• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS ANESTESI SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 H37MG LETAK SUNGSANG DENGAN ANESTESI REGIONAL SPINAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS ANESTESI SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 H37MG LETAK SUNGSANG DENGAN ANESTESI REGIONAL SPINAL"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS ANESTESI

SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 H37MG LETAK SUNGSANG DENGAN ANESTESI REGIONAL SPINAL

Disusun oleh: Ramya Harlistya

01.210.6253

Pembimbing:

dr. Meriwijanti, Sp.An (K/C)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO SEMARANG

2015

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : RAMYA HARLISTYA

(2)

FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI

PEMBIMBING : dr. Meriwijanti, SP.An (K/C)

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Mei 2015

Pembimbing,

dr. Meriwijanti, Sp.An (K/C)

DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Keterangan No Masalah pasif Tanggal Keterangan 1 G3P2A0

H37MG LETAK

(3)

LAPORAN KASUS

STATUS PENDERITA

1. Identitas Pasien

(4)

Umur : 32 th/10 bl/1 hr

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

No RM : 09-00-19

Tanggal masuk : 02 Mei 2015 Perawatan : Hari ke-3 Pasien bangsal : Bougenville 1 2. Keluhan Utama

Pasien G3P2A0 mengeluh adanya kenceng-kenceng dibagian perut 2.1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien G3P2A0 usia 32 tahun hamil 37 minggu. Janin 1 hidup intrauterin letak sungsang, mengeluhkan kontraksi rahim (+), keluar cairan (lendir dan darah) dari jalan lahir (-), terasa gerakan janin (+). Saat usia kehamilan menjalani pemeriksaan dan dinyatakan kehamilan letak sungsang dan disaat pasien hamil aterm direncanakan SC (Sectio Caesarea).

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi : disangkal 2. Riwayat penyakit jantung : disangkal 3. Riwayat penyakit paru : disangkal 4. Riwayat DM : disangkal 5. Riwayat stroke : disangkal 6. Riwayat kejang : disangkal 7. Riwayat penyakit maag : disangkal 8. Riwayat alergi obat : disangkal 9. Riwayat sakit di ginjal : disangkal 2.3. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat hipertensi : disangkal 2. Riwayat penyakit jantung : disangkal 3. Riwayat penyakit paru : disangkal 4. Riwayat DM : disangkal 5. Riwayat stroke : disangkal 6. Riwayat kejang : disangkal 2.4. Riwayat Pribadi

(5)

1. Riwayat merokok : disangkal 2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal

3. Riwayat minum jamu : disangkal

3. Persiapan Pre Operasi

3.1 Anamnesis (05 Oktober 2014)

A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit

M (Medication) : (-)

P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-)

L (Last meal) : Puasa mulai pukul 02.00 WIB (6 jam sebelum operasi)

E (Environment) : G3P2A0 hamil 37 minggu, janin 1 hidup intrauterine letak sungsang

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (01 Mei 2015) Tanda Vital  TD : 110/80 mmHg  Nadi : 80 x/menit  RR : 18 x/menit  SaO2 : 100 %  Suhu : 36,5oC  TB : 158 cm  BB : 66 Kg  Jantung : dbn  Paru : dbn

 Mulut, gigi dan jalan nafas : dbn  Ekstremitas : dbn

 Lain lain : dbn

DJJ I + 11-12-11 DJJ II+ 12-11-12

3.3. Pemeriksaan Penunjang (02 Mei 2015) HEMATOLOGI

1. Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal 2. Leukosit : 8,19 103/uL 3,6-11 103/uL

3. Eritrosit : 3,76 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL

4. Hemoglobin : 11,50 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL 5. Hematocrit : 33,40 % (L) 35-47 %

6. MCV : 88,80 fL 80-100 fL

(6)

