• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan

Jilid I

Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana

Internasional untuk Rwanda

Dikompilasi oleh: Human Rights Watch

ELSAM Jakarta

(2)
(3)

Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jilid I: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda.

Diterjemahkan dari: Human Rights Watch, Genocide, War Crimes, and Crimes Against Humanity: Topical Digests of the Case Law of the International Criminal Tribunal for Rwanda and the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, New York: Human Rights Watch, 2004. Copyright © 2004 by Human Rights Watch. All rights reserved.

Penerjemah: Eddie Riyadi Sondang Friska Editor: Erasmus Cahyadi Eddie Riyadi

Hak terjemahan dan penerbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM. Penerbitan ini didukung dengan bantuan dari Kedutaan Besar Kerajaan Denmark dan The Asia Foundation Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Penerbit:

ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 25219. Email: elsam@nusa.or.id, advokasi@indosat.net.id. Website:

www.elsam.or.id.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN

Buku ini merupakan hasil karya kompilasi yang dikerjakan oleh International Justice Program di Human Rights Watch. Nama-nama utama di balik pengerjaan buku ini adalah antara lain Jennifer Trahan, seorang Penasihat International Justice, dan Adela Mall, seorang Konsultan. Selain itu, Ann Ferrari juga membantu dalam hal kasus-kasus hukum dari Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan Ivan Jovanovic untuk kasus-kasus hukum dari Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Richard Dicker, Direktur bagian International Justice Program, menjadi pemandu utama dan secara keseluruhan. Widney Brown bertanggung-jawab untuk penyuntingan, dan Wilder Tayler dan James Ross memberikan tinjauan legal dan kebijakan. Kemudian, Yolanda J. Revilla bertanggung-jawab atas penyiapan dan persiapan manuskrip untuk penerbitannya.

Human Rights Watch sangat berterima kasih kepada para hakim dan staf di ICTR dan ICTY karena telah menghasilkan dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang mereka tangani.

Human Rights Watch juga menyampaikan penghargaan kepada War Crimes Research Office dan Human Rights Brief (seri ini telah menjadi sumber sangat berharga bagi Human Rights Watch). Keduanya beroperasi di bawah Center for Human Rights and Humanitarian Law of American University’s Washington College of Law.

(5)

KATA PENGANTAR

Buku ini memuat saripati dari jurisprudensi kasus-kasus hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda. Buku ini menyediakan ringkasan yang padat dan mengena atau kutipan-kutipan yang tepat dan aktual dari putusan-putusan Pengadilan. Semuanya disusun berdasarkan topiknya. Buku saripati ini berfokus pada kasus hukum berkaitan dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, tanggung jawab individual, tanggung jawab komando, dan penghukuman. Topik-topik tersebut tidaklah mengangkat semua isu yang muncul dalam sebuah kasus, semisal putusan atau praktik mosi lainnya, dan hanya memasukkan putusan yang tersedia secara publik hingga 1 Oktober 2003. Saripati ICTR ini juga memasukkan putusan dalam Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T, yang secara luas dikenal sebagai “Kasus Media”, yang dikeluarkan pada 3 Desember 2003. Banyak putusan yang dikutip berisi acuan kepada putusan lain atau dokumen lain. Human Rights Watch tidak mereproduksi ulang semua itu di sini. Silahkan mengacu kepada putusan resmi untuk acuan-acuan tambahan tersebut.

Buku saripati kasus-kasus hukum ICTR ini tidak berisi analisis atau komentar atas keputusan-keputusan tersebut. Saripati (digest) merupakan alat referensi yang cepat untuk membantu para praktisi dan peneliti sehingga mereka bisa membiasakan diri mereka dengan kasus-kasus hukum yang memperlihatkan interpretasi terhadap Statuta dari ICTR dan Statuta dari ICTY (untuk kasus Bekas Yugoslavia, lihat jili II). Saripati kasus-kasus hukum ini tidak dirancang sebagai pengganti bacaan atas keputusan-keputusan aktual. Keputusan-keputusan dalam ICTR bisa didapatkan dalam website ICTR di: http://www.ictr.org/, dan untuk ICTY di: http://www.un.org/icty/index.html.

(6)

KASUS HUKUM DALAM PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL UNTUK RWANDA

RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP TERTUDUH ….. DAFTAR KASUS-KASUS YANG DIMASUKKAN ... I) GENOSIDA (PASAL 2) ....

a) Statuta ...

b) Pengantar Umum ... i) Unsur-unsurnya ...

ii) Genosida adalah hukum kebiasaan internasional dan jus cogens ... c) Niat jahat (mental state, mens rea): tujuan khusus atau dolus specialis ...

i) Pengantar Umum ... (1) Definisi …

(2) Persyaratan bahwa niat telah ada sebelum perbuatan dilakukan … (3) Niat dapat diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan …

(4) Faktor-faktor untuk menilai niat jahat (mens rea) ...

(5) Rencana spesifik bukan merupakan syarat tetapi adalah bukti kuat adanya niat ... ii) “Tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau untuk sebagian” …

(1) Persyaratan jumlah yang cukup besar atau bagian penting dari suatu kelompok … (2) Pemusnahan sebenarnya terhadap seluruh kelompok bukan merupakan syarat … (3) Tidak perlu bahwa genosida dilakukan di seluruh negara tersebut …

(4) Penghancuran …

(a) Kekerasan seksual sebagai penghancuran … iii) Kelompok nasional, etnis, rasial atau agama tertentu ...

(1) Dimaksudkan untuk mencakupi setiap kelompok yang stabil dan permanen/tetap ...

(a) Apakah keanggotaan kelompok ditentukan secara subjektif atau objektif ... (2) Penafsiran kata “tertentu” ...

(3) Kelompok kebangsaan …

(7)

(4) Kelompok etnis … (a) Penerapan …

(b) Asosiasi kelompok etnis dengan agenda politik ... (5) Kelompok rasial …

(6) Kelompok agama …

(7) Penganiayaan terhadap perorangan yang tidak termasuk dalam kelompok yang disebutkan bukan merupakan genosida …

iv) Penerapan … d) Delik-delik pokok ...

i) Membunuh anggota kelompok ... (1) Unsur-unsurnya ...

(2) Persyaratan kesengajaan ... (3) Kausalitas …

(4) Penerapan …

ii) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok ... (1) Definisi umum ...

(2) Tanpa persyaratan bersifat permanen atau tidak dapat disembuhkan ... (3) Pemerkosaan dan kekerasan seksual dapat memenuhi syarat ...

(4) Ancaman selama proses interogasi dapat memenuhi syarat ...

(5) Tujuan untuk menimbulkan “luka mental yang serius” dipersyaratkan ...

iii) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian ...

iv) Memaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok ...

v) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok kepada kelompok lain. ... e) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ...

i) Genosida ...

ii) Persekongkolan untuk melakukan genosida ... (1) Definisi ...

(2) Niat jahat (mens rea) ...

(3) Persekongkolan tidak perlu harus berhasil ...

(8)

(4) Persetujuan formal tidak dibutuhkan ...

(5) Persekongkolan dapat disimpulkan/persyaratan pengetahuan ... (6) Koordinasi secara institusi ...

(7) Persekongkolan adalah delik permulaan ...

(8) Apakah pengadilan dapat menghukum dua perbuatan yaitu genosida dan persekongkolan untuk melakukan genosida untuk tindakan-tindakan yang sama ... (9) Penerapan ...

iii) Penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida ... (1) Langsung ...

(2) Publik ...

(3) Niat jahat (mens rea) untuk penghasutan genosida ...

(4) Penghasutan tidak harus berhasil/untuk terjadinya penghasutan relasi kausalitas tidak disyaratkan ...

(5) Penerapan ...

(a) Membedakan penghasutan dengan penggunaan media secara sah ... a. Pentingnya nada ...

b. Pentingnya konteks ...

c. Membedakan penggunaan informasi ... d. Membedakan dari pembelaan sipil yang sah ...

e. Ekspresi etnis harus melalui penelitian yang cermat ... f. Hukum internasional merupakan referensi penting ... iv) Percobaan untuk melakukan genosida ...

v) Penyertaan dalam genosida ... (1) Definisi ...

(a) Penyertaan mensyaratkan perbuatan positif ... (2) Niat jahat (mens rea) ...

(a) Penyertaan dalam genosida tidak mensyaratkan niat khusus genosida ... (3) Persyaratan genosida ...

(4) Pelaku utama tidak perlu diidentifikasi atau dihukum ...

(5) Orang yang sama tidak dapat dihukum atas genosida dan penyertaan dalam genosida untuk perbuatan yang sama ...

