• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Hakikat Peran Orang Tua

2.1.1 Pengertian Peran Orang Tua

Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Peran adalah perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di dalam masyarakat, atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam sesuatu peristiwa (Depdikbud, 2005:854). Menurut Natawidjaya (2010:40), peran adalah kesediaan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai bahkan menentukan kegiatan-kegiatan individu yang bersangkutan dalam memberikan respons terhadap obyek atau situasi yang mempunyai arti baginya. Kesediaan ini mungkin dinyatakan dalam kegiatan (perbuatan ataupun perkataan) atau merupakan kekuatan laten yang kadang-kadang tersalurkan.

Adapun orang tua dapat diartikan komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu sehingga siap berasosiasi dengan kehidupan bermasyarakat. (Syafei, 2006:15).

Pengertian orang tua tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah

(2)

tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak) sekaligus. Namun secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu mereka, (Rahman, 2006;15).

Peranan orang tua yang dimaksudkan penulis dalam penelitian ini adalah keikutsertaan orang tua dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keberagamaan sehingga semua yang diharapkan untuk keberhasilan pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-undang sistem pendidikan nasional dapat dicapai secara optimal.

Seperti halnya keadaan ataupun kondisi, peranan memiliki mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seseorang. Orang tua misalnya jika pandangannya terhadap pendidikan kurang memadai, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, maka hal ini jelas akan mempengaruhi peranannya terhadap anak yang mengikuti pendidikan. Rendahnya peranan orang tua terhadap pendidikan anak dapat saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan pendidikan dan arti pentingnya bagi manusia.

(3)

Orang tua dalam sebuah keluarga merupakan figur pertama dan utama yang diharapkan memiliki peran mendidik sekaligus sebagai kunci berhasil tidaknya anak dalam kehidupannya. Secara sederhana orang tua yang membebani tanggung jawab berat ini, setidaknya diharapkan memiliki kepedulian dalam wujud keterlibatan yang positif terhadap proses pendidikan anak-anaknya.

Mengingat anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga maka tanpa harus ada yang memerintahkan, orang tua langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik yang bersifat sebagai pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini merupakan tugas kodrati dari tiap-tiap manusia.

Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama dalam pendidikan anak-anaknya. Anak adalah cikal bakal generasi penerus bangsa yang harus dibina, dikembangkan dan diarahkan pertumbuhan dan perkembangannya. Harapan ini seidentik dengan esensi pendidikan luar sekolah, sebagai proses pendidikan yang berlangsung kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja, sesuai dengan kondisi latar belakang masyarakat (Al Ghazali, 2006: 32).

Rochmat dan Solehuddin (2008: 197) mengatakan bahwa, sejak lama, keluarga dikenal sebagai lingkungan pertama dan utama. Predikat ini mengindikasikan betapa esensialnya peran dan pengaruh lingkungan keluarga dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keberagamaan.

(4)

Radin (2006: 92) menjelaskan bahwa hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya dapat berkisar pada: memberikan ganjaran dan hukuman, perintah langsung, menyatakan peraturan, nalar dan menyediakan fasilitas atau bahan dan adegan. Keseluruhan konsep perlakuan ini dapat bermakna mendidik anak dalam lingkungan keluarga sekaligus menjadikan proses keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak.

Kepedulian orang tua maupun keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak sangat penting demi kelangsungan dan suksesnya pendidikan anak-anaknya. Salah satu bentuk dan wujud nyata keterlibatan dan kepedulian orang tua yang sangat besar sekali manfaatnya adalah menumbuh suburkan nilai-nilai positif pada diri anak. Roesmali (2001: 21) menyatakan bahwa hubungan orang tua dengan anak merupakan interaksi awal yang dirasakan anak. Dikatakan interaksi awal karena orang yang pertama kali dikenal dan berada didekatnya adalah orang tuanya.

Sikap anak terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh peranan orang tuanya. Itulah sebabnya, orang tua yang memiliki pemahaman yang baik terhadap pendidikan akan selalu menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi anak, sehingga pemenuhan kebutuhan ruhani anak akan dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya, orang tua yang memandang pendidikan dengan sikap negatif akan berdampak pada kebodohan, kegagalan dan keterbelakangan.

(5)

Mengingat anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga tanpa harus ada yang memerintahkan, maka hal ini membuktikan bahwa orang tua memikul tugas langsung sebagai pendidik, baik yang bersifat sebagai pemelihara, pengasuh, pembimbing, pembina maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya.

