• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2. 1. 1 Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Definisi dan Insiden

Ventilator associated pneumonia (VAP) merupakan bagian dari hospital acquired pneumonia dengan kejadian yang cukup tinggi di ICU1,2,20. VAP didifenisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang dilakukan ventilasi mekanik setelah pemasangan pipa endotrakea selama 48 jam atau lebih.1,2 Resiko VAP meningkat paling tinggi pada awal rawatan dengan ventilasi mekanik, dimana terjadi peningkatan resiko tiga persen setiap hari dari hari pertama sampai hari kelima. Setelah hari kelima peningkatan resiko sebesar dua persen perhari sampai hari ke sepuluh. Peningkatan resiko sebesar satu persen perhari setelah hari ke sepuluh.1Kejadian VAP di ruang perawatan intensif masih sangat tinggi dengan angka mortalitas yang tinggi, lama rawatan yang memanjang dan biaya perawatan yang sangat tinggi.2

Meskipun belum ada data mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, pada kepustakaan luar negeri diperoleh data bahwa kejadian VAP sekitar 9% -27% dengan angka mortalitas 15% - 50%.1,3,18,22 Tingginya angka ini dipengaruhi oleh populasi pasien dan organisme penyebab, dengan pemanjangan masa rawatan pada VAP sekitar 6.1 hari dan penambahan biaya mencapai 40.000 dolar Amerika setiap pasien.3

Menurut onsetnya VAP dikelompokkan dalam 2 kelompok utama yakni VAP onset cepat, dimana kejadian VAP muncul dalam 4 hari pertama setelah dilakukan tindakan ventilasi mekanik, maupun VAP onset lambat yakni VAP yang muncul setelah 4 hari dilakukan tindakan ventilasi mekanik.2,4.

Etiologi dan Patogenesis VAP

Patogenesis terjadinya VAP umumnya terjadi akibat mikroaspirasi organisme patogen dari orofaring dan regurgitasi sekresi lambung ke dalam paru disertai penurunan mekanisme

(2)

pertahanan tubuh.4,22,23. Faktor resiko terhadap kejadian VAP secara umum dikelompokkan dalam 2 kelompok yakni faktor resiko yang masih dapat dimodifikasi maupun faktor resiko VAP yang tidak dapat dimodifikasi. Jenis tindakan medis, pengobatan dan kebiasaan di ICU merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi, sedangkan usia diatas 60 tahun, COPD, ARDS, cedera kepala dan intubasi ulang merupakan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi21. Diagnosis dan pengobatan yang cepat akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas VAP22

Mengingat aspirasi bakteri dari saluran nafas atas merupakan patogenesis penting dari VAP, maka keberadaan flora normal di rongga mulut menjadi penting diperhatikan. Ada lebih dari 350 spesies bakteri di rongga mulut, yang berkoloni pada beberapa tempat. Streptokokus sanguis, Actynomyces viscosus dan bakteroides gingivalis umumnya berkoloni di gigi. Sreptokokus salivarius umumnya berkoloni di bagian dorsal dari lidah. Sedangkan Streptokokus mitis sering dijumpai pada mukosa bukal dan permukaan gigi.23 Pada kondisi dimana terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh, misalnya pada pasien critically ill, terjadi penurunan fibronectin yang menyebabkan sistem retikuloendotel sebagai sistem pertahanan tubuh mengalami gangguan sehingga terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen23

Mikroorganisme penyebab VAP didominasi oleh bakteri patogen, dan dapat disebabkan lebih dari 1 organisme. Penyebab lain seperti jamur dan virus jarang dijumpai.21 Penyebab yang paling sering adalah bakteri basil gram negative aerobik seperti Pseudomonas aeroginosa, Echercichia coli, Klebsiella pneumonia, dan Acinetobacter sp.21 Bakteri kokus gram positif seperti Staphylococus aureus, khususnya MRSA mengalami peningkatan yang pesat dalam kejadian VAP di Amerika Serikat24. Pneumonia akibat S.aureus lebih sering dijumpai pada pada pasien dengan diabetes mellitus dan cedera kepala yang dirawat di UPI24.

