• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PROSES ADAPTASI MAHASISWA TERHADAP CULTURE SHOCK. (Studi Deskriptif pada Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar) Disusun dan diusulkan oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI PROSES ADAPTASI MAHASISWA TERHADAP CULTURE SHOCK. (Studi Deskriptif pada Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar) Disusun dan diusulkan oleh"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PROSES ADAPTASI MAHASISWA TERHADAP CULTURE SHOCK (Studi Deskriptif pada Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar)

Disusun dan diusulkan oleh

UMRAH DEA SAHBANI Nomor Stambuk: 105650000315

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

ii Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun dan diusulkan oleh:

UMRAH DEA SAHBANI

Nomor Stambuk: 105650000315

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)

Culture Shock (Studi Deskriptif pada Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar) Nama Mahasiswa : Umrah Dea Sahbani

Nomor Stambuk

1056500003 15

Program Studi : Imu Komunikasi

Menyetujui:

Pembimbing I

Pembimbing II

Wardah S.Sos, M.A

NIDN: 0912088601

Arni, S.Kom, M.I.Kom

NIDN: 0930078204

Mengetahui:

Dekan

Ketua Jurusan

Fisipol Unismuh Makassar

Tlmu Komunikasi

Dr. Hi. Ihvani Malik, S.Sos, M.Si

Dr. H. Muh. Tahir, M.Si

NBM: 730 727

(4)

Universitas Muhammadiyah Makassar, berdasarkan Surat Keputusan/undangan menguji ujian skripsi Dekan Fisip Universitas Muhammadiyah Makassar, dengan Nomor: 0171/FSP/A.3-VIII/IV/42/2021 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S.I.Kom) dalam Program Studi Imu Komunikasi di Makassar pada hari Rabu, 28 April 2021.

TIM PENILAI

Ketua

Sekretaris

Dr. Hi. Thvani Malik,S.Sos., M.Si

DE. Burhanuddin, S,Sos. V,ST

NBM: 730727 NBM: 1084366

Penguji

1. Dr. Amir Muhiddin, M.Si (Ketua)

2. Dra. Diana Rina M, M.Si

3. Ahmad Syarif, S.Sos, M.I.Kom (

4. Arni, S.Kom, M.I.Kom

(5)

v

Nama Mahasiswa : Umrah Dea Sahbani

Nomor Stambuk : 105650000315

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis/dipublikasikan orang lain atau melakukan plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.

Makassar, April 2021

Yang Menyatakan,

(6)

vi Unismuh Makassar)

Perbedaan budaya dapat menimbulkan culture shock pada pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya. Mahasiswa asal Bima menjadi salah satu contoh mahasiswa yang mengalami culture shock sejak memutuskan kuliah di Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi mahasiswa Bima terhadap culture shock di Unismuh Makassar serta hambatan yang diperoleh dalam proses adaptasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder dengan jumlah informan sebanyak 5 orang mahasiswa. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Keabsahan data yang digunakan yaitu triangulasi sumber dan triangulasi waktu.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi yang dialami masing-masing mahasiswa Bima dalam lima fase adaptasi budaya. Perbedaan kondisi sosial budaya mengakibatkan mahasiswa mengalami culture shock di Makassar. Namun mahasiswa memilih bertahan dan menghadapi segala kondisi yang ada, sehingga secara keseluruhan semua mahasiswa mampu beradaptasi di lingkungan budaya baru. Adapun hambatan dalam proses adaptasi mahasiwa Bima berasal dari dalam diri dan lingkungan.

(7)

vii

Pencipta atas segala cinta kasih-Nya yang tak terhingga dan nikmat-Nya yang tak berujung sehingga kita mampu melewati hari-hari yang penuh makna dan memberi kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proses Adaptasi Mahasiswa Terhadap Culture Shock (Studi Deskriptif Pada Mahasiswa Bima di Unismuh Makassar)”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW yang mengantarkan manusia ke zaman yang terang benderang ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dapat terwujud atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang telah tulus memberikan sumbangsih berupa fikiran, motivasi dan nasehat. Untuk semua itu dengan kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Teruntuk orang tua penulis, Bapak Junaedi dan Ibu Tati, terima kasih telah membesarkan dan sabar dalam mendidik penulis dengan penuh cinta serta senantiasa mendukung setiap keputusan penulis serta tak pernah menyerah dalam memotivasi dan selalu mendoakan penulis yang tiada henti-hentinya. Terima kasih untuk ketiga saudara penulis, Umy Dzulhijjah, M. Uyuun Abdil Syawal, M. Uznul Rabiul Awal yang juga selalu menyemangati penulis dalam proses penyusunan penelitian ini.

(8)

viii

1. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Bapak Dr. H. Muh. Tahir, M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Ibu Arni, S.Kom., M.Ikom., selaku Pembimbing I, dan Ibu Wardah, S.Sos., M.A selaku Pembimbing II yang selalu membantu dan mengarahkan penulis ditengah kesibukannya sebagai tenaga pengajar dan kesibukan lainnya. Beliau selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Penghargaan setinggi-tingginya kepada beliau atas dedikasinya sebagai pembimbing yang telah menjadi panutan bagi penulis.

4. Seluruh Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan.

5. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman seperjuanganku sekaligus sahabatku, Z4/8: Sya, Inun, Kebo, Eca, Bale, Binbin, dan Abang Arqo yang selalu memberikan doa dan dukungan serta telah menjadi sahabat yang baik untuk penulis.

(9)

ix

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca guna menambah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan semua orang yang telah hadir dalam hidup penulis.

Billahi Fii Sabililhaq Fastaabiqul Khairat

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Makassar, April 2021 Penulis,

(10)

x

HALAMAN PENGAJUAN SKRIPSI ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN ...iii

PENERIMAAN TIM ...iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ...v

ABSTRAK ...vi

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR GAMBAR ... ..xii

DAFTAR TABEL ... .xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan Penelitian ...5

D. Kegunaan Penelitian ...5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ...7

B. Konsep dan Teori ...8

1. Komunikasi Antarbudaya ...8

2. Adaptasi Budaya ...13

3. Culture Shock ...16

(11)

xi

A. Waktu dan Lokasi Penelitian ...23

B. Jenis dan Tipe Penelitian ...23

C. Sumber Data ...23

D. Informan Penelitian ...24

E. Teknik Pengumpulan Data ...25

F. Teknik Analisis Data ...27

G. Pengabsahan Data...28

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...29

1. Sejarah Pendirian ...29 2. Visi ...31 3. Misi ...33 4. Tujuan ...33 5. Sasaran ...34 6. Kebijakan Strategis ...34 7. Budaya Organisasi ...35 8. Prinsip ...38 9. Struktur Organisasi ...39

10. Profil Fakultas dan Program Studi...40

B. Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ....41

C. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ...73 D. Pembahasan ...78 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...89 B. Saran ...90 DAFTAR PUSTAKA ...92 LAMPIRAN

(12)

xii

(13)

xiii

Terhadap Culture Shock ...45 Tabel 4.2. Fase Honeymoon dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ...48 Tabel 4.3. Fase Frustation dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ...59 Tabel 4.4. Fase Readjustment dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ...67 Tabel 4.5. Fase Resolution dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock ...71 Tabel 4.6. Hambatan Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara kesatuan yang dihuni dengan keanekaragaman serta kekayaan. Ada berbagai suku bangsa, ras, daerah dan kepercayaan. Indonesia juga terdiri dari berbagai adat dan budaya daerah yang tersebar diberbagai wilayah dengan keadaan geografis yang berbeda pula. Keragaman tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak lagi keberadaannya.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk, dimana anggota masyarakat terdiri dari beragam kebudayaan. Keberagaman budaya tersebut menimbulkan perbedaan dalam kelompok masyarakat yang akan lebih mudah dipahami apabila terdapat proses komunikasi di dalamnya. Pola komunikasi yang memungkinkan terjadi dalam proses interaksi tersebut tidak lain ialah komunikasi antarbudaya.