(9)

(6) Perbedaan antara penyertaan dan pertanggungjawaban pidana individu atas genosida …

II) KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 3) ... a) Statuta ...

b) Unsur-unsurnya ...

i) Sifat dan karakter perbuatan tersebut haruslah tidak manusiawi, menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental (unsur 1) ...

ii) Perbuatan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari “serangan yang sistematis atau meluas” (unsur 2) ...

(1) Serangan ...

(2) Pengecualian terhadap perbuatan acak atau perbuatan yang dilakukan dengan alasan pribadi ...

(3) “Meluas atau sistematis”, bukan keduanya … (4) Meluas …

(5) Sistematis …

(a) Apakah rencana atau kebijakan disyaratkan … (6) Penerapan ...

iii) Tindakan/serangan harus dilakukan terhadap penduduk sipil (unsur 3) ...

(1) Keraguan mengenai terminologi yang digunakan tentang apakah “tindakan” ataukah “serangan” …

(2) Definisi sipil ...

(3) Kehadiran non-sipil tidak menghilangkan karakter sipil penduduk ... (4) Penduduk ...

iv) Serangan harus dilakukan berdasarkan alasan diskriminatif atas dasar kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama (unsur 4) ...

(1) Alasan politik ...

(2) Alasan kebangsaan, etnis, rasial, agama ... v) Niat jahat (Mens Rea), (unsur 5) ...

(1) Pengetahuan bahwa perbuatan pelaku adalah bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil ...

(10)

(2) Motif diskriminatif tidak disyaratkan untuk perbuatan-perbuatan selain penganiayaan ...

vi) Termasuk aktor negara dan non-negara ... c) Delik-delik pokok ...

i) Perbuatan-perbuatan individu mengandung unsurnya masing-masing dan tidak perlu mengandung unsur kejahatan terhadap kemanusiaan ...

ii) Pembunuhan ... (1) Definisi ...

(2) Niat jahat (mens rea) ... iii) Pemusnahan ...

(1) Definisi ...

(2) Niat jahat (mens rea) ... (3) Penerapan ... iv) Perbudakan ... v) Pengusiran ... vi) Pengurungan/pemenjaraan ... vii) Penyiksaan ... (1) Definisi ...

(2) Pemerkosaan dapat merupakan penyiksaan ... (3) Tidak ada “persyaratan pejabat publik” ... viii) Pemerkosaan dan kekerasan seksual ...

(1) Definisi ...

(2) Niat jahat (mens rea) ...

ix) Penganiayaan atas dasar politik, rasial dan agama ... (1) Unsur-unsurnya ...

(2) Motif/Niat jahat (mens rea) ...

(3) Penganiayaan juga dapat dilihat dalam akibat yang ditimbulkan ... (4) Penganiayaan lebih luas dari penghasutan ...

(5) Pelaku dapat bertanggung-jawab untuk penganiayaan dan pemusnahan sekaligus ...

(6) Penerapan ...

(a) Penerapan pada pidato yang menyebarkan kebencian …

(11)

x) Tindakan tidak manusiawi lainnya ... (1) Definisi …

(a) Pengantar umum ...

(b) Termasuk kekerasan seksual ... (c) Penderitaan pihak ketiga ... (2) Niat jahat (mens rea) ...

(a) Pengantar umum ...

(b) Niat jahat untuk penderitaan pihak ketiga ... (3) Penerapan ...

III. KEJAHATAN PERANG (PASAL 4) ... a) Statuta ...

b) Pengantar umum ...

i) Penerapan yang perlu dinilai ...

ii) Pasal Umum 3 dan daftar perbuatan yang dilarang dalam Statuta adalah bagian dari hukum kebiasaan internasional; selain itu, Rwanda adalah negara pihak terhadap Konvensi Geneva dan Protokol-Protokol Tambahannya, dan mempidana perbuatan-perbuatan yang disebutkan ...

iii) Penerapan pertanggungjawaban pidana individu ...

iv) Syarat “pelanggaran serius”; daftar perbuatan yang dilarang dalam Statuta Pasal 4 adalah pelanggaran serius ...

c) Unsur-unsurnya ...

i) Persyaratan konflik bersenjata (unsur 1) ...

(1) Persyaratan konflik bersenjata dengan karakter non-internasional ... (a) Definisi “konflik bersenjata bersifat non-internasional” ... (b) Pengecualian terhadap gangguan dalam negeri …

(2) Penerapan Pasal Umum 3 dan Protokol Tambahan II tergantung pada kriteria objektif …

(3) Jenis konflik yang disyaratkan oleh Protokol Tambahan II- persyaratan tambahan …

(a) Angkatan bersenjata …

(b) Komando yang bertanggung-jawab …

(12)

(c) “Operasi militer yang berlanjut dan serempak” dan mengimplementasikan Protokol Tambahan II …

ii) Hubungan antara tertuduh dengan angkatan bersenjata – ditolak ... (1) Sipil dapat bertanggung-jawab atas kejahatan perang ...

iii) Jurisdiksi geografis (ratione loci) (unsur 2) ...

(1) Saat kriteria telah terpenuhi, ia berlaku pada seluruh wilayah suatu negara, tidak hanya dalam medan perang” ...

iv) Jurisdiksi personal (ratione personae) (unsur 3) ... (1) Golongan para korban – sipil yang dilindungi

(2) Kehadiran non-sipil tidak menghilangkan karakter sipil penduduk ...

(3) Menganalisis apakah korban mengambil bagian secara aktif dalam peperangan ... v) Keterkaitan antara kejahatan dan konflik bersenjata (unsur 4) ...

(1) Syarat hubungan langsung/delik harus bertalian erat dengan peperangan …

(2) Peperangan yang sebenarnya tidak disyaratkan dalam daerah kejahatan; peperangan yang sesungguhnya tidak disyaratkan pada waktu tepat terjadinya kejahatan ...

vi) Niat jahat (mens rea) (unsur 5) ... d) Delik-delik pokok ...

i) Kekerasan terhadap kehidupan, kesehatan fisik dan niat jahat seseorang, khususnya pembunuhan dan juga perlakuan kejam, seperti penyiksaan, mutilasi atau bentuk hukuman badan lainnya ...

(1) Pembunuhan ... (2) Penyiksaan ...

ii) Hukuman-hukuman kolektif ... iii) Menahan sandera ...

iv) Tindakan terorisme ...

v) Perbuatan yang biadab terhadap martabat pribadi, khususnya perlakuan mempermalukan dan merendahkan, pemerkosaan, pemaksaan prostitusi dan segala bentuk penghinaan yang tidak senonoh ...

(1) Kebiadaban terhadap martabat pribadi termasuk kekerasan seksual ... (2) Perlakuan mempermalukan dan merendahkan ...

(3) Pemerkosaan ...

(13)

(4) Penyerangan yang tidak senonoh ... vi) Penjarahan ...

IV) PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA SECARA INDIVIDUAL (PASAL 6 (1))

a) Statuta ...

b) Pengantar umum ...

i) Unsur-unsur yang disyaratkan ...

ii) Kejahatan harus benar-benar terjadi bagi pertanggungjawaban dalam Pasal 6, tetapi tidak untuk genosida ...

iii) Pertanggungjawaban individual dan komando dibedakan ...

iv) Perencanaan, penghasutan, memberi perintah, melakukan, perbantuan, persekongkolan dibaca secara berbeda ...

v) Dapat bertanggung-jawab untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain ...

c) Turut serta: bahwa perbuatan tertuduh berkontribusi pada dilakukannya perbuatan yang ilegal (unsur 1) ...

i) Pengantar umum: kontribusi harus besar ... ii) Perencanaan ...

iii) Penganjuran/penghasutan ... (1) Pengantar umum …

(2) “Langsung dan publik” tidak disyaratkan … iv) Memberi perintah ...

v) Melakukan ...

vi) Perbantuan dan persekongkolan ... (1) Definisi ...

(2) Membantu atau bersekongkol saja sudah mencukupi … (3) Niat jahat (mens rea) …

(a) Tujuan khusus disyaratkan dalam perbantuan dan persekongkolan dalam genosida …

(4) Bantuan harus diberikan secara substansial/memiliki efek substansial … (5) Pertolongan bukan merupakan unsur yang harus ada ...

(14)

(6) Pertolongan tidak harus dilakukan pada saat yang bersamaan dengan delik ... (7) Kehadiran tidak disyaratkan ...

(8) Dukungan belaka dapat mencukupi ...

(9) Kehadiran yang dikombinasikan dengan kekuasaan dapat merupakan pertolongan ...

vii) Berbuat dengan tujuan pidana umum: dapat menimbulkan pertanggungjawaban dalam hal melakukan, atau perbantuan, dan persekongkolan ...

d) Niat jahat (mens rea) (unsur 2) ... e) Penerapan ...

V) PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 6 (3)) ... a) Statuta ...

b) Pengantar umum ...

i) Pertanggungjawaban pidana individu dan pertanggungjawaban komando dimungkinkan ...

c) Unsur-unsurnya ...

i) Adanya kontrol yang efektif dalam hubungan atasan-bawahan (unsur 1) ... (1) Hubungan atasan-bawahan ...

(2) Kontrol yang efektif ...

(3) Tidak cukup jika hanya mempertimbangkan kontrol secara de facto dan kontrol secara de jure/status formal saja ...

(4) Berlaku terhadap sipil dan juga komandan militer ...

(5) Apakah sipil disyaratkan penguasaan yang sama dengan militer untuk dapat bersalah ...

ii) Niat jahat (mens rea) (unsur 2) ...

(1) Pengetahuan atau pengetahuan yang patut dimiliki bahwa kejahatan akan dilakukan, sedang dilakukan atau sudah dilakukan ...

(2) Tanggung jawab tidak berdasarkan pada tanggung jawab langsung (strict liability) ... (3) Pengujian yang berbeda untuk niat jahat komandan sipil dan militer ...

iii) Kegagalan untuk mengambil langkah-langkah penting dan pantas untuk mencegah atau menghentikan kejahatan, atau menghukum pelaku (unsur 3) ...

(15)

(1) Percobaan untuk mencegah atau menghukum harus dipertimbangkan kecuali tertuduh memerintahkan kejahatan itu ...

d) Penerapan ...

VI) PEMBELAAN ...

a) Alibi dan pembelaan khusus ...

i) Petikan dari Aturan 67, Hukum Acara dan Pembuktian ICTR: timbal balik penyingkapan bukti ...

ii) Beban pembuktian untuk pembelaan alibi ... iii) Pemberitahuan untuk pembelaan alibi ... iv) Bantahan terhadap pembelaan alibi ...

VII) PENUNTUTAN, PENGHUKUMAN DAN VONIS ... a) Dakwaan kumulatif dan penghukuman ...

i) Dakwaan kumulatif diijinkan ...

ii) Penghukuman kumulatif untuk perbuatan yang sama hanya diijinkan bila kejahatan itu mengandung unsur material yang berbeda ...

iii) Penerapan – penuntutan beragam ...

(1) Dibolehkan untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ...

(2) Dibolehkan untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang ...

b) Vonis/sanksi ...

i) Instrumen untuk mengatur sanksi ... (1) Statuta ICTR Pasal 23: Sanksi ...

(2) Aturan 101 dari Hukum Acara dan Pembuktian ICTR ... ii) Pengantar umum ...

(1) Pertimbangan dalam Statuta dan Hukum Acara tidak bersifat wajib dan terbatas ...

(2) Hanya vonis penjara yang diberikan ... (3) Restitusi ...

(16)

(4) Tujuan sanksi: retribusi, pencegahan terulang kembali, rehabilitasi, melindungi masyarakat, keadilan, mengakhiri impunitas, mempromosikan rekonsiliasi, dan mengembalikan kedamaian ...

iii) Menentukan sanksi ...

(1) Memperhitungkan hukum/praktik di Rwanda …

(2) Tingkatan kejahatan: genosida adalah “kejahatan tertinggi” (crime of the crimes), kemudian kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang sebagai yang terakhir …

(3) Gradasi dalam vonis: menjatuhkan sanksi tertinggi terhadap mereka yang merencanakan atau memerintahkan kekejaman, atau mereka yang melakukan kejahatan dengan semangat khusus atau sadisme ...

(4) Tingkatan penjatuhan vonis ... (5) Vonis tunggal: kebijakan (Sidang) ... iv) Pengkhususan sanksi ...

(1) Situasi yang memberatkan ... (2) Keadaan yang meringankan …

(a) Pengantar umum … (b) Penerapan …

VIII) MACAM-MACAM HAL …

a) “Kesamaan kekuatan” antara pihak-pihak tidak sama dengan kesamaan cara dan sumber ...

b) Presumsi imparsialitas melekat pada hakim dan pengadilan ... c) Penuntutan yang selektif ...

d) Pernyataan bersalah: kondisi untuk menerima persetujuan pengajuan pernyataan ... i) Pernyataan bersalah harus dilakukan secara suka rela ...

ii) Pengajuan pernyataan bersalah harus diketahui ...

iii) Pengajuan pernyataan bersalah harus dilakukan dengan tegas ...

(17)

RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP PARA TERDAKWA

Jean-Paul Akayesu, mantan mayor komunitas Taba, dihukum atas tuntutan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan perbuatan tidak manusiawi lainnya), dan menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida. Dia dijatuhkan hukuman dengan penjara seumur hidup. Sidang Banding menguatkan putusan bersalah atas semua tuduhan yang ditujukan terhadap Akayesu.

Ignace Bagilishema, mantan mayor komunitas Mabanza yang merupakan bagian dari Prefecture Kibuye, diputus bebas dengan suara bulat atas tiga tuduhan, termasuk genosida, dan dinyatakan tidak bersalah oleh mayoritas anggota sidang pengadilan untuk empat tuntutan lainnya termasuk perbantuan untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dia dibebaskan atas semua tuduhan. Sidang Pengadilan Banding menguatkan putusan bebas tersebut terhadap semua tuduhan.

Jean-Bosco Barayagwiza, anggota dewan pimpinan tinggi Comite d’Initiative of the Radio Television Libre des Milles Collines (RTLM) dan anggota pendiri Koalisi untuk Pertahanan Republik (CDR), dihukum atas tuntutan genosida, penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan penganiayaan). Sidang Pengadilan menetapkan bahwa ia harus dihukum dengan penjara seumur hidup, tetapi atas perintah dari Sidang Tingkat Banding, Sidang Pengadilan memberikan pengurangan hukuman menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun penjara.

Jean Kambanda, mantan perdana menteri Pemerintahan Interim Rwanda, dimohonkan bersalah atas enam tuduhan terhadapnya: genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, perbantuan dalam genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan dan pemusnahan). Dia dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup. Sidang Tingkat Banding menguatkan putusan terhadap Kambada atas semua tuduhan.

(18)

Clement Kayishema, mantan prefek (pejabat administrasi tertinggi dari suatu distrik atau suatu daerah bekas jajahan Perancis) dari Prefecture Kibuye, dihukum atas tuntutan genosida dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang tingkat Banding menguatkan putusan bersalah atas Kayishema untuk semua tuduhan.

Alfred Musema, mantan direktur Pabrik Teh Gisovu dan pemimpin ekonomi dalam prefecture-nya, dihukum atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan pemerkosaan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang Banding menguatkan putusan bersalah atas Musema untuk genosida dan pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi menolak hukuman terhadap pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ferdinand Nahimana, pendiri dan aktor ideologi RTLM, dihukum atas tuntutan genosida, menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan penganiayaan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Hasan Ngeze, pemilik dan pemimpin redaksi surat kabar Kangura, dihukum atas tuntutan genosida, menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan penganiayaan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Eliezer Niyitegeka, mantan menteri penerangan Pemerintahan Interim Rwanda, dihukum atas tuntutan genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan, pemusnahan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya). Dia dijatuhi hukuman penjara untuk seluruh sisa hidupnya. Saat dokumen ini dipublikasikan, dia sedang menunggu putusan banding.

Elizaphan Ntakirutimana, pastor senior dari Gereja Seventh-Day Adventist, dihukum atas tuntutan membantu dan bersekongkol untuk melakukan genosida dan dijatuhi hukuman

(19)

penjara selama 10 (sepuluh) tahun. Saat dokumen ini dipublikasikan, dia sedang menunggu putusan banding.

Gerard Ntakirutimana, dokter medis yang berpraktik di Rumah Sakit Adventist Mugonero, dihukum atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan). Dia dijatuhi hukuman penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Saat dokumen ini dipublikasikan, dia sedang menunggu putusan banding.

Georges Ruggiu, jurnalis Belgia, dimohonkan bersalah untuk kejahatan menghasut publik secara langsung untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (penganiayaan). Dia dijatuhi hukuman penjara selama 12 (dua belas) tahun untuk setiap tuduhan dan dijalankan secara bersamaan.

Georges Rutaganda, mantan wakil presiden dua dari sayap kiri milisi Interahamwe, dihukum atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan dan pembunuhan). Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sidang tingkat Banding menguatkan hukuman untuk tuntutan genosida dan pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi menolak hukuman atas tuntutan pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sidang tingkat Banding memasukkan dua hukuman baru untuk pembunuhan sebagai pelanggaran terhadap pasal 3 Konvensi Jenewa. Putusan banding tidak tersedia untuk publik pada saat publikasi ini.

Obed Ruzindana, mantan pengusaha di Kigali, dihukum atas tuntutan genosida dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Sidang tingkat Banding menguatkan hukuman tersebut.