Theron D(2002) membagi mikroorganisme penyebab VAP berdasarkan onset VAP, dimana pada VAP onset cepat sering dijumpai Staphylococus aureus (gram positif), Haemofilus influenza (gram negative) dan Streptokokus pneumonia (gram positif). Sedangkan pada VAP onset lambat bakteri penyebab yang sering dijumpai seperti MRSA, Pseudomonas aeruginosa dan acinetobacter atau enterobacter.5

(3)

Ozcaka O,dkk (2012) menyebutkan bahwa Acinetobacter baumannii merupakan bakteri yang paling sering menjadi penyebab VAP.15

Chastre J dan Fagon J (2002), menyebutkan 60 persen bakteri penyebab VAP merupakan bakteri basil gram negatif. Dalam penelitiannya dengan mengumpulkan 2490 aspirat bronkus dari 1689 kasus VAP dengan teknik bronkoskopi dijumpai bahwa patogen penyebab VAP meliputi Pseudomonas aeruginosa, Acinotebacter spp, Stenotrophonomas maltophilia, Enterobacteriaceae, Haemophilus spp, Staphylococcus aureus, Streptococcus spp, Streptococcus pneumoniae, Coagulasenegative staphylococci, Neisseria, mikroorganisme anaerobik, dan jamur (tabel 1).4

Tabel 1.Patogen penyebab VAP

Kuman patogen Frekuensi (%)

Pseudomonas aeruginosa 24,4 Acinetobacter spp. 7,9 Stenotrophomonas maltophilia 1,7 Enterobacteriaceae 14,1 Haemophilus spp. 9,8 Staphylococcus aureus 20,4 Streptococcus spp. 8,0 Streptococcus pneumoniae 4,1 Coagulase-negative staphylococci 1,4 Neisseria spp 2,6 Bakteri anaerob 0,9 Lain-lain 3,8

dikutip dari Chastre J, FAgon JY.Ventilator associated pneumonia.Am J Respir crit.care med 2002;165: 872.4

Pneumonia terjadi karena adanya invasi bakteri pada saluran nafas bawah dan parenkim paru yang seharusnya steril, dimana kejadian ini juga dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien.4

(4)

barier anatomis pada glottis dan laring, reflex batuk, sekresi trakheobronkial, mukosiliari, sistem imunitas humoral dan seluler, sistem fagosit seperti makrofag dan netrofil4. Gangguan pada sistem ini memungkinkan terjadinya invasi bakteridan kejadian pneumonia.4 Patogenesis VAP utamanya akibat aspirasi patogen yang berkoloni pada permukaan mukosa orofaring. Tindakan intubasi bukan hanya dapat mengganggu barrier alami antara orofaring dan trakea namun juga dapat menfasilitasi masuknya kuman pada sekitar cuff pipa endotrakea. Fenomena ini sering terjadi pada pasien terintubasi dengan posisi supine di UPI. Pada pasien yang bukan critically ill ataupun rawatan singkat, flora normal dan patogen bisa menjadi penyebab VAP, namun pada pasien critically ill dan rawatan lebih dari 5 hari kuman gram negatif dan Staphylococcus aureus lebih sering dijumpai.4 Selain aspirasi orofaring, aspirasi material lambung juga dapat menimbulkan kejadian VAP. Kejadian masuknya kuman patogen dari lambung ke orofaring berhubungan dengan tingkat keasaman lambung, dimana pemberian antasida yang dapat merubah keasaman di lambung akan dapat mempengaruhi pola kuman di lambung Manipulasi pada pipa ventilator , sehingga material kondensasi pada pipa ventilator masuk ke dalam saluran nafas pasien juga meningkatkan resiko kejadian VAP. Tindakan bronkoskopi, penghisapan sekret trakea, dan manual ventilasi dengan alat-alat yg terkontaminasi dapat menyebarkan mikroorganisme patogen ke salauran nafas bawah.4

