• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP PERJANJIAN PERPARKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP PERJANJIAN PERPARKIRAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

KONSEP PERJANJIAN PERPARKIRAN

A. Perjanjian Perparkiran

Dalam kasus-kasus terjadinya kehilangan kendaraan bermotor konsumen, pelaku usaha kebanyakan berlindung dibawah klausula baku, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungan hukum apa yang mendasari antara pelaku usaha dengan konsumen (pemilik kendaraan).

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai bagaimana hubungan hukum dan bagaimana peristiwa perparkiran terjadi mulai dari pengertian, kategori, para pihak yang terlibat dan hubungan hukum yang mendasarinya sebagai berikut:

1.

Pengertian Peristiwa Perparkiran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “Perparkiran” sendiri berarti “perihal parkir”, menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ “Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa

saat dan ditinggalkan pengemudinya”.31

Dari pengertian yang telah disebutkan sebelumnya maka peristiwa perparkiran itu terjadi apabila ketika ada seseorang yang meninggalkan kendaraan bermotornya dengan cara melakukan penitipan kepada pihak penyedia jasa perparkiran yang memang dalam hal ini menyediakan jasa untuk parkir kendaraan bermotor. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Parkir untuk umum" adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. Artinya bila ada

(2)

16 seseorang yang memberhentikan kendaraannya ditempat yang sudah ditentukan untuk sebagai parkir di ruang milik jalan (semisal bahu jalan) dengan maksud tidak untuk meninggalkannya dan hanya berhenti sejenak maka tidak dapat diartikan sebagai tindakan parkir.

Dalam perkembangannya fasilitas parkir sangat penting dalam menunjang kebutuhan transportasi masa sekarang, di daerah perkotaan ketersediaan lahan parkir merupakan kebutuhan yang krusial yang tidak dapat dihindari karena menjadi kebutuhan pokok dengan banyaknya pemilik kendaraan bermotor yang ada saat ini. Fasilitas parkir sendiri juga dapat golongkan dalam beberapa kategori antara lain:

a. Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan

Dalam kategori ini fasilitas parkir hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan. (Pasal 43 Ayat (3) UU LLAJ. Salah satunya adalah parkir dengan retribusi yang diatur dalam Pasal 108 PP No. 79 Tahun 2013 Penyediaan fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dapat dipungut tarif retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan

Penyelenggaraan fasilitas Parkir ini dapat dijalankan oleh perseorangan warga negara Indonesia ataupun badan hukum Indonesia berupa:

(3)

17

b. penunjang usaha pokok.32

Menurut pasal 100 PP Nomor 79 Tahun 2013 Fasilitas parkir untuk umum di luar ruang milik jalan dapat berupa taman parkir dan/atau gedung parkir.

Dalam hal ini penulis hendak membahas kategori fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan yang diselenggarakan oleh badan usaha yakni usaha khusus perparkiran. Dimana konsumen selaku pengguna jasa perparkiran menitipkan kendaraan bermotornya di tempat parkir Mall yang dikelola oleh Badan Hukum yakni Perseroan Terbatas. Seperti contoh kasus PT. Cipta Sumina Indah Satresna Vs. Ramadhan.M (penggugat I) dan Ariyanti (penggugat II).

Penulis akan membahas lebih khusus mengenai kategori parkir yang diselenggarakan oleh badan usaha yang ada di Indonesia yakni berupa usaha khusus perparkiran oleh suatu badan hukum yang mengelola jasa perparkiran yang ada di suatu mall. Dalam hal perparkiran pihak atau subjek hukum yang terlibat, namun sebelumnya pengertian mengenai apa itu subjek hukum akan lebih dahulu dijelaskan, Subjek hukum adalah “Setiap pihak yang menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam melakukan hubungan hukum. Subjek hukum berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum objektif”. Hak-hak subjektif adalah hak-hak yang secara subjektif dapat dimiliki atau dilaksanakan oleh subjek hukum, sedangkan pelaku dalam hukum objektif adalah subjek hukum yang

secara objektif melakukan perbuatan hukum.33

Dalam ilmu hukum dikenal adanya 2 (dua) pihak yang bertindak sebagai subjek hukum, yaitu:

32 Pasal 43Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009. 33 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.57.

(4)

18 1. manusia sebagai natuurlijk persoon, yaitu subjek hukum alamiah dan bukan hasil kreasi manusia, tetapi ada kodrat; yang artinya manusia lahiriah itu sendiri

2. badan hukum atau rechtspersoon yaitu subjek hukum yang

menghasilkan kreasi hukum.34

Berkaitan dengan perparkiran, pihak-pihak yang terlibat/ subjek hukumnya antara lain :

a. Badan Usaha (Pelaku Usaha parparkiran, pemilik sekaligus pengelola) b. Pengguna jasa perparkiran (Konsumen).

c. Petugas Parkir.

Pengelola parkir menyediakan tempat untuk parkir kendaraan bermotor bagi konsumennya sebagai pengguna jasa perparkiran dimana konsumen menyerahkan kendaraannya dan akan mengambilnya kembali dengan karcis parkir dan ketentuan biaya yang harus dibayarkan.

2.

Asas-asas dalam Perjanjian

Dalam perjanjian dikenal dengan adanya asas-asas hukum, asas hukum merupakan suatu fundamen filosofis yang keberadaanya conditio sine quanon bagi suatu norma-norma hukum dalam aturan hukum positif, yang bertujuan memberikan arahan yang layak atau pantas menurut hukum. Jika dikembangkan dari pemahaman tersebut maka asas hukum perjanjian juga berfungsi sebagai pedoman atau arahan filosofis dalam pembentukan norma-norma hukum dalam

perjanjian yang dibuat oleh para pihak.35

34 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.51. 35 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.74-75.