Laurent Semanza, mantan mayor komunitas Bicumbi, dihukum atas keterlibatan dalam genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pemusnahan, penyiksaan dan pembunuhan). Dia dijatuhi hukuman penjara selama 25 (dua puluh lima) tahun. Sedang menunggu banding pada saat dokumen ini dipublikasikan.

(20)

Omar Serushago, mantan pemimpin de facto Interahamwe di Prefecture Gisenyi, dimohonkan bersalah atas tuntutan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan, pemusnahan, dan penyiksaan). Dia dijatuhi hukuman penjara untuk satu periode selama 15 (lima belas) tahun. Sidang tingkat Banding menguatkan putusan tersebut.

(21)

DAFTAR KASUS-KASUS YANG DIMASUKKAN

Ringkasan ini terdiri dari kasus-kasus yang sudah diselesaikan pada tanggal 1 Oktober 2003, yaitu sebagai berikut:

Penuntut v.Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-T (Sidang pertama), 2 September 1998. Penuntut v.Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-T (Sidang pertama), 2 Oktober 1998. Penuntut v. Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-A (Sidang Banding), 1 Juni 2001. Penuntut v. Bagilishema, Kasus No. ICTR-95-1A- (Sidang Pertama), 7 Juni 2001. Penuntut v. Kambanda, Kasus No. ICTR-97-23 (Sidang Pertama), 4 September 1998. Penuntut v. Kambanda, Kasus No. ICTR-97-23-A (Sidang Banding), 19 Oktober 2000.

Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-T (Sidang Pertama), 21 Mei 1999. Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-A (Sidang Banding), 1 Juni 2001. Penuntut v. Musema, Kasus No. ICTR-96-13-A (Sidang Pertama), 27 Januari 2000.

Penuntut v. Musema, Kasus No. ICTR-96-13-A (Sidang Banding), 16 November 2001.

Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T (Sidang Pertama), 3 Desember 2003.*

Penuntut v. Niyitegeka, Kasus No. ICTR-96-14 (Sidang Pertama) 16 Mei 2003.

Penuntut v. Ntakirutimana dan Ntakirutimana, Kasus No. ICTR-96-10 & ICTR-96-17-T (Sidang Pertama), 21 Februari 2003.

Penuntut v. Ruggiu, Kasus No. ICTR-97-32-I (Sidang Pertama), 1 Juni 2000. Penuntut v. Rutaganda, Kasus No. ICTR-96-3 (Sidang Pertama), 6 Desember 1999. Penuntut v. Semanza, Kasus No. ICTR-97-20 (Sidang Pertama), 15 Mei 2003. Penuntut v. Serushago, Kasus No. ICTR-98-39 (Sidang Pertama), 5 Februari 1999. Penuntut v. Serushago, Kasus No. ICTR-98-39-A (Sidang Banding), 6 April 2000.

* Walaupun kasus ini dikeluarkan setelah Oktober 2003, kasus ini turut dimasukkan ke inti sari ICTR karena merupakan jurisprudensi yang penting.

(22)

I) GENOSIDA (PASAL 2) a) Statuta

Statuta ICTR, Pasal 2:

1. Pengadilan Internasional untuk Rwanda harus memiliki wewenang untuk mengadili orang-orang yang melakukan genosida sebagaimana didefinisikan dalam Paragraf 2 Pasal 2 ini atau melakukan tindakan-tindakan lain yang disebutkan dalam Paragraf 3 Pasal 2 ini.

2. Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan menghancurkan, seluruhny atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau kelompok agama, seperti:

a). Membunuh anggota kelompok;

b). Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok; c). Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang

diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;

d). Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok;

e). Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.

3. Perbuatan-perbuatan berikut ini harus dihukum: a). Genosida;

b). Persekongkolan untuk melakukan genosida;

c). Penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida; d). Percobaan untuk melakukan genosida;

e). Pembantuan dalam genosida.

b) Pengantar Umum

(23)

i) Unsur-unsurnya

Penuntut v. Bagilishema, Kasus No. ICTR-95-1A-T (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 55: “Pengadilan menimbang bahwa perbuatan genosida terbukti apabila perbuatan tersebut melebihi keraguan yang beralasan; Pertama, melakukan satu dari perbuatan-perbuatan yang terdaftar dalam Pasal 2(2) Statuta; dan Kedua, bahwa perbuatan tersebut dilakukan terhadap target spesifik kelompok nasional, etnis, rasial atau kelompok agama, dengan tujuan khusus untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, kelompok tersebut. Dengan demikian, perbuatan genosida ditarik dari analisis terhadap dua bagian, yaitu perbuatan-perbuatan utama yang dilarang dan tujuan spesifik untuk melakukan genosida atau dolus specialis.”

ii) Genosida adalah hukum kebiasaan internasional dan jus cogens

Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-T (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 88: “[G]enosida dianggap sebagai kejahatan yang dicakup dalam hukum kebiasaan internasional sebagai norma jus cogens.”

Penuntut v. Rutaganda, Kasus No. ICTR-96-3 (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 46: “Tidak dapat disangkal bahwa Konvensi Genosida merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional. ...” Lihat juga Penuntut v. Musema, Kasus No. ICTR-96-13-A (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 15.

c) Niat jahat (mental state, mens rea): tujuan khusus atau dolus specialis

i) Pengantar Umum (1) Definisi

Penuntut v. Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-T (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 498, 517-522: “Genosida berbeda dengan kejahatan-kejahatan yang lain karena genosida memasukkan unsur tujuan khusus atau dolus specialis. Tujuan khusus dari perbuatan tersebut adalah tujuan spesifik, yang disyaratkan dalam unsur-unsur yang membangun

(24)

perbuatan tersebut, di mana si pelaku jelas-jelas mengusahakan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tujuan khusus dari perbuatan genosida itu terdapat dalam ‘maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau agama.’” Sidang menemukan bahwa “pelanggar bersalah apabila ia melakukan satu dari perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam Pasal 2(2) ... dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian dari suatu kelompok khusus. Pelanggar bersalah karena ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa perbuatan yang ia lakukan akan menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok. Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 164.

Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 59: Seseorang dapat dihukum atas kejahatan genosida hanya apabila ia melakukan salah satu dari perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan sebagai perbuatan yang bertujuan khusus untuk “menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok khusus.”

(2) Persyaratan bahwa niat telah ada sebelum perbuatan dilakukan

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 91: “[M]ens rea harus sudah ada sebelum perbuatan genosida dilakukan. Bagaimanapun juga, perbuatan-perbuatan individu tidak mensyaratkan adanya persiapan terlebih dahulu; satu-satunya pertimbangan adalah bahwa perbuatan tersebut memang diarahkan untuk melanjutkan tujuan yang berkarakter genosida.”

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 91: “Tujuan khusus inilah yang membedakan kejahatan genosida dengan kejahatan pembunuhan biasa. Sidang Pengadilan berpendapat bahwa untuk menentukan terjadinya suatu perbuatan genosida, mens rea harus sudah ada sebelum perbuatan genosida tersebut dilakukan.”

(3) Niat dapat diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan

Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 61-63: “[N]iat, yang dibuktikan secara kasus-perkasus, dapat diperoleh berdasarkan bukti-bukti materil yang diserahkan

(25)

kepada Sidang termasuk bukti yang menunjukkan pola perbuatan yang dilakukan secara konsisten oleh si Terdakwa. Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 167.

Penuntut v. Semanza, Kasus No. ICTR-97-20 (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 313: “Mens rea dari si pelaku dapat disimpulkan dari perbuatan-perbuatan yang ia lakukan.”

Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 63: “[B]ukti dari perbuatan yang dituduhkan dapat menolong Sidang untuk menentukan niat terdakwa, terutama bila perkataan dan perbuatan terdakwa tidak jelas menggambarkan tujuan dari perbuatannya. Meskipun demikian pengadilan mencatat bahwa penentuan niat si terdakwa harus diimbangi dengan perbuatan sesungguhnya yang telah dia lakukan. Sidang berpendapat bahwa niat terdakwa harus ditentukan berdasarkan perkataan dan perbuatannya, dan harus dibuktikan dari pola perbuatan yang dimaksudkan.”

(4) Faktor-faktor untuk menilai niat jahat (mens rea)

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 523-524: “[S]idang menimbang bahwa niat adalah faktor mental yang sangat sulit bahkan mustahil untuk ditentukan,” tetapi menemukan bahwa “dalam hal tidak ada pengakuan dari terdakwa, niat dapat disimpulkan dari faktor-faktor berikut ini:

• “adanya konteks umum bahwa tindak pidana yang dilakukan pelaku yang sama atau berbeda yang secara sistematis ditujukan terhadap kelompok yang sama;”

• “skala kekejaman yang dilakukan;”

• “bentuk umum dari kekejaman yang terjadi di wilayah/negara tertentu;”

• “kenyataan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sengaja dan sistematis dengan sasaran korban yang didasarkan pada keanggotan dari suatu kelompok tertentu dan tidak menargetkan kelompok lainnya;”

• “adanya doktrin/kebijakan yang menimbulkan terjadinya perbuatan-perbuatan tersebut;”

(26)

• “adanya tindakan penghancuran secara berulang-ulang dan ditujukan secara diskriminatif;”

• “perbuatan yang melanggar, atau yang oleh si pelaku sendiri dianggap bahwa perbuatan tersebut melanggar hal yang paling mendasar dari kelompok tersebut – tindakan-tindakan yang tidak sendirinya termasuk dalam daftar ... tetapi yang dilakukan sebagai bagian dari pola perbuatan yang sama.”

Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, paragraf 166.

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 93, 527: Sidang setuju dengan pengadilan Akayesu bahwa mungkin sulit untuk menentukan niat. Sidang menyatakan bahwa tindakan-tindakan terdakwa termasuk bukti tidak langsung, dapat juga dijadikan sebagai bukti yang cukup untuk menentukan niat, dan niat tersebut dapat disimpulkan baik dari perkataan atau perbuatan dan dapat ditunjukkan dari pola perbuatan yang dilakukan dengan maksud tertentu. Sidang mencatat hal-hal berikut sebagai indikasi yang relevan:

• “jumlah anggota kelompok yang menjadi korban;” • “sasaran fisik dan hak milik dari anggota kelompok;”

• ”penggunaan kata-kata yang menghina terhadap anggota kelompok yang menjadi target;”

• ”senjata yang dipergunakan dan luka serius yang meluas;” • “cara-cara merumuskan perencanaan;”

• “cara pembunuhan yang yang dilakukan secara sistematis;” dan

• “skala proporsional relatif dari kehancuran yang benar-benar ditimbulkan atau dari tindakan percobaan untuk menghancurkan suatu kelompok.”

(5) Rencana spesifik bukan merupakan syarat tetapi adalah bukti kuat adanya niat

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 94, 276: “[M]eskipun rencana spesifik untuk menghancurkan bukan merupakan unsur genosida, tetapi sangat sulit untuk melakukan perbuatan genosida tanpa adanya suatu rencana atau sebuah organisasi.” “[S]esungguhnya tidak mungkin kejahatan genosida dilakukan tanpa keterlibatan Negara baik 26

(27)

langsung atau tidak langsung, mengingat seriusnya kejahatan ini.” “[S]eseorang tidak perlu memiliki pengetahuan yang detail untuk mengetahui adanya suatu rencana dalam kejahatan genosida.” “[R]encana dalam kejahatan genosida seperti yang dimaksudkan di atas akan menjadi bukti yang kuat dalam menentukan syarat adanya niat yang spesifik pada pelaku kejahatan genosida.”

ii) “Tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau untuk sebagian”

(1) Persyaratan jumlah yang cukup besar atau bagian penting dari suatu kelompok

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 96-97: Sidang memutuskan bahwa “‘untuk sebagian’, kejahatan genosida mensyaratkan adanya niat pelaku untuk menghancurkan sejumlah individu tertentu yang merupakan bagian dari suatu kelompok.”

Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 64: Sidang menyetujui “pernyataan Komisi Hukum Internasional, bahwa ‘niat harus ditujukan untuk menghancurkan suatu kelompok, dalam hal ini adalah sebuah entitas yang terpisah dan berdiri sendiri. Niat tidak semata-mata ditujukan untuk menghancurkan dividu-individu yang merupakan anggota dari kelompok tertentu.’ Walaupun penghancuran tidak perlu ditujukan kepada semua anggota kelompok yang dimaksud, Sidang mempertimbangkan bahwa niat untuk melakukan penghancuran harus ditujukan setidaknya kepada bagian yang substansial (substantial part) dari kelompok tersebut.”

(2) Pemusnahan sebenarnya terhadap seluruh kelompok bukan merupakan syarat

Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 497: “[G]enosida tidak mengimplikasikan pemusnahan terhadap seluruh kelompok. Suatu kejahatan dimengerti sebagai ‘genosida’ ketika satu perbuatan seperti yang terdapat pada Pasal 2(2)(a) hingga 2(2)(e) dilakukan dengan tujuan spesifik, yaitu untuk menghancurkan ‘seluruhnya atau 27

(28)

sebagian’ kelompok nasional, etnis, ras atau agama. Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 48-49.

(3) Tidak perlu bahwa genosida dilakukan di seluruh negara tersebut

Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, n. 61: “[D]alam kasus selain Rwanda, seseorang dapat dikatakan bersalah atas perbuatan genosida, meskipun perbuatan genosida yang dilakukannya tidak terjadi di seluruh negara yang dimaksud.

(4) Penghancuran

Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 315: “Para perancang Konvensi Genosida secara tegas membatasi arti ‘penghancuran’ yakni hanya mencakup tindakan-tindakan yang setara dengan genosida fisik atau biologis.

(a) Kekerasan seksual sebagai penghancuran

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 731: Sidang memutuskan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat membentuk bagian integral dari proses penghancuran suatu kelompok. “Pemerkosaan-pemerkosaan mengakibatkan penghancuran fisik dan psikologis terhadap para perempuan Tutsi, keluarga mereka dan masyarakat mereka. Kekerasan seksual adalah bagian integral dari proses penghancuran yang ditargetkan secara khusus terhadap perempuan Tutsi khusunya dan memperbesar penghancuran terhadap kelompok Tutsi secara keseluruhan.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 95.

iii) Kelompok nasional, etnis, rasial atau agama tertentu

(1) Dimaksudkan untuk mencakupi setiap kelompok yang stabil dan permanen/tetap

(29)

Akayesu (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 511, 516, 701-702: Sidang berpegang pada travaux preparatoires Konvensi Genosida, yang mengindikasikan bahwa “kejahatan genosida ditujukan hanya terhadap kelompok yang ‘stabil’, yang terbentuk dengan cara yang permanen, di mana keanggotaannya ditentukan berdasarkan kelahiran, yang membedakannya dengan kelompok yang lebih ‘mobile’ di mana keikutsertaan seseorang dilakukan berdasarkan komitmen suka rela individu, misalnya kelompok politik dan ekonomi.” Sidang menyatakan bahwa ke-empat kelompok yang dilindungi oleh konvensi ini memiliki “kriteria yang sama”, yaitu, “bahwa keanggotaan kelompok tersebut umumnya tidak dapat ditentang oleh anggotanya yang secara otomatis masuk sebagai aggota kelompok berdasarkan kelahiran, dengan cara yang terus-menerus dan tidak dapat diperbaiki.” “[M]erupakan hal yang penting ... untuk menghormati maksud dari perancang yang berdasarkan travaux preparatoires, dengan jelas bermaksud melindungi kelompok yang stabil dan permanen.” “[E]tnis Tutsi memang merupakan kelompok yang stabil dan permanen dan diidentifikasikan sedemikian oleh semuanya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 160-163.

Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 56: “[T]idak ada definisi tepat yang diterima secara umum dan internasional [tentang] kelompok nasional, etnis, rasial atau agama;” masing-masing harus “dinilai secara khusus berdasarkan konteks politik, sosial dan budaya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 161.

(a) Apakah keanggotaan kelompok ditentukan secara subjektif atau objektif

Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 56-57, 373: “[U]ntuk mengaplikasikan Konvensi Genosida, anggota kelompok pada dasarnya dimengerti lebih sebagai sebuah konsep yang subjektif daripada objektif. Korban dianggap oleh pelaku genosida sebagai anggota kelompok yang dipilih untuk dihancurkan. Dalam beberapa hal, korban mungkin mengidentifikasikan dirinya termasuk dalam kelompok tersebut.” Meskipun demikian, Sidang menetapkan bahwa “definisi subjektif saja tidak cukup untuk menentukan kelompok korban,” dan berdasarkan pada travaux preparatoires, Sidang menyatakan bahwa Konvensi Genosida “dianggap bertujuan untuk mencakup kelompok yang relatif stabil dan 29

(30)

permanen.” Oleh karena itu, “Sidang memutuskan bahwa penilaian apakah sebuah kelompok khusus dapat dianggap sebagai kelompok yang dilindungi dari kejahatan genosida akan dilakukan kasus-per-kasus dengan mempertimbangkan bukti-bukti relevan yang diajukan dan konteks politik, sosial dan budaya.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 160-163.

Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 317: “Statuta Pengadilan tidak menyediakan petunjuk apakah kelompok yang menjadi target genosida yang dilakukan si terdakwa ditentukan berdasarkan kriteria objektif atau subjektif atau dengan formula gabungan. Para Anggota Sidang dalam Pengadilan ini telah menentukan bahwa penilaian apakah suatu kelompok masuk dalam lingkup perlindungan, … harus ditentukan berdasarkan kasus-per-kasus dengan referensi objektif dari konteks sosial dan sejarah yang ada, dan dengan anggapan subjektif si pelaku. Sidang menetapkan bahwa penentuan kelompok yang dilindungi dilakukan berdasarkan kasus-per-kasus, dan dengan mengkonsultasikan kriteria objektif dan subjektif.”