Sumber kuman patogen lain yang dapat menyebabkan VAP termasuk dari sinus paranasal, plak gigi, daerah subglotik antara pita suara dan cuff pipa endotrakea.4

Faktor resiko pada VAP penting diketahui, karena akan memberikan informasi tentang besarnya kemungkinan kejadian VAP pada individu maupun populasi. Dengan mengetahui faktor resiko kita dapat memikirkan tindakan preventif terhadap kejadian VAP.4

Pasien-pasien paska operasi memiliki resiko tinggi terjadinya VAP, dimana hampir sepertiga pasien pneumonia yang dirawat di UPI merupakan pasien paska operasi. Kejadian VAP paska operasi berhubungan dengan kondisi umum dan beratnya penyakit sebelum dilakukan tindakan operasi, seperti nilai albumin serum dan nilai American Society of Anasthesiologist pasien sebelum operasi. Riwayat merokok, lamanya rawatan rumah sakit sebelum di operasi, lamanya tindakan operasi, dan operasi pada abdomen bagian atas ataupun operasi thoraks akan meningkatkan kejadian pneumonia secara bermakna paska operasi.

(5)

Perawatan dengan ventilasi mekanik lebih dari 2 hari juga terbukti meningkatkan resiko kejadian VAP. Selain itu tindakan operasi kardiothoraks dan operasi cedera kepala juga menunjukkan peningkatan resiko timbulnya VAP dibandingkan jenis operasi lainnya.4

Penggunaan antibiotik di rumah sakit berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian resistensi kuman terhadap antibiotik. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pemberian antibiotik dalam 8 hari pertama dapat menurunkan resiko VAP. Pada analisis multivariat terlihat bahwa tindakan resusitasi jantung paru dan pemakaian sedasi secara kontiniu akan meningkatkan resiko VAP, dan penggunaan antibiotik disebutkan dapat mengurangi kejadian timbulnya VAP. Dapat disimpulkan bahwa ternyata penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien di UPI akan menurunkan kejadian VAP, namun disisi lain kejadian patogen multiresisten terhadap antibiotik mengalami peningkatan.4

Secara teori, pasien yg mendapat profilaksis stress ulcer yang tidak terjadi perubahan keasaman lambung, seharusnya kolonisasi bakteri di lambung juga rendah sehingga angka kejadian VAP juga akan rendah. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa ada hubungan tingkat keasaman lambung dengan kolonisasi bakteri di lambung, dimana pa da lambung dengan peningkatan PH diatas 4, setelah pemberian antasida dan H2 bloker terjadi peningkatan kolonisasi bakteri yang bermakna (p<0.001), dimana jenis kuman didominasi oleh bakteri basil gram negative.Sucralfate sebagai gastroprotective yang tidak terlalu mempengaruhi PH lambung ternyata lebih rendah dalam menimbulkan kejadian VAP, dan kejadian VAP juga lebih rendah pada pasien yang tidak diberikan sucralfate. Oleh karena itu pemberian profilaksis sebaiknya menjadi perhatian sebab dapat meningkatk an resiko kejadian VAP4

Adanya pipa endotrakea pada saluran nafas akan menyebabkan trauma lokal dan inflamasi saluran nafas, dimana mekanisme pertahanan saluran nafas juga akan terganggu, dan kemungkinan terjadinya aspirasi kuman patogen pada sekitar cuff pipa endotrakea juga akan meningkat. Pemilihan pipa endotrakea juga dapat mempengaruhi kejadian aspirasi yang tentunya meningkatkan kejadian VAP. Penggunaan pipa endotrakea low volume high pressure menurunkan kejadian VAP sampai 56%, sedangkan penggunaan pipa endotrakea high volume low pressure akan menurunkan kejadian VAP sebesar 20%. Menjaga agar tekanan cuff tetap adekuat menjadi penting, karena leakage pada cuff dapat menyebabkan