Norma-norma pada anggota-anggota keluarga, baik ayah ibu maupun kakak-kakaknya dapat berpengaruh terhadap anak. Maka orang tua di dalam keluarga memiliki kewajiban kodrati untuk memperhatikan anak-anaknya serta mendidiknya, sejak anak-anak itu kecil, bahkan sejak anak-anak itu masih dalam kandungan. Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas sama sekali dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang pendidikan yang legal. Bahkan menurut Al Ghozali, (2006:179) . “Anak adalah suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya”.

Kebiasaan orang tua dan anggota keluarga dalam hal kesusilaan/akhlak menjadi sebuah tuntunan yang harus dijaga dan dibudayakan dalam keluarga agar bisa ditiru oleh anak-anak baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang. Lebih dari itu terdapat juga pertalian emosional antara anak dengan orang tua tanpa harus dipelajari atau diberi bimbingan, misalnya turut berduka cita jika orang tuanya berduka cita dan akan merasa bahagia jika orang tuanya berbahagia. Begitulah keadaan saling pengaruh-mempengaruhi antara anak dengan orang tuanya dan anggota keluarga lainnya, sampai kepada keadaan emosional.

(6)

Jelaslah bahwa keluarga dalam hal ini orang tua merupakan ajang pertama dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keberagamaan. Seorang anak akan menjadi warga masyarakat yang baik sangat bergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga di mana anak dibesarkan. Kelak, kehidupan anak tersebut juga mempengaruhi masyarakat sekitarnya sehingga pendidikan keluarga itu merupakan dasar terpenting untuk kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun pada masyarakat.

Abimanyu (2008:32) untuk memenuhi tewujudnya kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keberagamaan sesuai dengan harapan, hendaklah orang tua meningkatkan peranannya terhadap pendidikan anak dengan upaya-upaya sebagai berikut;

1. Membimbing anak dalam belajar

Sehubungan dengan membimbing anak dalam belajar yang dilakukan oleh orang tua Abimanyu (2008: 32) mengemukakan bahwa, dalam hal belajar anak memerlukan bantuan bimbingan dari orang dewasa dan lebih utama adalah orang tua. Jika orang tua tidak dapat melaksanakan tugas ini yang mungkin karena sibuk dengan pekerjaannya yang terlalu banyak, maka sang anak cenderung akan mengalami kegagalan.

Dalam kaitannya dengan hal ini maka diharapkan orang tua memiliki sikap sebagaimana dimaksud. Anak yang memiliki motivasi belajar yang baik dari orang tua dengan penjadwalan kegiatan anak memiliki potensi

(7)

yang lebih banyak untuk berhasil ketimbang anak yang memiliki motivasi kurang.

2. Menyediakan fasilitas yang diperlukan anak dalam belajar

Peran orang tua di samping sebagai pemberi motivasi terhadap anaknya hendaklah di sertai dengan upaya pemenuhan fasilitas belajar anak. Fasilitas tersebut misalnya pemenuhan terhadap buku-buku pelajaran agama, alat tulis menulis, pakaian ibadah, serta kelengkapan belajar dirumah seperti meja belajar dan lain-lain yang tentunya dapat saja disesuaikan dengan kondisi ekonomi atau kemampuan orang tua tanpa harus memaksakan diri.

Demikian pentingnya peranan orang tua dalam memenuhi kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keberagamaan. Hubungan orang tua dengan anak pada lingkungan keluarganya akan sangat membekas dan dapat bernilai pendidikan manakala arahan, bimbingan dan segala aktifitas orang tua dan seluruh anggota keluarganya dicerna dan menjadi karakter pembentuk sikap dan watak anak.

Aswari (2010: 39) mengungkapkan bahwa “untuk memenuhi kebutuhan rohani anak, maka orang tua harus dapat melatih anak sejak kecil dengan kegiatan prilaku beragama dan cara-cara yang baik agar dengan hal itu akan bisa membekas dihati anak bila ia telah dewasa”.

Taufik (2007: 21) bahwa, dalam keluarga terdapat kesempatan untuk menumbuh suburkan nilai-nilai agama pada anak yang mendasari hubungan

(8)

antara manusia seperti ketulusan, percaya pada orang lain, rela membantu, rela berkorban saling menghargai dan saling mengasihi. Semua itu bertujuan agar kebutuhan rohani anak dapat terpenuhi sesuai yang diharapkan.

