang baik. Dengan berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha sebagai landasan dalam bersikap dan dipadukan dengan model VCT yang mengarahkan siswa untuk mampu menganalisis nilai dan mengambil keputusan atas persoalan yang dihadapi siswa, diharapkan siswa menjadi lebih mampu menerima nilai-nilai baru dan menerapkannya dalam bentuk sikap yang lebih baik.

Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana deskripsi hasil belajar ranah afektif siswa pada kelompok eksperimen yang dibelajarkan menggunakan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha? 2) Bagaimana deskripsi hasil belajar ranah afektif siswa pada kelompok kontrol yang dibelajarkan menggunakan model pengajaran langsung (direct instruction)? 3) Apakah terdapat perbedaan hasil belajar ranah afektif siswa kelas V antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pengajaran langsung (direct instruction) di SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2013/2014?

Sejalan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini, yaitu: 1) Untuk mengetahui deskripsi hasil belajar ranah afektif siswa pada kelompok eksperimen yang dibelajarkan menggunakan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha. 2) Untuk mengetahui deskripsi hasil belajar ranah afektif siswa pada kelompok kontrol yang dibelajarkan menggunakan model pengajaran langsung (direct instruction). 3) Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar ranah afektif siswa kelas V antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pengajaran langsung (direct instruction) di SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.

(5)

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi eksperimen). Rancangan penelitian ini menggunakan Non Equivalent Post Test Control Group Design.

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng dengan banyak siswa seluruhnya adalah 129 orang yang tersebar dalam 5 SD. Adapun SD yang termasuk dalam Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng adalah SDN 1 Seririt, SDN 2 Seririt, SDN 3 Seririt, SDN 1 Pengastulan, dan SDN 3 Pengastulan. Sebelum menentukan sampel penelitian maka dilakukan uji kesetaraan populasi dengan menggunakan rumus ANAVA satu jalur. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan ANAVA satu jalur pada taraf signifikansi 5% dan 1% diperoleh nilai Fhitung sebesar 1,69. Nilai FTabel dengan dbantar = 4 dan dbdalam = 124 pada taraf signifikansi 5% adalah 2,46 dan taraf signifikansi 1% adalah 3,51. Dengan demikian, Fhitung lebih kecil daripada FTabel (1,69 < 2,46) untuk taraf signifikansi 5%. Begitu pula untuk taraf signifikansi 1% diperoleh hasil bahwa Fhitung lebih kecil daripada FTabel (1,69 < 3,51). Dengan demikian H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi kesimpulannya tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan siswa kelas V mata pelajaran PKn di SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng, atau dengan kata lain kemampuan siswa kelas V SD Gugus III Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng adalah setara.

Setelah melakukan uji kesetaraan, maka dilanjutkan dengan pemilihan sampel dengan teknik Random Class, yaitu pengambilan sampel anggota populasi secara acak menggunakan undian tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi. Sampel yang diacak dalam penelitian ini adalah kelas, karena dalam penelitian tidak mungkin untuk mengubah kelas yang ada. Kelas yang diacak merupakan kelas dalam jenjang yang sama. Kelas-kelas tersebut adalah kelas V dari masing-masing sekolah dasar di Gugus III

Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng. Teknik random dilakukan dengan cara pengundian. Pengundian sampel dilakukan pada semua kelas, karena setiap kelas memiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel.

Berdasarkan hasil pengundian, yang menjadi sampel penelitian pada penelitian ini adalah siswa kelas V SDN 1 Seririt dengan jumlah 24 orang dan siswa kelas V SDN 3 Seririt dengan jumlah 29 orang. Dari dua kelas yang terpilih tersebut kemudian dirandom lagi untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan pengundian yang telah dilakukan, maka siswa kelas V SDN 1 Seririt terpilih sebagai kelas eksperimen atau diberikan perlakuan menggunakan model pembelajaran VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha, sedangkan siswa kelas V SDN 3 Seririt terpilih sebagai kelas kontrol atau diberikan perlakuan menggunakan model pengajaran langsung (direct instruction).

Dalam penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha pada kelas eksperimen, model pengajaran langsung (direct instruction) pada kelas kontrol, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar ranah afektif pembelajaran PKn.

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan metode nontes berupa angket. Angket yang digunakan adalah angket pertanyaan tertutup, yaitu siswa hanya memilih jawaban yang tersedia pada angket tersebut. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah lembar kuisioner atau angket.