(5)

19 Berikut bebrapa penjealsan mengenai ssas-asas dalam Perjanjian :

a. Asas Konsensualitas

Asas Konsensualitas berasal dari kata latin “consensus” yang berarti sepakat. Dalam membuat perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan antara para pihak mengenai prestasi yang dijanjikan. Dengan adanya asas ini berarti suatu perjanjian ada saat kesepakataan mengenai hal yang pokok misal dalam kontrak jual beli sudah tercapai kesepakatan

mengenai harganya.36

b. Asas Kebebasan Membuat Kontrak (Perjanjian)

Asas kebebasan berkontrak ini adalah asas yang universal, artinya dianut

oleh hukum kontrak di semua negara pada umumnya.37 Asas kebebasan

berkontrak membebaskan para pihak dalam menentukan isi perjanjian, mengenai apa saja yang mereka inginkan dalam perjanjian dan apa yang mereka tidak inginkan ada dalam perjanjian. Namun kebebasan ini bukan berarti bebas tanpa batas, karena negara harus melindungi pihak yang lemah secara sosial dan ekonomi untuk melindungi ketertiban

umum, kepatutan dan kesusilaan.38

c. Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini mengharuskan semua pihak dalam perjanjian memenuhi apa

yang merupakan ikatan mereka dalam perjanjian yang mereka buat.39

Asas kekuatan mengikat ini dapat kita temui landasan hukumnya dalam bunyi ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata:

36 Ibid, h. 81. 37 Ibid. 38 Ibid, h. 89. 39 Ibid, h. 91.

(6)

20 “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual, dianggap sudah terberi dan dianggap tidak

pernah dipertanyakan kembali.40

d. Asas Itikad Baik

Kesepakatan dalam perjanjian yang diwujudkan secara lisan maupun tertulis harus dilaksanakan dengan asas itikad baik, seperti dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Namun tidak ada penjelasan mengenai makna dari asas itikad baik. Makna dari “itikad baik” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan, keyakinan teguh, maksud, kemauan (yang baik).41

e. Asas Keseimbangan

Dalam hubungannya dengan perjanjian, secara umum asas

keseimbangan bermakna sebagai keseimbangan posisi para pihak.42

Tidak terpenuhinnya keseimbangan berpengaruh pada kekuatan perjanjian itu sendiri, dalam terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan dapat muncul karena perilaku para pihak itu sendiri maupun karena sebagai konsekuensi dari muatan isi perjanjian atau pelaksanaan

perjanjian43. Asas keseimbangan bertujuan untuk menjadikan posisi para

40 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung:

Citra Aditya Bakri, 2015, h.100.

41 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.93. 42 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, h.97. 43 Ibid.

(7)

21 pihak sama/ seimbang, menjamin kesetaraan kedudukan bagi para pihak dalam pemenuhan hak dan kewajibannya.

f. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan sangat penting dalam perjanjian, karena dengan adanya asas kepercayaan maka akan menimbulkan keyakinan bagi para pihak bahwa perjanjian tersebut akan dilaksanakan. Suatu perjanjian muncul berdasarkan pada apa yang oleh para pihak dapat disimpulkan

dari pernyataan atauperbuatan mereka. 44

3.

Perjanjian Perparkiran

Dalam perjanjian perparkiran Hubungan hukum antara subjek yang ada dalam peristiwa perparkiran seperti yang sudah dijelaskan pada poin ke-1 yang pertama adalah:

1. Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan pengguna jasa perparkiran, kedua subjek hukum tersebut melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, dimana pengguna jasa menggunakan jasa pelaku usaha untuk parkir yang disediakan untuk menitipkan kendaraannya.

2. Hubungan hukum selanjutnya adalah Pelaku Usaha dengan Pegawai (Petugas Parkir), kaitannya dengan hal ini adalah apabila terjadi kesalahan dari petugas parkir maka hubungan hukum yang ada adalah antara petugas dengan pelaku usahanya yang bertanggung jawab terhadap konsumen adalah pelaku usaha.

(8)

22 3. Hubungan hukum antara petugas parkir dengan pengguna jasa perparkiran, dilihat dari uraian sebelumnya bahwa jika petugas parkir melakukan kesalahan maka yang bertanggung jawab terhadap kerugian konsumen adalah pelaku usaha.

Sehingga dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara petugas parkir dengan pengguna jasa parkir tidak ada hubungan hukum. Hubungan hukum yang ada adalah antara pelaku usaha dengan pengguna jasa selaku konsumen, dan juga hubungan hukum antara pelaku usaha dengan petugas parkir.

Penulis hendak membahas secara khusus hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dengan mempertahankan argumen bahwa hubungan hukum yang ada dalam peristiwa perparkiran merupakan suatu perjanjian. Karena antara subjek hukum yakni pengelola parkir dan pengguna jasa parkir saling mengikatkan diri.

Pasal 1313 BW memuat pengertian yuridis perjanjian adalah :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”45

Pengertian perjanjian dalam pasal 1313 BW tersebut merupakan pengertian secara luas.