Selanjutnya menurut Syaodih (2005:21) bahwa orang tua memiliki peran besar dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan. Di antara kebutuhan rohani anak yang harus menjadi perhatian utama dari orang tua adalah, keimanan yang istiqamah, ketulusan dalam beribadah, rela membantu orang lain, saling mengasihi, bersikap sabar, dan memiliki kecintaan beragama di atas segala-galanya

Aly dan Munzir (2006:26) mengemukakan bahwa di antara bentuk peran orang tua di dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan sebagai berikut:

a) Mendorong dan mengarahkan anak-anak agar aktif melaksanakan ibadah seperti; sholat, membaca Al-Qur’an dan puasa,

b) Mengarahkan agar anak-anak rajin kegiatan keagamaan,

c) Menjadi imam bagi anak-anaknya ketika melaksanakan sholat di rumah,

d) Mengarahkan dan memberi keteladanan kepada anak dengan bertutur kata yang sopan, berbuat yang jujur, bertindak yang benar, lemah lembut dalam bersikap, dan lain-lain,

e) Membiasakan anak untuk selalu bekerja dan mandiri.

f) Menanamkan nilai-nilai solidaritas dan rasa bertanggung jawab terhadap tugas yang diemban,

g) Menanamkan seluruh nilai aqidah dan akhlak sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Hadits.

Bentuk peran orang tua yang disebutkan di atas meliputi upaya-upaya motivasi, mengarahkan kegiatan anak, membimbing dan mendidik anak

(9)

dengan nilai-nilai moral dan agama. Penciptaan suasana lingkungan yang luhur dan relegius di dalam rumah tangga.

Dengan adanya peran orang tua dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegaiatan keagamaan, dengan sendirinya telah melaksanakan amanat Allah, serta telah menjalin kerja sama dengan seluruh pihak dalam membangun masyarakat yang berkepribadian luhur dan berakhlak mulia. 2.1.2 Peran Ibu dan Ayah dalam Menyediakan Kebutuhan Rohani Anak

Melalui Kegiatan Keagamaan 2.1.2.1 Peran ibu

Peran ibu dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan dapat saja berbentuk perlakuan, pemberian contoh ketauladanan, pengarahan, kontrol dan penyediaan fasilitas untuk melaksanakan ibadah. Dalam sebuah rumah tangga keterlibatan ibu dalam menyediakan kebutuhan anak sangat berarti dan dapat menjadi faktor utama membangkitkan motivasi perilaku keberagamaan anak, karena kedekatan anak pada ibu melebihi kedekatannya pada ayah. Baik buruknya pendidikan ibu terhadap anaknya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dan watak anaknya dikemudian hari”. (Poerwanto, 2005:82)

Seorang ibu memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak ia lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu, ia meniru perangai ibunya dan biasanya, seorang anak lebih mencintai ibunya apa bila ibunya menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal oleh seorang anak,

(10)

yang mula-mula menjadi temannya, dan mula-mula dipercayainya. Apa pun yang dilakukan ibu dapat dimaafkannya, kecuali apabila ia ditinggalkan.

Sesuai dengan fungsi serta tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga, Poerwanto (2005:82) mirincikan bentuk dan tanggung jawab ibu terhadap pendidikan anak-anaknya sebagai berikut.

a. Seorang ibu adalah sumber dan pemberi rasa kasih sayang. Hal ini dimaksudkan bahwa figur seorang ibu sangat berpengaruh terhadap pemenuhan rohani anak, karena bentuk pendidikan oleh seorang ibu terhadap anaknya selalu dilandasi dengan penuh rasa kasih sayang yang tidak hanya berlangsung sewaktu-waktu, melainkan sepanjang waktu. b. Seorang ibu memiliki tanggung jawab pengasuh dan pemelihara. Hal ini

dimaksudkan bahwa secara kodrati seorang ibu tidak hanya berfungsi melahirkan anak-anaknya, akan tetapi pengasuhan dan pemeliharaan terhadap anak-anaknya hingga memiliki pertumbuhan jasmani dan rohani secara sempurnah menjadi tanggung jawab yang diemban oleh kaum ibu pada umumnya.

c. Seorang ibu tempat mencurahkan isi hati anak-anaknya. Maksudnya bahwa hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya jauh lebih dekat dan akrab daripada seorang ayah. Sehingga terkadang tempat menyampaikan segala keluhan bagi seorang anak lebih banyak ditujukan kepada ibunya daripada ayahnya. Dalam kondisi seperti ini, maka seorang ibu sangat diharapkan mengetahui psikologi anak serta mampu menjawab semua keluhan dan memberikan kepuasan bagi anak.

d. Seorang ibu memiliki tanggung jawab sebagai pengatur kehidupan dalam rumah tangga. Artinya segala aktivitas dalam pengaturan kehidupan rumah tangga terutama dalam segi keindahan dan kebersihan rumah dan pendidikan anak di dalam rumah menjadi tanggung jawab seorang ibu

e. Seorang ibu memiliki tanggung jawab sebagai pendidik dalam segi emosional. Artinya seorang ibu diharapkan mampu mendidik emosional anak ke arah yang positif, agar dengan kondisi emosional tersebut anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menjalani berbagai persoalan kehidupan baik di masa kini maupun yang akan datang. Beradasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa, tanggung jawab seorang ibu terhadap pendidikan anak sangat besar dibandingkan dengan guru di sekolah atau manusia lainnya. Hal ini dikarenakan juga, karena

(11)

hubungan emosional anak dengan seorang ibu sudah terbentuk sejak masih di dalam kandungan sampai ketika anak terlahir ke dunia. Terlebih lagi interaksi anak dengan ibu durasi waktunya lebih besar dari yang lainnya.