Angket tersebut kemudian diuji secara teoretik dan empirik. Secara teoretik angket tersebut diuji melalui uji pakar, selanjutnya untuk uji empirik dilakukan dengan uji validitas dan uji reliabilitas. Berdasarkan uji teoretik dan empirik, dari 40 butir pernyataan yang diujikan diperoleh 30 butir pernyataan valid dan reliabel.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial yaitu uji-t. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk

(6)

mengetahui sebaran data yang terdapat pada kelas kontrol dan kelas eksperimen yang nantinya akan digunakan untuk mendukung hasil uji hipotesis. Sedangkan metode analisis statistik inferensisl yang digunakan adalah uji-t. Namun, sebelum melakukan uji-t harus melaksanakan uji prasyarat yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Dalam penelitian ini uji-t menggunakan rumus polled varians.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data post-tes kelompok eksperimen, maka dapat dideskripsikan, yaitu mean (M) = 121, median (Md) = 122,16, modus (Mo) = 124,22 varians (s2) = 57,11, dan standar deviasi (s) = 7,55. Data hasil post-tes tersebut dapat disajikan dalam bentuk kurve poligon seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurve poligon data hasil belajar afektif kelompok eksperimen Berdasarkan grafik poligon pada Gambar 1, diketahui modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M), yaitu 124,22>122,16>121. Dengan demikian, kurva tersebut adalah kurva juling negatif, yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Hal tersebut terlihat dari mean kelompok eksperimen yang termasuk dalam kategori tinggi didasarkan pada pedoman konversi skala lima dan juga terlihat dari jumlah siswa yang memperoleh skor di atas rata-rata, yaitu sebanyak 17 siswa, sedangkan jumlah siswa yang memperoleh skor di bawah rata-rata, yaitu sebanyak 7 siswa.

Selanjutnya, hasil analisis data post-tes kelompok kontrol, dapat dideskripsikan sebagai berikut, yaitu mean (M) = 109,12, median (Md) = 107,95, modus (Mo) = 106,68, varians (s2) = 30,68 dan standar

deviasi (s) = 5,53. Data hasil post-tes tersebut dapat disajikan dalam bentuk kurve poligon seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Kurve poligon data hasil belajar afektif kelompok kontrol

Berdasarkan grafik poligon pada Gambar 2, diketahui mean lebih besar dari median dan median lebih besar dari modus (M>Md>Mo), yaitu 109,12>107,95>106,68. Dengan demikian, kurva tersebut adalah kurva juling positif, yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Hal tersebut terlihat dari mean kelompok kontrol yang termasuk dalam kategori sedang didasarkan pada pedoman konversi skala lima dan juga terlihat dari jumlah siswa yang memperoleh skor di bawah rata-rata, yaitu sebanyak 17 siswa, sedangkan jumlah siswa yang memperoleh skor di atas rata-rata, yaitu sebanyak 12 siswa.

Selanjutkan dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis statistik inferensial yaitu uji-t. Namun, sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji Normalitas skor post-tes hasil belajar afektif kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan rumus chi-kuadrat. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus chi-kuadrat untuk data post-test kelompok eksperimen, diperoleh

2hitung sebesar 2,290 dan

2tabel

dengan taraf signifikansi 5% dan dk = 3 adalah 7,815. Hal ini berarti,

2hitung lebih

kecil dari

2tabel (

2hitung

2tabel ),

sehingga data post-test kelompok eksperimen berdistribusi normal. Sedangkan perhitungan dengan menggunakan rumus chi-kuadrat untuk data post-test kelompok kontrol, diperoleh 0 2 4 6 8 10

F

rek

u

en

si

Interval

0 2 4 6 8 10 12

F

re

k

u

en

si

Interval

Md M

(7)

hitung

2

sebesar 2,848 dan

2tabel dengan

taraf signifikansi 5% dan dk = 3 adalah 7,815. Hal ini berarti,

2hitung hasil post-test

kelompok kontrol lebih kecil dari

2tabel

(

2hitung

2tabel), sehingga data post-test

kelompok kontrol berdistribusi normal. Setelah itu dilanjutkan dengan uji homogenitas. Berdasarkan hasil perhitungan uji homogenitas dengan menggunakan uji-F, diketahui Fhitung hasil belajar afektif kelompok eksperimen dan kontrol adalah 1,861. Sedangkan Ftabell

dengan dbpembilang = 23, dbpenyebut = 28, dan taraf signifikansi 5% adalah 1,91. Hal ini berarti, Fhitung < Ftabel, dengan demikian varians data hasil belajar afektif siswa kelas eksperimen dan kontrol adalah homogen.

Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled varians dengan kriteria H0 tolak jika thitung > ttabel dan H0 terima jika thitung < ttabel. Ringkasan hasil uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Hipotesis

Data Skor Kelompok n X s 2 t hitung ttabel (t.s. 5%) Hasil belajar ranah afektif PKn siswa Eksperimen 24 121 57,11 6,602 1,671 Kontrol 29 109,12 30,68 Berdasarkan hasil perhitungan uji-t,

diperoleh thitung sebesar 6,602. Sedangkan, ttabel dengan db = 51 dan taraf signifikansi 5% adalah 1,671. Hal ini berarti, thitung lebih besar dari ttabel (thitung > ttabel), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar ranah afektif siswa pada pembelajaran PKn antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pengajaran langsung (direct instruction).

Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha memiliki hasil belajar ranah afektif yang lebih tinggi daripada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pengajaran langsung (direct instruction). Tinjauan ini didasarkan pada rata-rata skor hasil belajar ranah afektif siswa. Rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha, yaitu sebesar 121 termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan rata-rata skor hasil belajar ranah afektif PKn siswa

yang mengikuti pembelajaran dengan model pengajaran langsung (direct instruction), yaitu sebesar 109,12 termasuk dalam kategori sedang. Selain ditinjau dari rata-rata skor masing-masing kelompok, perbedaan hasil belajar afektif siswa juga ditinjau dari hasil perhitungan uji-t yang menunjukkan bahwa thitung > ttabel pada taraf signifikansi 5%, yaitu sebesar 6,602 > 1,671.

Hasil belajar ranah afektif yang lebih tinggi setelah siswa dibelajarkan mengunakan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dalam pembelajaran PKn disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama, penggunaan model VCT memberikan kesempatan yang lebih besar bagi siswa untuk mengembangkan nilai, memilih, dan melakukan sesuatu sesuai dengan nilai yang dimilikinya, sehingga siswa mampu mengungkapkan dan mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang telah dipilihnya. Nilai baru yang dipilih oleh siswa adalah nilai yang sesuai dengan nilai yang sudah ada dalam diri siswa, sehingga nilai baru yang dipelajari oleh siswa tidak akan menimbulkan pertentangan dalam dirinya. Pada proses pemerolehan nilai tersebut, siswalah yang memiliki peran aktif untuk memilih, memilah, dan menentukan nilai

(8)

yang dianggapnya sesuai. Oleh sebab itu, model VCT mempengaruhi pembentukan nilai pada anak. Hal ini sesuai dengan pendangan Hall (dalam Adisusilo, 2012:144) yang menjelaskan bahwa “VCT merupakan cara atau proses di mana pendidik membantu peserta didik menemukan sendiri nilai-nilai yang melatarbelakangi sikap, tingkah laku, perbuatan serta pilihan-pilihan penting yang dibuatnya”.

Faktor kedua, model VCT mampu menjadi model pembelajaran afektif yang memberikan pembelajaran nilai untuk mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengambil keputusan-keputusan yang didasarkan pada sistem nilai yang dimilikinya, sehingga permasalahan yang dihadapi mampu terselesaikan dengan pertimbangan yang matang. Untuk mampu membuat keputusan yang matang sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya, siswa harus dilatih untuk menerima dan memutuskan nilai yang dapat diambil dari sebuah permasalahan yang dihadapinya. Permasalahan yang dihadapi oleh siswa akan berpengaruh terhadap nilai-nilai yang sejak dulu telah dimilikinya, sehingga memunculkan adanya respon. Respon tersebut akan menjadi salah satu cara untuk mengkomunikasikan diri dan nilai-nilai yang diyakininya kepada lingkungannya dan mempertimbangkan nilai-nilai baru yang akan diterimanya. Dengan demikian, hal tersebut nantinya akan menjadi proses pembentukan sistem nilai baru pada diri siswa.