Sedangkan menurut Rahmad Setiawan yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.46 Menurut penulis karena perjanjian

menimbulkan akibat hukum maka harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, hal ini juga selaras dengan pendapat dari Sudikno yang mengatakan

45 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(9)

23 perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata

sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.47

Sebelumnya akan dibahas kembali mengenai beberapa unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian, yakni:

1. Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum, akibat hukum adalah hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum

Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. 3. Adanya prestasi

4. Di bidang harta kekayaan.48

Jika melihat dari unsur-unsur diatas, maka dapat dijabarkan bahwa perjanjian merupakan dasar dalam peristiwa perparkiran jika terpenuhi unsur-unsur tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Dalam kaitannya dengan peristiwa perparkiran maka dapat dilihat bawa hubungan hukumnya terjadi di saat seorang pengguna jasa perparkiran menitipkan kendaraannya kepada pihak pengelola dengan maksud mengambilnya kembali dengan ketentuan pihak pengguna akan membayarkan sejumlah uang kepada pihak pengelola.

2. Subjek hukum kaitannya dengan hal ini adalah, adanya pelaksana perbuatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban. Yakni pelaku usaha yang menyediakan usaha khusus perparkiran dan juga pihak yang menggunakan jasa dari usaha khusus perparkiran tersebut dimana pengguna menitipkan barangnya kepada pihak penyedia usaha khusus perparkiran.

47 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1985,

hlm.97-98.

48 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar

(10)

24 3. Prestasi adalah melakukan dan tidak berbuat sesuatu.

Melakukan atau tidak berbuat sesuatu dalam hal ini baik pengguna jasa melakukan tindakan yakni menitipkan kendaraannya kepada pihak pengelola, sedangkan pihak pengelola sebagai usaha khusus perparkiran yang menyediakan tempat untuk parkir melakukan kewajiban untuk menjaga kendaraan dan mengembalikannya dalam wujud semula. 4. Kaitannya dengan bidang harta kekayaan, dalam hal ini adalah objek

dari perjanjian adalah barang bergerak yang dapat dikatakan harta kekayaan dari pengguna yang diserahkan kepada pengelola untuk dititipkan. Harta kekayaan tersebut berupa kendaraan bermotor (objek dari perjanjian tersebut dapat dinilai dengan uang) yang diparkirkan di tempat usaha khusus perparkiran tersebut.

Perjanjian perparkiran ini lahir apabila suatu keadaan Kendaraan berhenti untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya ditempat yang memang menyediakan tempat untuk parkir, dan perjanjian ini ada apabila pelaku usaha parkir sudah menerima wujud barang (kendaraan) secara riil dari konsumen dengan syarat bahwa pelaku usaha menyimpan dan mengembalikan sesuai wujud asli kepada konsumen.

Sebelum meninggalkan kendaraannya di area parkir konsumen akan diberikan karcis parkir yang merupakan penegasan dari adanya perjanjian yang terjadi jika hendak menitipkan kendaraannya di area parkir.

Pada saat konsumen menerima karcis parkir tersebut maka saat itu juga konsumen dianggap telah setuju/sepakat ketentuan yang telah dibuat oleh pengelola parkir, dan oleh karena itu telah terjadi hubungan hukum antara

(11)

25 pengelola dengan konsumen dimana hubungan hukum adalah hubungan

perjanjian.49

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah dasar hubungan hukum dalam usaha perparkiran.

Ada dua bentuk dalam perjanjian, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Perjanjian Tertulis

Perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, perjanjian ini dibagi kedalam dua macam, yaitu

dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta notaris (akta otentik).50

a. Perjanjian Tertulis dalam Akta Bawah Tangan

Menurut Pasal 1874 BW, akta dibawah tangan adalah “surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti”. Jadi akta bawah tangan semata-mata dibuat oleh para pihak yang berkepentingan. Semua kontrak yang dibuat sendiri oleh para pihak bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya juga diperbolehkan dimana saja, yang terpenting bagi kontrak tertulis dalam

akta bawah tangan terletak pada tanda tangan para pihak.51

b. Perjanjian Tertulis dalam Akta Otentik

Akta otentik menurut Pasal 1868 BW adalah akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berkuasa (pejabat umum) untuk itu, ditempat dimana akta

49Indah Pramitasari “Hubungan Hukum Antara Pemilik Kendaraan Dengan Pengelola

Parkir” vol 3 No. 1 Juni 2016, h.22.

50 Salim H.S, Op.Cit, h.29.

(12)

26 tersebut dibuat. Disebut akta otentik jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

- Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pejabat

umum yang ditunjuk oleh undang-undang

- Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dengan cara

membuat akta harus menurut persyaratan materiil (substantif) dan persyaratan formil (prosedural) yang ditetapkan oleh undang-undang.

- Ditempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut.52

2. Perjanjian Lisan

Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara lisan (oralcontract) tidak tertulis dalam akta bawah tangan

maupun akta otentik.53

Suatu janji secara lisan berarti penyerahan dari “apa yang dikehendaki dan diminta oleh pihak yang menawarkan kepada pihak yang menerima”. Legitimasi suatu janji ditemukan dengan cara memandang janji sebagai kewenangan bertindak suatu pihak. Para pihak berjanji secara lisan akan melakukan sesuatu, dalam perkataan dan perbuatan, karena para pihak memegang berkemampuan, tidak saja dalam arti materiil, tetapi juga spiritual. Janji, meskipun diungkapkan secara lisan dan dinyatakan dalam perkataan dan perbuatan, adalah faktor potensial, titik taut dari apa yang sebenarnya dikehendaki, oleh para pihak dalam

rangka menegaskan hubungan hukum kontraktual tertentu.54

52 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., h.140. 53Ibid, h.137.