(2) Penafsiran kata “tertentu”

Penuntut v. Niyitegeka, Kasus No. ICTR-96-14 (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 410: Sidang menginterpretasikan kata “‘tertentu’ dengan arti bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan terhadap individu sebagai anggota dari sebuah kelompok yang spesifik dan khusus, sehingga korbannya adalah kelompok itu sendiri, bukan semata-mata si individu.”

Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 60: Perbuatan “harus dilakukan terhadap satu atau lebih orang ... karena alasan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok khusus dan tidak saja karena alasan ... identitas individu. Korban dari perbuatan adalah ... seorang anggota dari suatu kelompok tertentu ... yang ... berarti bahwa korban kejahatan genosida adalah kelompok itu sendiri dan bukan semata-mata si individu sendiri.” Lihat juga Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 521; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 165.

(31)

Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 948: “Individu adalah personifikasi dari kelompok.”

(3) Kelompok kebangsaan

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 512: “[S]ebuah kelompok kebangsaan diartikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki keterikatan secara hukum berdasarkan pada kewarganegaraan yang sama sejalan dengan hak dan kewajibannya secara timbal balik.”

(4) Kelompok etnis

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 513: Kelompok etnis secara umum didefinisikan sebagai sebuah kelompok di mana anggotanya memiliki kesamaan bahasa atau budaya.”

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 98: “Sebuah kelompok etnis didefinisikan sebagai sebuah kelompok di mana para anggotanya memiliki kesamaan bahasa dan budaya; atau, sebuah kelompok yang mengidentifikasikan dirinya memiliki identitas tersendiri atau sebuah kelompok yang diidentifikasikan demikian oleh orang lain, termasuk para pelaku kejahatan (identifikasi oleh orang lain).”

(a) Penerapan

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 122-124, 170-172, 701-702, n. 56, n. 57: Berdasarkan kesaksian para saksi dan klasifikasi resmi, Sidang memutuskan bahwa di Rwanda pada tahun 1994, “Tutsi merupakan kelompok yang diacu sebagai ‘etnis’,” dan menetapkan bahwa Tutsi “adalah kelompok yang stabil dan permanen dan diidentifikasikan sedemikian oleh semuanya.” Sidang juga menetapkan bahwa bukti berikut cukup untuk menentukan bahwa “kelompok etnis Tutsi secara khusus adalah kelompok yang ditargetkan”:

(32)

• bukti bahwa ada pembatas jalan di seluruh negara, Tutsi dipisahkan dari Hutu dan dibunuh;

• bukti adanya “kampanye propaganda” melalui media cetak dan audiovisual yang secara jelas mengimbau para pendengarnya untuk melakukan pembunuhan terhadap Tutsi;

• pengklasifikasian sebagai Hutu atau Tutsi dalam kartu identitas dan sertifikat kelahiran, dan oleh hukum;

• pengidentifikasian sendiri secara individual baik sebagai Hutu atau Tutsi.

Sidang memutuskan bahwa “penduduk Tutsi tidak memiliki bahasa sendiri maupun budaya yang berbeda dari keseluruhan penduduk Rwanda” atau memenuhi definisi umum kelompok etnis, misalnya “anggota yang berbicara dengan bahasa yang sama dan/atau memiliki kesamaan budaya,” karena baik Hutu maupun Tutsi memiliki bahasa dan budaya yang sama. Di samping itu, banyak orang Hutu yang dibunuh hanya karena mereka “dilihat berpihak pada Tutsi.”

Penuntut v. Ntakirutimana dan Ntakirutimana, Kasus No. ICTR-96-10 & ICTR-96-17-T (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 789: Dalam mengeluarkan pendapat bahwa Elizaphan Ntakirutimana memiliki “syarat tujuan” untuk melakukan kejahatan genosida, Sidang memutuskan bahwa Tutsi adalah kelompok etnis.

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 291: “Korban dari tragedi ini adalah masyarakat sipil Tutsi, yang dengan demikian Sidang yakin bahwa target dari pembunuhan massal adalah ‘anggota kelompok,’ yang dalam kasus ini adalah kelompok etnis.”

Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 422: “Sidang mengambil keputusan berdasarkan fakta bahwa: ’Antara 6 April 1994 sampai dengan 17 Juli 1994, penduduk asli di Rwanda dipisahkan berdasarkan pengidentifikasian dan pengklasifikasian etnis yaitu: Tutsi, Hutu dan Twa, dan berpendapat bahwa Tutsi di Rwanda adalah kelompok ‘etnis’.”

(33)

(b) Asosiasi kelompok etnis dengan agenda politik

Penuntut v. Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, Kasus No. ICTR-99-52-T (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 969: “[A]sosiasi kelompok etnis Tutsi dengan agenda politik, yang secara efektif menggabungkan identitas etnis dan politik, tidak menegasikan sifat kejahatan genosida yang memotivasi si Terdakwa. Sebaliknya, pengidentifikasian Tutsi secara individu sebagai musuh negara yang diasosiasikan sebagai oposisi politik, semata-mata berdasarkan keetnisan Tutsi mereka, menggarisbawahi fakta bahwa keanggotaan mereka dalam kelompok etnis tertentu adalah satu-satunya dasar yang menyebabkan mereka menjadi target.”

(5) Kelompok rasial

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 514: “Definisi konvensional kelompok rasial didasarkan pada ciri-ciri fisik yang sering diidentifikasi berdasarkan wilayah geografis, terlepas oleh faktor bahasa, budaya, kebangsaan atau agama.”

Definisi ini juga terdapat pada kasus Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 98, yang menyebutkan bahwa “Sebuah kelompok rasial didasarkan pada ciri-ciri pembawaan fisik yang sering diidentifikasikan dengan wilayah geografis.”

(6) Kelompok agama

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 515: “Kelompok agama adalah kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan agama, denominasi atau tata cara beribadah.”

Definisi tersebut memiliki kesamaan dengan definisi “kelompok agama” dalam kasus Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 98, di mana disebutkan bahwa “kelompok agama termasuk denominasi atau tata cara beribadah atau kelompok yang memiliki kesamaan kepercayaan.”

(7) Penganiayaan terhadap perorangan yang tidak termasuk dalam kelompok yang disebutkan bukan merupakan genosida

(34)

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 720-721: Sidang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan tertentu merupakan perbuatan yang menimbulkan “luka fisik atau mental yang serius,” seperti ketika seorang perempuan dipukuli, diancam dan diinterogasi mengenai keberadaan seseorang yang lain; tetapi karena perempuan tersebut adalah seorang Hutu, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak dapat disebutkan sebagai perbuatan genosida terhadap kelompok Tutsi.”

iv) Penerapan

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 117-121, 168-169: Sidang menetapkan bahwa hal-hal di bawah ini cukup untuk menunjukkan “tujuan menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian”:

• ahli atau kesaksian lain yang menunjukkan pernyataan dari pemimpin politik, nyanyian dan slogan-slogan populer yang dibuktikan sebagai tujuan untuk melenyapkan semua Tutsi yang berada di Rwanda;

• kesaksian adanya pemotongan urat tendon tumit kaki (tendon Achilles) untuk mencegah korban dapat melarikan diri;

• kesaksian ahli dan gambar-gambar tubuh yang dibuang ke anak sungai Nil, menunjukkan tujuan mengembalikan Tutsi ke tempat yang diduga sebagai tempat asal mereka;

• kesaksian atas pembunuhan bayi-bayi yang baru lahir;

• kesaksian adanya peribahasa atau pepatah dan pernyataan publik yang menyokong pembunuhan para perempuan hamil, termasuk perempuan Hutu yang mengandung benih lelaki Tutsi, karena mereka adalah masyarakat yang patrilineal.

Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003 Paragraf 427: Dalam memutuskan Niyitegeka bersalah dalam konspirasi untuk melakukan genosida, Sidang berpendapat sebagai berikut: “Berdasarkan pertimbangan bahwa partisipasi dan kehadiran si Terdakwa dalam pertemuan-pertemuan … yang membahas pembunuhan terhadap Tutsi di Bisesero, rencana penyerangan terhadap Tutsi di Bisesero, janji terdakwa dan pendistribusian senjata terhadap

(35)

para penyerang yang digunakan dalam penyerangan terhadap Tutsi, ekspresi terdakwa yang mendukung … Perdana Menteri Jean Kambada dan Pemerintahan Interim, dan tindakan atau kegagalan dalam melakukan tindakan untuk melindungi penduduk Tutsi, dan perannya sebagai pemimpin dalam pembicaraan dan pertemuan-pertemuan … Sidang menemukan bahwa Terdakwa memiliki syarat tujuan, bersama-sama dengan konspiratornya, untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi.”

Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 436-437: Dalam memutuskan Niyitegeka bersalah atas penghasutan publik secara langsung untuk melakukan genosida, Sidang berpendapat sebagai berikut: “Menimbang bahwa kata-kata yang diucapkan Terdakwa yang mendesak penyerang untuk bekerja, kemudian ia berterima kasih, mendorong dan menghargai para penyerang untuk ‘pekerjaan’ yang mereka lakukan, (kata ‘pekerjaan’ ini merujuk pada tindakan pembunuhan terhadap Tutsi), … Sidang sampai pada penemuan bahwa Terdakwa memiliki syarat tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi.”

Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 957-969: “Dalam memastikan tujuan Terdakwa, Sidang telah mempertimbangkan pernyataan dan tindakan mereka secara individual dan juga pesan yang mereka sampaikan melalui media yang mereka kuasai.” “[S]urat kabar Kangura dan stasiun radio RTLM secara eksplisit dan berulang-ulang, bahkan tanpa belas kasihan, menargetkan penduduk Tutsi sebagai kelompok yang dihancurkan. Mereka membuat Tutsi seolah-olah memiliki sifat iblis dan dengan demikian secara inheren memiliki kualitas iblis, menyamakan kelompok etnis itu sebagai ‘musuh’ dan menggambarkan para perempuannya sebagai agen musuh yang menggoda. Media mengimbau pemusnahan terhadap kelompok etnis Tutsi sebagai respon atas ancaman politik dari kelompok-kelompok yang berasosiasi dengan etnis Tutsi.” “Tujuan yang bersifat genosida dari aktivitas-aktivitas CDR (partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi sebagai musuh) diekspresikan melalui frase ‘tubatsembasembe’ atau ‘ayo, musnahkan mereka’; yang merupakan slogan yang diucapkan berulang-ulang pada saat pawai dan demonstrasi CDR. Pada tingkat kebijakan, aspek tujuan yang bersifat genosida ini terbukti melalui pengumuman resmi CDR yang memanggil penduduk Hutu untuk ‘melumpuhkan musuhnya’ (etnis Tutsi) dengan segala cara yang mungkin.” “Dalam pandangan Sidang,

(36)

kebijakan editorial Kangura dan penyiaran RTLM adalah bukti yang meyakinkan atas tujuan yang bersifat genosida.” Kemudian, setiap terdakwa secara individual membuat pernyataan yang membuktikan tujuan yang bersifat genosida. “[S]idang sampai pada penemuan tanpa keraguan bahwa Ferdinand Nahimana, Jean-Bosco Barayagwiza dan Hassan Ngeze bertindak dengan tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok etnis Tutsi.”

d) Delik-delik pokok

i) Membunuh anggota kelompok (1) Unsur-unsurnya

Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 319: ”[S]ebagai tambahan untuk menunjukkan bahwa terdakwa memiliki tujuan untuk menghancurkan kelompok sedemikian, untuk keseluruhan maupun untuk sebagian, Penuntut harus menunjukkan unsur-unsur berikut: (1) pelaku secara sengaja membunuh satu atau lebih anggota kelompok, tanpa ada kebutuhan untuk perencanaan yang dilakukan; dan (2) korban tersebut termasuk dalam kelompok etnis, rasial, kebangsaan atau agama yang menjadi target.”

(2) Persyaratan kesengajaan

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 500-501: Sidang mencatat bahwa Statuta versi Perancis menggunakan istilah “meurtre” sedangkan versi Inggris menggunakan istilah “killing”. Sidang menyatakan bahwa istilah “killing” itu “terlalu umum karena ... di dalamnya juga dimungkinkan bentuk pembunuhan yang tidak disengaja dan yang disengaja, sementara istilah ‘meurtre’ lebih jelas artinya.” Oleh karena itu, Sidang menyatakan bahwa “‘meutre’ adalah pembunuhan yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan kematian.”

Bandingkan dengan Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 50: “Pasal 2(2)(a) Statuta yang diadopsi dari ketentuan dalam Konvensi Genosida, mengacu pada istilah ‘meurtre’ dalam versi Perancis dan pada istilah ‘killing’ dalam versi Inggris. Dalam pandangan 36

(37)

Sidang, istilah ‘killing’ mencakup baik pembunuhan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja, sedangkan ‘meurtre’ mencakup pembunuhan yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan kematian. Berdasarkan pada asas praduga tidak bersalah dan prinsip-prinsip umum Hukum Pidana, Sidang berpendapat bahwa istilah yang digunakan untuk tersangka adalah istilah yang paling meringankan baginya, dan menentukan bahwa Pasal 2(2)(a) Statuta harus diinterpretasikan sesuai dengan definisi pembunuhan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Rwanda, yang dalam Pasal 311 menyatakan bahwa ‘Pembunuhan (homicide) yang dilakukan dengan niat untuk menyebabkan kematian harus dianggap sebagai pembunuhan (murder).” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 155; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 57-58.

Bandingkan dengan Penuntut v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No. ICTR-95-1-A (Sidang Pengadilan), 1 Juni 2001, Paragraf 151: “[T]idak ada perbedaan yang nyata” antara istilah “killing” dan “meurtre”. Kedua istilah tersebut dihubungkan kepada tujuan untuk menghancurkan secara keseluruhan maupun untuk sebagian. Keduanya harus mengacu pada pembunuhan yang dilakukan dengan segaja tetapi tidak harus pembunuhan berencana.

(3) Kausalitas

Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 952-953: “Sifat dasar media adalah sedemikian rupa sehingga kausalitas pembunuhan dan tindakan-tindakan genosida lainnya tidak dapat terhindarkan dari efek langsung yang disebabkan oleh tambahan dari komunikasi itu sendiri. [H]al ini tidak mengurangi bahwa kausalitas itu disebabkan oleh media, atau pertanggungjawaban pidana dari orang-orang yang bertanggung-jawab terhadap komunikasi tersebut.” “Sidang menerima bahwa momen pada saat ini [penjatuhan pesawat Presiden dan kematian Presiden Habyarimana] merupakan pemicu dari kegiatan-kegiatan yang terjadi selanjutnya. Hal itu merupakan bukti. Tetapi apabila penjatuhan pesawat adalah sebagai pemicu, maka RTLM (stasiun radio), Kangura (koran) dan CDR (partai politik yang menggambarkan penduduk Tutsi adalah musuh) adalah peluru-peluru di dalam senjata. Pemicu itu memiliki dampak yang sangat mematikan karena senjatanya terisi penuh. [P]embunuhan terhadap penduduk sipil Tutsi paling tidak dilakukan

(38)

berdasarkan pesan penargetan etnis untuk dimatikan yang secara jelas dan efektif disebarkan melalui RTLM, Kangura dan CDR, sebelum dan setelah 6 April 1994.”

(4) Penerapan

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 114-116: Sidang menemukan bahwa bukti-bukti dari pembunuhan meluas di seluruh Rwanda cukup untuk menunjukkan “pembunuhan” dan “menyebabkan luka serius pada tubuh anggota kelompok” antara lain melalui:

• kesaksian mengenai “tumpukan mayat … di mana-mana, di jalan-jalan, di jalan setapak dan di sungai, dan khususnya, cara bagaimana orang-orang tersebut dibunuh;”

• kesaksian yang menyatakan bahwa banyak orang di rumah sakit … semuanya adalah Tutsi dan … yang secara nyata menderita luka, baik pada wajah, leher, tumit, dan pada tendon Achilles, yang disebabkan oleh senjata parang panjang untuk mencegah mereka melarikan diri;”

• kesaksian bahwa “tentara Angkatan Bersenjata Rwanda dan Pengawal Presiden mendatangi rumah-rumah di Kigali yang pemiliknya sudah diidentifikasi dengan tujuan untuk dibunuh, dan kesaksian dari pembunuhan-pembunuhan lain yang terjadi di lain tempat;”

• “foto-foto mayat di banyak gereja” di berbagai area;

• kesaksian mengenai “kartu identitas yang bertebaran di jalan, yang semuanya bertanda identitas ‘Tutsi’.”

ii) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok

(1) Definisi umum

(39)

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 504: “[L]uka fisik atau mental yang serius” termasuk di dalamnya adalah “tindakan-tindakan penyiksaan, baik secara fisik atau mental, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan, dan penganiayaan.”

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Pargaraf 108-113: Pengertian “luka fisik yang serius dan luka mental yang serius” harus “ditentukan berdasarkan kasus-per-kasus dengan menggunakan pendekatan sesuai pemikiran yang sehat.” Pengertian “menimbulkan luka fisik yang serius” umumnya sudah jelas dengan sendirinya, dan “dapat ditafsirkan sebagai tindakan melukai yang secara serius merusak kesehatan, menyebabkan cacat atau menyebabkan luka serius terhadap organ eksternal, internal atau pikiran sehat.” “[M]enimbulkan luka mental yang serius harus dintepretasikan berdasarkan kasus-per-kasus sesuai dengan jurisprudensi yang relevan.”

Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 51: “[L]uka fisik atau mental yang serius” “termasuk juga di dalamnya adalah tindakan-tindakan penyiksaan terhadap fisik atau mental, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan, pemerkosaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan.” Lihat juga Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 156; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 59.

(2) Tanpa persyaratan bersifat permanen atau tidak dapat disembuhkan Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 502: Luka tersebut tidak perlu bersifat “permanen dan tidak dapat disembuhkan.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 108; Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 51; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 156; Bagilishema, (Sidang Pengadilan), 7 Juni 2001, Paragraf 59; Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 320-322.

Bandingkan Semanza, (Sidang Pengadilan), 15 Mei 2003, Paragraf 321: “Luka mental yang serius berarti lebih dari penghancuran terhadap kemampuan dan kecakapan mental yang bersifat ringan atau sementara.”

(40)

Lihat juga bagian (I) (d) (i) (4) di atas untuk penerapan.

(3) Pemerkosaan dan kekerasan seksual dapat memenuhi syarat

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 706-707, 731-734, 688: Pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya dapat menyebabkan “penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental” dari anggota kelompok. Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 108; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf. 156.

(4) Ancaman selama proses interogasi dapat memenuhi syarat

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 711-712: Kematian pada saat interogasi dilakukan, baik disertai dengan pemukulan maupun tidak, dapat menyebabkan “penderitaan yang berat terhadap fisik dan mental” dari anggota kelompok. Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 108.

(5) Tujuan untuk menimbulkan “luka mental yang serius” dipersyaratkan Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 112: Sidang mempertimbangkan bahwa si tertuduh bertanggung-jawab atas situasi-situasi ini hanya apabila pada saat tindakan itu dilakukan, ia memiliki tujuan untuk menimbulkan “luka mental yang serius” dalam kerangka tujuan spesifik, yakni untuk “menghancurkan kelompok secara keseluruhan atau untuk sebagian.”

iii) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 505-506: Frase ini berarti bahwa metode penghancuran yang dipakai oleh si pelaku adalah metode yang tidak secara langsung membunuh anggota kelompok, tetapi pada akhirnya menuju kehancuran anggota kelompok 40

(41)

itu secara fisik, termasuk di antaranya adalah dengan membuat anggota kelompok hidup secara pas-pas-an atau sekadarnya, secara sistematis mengusir anggota kelompok dari rumah kediaman mereka, dan mengurangi pelayanan kesehatan hingga di bawah syarat minimum yang dibutuhkan. Lihat juga Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 52; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 157.

Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 115-116: “[S]ecara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,” “termasuk keadaan-keadaan yang akan menimbulkan kematian secara perlahan, misalnya kurangnya fasilitas tempat berteduh yang layak, pakaian bersih, obat-obatan, atau dipaksa melakukan pekerjaan berat baik secara fisik maupun mental,” dan “metode-metode penghancuran yang tidak secara langsung menimbulkan kematian terhadap anggota kelompok.” “[K]ondisi-kondisi kehidupan yang digambarkan tersebut di atas termasuk tindakan-tindakan pemerkosaan, menyebabkab kelaparan bagi sekelompok orang, mengurangi pelayanan kesehatan sampai di bawah minimum, dan tidak memberikan akomodasi kehidupan yang cukup dalam periode waktu yang cukup.”

Tetapi pada kasus Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 548: Sidang berpendapat bahwa meskipun kelompok Tutsi di Kibuye “dalam keadaan kekurangan makanan, air, sanitasi dan fasilitas medis,” “keadaan-keadaan ini tidak menciptakan secara langsung kondisi kehidupan ... yang dimaksudkan untuk menyebabkan kehancuran,” karena “kekurangan-kekurangan tersebut ... diakibatkan oleh penganiayaan terhadap Tutsi, dengan tujuan untuk membinasakan mereka dalam periode yang singkat sesudah itu.” Selanjutnya, Sidang menentukan bahwa panjang dan skala periode waktu itu tidak cukup untuk menimbulkan penghancuran terhadap kelompok.”

iv) Memaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 507-508: “[M]emaksakan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok mencakupi

(42)

aborsi, sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, pemisahan berdasarkan jenis kelamin dan menghambat perkawinan. Dalam masyarakat patriarki, keanggotaan suatu kelompok dilihat dari garis keturunan bapak. Sebagai contoh, ... ketika terjadi pemerkosaan, perempuan dari satu kelompok dengan sengaja dihamili oleh seorang pria dari kelompok lain dengan tujuan agar perempuan tersebut melahirkan anak yang bukan lagi berasal dari kelompok ibunya.” Sidang mencatat bahwa tindakan-tindakan tersebut dapat mengakibatkan penderitaan secara mental maupun fisik. “Sebagai contoh, pemerkosaan merupakan tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran ketika perempuan yang hamil karena diperkosa akhirnya menolak untuk melahirkan; maka anggota kelompok menjadi trauma, dan dapat juga karena ancaman sehingga mereka menjadi tidak mau melahirkan.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 117; Rutaganda, (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 53; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 158.

v) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok kepada kelompok lain.

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 509: “[S]anksi yang diberikan tidak hanya ditujukan pada tindakan berupa pemindahan fisik secara paksa, tetapi juga terhadap tindakan berupa pemindahan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain secara paksa dan di bawah ancaman, yang mana tindakan tersebut dapat menyebabkan trauma.” Lihat juga Kayishema dan Ruzindana, (Sidang Pengadilan), 21 Mei 1999, Paragraf 118; Rutaganda (Sidang Pengadilan), 6 Desember 1999, Paragraf 54; Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 159.

e) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum i) Genosida

Lihat pembahasan-pembahasan di atas

ii) Persekongkolan untuk melakukan genosida

(43)

(1) Definisi

Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 191: “[P]ersekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida didefinisikan sebagai sebuah perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan genosida.” Lihat juga Ntakirutimana dan Ntakirutimana, (Sidang Pengadilan), 21 Februari 2003, Paragraf 798; Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 423; Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1041.

Unsur perjanjian ini juga terdapat pada kasus Nahimana, Barayagwiza dan Ngeze, (Sidang Pengadilan), 3 Desember 2003, Paragraf 1042, yang menyatakan bahwa ”delik persekongkolan mensyaratkan adanya sebuah perjanjian yang merupakan sebuah penegasan terhadap unsur kejahatan persekongkolan.”

(2) Niat jahat (mens rea)

Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 192: Mens rea dari kejahatan konspirasi untuk melakukan genosida “terletak pada tujuan yang diselenggarakan bersama untuk melakukan genosida, yaitu untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok kebangsaan, etnis, ras atau agama tertentu.” “Syarat niat untuk konspirasi dalam melakukan kejahatan genosida adalah niat yang disyaratkan untuk kejahatan genosida, yaitu dolus specialis dari genosida.”

(3) Persekongkolan tidak perlu harus berhasil

Musema, (Sidang Pengadilan), 27 Januari 2000, Paragraf 194: “Kejahatan persekongkolan untuk melakukan genosida dapat dihukum walaupun kejahatan tersebut gagal mencapai hasil ... bahkan bila kejahatan genosida itu sendiri pada kenyataannya tidak dilakukan.”

Dalam Niyitegeka, (Sidang Pengadilan), 16 Mei 2003, Paragraf 423, juga dinyatakan bahwa “[P]ersekongkolan itu sendiri dapat dikenakan hukuman, bahkan bila perbuatan yang sesungguhnya (genosida) pada kenyataannya tidak dilakukan.”

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data sense of humor adalah Multidimensional Sense Of Humor Scale (MSHS) yang disusun pertama kali oleh Thorson dan Powell

Retribusi pemerikasaan alat pemadam kebakaran, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas pelayanan pemeriksaan dan atau

Fungsi ini membolehkan pengguna melaksanakan arahan ‘ping’ rangkaian untuk mengesahkan jika Appliance boleh mencapai alamat IP atau URL yang dimasukkan oleh

Dari hasil evaluasi penilaian yang dilakukan terhadap website Bina Darma mendapatkan skor 85 yang berarti website Bina Darma dinyatakan acceptable termasuk dalam grade

46 Tahun 2013 tentang Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak UMKM

positif dan signifikan terhadap jiwa kewirausahaan. Sedangkan mental wirausaha berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap jiwa kewirausahaan. Sedangkan

Pada permulaan tahun 1970 an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan yang berhubungan dengan Marina Pollution pada dasarnya sama

[r]