Faktor ketiga, VCT sesuai dengan tujuan pembentukan nilai pada anak. Hal ini penting dilakukan karena pendidikan nilai merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan karakter anak. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Elmubarok (2009), yang menyebutkan bahwa dengan adanya pendidikan nilai dan penanaman nilai sejak dini diharapkan dapat membangun kesadaran moral peserta didik yang mengarahkannya untuk mampu membuat pertimbangan secara matang atas prilakunya dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Dengan melihat bahwa nilai memiliki peran penting dalam kehidupan

seseorang, maka penggunaan model VCT dalam pembelajaran akan mempermudah siswa dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai yang dimilikinya menjadi suatu bentuk nyata, yaitu berupa sikap yang lebih baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar ranah afektif siswa. Oleh sebab itu, pembentukan nilai melalui proses pembelajaran dapat menjadi cara yang efektif untuk mengembangkan ranah afektif siswa menjdi lebih baik. Hal yang sama juga terlihat dari hasil penelitian Winata (2010), yang menyebutkan bahwa motivasi berprestasi siswa lebih baik setelah dibelajarkan dengan menggunakan model Teknik Klarifikasi Nilai (TKN).

Faktor keempat, penggunaan model VCT dalam pembelajaran juga membantu siswa untuk mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, meningkatkan kesadaran tentang nilai-nilai yang mereka miliki, dan mendorongnya untuk membentuk sistem nilai mereka sendiri serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan model VCT dalam pembelajaran tidak dapat terlepas dari makna ajaran Tri Kaya Parisudha. Model VCT yang menekankan pada pendidikan nilai dan pembentukan sikap siswa, sejalan dengan konsep ajaran Tri Kaya Parisudha yang juga mengajarkan tentang cara berprilaku yang baik. Ajaran Tri Kaya Parisudha tersebut juga tercermin dalam tingkatan-tingkatan yang ada pada kegiatan pembelajaran dalam model VCT.

Tingkat pertama dalam model VCT adalah tingkat kebebasan dalam memilih. Pada tingkat ini, tercermin ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu ajaran manacika yang artinya berpikir yang baik. Pada proses pembelajaran, siswa diberikan kebebasan untuk memilih nilai yang diinginkannya, sehingga pada tingkat ini siswa dapat berlatih untuk berpikir yang baik melalui proses memilih dan analisis. Kebebasan dalam memilih yang dimaksud adalah bebas dari segala bentuk tekanan. Tekanan yang dimaksud adalah tekanan yang berasal dari luar diri siswa, misalnya lingkungan. Siswa yang merasa memiliki kebebasan dalam memilih nilai kemudian dihadapkan pada berbagai alternatif nilai yang ada di sekitarnya. Berbagai alternatif

(9)

nilai yang dihadapi siswa akan memicu siswa untuk berpikir dan menentukan nilai yang sesuai dengan dirinya sendiri dengan mempertimbangkan konsekuensi yang ada. Inilah tujuan dari tingkat pertama dalam model VCT, yaitu siswa dapat menentukan nilai sesuai pertimbangan dan keyakinannya sendiri, yang pada akhirnya melatih siswa untuk mampu berpikir yang baik dalam mengambil keputusan.

Tingkatan kedua dalam model VCT, yaitu tingkat menghargai. Pada tingkat ini tercermin ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu ajaran wacika yang artinya berkata yang baik. Ajaran ini terlihat saat siswa mampu mengungkapkan nilai yang sudah dipilih dan diyakininya dalam bentuk pendapat yang disampaikannya di depan teman-temannya. Nilai yang dimiliki seseorang haruslah menimbulkan rasa senang dan bahagia sebagai bentuk keyakinannya pada nilai tersebut. Keyakinan tersebut juga berpengaruh pada keberanian orang tersebut untuk mengakui nilai-nilai yang dimilikinya di depan umum. Jika seseorang yakin dengan nilai yang dimilikinya maka dia akan dengan bangga mengakui hal itu di depan orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Hal inilah yang ingin dikembangkan pada anak melalui tingkat menghargai dalam model VCT dan tujuan ajaran wacika dalam Tri Kaya Parisudha, yaitu menumbuhkan rasa bangga atas nilai yang diyakininya dan berani mengungkapkan nilai tersebut melalui perkataan yang baik.

Tingkatan yang ketiga dalam model VCT adalah tingkat bertindak. Pada tingkat ini juga tercermin ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu ajaran kayika yang artinya berbuat yang baik. Bertindak yang dimaksud adalah mampu menunjukkan nilai-nilai yang sudah dipelajarinya dalam bentuk sikap dan perbuatan yang baik. Bertindak berdasarkan nilai yang diyakininya hendaknya dilakukan secara berulang-ulang agar menjadi kebiasaan hidup. Inilah tujuan tingkatan yang ketiga, yaitu siswa dapat menunjukkan nilai yang dimilikinya dalam bentuk sikap yang baik dan mengulanginya sebagai suatu kebiasaan hidup. Sikap yang diharapkan terbentuk dari proses pembelajaran

dengan model VCT adalah sikap-sikap yang baik.