(13)

27 Kartu parkir atau yang biasa disebut dengan karcis parkir adalah merupakan bukti bahwa pengguna jasa sebagai orang yang menitipkan kendaraan bermotornya untuk masuk dan menitipkannya di tempat parkir, karcis parkir yang merupakan bukti dari perjanjian lisan karena, merupakan “tiket” untuk masuk dan menitipkan kendaraan bermotor ke dalam tempat penyedia jasa perparkiran, dimana ketika hendak menitipkan kendaraan penyedia jasa akan memberikan karcis tersebut sebagai bukti penitipan tersebut.

Karcis parkir bukan merupakan perjanjian tertulis, jika dilihat dari pengertian sebelumnya bahwa perjanjian tertulis merupakan yang dilakukan para pihak yang berkepentingan baik dibawah tangan maupun perjanjian dalam akta otentik, karena pertama jika perjanjian dibawah tangan merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan dengan menggunakan tanda tangan, kedua, jika merupakan perjanjian dalam akta otentik pembuatan perjanjian tersebut juga tidak dilakukan dan dibuat oleh pejabat umum.

Argumentasi lain yang memperkuat pendapat penulis adalah berdasarkan pertimbangan Hakim MA dalam Perkara Nomor 2078 K/Pdt/2009 ( PT Securindo Packatama Indonesia vs Sumito Y Viansyah ), bahwa hubungan hukum antara pengusaha parkir dengan pemilik kendaraan adalah perjanjian penitipan maka diketahui bahwa hakim berpendapat telah terjadi hubungan perjanjian karena perjanjian penitipan barang merupakan salah satu jenis dari perjanjian.

“Bahwa berdasarkan Yurisprudensi bahwa hubungan hukum antara pemilik kendaraan dengan pengusaha parkir adalah “Perjanjian Penitipan ”, yang jika dihubungkan dengan Pasal -Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata maka Tergugat berkewajiban menanggung kehilangan sepeda motor Penggugat di tempat pengelolaan

(14)

28 Tergugat sehingga dengan hilangnya sepeda motor milik

Penggugat maka pihak Tergugat harus bertanggung jawab.” 55

Berdasarkan pernyataan hakim tersebut penulis setuju dengan pendapat hakim tersebut bahwa perjanjian parkir merupakan perjanjian penitipan barang, hal ini akan dibahas secara khusus dalam bagian Bab II. B.

B. Perjanjian Perparkiran sebagai Perjanjian Penitipan Barang

Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama, penitipan barang tersebut dapat dilakukan dengan adanya bayaran maupun

dengan sejumlah bayaran.56 Ada dua jenis penitipan barang yaitu; penitipan murni

(sejati) dan Sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).

Dalam kaitannya dengan peristiwa perparkiran, dimana pemilik kendaraan bermaksud memberikan barangnya kepada pihak penyedia jasa dengan maksud untuk mengambilnya kembali, pengertian dari perjanjian penitipan barang juga memiliki maksud yang sama dengan terjadinya peristiwa perparkiran, suatu penitipan barang baru akan terjadi apabila barang tersebut sudah benar-benar diserahkan secara riil.

Pada prinsipnya, perjanjian dari aspek namanya dapat digolongkan menjadi

dua macam,57 dan perjanjian penitipan barang ini merupakan jenis dari perjanjian

nominaat yang adalah perjanjian bernama, dan telah diatur dalam Pasal 1694-1743 KUH Perdata. Diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyebutkan

55 Lihat Pada Putusan MA Nomor 2078 K/Pdt/2009 dalam kasus PT Securindo

Packatama Indonesia vs. Sumito Y Viansyah.

56 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Buku ke satu,

Jakarta: Sinar Grafika, 2003, h.76.

57 Iswi Hariyani, R. Serfianto, & Cita Yustisia. Merger, Konsolidasi, Akuisisi, dan Pemisahan Perusahaan, Jakarta: Visi Media, 2011, h.44.

(15)

29 “Semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.

Dari penjelasan mengenai jenis-jenis kontrak diatas penulis berpendapat bahwa perjanjian perparkiran adalah perjanjian nominaat (bernama) yang merupakan perjanjian penitipan barang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian penitipan barang diatur dalam Pasal 1694 KUH Perdata yang berbunyi

“Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam

keadaan yang sama.”58

Jika melihat dari penjelasan tersebut perjanjian parkir dapat digolongkan kedalam perjanjian penitipan barang yang adalah perjanjian nominaat, karena peristiwa perparkiran terjadi ketika seseorang/konsumen menitipkan kendaraan bermotornya dan menyerahkannya dengan maksud untuk mengambilnya kembali dalam keadaan yang utuh atau sama. Demikian juga kewajiban dari pelaku usaha tersebut bahwa pelaku usaha wajib menyimpan dan mengembalikannya seperti keadaan semula.

Pada dasarnya, ada dua pihak yang terkait dalam perjanjian penitipan barang, yaitu bewaagever dan bewaarnemer. Bewaagever adalah orang yang menyerahkan barang untuk disimpan. Sedangkan bewaarnemer adalah orang yang menerima barang untuk disimpan. Di samping itu, dikenal juga dengan istilah bewaarder. Bewaarder, yaitu penyimpan yang ditentukan oleh juru sita untuk

(16)

30 menyimpan barang hasil sitaan dengan menerima ongkos simpan. Objek dalam

penitipan barang ini adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak.59

Hubungan hukum antara para pihak dalam perjanjian penitipan barang menimbulkan hak dan kewajiban. Kewajiban bagi yang menyimpan barang dalam hal ini badan usaha antara lain, memelihara barang dengan sebaik-baiknya, mengembalikan berang tersebut ke penitipnya, pemeliharaan harus dilakukan secara hati-hati. Sedangkan hak dari penyimpan antara lain, penggantian biaya atas barang yang dijaganya, penggantian kerugian yang diakibatkan dalam menyimpan barang dan lain-lain. Sedangkan hak bagi penitip adalah menerima kembali barangnya secara utuh, dan kewajibannya adalah memberikan sejumlah

pembayaran kepada penyimpan.60 Selain itu objek yang ada dalam perjanjian

perparkiran adalah kendaraan yang dititipkan bukan lahan tempat parkir, maka menurut penulis perjanjian perparkiran juga bukan perjanjian sewa menyewa.