(6)

cairan sekresi rongga mulut masuk kedalam trakea.4

Sekresi subglotik yang terakumulasi di atas cuff ETT dapat masuk ke saluran nafas bawah dan menyebabkan kejadian VAP. Dalam hal ini subglotic secretion drainage menjadi strategi pencegahan kejadian VAP, dengan melakukan penghisapan sekret yang terkumpul di atas cuff ETT tersebut.25

Tindakan penghisapan sekresi orofaring baik secara kontiniu maupun intermiten dapat mencegah terjadinya aspirasi cairan sekresi ke dalam trakea pada pasien dengan ventilasi mekanik sehingga mengurangi kejadian VAP.4

Tindakan intubasi ulang juga ternyata meningkatkan resiko kejadian VAP, dimana hal ini dimungkinkan karena aspirasi mikroorganisme patogen orofaring ke dalam saluran nafas bawah pada pasien dengan disfungsi subglotik dan penurunan kesadaran pada pasien yang diintubasi sebelumnya. Hal lain yang mungkin juga ikut berperan adalah terjadinya aspirasi dari material lambung ke dalam saluran nafas bawah karena masih terpasangnya NGT setelah ekstubasi. Pada satu penelitian case control kejadian VAP sebesar 42% pada pasien yang di intubasi ulang, sedangkan kejadian VAP pada kontrol sebesar 4%. Penelitian lain menyebutkan bahwa intubasi ulang diidentifikasikan sebagai salah satu faktor resiko independent timbulnya VAP (p<0.001).4

Tindakan early trakeostomy sebagai faktor resiko kejadian VAP masih menjadi kontroversi, dimana masih sedikit penelitian tentang hal ini. Pada beberapa penelitian menunjukkan terjadi penurunan kejadian VAP yang dilakukan tindakan early trakeostomi, namun pada penelitian lain tidak terlihat mamfaat dari tindakan ini dalam pencegahan kejadian VAP.4

Hampir semua pasien dengan ventilasi mekanik menggunakan nasogastric tube (NGT) untuk evakuasi sekresi lambung dan usus sehingga dapat mencegah distensi lambung .Selain itu NGT juga berfungsi untuk mendukung nutrisi pasien. Meskipun secara umum pemasangan NGT bukan merupakan faktor resiko potensial kejadian VAP, namun NGT dapat meningkatkan kolonisasi orofaring dimana terjadi stagnasi sekresi orofaring dan meningkatkan resiko terjadinya refluks oesofagus dan aspirasi.Pemberian diet lebih cepat pada pasien critically ill diketahui bermamfaat, namun hal ini dapat meningkatkan kolonisasi bakteri di lambung, refluks oesofagus dan kejadian pneumonia.Kejadian pneumonia aspirasi

(7)

lebih tinggi pada pemberian NGT secara bolus dibandingkan dengan dengan pemberian diet melalui NGT secara kontiniu.Posisi pasien selama ventilasi mekanik juga mempengaruhi resiko kejadian VAP, dimana pada posisi supine kejadian VAP lebih tinggi dibandingkan dengan posisi semirekumben.4

Peralatan ventilasi mekanik dapat menjadi sumber bakteri yang bertanggungjawab terhadap kejadian VAP, dimana kontaminasi reservoir nebulizer dapat menyebarkan partikel- partikel kecil.4

Penggunaan suksion juga dapat berpotensi meningkatkan resiko VAP, dimana penggunaan closed suction dinyakini meminimalisasi kontaminasi mikroorganisme dibandingkan dengan sistem open suction sehingga kejadian VAP juga dapat diminimalisasi.4