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan (Steward dalam Daryanto, 2016:207). Dalam menjalani proses komunikasi antarbudaya, pihak-pihak yang berkomunikasi dapat mengalami keterkejutan budaya karena perbedaan budaya tersebut. Keterkejutan terhadap suatu budaya dialami seseorang khususnya ketika hidup dalam lingkungan kebudayaan yang baru. Kondisi ini disebut dengan culture

(15)

Istilah culture shock pertama diperkenalkan oleh seorang antropolog Canada bernama Calervo Oberg pada tahun 1960. Culture shock disebut sebagai kondisi yang dialami oleh individu ketika hidup di luar lingkungan kulturnya yang berbeda dari kulturnya sendiri dalam usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Culture shock ditandai dengan adanya perasaan cemas dan perasaan bingung tentang hal-hal yang harus dilakukan serta cara melakukan sesuatu karena seseorang kehilangan tanda dan lambang dalam pergaulan sosial (Ridwan, 2016:197).

Culture shock sering dikaitkan dengan fenomena saat seseorang memasuki

suatu budaya baru yang bukan hanya identik dengan negara asing tetapi bisa pula merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan baru, lingkungan kerja baru bahkan keluarga baru. Culture shock dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kejutan budaya. Keterkejutan terhadap suatu budaya akan dialami oleh individu saat memasuki kehidupan baru dengan suasana, tempat, serta kebiasaan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Hal tersebut merupakan hal yang lazim dikarenakan individu tersebut telah lama hidup disuatu tempat dan telah terbiasa dengan budaya yang ada di tempat asalnya.

Contoh culture shock paling sederhana adalah multikulturalnya mahasiswa pada suatu universitas. Mahasiswa yang ada di setiap universitas tentu berasal dari daerah yang berbeda-beda, baik berasal dari dalam Indonesia maupun luar Indonesia, baik dari dalam daerah maupun luar daerah. Seperti yang terjadi pada salah satu universitas di kota Makassar yaitu Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar). Mahasiswa Unismuh yang tersebar diberbagai

(16)

fakultas berasal dari daerah yang berbeda-beda dan tentunya mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda pula. Salah satu kelompok mahasiswa yang berasal dari luar daerah di Unismuh yaitu mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Mahasiswa aktif asal Bima di Unismuh sendiri hingga tahun 2020 diketahui berjumlah 33 orang. Mahasiswa yang berasal dari Bima menjadi salah satu contoh mahasiswa yang mengalami culture shock sejak memutuskan kuliah dan tinggal di Makassar. Perbedaan budaya antara daerah asal mereka yaitu Bima dengan lingkungan baru mereka yaitu Makassar menyebabkan mereka mengalami culture shock. Hal tersebut tentu saja dapat terjadi dikarenakan setiap daerah memiliki budaya yang berbeda seperti dari segi bahasa keseharian, kebiasaan masyarakat, adat istiadat serta nilai-nilai yang dianut di daerah tersebut.

Pernyataan tentang culture shock yang dialami mahasiswa Bima diperoleh berdasarkan hasil pra penelitian peneliti terhadap beberapa mahasiswa Bima, dimana para mahasiswa adalah orang-orang yang sebelumnya belum pernah berkunjung ke Kota Makassar dan sama sekali belum mengetahui kondisi sosial budaya kota Makassar. Mereka mengungkapkan bahwa mereka mengalami culture shock sejak tahun pertama kuliah. Salah satu mahasiswa Bima angkatan 2018 bernama Rajak mengungkapkan bahwa benturan keadaan sosial budaya yang berbeda secara perlahan mempengaruhi kondisi psikologisnya, baik dari segi bahasa, pergaulan, serta kebiasaan kultural masyarakat kota Makassar.

(17)

Mahasiswa Bima lainnya bernama Yuliana angkatan 2016 mengungkapkan bahwa perbedaan budaya dari segi bahasa, pergaulan, bahkan sampai makanan menjadi faktor yang membuatnya mengalami culture shock. Ia yang sebelumnya sama sekali tidak mengetahui pola-pola budaya di Makassar membuatnya cukup terkejut setelah memutuskan kuliah di Makassar. Baginya, hampir semua yang ia temukan di Makassar adalah hal yang baru. Contoh dalam segi bahasa yaitu penggunaan kata ganti yang umumnya digunakan masyarakat Makassar yang menurutnya membingungkan karena di Bima tidak terdapat hal tersebut, serta dialek dan penggunaan diksi tertentu yang membuatnya terkadang salah dalam menginterpretasikan makna dalam komunikasi.

Timbulnya masalah culture shock tersebut memicu persoalan penyesuaian diri mahasiswa atau yang biasa disebut dengan proses adaptasi. Adaptasi merupakan upaya yang dilakukan setiap individu agar dapat menyatu dengan segala kondisi di lingkungan baru, demikian pula bagi para mahasiswa asal Bima. Setelah memutuskan keluar dari lingkungan hidup yang lama dan masuk ke dalam lingkungan hidup yang baru, maka permasalahan yang berkenaan dengan kondisi sosial budaya di lingkungan baru perlahan-lahan akan bermunculan. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya membutuhkan penyelesaian yang diperoleh melalui proses adaptasi. Adapun proses adaptasi yang dilakukan masing-masing mahasiswa dalam menghadapi culture shock tentunya berbeda-beda.

(18)

Maka berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture shock berdasarkan fase-fase adaptasi budaya serta hambatan apa saja yang ditemukan dalam proses adaptasi tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan dua masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Bagaimana proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture shock? 2. Apa hambatan proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture

shock?

C. TujuanPenelitian

1. Untuk mengetahui proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture

shock.

2. Untuk mengetahui hambatan proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap

culture shock

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis:

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih dalam pengembangan studi ilmu komunikasi khusunya dalam ruang lingkup komunikasi antarbudaya serta dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya.

2. Kegunaan Praktis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman sekaligus gambaran mengenai culture shock yang merupakan gejala sosial yang

(19)

umumnya dialami oleh individu setelah mendiami sebuah wilayah dengan kondisi kultur yang berbeda seperti yang dialami mahasiswa perantau asal Bima serta upaya adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi culture

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

No. Nama Peneliti dan Judul

Penelitian Metode dan Hasil Penelitian Perbedaan

1.

Manap Solihat (2018) “Adaptasi Komunikasi dan Budaya Mahasiswa Asing Program Internasional di Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM Bandung)”

Kualitatif/ Hasil penelitian ini menunjukkan keragaman bangsa, budaya, dan bahasa tidak sepenuhnya membawa permasalahan dalam adaptasi komunikasi para mahasiswa asing. Namun minimnya waktu, intensitas dan sarana untuk interaksi menimbulkan permasalahan komunikasi antarbudaya.

Penelitian ini fokus pada adaptasi komuni- kasi antarbudaya

mahasiswa asing dalam lingkungan belajarnya. Sedangkan peneliti fokus pada proses adaptasi mahasiswa Bima terhadap culture

shock di Makassar.