2.1.2.2 Peran Ayah

Dalam berbagai kasus nampak bahwa ayah dalam kedudukannya di lingkungan keluarga dipandang hanya sebagai sosok yang menyediakan seluruh keperluan hidup, sehingga tidak jarang ada di antara para ayah yang melalaikan atau melupakan tanggung jawabnya dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan. Atau dapat saja seorang ayah berkilah dengan alasan kesibukan mencari nafkah sehingga seluruh pengawasan dan tanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan dibebankan kepada ibu.

Anggapan dan kasus di atas pada dasarnya tidak ada benarnya, bahkan dapat dikatakan salah karena sesungguhnya dalam prosesi pendidikan terlebih lagi dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan, keterlibatan dan peranserta seorang ayah.

Poerwanto (2005:83) menyebutkan sedikitnya enam peranan ayah yang dominan dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan, sebagaimana dirincikan berikut ini ;

a. Seorang ayah memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya.

b. Seorang ayah memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi istri dan anak-anaknya.

(12)

c. Seorang ayah memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengarahkan istri dan anak-anaknya kepada perbuatan-perbuatan yang positif.

d. Serang ayah memiliki tanggung jawab menyediakan segala kebutuhan primer dan sekunder bagi istri dan anak-anaknya. (Poerwanto, 2005:83) Keseluruhan tanggung jawab atau peranan orang tua yang disebutkan di atas pada dasarnya ada yang bersifat penciptaan kondisional yang mendukung suksesnya dalam menyediakan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan serta dapat dirasakan langsung manfaatnya dalam pendidikan anak, misalnya pendidik secara rasional dan sumber kekuasaan dalam rumah tangga dimana seorang ayah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak.

2.1.2.3 Kegiatan Keagamaan

Pada hakikatnya kegiatan keagamaan bagi kehidupan anak merupakan rangkaian upaya memberdayakan anak menuju kedewasaan baik secara akal maupun moral agar mampu memahami dimensi-dimensi kemanusiaannya sekaligus mengenai sang penciptanya. Dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang diikuti oleh anak, maka akan memberikan nilai pemahaman sekaligus pengamalan terhadap hakikat dirinya hamba (abdu) dan mengenal Tuhannya sebagai sang pencipta (khaliq), sehingga dia akan mampu mengaplikasikan fungsi manusianya sebagai sang pemelihara atau khalifah di muka bumi. (Rochmat dan Solehuddin, 2008:197)

Kegiatan keagamaan pada agama Islam bermakna seluruh aktivitas yang berhubungan konsep syar’i baik menyangkut hukum, ibadah, muamalah

(13)

dan akhlak yang dapat dijadikan kerangka berpikir dan bertindak oleh setiap orang yang menginginkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Atau dengan kata lain, kegiatan-kegiatan keagamaan Islam dapat dipahami sebagai wadah untuk mendapatkan pengetahuan tentang konsep-konsep ajaran Islam yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan atau landasan dalam berpikir dan bertindak, dengan tujuan utamanya adalah dapat mencapai pola hidup yang tidak bertentangan dengan tuntutan kehkhalifahannya di muka bumi.

Menurut Nurcholis (dalam Azyumardi, 2007:34-40) kegiatan-kegiatan keagamaan yang perlu dikembangkan pada anak pada hakikatnya ada dua, yaitu menyangkut dimensi ketakwaan kepada Allah dan dimensi pengembangan rasa kemanusiaan. Untuk dimensi penanaman rasa taqwa kepada Allah Swt meliputi; Iman, Islam, Ihsan, Taqwa, Ikhlas, Tawakal, Syukur dan Sabar. Sedangkan dalam dimensi pengembangan rasa kemanusiaan meliputi; Silaturrahim, Persaudaraan, Persamaan Hak, Keadilan, Prasangka Baik, Rendah Hati, Menepati Janji, Lapang Dada, Dapat Dipercaya, Memiliki Keberanian, Hemat, dan Dermawan. Berikut ini penjelasan tentang bagian-bagian dari kedua dimensi tersebut;

a. Dimensi penanaman rasa taqwa kepada Allah Swt

1) Iman; yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak cukup hanya percaya kepada adanya Tuhan, melainkan harus meningkat menjadi sikap mempercayai Tuhan.