Ventilasi mekanik dengan masalah humidifikasi dapat meningkatkan kolonisasi bakteri pada tubing ETT, dan pembentukan kondensasi sehingga dapat meningkatkan kejadian VAP, dimana dengan humidifikasi kelembaban udara yang diinspirasi dapat diatur.4

Adanya sinusitis akan meningkatkan kejadian VAP, dimana 67 % pasien dengan ventilasi mekanik yang menderita sinusitis akan mengalami kejadian VAP dalam beberapa hari.Penggunaan intubasi nasotrakeal berhubungan dengan kejadian sinusitis yang lebih tinggi dibandingkan dengan intubasi orotrakea. Oleh karena itu tindakan intubasi oral lebih dianjurkan pada pasien denganventilasi mekanik.26

Transport pasien dengan ventilasi mekanik keluar dari UPI akan meningkatkan kejadian VAP, dimana pasien yang ditransport keluar UPI minimal 1 kali akan meningkatkan resiko kejadian VAP sebesar 24%.4

Diagnosis VAP

Diagnosis VAP pada umumnya didasari pada 3 komponen yaitu tanda infeksi sistemik, dijumpainya infiltrat baru atau perburukan infiltrat pada foto radiologis dada dan adanya bukti infeksi bakteri pada parenkim paru. Tanda-tanda infeksi sistemik meliputi demam, takikardi, dan leukositosis, merupakan tanda yang tidak spesifik, dimana tanda ini juga ditemukan pada infeksi lainnya. Adanya infiltrat pada foto radiologis dada juga perlu dibedakan dengan kejadian edema paru baik kardiogenik maupun nonkardiogenik, dan

(8)

kontusio paru. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sekret trakea penting dilakukan dalam menentukan kuman penyebab pneumonia, meskipun ternyata kebanyakan pasien rawatan UPI mengalami peningkatan jumlah koloni kuman patogen pada orofaring meskipun tidak terinfeksi pneumonia. 4

Pada 1991, Pugin,dkk memperkenalkan CPIS dengan menilai kombinasi dari tanda -tanda klinis pada pasien yang dicurigai mengalami VAP, meliputi temperatur, leukosit darah, sekresi trakeobronkial, radiologis dada, perbandingan PaO2/FiO2 sebagai parameter untuk mendiagnosa VAP.

Tabel 2.Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) : Variabel Nilai Demam 0 = ≥36,50C dan≤38,40C 1 = ≥38,50Cdan ≤ 38,90 C 2 = ≥39 0 C atau < 36,50C

Leukosit darah 0= ≥ 4000 dan ≤11000 1= < 4000 atau >11000 2 = < 4000 atau >11000 + bentuk band ≥50 %

Sekret trakea 0 = tidak ada

1 = sekret non purulen 2 = sekret purulen

PaO2/FiO2 0 = >240 , ARDS atau kontusio paru

2 = ≤240 tanpa ARDS

Radiologis dada 0 = tidak dijimpai infiltat 1 = infiltrat yang difus 2 = infiltrat terlokalisir

dikutip dari Miney J,dkk. Guidelines for prevention, diagnosis and treatment of ventilator associated pneumonia (VAP) in the trauma patient. J Trauma.2006; 60: 1108.27

(9)

Disebutkan bahwa CPIS lebih dari 6 berhubungan dengan angka kejadian VAP dengan sensitivitas 89% ,spesifisitas 47% ,positive predictive value 57% dan negative predictive value 84%.4 Pada penelitian lain Singh,dkk menggunakan CPIS modifikasi sebagai algoritma dalam menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu ,dimana CPIS kurang dari 6 dalam 3 hari, penggunaan antibiotik dapat dihentikan.28

Mengingat VAP merupakan pneumonia yang terjadi setelah 48 jam dilakukan tindakan intubasi dan ventilasi mekanik, maka penilaian CPIS untuk mendiagnosa VAP juga dilakukan setelah 48 jam tindakan ventilasi mekanik.