2. Irvan Ansyori (2015) “Pola Komunikasi Mahasiswa Etnis Minangkabau yang

Mengalami Culture Shock dalam Interaksi Sosial”

Kualitatif/ Hasil penelitian ini menunjukkan mahasiswa mengalami kendala dalam bahasa yang digunakan karena penggunaan bahasa Jawa di lingkungan kampus lebih dominan, perbedaan nilai budaya mengakibatkan rasa canggung untuk berinteraksi dengan budaya setempat dan adanya perbedaan pola-pola perilaku kultural.

Penelitian ini fokus pada pola komunikasi mahasiswa Minangkabau yang mengalami culture shock di Surakarta. Sedangkan peneliti fokus pada proses adaptasi mahasiswa Bima yang mengalami

culture shock.

3. Oktolina Simatupang, Lusiana A. Lubis dan Haris Wijaya (2015)

“Gaya Berkomunikasi dan Adaptasi Budaya

Mahasiswa Batak di Yogyakarta”

Kualitatif/ Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar informan berbicara lugas dan eksplisit. Hal ini menunjukkan gaya komunikasi mereka cenderung komunikasi konteks rendah. Secara keseluruhan subjek dapat berinteraksi dengan baik di Yogyakarta. Keterbukaan dan kesediaan mereka untuk beradaptasi dengan budaya baru menolong mereka untuk bisa merasa nyaman di lingkungan baru.

Penelitian ini fokus pada gaya berkomunikasi mahasiswa Batak dalam beradaptasi di

Yogyakarta. Sedangkan peneliti fokus pada proses adaptasi

mahasiswa Bima yang mengalami culture

(21)

B. Konsep dan Teori

1. Komunikasi antarbudaya 1.1. Komunikasi antarbudaya

Pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata, tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus dicatat bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi” (William B.Hart II dalam Liliweri, 2011:8).

Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya bersangkutan (Mulyana dalam Lubis, 2015:319).

Pakar komunikasi mendefinisikan komunikasi antarbudaya dalam banyak perspektif. Samovar dan Porter memberi pengertian komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar, 2014:13).

Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa mendefinisikan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Liliweri,

(22)

2018:653). Rogers dan Steinfart mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai pertukaran informasi antara individu yang berbeda secara budaya (Priandono, 2016:58).

Definisi lain yaitu menurut Stewart (Daryanto, 2016:207), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan.

Pernyataan lain mengenai komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu (Liliweri, 2011:9).

Berdasarkan beberapa definisi komunikasi antarbudaya di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah proses komunikasi yang menekankan pada perbedaan latar belakang budaya pada pelaku komunikasinya disebut sebagai komunikasi antarbudaya.

1.2. Hakikat komunikasi antarbudaya a) Enkulturasi

Proses individu-individu memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia tersebut. Melalui proses sosial dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat dalam Putri, 2015:43).

(23)

b) Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hulangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat dalam Putri, 2015:44).

Akibat kontak kebudayaan atau peristiwa akulturasi, sering terjadi perubahan dan perkembangan budaya pada masyarakat setempat, yang prosesnya dapat menimbulkan sejumlah masalah baik yang positif maupun negatif. Akibat akulturasi tersebut salah satunya adalah peristiwa dekulturasi.

Dekulturasi adalah tumbuhnya unsur kebudayaan yang baru untuk memenuhi kebutuhan baru, yang timbul karena perubahan situasi (Kodiran dalam Susetyo, 2010:5)

1.3. Elemen-elemen dalam komunikasi antarbudaya

Menurut Samovar & Porter dalam (Hajriadi, 2017:18), terdapat tiga elemen penting dalam komunikasi antarbudaya, ketiga elemen tersebut yaitu: a) Persepsi

Persepsi adalah dimana individu menyeleksi, mengevaluasi, dan merangkai stimuli dari luar diri individu. Adapun persepsi kultural dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai dan sistem yang mengatur individu.

(24)

b) Proses verbal

Proses verbal mengarah kepada bagaimana kita berbicara kepada orang lain melalui kata-kata dan juga proses berfikir dalam diri (komunikasi interpersonal).

c) Proses non-verbal

Proses nonverbal mengarah pada pengguna tanda-tanda nonverbal seperti bahasa tubuh, nada suara, ekspresi dan jarak fisik ketika berkomunikasi. Tanda-tanda komunikasi non-verbal berbeda maknanya sesuai dengan budaya yang berbeda melatarbelakanginya.

1.4. Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya

L.M Barna dalam Moulita (2018:36) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor penghambat komunikasi antarbudaya diantaranya yaitu:

a) Andaian kesamaan

Kesalahpahaman dapat muncul karena kita sering berpikir bahwa ada kesamaan di antara setiap manusia di seluruh dunia yang dapat membuat proses berkomunikasi menjadi mudah. Padahal kenyataannya, bentuk-bentuk adaptasi terhadap kebutuhan baik biologis maupun sosial serta nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap di sekeliling kita adalah sangat berbeda antara budaya satu dengan yang lain. Oleh karena tidak adanya satu tolak ukur yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pemahaman tersebut, maka sebaiknya setiap pertemuan antarbudaya kita perlakukan secara khusus dengan cara mencari tahu perihal apa saja yang berhubung kait dengan makna-makna persepsi dan komunikasi yang dipegang oleh kelompok budaya yang kita hadapi.

(25)

b) Perbedaan bahasa

Permasalahan dalam penggunaan bahasa adalah apabila seseorang hanya memperhatikan satu makna saja dari satu kata atau frasa yang ada pada bahasa baru, tanpa mempedulikan konotasi atau konteksnya.

c) Kesalahan interpretasi nonverbal

Orang-orang dari budaya yang berbeda mendiami realitas sensori yang berbeda pula. Mereka melihat, mendengar, dan merasakan hanya pada apa yang dianggap bermakna bagi mereka.

d) Stereotip dan prasangka

Stereotip merupakan penghalang dalam komunikasi sebab dapat mempengaruhi cara pandang yang objektif terhadap suatu stimulus. Stereotip muncul karena ia telah ditanamkan dengan kuat sebagai mitos atau kebenaran sejati oleh kebudayaan seseorang dan terkadang merasionalkan prasangka. e) Kecenderungan untuk menghakimi/menilai

Faktor penghalang lainnya untuk memahami orang-orang yang berbeda budaya adalah kecenderungan untuk menghakimi, untuk menerima, atau menolak pernyataan dan tindakan dari orang atau kelompok lain, sebelum memahami pikiran dan perasaan yang disampaikan oleh orang itu sesuai sudut pandangnya.

f) Kecemasan Tinggi

Seseorang dapat disebut cakap dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya apabila seseorang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada,

(26)

termasuk rasa khawatir atau cemas ketika berinteraksi dengan individu dari budaya yang berbeda.

2. Adaptasi budaya

Setiap individu yang hidup dalam lingkungan baru akan melalui masa penyesuaian diri yang disebut dengan adaptasi. Adaptasi yang dimaksud yakni upaya penyesuaian diri terhadap lingkungan termasuk budaya yang ada di dalamnya. Menurut Kim (Lubis, 2015:321), adaptasi budaya adalah proses jangka panjang menyesuaikan diri dan akhirnya merasa nyaman dengan lingkungan baru. Setiap orang asing di lingkungan yang baru harus menanggapi setiap tantangan untuk mencari cara agar dapat menjalankan fungsi di lingkungan yang baru tersebut. Maka dari itu adaptasi merupakan proses mengalami tekanan, penyesuaian diri dan perkembangan.