2) Islam; adalah meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang kita yang dhaif ini tidak mungkin

(14)

mengetahui seluruh wujudnya. Sikap taat tidak absah dan tidak diterima Tuhan, kecuali jika berupa sikap pasrah kepada-Nya.

3) Ihsan; yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama dimanapun kita berada. Bertalian dengan ini,karena menginsafi bahwa Allah selalu mengawasi kita, maka kita harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan sesuatu yang sebaik mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah-tengah dan tidak dengan sikap sekedarnya saja.

4) Takwa; yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang di ridhai Allah, dengan menjauhi atau menjaga diri dari sesuatu yang tidak di ridhai-Nya. Takwa inilah yang mendasari budi pekerti luhur atau al-akhlak al-karimah.

5) Ikhlas; yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan semata-mata demi memperoleh ridha atau perkenan Allah, dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun terbuka. Dengan sikap yang ikhlas orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan karya lahirnya, baik pribadi maupun sosial.

6) Tawakkal; yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencaridan menemukan jalam yang terbaik. Karena kita mempercayai atau menaruh kepercayaan kepada Allah, maka tawakkal adalah suatu kemestian.

7) Syukur; yaitu sikap penuh rasa terima-kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya yang di anugerahkan Allah kepada kita.

8) Sabar; yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin yang timbul karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah swt. b. Dimensi Kemanusiaan

1) Silaturahmi (silat al-rahim); yaitu pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, handai taulan, tetangga.

2) Persaudaraan (ukhuwwah); yaitu semangat persaudaraan, lebih-lebih antara sesama kaum beriman, yang intinya ialah hendaknya kita tidak mudah merendahkan golongan yang lain, kalau-kalau mereka itu lebih baik dari pada kita sendiri, tidak saling menghina, saling mengejek, banyak berprasangka, suka mencari-cari kesalahan orang lain, dan suka mengumpat.

(15)

3) Persamaan (al-musawah); yaitu pandangan bahwa semua manusia, tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya, dan lain-lain adalah sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah manusia hanya ada dalam pandangan tuhan, berdasarkan takwa masing-masing, dan hanya Tuhan yang tahu kadar takwa itu.

4) Adil (“ad’l”); yaitu wawasan yang seimbang atau “balanced” dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang, dan seterusnya. Jadi tidak “a priori” menunjukkan sikap positif ataupun negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan hanya setelah mempertimbangan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut secara jujur dan seimbang, dengan penuh itikad baik dan bebas dari prasangka.

5) Baik sangka (husnuzhzhan); yaitu sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa menusia itu pada asal dan hakikat aslinya baik, karena diciptakan Allah dan dilahirkan atas fitrah atau kejadian asal yang suci. Sehingga manusia itupun pada hakikat aslinya adalah makhluk yang berkecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan (hanif).

6) Rendah hati (tawadlu’); yaitu sikap yang timbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dan perbuatan yang baik, yang itupun hanya Allah yang akan menilainya.

7) Tepat janji (al-wafa) ; salah satu sifat orang-orang yang benar- benar beriman ilah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam masyarakat dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas, sikap tepat janji, lebih-lebih lagi merupakanunsur budi luhur yang amat diperlukan dan terpuji.

8) Lapang dada (insyirah); yaitu sikap penuh kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya. Sikap terbuka dan toleran serta kesediaan bermusyawarah secara demokratis terkait erat sekali dengan budi luhur, lapang dada ini.

9) Dapat dipercaya (al-amanah, “amanah”); salah satu konsekuensi iman ialah amanah atau penampilan yang dapatdipercaya. Amanah sebagai budi luhur adalah lawan dari khianat yang amat tercela. Keteguhan masyarakat memerlukan orang para anggotanya yang terdiri dari pribadi-pribadi yang penuh amanah dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar.

10) Perwira (‘iffah atau ta’affuf); yaitu sikap penuh harga diri namun tidak sombong, dan tidakmudah menunjukkan sikap memelas atau iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan pertolongannya.

11) Hemat (Qawamiyyah); yaitu sikap tidak boros (israf) dan tidak pula kikir (qatr) dalam menggunakan harta, melainkansedang (qawam)

(16)

antara keduanya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa orang yang boros adalah teman setan yang menentang Tuhannya.

12) Dermawan (al-munfiqun), menjalankan infaq); yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia, terutama mereka yang kurang beruntung (para fakir miskin dan yang ter-belenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya (raqabah) dengan mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan dan diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab mereka tidak akan memperoleh kebajikan sebelumm endermakan sebagian dari hartanya yang dicintainya itu.