Spesimen kuman dapat diambil dengan metode invasif maupun non invasif.Bronkoalveolar lavage (BAL) dan protected specimen brush (PSB) merupakan tindakan invasif pengambilan sampel, sedangkan tindakan nonivasif dilakukan dengan metode aspirasi endotrakea.4

Diagnosis VAP diambil setelah sebelumnya pasien dinyakini tidak terkena pneumonia. Nilai CPIS lebih dari 6 dapat digunakan untuk mendiagnosis kejadian VAP pada pasien, sedangkan bila CPIS dibawah 6 diagnosa VAP dapat disingkirkan.27

Pencegahan VAP

Dengan memahami patogenesis VAP, maka kita dapat menyusun strategi dalam pencegahan kejadian VAP. Secara garis besar pencegahan VAP dibagi dalam 2 kelompok, yakni pencegahan secara non farmakologis maupun pencegahan secara farmakologis.27 Mengingat aspirasi sekret orofaring maupun sekresi lambung dan saluran cerna menjadi patogenesis utama dalam VAP, maka secara non farmakologis, tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah kejadian ini. Sedangkan secara farmakologis dilakukan tindakan-tindakan dengan obat-obatan untuk mencegah kolonisasi bakteri di orofaring maupun di lambung yang dapat masuk ke saluran nafas bawah ketika terjadi aspirasi.4,24

Tindakan - tindakan pencegahan VAP yang dilakukan secara non farmakologis lebih mudah dan lebih murah bila dibandingkan dengan tindakan secara farmakologi. Secara non farmakologis dapat dilakukan beberapa tindakan seperti menghindari tindakan intubasi trakea jika memungkinkan, mengusahakan waktu penggunaan ventilasi mekanik yang singkat, memberikan pemahaman kepada staf di ICU tentang VAP dan pentingnya

(10)

pencegahannya, melakukan sucksioning subglotic, mengutamakan intubasi oral dibandingkan intubasi nasal, menghindari manipulasi pada sirkuit ventilator, posisi semirecumben, mencegah kejadian distensi lambung, mencegah terbentuknya biofilm , melakukan tindakan asepsis pada tangan sebelum melakukan kontak dengan pasien.4,7,24 Meskipun hal-hal tersebut diatas sudah dilakukan dan menjadi prosedur tetap di UPI, angka kejadian VAP masih cukup tinggi, sehingga pencegahan secara farmakologis masih diperlukan .

.

Pencegahan VAP secara farmakologi

Pencegahan secara farmakologis dapat dilakukan dengan dekontaminasi orofaring maupun selective dekontaminaton of the digestive (SDD).Tindakan SDD dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik yang tidak dapat diserap. Namun pencegahan dengan cara ini akan menimbulkan permasalahan munculnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Demikian juga tindakan dekontaminasi oral dengan antibiotik juga akan menimbulkan resistensi kuman terhadap antibiotik. Menginngat hal tersebut diatas, maka tindakan dekontaminasi oral dengan menggunakan zat antiseptik menjadi pilihan saat ini. Beberapa zat antiseptik yang dapat digunakan pada dekontaminasi orofaring seperti klorhexidin, povidone iodine , hydrogen peroksida, dan listerine®.12

Pada beberapa literatur disebutkan tentang penggunaan klorheksidin dan listerine® sebagai zat dekontaminasi orofaring dalam menurunkan kejadian VAP.5

Ozcaka O dkk (2012), menyebutkan penggunaan klorheksidin swab pada mukosa mulut menunjukkan penurunan kejadian VAP dibandingkan dengan saline 0.9% ( 41,4% dan 68.8%)15

Pada penelitian Tantipong H,dkk (2008) disebutkan bahwa dekontaminasi oral dengan klorheksidine 2% efektif dan aman dalam menurunkan kejadian VAP.16