Ruben dan Steward (dalam Oriza, 2016:2379) mengungkapkan, ketika seseorang jauh dari rumah, jauh dari tempat yang selama ini dianggap “rumah”, jauh dari lingkungan tempat ia tumbuh besar, dan jauh dari kebiasaan-kebiasaan yang selalu ia lakukan, orang tersebut mau tidak mau akan sadar atau tidak akan mempelajari hal-hal yang baru untuk bisa bertahan hidup. Ketika seseorang jauh dari zona nyamannya untuk waktu yang lama, contohnya kuliah maka akan terjadi transfer nilai yang biasa kita sebut dengan adaptasi budaya.

Young Y. Kim (dalam Oriza, 2016:2380) menguraikan dan menggambarkan langkah-langkah dalam proses pengadaptasian sebuah budaya, yakni terdapat empat fase ditambah dengan fase perencanaan.

(27)

1. Fase perencanaan

Fase perencanaan adalah fase dimana seseorang masih berada pada kondisi asalnya dan menyiapkan segala sesuatu mulai dari ketahanan fisik sampai kepada mental, termasuk kemampuan komunikasi yang dimiliki untuk dipersiapkan, yang nantinya digunakan pada kehidupan barunya.

2. Fase honeymoon

Fase ini adalah ketika seseorang telah berada di lingkungan baru, menyesuaikan diri dengan budaya dan lingkungannya. Tahap ini adalah tahap dimana seseorang masih memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi serta menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani. Individu tersebut mungkin akan merasa asing, rindu rumah dan merasa sendiri namun masih terlena dengan keramahan penduduk lokal terhadap orang asing.

3. Fase frustation

Fase ini adalah tahap dimana rasa semangat dan penasaran yang menggebu-gebu tersebut berubah menjadi rasa frustasi, jengkel dan tidak mampu berbuat apa-apa karena realita yang sebenarnya tidak sesuai dengan ekspetasi yang dimiliki pada awal tahapan.

4. Fase readjustment

Tahap ini adalah tahap penyesuaian kembali, dimana seseorang akan mulai mengembangkan berbagai cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang ada. Seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di fase frustation. Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian ulang dari seseorang untuk mencari cara, seperti mempelajari bahasa, dan budaya setempat.

(28)

5. Fase resolution

Fase yang terakhir berupa jalan akhir yang diambil seseorang sebagai jalan keluar dari ketidaknyamanan yang dirasakan. Dalam tahap ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan pilihan oleh orang tersebut, seperti:

a) Flight, yaitu ketika seseorang tidak tahan dengan lingkungannya dan merasa tidak dapat melakukan usaha untuk beradaptasi yang lebih dari apa yang telah dia lakukan.

b) Fight, yaitu orang yang masuk pada lingkungan dan kebudayaan baru dan dia sebenarnya merasa tidak nyaman, namun ia berusaha untuk tetap bertahan dan berusaha menghadapi segala hal yang membuat dia merasa tidak nyaman.

c) Accomodation, yaitu tahapan dimana seseorang mencoba untuk menikmati apa yang ada di lingkungannya yang baru, awalnya mungkin orang tersebut merasa tidak nyaman, namun dia sadar bahwa memasuki budaya baru memang akan menimbulkan sedikit ketegangan, maka dia pun berusaha berkompromi dengan keadaan, baik eksternal maupun internal dirinya.

d) Full participation, yaitu ketika seseorang sudah mulai merasa nyaman dengan lingkungan dan budaya barunya. Tidak ada lagi rasa khawatir, cemas, ketidaknyamanan, dan bisa mengatasi rasa frustasi yang dialami dahulu.

(29)

3. Culture shock 3.1. Culture shock

Pada akhir tahun 1960, Kalervo Oberg memperkenalkan istilah culture

shock untuk pertama kalinya, yaitu kondisi yang dialami oleh individu ketika

hidup di luar lingkungan kulturnya yang berbeda dari kulturnya sendiri dalam usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Culture shock ditandai dengan adanya perasaan cemas pada seseorang, serta timbulnya perasaan bingung tentang hal-hal yang harus dilakukan serta cara melakukan sesuatu karena ia kehilangan tanda dan lambang dalam pergaulan sosial (Ridwan, 2016:197).

Mulyana dan Rakhmat menjelaskan bahwa pada dasarnya culture shock adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami (Rachma, 2016:24).

Sementara Furnham dan Bochner mengatakan bahwa culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaaan sosial kultur baru maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan perilaku di lingkungan baru tersebut (Hajriadi, 2017:21).

Culture shock merupakan dinamika dalam proses adaptasi lintas budaya

yang dapat mempengaruhi komunikasi dan perilaku orang yang mengalaminya. Berada di tengah perbedaan budaya bisa membuat perasaan salah tingkah sehingga interaksi dan komunikasi menjadi tidak efektif (Shoelhi, 2015:25)

(30)

Deddy Mulyana (2015:247) mengungkapkan bahwa meskipun culture

shock sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya (yang identik

dengan negara) asing. Lingkungan budaya baru yang dimaksud bisa merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan baru, lingkungan kerja baru, atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat perkawinan.

Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Deddy Mulyana dalam Putri, 2015:47)

Samovar dan Daniel dalam (Putri, 2015:47) mengungkapkan bahwa reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:

a. Antagonis/memusuhi terhadap lingkungan baru. b. Rasa kehilangan arah dan penolakan.

c. Homesick/rindu pada rumah/lingkungan lama. d. Rindu pada teman dan keluarga.

e. Merasa kehilangan status dan pengaruh. f. Menarik diri.

g. Kehilangan kepercayaan diri.

(31)

3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock

Menurut pendapat Parrillo dalam (Ridwan, 2016:210), beberapa faktor yang mempengaruhi culture shock, yaitu sebagai berikut.

a) Faktor pergaulan

Individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan pergaulan di setiap tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikannya merasa canggung dalam menghadapi situasi, tempat tinggal, dan suasana yang baru. Ia akan merasa terasing dengan orang-orang di sekelilingnya.

b) Faktor teknologi

Teknologi juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya masalah culture shock. Individu merasa takut tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi di tempat tinggal barunya sehingga cenderung akan merasakan ketakutan. Untuk itu, ia dituntut berpikir keras mengikuti perkembangan teknologi serta mampu mengaplikasikannya dalam kehidupannya.

c) Faktor geografis

Faktor geografis identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut, misalnya perbedaan cuaca, perbedaan letak wilayah, seperti daerah pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan kesehatan.

(32)

d) Faktor bahasa keseharian

Bahasa merupakan cermin dari sebuah kebudayaan yang beradab. Individu yang mengalami culture shock sering menganggap faktor bahasa sebagai salah satu ketakutan yang cukup besar ketika akan menetap di tempat yang baru. e) Faktor ekonomi

Ketakutan terhadap biaya hidup yang lebih tinggi merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya culture shock. Apalagi jika ia berasal dari daerah atau tempat yang tingkat ekonominya lebih rendah daripada tempat barunya. Untuk itu, ia akan berusaha keras untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar agar mampu bertahan hidup di tempat yang baru.

f) Faktor adat istiadat

Beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukan hal yang mudah bagi seorang pendatang karena individu cenderung mengalami kekagetan budaya, terutama dalam hal adat istiadat.

g) Faktor agama

Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru. Individu mengalami ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat rentan dan tidak dapat disatukan dengan mudah.