Dengan adanya landasan berupa ajaran Tri Kaya Parisudha dalam penggunaan model VCT, maka selain aspek afektif siswa terbentuk secara emosional tapi juga dapat terbentuk secara spiritual. Hal tersebut sangat penting untuk menyeimbangkan antara perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual dalam siswa. Jika ketiga aspek tersebut dapat berjalan seimbang, maka akan terbentuk pribadi manusia yang lebih baik. Berdasarkan hubungan aspek-aspek tersebut maka dapat dikatakan bahwa kecerdasan, sikap, dan sistem nilai seseorang tidak dapat dipisahkan dari adanya keyakinan.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dalam pembelajaran PKn juga mengalami beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain, (1) siswa yang sudah terbiasa mengikuti pembelajaran hanya sebagai pihak yang pasif akan mengalami kesulitan dan krisis percaya diri saat diminta untuk mengemukakan pendapat, sehingga guru harus sabar dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan agar siswa tidak merasa terintimidasi saat proses pembelajaran, (2) saat mengemukakan pendapat terkadang siswa terlibat pertengkaran dengan temannya yang tidak sependapat, sehingga perlu adanya bimbingan dari guru agar proses pembelajaran tetap kondusif, dan (3) pemahaman siswa tentang pentingnya pembelajaran afektif perlu ditekankan saat pembelajaran. Hal ini agar siswa paham bahwa proses pembelajaran yang dilakukannya bukan hanya untuk mendapatkan nilai raport yang bagus, namun juga untuk membentuk aspek afektif siswa terutama pembentukan sikap anak. Ini penting dilakukan agar siswa tidak menganggap semua pembelajaran hanya berpatokan pada aspek kognitif. Perlu dibangun kesadaran dan keseimbangan antara aspek intelektual, emosional, dan spiritual sejak dini untuk menghindari adanya pengaruh-pengaruh buruk yang dapat merugikan anak dan lingkungannya. Dengan demikian, pendidikan nilai pada

(10)

anak adalah upaya pencegahan dan bekal bagi anak untuk dapat bersikap sesuai dengan sistem nilai yang dipelajarinya.

Faktor kelima, berbeda dengan penggunaan model VCT yang sesuai untuk pembelajaran afektif, penggunaan model pengajaran langsung (direct instruction) dalam proses pembelajaran PKn tidak memberikan perubahan yang signifikan pada hasil belajar ranah afektif siswa. Model pengajaran langsung merupakan model pembelajaran yang lebih banyak menekankan pada aspek pemahaman materi melalui proses ceramah dan latihan soal. Penggunaan model ini kurang tepat untuk peningkatan hasil belajar afektif, karena kegiatan pembelajaran lebih banyak didominasi oleh guru dan hanya sedikit aspek afektif yang dibelajarkan.

Begitu pula pada kegiatan pembelajaran, terlihat sedikit peran siswa untuk menggali kemampuan dan pemahamannya tentang pendidikan nilai dikarenakan pembelajaran lebih terfokus pada penguasaan materi pelajaran. Ranah afektif yang belum mampu dibelajarkan secara seimbang menggunakan model pengajaran langsung berdampak pada rendahnya kesadaran siswa tentang pentingnya sistem nilai sebagai pedoman bersikap dan berprilaku.

Hal tersebut dapat terjadi karena siswa tidak diberikan kesempatan untuk belajar menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan caranya sendiri. Selain itu, siswa juga mengalami kesulitan ketika ingin mengungkapkan nilai yang ada pada dirinya dikarenakan peran guru yang terlalu mendominasi pembelajaran. Pada akhirnya siswa hanya dapat memaknai pembelajaran berdasarkan pemahaman materi yang tidak diimbangi dengan pemahaman nilai dan moral yang terkandung dalam pembelajaran.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar afektif dengan penggunaan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran langsung. Dengan demikian, penggunaan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha memberikan pengaruh terhadap