Houston S dkk (2002), membandingkan pemakainan klorheksidin 0,12 % dengan listerine sebagai kontrol 2 kali sehari pada 561 sampel dengan ventilasi mekanik yang dipilih secara acak. Kejadian nosokomial pneumonia pada kelompok klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine® dijumpai tidak bermakna (4/270 dan 9/291, p=0,21). Pemeriksaan kultur menunjukkan pertumbuhan bakteri lebih sering pada kelompok

(11)

klorheksidin dibandingkan dengan kelompok listerine®, dimana perbedaan ini juga tidak bermakna (52/270 dan 44/291, p=0,19).13

Snyders O,dkk (2011) menyebutkan dekontaminasi orofaring dengan klorheksidin menurunkan kejadian VAP sebesar 36%, dimana penggunaan klorheksidin 2% disebutkan paling efektif dalam menurunkan kejadian VAP. 28

Selain klorheksidin, listerine juga dapat digunakan sebagai dekontaminasi oral dalam pencegahan VAP. Gordon J,dkk (1985) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa listerine® kumur secara bermakna menurunkan munculnya plak gigi serta mencegah perkembangan gingivitis. 17

2.1.2 Klorheksidin

Klorheksidin telah dipakai secara luas dikalangan kedokteran, baik oleh dokter umum, dokter spesialis, maupun dokter gigi, sebagai antibakteri selama lebih dari 25 tahun.14 Klorheksidin mulai dikenal sejak 1950 sebagai antimikroba dengan rumus kimia1,1 '-hexamethylenebis [5-(p-chlorqpheny1)biguanide] di-D-gluconate, rumus molekulnya adalah C22H3OCl2N102C6H1207, struktur kimianya adalah:

Dikutip dari prijantojo.Peranan chlorhexidine terhadap kelainan gigi dan rongga mulut. Cermin dunia kedokteran 1996; 113:33

Sejak diperkenalkan, klorheksidin digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik, dimana klorheksidin ternyata sangat efektif sebagai desinfektan pada kulit sebelum operasi, cuci tangan sebelum operasi, serta desinfektan alat alat yang digunakan saat operasi. Klorheksidin merupakan antiseptik dengan spektrum luas yang sangat efektif untuk menghambat bakteri gram (-), gram (+), ragi, jamur, protozoa, algae dan virus.15,17,30

Telah dibuktikan bahwa klorheksidin dapat mengikat bakteri, mungkin disebabkan adanya interaksi antara muatan positif dan molekul-molekul klorheksidin dengan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri

(12)

yang menyebabkan terjadinya penetrasi ke dalam sitoplasma yang menyebabkan kematian mikroorganisme.12,15,30 Pada PH fisiologis klorheksidin mengikat bakteri di permukaan rongga mulut. Pada konsentrasi 4-32 mcg/mL klorheksidin bersifat bakteriostatik, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi akan bersifat bakteriosidal.12,14. Pada pemakaian klorheksidin 0,2% obat kumur 2 kali sehari menunjukkan hambatan pembentukan plak gigi dan berkurangnya kejadian radang ginggiva14

Penyelidikan secara in vitro menunjukkan bahwa klorheksidin diserap oleh hydroxyapatit permukaan gigi dan mucin dari saliva, kemudian dilepas perlahan-lahan dalam bentuk yang aktif. Keadaan ini merupakan dasar aktivitas klorheksidin dalam membentuk plak gigi. Kumur-kumur dengan klorheksidin 0.2% dua kali sehari akan mengurangi mikroorganisme dalam saliva sebesar 80%, dan apabila dihentikan bakteri akan kembali seperti semula dalam 24 jam.12,14

2.1.3 Listerine®

Listerine® yang adalah merek dagang merupakan antiseptik yang efektif untuk mencegah pembentukan plak gigi.11 Sebagai antiseptik, listerine dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tanpa merusak secara keseluruhan. Sebagai antibakteri pemakaian antiseptik sebagai obat kumur bertujuan menghambat pertumbuhan bakteri plak.11