(33)

C. Kerangka Pikir

D. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada bagaimana proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture shock berdasarkan fase adaptasi budaya serta hambatan yang diperoleh mahasiswa asal Bima dalam proses adaptasi.

E. Deskripsi Fokus Penelitian 1. Proses adaptasi

Proses adaptasi adalah proses penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan dan budaya baru. Tahapan adaptasi terdiri dari beberapa fase yaitu: - Fase perencanaan, adalah fase awal sebelum individu masuk ke

lingkungan baru dimana individu mempersiapkan segala sesuatu yang dianggap perlu di lingkungan baru baik dari segi fisik maupun mental.

Proses Adaptasi Mahasiswa Bima terhadap

culture shock di Unismuh Makassar

Hambatan proses adaptasi mahasiswa Bima terhadap culture

shock

Proses adaptasi mahasiswa Bima terhadap culture shock: “Fase adaptasi

budaya: Young Y. Kim (Oriza, 2016:2380):

1. Fase perencanaan 4. Fase readjustment 2. Fase honeymoon 5. Fase resolution 3. Fase frustation

(34)

- Fase honeymoon, adalah ketika individu telah berada di lingkungan baru. Fase ini menjadi tahap awal dari proses adaptasi terhadap budaya dan lingkungan baru dimana individu masih memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi terhadap lingkungan barunya.

- Fase frustation, adalah fase dimana individu mulai menemukan berbagai masalah di lingkungannya sehingga rasa semangat perlahan menurun karena individu mulai menyadari realita yang sebenarnya. Fase ini merujuk pada gejala culture shock yang dialami individu.

- Fase readjustment, adalah fase dimana individu mulai berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan setelah sebelumnya mengalami fase

frustation. Individu mulai berusaha untuk menyelesaikan masalah yang

ada demi bertahan di lingkungan baru.

- Fase resolution, adalah fase akhir dari proses adaptasi dimana individu menentukan pilihan sebagai jalan keluar dalam upaya penyesuaian dirinya terhadap lingkungan baru. Pada fase ini individu diantaranya akan memilih untuk menerima dan bertahan dengan lingkungan budaya baru atau tetap bertahan pada budaya tempat asalnya.

2. Culture shock

Culture shock adalah kondisi yang dialami oleh seseorang ketika

memasuki atau hidup di lingkungan baru dengan latar budaya/kultur yang berbeda dari kultur tempat ia berasal atau tempat dimana ia tinggal sebelumnya. Culture shock dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor pergaulan, teknologi, geografis, bahasa, ekonomi, adat istiadat, dan agama.

(35)

3. Mahasiswa Bima

Mahasiswa Bima adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu yang dibutuhkan oleh peneliti untuk meneliti yaitu dua bulan (September-November 2020) dengan lokasi penelitian yaitu di lingkungan Universitas Muhammadiyah Makassar yang terletak di jalan Sultan Alauddin No. 259, Kelurahan Gunung Sari, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar. B. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapat pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan (Ruslan, 2010:215). Adapun tipe penelitian yang digunakan yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Nawawi dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Ardial, 2015:262).

C. Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini terbagi atas dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.

1) Sumber primer

Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2018:225). Adapun sumber data primer

(37)

2) Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2018:225). Data sekunder diperoleh dari literatur, baik buku-buku, foto, autobiografi, maupun referensi yang terkait dengan penelitian ini.

D. Informan Penelitian

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan salah satu teknik

sampling non-probabilitas (non acak), yaitu purposive sampling. Purposive

sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan

tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan (Sugiyono, 2018:218).

Peneliti menggunakan teknik ini untuk menentukan informan utama berdasarkan karakteristik yang ditentukan peneliti sesuai kebutuhan penelitian. Maka, mahasiswa yang akan dijadikan sebagai informan utama adalah mahasiswa dengan kriteria:

- Mahasiswa aktif Unismuh Makassar yang berasal dari Kabupaten Bima (lahir dan besar di Kabupaten Bima)

- Telah tinggal dan kuliah di Makassar minimal dalam kurun waktu satu tahun.

(38)

Adapun alasan peneliti memilih mahasiswa Bima sebagai informan karena adanya perbedaan karakter dari masing-masing mahasiswa yang berasal dari Bima dalam proses adaptasinya. Maka dari itu peneliti telah memilih 5 (lima) orang informan utama yang sesuai dengan kriteria di atas.

Tabel 4.1. Data Mahasiswa Bima yang Menjadi Informan Utama

No. Nama

Mahasiswa Fakultas Prodi/Angkatan

Lama Menetap 1. Yuyun

Anggriani Agama Islam

Hukum Ekonomi

Syariah/2018 2 tahun

2. Yulianah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ilmu Komunikasi/2016 4 tahun 3. Uswatun Hasanah Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pendidikan Matematika/2016 4 tahun

4. A. Rajak Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Ilmu

Pemerintahan/2018 2 tahun

5. Jumriati Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Pendidikan Bahasa

Inggris/2018 2 tahun

E. Teknik Pengumpulan Data 1) Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana dalam Hajriadi, 2017:29). Wawancara yang dilakukan peneliti yaitu wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.

(39)

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, jika peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh (Sugiyono, 2018:138). Peneliti melakukan wawancara terstruktur dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas, peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data (Sugiyono, 2018:140). Peneliti juga menggunakan wawancara tidak terstruktur untuk menciptakan situasi yang lebih nyaman bagi informan dalam memperoleh data tambahan dan lebih lengkap terkait identifikasi masalah.

2) Observasi

Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat, lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Observasi adalah pengamatan secara langsung yang melibatkan semua indera (Sinarti, 2017:37).

3) Dokumentasi

Dokumentasi bertujuan memperkuat gambaran lapangan bagi penelitian. Dokumentasi dapat menjadi bukti otentik tentang keabsahan penelitian yang dilakukan. Dokumentasi dapat berupa pengambilan gambar atapun video lapangan (Hajriadi, 2017:30).

(40)

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermanyang dikutip dari (Sugiyono, 2018:247), yaitu sebagai berikut: 1) Data reduction (reduksi data)

Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2) Dispaly data (penyajian data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

3) Conclution drawing (penarikan kesimpulan/verifikasi)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang

(41)

dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

G. Pengabsahan Data

Uji validasi data atau pengabsahan data penelitian ini melalui pendekatan analisis Triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu (Sugiyono, 2018:273).

Pengabsahan data pada penelitian ini menggunakan dua jenis triangulasi yaitu triangulasi sumber dan waktu. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, seperti buku dan referensi lainnya. Sedangkan triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.

(42)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Sejarah Pendirian

Universitas Muhammadiyah Makassar didirikan pada tanggal 19 Juni 1963 sebagai cabang dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pendirian Perguruan Tinggi ini adalah sebagai realisasi dari hasil Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara ke-23 di Kabupaten Bantaeng.

Pendirian tersebut didukung oleh Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran dakwah amal ma’ruf nahi munkar, lewat surat Nomor: E-6/098/1963 tertanggal 22 Jumadil Akhir 1394 H/12 Juli 1963 M. Kemudian akte pendiriannya dibuat oleh notaries R. Sinojo Wongsowidjojo berdasarkan akta notaris Nomor: 71 Tanggal 19 Juni 1963. Universitas Muhammadiyah Makassar dinyatakan sebagai Perguruan Tinggi Swasta terdaftar sejak 1 Oktober 1965. Selanjutnya diperbaharui melalui Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor: 503/KPT/I/2018 tentang perubahan Badan Penyelenggara Universitas Muhammadiyah Makassar di Kota Makassar dari Yayasan Perguruan Tinggi Muhammadiyah menjadi Persyarikatan Muhammadiyah.