hasil belajar afektif siswa, yaitu dalam bentuk perubahan sikap yang lebih baik SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengujian data yang diperoleh pada bab IV dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1) Hasil belajar ranah afektif siswa pada kelompok eksperimen yang dibelajarkan menggunakan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha berada pada kategori baik. Hal ini terlihat pada kurve juling negatif yang menggambarkan bahwa Mo>Md>M (124,12>122,16>121), yang artinya sebagian besar skor cenderung tinggi. 2) Hasil belajar ranah afektif siswa pada kelompok kontrol yang dibelajarkan menggunakan model pengajaran langsung (direct instruction) berada pada kategori cukup. Hal ini terlihat pada kurve juling positif yang menggambarkan bahwa Mo<Md<M (106,68<107,95<109,12), yang artinya sebagian besar skor cenderung rendah. 3) Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh thitung sebesar 6,602 dan ttabel (dalam taraf signifikansi 5%) sebesar 1,671. Hal ini berarti thitung lebih besar dari ttabel (thitung > ttabel), sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, terdapat perbedaan hasil belajar ranah afektif siswa kelas V antara kelompok siswa siswa yang dibelajarkan dengan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pengajaran langsung (direct instruction) di SD Gugus III Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2013/2014.

Saran ditujukan kepada beberapa pihak, yaitu: 1) bagi siswa agar menerima pelajaran dengan baik dan meningkatkan hasil belajar khususnya ranah afektif setelah diterapkan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha, 2) bagi guru-guru di sekolah dasar agar dalam mengajar dapat menciptakan suasana yang aktif dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang inovatif dan menekankan pada aspek afektif siswa. Seperti penggunaan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya ranah afektif., 3) bagi sekolah

(11)

agar memastikan kepada guru-guru untuk menerapkan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya ranah afektif. Berdasarkan hasil penelitian, hasil belajar ranah afektif PKn siswa lebih baik setelah dibelajarkan dengan menggunakan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha, dan 4) bagi peneliti lain yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang tentang penggunaan model VCT berlandaskan konsep Tri Kaya Parisudha agar memperhatikan kendala-kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan.

DAFTAR RUJUKAN

Adisusilo. 2012. Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Aptama, Ketut. 2010. Gabungan Model-model Pembelajaran. (Artikel). Tidak diterbitkan.

Degeng, I N.S., 2001. Landasan dan Wawasan Kependidikan. Malang: Lembaga Pengembangan dan Pendidikan (LP3) Universitas Negeri Malang

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidayah. Jakarta

Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Kertawisastra. 11. Una, dkk. 1980. Teknik

Mengklarifikasi Nilai. Jakarta:

Depdikbud.

Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Sudharta, Tjok Rai. 2001. Upadesa tentang

Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Winata, Komang. 2010. Pengaruh Implementasi Teknik Klarifikasi Nilai (TKN) dan Motivasi Berprestasi terhadap Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran PKn pada Siswa Kelas V SD di Gugus 1 Mendoyo Kabupaten Jembrana-Bali. (Tesis). Tidak diterbitkan.

Gambar

Gambar 1. Kurve poligon data hasil belajar  afektif kelompok eksperimen  Berdasarkan  grafik  poligon  pada  Gambar 1, diketahui modus lebih besar dari  median  dan  median  lebih  besar  dari  mean  (Mo&gt;Md&gt;M),  yaitu  124,22&gt;122,16&gt;121
Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Dan mendukung kerjasama antar anggota negara, baik negara dengan negara, pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan organisasi non pemerintah yang bergerak dalam bidang

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari subjek penelitian berdasarkan kuesioner keterlaksanaan pendekatan saintifik pada mata pelajaran IPA

Setelah data aplikasi adobe flash player di klik maka akan muncul kotak instalasi, pada kotak tersebut terdapat pilihan apakah Anda akan mengaktifkan fitur untuk

Selain menggunakan aturan trapezoidal untuk menentukan nilai integral suatu fungsi f(x) antara nilai a ke nilai b, aturan lain yang sering juga digunakan adalah aturan Simpson..

Ancak bura­ ya kadar olan tüm anlattıklarımızdan da kolayca çıkarabileceği­ miz gibi ezoterik öğretilerde Yukarısı deyince fiziksel anlamda “tepemizde” ya da

Pengembangan desa di wilayah kecamatan Jiken menuju Desa Siaga Aktif, perlu upaya fasilitatif non instrutif untuk mendorong masyarakat tahu, sadar, mau dan mampu serta peduli

Samarinda Central Plaza telah menerapkan sistem dan perhitungan pemotongan PPh Pasal 23 Atas Jasa penghasilan yang diterima atau berasal dari Atas Jasa PPh Pasal

Karenanya, dalam tulisan ini akan dikaji tentang konstruksi gender dengan menggunakan konsep discourse yang dirumuskan oleh Foucault dan aplikasinya dalam dunia