Bahan aktif yang terkandung dalam listerine® meliputi : tymol, eucalyptol, mentol, dan metil salisilate. Zat-zat ini terlarut dalam etanol 26,9%. Pada listerin original terkandung timol 0,0624%. Zat aktif timol sendiri merupakan zat antiseptik dan anti jamur yang sudah lama digunakan, yang merupakan komponen utama bersama eucalyptol, mentol, dan compor.31

Ujicoba klinis menunjukkan adanya penghambatan pembentukan plak dan radang ginggiva pada pemakaian listerine® selama 7-60 hari. Hal ini juga didukung oleh penelitian Lamser,dkk selama 6 bulan yang menunjukkan listerine® dapat mengurangi penimbunan plak dan menurunkan derajat keradangan ginggiva. Pada penelitian Gordon,dkk yang melibatkan 144 mahasiswa kedokteran gigi dengan kumur-kumur listerine® 2 kali sehari sebanyak 20 ml setiap kali kumur selama 30 detik. Hasil evaluasi menunjukkan terjadi penurunan

(13)

pembentukan plak secara bermakna pada bulan 1,3 dan 6. Radang ginggiva juga mengalami penurunan yang bermakna pada penggunaan listerine®.11

2.2 Kerangka Teori : menyebabkan --- : menghambat

INTUBASI DAN

VENTILASI MEKANIK

DEKONTAMINASI

ORAL DENGAN

ANTISEPTIK

-Klorheksidin -povidone iodine -hidrogen peroksida -listerine®

PENCEGAHAN

NONFARMAKOLOGIS

-

Intubasi per oral

- Pemakaian ventilator

sesingkat mungkin - Subglotticsuctioning

- Posisi setengah duduk

- Hindari distensi abdomen

- Jumlah perawat yang

adekuat - Cuci tangan

KOLONISASI

KUMAN

OROFARING

DEKONTAMINASI ORAL

DENGAN ANTIBIOTIK

ASPIRASI

SEKRET

OROFARING

DAN SEKRESI

GASTER

VAP

(14)

2.3 KERANGKA KONSEP

Keterangan : : menyebabkan : mencegah Identifikasi Variabel Variabel bebas :

 Dekontaminasi oral dengan klorheksidin 0,2%  Dekontaminasi oral dengan listerine®

Varibel tergantung :  Kejadian VAP DEKONTAMINASI ORAL DENGAN KLORHEKSIDIN 0,2% VAP (CPIS) DEKONTAMINASI ORAL DENGAN LISTERINE® TINDAKAN INTUBASI + VENTILASI MEKANIK

Gambar

Tabel 2.Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) : Variabel                                                       Nilai

Referensi

Dokumen terkait

Oleh semua uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang strategi-strategi apa saja yang dilakukan oleh Hotel Borobudur Jakarta dalam

2.1 cemaran mikroba kontaminan jasad renik/mikroba pada daging, telur dan susu, serta hasil olahannya yang dapat merusak produk dan atau membahayakan kesehatan manusia 2.2 daging

Elgary Resources Indonesia justru Ta’no yang telah lama diabaikan kemudian diangkat atau dihidupkan kembali oleh masyarakat Oenbit karena mereka merasa bahwa ketika

Nilai-nilai sosial budaya yang perlu diperhitungkan dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini penting karena:(a) beragamnya tata kehidupan dalam masyarakat; (b) beragamnya

(dimodifikasi dari Sudiarta, 2005) Sehubungan dengan pembelajaran matematika pada siswa SD kelas V khususnya dalam materi pecahan, maka dalam penelitian ini hanya

Koesma Tuban menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) memiliki kemampuan yang baik dalam mengisi evaluasi asuhan keperawatan dan seluruh (100%) berpendapat bahwa

Data dari proses pembelajaran dengan bahan ajar menulis berbasis nilai-nilai Islam (uji efektivitas) berupa pola interaksi dan sikap siswa dengan siswa, siswa dengan