Berdasarkan pendapat Hakim MA dalam putusannya bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam peristiwa perparkiran antara pemilik kendaraan dengan pelaku usaha adalah “Perjanjian Penitipan”, yang jika dihubungkan dengan Pasal-Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata maka Tergugat berkewajiban menanggung kehilangan sepeda motor Penggugat di tempat pengelolaan Tergugat.

Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat hakim yang mengatakan bahwa hubungan hukum antara para pihak adalah perjanjian penitipan barang, namun jika dihubungkan dengan pasal 1365, 1366 dan 1367 BW yang merupakan perbuatan melawan hukum adalah kurang tepat, karena jika dasarnya adalah

59 Salim H.S, Op.Cit, h.77. 60Ibid.h.77.

(17)

31 perjanjian penitipan maka seharusnya bukan dari pasal mengenai PMH akan tetapi akibat tidak dilakukannya suatu prestasi (wanprestasi) dalam Pasal 1239 yang mengatakan :

“Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya....”

Perjanjian dan PMH merupakan dua hal yang berbeda, menurut penulis wanprestasi terjadi ketika seseorang melanggar perjanjian (tidak memenuhi apa yang harus dilakukan dalam perjanjian tersebut) jadi tidak ada wanprestasi jika tidak ada suatu perjanjian. Sedangkan PMH adalah jika perbuatan yang dilakukan melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan norma yang ada.

Dalam bukunya, Ridwan Khairandy mengatakan bahwa wanprestasi atau cidera janji adalah kondisi dimana debitor tidak melaksanakan kewajiban yang

ditentukan dalam perjanjian (kewajiban kontraktual).61

Secara spesifik Meijers menyatakan bahwa wanprestasi adalah perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian.Wanprestasi adalah konsep perikatan yang timbul karena perjanjian. Wanprestasi itu bersumber dari perjanjian, dalam praktik di negeri Belanda, gugatan dengan

kualifikasi wanprestasi harus berdasar pada tidak dipenuhinya suatu perjanjian.62

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebenarnya bukan merupakan

bagian dari hukum kontrak.63

Istilah “melawan hukum” sebelum tahun 1919 diartikan secara sempit, namun Hoge Raad mulai menafsirkan PMH secara luas pada tahun 1919, dalam

61 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Prespektif Perbandingan (Bagian Pertama), Yogyakarta : FH UII Press, 2013, h.278.

62Ibid, h.279. 63Ibid, h.299.

(18)

32 perkara Lindenboem vs Cohen dimana PMH, termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,

atau bertentangan dengan kesusilaan.64

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wanprestasi dan PMH merupakan hal yang berbeda, mengapa ada wanprestasi karena ada perjanjian, dimana tidak dilaksanakannya sesuatu atas perjanjian tersebut, sedangkan PMH jika ada perbuatan melanggar undang-undang secara umum. Sedangkan persamaan antara wanprestasi dengan PMH adalah adanya tuntutan ganti rugi.

Dari beberapa pengertian, unsur-unsur wanprestasi adalah :

1. Tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian

Kaitannya dengan unsur ini adalah dimana pengelola parkir yang berkewajiban (prestasi) adalah menjaga dan memelihara kendaraan bermotor yang dititipkan kepadanya, dengan mengembalikan dalam keadaan semula kepada pengguna jasa parkir (konsumen) namun tidak dapat memenuhi prestasinya.

2. Ada kesalahan

Hubungannya dengan peristiwa perparkiran adalah kesalahan dimana pengelola kehilangan kendaraan bermotor yang dititipkan kepadanya, kesalahan dimana tidak mengecek kembali setiap kendaraan yang keluar area parkir sehingga adanya kendaraan yang hilang.

3. Ada kerugian

Adanya kerugian dalam hal ini adalah karena kesalahan pengelola parkir yang menyebabkan hilangnya kendaraan bermotor milik

(19)

33 konsumen, maka pengguna jasa parkir yang menitipkan kendaraannya mengalami kerugian materiil.

4. Ada hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian.

Hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian adalah dari adanya kesalahan yang dilakukan oleh salah satu pihak menimbulkan kerugian yang dialami oleh pihak lain, dalam hal ini pihak pengelola

salah karena menimbulkan hilangnya kendaraan konsumen.65

Bahwa dari penjelasan diatas maka telah terpenuhi unsur-unsur wanprestasi, dan seharusnya hakim menganalisa bahwa perbuatan yang terjadi dalam peristiwa perparkiran tersebut merupakan wanprestasi bukan suatu PMH.