Berdasarkan kedua dimensi kehidupan yang merupakan ciri dari nilai-nilai Islam yang perlu dikembangakan pada kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana tersebut di atas, bertujuan agar dalam pribadi anak tertanam jiwa ketauhidan dan akhlakul karimah. Dengan dasar itu, maka akan terbentuk pribadi anak yang mampu mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai keagamaan serta terpenuhinya kebutuhan rohani anak.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, menurut Darajat (2006:84), tujuan penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak adalah untuk membuat anak tersebut menjadi “insan kamil” dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. Sehingga itu Darajat (2006:84-85) menambahkan, bahwa dalam pelaksanaan penanaman nilai-kegiatan keagamaan pada anak harus diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut:

1) Meningkat ketaqwaan kepada Allah swt.

2) Meningkatkan penghayatan dan pengamalan agama dalam rangka mempertinggi akhlak, memperkuat mental dan moral manusia Indonesia.

3) Menghindari kecenderungan pendangkalan dan pengerdilan pemahaman dan kehidupan spritual keagamaan.

(17)

5) Membina persatuan dan kesatuan bangsa.

6) Meningkatkan peranan agama sebagai pemberi motivasi dan juga semangat pembangunan serta sebagai penggerak dan pengarah potensi umat beragama untuk pembangunan nasional.

7) Menanggulangi dampak negatif dari proses modernisasi yang berbentuk praktek-praktek kultural yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. 8) Mengimbangi dan mengadakan adaptasi dalam proses modernisasi

dalam bentuk pengembangan pikiran-pikiran ilmiah dalam cara menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

Untuk dapat mencapai tujuan dimaksud yakni membina dan menyempurnakan pertumbuhan dan kepribadian anak, menurut Waluyo (dalam Taufik, 2007:4), ada dua aspek penting yang perlu dilakukan oleh orang tua yaitu: Pertama, aspek pembentukan kepribadian (yang ditujukan kepada anak). Tugas orang tua dalam hal ini adalah : a) menyadarkan anak didik tentang adanya Allah Swt dan membiasakan anak didik untuk melakukan perintah Allah Swt dan meninggalkan larangan-Nya. b) memberikan keteladanan sehingga anak terlatih untuk melakukan ibadah dengan praktek-praktek agama dan membawa dekatnya jiwa anak kepada keimanan; c) membiaskan anak untuk berlaku sopan santun dan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran akhlak, serta; d) menjadikan diri anak untk bisa terterima secara positif di tengah-tengah kehidupan keluarga dan masyarakat. Kedua, aspek pengajaran nilai-kegiatan keagamaan pada anak. Orang tua dalam hal ini terlebih dahulu mengetahui secara utuh tentang nilai-kegiatan keagamaan yang akan diajarkan kepada anak agar keimanan kepada Allah SWT yang nantinya akan dimiliki anak menjadi sempurna. Orang tua harus mampu menunjukkan apa yang disuruh, apa yang dilarang, apa yang boleh, apa yang dianjurkan

(18)

untuk dilakukan, dan apa yang dianjurkan untuk ditinggalkan sesuai dengan ajaran agama.

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Orang Tua dalam Memenuhi Kebutuah Rohani Anak

Menurut Sjarkawi (2006:16-18) faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua dalam memenuhi kebutuhan rohani anak dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Berikut adalah penjelasan kedua faktor tersebut:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah faktor bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi gabungan atau kombinasi dari sifat kedua orang tuanya.

Faktor internal tersebut dapat berupa; kondisi kesehatan, emosional, intelegensi, pengamalan ajaran agama bagi orang tua, serta hal-hal lain berupa akhlak dan karakter orang tua.

Beradasarkan uraian di atas, maka orang harus memperhatikan anak-anaknya serta mendidik mereka sejak kecil, bahkan sejak anak-anak itu masih dalam kandungan. Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas sama sekali dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang

(19)

pendidikan yang legal. Bahkan menurut Ghozali (2006:37) “Anak adalah suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya”.

Bahkan hal yang paling penting sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak adalah kebiasaan orang tua hal kesusilaan/akhlak yang ada dalam keluarga. Lebih dari itu terdapat juga pertalian emosional antara anak, orang tua dan anak-anaknya, yakni turut berduka cita jika orang tuanya berduka cita dan akan merasa bahagia jika orang tuanya berbahagia. Begitulah keadaan saling pengaruh-mempengaruhi antara anak dengan orang tuanya dan anggota keluarga lainnya, sampai kepada keadaan emosional.