8. MCHC : 34,40 g/dL 32-36 g/dl 9. Trombosit : 145 103 /u (L) 150-400 103 /uL

10. RDW : 13,60 % 11,5-14,5 %

11. Diff Count

a. Eosinophil absolute : 0,05 103 /uL 0,045- 0,44 103 /uL

b. Basophil absolute : 0,05 103 /uL 0-0,2 103 /uL

c. Netrofil absolute : 6,28 103 /uL 1,8-8 103 /uL

d. Limfosit absolute : 1,30 103 /uL 0,9-5,2 103 /uL

e. Monosit absolute : 0,51 103 /uL 0,16-1 103 /uL

f. Eosinophil : 0,60 % (L) 2-4 % g. Basophil : 0,60 % 0-1 % h. Neutrophil : 76,70 % (H) 50-70 % i. Limfosit : 15,90 % (L) 25-40 % j. Monosit : 6,20 % 2-8 % 12. Golongan Darah : A Rh + 13. Kimia Klinik (Serum)

a. Gula Darah Sewaktu : 69 mg/dL <125 mg/dL 14. Serologi-Imun

a. HbsAg : Non Reaktif (-) Non Reaktif (-) 4. Laporan Anesthesi Durante Operasi

Tindakan operasi : SC (Sectio Caesarea)

Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di lumbal terbawah, level median.

Lama anestesi : 08.30 – 09.10 WIB Lama operasi : 08.35 – 09.10 WIB

Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2ml (IV)

Induksi : Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL) 5mg/ml

Maintenance : O2 2 L/menit

Adjuvantia : Sotatic Metoclopramid 5 mg/ml Oxytocin 10 IU/ml

Pospargin (Methylergometrine Maleat) 0.2 mg/ml Dycinone Ethamsylate 125 mg/2ml Asam Traneksamat 500 mg/5ml Vit. C 100 mg/ml Vit. K 10 mg/ml Ketorolac 3% 30 mg/ml Tramadol 100 mg/2ml Reverse :

-Terapi cairan : Koloid : FimaHES 500 ml Pematauan Tanda Vital

(7)

Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room

4.1 Tindakan Anestesi Regional

 Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.  Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.  Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah

operasi, menggunakan jarum halus atau kapas dan tes motorik dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.

 Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester.

 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

4.2 Pemberian Cairan Cairan masuk

Pre operatif : RL 500 cc Durante operatif : HES 500 cc

(8)

Cairan keluar

Perdarahan : ± 300-400 cc Produksi urin : ± 55 cc/jam

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)Bromage Score :

No. Kriteria Skor

1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0

2. Tidak dapat menekuk lutut, tetapi dapat mengangkat kaki 1 3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah, tetapi dapat menekuk lutut 2 4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekal 3 Score <2, pasien boleh pindah ruangan

Recovery Room

 Masuk jam : 09.10 WIB  Pulang jam : 09.25 WIB

(9)

Keadaan Umum : Baik Respon Kesadaran : Terjaga Status mental : Sadar penuh Jalan nafas : Nasal Pernafasan : Teratur Terapi Oksigen : Nasal Canul Sirkulasi anggota badan : Merah muda

Kulit : Kering

Posisi Pasien : Semifowler

Nadi : Teratur Infus : RL Tanda Vital  TD : 110/70 mmHg  Nadi : 80 x/menit  RR : 20 x/menit  SaO2 : 100 %  TB : 158 cm  BB : 66 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam

Infus : RL 20 tpm Antibiotika : sesuai TS bedah Inj. Tramadol 3 x 100 mg drip Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeri

Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif Boleh langsung minum, makan tunggu peristaltik usus (+) Bila TD  90 mmHg (systole), beri :

 Loading cairan RL  250 ml iv  Inj. Ephedrine HCL  10 mg iv  Hub. dr. anestesi

(10)

PEMBAHASAN

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan ini bertujuan untuk mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut ASA. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh kencang-kencang dibagian perut namun tidak keluar darah dari jalan lahir. Pada pemeriksaan fisik didapatkan denyut jantung janin baik, presentasi bokong. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya penurunan Hb pasien. Pada pasien ini dikarenakan adanya penurunan nilai hasil laboratorium pada Hb, maka status anestesi pasien adalah ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada keterbatasan fungsional).

(11)

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat kebiasaan sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat penenag, dan narkotika. Pertanyaan tentang review sistem organ untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pemeriksaan jalan nafas daerah leher dan kepala diperiksa untuk mengetahui adanya trismus. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek, gangguan fleksi extensi leher, deviasi trachea sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari

(12)

Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien. Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa

limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.

Kelas V : Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat hidup/bertahanvdalam 24 jam, dengan atau tanpa pembedahan.

(13)

Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode

tertentu sebelum induksi anestesi.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah: Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Ringan 4 cc/kgBB/jam

Sedang 6 cc/kgBB/jam

(14)

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Penggantian Cairan Selama Puasa  50 % selama jam I operasi  25 % selama jam II operasi  25 % selama jam III operasi

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

• Meredakan kecemasan dan ketakutan • Memperlancar induksi anesthesia

• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus • Meminimalkan jumlah obat anestetik

• Mengurangi mual muntah pasca bedah • Menciptakan amnesia

• Mengurangi isi cairan lambung

• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif

yang dapat menekan mual dan muntah. 2. Durante Operasi

(15)

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine).

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.

Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi, sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena.

Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1 ampul) diberikan per-drip, dan Pospargin o,2 mg/ml diberikan secara bolus IV Pemberian oksitosin dan pospargin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk

(16)

mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit. Selain oksitosin, juga diberi pospargin 1 ml bolus IV, Mekanisme kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.

Selama operasi berlangsung, pasien mengeluhkan mual muntah. untuk menanggulangi mual, muntah metabolik karena obat selama atau sesudah operasi, maka pasien diberikan Metoclopramid 5 mg/ml. Metoclopramid mempengaruhi Chemoreceptor Trigger Zone medulla yaitu dengan menghambat reseptor dopamin padat CTZ. Mekanisme kerja dengan cara meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari gastrointestinal ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis.

Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam. Selain itu juga diberikan Tramadol 100 mg/2ml (drip). Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospsifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neutrotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.

Pasien SC biasanya mengeluarkan darah sekitar 500-600 cc, maka pasien diberikan asam traneksamat, dicynone, vit. C dan vit K untuk mengurangi perdarahan.

Asam tranexamat 50 mg/ml adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat

(17)

aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada cascade pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam tranexamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada meingkatnya aktivitas pembekuan darah.

Dicynone 250 mg/2 ml bekerja pada fase vaskuler dari hemostasis dengan cara:

- Memulihkan daya lekat dari platelet yang terganggu. - Memulihkan lapisan endo endothelium dari fibrin.

- Menghambat sintesa Prostasiklin yang merupakan antihemostatik. - Dengan demikian memulihkan resistensi kapiler yang be rkurang.

Hal ini yang menjelaskan cara kena Dicynone yang nyata pada perdarahan.

Dicynone bekerja dengan menstabilkan membran yang menghambat enzim spesifik prostaglandin dalam proses sintesanya, atau dengan kata lain membantu agregasi platelet.

Vitamin K 10 mg/ml (1 ml). Merupakan ko-faktor pembekuan darah. Faktor pembeku darah yang dipengaruhi oleh vitamin K adalah faktor II, VII, IX dan X. Vitamin K diperlukan oleh pasien dengan gangguan fungsi hati

Vitamin C 100 mg/ml dibutuhkan untuk pembentukan kolagen dan perbaikan jaringan. Vitamin C juga penting dalam pembentukan trombosit dan aktivitas dari sel darah putih. Oleh sebab itu vitamin C memegang peranan penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat, jaringan tulang rawan, lapisan endotelium pembuluh darah dan lain sebagainya.

(18)

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins..

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the move 1th editional. U.K. Hodder Arnold

Referensi

Dokumen terkait

Jika dragline akan dipakai untuk penggalian material yang lebih keras maka pada alat tersebut harus ditambahkan rantai drag dan bucket diperkuat dengan pelat baja yang berfungsi

Kontraktor wajib melaksanakan semua pekerjaan dengan mengikuti petunjuk dan syarat Kontraktor wajib melaksanakan semua pekerjaan dengan mengikuti petunjuk dan

Marble bright merupakan larutan mengandung senyawa kimia yang bereaksi dengan permukaan lantai marmer sehingga terbentuk lapisan kristal yang keras dan mengkilap. Tersedia

Dalam suatu riwaya t disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz, tidak ditemukan lagi masyarakat yang layak untuk menerima zakat, karena semua

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions.. Start

Penulisan ini bertujuan melihat strategi kebijakan yang diambil oleh pemerintah terhadap perfilman nasional dalam rangka memproteksi serta mendorong produksi film nasional agar

Rahsia Bisnes Kerajaan: Cerita Tentang RM0.5 Juta Dalam Masa 18 Bulan Dari Projek Pembekalan Kerajaan / Haryzat

Sangkan museur kana masalah anu baris ditalungtik, ieu tésis téh diwatesanan kana perkara kasenian anu hirup di masarakat, bahasan utama dina ieu panalungtikan nyaéta