Dengan adanya wanprestasi, pihak konsumen yang dirugikan sebagai akibat dari kegagalan prestasi oleh pihak pelaku usaha dapat melakukan gugatan untuk menegakkan hak kontraktualnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 BW yang

mengatakan bahwa:66

“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian

biaya, kerugian dan bunga.”67

Dalam lingkup perlindungan konsumen parkir yang telah dibahas ini merupakan suatu perjanjian sedangkan jika PMH dilihat dari perlindungan konsumen, contohnya seperti kasus Obat Albothyl yang mencuat di awal tahun 2018 lalu dimana

“albothyl merupakan salah satu obat yang bekerja sebagai antiseptic, hemostatik, dan astringent. Sifatnya berguna sebagai zat yang membantu koagulasi atau untuk mengurangi sistem

65 Indah Pramitasari, Op.Cit, h.30. 66 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h.26.

(20)

34 pembekuan darah ketika terjadi luka, yang di klaim dapat

mengobati sariawan, sebagai obat kumur, mengatasi bau mulut, cocok untuk penderita sakit gigi, bahkan dapat di klaim dapat mengatasi berbagai masalah yang terjadi pada kemaluan baik

perempuan maupun laki – laki.” 68

BPOM (Badan Pengawasan Obat & Makanan) menyebutkan melalui Surat Edaran yang mereka keluarkan bahwa Albothyl tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik, dan menarik izin edar obat tersebut, dalam dua tahun BPOM telah mendapat 38 laporan kasus oleh konsumen yang menggunakan obat tersebut karena justru tidak kunjung sembuh tetapi sariawan semakin membesar dan terjadi infeksi.

Dari contoh kasus tersebut menurut penulis merupakan PMH karena hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen bukan merupakan suatu perjanjian, dan selain itu juga memenuhi unsur menimbulkan kerugian yakni konsumen, perbuatan tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum karena salah satunya pada Pasal 7 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 UUPK, Kewajiban Pelaku Usaha adalah :

“memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”

Berdasarkan penjelasan diatas terpenuhi lah unsur-unsur PMH.

Dengan adanya peristiwa dimana pengguna jasa perparkiran yang menitipkan kendaraannya di tempat parkir yang memang tempat yang menyediakan jasa perparkiran, dimana konsumen sebagai pengguna jasa menitipkan kendaraan bermotor mereka kepada pihak penyedia jasa dengan maksud untuk mengambil kembali kendaraannya dengan keadaan semula, dan

68 Nurullia Alfiani “Perlindungan Konsumen Pada Kasus Albothyl”,

http://nurulliaalfiani.blogspot.com/2018/03/perlindungan-konsumen-pada-kasus.html, diakses pada 19 Oktober 2018.

(21)

35 juga pihak penyedia jasa perparkiran yang berkewajiban untuk mengembalikan barang milik konsumen dengan imbalan “uang parkir” sebagai hak untuk menerima pembayaran atas tempat penitipan kendaraan tersebut yang telah dituliskan dalam karcis parkir. Konsumen memiliki kewajiban untuk membayarkan sejumlah uang kepada penyedia jasa sebagai haknya karena telah menyediakan tempat penitipan kendaraan.

Perjanjian penitipan barang ini merupakan perjanjian “riil” dimana baru akan terjadi bila dilakukannya suatu perbuatan nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan, jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian lain yang lazimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya kesepakatan tentang

hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.69

Ada dua jenis penitipan barang yaitu; penitipan murni (sejati) dan Sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).

a. Penitipan barang murni (sejati)

Penitipan murni dianggap dilakukan dengan cuma-cuma bila tidak diperjanjikan sebaliknya. Penitipan demikian hanya mengenai barang-barang bergerak. Penitipan barang-barang sejati ini belum terjadi apabila barang-barang yang bersangkutan belum benar-benar diserahkan atau dianggap sudah diserahkan. Diatur dalam Pasal 1696-1729 KUH Perdata.

Ada dua cara terjadinya penitipan barang murni (sejati), yaitu:

i. sukarela, artinya penitipan barang terjadi karena sepakat secara timbal balik antara yang menitipkan dan pihak yang menerima

(22)

36 titipan. Penitipan cara ini dilakukan oleh orang yang cakap melakukan perbuatan hukum.

ii. terpaksa, yaitu penitipan yang terpaksa dilakukan oleh seseorang karena terjadi malapetaka. Pasal 1706 mewajibkan si penerima titipan mengenai perawatan barang-barang yang dipercayakan kepadanya, memelihara dengan sikap yang sama seperti memelihara barang kepunyaannya sendiri Misalnya, kebakaran,

banjir, dan lain-lain.70 Ketentuan tersebut harus lebih keras dalam

beberapa hal, yaitu :

- jika si penerima tetap berkemauan untuk menawarkan diri menyimpan barang tersebut

- jika ia telah meminta diperjanjikan sesuatu upah untuk penyimpanan barang tersebut

- jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan yang menerima titipan

- jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam kelalaian.

b. Sekestrasi (penitipan dalam perselisihan)

Sekestrasi ialah penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang lain yang mengikatkan diri untuk mengembalikan barang itu dengan semua hasilnya kepada yang berhak atasnya setelah perselisihan diputus oleh Pengadilan. Penitipan demikian terjadi karena perjanjian atau

(23)

37 karena perintah Hakim. Sekestrasi diatur dalam Pasal 1730- 1739 KUHPerdata.

Sekestrasi terjadi karena suatu perjanjian, bila barang yang dipersengketakan itu diserahkan kepada orang lain oleh seseorang atau lebih dengan sukarela. Sekestrasi dapat mengenai barang-barang tak bergerak dan barang-barang bergerak.