Jelaslah bahwa keluarga itu merupakan ajang pertama di mana sifat-sifat kepribadian muslim anak bertumbuh dan terbentuk. Seorang anak akan menjadi warga masyarakat yang baik sangat bergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga di mana anak dibesarkan. Kelak, kehidupan anak tersebut juga mempengaruhi masyarakat sekitarnya sehingga pendidikan keluarga itu merupakan dasar terpenting untuk kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun pada masyarakat.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga, teman, tetangga, sampai dengan pengaruh dari berbagai media audiovisual

(20)

seperti TV dan VCD, atau media cetak seperti koran, majalah dan lain sebagainya.

Purwanto (2005:160) menyebutkan, faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua dalam memenuhi kebutuah rohani anak, terbagi dalam 3 faktor, yakni: (1) Faktor Biologi atau seringkali disebut faktor fisiologis yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani. Keadaan fisik seseorang memegang peranan penting dalam perilakunya; (2) Faktor sosial yaitu masyarakat. Yakni manusia-manusia lain disekitar individu yang mempengaruhi individu yang bersangkutan. Termasuk juga disini tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa dan sebagainya yang berlaku dalam masyarakat itu; (3) Faktor kebudayaan, dalam faktor kebudayaan aspek yang mempengaruhi pembentukan perilaku nilai-nilai hidup yang berlaku dalam masyarakat, adat dan tradisi, pengetahuan, ketrampilan, dan bahasa.

Perilaku orang tua dalam mendidik dan membesarkan anaknya pada gilirannya juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuah rohani anak. Pemenuhan kebutuah rohani anak melalui kegiatan keagamaan menghendaki orang tua di lingkungan rumah tangga bertindak sebagai teman yang dapat bekerja sama dengan anak-anak mereka dalam menyelesaikan segala tugas guna memperbaiki keadaan sosial maupun fisik. Perilaku orang tua sebagai pengamat yang menggunakan sudut pandang menyeluruh dan objektif akan membantu cara berpikir akhlak anak ke arah yang luas, objektif, dan menyeluruh.

(21)

Itulah sebabnya, faktor yang terpenting bagi orang tua adalah perilakunya yang bisa diteladani anak. Dalam hal ini, menurut Daradjat (2000:16) hendaknya setiap orang tua selalu terbuka dan menyadari dorongan yang mendasari tindakannya karena dorongan ini akan sangat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan rohani anak. Secara tulus orang tua dapat berusaha membelajarkan anaknya dan mendidik mereka untuk memiliki perilaku keberagamaan dan akhlak yang baik.

Dalam rangka upaya pemenuhan kebutuah rohani anak pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan psikomotor. Menurut Sjarkawi (200618) dalam upaya pemenuhan kebutuah rohani anak anak ada tiga unsur yang diperhatikan yaitu:

1. Unsur kognisi diantaranya: pertama, orang tua meyakini bahwa anak sebagai makhluk sosial yang sedang berkembang sarat dengan masalah etika dan akhlak; kedua, orang tua harus memahami bahwa anak dapat belajar dari berbagai sumber, termasuk orang tua yang penuh dengan muatan etika dan akhlak untuk diteladani; ketiga, orang tua harus memahami bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua mampu memberikan manfaat pada anak karena didasarkan pada etika dan akhlak; keempat, orang tua memiliki pertimbangan dan pemikiran yang cermat, jernih, teliti, manusiawi, dan penuh tanggung jawab, dan dilandasi etika akhlak akan mampu membelajarkan anak menuju pada pencapaian tujuan yang telah dicapai.

2. Unsur-unsur kognisi tersebut di atas dapat diturunkan kedalam pola prilaku afektif di antaranya sebagai berikut: pertama, memberikan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap kehidupan manusia yang penuh muatan etika dan akhlak; kedua, berupaya sesuai dengan keahlian yang dimiliki, ikut mengimplementasikan dan mengembangkan secara optimal etika dan akhlak pada anak secara propesional; ketiga, berusaha seoptimal mungkin menerapkan keahlian yang dimiliki untuk membelajarkan anak dengan dilandasi etika dan akhlak; keempat, bersikap positif terhadap pentingnya etika dan akhlak dan diwujudkan dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran di sekolah.

(22)

3. Penyikapan secara afeksi tersebut dapat secara nyata diwujudkan dalam bentuk psikomotor, yang di antaranya sebagai berikut: pertama, orang tua harus memperlihatkan sifat-sifat kesedehanaan, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, serta harus penuh rasa tanggung jawab; kedua, orang tua bersifat terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan kepadanya; ketiga, orang tua harus menghormati harkat dan hak-hak pribadi anak; keempat, orang tua dalam proses pembelajaran tidak membeda-bedakan anaknya dengan dalih apapun; kelima, orang tua harus mengutamakan penampilan yang prima secara fisik, mudah tersenyum, dan secara psikis berperilaku empatik, simpatik, dan tutur bahasa yang jelas, baik dan benar serta santun; keenam, sekolah dan orang tua dapat menciptakan iklim yang kondusif (bersih, indah, asri, nyaman, dan taat melaksanakan) sehingga daripadanya anak dapat meneladaninya.

Bagi orang tua motivasi dalam pemenuhan kebutuah rohani anak melalui kegiatan keagamaan dilakukakan di samping yang disebutkan diatas, sistem pendidikan yang paling menonjol adalah aspek sistem ibadahnya. Hubungan terus menerus dengan Allah merupakan proses pendidikan Islam.

Menurut Aly dan Munzir (2003:156) bahwa pelaksanaan kebaikan yang hakiki tidak dapat dijamin tanpa hubungan yang hidup antara individu dan penciptanya. Demikian pula penegakan kebenaran dan keadilan baru dapat dijamin manakala semua manusia sama-sama berorientasi pada Allah swt. baik ketika sendirian maupun ketika berkumpul, baik ketika beribadah maupun ketika bekerja, baik dalam suasana damai maupun perang, dan baik dalam tingkah laku sehari-hari maupun kehidupan biasa.

Dari prinsip-prinsip di atas terlihat hubungan yang erat antara akhlak mulia dan kosep ibadah dalam pendidikan Islam. Semua itu berpengaruh terhadap tingkah laku, sikap, dan gaya hidup anak. Keluhuran akhlaq merupakan menifestasi hakikat dan inti sistem pendidikan Islam. Sistem

(23)

berpikir dan sistem aktifitas; semuanya berjalan seiring bersama dasar-dasar pendidikan yang integral dan seimbang.

Konsep ibadah berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan rohani. Konsep ibadah berpusat pada prinsip dasar penting bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya yang memikul amanat risalah dan menjalankan syariat-Nya. Konsep ibadah dan prinsip dasar bahwa manusia adalah khalifah Allah swt. di muka bumi berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuah rohani anak melalui kegiatan keagamaan. Fungsi aqidah yang pertama ialah membantu fitrah dan mengarahkan kearah yang lurus sementara tujuan yang utama ialah membantu fitrah dalam menemukan jalan menuju Allah swt.

Demikian ibadah merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mengarahkan pemenuhan kebutuhan rohani anak yang berorientasi pada kegiatan keagamaan baik bermanfaat untuk dirinya maupun untuk kemaslahatan orang banyak. Atau dengan kata lain, ibadah-ibadah pada umumnya merupakan daya pendorong bagi anak untuk menghadapi kehidupan nyata dengan segala problem dan rintangannya, di samping merupakan daya penggerak untuk merealisasi kebaikan bagi dirinya dan masyarakatnya

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa upaya pemenuhan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan ialah mempersiapkan manusia yang beribadah (al-insan al-‘abid) serta memiliki sifat-sifat ‘ibad al-rahman, seperti berbuat baik dan berusaha mencari rizki.

(24)

Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk bekerja seperti keterampilan, pengetahuan, dan tingkah laku hendaknya dicontohkan melalui pembelajaran pendidikan agama Islam dalam hal memenuhi kebutuhan rohani anak.

Upaya pemenuhan kebutuhan rohani anak melalui kegiatan keagamaan akan dapat diwujudkan dengan baik apabila orang tua memiliki perilaku terpuji yang dapat diteladani oleh anak-anaknya. Perilaku orang tua tidak hanya menjadi dasar baginya untuk rajin ibadah atau bertingkah laku yang berakhlak, tetapi juga sekaligus menjadi model keteladanan bagi para anaknya untuk dicontoh dan dikembangkan.

(25)
(26)
(27)

Referensi

Dokumen terkait

(Bandung : Alumni, 2001), h.120.. Konsep HAM selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad Hatta yaitu hak menentukkan nasib sendiri. Perkembangan HAM ini menjadi sangat

pengusaha). d) Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam management perusahaan atau

Dari uji swelling juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan dalam membran maka hasil persen swelling semakin kecil, hal ini disebabkan dengan

Dengan kondisi tersebut masyarakat memerlukan suatu ruang yang dapat mewadahi segala aktivitas kesenian, khususnya kesenian tradisonal untuk menambah pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan fakta bahwa skor rata-rata pre-menstruation syndrome pada responden di SMAN 3 Kota Kediri sesudah diberikan relaksasi nafas

Sistem tersebut meliputi : assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

konsumen dan menyediakan kecepatan dan ketepatan pelayanan. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah yang kecenderungannya naik dari