Universitas Muhammadiyah Makassar saat ini dipimpin oleh Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, SE, MM. Adapun nama-nama mantan rektor Universitas Muhammadiyah Makassar sejak terdaftar sebagai perguruan tinggi

(43)

swasta sebagai berikut: 1) Drs. H. Abdul Watif Masri (Alm); 2) Drs. Tajuddin Baso Nur (Alm); 3) Prof. H. Fachruddin Ambo Enre (Alm); 4) Drs. H. Mahmud Lantana Fahry (Alm); 5) KH. Djamaluddin Amin (Alm); 6) Prof. Dr. Abd. Rahman Rahim (Alm); 7) KH. Makmur Ali (Alm); 8) Prof. Dr. H. Ambo Enre Abdullah (Alm); 9) Prof. Dr. H. Irwan Akib, M.Pd.

Awal berdirinya perguruan tinggi ini, membuka dua fakultas yaitu Fakultas Pendidikan dan Perguruan (menggunakan kurikulum yang sama dengan IKIP Makassar) dan Fakultas Tarbiyah (menggunakan kurikulum yang sama dengan IAIN Alauddin Makassar). kedua fakultas yang ada terus dikembangkan yaitu dengan membuka cabang di beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Cabang untuk FKIP berada di Kabupaten Bone, Bulukumba, Sidrap, Enrekang dan Pare-Pare. Semua cabang tersebut saat ini telah berdiri sendiri sebagai Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), kecuali Pare-Pare yang telah berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Pare-Pare (UMPAR). Sementara untuk cabang Fakultas Tarbiyah yang dibuka di kabupaten Jeneponto, Sinjai, Enrekang, Maros dan Pangkep telah berdiri sendiri. Tiga tahun setelah berdiri Universitas Muhammadiyah Makassar membuka 4 fakultas baru pada tahun 1965 yaitu: 1) Fakultas Ilmu Agama dan Da’wah (FIAD); 2) Fakultas Ekonomi (Fekon); 3) Fakultas Sosial Politik; 4) Akademi Pertanian. Selanjutnya pada tahun 1987 dibuka Fakultas Teknik, tahun 1994 dibuka Fakultas Pertanian, tahun 2002 dibuka program pasca sarjana, dan tahun 2008 dibuka Fakultas Kedokteran.

(44)

Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) ini mengemban tugas dan peran yang sangat besar bagi agama, bangsa, dan negara, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Sebagai salah satu PTM di kawasan Indonesia Timur padanya tertanam kultur pendidikan yang diwariskan sebagai amal usaha Muhammadiyah. Universitas Muhammadiyah Makassar kini memiliki potensi yang signifikan, modal yang cukup, dan akses yang luas. Modal yang cukup, tergambar pada upaya mendorong tumbuhnya dana abadi peningktana aset, dan akses yang luas dibuktikan dengan semakin kuatnya jaringan internal antara PTM dan Pimpinan Pesyarikatan Muhammadiyah dari semua tingkatan mulai dari ranting, sampai Pimpinan Pusat. Perluasan kerja sama eksternal, baik kepada instansi pendidikan, birokrasi, ekonomi, maupun sosial kemasyarkatan, baik di dalam maupun di luar negeri.

2. Visi

Pernyataan visi Universitas Muhammadiyah Makassar adalah sebagai berikut. “Menjadi Perguruan Tinggi Islam Terkemuka, Unggul, Terpercaya dan Mandiri pada Tahun 2024”.

Pernyataan visi tersebut mengandung makna bahwa:

Perguruan Tinggi Islam dimaknai sebagai amal usaha Muhammadiyah yang bergerak di bidang dakwan dan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, Universitas Muhammadiyah sebagai lembaga pendidikan tinggi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni senantiasa berorientasi pada pengembangan nilai-nilai islam dalam bingkai Negara

(45)

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Terpercaya dimaknai bahwa Universitas Muhammadiyah Makassar selalu berusaha memelihara citra Muhammadiyah khususnya di bidang pendidikan yaitu menunaikan amanah masyarakat dalam penyelenggaraan Catur Dhrma Perguruan Tinggi Muhammadiyah sehingga Universitas Muhammadiyah Makassar menjadi pilihan utama masyarakat.

Unggul memiliki makna substansif yang bernilai kompetitif tinggi. Keunggulan Universitas Muhammadiyah Makassar akan dibangun melalui kegiatan-kegiatan akademik yang bersifat substansial yang dapat dikompetisikan, baik dalam ranah nasional maupun internasional. Keunggulan yang dikembangkan menagarh kepada enam bidang keunggulan yaitu; 1) Pendidikan, 2) Penelitian, 3) Pengabdian kepada masyarakat, 4) Kemahasiswaan, 5) Kelembagaan, 6) Al Islam Kemuhammadiyahan. Masing-masing bidang didorong untuk memiliki keunggulan spesifik sehingga mempunyai nilai kompetitif yang tinggi.

Mandiri dimaknai sebagai universitas yang mampu mengelola dan mengembangkan dirinya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh sivitas akademika, alumni, masyarakat, bangsa, dan negara.

Terkemuka memiliki makna sebagai cita-cita mulai yang terencana dan terarah untuk (1) memelihara kepercayaan sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Makassar, alumni, dan tempat yang tepat untuk: menuntut ilmu, mengembangkan, dan menyebarluaskan, sekaligus sebagai tempat

(46)

mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT. (2) meraih keunggulan dalam proses pelaksanaan Catur Dharma Perguruan Tinggi Muhammadiyah, dan (3) mewujudkan kemandirian dalam pengelolaan dan pengembangan diri, serta mampu mensejahterakan seluruh sivitas akademika Universitas Muhammadiyah mensejahterakan seluruh sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Makassar, alumni, masyarakat, bangsa, dan negara.

3. Misi

Misi yang diemban dalam proses penyelenggaraan pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Makassar, yakni:

a. Menyelenggarakan proses pendidikan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.

b. Menyelenggarakan dan mengembangkan proses pembelajaran yang kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan.

c. Menumbuhkembangkan dan menyebarluaskan penelitian yang inovatif, unggul, dan berdaya saing.

d. Menumbuhkembangkan kewirausahaan berbasis kemitraan dan ukhuwah.

e. Meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sivitas akademika, alumni dan masyarakat.

4. Tujuan

Mengacu pada visi dan misi di atas, maka tujuan Universitas Muhammadiyah Makassar dirumuskan sebagai berikut:

(47)

a. Menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cakap, profesional, bertanggung jawab dan mandiri.

b. Meningkatnya mutu proses dan hasil pembelajaran yang bermuara pada kualitas lulusan.

c. Meningkatnya kuantitas dan kualitas hasil penelitian.

d. Terwujudnya unit-unit usaha yang berbasis ekenomi syariah.

e. Meningkatnya kuantitas dan kualitas pengabdian dan pelayanan pada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

5. Sasaran

Sasaran, indikator, target, dan strategi pencapaiannya dikelompokkan dalam lima bidang yaitu: (1) Bidang Kelembagaan, (2) Bidang Akademik, (3) Bidang SDM, Keuangan dan Administrasi, (4) Bidang Kemahasiswaan dan alumni, dan (5) Bidang Kaderisasi, Pembinaan Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) dan Kerjasama.

6. Kebijakan Strategis

Kebijakan strategis dirumuskan sebagai berikut:

a. Peningkatan akhlaqul karimah (Pendidikan Karakter) dengan pengembangan kehidupan kampus yan islami yang ditandai dengan sikap, pandangan, tata kehidupan masyarakat kampus.

b. Peningkatan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan terprogram melalui pengembangan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, kerjasama, dan Al Islam Kemuhammadiyahaan.

(48)

c. Peningkatan prasarana dan sarana dengan mempertimbangkan urgensi dan asas manfaat.

d. Peningkatan kualitas caturdarma melalui penguatan lembaga penjaminan mutu dengan mekanisme PDCA (Plan, Do, Chek, and

Action).

e. Mengoptimalkan pelaksanaan caturdarma sebagai pencitraan akademik dan ciri khas perguruan tinggi Muhammadiyah.

f. Optimalisasi pengembangan teknologi sistem informasi yang menunjang pengembangan perguruan tinggi, dan pengendalian mutu. g. Membangun kerjasama internal dan eksternal dengan PT lain dan

stakeholder.

7. Budaya organisasi a) Integritas

Integritas (Integrity) yang dimaksud adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai yang diterapkan dalam organisasi yang menjadi menjadi gambaran keseluruhan pribadi anggota organisasi. Nilai integirtas ibarat “nyawa” dari organisasi, karena itu nilai ini menjadi yang pertama dan utama yang harus dimiliki, dihayati, dan diamalkan oleh setipa sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Makassar yang terwujud dalam sikap: jujur, beretika, bertanggung jawab, adil, bermartabat, dan dapat dipercaya, satu kata dan tindakan, mempunyai rasa memiliki dan amanah terhadap perguruan, menjaga kepatuhan dan nama baik institusi,

(49)

menghargai pihak yang telah berjasa kepada Universitas Muhammadiyah Makassar.

Integrity disempurnakan berdasarkan pandangan Islam yang diukur dari aqidah yanng bersih, ibadah yang benar, akhlak yang kokoh, kekuatan jasmani, berwawasan luas, melawan hawa nafsu negatif, pandai menjaga waktu, teratur dalam segala urusan, mandiri, dan bermanfaat untuk orang lain.

Integritas diperjelas dalam Al-Quran An-Nahl ayat 91-92, artinya: “Dan

tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu

membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu

telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).

Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu

seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal

dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah

(perjanjian)mu sebagai alat penipu si antaramu, disebabkan adanya satu

golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.

Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di

hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu

perselisihkan itu. (An0Nahl: 91-92).

b) Profesional

Profesional yang dimaksud adalah semua pegawai dan dosen Universitas Muhammadiyah Makassar memiliki kemampuan yang tinggi, keterampilan dan keahlian dalam menjalankan profesi/pekerjaan sesuai dengan keahliannya.

(50)

Profesional yang harus dimiliki pegawai Universitas Muhammadiyah Makassar adalah:

1. Skill yang artinya pegawai tersebut harus benar-benar ashli di bidangnya.

2. Knowledge yang artinya orang tersebut harus dapat menguasai minimalnya berwawasan mengenai ilmu yang berkaitan dengan bidangnya.

3. Attitude yang artinya bukan hanya pintar, akan tapi harus memiliki etika yang diterapkan di dalam bidangnya.

Ciri pegawai yang profesionalis:

1. Memiliki kemampuan dan pengetahuan yang tinggi. 2. Memiliki kode etik.

3. Memiliki tanggung jawab profesi serta integritas yang tinggi. 4. Memiliki jiwa pengabdian kepada masyarakat.

5. Memiliki kemampuan yang baik dalam perencanaan program kerja. 6. Menjadi anggota organisasi dari profesinya.

c) Enterpreneurship

Enterpreneurship yang dimaksud adalah sesuatu yang ada dalam diri yang

memberikan dorongan semangat dan membuat kita selalu bergerak ke depan, ingin memiliki masa depan yang lebih baik. Inilah inti sari enterpreneurship yaitu melakukan inovasi terus menerus, mandiri, visioner, kreatif, realistis, berani mengambil resiko, pantang menyerah, dan mandiri.

(51)

8. Prinsip

Prinsip untuk menunjang budaya organisasi dibingkai dengan prinsip: “Sipakainge, Sipakalebbi, Sipakatau”

“Malilu Sipakainge” “Mali Siparappe” “Rebba Sipatokkong”

“Resofa temmanginggi Namalolomo Naletei Fammasena Dewatae” 9. Struktur Organisasi

Struktur organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar mengacu pada peraturan yang berlaku secara umum bagi perguruan tinggi di Indonesia, dan disesuaikan dengan ketentuan khusus bagi perguruan tinggi Muhammadiyah. Bagan struktur organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar digambarkan sebagai berikut.

(52)

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Universitas Muhammadiyah Makassar.

(53)

10. Profil fakultas dan program studi

Gambar 4.2. Profil fakultas dan program studi Unismuh Makassar.

(54)

B. Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock

Individu yang hidup dalam lingkungan baru akan melalui proses penyesuaian diri atau disebut dengan adaptasi. Namun ketika seseorang hidup pada lingkungan baru dengan kondisi kebudayaan yang berbeda dari lingkungan asalnya, tak jarang akan menimbulkan situasi dimana seseorang merasa tidak mampu untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan perilaku yang ada di lingkungan baru tersebut. Hal tersebut dikenal dengan istilah culture shock. Adapun culture shock yang dialami individu umumnya terjadi dalam masa transisi penyesuaian diri di lingkungan baru.

Mahasiswa asal Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Universitas Muhammadiyah Makassar merupakan contoh kelompok individu yang mengalami culture shock setelah memutuskan merantau dan kuliah di Makassar. Maka dari itu proses penyesuaian diri menjadi upaya penting bagi mereka agar dapat menyatu dengan segala kondisi di lingkungan baru mereka yakni di Makassar, termasuk dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyebabkan mereka mengalami culture shock.

Hasil penelitian ini menjelaskan tentang proses adaptasi mahasiswa asal Bima terhadap culture shock yang mereka alami dengan mengacu pada empat fase adaptasi budaya ditambah dengan satu fase (fase perencanaan) yang dikemukakan oleh Young Y. Kim (dalam Oriza, 2016: 2380) sebagai berikut:

(55)

1. Fase perencanaan

Fase perencanaan adalah fase awal sebelum mahasiswa masuk ke lingkungan baru. Pada fase ini mahasiswa mempersiapkan segala sesuatu yang dianggap perlu sebelum masuk ke lingkungan baru.

a) Persiapan materiel

Persiapan materiel yang dimaksud ialah segala persiapan yang bersifat kebendaan. Informan pertama bernama Yuyun selaku mahasiswa program studi Hukum Ekonomi Syariah menuturkan, “Saya mengurus berkas-berkas

penting untuk pendaftaran seperti SKHU, domisili, surat berkelakuan baik,

KTP, dan lain-lain.” (wawancara, 02/10/20)

Persiapan pertama yang dilakukan Yuyun sebelum merantau ke Makassar yakni mempersiapkan segala dokumen penting yang dianggap akan dibutuhkan dalam proses pendaftaran kuliah seperti SKHU, surat berkelakuan baik dan dokumen penting lainnya.

Informan kedua dari program studi Pendidikan Bahasa Inggris bernama Jumriati mengemukakan, “Persiapan saya waktu itu untuk merantau ke

Makassar yang pertama itu berkas-berkas untuk masuk universitas, tiket kapal,

pakaian-pakaian.” (wawancara, 29/10/20)

Persiapan yang dilakukan Jumriati sebelum merantau hampir sama dengan informan pertama yakni mempersiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran kuliah, mempersiapkan beberapa pakaian sebagai salah satu kebutuhan utama, dan juga tiket kapal.

(56)

Informan berikutnya bernama Uswatun dari program studi Pendidikan Matematika menuturkan, “Paling kayak bahan pokok ji saja.” (wawancara, 28/09/20). Uswatun menjelaskan bahwa salah satu persiapan yang ia lakukan sebelum merantau ialah mempersiapkan kebutuhan pangan seperti bahan-bahan makanan dan sejenisnya untuk nantinya dikonsumsi sehari-hari.

Informan selanjutnya yakni mahasiswa dari program studi Ilmu Komunikasi bernama Yulianah, ia menuturkan, “Untuk persiapannya kalau

finansial sama orang tua lah.” (wawancara, 28/09/20). Bagi Yulianah salah

satu hal yang perlu dipersiapkan sebelum merantau ialah persiapan finansial atau biaya yang tentunya menjadi penunjang kebutuhan hidup selama di perantauan.

b) Persiapan mental

Persiapan mental yang dimaksud ialah kesiapan yang berasal dari dalam diri mahasiswa (secara psikologis) untuk memulai kehidupan di lingkungan baru. Yuyun mengungkapkan, “Dan juga keberanian supaya saya tidak takut.” (wawancara, 02/10/20). Persiapan lain yang dilakukan Yuyun ialah mendorong dirinya untuk bersikap berani agar ia tidak merasa takut untuk memulai kehidupan di Makassar dalam waktu yang cukup lama.

Informan berikutnya yaitu mahasiswa program studi Ilmu Pemerintahan bernama Rajak mengemukakan:

“Persiapannya sebelum merantau dulu sih sebelum ke Makassar sempat bergaul dengan kawan-kawan yang memang kuliah di Makassar. Semisalkan kondisi Makassar yang panas geografisnya panas sosial budaya masyarakatnya. Kita sudah tau bagaimana itu Makassar jadi itu bisa menjadi salah satu persiapan mental kita.” (wawancara, 30/09/20)

(57)

Persiapan yang dilakukan Rajak sebelum merantau ke Makassar ialah dengan terlebih dahulu mencari tahu tentang gambaran kondisi kehidupan di Kota Makassar melalui teman-teman sepergaulannya di desa yang telah lebih dulu kuliah di Makassar. Maka dengan adanya informasi tersebut Rajak merasa terbantu untuk mempersiapkan mentalnya menghadapi kehidupan di kota besar seperti Makassar.

Informan selanjutnya yaitu Jumriati menuturkan, “Saya memberanikan

diri saja untuk merantau karena saya percaya saya berjodoh untuk menetap

dan kuliah disana.” (wawancara, 29/10/20). Jumriati menjelaskan bahwa

keberanian dan keyakinannya untuk kuliah di Makassar merupakan modal awal baginya untuk melakukan perantauan.

Selanjutnya yaitu Uswatun mengungkapkan, “Kalau dari segi mental sih

paling minta arahan dulu dari orang tua bagaimana sikap ta di sini supaya

tidak mengganggu orang lain begitu.” (wawancara, 28/09/20). Persiapan

mental dari Uswatun ialah meminta bantuan kepada orang tuanya agar diberi arahan tentang bagaimana bersikap yang baik di lingkungan orang lain agar kelak ia tidak menimbulkan masalah yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Berdasarkan penuturan kelima informan mengenai persiapan awal yang dilakukan sebelum merantau pada fase perencanaan, dapat dilihat pada tabel matriks berikut:

(58)

Tabel 4.1. Fase Perencanaan dalam Proses Adaptasi Mahasiswa Asal Bima Terhadap Culture Shock

No. Nama Fase Perencanaan

1. Yuyun

- Mempersiapkan berkas pendaftaran kuliah - Memberanikan diri

2. Rajak

- Mencari informasi tentang Kota Makassar melalui teman sepergaulan di Bima yang kuliah di Makassar

3. Jumriati

- Mempersiapkan berkas pendaftaran kuliah - Memberanikan diri

4. Uswatun

- Mempersiapkan bahan pokok - Meminta arahan orang tua

5. Yulianah - Mempersiapkan finansial

(Sumber: Hasil olahan data primer, tahun 2021)

Berdasarkan penuturan informan mengenai fase perencanaan dalam proses adaptasi dapat disimpulkan bahwa persiapan yang dilakukan mahasiswa dapat digolongkan menjadi dua yakni persiapan secara materiel dan persiapan secara mental. Persiapan secara materiel meliputi persiapan yang berhubungan dengan benda-benda yang diperlukan oleh masing-masing mahasiswa seperti berkas kelengkapan persyaratan pendaftaran kuliah, pakaian-pakaian, bahan-bahan makanan, dan biaya hidup (uang). Adapun persiapan mahasiswa dari segi mental yakni seperti mempersiapkan keberanian diri untuk merantau, mencari informasi terlebih dahulu mengenai gambaran keadaan lingkungan baru yang akan dimasuki, serta meminta arahan kepada orang tua. Persiapan yang

(59)

dilakukan para mahasiswa berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.

2. Fase honeymoon

Fase kedua adalah fase honeymoon, yaitu ketika mahasiswa telah berada di lingkungan baru yakni di Makassar, sekaligus menjadi tahap awal dari proses adaptasi. Pada fase ini suasanan baru yang dirasakan mahasiswa menimbulkan kesan tersendiri pada masing-masing mahasiswa.

a) Perasaan bahagia

Yuyun mengungkapkan, “Perasaannya senang, bahagia.” (wawancara, 02/10/20). Menurut Yuyun dirinya merasa bahagia setelah berada di Kota Makassar. Hal senada juga diungkapkan oleh mahasiswa lain yaitu Yulianah, ia mengungkapkan, “Cukup bahagia dan tentunya bersemangat untuk

menjalankan amanah yang diberikan orang tua.” (wawancara, 28/09/20)

Yulianah menjelaskan bahwa setelah tiba di tempat perantauan dirinya merasa bahagia dan merasa bersemangat untuk memulai kehidupannya di Makassar khususnya berkuliah.

Uswatun juga menuturkan hal yang sama, “Ya senang, bersyukur akhirnya

tiba di Makassar.” (wawancara, 28/09/20). Perasaan bahagia juga dirasakan

oleh Uswatun setelah berada di Makassar. Selanjutnya, Jumriati menuturkan

“Perasaan saya setelah di Makassar saya merasa senang karena apa yang saya inginkan itu sudah terwujud.” (wawancara, 29/10/20)

Senada dengan Yuyun, Yulianah, dan Uswatun, keinginan Jumriati untuk kuliah di Makassar membuatnya merasa bahagia setelah berada di Makassar.

Gambar

Gambar 4.2. Profil Fakultas dan Program Studi Unismuh Makassar ...................40
Tabel 4.1. Data Mahasiswa Bima yang Menjadi Informan Utama  No.  Nama
Gambar  4.1.  Struktur  Organisasi  Universitas  Muhammadiyah  Makassar.
Gambar 4.2. Profil fakultas dan program studi Unismuh Makassar.
+7

Referensi

Dokumen terkait