Ada dua macam terjadinya sekestrasi, yaitu:

a. Sekestasi karena persetujuan, sekestrasi ini terjadi apabila barang menjadi sengketa karena diserahkan kepada pihak ketiga oleh salah seorang atau secara sukrela.

b. Sekestrasi karena perintah hakim. Terjadinya sekestrasi ini jika hakim memerintahkan supaya barang sengketa dititipkan kepada seseorang.

Berdasarkan pengertian diatas maka dalam peristiwa perparkiran, penitipan barang yang terjadi merupakan penitipan barang murni secara sukarela, dimana adanya timbal balik dari pihak yang hendak menyimpan akan memberikan penggantian berupa pembayaran sejumlah uang kepada pihak penyimpan selaku pengelola usaha perparkiran. Selain itu fungsi pengelola parkir adalah untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di lahan parkir oleh karena itu, konsumen membayar retribusi parkir bukan untuk menyewa lahan parkir, melainkan untuk memperoleh keamanan atas kendaraannya.

C. Klausula Baku dalam Perjanjian Perparkiran

1. Penjelasan Klausula Baku

Seperti sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya peristiwa perparkiran merupakan perjanjian penitipan barang dimana seseorang menitipkan kendaraannya kepada pihak penyedia jasa perparkiran, biasanya pihak parkir akan

(24)

38 memberikan karcis yang di dalamnya berisi ketentuan klausula baku yakni perjanjian yang ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha.

Dalam UUPK dijelaskan bahwa:

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”.71

Selain itu klausula baku dalam parkir dapat berupa norma-norma yang berlaku atau peraturan yang sudah seperti itu berlaku dalam masyarakat dan dianggap ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis tersebut juga harus ditaati dan berlaku sebagai klausula baku, karena karcis parkir merupakan perjanjian tidak tertulis.

Beberapa contoh klausula baku dalam perparkiran, ketentuan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha yang tidak mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha. Contoh :

- untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan karcis jangan ditinggal di kendaraan

- karcis berlaku hanya satu kali parkir

- kendaraan bermotor yang dititipkan hanya boleh diparkir mulai dari jam 08.00 s.d 20.00.

Klausula baku merupakan hal yang tidak dilarang dalam perjanjian, sepanjang tidak berisi klausula eksoneransi. Setiap klausula baku belum tentu klausula eksoneransi. Klausula eksoneransi adalah klausula yang berisi pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, sedanggkan setiap klausula eksoneransi adalah merupakan klausula baku.

71 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

(25)

39 Dalam buku Munir Fuadi, klausula eksemsi atau eksoneransi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya, klausula ini sangat memberatkan salah

satu pihak.72

Jika ada klausul yang mengatakan bahwa “segala kehilangan dan kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang- barang di dalamnya adalah risiko sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun) dan bukan tanggung jawab pengelola”, maka klausula tersebut masuk dalam klausul eksoneransi yang mengalihkan tanggungjawab pelaku usaha, dan hal tersebut dilarang. Pertama, dalam isi klausul tersebut disebutkan “segala bentuk kehilangan kerusakan kendaraan bermotor maupun barang-barang di dalamnya bukan tanggung jawab pengelola”, dalam hal ini pengelola adalah pihak yang menyediakan tempat penitipan kendaraan. Ke dua, dalam hal perjanjian penitipan barang pihak pengelola wajib menjaga dan mengembalikan barang dalam bentuk semula, hal tersebut merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari pengelola, maka apabila terjadi kehilangan kendaraan dari konsumen dan hal tersebut merupakan suatu kerugian maka pihak pengelola harus bertanggung jawab dan tidak mengalihkan tanggung jawab yang memang melekat karena merupakan pengelola penitipan kendaraan.

2.

Latar Belakang Terbentuknya Klausula Baku

Dalam buku Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani mencantumkan latar belakang terbentuknya perjanjian baku yang dikemukakan oleh Hondius. Ia

72 Munir Fuady, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua,

(26)

40 mengatakan bahwa sejarah dari perjanjian ini sudah ada sejak lima ribu tahun yang lalu ketika Mesir dan Negara Dua Sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, dan hampir di saat yang bersamaan syarat-syarat kontrak muncul dan dibakukan pertama kali. Sesudah itu banyak gejala peradaban yang melepaskan doktrin dari model-model kontra yang diterapkan rohaniawan. Namun sebaliknya penggunaan dari syarat-syarat baku ini akan bertambah, kebutuhan akan syarat baku ini bertambah di eropa barat karena timbulnya transaksi-transaksi perdagangan yang semakin menjamur dan timbulnya konsentrasi-konsentrasi modal yang semakin

besar, membuat pemakaian formulir-formulir ini penting.73 Klausula-klausula

yang adalah untuk mempercepat waktu karena dirasa lebih efisien dalam mengikuti perkembangan transaksi-transaksi yang terus berkembang.

Gras dan Plato mengemukakan latar belakang lahirnya perjanjian baku : Gras mengatakan bahwa kelahiran perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti pada abad XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi), perjanjian baku lazimnya diperbuat oleh organisasi

perusahaan-perusahaan. Plato berkata pula sebagai berikut:74

“latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan social dan ekonomi. perusahaan yang besar, perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. pihak lawannya (waderpartiji) yang pada umumnya mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang disodorkan itu “

73 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2014, h.101

(27)

41

3.

Akibat adanya Klausula Baku dalam Perparkiran

Keberlakuan klausula baku dalam usaha perparkiran juga memiliki perjanjian adalah adanya bentuk kepantasan dalam menempatkan posisi masing – masing pihak untuk menempatkan dirinya di dalam sebuah kontrak. Karena dengan terciptanya keadaan yang seimbang dimana tidak ada satu pihak pun yang posisinya lebih tinggi dan menghasilkan hak serta kewajiban yang seimbang membuat perjanjian tersebut bisa kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari klausula baku sendiri membawa dampak lebih efisien dalam waktu dan juga biaya yang dikeluarkan.

Kekurangan dari klausula baku adalah kurangnya kesempatan pihak lawan untuk bernegosiasi dalam menentukan isi kontrak tersebut yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan posisi dalam perjanjian. Dengan adanya klausula baku, konsumen secara tidak langsung “dipaksa” untuk mengikuti tanpa adanya pertimbangan dalam menentukan isi klausula tersebut.

Pelaku usaha dalam menjalankan usaha perparkirannya menerapkan klausula eksoneransi dimana pelaku usaha mengalihkan tanggung jawabnya dan berlindung dialami klausula yang telah mereka buat tersebut. Apakah yang terjadi bila klausula yang diterapkan adalah klausula eksoneransi, apakah dampak dari klausula tersebut terhadap perjanjian perparkiran? Untuk melihat lebih jelas mengenai masih ada atau tidaknya perjanjian maka penulis akan melihat dari contoh kasus seperti berikut:

Dalam pengadilan tingkat pertama No. 03/Pdt.G/2009/ PN.Smda Pengadilan mengabulkan gugatan Ramadhan.M (penggugat I) dan Ariyanti (penggugat II), dimana hakim menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum, dan

(28)

42 menghukum tergugat untuk mengganti rugi kepada penggugat I dan II, selanjutnya tergugat mengajukan banding dengan putusan No. 122/Pdt /2009 /PT.Smda yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda sebelumnya. Pada kasus tersebut dalam Putusan MA No. 2157 K/Pdt /2010 menolak permohonan kasasi oleh PT. Cipta Sumina Indah Satresna. MA sudah tepat dalam putusannya menolak permohonan kasasi tergugat. Hakim menyatakan bahwa perbuatan pengelola parkir yang menyebabkan kendaraan milik pengguna jasa parkir hilang adalah perbuatan melawan hukum. Selain itu dalam kasus 1966/K/PDT/2005 (Imelda Wijaya vs. Anugerah Bina Karya) dalam putusan tersebut tidak diketahui bagaimana hakim mempertimbangkan argumen penggugat. Namun yang jelas, hingga tingkat kasasi, pengadilan menyatakan perbuatan tergugat adalah perbuatan melawan hukum, klausula eksonerasi dalam perjanjian batal demi hukum, serta tergugat wajib membayar ganti rugi.

Putusan hakim tersebut tidak tepat yang menyatakan bahwa perbuatan pengelola parkir sebagai perbuatan melawan hukum, karena perjanjian parkir merupakan perjanjian penitipan barang. Sehingga seharusnya perbuatan yang dilakukan pengelola merupakan perbuatan wanprestasi,

Masalah yang ada adalah jika adanya klausula eksoneransi apakah perjanjian tersebut tetap berlaku. Dalam pasal 18 ayat (1) angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.

(29)

43 Jadi klausula yang ada dalam karcis parkir tersebut batal demi hukum, namun perjanjian perparkiran tersebut tetap ada, hanya klausulan eksoneransi yang hilang.

Penggugat dan juga penilaian hakim kemudian di satu sisi menganggap bahwa klausula eksoneransi perlu dibatalkan, maka dari itu menurut penulis secara tidak langsung perlunya pembatalan klausula eksoneransi berarti mengakui bahwa adanya perjanjian yang sejak awal juga sudah ditegaskan bahwa perjanjian adalah dasar dari hubungan hukum perparkiran. Hubungan hukum yang ada dalam peristiwa perparkiran menurut penulis dapat dilihat dari klausula yang ditetapkan oleh pelaku usaha sendiri. Tanggung jawab pelaku usaha parkir terhadap kehilangan kendaraan dan atau barang milik konsumen terkait adanya klausula baku pengalihan tanggung jawab dalam karcis parkir adalah pengelola parkir wajib bertanggung jawab memberi ganti kerugian kepada konsumen yang kendaraannya hilang di areal parkir yang dikelola oleh pengelola parkir karena pengelola parkir terbukti melakukan wanprestasi dalam perjanjian parkir yang merupakan perjanjian penitipan barang, yaitu karena dengan kurang kehati-hatiannya dan kelalaian telah menyebabkan kendaraan milik konsumen hilang saat diparkir di area parkir yang dikelolanya pengelola parkir sehingga pengelola parkir tidak dapat memenuhi prestasinya untuk menyerahkan kembali kendaraan yang diparkir kepada konsumen sebagai pemilik kendaraan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan diferensial biasa yaitu suatu persamaan diferensial yang memuat turunan satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas suatu fungsi.. Persamaan

Klien usia 40-an Klien hamil/ Postpartum Klien Pasca keguguran Klien dengan HIV/AIDS Ganti metode Buka tab metode atau klien baru Tab Klien kunjungan ulang Tanyakan metode

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Dinas Pendapatan Daerah atas nama Bupati Indragiri Hulu dapat menerbitkan Surat

Dengan adanya hasil dari penelitian yang menunjukan adanya penurunan perilaku agresif setelah pemberian konseling kelompok kognitif perilaku, maka diharapkan

Radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada radiasi surya yang datang yaitu yang sampai pada permukaan tajuk tanaman, indeks luas daun, kedudukan atau

Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pen- cipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekono- mi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) hu- ruf

Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan dan data serta petunjuk teknis dalam rangka penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengkoordinasian,

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut